• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Kajian Pustaka ini dilakukan dengan penelusuran atas penelitian sebelumnya, mengenai relasi makna yang membahas relasi sinonimi yang dikemukakan oleh para peneliti pendahulu. Kajian pustaka berfungsi untuk melihat akumulasi ilmu terhadap kebaruan penelitian dan menghindari adanya penjiplakan atau pengulangan dalam penelitian ini.

Ada empat kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Keempat kajian tersebut adalah Kesinoniman Nomina Noninsani dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih tahun 2007 diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Nasional, Jakarta. Kedua, tesis yang ditulis oleh Retno Utami dengan judul Kajian Sinonim Nomina dalam Bahasa Indonesia tahun 2010 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ketiga, penelitian mengenai semantik yang dilakukan oleh Setiawati Darmojuwono dalam jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) tahun 1989 volume 2 dengan judul “Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna Kepada Persepsi Manusia” dari Universitas Indonesia. Keempat, oleh Mulyadi dalam jurnal Ilmiah MLI di tahun 2000 volume 2 dengan judul “Struktur Semantis Verba Penglihatan Dalam Bahasa Indonesia” yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Jakarta. Keempat kajian tersebut akan disajikan secara ringkas sebagai berikut.

(2)

Penelitian pertama adalah buku berjudul Kesinoniman Nomina Noninsani

dalam Bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih

(2007). Penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Nasional, Jakarta tersebut mendeskripsikan tentang kata-kata yang bersinonim nomina nonisani dalam bahasa Indonesia. Kata seperti meja, guru, kucing adalah nomina yang di dalam penelitian ini dikelompokkan sebagai pasangan sinonim dalam nomina noninsani lalu dianalisis berdasarkan taksonominya. Setelah dianalisis dengan menggunakan metode subtitusi, kata-kata yang bersinonim nomina noninsani dideskripsikan dengan komponen makna.

Penelitian kedua adalah penelitian tesis dari Retno Utami tahun 2010 dengan judul Kajian Sinonim Nomina dalam Bahasa Indonesia dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini mendeskripsikan tentang kata-kata yang bersinonim nomina dalam bahasa Indonesia serta mendeskripsikan ciri pembeda makna seperangkat nomina bahasa Indonesia.

Penelitian ketiga yaitu penelitian mengenai semantik yang pernah dilakukan oleh Setiawati Darmojuwono dalam jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) tahun 1989 volume 2 dengan judul “Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna Kepada Persepsi Manusia” dari Universitas Indonesia. Tulisan tersebut mendeskripsikan penelitian makna dengan membedakan klasifikasi semantik di bidang warna pada persepsi manusia.

Penelitian keempat, penelitian tentang semantik juga pernah dilakukan oleh Mulyadi dalam jurnal Ilmiah MLI di tahun 2000 volume 2 dengan judul “Struktur Semantis Verba Penglihatan Dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Jakarta tersebut di dalamnya

(3)

mengungkap penelitian tentang makna yang dikhususkan pada verba penglihatan, yaitu kata seperti memandang, menonton, mengamati, atau memperhatikan. Tulisan tersebut mencoba memformulasikan struktur semantis yang ada pada verba penglihatan dalam bahasa Indonesia.

Dari penelitian-penelitian terdahulu atau yang sudah ada banyak memperbandingkan dan menyajikan kata yang mengandung makna sinonim. Adanya sinonim ini dapat membedakan antara kata satu dengan kata yang lainnya sehingga tidak heran bahasa dengan banyak kosakata di dunia menjadi tempat yang luas untuk digunakan dasar sebagai penelitian bahasa. Meskipun sudah ada penelitian yang membahas mengenai sinonim, namun penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini.

Beberapa perbedaan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah (1) dalam penelitian tersebut belum ditemukan kesinoniman yang mengandung bentuk ajektiva dalam bahasa Indonesia; (2) dalam penelitian terdahulu belum ada yang menggunakan analisis komponen pada kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini akan menghasilkan bentuk-bentuk kata yang bersinonim dari ajektiva terutama mengenai ajektiva insani atau yang mengandung unsur sifat-sifat manusia di dalam bahasa Indonesia dan mendeskripsikan analisis komponen yang ada di dalamnya.

2. Landasan Teori a. Pengertian Semantik

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, sementara dalam bahasa Yunani sema (nomina) „tanda‟ atau dari verba samaino „menandai‟, „berarti‟. Istilah tersebut dalam bagian ilmu bahasa digunakan untuk

(4)

mempelajari makna (Djajasudarma, 1999:1). Semantik pada umumnya juga diartikan sebagai suatu studi tentang makna (semantics is generally defined as the

study of meaning) yang diungkapkan oleh Lyons (1977:1).

Dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah salah satu bidang kajian atau cabang linguistik yang mengkaji arti bahasa atau arti linguistik, sebagaimana dinyatakan oleh Hurford dan Hearsly (1983:1) “semantics

is the study of meaning in language” artinya, bahwa semantik mengkaji arti di

dalam bahasa.

b. Kesinoniman

Penelitian ini akan mengacu pada relasi makna khususnya relasi sinonimi. Relasi makna antarleksem di dalam sebuah bahasa itu juga bersifat internal bahasa. Maksudnya ada relasi dalam hal makna antarleksem bahasa itu sendiri. Relasi sinonimi (hal bersinonim) menurut Subroto adalah “relasi antar dua leksem atau antar dua satuan lingual lain yang bersesuaian atau berpadanan dalam hal maknanya” (Subroto, 2011:61).

Wijana dan Rohmadi (2011:20) menyatakan bahwa bentuk kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan bentuk kebahasaan yang lain. Dalam bahasa Indonesia, kata ayah bersinonim dengan bapak, papa, papi, dan babe; kata

melihat bersinonim dengan kata memandang, menonton, memeriksa, mengintip, mengintai, dsb. Kata-kata bersinonim tersebut memiliki kesamaan makna, tetapi

makna itu tidak bersifat menyeluruh. Wijana juga menambahkan bahwa menurut Bloomfield (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:21), “setiap bentuk kebahasaan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang berbeda, betapa pun kecilnya”.

(5)

Kata sinonimi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu

onoma „nama‟, dan syn „dengan‟. Sinonimi berarti „nama lain untuk benda atau

hal yang sama‟ (Chaer, 2002:82). Contoh di dalam hal sinonim seperti kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga dengan kata

buruk dengan jelek. Kata buruk bersinonim dengan kata jelek, maka kata jelek

juga bersinonim dengan kata buruk. Menurut pendapat Chaer sinonim sebagai berikut.

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Pada dasarnya dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen (kesamaannya tidak bersifat mutlak). Meskipun kecil, tentu ada perbedaaanya (Chaer, 2002:83).

Adapun Lyons mengungkapkan bahwa “Expressions with the same

meaning are synonymous. Two points should be noted about this definition. First it does not restrict the relation of synonymy to lexemes: it allows for the possibility that lexically simple expressions may have the same meaning as lexically complex expressions. Second, it makes identity, not merely similarity, of meaning the criterion of synonymy.” Ungkapan Lyons tersebut menyatakan bahwa

arti yang sama merupakan kesamaan atau hal yang biasa dinamakan sinonim. Dua poin yang dicatat dalam definisi ini yang pertama mengenai hubungan sinonim ungkapan leksikal yang sederhana memiliki kemungkinan arti yang sama dengan ungkapan leksikal yang kompleks sekalipun. Kedua, sinonim dapat digunakan

(6)

sebagai identitas, tidak hanya kesamaan tetapi juga makna kriteria sinonim (Lyons, 1995:60).

Salah satu cara untuk membuktikan kata-kata yang mengandung sinonim ajektiva insani dalam bahasa Indonesia adalah menganalisisnya dengan teknik ganti atau substitusi. Teknik ini dilakukan dengan menukarkan kata-kata yang diduga bersinonim dalam beberapa konteks. Djajasudarma (2010:71) mengatakan bahwa teknik subtitusi dan teknik pertentangan adalah cara yang dapat digunakan dalam menentukan sinonim.

Adapun Lyons (1968:450) mengungkapkan bahwa “If now the two

equivalent sentences have the same syntactic structure and different from one another only in that where one has a lexical item, x, the other has y, then x and y are synonymous” ‘bila dua kalimat memiliki struktur, makna yang sama dan hanya berbeda dalam kalimatnya dengan kata x , yang lain memiliki kata y , maka x dan y adalah sama‟. Teori dari Lyons tersebut dicontohkan oleh Dajajasudarma (2012:56-57) dalam kalimat bahasa Indonesia seperti berikut.

Amir anak pandai x

x=y Amir anak pintar

y

Kata pandai (x) dan pintar (y) disebut sinonim.

Sementara contoh dari teknik pertentangan yaitu dengan menggunakan leksem yang bertentangan, misal pada kata ringan yang bertentangan dengan kata

berat kemudian menggunakan kata enteng. Dari pertentangan tersebut

(7)

(1) Pekerjaan itu berat bagi dia. X

ringan = enteng

ringan bersinonim dengan enteng

Sinonim menurut Lyons terbagi menjadi dua kelompok yaitu near

synonymy „sinonim berdekatan‟ dan absolute synonymy „sinonim mutlak‟. Lyons

menyatakan bahwa sinonim berdekatan adalah “expressions that are more or less

similar, but not identical, in meaning“ „memiliki ekspresi sama tetapi tidak

identik dalam arti‟ sedangkan sinonim mutlak adalah “All their meanings are

identical, They are synonymous in all contexts” „yang memiliki makna identik dan

dapat menyulih dalam semua konteks. Contoh sinonim berdekatan yang dicontohkan oleh Lyons di dalam bahasa Inggris, kata ‘mist’ dengan ‘fog’ yang berarti „kabut‟; ‘stream’ dengan ‘brook’ yang berarti ‘aliran’ dengan ‘selokan’;

‘dive’ dengan ‘plunge’ yang berarti „menyelam’ dengan „terjun’ (Lyons,

1995:60-61). Sementara, Djajasudarma (2010:72) memberikan contoh di dalam bahasa Indonesia kata gadis dengan cewek yang termasuk sinonim berdekatan dan sinonim mutlak dengan kata surat kabar dengan koran.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, penelitian ini lebih berfokus pada teori Lyons tentang sinonim yang disimpulkan bahwa sinonim adalah memiliki arti yang sama. Adapun teori yang dikemukakan oleh ahli lain diperlukan sebagai pelengkap teori ini.

(8)

c. Ajektiva Insani

Kelas kata ajektiva merupakan kata sifat yang dipakai untuk mengungkapkan sifat atau keadaan orang, benda, atau binatang. Ciri ajektiva menurut Kridalaksana adalah yang ditandai oleh kemungkinan untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri morfologis, seperti -er, -if, -i, atau (5) dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an (2007:59). Ajektiva yang akan digunakan dalam peneltian ini adalah ajektiva dasar khususnya pada ajektiva insani yang menyatakan sikap. Menurut KBBI Edisi 4 hal: 538, kata

insani adalah bersifat atau menyangkut manusia. Jadi, ajektiva insani adalah kata

sifat yang menyangkut kemanusiaan sedangkan non insani adalah tidak bersifat manusia atau tidak bernyawa.

d. Metode Analisis Komponen

Analisis komponen menurut Lyons (1995:107) adalah “this involves the

analysis of the of a lexeme into its componenet parts”, yang berarti salah satu cara

yang digunakan untuk menganalisis leksem ke dalam beberapa bagian atau arti yang lebih umum. Subroto menambahkan tentang medan leksikal bahwa medan leksikal yaitu sejumlah leksem atau suatu wilayah yang di dalamnya ditempati oleh sejumlah leksem yang secara bersama memiliki komponen arti bersama, namun sejumlah leksem tersebut juga memiliki komponen arti berbeda. Ditambahkan pula kegunaan dari adanya analisis komponen makna menurut Subroto bahwa analisis komponen makna memberikan perbedaan komponen makna yang membedakan antara sejumlah kata (leksem) yang bersinonim. Sejumlah kata yang bersinonim itu tergolong sinonim yang berdekatan.

(9)

Artinya, ada komponen makna yang membedakan antar sejumlah kata yang bersinonim (Subroto, 2011:101-102).

Contoh leksem yang dianalisis yang diberikan oleh Lyons (1995:108) adalah menggunakan komponen makna dengan kata “boy”, “man”, “girl”, “woman” semua istilah tersebut menunjukkan “human” atau yang berarti manusia. Dalam fitur-fitur semantik benda yang bernyawa seperti manusia tersebut disebut insani dan yang bukan manusia disebut noninsani. Dari contoh empat kata di atas dapat ditemukan dengan hasil sebagai berikut.

(1) Man = human x male x adult

(2) Woman= human x female x adult

(3) Boy= human x male x non-adult

(4) Girl= human x female x non-adult

Artinya kata “man” yang berarti “pria” memiliki komponen makna: manusia, laki-laki, dewasa; sementara untuk kata “boy” untuk “anak laki-laki” memiliki komponen makna: manusia, laki-laki, non-dewasa. Kata “woman” yang berarti “wanita” memiliki komponen makna: manusia, perempuan, dewasa; sementara kata “girl” yang berarti “gadis” memiliki komponen makna: manusia, perempuan, non-dewasa.

Hal ini sama dicontohkan oleh Subroto di dalam kata bahasa Indonesia, misalnya: laki-laki, pria, jantan. Ketiga kata yang pertama dapat dipisahkan menjadi kelompok laki-laki, pria X jantan. Kata “jantan” biasa dipakai untuk dunia binatang dan bunga; sedangkan kelompok laki-laki, pria dipakai untuk manusia. Selanjutnya yang membedakan antara laki-laki dengan pria adalah kata

(10)

“pria” memiliki komponen makna (+dewasa), sedangkan “laki-laki” memiliki komponen makna (+/- dewasa) (Subroto, 2011:101). Sebuah komponen makna juga memerlukan notasi semantik dalam menganalisis untuk menandai nilai semantik setiap komponen makna dalam analisis.

Notasi semantik itu di antaranya: a) (+) yang menandai bahwa komponen itu ada dan berfungsi membentuk leksem-leksem dalam suatu medan; b) (-) yang menunjukkan bahwa komponen itu tidak ada atau tidak berfungsi; c) (+/-) yang menandai komponen itu dapat ada atau berfungsi dapat pula tidak ada; d) (o) yang menandai komponen itu tidak berfungsi pada tataran sistem namun barangkali berfungsi pada tataran ujaran; e) (*) menandai adanya penolakan komponen itu baik pada tataran sistem maupun pada tataran ujaran (Subroto, 2011:106).

Menurut pendapat Soedjito (1989:7) bahwa nuansa perbedaan makna kata pasangan sinonim dapat berhubungan dengan adanya ragam bahasa, nilai rasa, kolokial, makna dasar dan makna tambahan, dan distribusi kata. Adapun Chaer (2003:298) menyatakan bahwa ketidaksamaan makna kata-kata yang bersinonim terjadi karena beberapa faktor, yaitu (1) faktor waktu; (2) faktor tempat atau wilayah; (3) faktor keformalan; (4) faktor sosial; (5) faktor bidang kegiatan; dan (6) faktor nuansa makna. Artinya, makna kata yang termasuk pasangan sinonim dapat dianalisis paling tidak harus didasarkan pada berbagai komponen pembeda makna tersebut. Komponen makna yang setidak-tidaknya terdapat dalam tiap pasangan sinonim adalah ragam bahasa, nilai rasa, dan tingkat sosial. Komponen makna dalam tiap pasangan sinonim juga dapat dikembangkan secara terbuka. Artinya, komponen makna itu dapat ditambah atau diperluas menurut kebutuhan analisis sehingga relasi kesinoniman antara anggota tiap pasangan sinonim menjadi jelas.

(11)

Penelitian ini menggunakan beberapa komponen makna untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dalam pasangan ajektiva insani yang bersinonim, di antaranya ragam bahasa, nilai rasa, tingkat sosial. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa komponen makna dalam tiap pasangan sinonim dapat dikembangkan secara terbuka. Artinya, komponen makna itu dapat ditambah atau diperluas menurut kebutuhan analisis sehingga relasi kesinoniman antara anggota tiap pasangan sinonim menjadi jelas. Berikut perbedaan yang akan digunakan dalam menganalisis kata yang bersinonim.

1. Ragam bahasa

Menurut Chaer dan Agustina (1992: 92-94) ragam bahasa terbagi menjadi dua macam, yaitu ragam formal dan nonformal. Ragam bahasa formal menghendaki pemakaian bentuk bahasa yang formal, sedangkan ragam bahasa nonformal membiarkan terjadinya pemakaian bentuk bahasa yang nonformal. Contoh ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal, seperti pidato, diskusi, dan seminar. Pemakaian di luar situasi formal yang digunakan adalah bahasa Indonesia ragam nonformal, misalnya percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Wijana memberikan contoh kata seperti kata bapak, dan ayah lebih formal bila dibandingkan dengan papa (Wijana dan Rohmadi, 2011:20).

2. Nilai Rasa

Kata-kata yang bersinonim dapat dilihat dengan komponen pembeda berdasarkan nilai rasa. Nilai rasa yang berbeda menyebabkan munculnya perbedaan perasaan pemakaian bahasa yang dapat diwujudkan dengan memilih kata-kata tertentu yang bermakna lebih halus. Ullmann (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:23) menyatakan bahwa perbedaan kata yang bersinonim dapat

(12)

dilihat dengan makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih intensif dibandingkan pasangan lainnya.

Contoh kata menatap lebih intensif maknanya bila dibandingkan dengan

melihat. Kata gemar lebih intensif daripada kata suka atau senang. Kata sulit lebih

intensif bila dibandingkan dengan sukar.

Dalam menentukan komponen makna suatu kata, diperlukan kalimat pembeda atau kalimat diagnotis yang dinyatakan oleh Lyons (1991:268). Kalimat pembeda digunakan untuk mengukur suatu komponen makna kata yang kemudian akan telihat di dalam sebuah kalimat kata tersebut berterima atau tidak berterima. misal kata sekejap dan sejenak yang dicontohkan oleh Alwi, dkk (2003: 31) dalam kalimat berikut.

(1) Coba perhatikan sejenak lukisan itu. *sekejap

Kalimat yang menggunakan kata sejenak di atas berterima, sedangkan kalimat dengan kata sekejap yang menggunakan tanda asteris (*) tidak berterima. kata sejenak di sini lebih luas pemakaiannya atau lebih intensif daripada kata

sekejap.

Makna intensif dalam kelas kata ajektiva yang akan diteliti dalam pembahasan ini akan dikaitkan dengan makna „paling‟. Kridalaksana (2009:61) memberikan contoh kata dasar dari ajektiva dengan menggunakan tambahan prefiks ter- yang bermakna „sangat, paling‟ dalam kalimat berikut: Tuti adalah

murid tercantik di kelas kami. Adapun untuk kalimat, Tuti adalah murid *terjelita di kelas kami tidak ada.

(13)

3.Tingkat sosial

Pemakaian kata-kata yang bersinonim dalam ajektiva dikaitkan dengan tingkat sosial akan menjelaskan seberapa umum kata sifat itu digunakan baik dari tingkat sosial seseorang yang berstatus tinggi maupun rendah. Tingkat sosial yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada pemakaian kata-kata yang lebih umum dan tidak umum digunakan. Ullmann (dalam Wijana dan Rohmadi, 2011:23) menyatakan perbedaan kata yang bersinonim dengan contoh, kata

memasak maknanya lebih umum daripada kata mengukus, menggoreng, merebus, menumis, membakar, memanggang, menyangrai, menggodok, dsb. Kata melihat

maknanya lebih umum dibandingkan dengan menatap, melirik, mengerling,

menengok, membesuk, mengintip, mengintai, dsb.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menggunakan analisis komponen makna dari Lyons. Adapun teori yang dikemukakan oleh ahli lain diperlukan sebagai pelengkap teori ini. Wijana dan Rohmadi (2011:22) menambahkan contoh dalam analisis komponen makna kata ayah, bapak, dan papa. Ketiga kata ini dapat saling menggantikan dalam konteks (1a), (1b), dan (1c), tetapi tidak dapat berperilaku serupa dalam (2a), (2b), (2c).

a.Ayah

(1) b.Bapak kemarin saya membeli mobil baru c.Papa

(2) a. *Ayah-ayah

b.Bapak-bapak sekalian acara rapat c.*Papa-papa akan dimulai untuk itu

sebelumnya kita berdoa menurut kepercayaan kita masing-masing agar pertemuan kita ini mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa.

(14)

Dari (1) dan (2) di atas dapat disimpulkan bahwa bapak memiliki komponen makna yang lebih luas dari kata ayah dan papa. Kata bapak mengacu kepada „orang laki-laki yang memiliki hubungan darah atau tidak memiliki hubungan darah‟, digunakan dalam situasi formal atau tidak formal, berstatus sosial tinggi maupun rendah. Adapun kata ayah digunakan dalam situasi formal dan tidak formal tetapi hanya mengacu kepada „lelaki yang memiliki hubungan darah, berstatus sosial tinggi maupun rendah. Kata papa mengacu kapada orang laki-laki yang memiliki hubungan darah dalam situasi tidak formal, dan memiliki status sosial tinggi. Adapun perbedaan komponen makna bapak, ayah dan papa dapat digambarkan sebagai berikut. Tanda (+) (-) secara berturut-turut melambangkan komponen yang dimiliki dan tak dimiliki oleh kata bersangkutan.

Komponen makna bapak, ayah, dan papa

Makna Hubungan darah Situasi Situasi sosial Bentuk Ada Tidak ada Forma

l

Tidak formal Tinggi Rendah

Bapak + + + + + +

Ayah + _ + + + +

Papa + - - + + -

Sumber: Wijana dan Rohmadi, 2011:23

B. Kerangka Pikir

Deskripsi penelitian skripsi yang berjudul Kesinoniman Ajektiva Insani

dalam Bahasa Indonesia dapat dituangkan ke dalam kerangka pikir sebagai

berikut.

1. Pada tahap awal peneliti menentukan latar belakang masalah dan rumusan masalah. Kesinoniman merupakan hal yang umum dan lebih mudah ditemukan di kalangan masyarakat di dalam berbahasa kehidupan

(15)

sehari-hari sehingga banyak muncul persamaan di antara leksem yang satu dengan leksem lain. Masalah yang dibatasi di dalam penelitian ini adalah kesinoniman yang berkaitan dengan kata-kata yang mengandung ajektiva insani di dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini akan memunculkan bentuk kata-kata yang bersinonim ajektiva insani dan komponen maknanya.

2. Tahap kedua adalah menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisis data tersebut. Penelitian kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa Indonesia dikaji menggunakan teori yang berkaitan dengan sinonim dan analisis komponen makna dari John Lyons dan teori dari ahli lain untuk melengkapi.

3. Tahap ketiga, peneliti menentukan metode dan teknik analisis data. Metode yang digunakan di dalam peneitian ini adalah metode distribusional dengan teknik analisis data yaitu menggunakan teknik subtitusi dan teknik pertentangan oleh Fatimah Djajasudarma, yang digunakan untuk menganalisis data mengenai kata kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa Indonesia.

4. Tahap keempat, analisis data kata-kata yang bersinonim ajektiva insani dalam bahasa Indonesia yang dikelompokan menjadi dua, yakni leksem tidak baik atau buruk dan leksem baik kemudian ditentukan pasangan sinonimnya. Setelah itu menggunakan analisis komponen makna untuk menentukan perbedaannya.

5. Tahap akhir, yakni peneliti menyimpulkan jawaban-jawaban dari data berdasarkan analisis pada kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa

(16)

Indonesia.

Berikut disajikan bagan kerangka pikir.

Bagan 1: Bagan Kerangka Pikir

Latar Belakang Masalah Kesinoniman merupakan hal yang umum dan mudah ditemukan di dalam

berbahasa kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul persamaan di

antara leksem yang satu dengan leksem lain. Dalam peneltian ini akan

memunculkan bentuk kata-kata yang bersinonim ajektiva insani dan

komponen maknanya. Kesinoniman Ajektiva Insani dalam

Bahasa Indonesia

Teori yang berkaitan dengan sinonim dan analisis komponen makna dari John Lyons dan teori ahli lain yang melengkapi. Teknik

analisis data yakni teknik subtitusi dan teknik pertentangan dari Fatimah

Djajasudarma Bentuk kata-kata kesinoniman ajektiva insani Analisis komponen makna kesinoniman ajektiva insani Simpulan

Referensi

Dokumen terkait

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Pengembangan media pembelajaran papan analisis

Gejala fotolistrik menjelaskan bahwa cahaya dapat memiliki sifat sebagai partikel dan gelombang elektromagnetik (dualisme cahaya) yang tidak dapat terjadi secara bersamaan...

Pada tahun 2013, indikator sasaran yang ditetapkan untuk sasaran tersebut di atas adalah jumlah pegawai yang mendapatkan, bantuan biaya pindah bagi pegawai diberikan

Metode tidak langsung, dengan metode ini laba atau rugi bersih disesuaikan dengan mengoreksi pengaruh dari transaksi bukan kas, penangguhan (deferral) atau akrual

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Pembinaan Khusus bagi Warga Binaan yang Terindikasi Gangguan Jiwa Hakikatnya Warga Binaan adalah sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi

Kawasan Konservasi Perairan (KKP) atau Marine Protected Area (MPA) adalah wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan

Massa Cabai Perwakktu pada Suhu 400C Grafik menunjukkan pengeringan dengan suhu 40°C hingga cabai dinyatakan kering dengan penurunan massa cabai kurang lebih seperempat