• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang mengangkat isu perempuan seperti pada penelitian ini, telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Seperti yang dilakukan oleh Chatarina Heni Dwi Surwati yang meneliti konstruksi feminisme dalam film Indonesia karya sutradara Nia Dinata. Penelitian tersebut menggunakan metode Analisis Wacana Kritis dengan paradigma penelitian kualitatif. Surwati berusaha mengungkap konstruksi feminisme yang disampaikan oleh Nia Dinata dalam Film Ca Bau Kan, Berbagi Suami, Arisan, dan Perempuan Punya Cerita.

Analisis data pada penelitian tersebut adalah dengan melakukan pengamatan terhadap empat film tersebut, lalu memilih scene yang mewakili wacana feminisme. Kemudian melakukan analisis baik analisis level mikro maupun analisis level makro. Dalam melakukan analisis data, titik pokok analisisnya adalah tema, seting, karakter, dialog, kostum, fotografi, dan musik.

Dari proses analisis yang telah dilakukan, konstruksi feminisme dalam film-film yang menjadi objek penelitian tersebut mengkonstruksi feminisme gelombang pertama yaitu feminisme liberal. Kesimpulan ini diambil karena perempuan memiliki kesempatan untuk

(2)

meningkatkan karir, hak dalam seksual, dan menentukan masa depannya sendiri.

Analisis kritis penulis terhadap penelitiannya Surwati adalah penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki kesamaan isu yang diangkat yaitu mengenai isu perempuan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi dalam menyusun metode dan analisis data. Kritik terhadap penelitian ini adalah kajian feminismenya tidak difokuskan menjadi bagian dari fokus penelitian. Isu feminisme yang diangkat hanya dipandang sebagai isu feminisme saja, sehingga hasil penelitiannya cenderung mengeneralisir aliran pemikiran feminisme menjadi hanya feminisme liberal saja.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang menggunakan metode hermeneutika sebagai metode penelitian yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Karen Cronick yang berjudul The

Discourse of President George W. Bush and Osama Bin Laden: A

Rhetorical Analysis and Hermeneutic Interpretation. Penelitian

tersebut mencoba menganalisis retorika dengan sudut pandang hermeneutika yang digunakan dalam teks pidato presiden Amerika Gorge W. Bush dan Osama Bin Laden yang dituduh mendukung serangan teroris ke negara tersebut.

Penelitian tersebut menganalisis dengan membagi kategori data yang diperoleh menjadi lima bagian. Pertama penciptaan dikotomi antara “kita” dan “mereka”, kedua pengingkaran dari agresor, ketiga

(3)

deskripsi konflik antara kedua belah pihak, keempat penciptaan tanah air, dan terakhir upaya untuk mendapat persetujuan atau kolaborasi penonton.

Penelitian ini tidak menjelaskan penyebab pidato dari pembicara tersebut, tetapi mencoba menjelaskan upaya yang dilakukannya untuk membujuk dan mengarahkan orang lain. Hasil dari penelitian ini menunjukan keduanya menggunakan retorika untuk memicu sikap interpertatif ketika mendengar wacana politik.

Analisis kritis penulis terdapat penelitiannya Cronick adalah adanya kesamaan metode dalam melakukan analisisnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan analisis data. Kritik terhadap penelitian ini adalah tidak adanya model hermeneutika yang digunakan, sehingga penggunaan analisis hermeneutika tidak terfokus. Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih berfokus pada retorikanya.

Penelitian yang mengangkat isu perempaun dengan metode hermeneutika seperti halnya penelitian ini dilakukan oleh Shephanie Rich, dkk. Penelitian tersebut berjudul Unnatural’, ‘Unwomanly’,

‘Uncreditable’, and ‘Undervalue’: The Significance of Being a Childless Woman in Australian Society. Penelitian tersebut

menggunakan metode hermeneutika dalam memahami perempuan yang tidak memiliki anak pada masyarakat Australia.

(4)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif interpretif dengan menggunakan wawancara mendalam dalam mengumpulkan data. Hasil penelitian ini menunjukan masih adanya kesalahpahaman dan stereotipe terhadap perempuan yang tidak memiliki anak pada masyarakat Australia. Walaupun sudah diakui, tetapi hal tersebut belum dapat difahami, sehingga diharapkan dapat membantu memahami kondisi tersebut.

Analisis kritis penulis terhadap penelitiannya Rich dkk, adalah adanya kesamaan metode dan isu yang diangkat dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu isu perempuan yang dianalisis menggunakan metode hermeneutika. Sehingga dapat dijadikan referensi dalam melakukan analisis pada penelitian ini. Kritik terhadap penelitian tersebut adalah tidak adanya teori gender/feminisme yang digunakan sebagai alat bantu dalam melakukan analisis, padahal isu yang diangkat adalah isu gender/feminisme. selain itu juga penggunaan paradigma deskriptif interpretif dirasa kurang cocok karena sejak awal pada latar belakang menyebutkan adanya ideologi dominan di masyarakat Australia.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti/ Judul

Metode dan Pendekatan Penelitian

Teori Kesimpulan Analisis Kritis

1 Chatarina Heni Dwi Surwati / konstruksi Feminisme Penelitian ini menggukanaka n pendekatan kualitatif - Komunikasi Masa (Film Sebagai media

- Dari level mikro film-film yang dianalisis mengkonstruksi Penelitian ini memiliki pendekatan yang sama yaitu

(5)

dalam Film Indonesia (Analisis Wacana Kritis Konstruksi Feminisme dalam Film Indonesia Karya Sutradara Nia Dinata Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret dengan metode penelitian Analisis Wacana Kritis dengan paradigma kritis. Unit-unit yang dianalisis adalah tema, seting, karakter, dialog, kostum, fotografi, dan musik penyampai pesan - Analisis Wacana sebagai metode analisis isi media - Feminisme feminisme - Dari level makro

penonton tidak memiliki peranan dalam film ini - Terdapat kesesuaian antara era feminisme dengan konstruksi feminisme - Kecenderungan feminisme dalam film ini adalah feminisme liberal pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. Namun metode penelitian yang digunakan berbeda, dimana tesis ini menggunakan metode hermeneutika dengan paradigma konstruktivisme. Kritik terhadap penelitian ini adalah penelitian ini meluas pada semua isu feminisme, sehingga kesimpulan dari penelitian ini cenderung mengeneralisir pemikiran feminisme yang ada pada film yang menjadi objek penelitian 2 Karen Cronick / The Discourse of President George W. Bush and Osama Bin Makalah ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode - Retorika - Hermeneuti ka - Hasil penelitian dari makalah ini adalah komentar-komentar pada teks pidato Penelitian pada malakah ini memiliki metode yang sama yaitu hermeneutika walaupun

(6)

Laden: A Rhetorical Analysis and Hermeneutic Interpretation Qualitative Social Research: Proquest Document analisis retorika dari sudut pandang hermeneutika. Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma interpretif. Unit-unit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah transkrip pidatonya George W. Bush dan Osama Bin Laden George W. Bush maupun Osama Bin Laden menggunakan retorika untuk memicu sikap interpretatif ketika mendengar wacana politik berbeda isu/tema penelitian. Kritik terhadap penelitian ini adalah tidak adanya metode hermeneutika yang jelas. Pada makalah ini tidak disebutkan metode hermeneutika yang digunakan, karena lebih fokus kepada analisis retorikanya. 3 Stephanie Rich, Ann Taket, Melissa Graham, dan Julia Shelley / Unnatural’, ‘Unwomanly’, ‘Uncreditable’, and ‘Undervalue’: The Significance of Being a Childless Woman in Australian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian hermeneutika dan fenomenologi. Paradigma penelitian tidak dijelaskan secara jelas tetapi - Tidak ada teori pasti yang digunakan sebagai alat bantu analisis - Teori yang digunakan hanya penelitian yang sama yang dilakukan di Amerika, Kanada, - Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat kesalah pahaman dan steteotipe tidak memiliki anak masih tertanam pada masyarakat pronatal - Penelitian ini memberi kontribusi dalam memahami pertumbuhan angka Penelitian ini memiliki pendekatan dan metode yang sama dengan tesis, tetapi memiliki paradigma yang berbeda. Walaupun sama menggunakan hermeneutika, tetapi penelitian data pada penelitian ini merupakan hasil

(7)

Society Sringer Science + Business Media: Proquest Document cenderung kepada deskriptif interpretif. Unit analisis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap pengalaman lima perempuan yang tidak memiliki anak dan Irlandia (Inggris Raya) perempuan yang tidak memiliki anak - Perempuan yang tidak memiliki anak sudah semakin diakui tetapi belum sepenuhnya dipahami wawancara sedangkan tesis berupa teks. Kritik pada penelitian ini adalah tidak adanya teori gender/feminism e yang digunakan sebagai alat bantu analisis, padahal penelitian mengangkat isu gender. Paradigma yang sesuai juga lebih baik adalah kritis, karena terlihat dalam latar belakang adanya ideologi yang dominan. 2.1.2. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah subjek yang telah lama menarik perhatian banyak orang. Istilah yang mengkonotasikan citra individual yang kuat dan dinamis yang berhasil memimpin di bidang kemiliteran, memimpin perusahaan yang sedang berada di puncak kejayaan, atau memimpin negara. Istilah ini juga sering dipakai untuk menggambarkan tentang keberanian dan kemampuan memimpin dalam berbagai legenda dan

(8)

mitos. Sebagian besar gambaran sejarah kita adalah kisah tentang para pemimpin militer, politik, agama dan sosial yang dipuji atau dipersalahkan dalam suatu peristiwa sejarah yang penting. Besarnya daya tarik kepemimpinan mungkin terjadi karena proses itu misterius dan menyentuh banyak orang (Yukl, Gary. 2007 Hal : 2).

Untuk memahami kepemimpinan, perlu dikupas dari sisi etimologis dan definitif. Aspek etimologis lebih mengedepankan permasalahan dan tinjauan bahasa, sedangkan aspek definitif berpijak pada seperangkat pengertian yang dikemukakan para ahli (Sulistiyani, Ambar Teguh. 2008 Hal : 9). Dipermukaan sepertinya mudah dalam mendefinisikan kepemimpinan, namun sesungguhnya mendefinisikan kepemimpinan itu sulit karena kepemimpinan digambarkan dengan berbagai cara dan juga karena berbagai dimensi yang membawanya (Pierce, Jon L dan Newstrom, John W. 2008 Hal : 3).

Dari aspek etimologis kepemimpinan dapat ditelusuri maknanya dengan mengupas secara harfiah. Kepemimpinan diadopsi dari bahasa Inggris yaitu leadership. Leadership berasal dari akar kata lead yaitu kata kerja yang berarti memipin. Lebih lanjut kepemimpinan tersebut dapat dipahami dengan to show the way to by going in advance. Bertolak dari pengertian secara harfiah tersebut, maka dengan demikian memimpin merupakan suatu pekerjaan seseorang tentang bagaimana cara-cara untuk mengerahkan (direct) orang lain. Artinya, kepemimpinan juga harus dilihat dari sisi pelaku kepemimpinan, yang

(9)

disebut sebagai pemimpin (leader), yaitu orang yang melakukan aktivitas atau kegiatan memimpin (Sulistiyani, Ambar Teguh. 2008 Hal : 9).

Sedikit berbeda dengan konteks pemaknaan etimologis, pemaknaan melalui definisi ini jauh lebih terstruktur, dan dengan mengedepankan upaya belajar dari fenomena, kemudian mengalami proses abstraksi, sehingga diperoleh pengertian konseptual yang relatif tertata. Hingga saat ini belum ditemukan sebuah definisi kepemimpinan yang lengkap, dan mewakili pengertian kepemimpinan yang menyeluruh. Sejalan dengan status dan fungsi kepemimpinan sebagai sebuah subjek yang dinamis, maka kepemimpinan senantiasa berkembang sesuai dengan praktek yang berjalan. oleh karena itu, banyak definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli, dan masing-masing memiliki tekanan serta sudut pandang yang berbeda (Sulistiyani, Ambar Teguh. 2008 Hal : 11-12).

Dari aspek definitif tersebut terdapat tiga komponen penting dalam kepemimpinan yaitu pengaruh, legitimasi dan tujuan. Kepemimpinan adalah pengaruh, dimana kepemimpinan terjadi karena adanya proses pengaruh. Kepemimpinan adalah legitimasi, dimana legitimasi merupakan pengakuan atau pengesahan kedudukan pemimpin, dan legitimasi juga merupakan posisi formal dari kekuasaan. Kepemimpinan adalah tujuan, dimana pemimpin berurusan dengan tujuan-tujuan (Soekarso, dkk. 2010 : 17).

(10)

Teori ilmu kepemimpinan sangat banyak dan bervariasi pokok masalahnya. Ada teori yang bersifat umum misalnya yang menyatakan asal usul kepemimpinan, ada pula yang menyatakan salah satu aspek dari femomena kepemimpinan misalnya teori mengenai gaya kepemimpinan, mengenai kekuasaan, mengenai proses mempengaruhi atau mengenai konflik. Berikut beberapa teori kepemimpinan yang bersifat umum (Wirawan. 2002 : Hal 41).

(1). Teori Orang Besar

Teori kepemimpinan orang besar atau orang agung menyatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah orang besar atau orang agung. Menurut teori ini dalam setiap masyarakat lahir orang besar yang sudah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin masyarakat. Orang besarlah yang menggerakan dan merubah masyarakat, memakmurkan, mencipakan perang, dan menaklukan bangsa lain. Teori ini berfokus pada pemimpin dan mengabaikan peranan pengikutnya (Wirawan. 2002 : Hal 41-42).

Dua tokoh yang mendasari teori kepemimpinan orang besar adalah William James dan Thomas Carlyle. Wiliam James menyatakan sejarah dunia adalah sejarah para orang besar, mereka berinisiatif menggerakan masyarakat ke arah tertentu dan mencegah orang lain menggerakan ke arah yang berlawanan. Tanpa orang besar tersebut masyarakat tidak akan berubah dan bergerak ke arah tertentu. Thomas Carlyle berpendapat bahwa

(11)

dalam sejarah masyarakat selalu dipimpin oleh orang yang disebut pahlawan yang mampu menggerakan masyarakat ke arah tertentu. Pahlawanlah yang mampu memformulasikan impian dan menggerakan meraka untuk mencapai impian tersebut (Wirawan. 2002 : Hal 41-42).

(2). Teori Sifat Pemimpin

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah dan dianugerahi beberapa ciri yang tidak dipunyai orang lain. Teori ini berusaha untuk mengidentifikasi karakter khas yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini menyatakan bahwa keberhasilan managerial disebabkan karena memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa dari seorang pemimpin (Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Deddy. 2009 : Hal 7).

Sifat adalah karakteristik kejiwaan dan fisik yang dibawa sejak lahir dan karakteristik yang diperolah orang dari lingkungannya. Dimensi karakteristik kejiwaan adalah keadaan jiwa yang mendasari orang berfikir, bersikap, berprilaku dan berkemampuan tertentu. Dimensi karakteristik fisik antara lain keadaan jasmani seseorang seperti jenis kelamin, tinggi dan berat badan, bentuk tubuh, kecantikan dan kegagahan, kesehatan fisik, energi, dan stamina. Dimensi karekteristik yang diperoleh dari lingkungannya adalah ilmu pengetahuan dan keterampilan.

(12)

Dimensi sifat lainnya adalah keturunan dan status sosial. Menurut Stogdil, kepemimpinan tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan sifat-sifat inividual pemimpin. Kepemimpinan merupakan hasil interaksi antara sifat-sifat individu pemimpin dengan variabel-variabel situasional (Wirawan. 2002 : Hal 42-43).

(3). Teori Kepemimpinan Transaksional

Salah satu teori kepemimpinan yang banyak diterapkan dalam dunia modern adalah teori kepemimpinan transaksional. Teori ini mendasarkan pada asumsi bahwa kepemipinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin dan pengikut merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai tujan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam kepemimpinan transaksional merupakan hubungan transaksi yaitu menukarkan sesuatu yang dibutuhkan pemimpin dengan sesuatu yang dibutuhkan para pengikut. Kepemimpinan transaksional masih sangat dominan dalam dunia modern terutama di dunia bisnis. Manajemen perusahaan kebanyakan melaksanakan kepemimpinan transaksional dengan para pekerja dalam suatu perjanjian kesepakatan kerja (Wirawan. 2002 : Hal 44-46). Pemimpin transaksional memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas (Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Deddy. 2009 : Hal 10).

(13)

(4). Teori Kepemimpinan Transformasional

Kepemipinan transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional, dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Pemimpin transformasional merupakan agen perubahan yang berusaha keras melakukan transformasi ulang organisasi secara menyeluruh sehingga organisasi bisa mencapai kinerja yang lebih maksimal di masa depan (Safaria, Triantoro. 2004 : Hal 62).

(5). Teori Kepemimpinan Kharismatik

Teori ini berlandaskan keyakinan bahwa pemimpin yang kharismatik mempunyai kekuatan supernatural, kekuatan yang tidak tampak, mengandung kekuatan magis melalui pancaran pribadi menyeluruh sang pemimpin yang mempengaruhi bawahan secara luar biasa. Menurut House, pemimpin kharismatik mempunyai karakteristik mencolok, seperti kepercayaannya yang tinggi kepada bawahannya, visi ideologi yang menimbulkan pengaruh kuat, dan menggunkan contoh dan teladan pribadi kepada bawahannya (Safaria, Triantoro. 2004 (61-62).

Bernard M. Bass memperluas konsep kepemimpinan kharismatik dengan menambahkan kemampuan lain seperti keterampilan berdebat dan persuasif yang tinggi, keahlian teknis, dan kemampuan untuk menumbuhkan perubahan sikap, perilaku,

(14)

dan emosional para pengikut. Menurut Conger dan Kanungo, pemimpin kharismatik merupakan fenomena proses atribusi dan menegaskan bahwa pengaruhnya sangat bervariasi dalam berbagai situasi. Mereka juga menambahkan beberapa sifat pemimpin menumbuhkan proses atribusi kharismatik, yaitu kepercayaan diri yang tinggi, keterampilan manajemen yang mengagumkan, sensitivitas sosial, dan empati (Safaria, Triantoro. 2004 (61-62). (6). Teori Kepemimpinan Situasional

Salah satu model kepemimpinan yang paling banyak digunakan dewasa ini adalah yang berdasarkan teori situsasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard. Teori ini banyak digunakan dalam program pengembangan eksekutif oleh berbagai jenis perusahaan di Amerika Serikat bahkan oleh organisasi-organisasi kemiliteran (Siagian, Sondang P. 2010 Hal 138-139). Teori ini berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif tergantung pada sejumlah faktor tertentu. Tidak ada kepemimpinan yang efektif untuk semua situasi atau keadaan. Situasi atau keadaan yang mempengaruhi kepemimpinan misalnya keadaan pengikut, tugas kelompok, norma organisasi dan lingkungan organisasi. Faktor-faktor tersebut menentukan gaya kepemimpinan yang harus dipergunakan agar kepemimpinan efektif (Wirawan. 2002 : Hal 55).

(15)

2.1.3. Pemimpin

Kepemimpinan terjadi jika ada pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya. Pemimpin merupakan unsur esensial dari kepemimpinan, tanpa pemimpin tidak ada kepemimpinan. Pemimpin dapat berupa seorang individu atau dalam kepemimpinan kolektif, pemimpin berupa kelompok individu. Pemimpin dapat dikelompokan menjadi pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang menduduki posisi atau jabatan formal dalam suatu organisasi, sedangkan pemimpin informal adalah pemimpin suatu masyarakat yang tidak memduduki jabatan formal dalam organisasi masyarakat tapi mempunyai pengaruh terhadap anggota dan organisasi masyarakat (Wirawan. 2002 : Hal 65).

Andrew J. Dubrin (2006 : Hal 31-33) mengemukakan bagaimana pemimpin berfikir. Menurutnya pemimpin harus dapat berfikir strategis yang merupakan kemampuan untuk berfikir dari segi bagaimana tindakan yang dilakukan bisa membantu organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Pemikiran ini juga menyangkut pemahaman dampak jangka panjang dari pemikiran. kedua pemimpin harus memiliki pemikiran sistem yang berusaha memahami bagaimana perubahan pada satu bagian sistem akan menimbulkan perubahan pada bagian lain dari sistem. Dan yang terakhir adalah pemikiran besar, dengan berusaha untuk tidak memikirkan hal yang remeh temeh, tetapi tidak mengabaikan detail penting.

(16)

Disarikan dari bukunya Prof. Dr. Sondang P Siagian, M.P.A (2010 : Hal 27-45) tipologi pemimpin dapat dibagi menjadi 5 tipe yaitu. 1. Tipe Otokratik

Seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Pemimpin otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasi, sehingga cenderung menganut nilai organisasi yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan.

Sikap memimpin yang demikian akan menampakan diri pula pada perilaku pemimpin yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan pihak lain, terutama dengan bawahannya. Seorang pemimpin yang otokratik dalam prakteknya akan menggunakan gaya kepemimpinan yang menuntut ketaatan penuh dari para bawahan, dalam menegakan disiplin menunjukan kekakuan, bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi, menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan.

2. Tipe Paternalistik

Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyrakat

(17)

yang agraris. Salah satu ciri utama dari masyarakat tradisional demikian ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seorang yang dituakan. Mereka dihormati karena orang-orang demikian bisanya memproyeksikan sifat-sifat dan gaya hidup yang pantas dijadikan teladan atau panutan oleh anggota masyarakat lain.

Persepsi seorang pemimpin paternalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan pengikutnya. Harapai ini pada umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu berperan sebagai bapak yang bersifat melindungi dan layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk. Ditinjau dari organisasional yang dianut, bisanya seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan. Dianalisis lebih lanjut, nilai-nilai demikian mengejawantah dalam sikap seorang pemimpin dalam hubungannya dengan para anggota organisasi bawahannya. Sikap kebapaan memang menyebabkan hubungan atasan bawahan lebih bersifat informal, tetapi dilandasi oleh pandangan bahwa para bawahan belum mencapai tingkat kedewasaan sedemikian rupa sehingga mereka dapat bertindak sendiri.

Sikap demikian tercermin dalam perilaku pemimpin yang antara lain tindak tanduk yang menggambarkan bahwa pemimpin yang bersangkutan yang mengetahui segala sesuatu mengenai seluk

(18)

beluk organisasi. Dengan demikian tidak mustahil bahwa dalam organisasi terjadi pemusatan pengambilan keputusan dalam diri pimpinan yang bersangkutan, sedangkan para bawahan tinggal melaksanakannya saja. Konsekwensinya adalah bawahan tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Dengan kata lain bawahan tidak didorong untuk berfikir secara inovatif dan kreatif.

3. Tipe Kharismatik

Pemimpin kharismatik memiliki karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin kharismatik adalah seorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi.

Sesungguhnya sangat menarik untuk memperhatikan bahwa pengikut seorang pemimpin yang kharismetik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku, serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang diikutinya. Bisa saja pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktator, para pengikut akan tetap setia kepadanya. Mungkin pula seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang paternalistik, tetapi ia tidak kehilangan daya pikatnya. Daya tariknya pun tetap besar bila menggunakan gaya yang demokratik ataupun partisipatif.

(19)

4. Tipe Laissez Faire

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang

Laissez Faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin

berkisar pada pandangan bahwa organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan, dan seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasinya. Seorang pemimpin Laissez Faire cenderung memilih peranan pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakan.

Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin Laissez Faire dalam menjalanan fungsinya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solideritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas. Dengan demikian nilai yang dianut dalam hubungan antara atasan dan bawahan didasarkan kepada saling mempercayai yang besar.

Sikap pemimpin Laissez Faire biasanya permisif, dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan

(20)

keyakinan dan hati nuraninya asal saja kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai. Keberadannya sebagai pemimpin diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi.

5. Tipe Demokratik

Baik dikalangan ilmuan maupun kalangan praktisi, terdapat kesepakatan bahwa tipe pemimpin yang demokratik adalah pemimpin yang paling ideal dan didambakan. Ditinjau dari segi persepsinya tentang kehadiran atau keberadaannya dan peranannya selaku pemimpin, pemimpin demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari beragai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas. Seorang pemimpin demokratik biasanya menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

Tidak kecil peranan yang dimainkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang demokratik dalam peningkatan usahanya menjadi pemimpin yang efektif. Keseluruhan nilai-nilai yang dianut berangkat dari falsafah hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Pemimpin yang demokratik memperlakukan manusia dengan cara manusiawi. Mengakui dan

(21)

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Gaya kepemimpinan demokratik biasanya mengejawantah dalam berbagai hal seperti pandangan bahwa betapa besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Dalam kehidupan berorganisasi selalu mengusahakan pendelegasian wewenang yang praktis dan realistik tanpa kehilangan kendali organisasional, para bawahan dilibatkan secara aktif, kesungguhan nyata dalam memperlakukan para bawahan, pengakuan yang tulus dari bawahan didasarkan atas pembuktian kemampuan memimpin. 2.1.4. Feminisme Budaya

Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dalam mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sesuai dengan human being (Ardianto dan Q-Anees, 2009: 184-185).

Feminisme muncul sebagai akibat dari kuatnya sistem patriarkal yang mengacu pada hubungan kekuatan dimana kepentingan

(22)

perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Jika menengok kepada sejarah perjuangan perempuan melawan penindasan, unsur perlawanan bisa diidentifikasikan sebagai sifat dasar feminisme. Sehingga pada awalnya feminisme didefinisikan sebagai semua usaha untuk menghadapi manifestasi sistem patriarkal (Gamble, 2010: 3).

Pemikiran feminisme cukup tua untuk mempunyai sejarah lengkap dengan serangkaian labelnya sendiri. Rosemarie Putnam Tong, dalam bukunya Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiaran Feminis, membagi pemikiran feminisme ke dalam 8 pemikiran. Namun pada tesis ini yang menjadi bahan refensi adalah feminisme gender atau feminisme kultural.

Feminisme gender percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam fsike perempuan, terutama dalam cara berfikir perempuan. Feminisme gender cenderung berpendapat bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau penjelasan kultural atas maskulinitas laki-laki dan femininitas perempuan (Tong, 2010: 190). Menurut feminis

gender anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi dewasa dengan

nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas yang merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuan serta berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal (Tong, 2010: 224).

(23)

Mereka juga menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan secara moral lebih baik dari pada kelebihan nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki. Karena itu feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada femininitas, dan laki-laki harus melepaskan paling tidak bentuk ekstrim dari maskulinitasnya (Tong, 2010: 191).

Feminis gender seperti Carol Gillian dan Nel Noddings menggali hubungan antara psikologi dan moralitas perempuan. Mereka mempertanyakan apakah kualitas feminin yang peduli, ataukah rasa keadilan maskulin yang merupakan jalan sejati untuk mencapai kebaikan manusia, dan apakan kunci untuk pembebasan manusia adalah dengan merangkul nilai-nilai serta kebaikan yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan. Bagi Gilligan dan Noddings, feminintas adalah anugerah perempuan, dan bukan beban (Tong, 2010: 9).

Dalam mengungkapkan kekhawatiran mengenai bahaya kepedulian, para pengkritik feminisme gender menyuarakan peringatan bahwa masyarakat cenderung untuk mengambil keuntungan dari perempuan. Adalah penting bagi perempuan untuk memprioritaskan perkembangan diri daripada pengorbanan diri yang diarahkan untuk kepentingan yang lain. Adalah juga penting untuk tidak terlalu menekankan masalah-masalah yang dihubungkan dengan

(24)

penarikan kebajikan feminin atau perempuan dari jalinan patriarki (Tong, 2010: 250).

Menurut Mullett, seorang tidak dapat sungguh-sungguh peduli terhadap seseorang jika secara ekonomi, sosial, dan psikologis dipaksa untuk peduli. Karena itu, kepedulian yang asli dan sungguh-sungguh tidak dapat terjadi dalam kondisi patriarkal yang dikarakterisasi oleh dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. kepedulian yang asli hanya terjadi dalam kondisi kesetaraan dan kebebasan secara seksual tanpa adanya pengecilan, pelemahan, pelecehan perempuan yang dilakukan laki-laki (Tong, 2010: 250).

Kepedulian hanya dapat diberikan secara bebas jika orang yang mempedulikan tidak diabaikan. Selama laki-laki menuntut dan mengharapkan kepedulian dari perempuan, kedua jenis kelamin akan gagal untuk mengaktualisasikan potensi moralnya. Baik laki-laki maupun perempuan tidak akan mampu untuk peduli secara autentik (Tong, 2010: 151).

2.1.5. Peran dan Kedudukan Perempuan Di Indonesia

Perempuan sebagai pemegang peranan penting, bahkan utama dalam bidang politik sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Sebagaimana telah diketahui perempuan telah menjadi aktor politik penting bagi kaum nasionalis dalam lingkungan publik yang menandai masuknya bangsa ini dalam era modern. Bahkan jauh sebelum kolonialisme barat, nama seperti Ratu Sima dan

(25)

Sanggramawijaya Dharmaprasodotunggadewi merupakan aktivis perempuan yang sudah dikenal di Indonesia. Kesaksian-kesaksian tentang peranan perempuan juga banyak dijumpai dalam periode awal kerajaan-kerajaan Jawa (Wulan, 2008: 1-2).

Jaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh pemikiran Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardika, Jong Java Meiskering, Wanita Oetomo, Wanita Muljo, serta Aisyiah. Kegiatan mereka pada awalnya menekankan pendidikan yang membuka cakrawala kaum perempuan. Kesadaran yang belakangan disebut sebagai “emansipasi wanita”, bahwa kaum perempuan sederajat dengan kaum laki-laki. Kualitas kesadaran kaum perempuan mengkristal dalam kesadaran politik yang dinyatakan dalam kongres perempuan I di Yogyakarta. Pada kongres ini berpendapat bahwa persamaan derajat akan dicapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah (Wulan, 2008: 3).

Pada saat orde lama, gerakan perempuan berkembang baik dengan tumbuhnya berbagai organisasi perempuan. Sebenarnya gerakan-gerakan ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam merebut kemerdekaan dan mempunyai relasi yang cukup baik dengan negara. Akan tetapi, tidak semua agendanya diakomodasi karena konsekuensi subordinasi perjuangan gender interest di bawah proyek nasionalisme yang harus ditanggung gerakan perempuan. Namun setelah organisasi perempuan Gerwani dihancurkan pada tahun 1965,

(26)

organisasi perempuan seolah membisu karena takut dicap sebagai organisasi kiri (Wulan, 2008: 3).

Pada saat orde baru, organisasi-organisasi perempuan hanya menjadi organisasi fungsionalis. Organisasi perempuan memasuki periode tidak ada perlawanan terhadap diskriminasi dan eksploitasi yang dialami kaum perempuan Indonesia. Dapat dikatakan organisasi perempuan bentukan orde baru telah mereduksi perempuan hanya sebatas istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Bisa disimpulkan gerakan perempuan mengalami titik nadir pada masa awal orde baru karena menerapkan politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan politik dan ruang publik (Wulan, 2008: 3-4).

Genre baru gerakan perempuan muncul kembali pada paruh kedua dekade 1980-an dan berkembang pesat mulai tahun 1990-an. Gerakan ini dicirikan dengan organisasi non politik dengan format yayasan yang memiliki basis keanggotaan yang sempit (Wulan, 2008: 4).

Selanjutnya era reformasi dianggap sebagai tonggak redefinisi peran politik perempuan selama orde baru dengan ciri munculnya kelompok-kelompok perempuan yang melakukan kegiatan atas dasar empati terhadap penderitaan perempuan. Puncak dari gerakan era ini adalah terbentuknya Komnas Perempuan (Wulan, 2008: 5).

(27)

2.1.6. Hermeneutika Sebagai Metode Penelitian Komunikasi

Hermeneutika adalah cabang filsafat yang menguji teori tentang pemahaman dan panafsiran. Proses memahami dipandang sebagai suatu yang sirkuler, yakni orang hanya dapat memahami sesuatu dalam kaitannya dengan bagiannya, namun bagian-bagian sesuatu juga hanya dapat dipahami dari keseluruhan (Basrowi dan Sukidin, 2002: 150). Hermeneutika diartikan sebagai penafsiran teks yang sengaja dan hati-hati. Hermeneutika mencuat sebagai sebuah cara untuk memahami teks-teks kuno seperti aklitab yang tidak dapat dijelasakan lagi oleh penulisnya (Littlejohn dan Foss, 2009: 193).

Hermeneutika modern dimulai pada awal abad ke-19 oleh Fredrich Schleirmaher yang mencoba untuk membuat sebuah sistem untuk menemukan apa yang dimaksud oleh para penulis dalam tulisan-tulisan mereka. Schleirmaher menggunakan sebuah pendekatan ilmiah untuk analisis teks, yang diyakini menjadi kunci bagi pemaknaan dan perasaan penulis yang sebenarnya. Hermeneutika kemudian berkembang lebih luas oleh penulis biografi Schleirmaher yaitu Wilhelm Dilthey (Littlejohn dan Foss, 2009: 193).

Walaupun hermeneutika merupakan topik tua, namun akhir-akhir ini muncul sebagai sesuatu yang menarik. Hermeneutika sebagai filsafat akan selalu bersifat relevan karena, pertama kebenaran diperoleh tergantung pada orang yang melakukan interpretasi, dan

(28)

kedua “dogma” ini bersifat luwes sesuai dengan perkembangan jaman dan bersifat open mindededness-nya (Basrowi dan Sukidin, 2002: 151).

Walaupun ada sedikit persetujuan pada teknik-teknik khusus dalam penafsiran, hampir semua kelompok pemikiraan bergantung pada sebuah gagasan umum dari proses generalnya, yaitu disebut lingkaran hermeneutika. Dimana, menafsirkan sesuatu dengan beralih dari yang umum ke yang khusus dan sebaliknya. Di dalam lingkaran, selalu menghubungkan apa yang terlihat pada objek dengan apa yang diketahui. Selanjutnya, beralih dari susunan konsep yang dikenal ke susunan konsep yang asing hingga keduanya bergabung dalam penafsiran sementara (Littlejohn dan Foss, 2009: 194).

Gambar 2.1. Lingkaran Hermeneutika Sumber : Murphy, 2003

Secara lebih terjabar dapat dikemukakan bahwa dengan menggunakan metode hermeneutika, maka fenomena komunikasi dapat diperlakukan sebagai teks. Sehingga penelitian komunikasi acapkali merupakan fenomena komunikasi yang direncanakan atau bersekenario. Dengan demikian, akan tampak bahwa proses penafsirannya dalam kegiatan penelitian akan merupakan kegiatan

(29)

kompleks yang melibatkan telaah terhadap teks-teks lain yang lebih besar (Basrowi dan Sukidin, 2002: 156).

Salah satu penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika adalah Hans-Georg Gadamer. Gadamer menekankan bahwa pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika. Sebab dalam proses dialektik kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dalam proses metodis (Basrowi dan Sukidin, 2002: 163). Gadamer menyatakan bahwa individu tidak berdiri terpisah dari segala alami sebagai bagian dari keberadaan sehari-hari. Kita tidak dapat menjadi manusia tanpa menafsirkan, artinya bahwa pengalaman kita dan dunia yang kita tafsirkan terjalin sangat erat dan sebenarnya merupakan sesuatu yang sama (Littlejohn dan Foss, 2009: 198).

Prinsip utama dari teori Gadamer adalah bahwa seseorang selalu memahami pengalaman dari sudut pandang perkiraan dan asumsi. Pengalaman, sejarah, dan tradisi memberi kita cara-cara memahami segala sesuatu serta kita tidak dapat memisahkan diri dari kerangka interpretatif tersebut (Littlejohn dan Foss, 2009: 198).

Pengamatan, pemikiran, dan pemahaman tidak selalu benar-benar objektif, semuanya diwarnai oleh pengalaman kita. Selanjutnya sejarah bukan untuk dipisahkan dari masa kini. Kita merupakan bagian dari masa lalu, berada di masa kini, dan merasakan masa depan.

(30)

Dengan kata lain masa lalu berjalan dalam diri kita di masa kini dan mempengaruhi gambaran kita mengenai apa yang akan datang. Pada saat yang sama, gagasan kita saat ini tentang realitas mempengaruhi bagaimana kita memandang masa lalu (Littlejohn dan Foss, 2009: 198).

Bagi Gadamer, penfsiran kejadian-kejadian dan objek-objek historis, termasuk teks-teks dipertinggi oleh jarak sejarahnya. Ia menyatakan bahwa pemahaman sebuah teks melibatkan penglihatan pada makna-makna yang menyokong teks tersebut dalam sebuah tradisi dan terpisah dari maksud pelaku komunikasi yang sebenarnya. Dengan demikian, teks-teks dari masa lalu menjadi sejaman dengan kita dan berbicara pada kita di masa kini (Littlejohn dan Foss, 2009: 198).

Makna yang kita dapat dari sebuah teks merupakan hasil dari sebuah pembicaraan antara makna kita saat ini dan semua yang ditamankan dalam bahasa teks tersebut. Hermeneutika bukanlah sebuah mempertanyakan makna teks, tetapi juga memungkinkan teks untuk menanyai kita (Littlejohn dan Foss, 2009: 199).

Akhirnya Gadamer yakin bahwa pengalaman sudah menjadi sifat linguistik. Kita tidak dapat memisahkan pengalaman kita dari bahasa. Sudut pandang tradisi, yang dimana kita memandang dunia terletak pada kata-kata. Maksud Gadamer adalah bahwa bahasa itu sendiri mendasari semua pengalaman. Dunia dihadirkan bagi kita melalui bahasa. Jadi dalam komunikasi, dua manusia tidak

(31)

menggunakan bahasa untuk beriteraksi, melainkan komunikasi menggunakan tiga rangkaian, yaitu dua individu dan sebuah bahasa (Littlejohn dan Foss, 2009: 199).

Gadamer membahas empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutika. Pertama Bildung yang merupakan konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah, pandangan dunia, pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan,

style atau gaya, dan simbol, yang kesemuanya itu kita mengerti saat ini

sebagai istilah-istilah di dalam sejarah (Basrowi dan Sukidin, 2002: 165).

Kedua sensus communis yang mempunyai kesetaraan makna dengan ekspresi dalam bahasa Prancis le bon sens, yaitu pertimbangan praktis yang baik. Sensus communis adalah pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, atau kemanusiaan.

Sensus communis adalah kebijaksanaan dalam pergaulan sosial

(Basrowi dan Sukidin, 2002: 165-166).

Ketiga adalah pertimbangan. Gadamer menyatakan bahwa perbedaan orang bodoh dan orang pandai adalah bahwa orang bodoh kekurangan pertimbangan, artinya ia tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar (Basrowi dan Sukidin, 2002: 166).

(32)

Terakhir adalah taste atau selera. Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya tidak memakai pengetahuan akal. Gadamer menyatakan bahwa fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau perbedaan, tetapi tidak dapat didemonstrasikan. Selera tidak terbatas pada apa yang indah secara alami dan di dalam seni, tetapi sebaliknya justru meliputi seluruh moraitas dan perilaku atau tabiat (Basrowi dan Sukidin, 2002: 167).

2.1.7. Wayang Golek

Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap suku memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kebudayaan Wayang. Wayang bukan hanya pergelaran yang menghibur, tetapi juga sarat akan nilai-nilai falsafah hidup (Aizid, 2012: 15).

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada jaman pemerintah Prabu Erlangga (976-1012). Karya sastra yang menjadi bahan cerita sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia sejak abad X antara lain dalam kitab Ramayana kakawin yang merupakan gubahan dari kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya para Pujangga Jawa tidak lagi hanya menterjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuno,

(33)

namun juga mengubahnya dengan memasukan falsafah Jawa ke dalamnya (Aizid, 2012: 23-24).

Salah satu kebudayaan wayang yang sangat terkenal di Jawa Barat adalah adalah Wayang Golek. Wayang Golek kebanyakan berpakaian jubah tanpa digeraikan secara bebas dan terbuat dari kayu yang bentuknya bulat seperti layaknya boneka (Aizid, 2012: 44). Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan Wayang Golek juga biasanya memiliki lakon-lakon, baik lakon galur maupun lakon carangan. Alur cerita dapat diambil dari cerita rakyat seperti penyebaran agama Islam oleh Walangsungsang dan Rara Santang maupun dari epik yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda (wikipedia.com).

Wayang Golek biasanya diiringi gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat

kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang

dan rebab (wikipedia.com).

Sejak 1920-an, selama pertunjukan Wayang Golek diiringi oleh sinden. Dalam pertunjukan Wayang Golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para Dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik.

(34)

Beberapa Dalang Wayang Golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll (wikikipedia.com).

2.2. Kerangka Pemikiran

Wayang Golek sebagai warisan kebudayaan asli Indonesia telah dipentaskan dengan berbagai tujuan yang berbeda. Banyak lakon yang dipentaskan dengan menyinggung berbagai aspek kehidupan salah satunya adalah isu peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan pada lakon Arimbi Ngadeg Ratu. Pada lakon tersebut Arimbi sebagai seorang perempuan mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin sebuah kerajaan dalam kultur cerita yang patriarkal. Lakon ini menarik sehingga perlu ditafsirkan bagaimana sesungguhnya konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan.

Teks Lakon Arimbi Ngadeg Ratu memiliki keunikan jika dibandingkan dengan lakon-lakon lain dalam Teks Lakon Wayang Golek. Jika pada teks-teks lain menunjukan bahwa peran dan kedudukan perempuan kurang memiliki kesetaraan dengan laki-laki, teks lakon ini menunjukan hal yang berbeda. Pada lakon ini perempuan yang diwakili Tokoh Arimbi mampu berperan serta dan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki bahkan dalam bidang kepemimpinan politik. Sehingga dari teks lakon ini bisa diperoleh pemahaman bagaimana Teks Wayang Golek

(35)

mengkonstruksikan peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan.

Dalam menafsirkan konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan yang terdapat dalam Teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu tersebut akan difokuskan pada 3 hal. Pertama bagaimana konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di dalam keluarga, kedua konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di ruang publik, dan terakhir konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di dalam politik.

Dengan demikian, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini :

(36)

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

Wayang Golek

Teks Lakon Arimbi Ngadeg Ratu Karya Asep Sunandar Sunarya

Metode Analisis Hermeneutika

- Pengalaman - Sejarah - Tradisi

Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana

Kepemimpinan

- Di dalam keluarga - Di ruang publik - Dalam politik

Gambar

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1. Lingkaran Hermeneutika       Sumber : Murphy, 2003
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Metode analisis yang digunakan adalah analisis teori antrian sesuai dengan model antrian yang diterapkan pada SPBU Gajah Mada Jember yaitu Model Antrian Jalur

Teori pragmatik digunakan untuk mengidentifikasi secara pragmatis atau bertujuan untuk memahami implikasi (maksud) dari setiap tuturan berdasarkan konteks tersebut,

Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapatdigunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu

(“Manajemen sumber daya manusia adalah sistem manajemen yang telah dirancang untuk memastikan bakat SDM dapat digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai

1) Analisis perbandingan antara laporan keuangan, yaitu analisis dengan membandingkan laporan keuangan lebih dari satu periode.. 2) Analisis trend, yaitu analisis laporan

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli pada tabel diatas, definisi yang digunakan oleh penulis untuk penelitian ini merujuk kepada salah satu definisi

Penelitian kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa Indonesia dikaji menggunakan teori yang berkaitan dengan sinonim dan analisis komponen makna dari John Lyons dan

Penelitian ini menggunakan analisis Struktural Equation Modelling (SEM) dengan bantuan program AMOS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan