• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN MUSCLE ACTIVATION PADA OTOT TIBIALIS ANTERIOR DAN TRICEPS SURAE SAAT STANCE PHASE PADA KONDISI FLAT FOOT DAN NORMAL FOOT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN MUSCLE ACTIVATION PADA OTOT TIBIALIS ANTERIOR DAN TRICEPS SURAE SAAT STANCE PHASE PADA KONDISI FLAT FOOT DAN NORMAL FOOT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN MUSCLE ACTIVATION PADA OTOT TIBIALIS ANTERIOR DAN TRICEPS SURAE SAAT STANCE PHASE PADA KONDISI FLAT

FOOT DAN NORMAL FOOT

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Program Studi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

ADI PRATAMA J120 130 012

PROGAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Perbedaan Muscle Activation pada Otot Tibialis Anterior daLn Triceps Surae saat Stance Phase pada kondisi Flat Foot da,n Normol Foot

Dosen Pembimbing

(3)

IIALAMAN PENGESAHAN

Perbedaan Muscle Activotion pade Otot Tibialis Anterior ilaln Triceps Surae saat Stance Phase pada kondisi Flat Foot dtn Normal Foot

tui

(Ketua 2. Yulisna

(Anggota I Dewan Penguji)

3.

Agus Widodo, S.Fis., M.Fis

(Anggota II Dewan Penguji)

,5,

(4)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

(5)

1

PERBEDAAN MUSCLE ACTIVATION PADA OTOT TIBIALIS ANTERIOR DAN TRICEPS SURAE SAAT STANCE PHASE PADA KONDISI FLAT

FOOT DIBANDINGKAN DENGAN NORMAL FOOT

ABSTRAK

Latar Belakang: Gangguan yang akan terjadi oleh seseorang yang mengalami flat foot akan menimbulkan berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah mudah lelah. Namun keterbatasan assessment terhadap penderita flat foot membuat intervensi yang diberikan hanya bersifat penanganan symptomatis. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian muscle activation pada kondisi flat foot.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terdapat perbedaan muscle activation pada otot tibialis anterior dan triceps surae saat stance phase dalam kondisi flat foot dengan normal foot.

Metode: Penelitian observasional dengan cara pengambilan data cross sectional. Data yang dikumpulkan dianalisa menggunakan kolmogorof spinov dan mann-whitney test.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan perbedaan muscle activation otot tibialis anterior terhadap flat foot dengan normal foot (p = 0,001), muscle activation otot gastrocnemius medial terhadap flat foot dengan normal foot (p = 0,007), muscle activation otot gastrocnemius lateral terhadap flat foot dengan normal foot (p = 0,185), muscle activation otot soleus terhadap flat foot dengan normal foot (p = 0,003).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan muscle activation otot tibialis anterior, gastrocnemius medial, dan soleus saat stance phase dalam kondisi flat foot dengan normal foot. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada muscle activation otot gastrocnemius lateral.

Kata Kunci: muscle activation, flat foot crossed syndrome ,hyperactivity,

hipoactivity, flat foot, normal foot.

ABSTRACT

Background: Many problem will occur on flat foot condition. One of is fatigue. However limitations assessment on flat foot condition making intervention provided just be syptomatis. It makes researchers interested to conduct research about muscle activation on flat foot condition.

Objective: The aim of this study is to know differences on muscle activation of tibialis anterior muscle and triceps surae while stance phase in condition flat foot against normal foot.

Methods: An observasional study with cross sectional. Data was collected and analyzed with kolmogorof spinov and mann-whitney test.

(6)

2

Results: The Results showed differences on muscle activation of tibialis anterior muscle in condition flat foot against normal foot (p = 0,001), muscle activation of gastrocnemius medial muscle in condition flat foot against normal foot (p = 0,007), muscle activation of gastrocnemius lateral muscle in condition flat foot against normal foot (p = 0,185), muscle activation of soleus muscle in condition flat foot against normal foot (p = 0,003).

Conclusion: There is a difference on muscle activation of tibialis anterior muscle, gastrocnemius medial and soleus while stance phase in condition flat foot against normal foot. But there isn’t difference on muscle activation of gastrocnemius lateral.

Keywords: muscle activation, flat foot crossed syndrome, hyperactivity, hipoactivity, flat foot, normal foot.

1. PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal ini tertuang dalam Al–Qur’an di Surah At-Tin ayat 4 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Manusia terlahir dengan dibekali empat ektremitas yaitu dua ektremitas atas yang terdiri dari tangan kanan dan kiri serta dua ektremitas bawah yang terdiri dari kaki kanan dan kiri. Kombinasi dari gerakan ektremitas tersebut membuat seseorang dapat melakukan salah satu aktivitas dasar manusia yaitu berjalan.

Menurut Whittle (2007), siklus berjalan (gait cycle) merupakan suatu rangkaian fungsional dengan adanya gerakan pada satu anggota badan (extremitas inferior). Hal ini berlangsung sejak kaki kanan menginjak lantai hingga kaki kanan menginjak lantai kembali. Siklus berjalan (gait cycle) terdiri dari dua fase yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing phase). Stance phase mencakup 60% dari gait cycle sedangkan swing phase mencakup40% dari gait cycle (Lippert, 2006).

Secara umum stance phase terbagi menjadi 5 komponen: initial contact, opposite toe off, heel rise, opposite initial contact dan toe-off. Fase initial contact ke opposite toe off disebut loading response, fase opposite toe off ke heel rise disebut midsatnce, fase heel rise ke opposite initial contact disebut terminal stance, dan fase opposite initial contact ke toe off disebut pre swing (Whittle, 2007)

(7)

3

Initial contact merupakan sikap awal dari stance phase dimana tumit menyentuh lantai. Pada posisi ini, ankle berada pada posisi netral antara dorsal fleksi dan plantar fleksi. Otot-otot dorsal fleksor aktif dalam posisi netral ankle (Dicharry, 2010).

Opposite toe off merupakan posisi dimana seluruh permukaan kaki menyentuh lantai dan terjadi setelah gerakan heel strike. Ankle bergerak 15º plantar fleksi dengan otot tibialis anterior berkontraksi secara eksentrik untuk menjaga gerakan kaki tetap stabil. Knee bergerak 20º ke arah fleksi. Hip bergerak ke arah ekstensi yang memungkinkan seluruh tubuh untuk memulai pergerakan pada kaki. Peralihan tumpuan berat badan ke bagian kaki akan terus berlangsung pada fase ini. (Mickelborough et al., 2004).

Titik di mana tubuh melewati kaki pada posisi weight bearing disebut heel rise. Pada fase ini, ankle bergerak sedikit ke arah dorsal fleksi. Namun, otot tibialis anterior menjadi tidak aktif berkontraksi. Triceps surae mulai berkontraksi, mengontrol pergerakan kaki bergerak ke arah ankle (Kharb, 2011).

Fase selanjutnya adalah opposite initial contact. Pada fase ini posisi tumit melayang, tidak menyentuh lantai. Ankle akan melakukan sedikit gerakan dorsal fleksi kemudian mulai bergerak ke arah plantar fleksi. Fase ini termasuk fase awal dari fase pre swing, dimana gerakan pada otot-otot plantar fleksi bergerak secara aktif mendorong tubuh ke arah depan (Lippert, 2011).

Akhir dari fase pre swing adalah fase toe off. Jari-jari kaki bergerak ke arah hiperekstensi pada metaphalangeal joints. Ankle bergerak 10º ke arah plantar fleksi kemudian knee dan hip bergerak ke arah fleksi. Fase toe off menandakan akhir dari fase stance dan awal dari fase swing phase (Whittle, 2007).

Kaki bertanggung jawab penuh pada aktivitas berjalan. Pada kaki terdapat komponen penting yang disebut arkus kaki. Arkus kaki terbentuk oleh beberapa unsur penyusun yaitu tulang, sendi, ligamen dan otot. Arkus kaki berperan penting mendukung aktivitas berdiri, berjalan, melompat dan berlari. Untuk mendukung aktivitas tersebut arkus kaki harus terbentuk dalam keadaan baik. Kelainan pada arkus kaki salah satunya adalah flat foot. Penelitian yang

(8)

4

dilakukan terhadap 940 siswa sekolah dengan umur 3 – 10 tahun di Colombia ditemukan sebanyak 60% mengalami flat foot (Enrrique et al., 2012). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Bhoir et al. (2014), terhadap 80 mahasiswa fisioterapi dengan umur antara 18 – 25 tahun di India ditemukan sebanyak 11.25% mengalami flat foot. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita serta tidak terdapat korelasi antara indeks massa tubuh dengan arch index. Sedangkan berdasarkan studi pendahuluan yang telah saya lakukan pada mahasiswa Fisioterapi semester 1, 3 dan 5 di Universitas Muhammadiyah Surakarta terdapat 20 mahasiswa yang mengalami flat foot.

Menurut Ridjal (2016), kolaps yang terjadi pada arkus longitudinal medial kaki pada flat foot mengakibatkan kaki hiperpronasi sehingga berat badan ditransfer ke depan selama berjalan kaki. Kolaps pada arkus longitudinal medial kaki juga dapat meregangkan ligamen dan plantar fascia yang dapat mengakibatkan plantar fasciitis. Kedua hal ini akan mempengaruhi aktivasi otot tungkai.

Pemeriksaan aktivasi otot dapat menggunakan surface electromyography (SEMG). SEMG merupakan suatu alat biomekanik yang dapat membandingkan aktivasi otot saat terjadi kontraksi (Standifird et al., 2010). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Murley et al. (2009), menunjukan adanya hyperactivity pada otot tibialis anterior saat stance phase dengan menggunakan surface electromyography (SEMG) pada kondisi flat foot yang dibandingkan dengan normal foot.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu adakah perbedaan muscle activation pada otot tibialis anterior dan triceps surae saat stance phase pada kondisi flat foot dibandingkan dengan normal foot? Dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan muscle activation pada otot tibialis anterior dan triceps surae saat stance phase dalam kondisi flat foot dibandingkan dengan normal foot.

(9)

5

2. METODE

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah observasional dengan metode cross sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini memilih sampel dengan dengan menggunakan quota sampling sebanyak 40 responden yang dibagi menjadi 20 responden flat foot dan 20 responden normal foot. Responden terdiri dari mahasiswa fisioterapi semester 1, 3, 5, dan 7 di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Muscle activation akan diperiksa menggunakan surface electromyography (SEMG), responden akan diminta berjalan diatas treadmill dengan kecepatan 1.5 m/s, incline 0° selama ± 3 menit dan dengan melalui software MR 3.10 Noraxon aktivasi otot akan direkam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Uji Normalitas

Uji Normalitas dilakukan pada sampel penelitian menggunakan Uji Kolmogrov Smirnov. Data dikatakan normal jikai nilai sig > 0.05. Dari penelitian ini didapatkan hasil sig otot tibialis anterior sebesar 0.2 berarti data berdistribusi normal, otot gastrocnemius medial sebesar 0.004 berarti data berdistribusi tidak normal, otot gastrocnemius lateral sebesar 0.002 berarti data berdistribusi tidak normal, otot soleus sebesar 0.013 berarti data berdistribusi tidak normal. Dari hasil uji normalitas data diatas, maka dapat disimpulkan data berdistribusi tidak normal.

3.2Uji Beda

Peneliti menggunakan uji beda Mann Whitney untuk menganalisa apakah ada perbedaan antar variable. Uji Mann Whitney digunakan karena data berdistribusi tidak normal. Hipotesis diterima jika hasil ρ value (sig) < 0.05. Dari penelitian ini didapatkan nilai ρ value (sig) dari tibialis anterior sebesar 0.001, gastrocnemius medial sebesar 0.007, gastrocnemius lateral sebesar 0.185, dan soleus sebesar 0.003. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan hipotesis diterima pada muscle activation otot tibialis anterior, gastrocnemius medial, dan soleus. Namun hipotesis di tolak pada otot gastrocnemius lateral.

(10)

6 3.3Pembahasan

Kolapsnya arkus longitudinal medial akibat penurunan fungsi dari spring ligament complex akan menyebabkan perubahan biomekanik saat berjalan khususnya pada saat stance phase. Perubahan kinematik yang terjadi berupa overpronation pada ankle, internal rotation pada tibia, inwards pada knee yang akan menyebabkan genu valgum serta akan terjadi anterior pelvic tilt yang akan menyebabkan tightness otot erector spine (Benedetti et al., 2011). Pada kondisi normal foot saat fase opposite toe off, ankle akan pronasi dan berubah menjadi supinasi sampai fase opposite initial contact. Namun pada kondisi flat foot akan terjadi overpronation pada ankle yang tidak diikuti perubahan kearah supinasi (Karandagh et al., 2015).

Perubahan kinematik tersebut akan berdampak langsung terhadap muscle activation pada ankle. Kumpulan otot invertor seperti tibialis anterior, extensor hallucis longus, tibialis posterior, flexor hallucis longus, dan flexor digitorum longus akan mengalami hyperactivity saat stance phase. Namun sebaliknya kumpulan otot yang berlawanan seperti triceps surae, peroneus brevis, peroneus tertius, peroneus longus dan extensor digitorum longus akan mengalami hipoactivity (Hunt et al., 2004 ; Lee et al., 2009 ; Karandagh et al., 2015). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil studi sebelumnya, peneliti melakukan analisa bahwa kondisi flat foot akan mengalami muscle imbalance yang peneliti sebut dengan istilah flat foot crossed syndrome yaitu suatu sindroma terjadinya ketidakseimbangan otot pada kumpulan otot agonis dengan antagonis karena perubahan kinematik yang terjadi pada flat foot.

Hasil analisa data terkait perbedaan muscle activation otot tibialis anterior, gastrocnemius lateral, dan soleus saat stance phase pada kondisi flat foot dengan normal foot didapatkan hasil yang signifikan, yaitu terjadi peningkatan muscle activation otot tibialis anterior pada kondisi flat foot dibandingkan dengan normal foot. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan Murley et al. (2009) pada 30 responden yang mengalami flat foot

(11)

7

dibandingkan dengan 30 responden normal foot disimpulkan bahwa terjadi peningkatan muscle activation otot tibialis anterior saat stance phase pada flat foot. Namun sebaliknya terjadi penurunan muscle activation otot gastrocnemius lateral dan soleus pada kondisi flat foot dibandingkan dengan normal foot.

Penjelasan yang lebih lanjut mengenai penyebab terjadinya peningkatan muscle activation otot tibialias anterior yaitu karena selama stance phase, otot tibialis anterior berfungsi dalam mengurangi pergerakan plantar flexion, stabilisasi aktif dari ankle joint dan menahan gerakan overpronation pada flat foot akibat kolapsnya arkus longitudinal medial (Portinaro et al., 2014). Peningkatan muscle activation ini akan menyebabkan penurunan efisiensi kinerja otot saat berjalan yang seharusnya tidak mengalami kenaikan dan apabila tidak ditangani dalam waktu yang lama akan menyebabkan muscle tightness.

Namun di sisi lain, pada otot antagonis yaitu gastrocnemius medialis dan soleus terjadi penurunan muscle activation dalam kondisi flat foot terhadap normal foot. Berdasarkan biomekanik, otot agonis akan kontraksi secara konsentrik untuk menghasilkan suatu gerakan dan sebaliknya otot antagonis akan kontraksi secara eksentrik bertujuan untuk mengurangi kecepatan dan pada dasarnya untuk melindungi sendi yang terlibat (Croisier, 2004). Sehingga hal ini selaras dengan teori muscle imbalance, apabila salah satu otot (agonis) mengalami hyperactivity maka otot yang lainnya (antagonis) akan mengalami hipoactivity (Lopata, 2014). Hipoactivity pada otot gastrocnemius medial dan soleus ini akan berdampak pada otot itu sendiri yaitu muscle fatigue. Muscle fatigue merupakan suatu gejala dimana terjadinya penurunan kekuatan otot setelah melakukan aktivitas fungsional.

Muscle activation otot gastrocnemius lateral tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan terhadap kelompok normal foot dibandingkan dengan kelompok flat foot. Hal ini terjadi karena perubahan foot posture yang terjadi pada flat foot tidak terlalu berpengaruh terhadap muscle activation yang terjadi saat stance phase (Twomey at al., 2012). Disisi lain

(12)

8

kinerja otot gastrocnemius lateral saat fase opposite toe off sampai fase opposite initial contact lebih ringan dari pada kedua otot yang lain seperti otot gastrocnemius medial dan soleus.

3.4Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak terdapatnya myovideo dan myopressure untuk dapat melakukan diagnosa serta gait analysis secara mendalam.

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

1. Adanya perbedaan muscle activation otot tibialis anterior, gastrocnemius medial, dan soleus saat stance phase pada kondisi flat foot dibandingkandengan normal foot.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap muscle activation otot gastrocnemius lateral saat stance phase pada kondisi flat foot dibandingkan dengan normal foot.

3. Adanya peningkatan muscle activation otot tibialis anterior saat stance phase pada kondisi flat foot.

4. Adanya penurunan muscle activation otot gastrocnemius medial dan soleus saat stance phase pada kondisi flat foot.

4.2 Saran

1. Berdasarkan dari hasil dari penelitian ini praktisi fisioterapi dapat melakukan penanganan pada flat foot berdasarkan muscle imbalance yang terjadi.

2. Selanjutnya dapat mengembangkan lebih lanjut hubungan muscle activation antara stance phase dengan swing phase.

(13)

9 DAFTAR PUSTAKA

Benedetti, M., Ceccarelli, F., Berti, L., Luciani, D., Catani, F., & Boschi, M. 2011. Diagnosis of Flexible Flatfoot in Children: a Systematic Clinical Approach. Orthopedics. 34(2) 94.

Croisier, J. 2004. Muscular Imbalance and Acute Lower Extremity Muscle Injuries in Sport. International SportMed Journal. vol. 5no. 3.

Hunt, E., & Smith, M. 2004. Mechanics and Control of the Flat versus Normal Foot during the Stance Phase of Walking. Clinical Biomechanics, 19; 391– 397.

Karandagh, M., Balochi, R., & Soheily S. 2015. Comparision of Kinematic Gait Parameters in the 16-18 Years Old Male Students with the Flat and Normal Foot. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences, vol. 5.

Lee, M., Vanore, J., Thomas, L., Catanzariti, R., Kogler, G., Kravitz, R., Miller, J., & Gassen, S. 2004. Diagnosis and Treatment of Adult Flatfoot. The Journal Of Foot & Ankle Surgery, vol. 44, no. 2.

Lopata, P. 2014. The Impact of Compensation Exercises on the Muscle Imbalance at 15-Year-Old Students. Jana Długosza w Częstochowie, no. 13.

Murley, G., Menz, H., & Landorf, K. 2009. Foot Posture Influences the Electromyographic Activity of Selected Lower Limb Muscles During Gait. Journal of Foot and Ankle Research.

Portinaro, N., Leardini, A., Panou, A., Monzani, V & Caravaggi, P. 2014. Modifying the Rizzoli Foot Model to Improve the Diagnosis of Pes-Planus:

(14)

10

Application to Kinematics of Feet in Teenagers. Journal of Foot and Ankle Research, 7:57.

Ridjal, I. 2016. Perbandingan Kekuatan Otot Tungkai Antara Normal Foot Dan Flat Foot Pada Atlet Basket. Skripsi. Program Studi Fisioterapi. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Standifird, T., Mitchell, U., Hunter, I.., Johnson, W., & Ridge, S. 2010. Lower Extremity Muscle Activation During Barefoot, Minimalist And Shod Running. USA.

Twomey, D & Mclntosh, A. 2012.The Effect of Low Arched Feet on Lower Limb Gait Kinematics in Children. The international journal of clinical foot science foot journal.

Referensi

Dokumen terkait

LSF dapat meningkatkan rasa dan menurunkan bau amis telur dan mampu memodifikasi kadar protein, lemak, kolesterol dan kadar karoten kuning telur dan komposisi asam amino lisin dan

Menurut Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992, upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas, beban, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara

desain rumah minimalis tampak depan type 36 contoh gambar rumah minimalis tampak depan contoh foto rumah minimalis tampak depan gambar desain rumah minimalis tampak depan

Pembuktian kualifikasi dilakukan dengan cara melihat dokumen asli atau rekaman (copynya) yang sudah dilegalisir oleh pihak yang berwenang dan meminta rekamannya

Konversi data merupakan suatu cara untuk mengganti/ merubah/ mengonversi suatu data yang bertipe data tertentu ke jenis tipe data lain, misalnya data string akan diproses sebagai

bahwa sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasai 3 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2OO5 tentang Pedoman Penyrsunan dan Penerapan Standar Pelayanan

[r]

Materi yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan keluarga dan berkaitan dengan kualitas lingkungan diantaranya adalah air (berkaitan dengan ketersediaan air