• Tidak ada hasil yang ditemukan

perdarahan gusi pada pasien ALL (acute lymphoblastic leukemia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "perdarahan gusi pada pasien ALL (acute lymphoblastic leukemia)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS MAYOR

PERDARAHAN GUSI PADA PASIEN ALL (ACUTE LYMPHOCYTIC LEUKEMIA)

Oleh: Ayun (16011007) Fath (16011007) Khom (16011209) Pembimbing: Elizabeth Fitriana, drg., Sp. PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG 2011

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Leukemia adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan kelenjar getah bening, dimana sumsum tulang menghasilkan sel-sel darah putih abnormal yang akhirnya mendesak sel-sel lain. Leukemia dapat menyebabkan berbagai manifestasi oral.

Dokter gigi banyak yang dilibatkan dalam penanganan kasus leukemia karena manifestasi oral nya sering terjadi dan dapat memicu kematian. Pada kasus ini keluhan utama pasien adalah perdarahan pada gusi. Dokter gigi sebagai klinisi harus dapat mendeteksi manifestasi oral pada pasien leukemia, karena dokter gigi mungkin menjadi klinis pertama yang menemukan kecenderungan ke arah penyakit leukemia. Rencana perawatan dapat diterapkan dengan baik bila dokter gigi mengerti mengenai manifestasi oral leukemia ini.

(3)

BAB II LAPORAN KASUS

1.1 LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2011

No. Medrek : 0001126xxx

Nama Lengkap : Ny. S.

Umur : 32 Tahun 3 Bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat: Kampung Kedung Gede XXX

Masuk RSHS : 25 April 2011

1.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Perdarahan Gusi Anamnesa khusus :

 Sejak 1 minggu SMRS,pasien mengeluh timbul perdarahan gusi yang dirasakan terus menerus. Timbul bentol-bentol merah di seluruh tubuh. Paien juga mengeluh BAB hitam, seperti aspal, tidak ada muntah hitam. BAB hitam dirasakan setiap hari sekali sehari. Keluhan BAB hitam dan perdarahan gusi baru pertama kali dirasakan pasien. Tidak ada riwayat minum jamu atau obat pegal linu.

1.3 RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU  Tidak ada riwayat hipertensi atau DM.

(4)

Tidak ada riwayat kelainan darah dalam keluarga. * Jawaban konsul neurologi: perdarahan retina 1.5 PEMERIKSAAN FISIK A. Tanda Vital Kesadaran : CM Tekanan darah : 110/80 mm Hg Nadi : 108x / menit Pernafasan : 22x / menit Suhu : 36 0 C Gizi : cukup

Kepala : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, perdarahan gusi (+), papil lidah tak atrofi.

Leher : JVP 5+0 cm H2O, KGB colli tak teraba.

Thorax : Bentuk dan gerak simetris, BPH ICS (intercostal space ) V kanan, peranjakan 2 cm.

COR : Ictus cordis tak terlihat, teraba, di ICS V LMCS, batas kanan line sternalis dekstra, atas ICS III, kiri linea midklavikularis sinistra. Bunyi jantung S1 S2 normal, S3 (-), S4 (-), murmur (-).

Pulmo : Vokal fremitus kanan=kiri, vokal resonan kanan=kiri, VBS kanan=kiri, Rhonki -/-, wheezing -/-.

Abdomen : Datar, lembut, hepar lien tidak teraba, ruang traube kosong. Ekstremitas : Edema -/-, Akral hangat +/-, Purpura (+).

B. Pemeriksaan Lanjutan - Periksa BM

(5)

B. PEMERIKSAAN INTRA ORAL

Kebersihan Mulut : baik/sedang/buruk plak +/- at all regio

Kalkulus +/- RA dan RB stain +/- at all regio Gingiva : Pucat. Titik perdarahan di interdental

Mukosa Bukal : Pucat kiri dan kanan Mukosa Labial : Terlihat pucat

Palatum : Tidak dapat dinilai karena pasien sakit bila membuka mulut

Frenulum : Normal

Lidah : Terdapat selaput putih kekuningan pada 1/3 anterior lidah, 2/3 posterior lidah tidak dapat dinilai

Dasar Mulut : Tidak dapat dinilai

Bibir : Krusta sepanjang rubrum labii atas dan bawah

Ganbar 1. Krusta sepanjang rubrum labii

(6)

Gambar 3. Tampak bekas perdarahan pada interdental papil. Marginal dan Attached gingiva terlihat pucat.

Gambar 4. Mukosa bukal kiri dan kanan terlihat pucat

Gambar 5. Terdapat selaput putih kekuningan pada 1/3 anterior lidah, 2/3 posterior lidah tidak dapat dinilai

Gambar 6. Ptekie pada lengan atas

1.6 DIAGNOSA

 DK/ : - ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

 DK/ IO : Bleeding spontan e.c. anemia dan trombositopenia Mucosal anemic e.c anemia

1.7 TERAPI

◦ Bed rest, O2 3 L per menit

(7)

◦ IVFD NaCL 0,9 % 1500 cc/ 24 jam ◦ Transfusi trombosit 6 U

◦ Transfusi PRC bertahap sampai Hb lebih dari 8 gr % ◦ Rencana kemoterapi

 Saran terapi intra oral

o Oral hygiene instruction

o Profilaksis dan scaling bila keadaan memungkinkan 1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan Nilai Tanggal 16 September 2011 Hemoglobin 9,1 Leukosit 60.000 Trombosit 29.000 Tanggal 17 September 2011 Hemoglobin 6,2 Hematokrit 16,9 Leukosit 34.200 Trombosit 59.200 SGOT 33 SGPT 25 GDS 121 Ureum 22 Kreatinin 0,7 Tanggal 27 September

Hemoglobin 3,3 (nilai rujukan P: 12.0~16.0)

Hematokrit 9 (nilai rujukan P: 35~47)

Eritrosit 1.14 (nilai rujukan P: 3.6~5.8)

Lekosit 39.600 (nilai rujukan P: 4400~11300)

Trombosit 3.000 (nilai rujukan P: 150000~450000)

(8)

MCH 28,9

MCHC 35,3

Ureum 37

Kreatinin 0,70

GDS 111

Natrium 131 (nilai rujukan P: 135~145)

Kalium 4,6

Kejernihan urin Agak keruh (nilai rujukan: jernih) Blood urin 250/ul (nilai rujukan: negatif) Eritrosit (mikroskopis urin) 25 (nilai rujukan: < 1)

Lendir (makroskopis feses) POSITIF (nilai rujukan: negatif) Eritrosit feses 0-1 (nilai rujukan: negatif) Leukosit feses 5-8 (nilai rujukan: negatif)

(9)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Leukemia merupakan suatu penyakit ganas dari jaringan hematopoietic, ditandai dengan adanya penggantian elemen-elemen sum-sum tulang normal dengan sel-sel darah abnormal (neoplastik). Sel-sel leukemik seringkali (tapi tidak selalu) terdapat pada darah perifer dan biasanya menginvasi jaringan retikuloendotelial, termasuk lien, hati, dan nodus limfatikus. Sel-sel tersebut juga dapat menginvasi jaringan lainnya, infiltrasi organ muapun dalam tubuh. Jika tidak ditangani, leukemia dengan cepat dapat menyebabkan kematian (Harmening, 2002).

3.2 Patofisiologi

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan (Harmening, 2002).

Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh

kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal (Harmening, 2002).

(10)

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak (Harmening, 2002).

3.3 Determinan Penyakit Leukemia

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia.

1 Host

1.1 Umur, jenis kelamin, ras

Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. ALL merupakan leukemia paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan puncak insiden antara usia 2-4 tahun, AML terdapat pada umur 15-39 tahun, sedangkan LMK banyak ditemukan antara umur 30-50 tahun. LLK merupakan kelainan pada orang tua (umur rata-rata 60 tahun). Insiden leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Tingkat insiden yang lebih tinggi terlihat di antara Kaukasia (kulit putih) dibandingkan dengan kelompok kulit hitam (Harmening, 2002).

1.2 Faktor Genetik

Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellis Van Creveld, penyakit

(11)

seliak, sindrom Bloom, anemia Fanconi, sindrom Wiskott Aldrich, sindrom Kleinefelter dan sindrom trisomi D (Harmening, 2002).

Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali.Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada kembar identik.

2 Agen 2.1 Virus

Adult T cell leukemia (ATL) berhubungan dengan infeksi oleh human T cell leukemia virus (HTLV); human limphotrophic virus-1 penyebab leukemia pada manusia. Pada pasien yang terinfeksi. Protein HTLV melekat pada protein limfosit yang bertanggung jawab dalam mengatur pertumbuhan sel. Umumya terjadi di Asia dan sebagian Karibia(Harmening, 2002).

2.2. Sinar Radioaktif

Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia. Angka kejadian AML dan LGK jelas sekali meningkat setelah sinar radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar dibandingkan yang tidak bekerja di bagian tersebut. Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup setelah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi AML dan LGK sampai 20 kali lebih banyak (Harmening, 2002).

2.3 Zat Kimia

Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon) diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia. Sebagian besar obat-obatan dapat menjadi penyebab leukemia (misalnya Benzene), pada orang dewasa menjadi leukemia nonlimfoblastik akut. Penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain case control menunjukkan bahwa orang yang terpapar benzene dapat meningkatkan

(12)

risiko terkena leukemia terutama AML (OR=2,26 dan CI=1,17-4,37) artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 2,26 kali terpapar benzene dibandingkan dengan yang tidak menderita leukemia(Harmening, 2002).

3.5 Klasifikasi

Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, yaitu kematangan sel dan cell lineage. Kematangan sel digunakan untuk membedakan antara leukemia akut dengan kronis. Ketika sel-sel ganas bersifat immature (steam cell, blast, atau prekursor imatur lainnya, leukemia diklasifikasikan sebagai leukemia akut; ketika sel ganas bersifat mature, diklasifikasikan sebagai leukemia kronis. Secara umum kedua grup tersebut berhubungan dengan perjalanan klinisnya, yaitu cepat (akut) dan lambat (kronis). Selanjutnya leukemia dibagi berdasarkan turunannya yaitu lymphoid atau myeloid. Myeloid meliputi granulositik, monositik, megariositik, dan eritrositik. Oleh karena itu, klasifikasi leukemia dibagi kedalam empat kategori: acute lymphoblastic leukemia (ALL), acute myeloid leukemia (AML; juga disebut acute nonlymphoblastic leukemia, ANLL), chronic lymphocytic leukemia (CLL), dan chronic myelogenous leukemia (CML) (Harmening, 2002).

Leukemia akut

Leukimia akut merupakan suatu keganasan dari sel progenitor hematopoietic, yang biasanya gagal menjadi matur dan berdiferensiasi. Leukimia akut dibagi menjadi dua golongan, yaitu acute lymphocytic

leukemia (ALL) dan acute myelogenous leukemia (AML). Karakteristik ALL, 65% berasal dari limfosit B, 20% limfosit T dan 15% ALL diklasifikasikan sebagai nul sel leukemia karena berasal dari limfosit B dan limfosit T (Greenberg and Glick, 2003).

Pada paseien yang sudah tua AML didahuli oleh preleukemic atau sindrom Myelodysplastic, dimana terdapat kelainan sumsum tulang yang mempengaruhi RBCs, leukocytes, dan platelet. Prognosis pada jenis ini buruk (Greenberg and Glick,

(13)

Manifetasi Klinis

Leukimia akut dapat terjadi pada berbagai umur, namun ALL sering terjadi pada anak-anak. Sedangkan AML sering terjadi pada orang dewasa. Gejala dan tandanya yaitu supresi atau infiltrasi sel leukemic pada organ dan jaringan lain. Perubahan pada sumsum tulang menyebabkan anemia, thrombocytopenia, dan penurunan fungsi normal neutrofil. Anemia menyebabkan pucat, nafas menjadi pendek, dan mudah lelah, yang merupakan gejala utama dari penyakit ini. Thrombocytopenia menyebabkan perdarahan spontan (Greenberg and Glick, 2003).

Terkadang pasien leukemia dapat mengalami peningkatan jumlah leukosit yang signifikan, namun sel leukemic tersebut tidak berfungsi normal, sehingga menyebabkan kecacatan migrasi, fagositosis atau aksi bakterisidal. Sehingga infeksi mengalami komplikasi dan dapat berujung pada kematian (Greenberg and Glick, 2003).

Infiltrasi organ dan jaringan oleh sel leukemic dapat menyebabkan lymphadenopathy,hepatomegaly, and splenomegaly. Sel juga dapat berinfiltrasi ke sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan cranial nerve palsy, paresthesia, anesthesia, and paralysis (Greenberg and Glick, 2003).

Tumor terlokalisasi yang berisi sel leukemic disebut “chloromas.” Permukaan tumor ini berubah warna menjadi kehijauan jika terkena cahaya karena adanya myeloperoxidase (Greenberg and Glick, 2003).

Perawatan

Kombinasi chemotherapy termasuk daunorubicin and cytarabine, merupakan pilihan perawatan akut leukemia. Cytotoxic drugs yang terkandung di dalamnya dapat membunuh 99.9% sel leukemic. Terapi kemoterapi cukup sukses untuk ALL pada anak-anak. Sedangakan penderita AML, belum ditemukan perawatan yang dapat berhasil, dan banyak pasien dengan AML yang meninggal (Greenberg and Glick, 2003).

(14)

Klebsiella, dan Proteus adalah umum, seperti halnya infeksi jamur dengan Candida, Aspergillus, dan Physomycetes. Diagnosis dini dan menganjurkan perawatan infeksi saluran kencing, saluran pernapasan, rwktum, kulit, dan mulut yang diperlukan. Infeksi virus yang umum, terutama dengan herpes simpleks (HSV), variselazoster virus, dan cytomegalovirus, juga merupakan komplikasi yang umum (Greenberg and Glick, 2003).

Transplantasi dari sel hemopoietic stem sebelumnya dikenal sebagai “transplantasi sumsum tulang”, telah digunakan untuk memperlakukan hematologic leukemia akut dan keganasan lain, penyakit genetic kekebalan tubuh dan system darah, dan yang lebih baru-baru ini tumor padat. Tujuan HSCT di leukemia adalah untuk memberantas semua sel-sel ganas dan menggantinya dengan sel-sel normal dahulu dari sumsum. Transplantasi sel induk pada tumor solid, seperti kanker payudara, digunakan untuk mengobati pasien dengan dosis sangat tinggi beracun kemoterapi, yang akan biasanya berakibat fatal karena kegagalan sumsum tulang (Greenberg and Glick, 2003).

Transplantasi sel stem dilakukan dengan kombinasi dari kemoterapi dosis tinggi dan pada beberapa kasus, radiasi total badan. Sel stem pluripotent menanam sampai dengan 4 minggu setelah transplantasi, dan selama periode ini, pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan dan karenanya harus didukung dengan hati-hati di pusat-pusat kesehatan yang memiliki oncologist terampil (Greenberg and Glick, 2003).

Setelah engraftment, meliputi komplikasi akut dan penyakit graft-versus-host kronis yang disebabkan oleh limfosit T dari korupsi yang menghancurkan jaringan inang vital normal dan organ. GVHD akut terjadi dalam 100 hari pertama setelah transplantasi, menyebabkan kulit ringan sampai parah, hati, usus, dan penyakit immunologic. GVHD kronis terjadi lebih dari 100 hari setelah transplantasi dan menyerupai penyakit autoimun seperti lupus dan sklerodema. Komplikasi ini biasanya sembuh dengan penggunaan imunosupresi (Greenberg and Glick, 2003).

(15)

Acute Limphoblastic Leukemia (ALL)

Acute Limphoblastic Leukemia (ALL) adalah keganasan klonal dari sumsum tulang dimana prekursor limfoid berproliferasi dan mendesak sel-sel hemapoetik di sumsum tulang. Leukemia limfoblastik akut mungkin sulit dibedakan dengan keganasan limfoid lainnya. Pemeriksaan immunokimia, sitokimia, dan sitogenetik dapat membedakan kategori dari keganasan limfoid (William, 2000).

Etiologi ALL

Hanya sedikit etiologi ALL yang dapat diketahui, bila dibandingkan dengan AML. Kebanyakan ALL yang lerjadi pada orang dewasa tidak memiliki faktor resiko. Prevalensi ALL meningkat ketika terjadi serangan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Kebanyakan etiologinya disebabkan oleh adanya radiasi, ALL juga bisa dicetuskan pada mereka yang sebelumnya memiliki Sindrom Mielodisplastik. Meningkatnya kasus ALL juga berkaitan dengan kelainan kromosom (11q23) sebanyak 80-90 % kasus dari ALL. ALL juga bisa terjadi secara sekunder, dimana terjadi pada pasien yang telah menjalani kemoterapi untuk jenis leukemia yang berbeda (Seiter, 2010).

Gambaran Klinis ALL

Pasien dengan ALL menunjukkan gejala yang berkaitan dengan adanya infiltrasi sel-sel ganas ke sumsum tulang dan gejala yang disebabkan penurunan produksi sel-sel darah yang normal. Adanya infiltrasi sel-sel leukemi ke sumsum tulang dimanifestasikan dengan adanya nyeri tulang. Nyeri tulang ini bisa terjadi sangat hebat (Seiter, 2010).

Sekitar 10-20 % pasien mengalami keluhan rasa penuh di abdomen kuadran kiri atas karena terjadi splenomegali. Pada pasien ALL yang sub tipe sel T, Biasanya mengalami gejala nafas yang pendek, karena pembesaran massa mediastinal. Karena pasien ini mengalami anemia, maka ia mengalami keluhan cepat lelah, pusing, palpitasi, dan dyspnea juga beraktifitas fisik. Pasien ALL sering mengalami penurunan jumlah neutrofil, meskipun jumlah total set darah putihnya meningkat.

(16)

Hasilnya, mereka sangat rentan terhadap infeksi. Prevalensi dan tingkat keparahan infeksi berbanding terbalik dengan jumlah neutrofil. Infeksi sangat rentan pada jumlah neutrofil yang kurang dari 500/ul, dan semakin bertambah berat jika jumlah neutrofil kurang dari 100/ul. Pasien ALL sering mengalami demam (sekitar 25%) tanpa adanya proses infeksi. Namun,bagaimanapun juga pada pasien ini kita harus membuktikan bahwa demam ini bukan disebabkan oleh infeksi. Namun. di lain pihak, infeksi tetap merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien yang menjalani terapi ALL (Seiter, 2010).

Dari pemeriksaan fisik, kita bisa menemukan pasien nampak pucat dan lemah, dapat ditemukan adanya murmur karena terjadinya anemia. Dapat ditemukan tanda-tanda infeksi dan demam. Demam harus diinterpretasikan adanya infeksi. Karena pasien mengalami trombositopenia, maka dapat ditemukan adanya petekia, terutama pada ekstrimitas bawah. Adanya ekimosis yang luas merupakan indikasi terjadinya DIC. Juga ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati karena infiltrasi sel leukemi. Pada beberapa keadaan, juga bisa ditemukan adanya kemerahan (rash) pada kulit pasien, karena infiltrasi sel leukemi ke kulit. Pada pemeriksaan laboratorium hematotogi, ditemukan anemia dan trombositopeni dalam berbagai derajat. Pasien ALL jumlah sel darah putihnya bisa meningkat, normal, atau rendah, tetapi biasanya neutropenia. Peningkatan dari protlirombintime / activated partial thromboplastin time dan penurunan fibrinogen atau fibrin degradation products menandakan terjadinya DIC (Seiter, 2010).

Pada pemeriksaan sel darah tepi akan ditemukan adanya sel blas. Pada pemeriksaan kimia darah akan ditemukan peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH) dan peningkatan kadar asam urat. Pemeriksaan fungsi liver dan fungsi ginjal (BUN/ kreatinin) diperlukan pada awal terapi. Pemeriksaan kultur darah harus dilakukan pada pasien yang mengalami demam, atau pada pasien yang mengalami tanda-tanda infeksi yang lain tanpa disertai demam (Seiter, 2010).

(17)

Diagnosis ALL

Diagnosis ALL dikesankan dengan adanya sel blas pada preparat apus darah tepi,namun lebih dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang adalah pemeriksaan diagnostik definitif untuk memastikan diagnosis leukemia. Sumsum tulang yang telah diaspirasi diberi pewarnaan Wright atauGiemsa Diagnosis ALL ditegakkan apabila ditemukan sedikitnya 30% limfoblas (menurut klasifikasi FAB) atau setidaknya 20% limfoblas (menurut klasifikasi WHO) di sumsum tulang atau di darah tepi (Freireich, 2010).

Berikut ini adalah klasifikasi menurut FAB (French-American-British) (Foreman, 2008):

LI: sel-sel kecil dengan kromatin homogen, bentuk nukleus reguler, Nukleoluskecil atau bahkan tidak ada, dan sitoplasmanya sedikit.

L2: sel berukuran besar dan heterogen, kromatin heterogen, bentuk nuklear irreguler, dan nukleolusnya berukuran besar.

L3: sel besar dan homogen dengan nukleolus multipel, sitoplasma. Berwarna kebiruan, dan terdapat vakuol sitoplasmik.

Klasifikasi WHO mengelompokkan subtipe LI dan L2 sebagai leukemialimfoblastik prekursor B atau leukemia limfoblastik prekursor T. Sedangkan subtipeL3 termasuk dalam keganasan sel B matur, termasuk subtipe limfoma Burkitt. Sampel dari sumsum tulang sebaiknya diperiksa sitogenetik dan flow sitometri.Pada orang dewasa, setidaknya terdapat keabnormalan sitogenetik sebanyak 70% dari seluruh kasus ALL (Freireich, 2010).

Diagnosis Banding ALL

Diagnosis banding, yang berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, termasuk infeksi kronis seperti virus Epstain-Barr virus (EBV) dan cytomegalovirus (CMV) yang mengakibatkan lymphadenopati, hepatosplenomegali, demam dan anemia. Penyakit-penyakit yang termasuk diagnosis banding adalah penyakit dengan kegagalan sumsum tulang, seperti anemia aplastik, Keganasan lain yang mungkin

(18)

harus dipikirkan adalah Leukemia Mieloid Akut (LMA), Limfoma sel B, Lymphoma High Grade Malignant Immunoblastic, Lymphoma Mantle Cel, dan Lymphoma NonHodgkin.

Perawatan ALL

Kombinasi chemotherapy termasuk daunorubicin and cytarabine, merupakan pilihan perawatan akut leukemia. Cytotoxic drugs yang terkandung di dalamnya dapat membunuh 99.9% sel leukemic. Terapi kemoterapi cukup sukses untuk ALL pada anak-anak. Sedangakan penderita AML, belum ditemukan perawatan yang dapat berhasil, dan banyak pasien dengan AML yang meninggal (Freireich, 2010).

Klebsiela, dan Proteus adalah umum, seperti halnya infeksi jamur dengan Candida, Aspergillus, dan Physomycetes. Diagnosis dini dan menganjurkan perawatan infeksi saluran kencing, saluran pernapasan, rwktum, kulit, dan mulut yang diperlukan. Infeksi virus yang umum, terutama dengan herpes simpleks (HSV), variselazoster virus, dan cytomegalovirus, juga merupakan komplikasi yang umum.

Secara umum, perawatan ALL sama dengan perawatan AML (Freireich, 2010).

LEUKEMIA KRONIS

Leukemia kronis ditandai dengan adanya sel yang terdiferensiasi secara baik dalam jumlah yang banyak pada sumsum tulang, perifer darah, dan jaringan dan tahap prolongasi klinis walaupun tanpa terapi. Ini adalah hal yang membedakan leukemia kronis dengan leukemia akut, dimana sel yang imatur menjadi predominan dan tahap klinis yang tidak dirawat akan berakhir pada kematian dalam beberapa bulan saja. Dua tipe utama dari leukemia kronis adalah leukemia granulositik kronis (CGL, atau leukemia myelositik kronis (CML) dan leukemia limfositik kronis (CLL), yang mana berbeda etiologinya, manifestasi klinis, prognosis, dan terapinya (Greenberg and

(19)

Chronic Myelocytic Leukemia

CGL adalah tipe pertama dari leukemia yang diidentifikasi oleh ahli pada 1840an, pada saat perubahan makroskopis pada darah diketahui atau terdapat pada pasien dengan splenomegali. Sering disebut CML, merupakan bentuk leukemia yang berhubungan dengan paparan atau ionisasi radiasi dan racun kimia. Kelainan kromosomal mempengaruhi sel stem hematopoietic dan dengan demikian Nampak pada myeloid dan sebagian garis sel limfoid. CML memiliki dua fase: kronis dan blastik. Selama fase kronis, banyak granulosit yang terdapat pada sumsum tulang dan perifer darah, tapi selnya memelihara fungsi normalnya. Butuh waktu 5 dan 8 tahun setelah formasi dari sel CML yang pertama untuk tanda klinis dan symptom untuk berkembang. Fase blastik, yang membutuhkan waktu 2 sampai 4 tahun setelah diagnose, diidentifikasikan dengan transformasi ganas lebih lanjut ke sel imatur, yang mana tampil mirip dengan sel pada leukemia akut (Greenberg and Glick, 2003). Manifestasi klinis

CML terjadi paling banyak pada pasien antara usia 30 dan 50 tahun. Tidak ada symptom yang ditunjukkan pasien selama tahun-tahun pertama, dan penyakitnya dapat ditemukan selama pemeriksaan splenomegali rutin. Tanda awal dan symptom biasanya muncul sekunder pada anemia pada saat packing leukosit di sumsum tulang dan limfa. Anemia menyebabkan lemah, letih, dan dispenia, sedangkan nyeri tulang atau nyeri abdomen pada kuadran atas kiri mengakibatkan sumsum tulang dan limfa berubah. Diagnose ditegakkan dengan adanya kromosom Philadelphia dari 90% kasus danketidakadaan dari fosfatase alkalin leukosit.pasien biasanya sembuh selama beberapa tahun sebelum penyakitnya masuk ke fase blastik. Transformasi dari fase blastik ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau berkembang lambat selama berbulan-bulan. Simpton yang terjadi disebabkan oleh splenomegali yang bertambah buruk, dan organ lainnya, biasanya pada liver, nodus limfatikus, dan kulit, menjadi terlibat.

(20)

Kematian terjadi setelah beberapa bulan dimulainya fase blastik (Greenberg and Glick, 2003).

Terapi

Jika symptom terlihat atau dimulai, terapu yang umum digunakan adalah penggunaan busulfan atau agen alkil yang lain. Penyakitnya dikontrol selama fase kronis dengan kemoterapi dan radiasi, namun penyembuhan yang benar adalah jarang kecuali transplantasi sumsum tulang dari histokompatibel donor didapatkan. Kehidupan hanya dapat diperpanjang dengan aturan kemoterapi yang digunakan pada leukemia akut (Greenberg and Glick, 2003).

Chronic Lymphocytic Leukemia

CLL dihasilkan dari keganasan yang progresivitasnya lambat dan melibatkan limfosit. Lebih dari 90% kasus melibatkan limfosit B, yang mana dia yang bertanggungjawab untuk sintesis immunoglobulin dan respon antibody, daripada limfosit T, yang hanya terdapat pada 5% kasus. Limfosit B CLL tidak membawa fungsi imunologik normalnya dan tidak dibedakan dengan sel plasma normal yang memproduksi immunoglobulin ketika terpapar antigen. Satu alas an mengapa penyakit ini berjalan lambat adalah karena, tidak seperti sel pada leukemia lainnya, sel CLL tidak membunuh sel sumsum sampai tahap akhir pada penyakit ini.

Manifestasi klinis

CLL terjadi paling sering pada pria usia lebih dari 40 tahun, onset pada usia 60 tahun. Karena progress nya lambat, maka tidak dapat terdeteksi secara dini. Darah perifer menunjukkan banyaknya limfosit yang terdiferensiasi baik; ratusan dari ribuan, bahkan jutaan, sel per millimeter kubik dapat tampak pada darah perifer. Fase asimptomatik dapat bertahan hingga tahunan. Infiltrasi sumsum tulang menyebabkan anemia dan trombositopenia, menghasilkan kepucatan, lemah, dispenia, dan purpura.

(21)

hepatomegali, dan infiltrasi leukemik pada kulit atau mukosa. Limfadenopati servikal dan pembengkakan tonsil adalah tanda umum kepala dan leher dari CLL (Greenberg and Glick, 2003).

Pada akhir-akhir penyakit, limfadenopati yang besar dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau uretral dan obstruksi penyakit kuning. Infiltrasi leukemik mengakibatkan disfungsi liver, malabsorpsi intestinal, obstruksi pulmonary, atau kompresi dari system saraf pusat atau tepi. Immunoglobulin yang abnormal dapat mengakibatkan anemia hemolitik atau trombositopenia (Greenberg and Glick, 2003). Terapi CLL

Kebanyakan oncologist tidak mengobati pasien CLL asimptomati dengan kemoterapi karena tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pada perawatan awal meningkatkan kesembuhan. Indikasi untuk perawatan termasuk untuk lelah yang parah, limfadenopati, atau perkembangan dari anemia atau trombositopenia. Perawatan standar untuk CLL menggunakan chlorambucil; namun bagaimanapun juga fludarabine telah menunjukkan respon yang lebih baik (Greenberg and Glick, 2003).

Hairy cell leukemia adalah jenis yang berbeda dari CLL yang teridentifikasi oleh leukemic limfositt B dengan gambaran sitoplastik dan predominan 5:1 pada pria. Tanda dan symptom yang umum termasuk splenomegali, vasculitis, dan erythema nodosum. Obat pilihannya adalah cladribine. Interferon dan splenektomi jarang digunakan (Greenberg and Glick, 2003).

Manifestasi Oral Leukemia

Banyak terdapat tanda dan gejala oral, maka dokter gigi mungkin menjadi klinisi pertama yang menemukan tanda-tanda penyakit ini. Tanda kepala dan leher dihasilkan dari infiltrasi leukemia atau kegagalan sumsum. Hal tersebut termasuk limfadenopati servikal, perdarahan oral, infiltrasi gingival, infeksi oral, dan ulser oral (Greenberg and Glick, 2003).

(22)

Lesi pada mukosa oral merupakan tanda awal dari penyakit sistemik yang belum terdiagnosa. Ini berarti mukosa oral mempunyai fungsi yang penting dalam mendeteksi penyakit sistemik karena mukosa oral juga berpetan sebagai barometer dan adanya penyakit sistcmik, misalnya kelainan darah leukemia. Mukosa oral mempunyai sifat khusus dibandingkan jaringan tubuh lainnya, ini disebabkan karena: (1) mukosa oral mendapat vaskularisasi yang cukup sehingga mudah terpengaruh oleh keadaan organ yang jauh letaknya, (2) mukosa oral sering mcngalami epitelisasi dalam waktu yang singkat, (3) mukosa oral mudah mcngalami trauma (Greenberg and Glick, 2003).

Semua tipe leukemia khususnya leukemia akut memiliki manifestasi oral. Manifestasi oral leukemia lebih sering ditemukan pada pasien leukemia akut pada tahap awal perkembangan penyakit. Prevalensi dan distribusi dari komplikasi inisial leukemia di rongga mulut pada pasien AML sama dengan pasien ALL (Wahyuni,2006).

Manifestasi oral leukemia sering menimbulkan keluhan bagi pasien. Keluhan oral ini mendorong pasien untuk mencari pengobatan ke dokter gigi. Hou dkk5 dan

Dean dkk" melaporkan bahwa penemuan lesi oral sebagai gambaran klinis leukemia akut oleh dokter gigi sangat berguna sebagai indikator untuk mendeteksi dini leukemia. Menurut Yanif dan Marom, tanda dan gejala oral leukemia sering bervariasi. Meskipun demikian, terdapat tanda dan gejala oral yang paling sering ditemukan, diantaranya (Wahyuni,2006):

1. Perdarahan oral

Menurut Bressman dkk, tanda oral leukemia yang paling sering terjadi pada masa posdiagnostik adalah perdarahan oral dan peteki. Perdarahan oral merupakan manifestasi oral leukemia yang paling sering menimbulkan keluhan bagi pasien. Perdarahan oral lebih sering ditcmukan pada pasien leukemia akut dibandingkan pada pasien leukemia kronik, perdarahan ini umumnya terjadi pada bibir, lidah dan gingival (Wahyuni,2006).

(23)

Perdarahan oral sering dianggap sebagai hal yang tidak berbahaya, namun manifestasi oral ini dapat merefleksikan kemungkinan timbulnya perdarahan di tempat lain seperti otak, paru-paru dan saluran pencernaan yang berakibat fatal, yang mana perdarahan merupakan faktor utama penyebab kematian pasien leukemia selain infeksi (Greenberg and Glick, 2003).

Trombositopenia dan anemia disebabkan oleh supresi sumsum dari penyakit dan hasil kemoterapinya adalah kepucatan pada mukosa, petechiae, dan ecchymoses, dan perdarahan gingival. Perdarahan hebat pada gingival dapat ditangani dengan terapi local, mengurangi kebutuhan transfuse platelet. Resiko dari transfuse platelet termasuk hepatitis, infeksi HIV, reaksi transfuse, dan formasi dari antiplatelet antibody, yang mana mengurangi kegunaan dari transfuse platelet selama episode hemorrgagic berikutnya. Hemorrhage oral dapat diakibatkan oleh DIC, yang menyebabkan hipofibrinogenemia (Greenberg and Glick, 2003).

Pada pengobatan kemoterapi, obat-obatan anti-leukemia sangat menekan aktivitas sumsum tulang yang menyebabkan trombositopenia, anemia dan leukopenia. Trombositopenia yang sering ditemukan pada pasien yang menjalankan kemoterapi timbul akibat pengaruh obat-obatan yang menghambat produksi megakariosit (Greenberg and Glick, 2003).

Pasien dengan kecenderungan perdarahan oral dapat ditandai dcngan melihat perubahan pada mukosa oral yang mengalami peteki dan ekimosis. Perdarahan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dan 75.000/mm2. Banyaknya perdarahan

tcrgantung pada keparahan trombositopenia dan keberadaan iritan lokal. Karakteristik perdarahan oral pada pasien leukemia berupa darah yang berwama merah tua, konsistensinya kental, intemiten dan titik perdarahan multipel. Kadang terjadi perdarahan yang terus-menerus disebabkan oleh gangguan pada proses pembekuan darah (Greenberg and Glick, 2003).

Terapi topical untuk menghentikan perdarahan harus selalu ada pengangkatan dari iritan local yang jelas, dan direct pressure. Dapat digunakan absorbable gelatin atau colagen sponge, thrombin topical. Dapat juga menggunakan obat kumur

(24)

antifibrinolitik seperti asam tranexaminic atau asam ε-aminocaproic. Jika terapi local ini tidak berhasil dalam menangani perdarahan gingival dan hemorrhage, transfuse platelet sangat diperlukan (Greenberg and Glick, 2003).

2. Infeksi oral

Infeksi dilandai dengan adanya demam dan dihubungkan dengan keparahan neutropenia, aplasia sumsum tulang. Kegagalan migrasi leukosit dan kemampuan leukosit yang berkurang untuk melawan infeksi. Selain itu, infeksi juga ditimbulkan akibat pengobatan kemoterapi leukemia akut pada orang dewasa. Kemoterapi menyebabkan turunnya imunitas tubuh, sehingga nfeksi mudah terjadi (Greenberg and Glick, 2003).

Kemoterapi menimbulkan komplikasi oral. Komplikasi oral yang paling sering terjadi adalah infeksi. perdarahan dan mukositis. Perdarahan dan mukositis oral memudahkan terjadinya infeksi oral dan bakteremia yang dapat berakibat fatal (Wahyuni, 2006).

Infeksi oral merupakan komplikasi fatal dan serius yang terjadi pada pasien leukemik neutropenik. Candidiasis adalah infeksi jamur oral yang umum terjadi, tapi infeksi dengan jamur lain seperti histoplasma, aspergillus, atau phycomycetes dapat pula diawalai pada jaringan oral. Saat lesi ini telah diduga positif, specimen biopsy, aspirasi fine-needle, atau smear sitologi harus diperoleh karena kultur tunggal tidak dapat diandalkan utuk organism ini. Diagnosis untuk infeksi dental, terutama infeksi periodontal dan perikoronal, sulit pada pasien neutropik leukemik karena tidak adanya inflamasi normal (Greenberg and Glick, 2003).

Menegakkan diagnosis pada infeksi oral menjadi hal yang sangat penting karena telah terbukti bahwa flora oral berpotensi menyebabkan infeksi yang dapat mengancam jiwa, yaitu bakteri Gram positif dan basil Gram negative. Merupakan kewajiban seorang dokter gigi untuk melakukan examinasi dan mengeliminasi segala yang dapat berpotensi menjadi penyebab infeksi akut atau sebelum dilakukan

(25)

intravena diperlukan sebelum dilakukan perawatan pada gigi (Greenberg and Glick, 2003).

3. Ulserasi Oral

Ulser pada mukosa oral sering ditemukan pada pasien leukemia yang melakukan kemoterapi dan rata-rata disebabkan karena efek langsung dari obat kemoterapi pada sel mukosa oral. Lockhart dan Sonis melaporkan bahwa ulcer sekunder karena kemoterapi muncul kira-kira 7 hari setelah terapi awal dilakukan. Ulsernya besar, irregular, dan bau busuk, dan dikelilingi oleh mukosa yang pucat yang disebabkan karena anemia dan kurangnya respon inflamatori. Ulser oral yang paling sering pada pasien leukemia yang melakukan kemoterapi adalah infeksi HSV rekuren. Infeksi ini melibatkan mukosa intraoral dan bibir (Greenberg and Glick, 2003).

Lesinya dimulai dengan cluster klasik dari vesikel HSV rekuren dan menyebar dengan cepat, menyebabkan ulcer yang luas yang biasanya dikelilingi mukosa yang pucat akibat anemia. Lesi memiliki respon yang baik pada acyclovir parenteral yang didistribusikan melalui intravena ataupun melalui mulut. Manajemen perawatan dari ulcer oral pada pasien leukemia harus mencegah penyebaran dari infeksi local, meminimalisir bakteri, mengusahakan penyembuhan, dan mengurangi rasa sakit. Ulser yang ada pada pasien leukemia yang dirawat kemoterapi dapat terinfeksi oleh organism yang tidak umum pada infeksi oral, misalnya gram negative enteric bacilli (Greenberg and Glick, 2003).

Terapi antibakteri topical dapat dicoba dengan solusi providine-iodine, ointment bacitracin-neomycin, atau bilasan chlorhexidine. Kaolin dan pectin dapat digunakan dengan obat kumur diphenhydramine untuk mengurangi rasa sakit (Greenberg and Glick, 2003).

(26)

Limfadenopati servikal adalah tanda klinis yang paling sering terlihat pada pasien leukemia akut maupun kronik. Limfadenopati servikal disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik ke kelenjar limfe servikal, pembengkakan biasanya pada satu sisi. Kelenjar yang membengkak akan terasa lunak dan sakit bila dipalpasi pada leukemia akut, sedangkan pada leukemia kronik biasanya kelenjar berbatas tegas, keras dan tidak nyeri pada saat dipalpasi (Wahyuni,2006).

5. Hiperplasia gingiva

Hiperplasia gingiva lebih sering terjadi pada pasien leukemia akut khususnya AML daripada pasien leukemia kronik. Hiperplasia gingiva disebabkan karena infiltrasi sel-sel leukemik ke gingiva, inflamasi atau akibat hiperplasia reaktif. Faktor yang mempermudah timbulnya hiperplasia gingiva adalah adanya respon yang berlebihan terhadap iritan lokal yang disebabkan berkurangnya kemampuan sel darah putih untuk melawan infeksi gingiva karena bentuknya yang tidak matang. Iritan lokal tersebut merupakan stimulus inflamasi yang dapat berasal dari akumulasi plak dan bekuan darah yang sering ditemukan pada pasien dengan kecenderungan perdarahan oral yang menyebabkan kebersihan rongga mulut menjadi buruk (Wahyuni,2006).

Hiperplasia gingiva juga terjadi pada pasien leukemia yang kebersihan rongga mulutnya baik. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa kondisi lokal yang merugikan bukanlah faktor utama yang mendorong infiltrasi sel-sel leukemik ke jaringan lunak (Couper, 2000).

Hiperplasia gingiva juga dihubungkan dengan kemoterapi leukemia. Dilaporkan, terdapat beberapa pasien yang menderita leukemia promyelositik akut (M3) yang awalnya tidak mengalami hiperplasia gingiva pada masa perkembangan penyakitnya. Namun setelah menjalankan kemoterapi dengan penggunaan obat asam transretinoik, mengalami hiperpalsia gingival (Couper, 2000).

(27)

Pada papila interdental terlihat seperti masa yang menyerupai tumor. Pada pasien AML sering ditemukan hiperplasia gingiva sampai menutupi korona gigi. Gingiva yang membengkak berwarna merah kebiruan dan tidak memiliki stippling sehingga permukaannya menjadi licin dan berkilat. Konsistensinya tidak terlalu lunak tetapi mudah terjadi perdarahan spontan akibat iritasi yang ringan, kadang disertai infeksi, odontalgia dan inflamasi ulserstif nekrosis akut pada daerah interdental (Couper, 2000).

Secara histopatologi, jaringan gingiva di infiltrasi oleh sel-sel leukosit yang belum matang pada inflamasi kronik dapat juga terlihat leukosit yang telah matang. Jaringan epitel memperlihatkan derajat yang bervariasi terhadap infiltrasi sel-sel leukemik, lamina propria dipenuhi oleh sel-sel leukemik yang meluas dari lapisan sel basal epitel ke dalam gingiva. Pembuluh darah setempat tertekan oleh infiltrat yang menyebabkan jaringan gingiva mengalami edema dan degencrasi. Pada hiperplasia gingiva yang disertai inflamasi nekrosis akut, permukaan gingiva dilapisi oleh jaringan fibrin pseudomembran, sel-sel epitel yang nekrosis, polimorfonuklear leukosit dan kolonisasi bakteri (Couper, 2000).

6. Variasi lain dari manifestasi oral leukemia

Variasi lain yang tidak spesifik dari manifestasi oral leukemia adalah kebersihan rongga mulut yang buruk akibat xerostomia. Xerostomia dapat timbul akibat kemoterapi, radioterapi atau efek psikologi pasien yang mengalami kecemasan saat menjalankan kemoterapi. Selain itu, dapat juga dijumpai sakit tenggorokan laringofaringitis, bibir kering dan pecah-pecah, hairy tongue, sialorhoe, halitosis, benigna migratory glossitis, median romboid glossitis, pemfigus, nyeri gusi, dekstruksi tulang alveolar dan penyembuhan luka yang lama setelah ekstraksi gigi (Wahyuni, 2006).

Manifestasi oral neurologis dapat terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke nervus V dan VII. Gangguan pada nervus V dan VII pernah dilaporkan pada pasien leukemia akibat penggunaan obat vincristin, yaitu obat yang sering dipakai untuk

(28)

pengobatan leukemia akut, khususnya ALL. Manifestasi neurologi oral yang dapat terjadi berupa paralisis fasial, neuralgia trigeminal, kesukaran menelan, kesukaran memanjangkan lidah, kelemahan otot-otot pengunyahan dan parestesia akut (akibat peningkatan cairan serebrospinal, perdarahan intrakranial, atau infiltrasi sel-sel ganas yang teriokalisasi pada sistem saraf pusat maupun di sekitar saraf tepi) (Wahyuni, 2006).

(29)

BAB IV PEMBAHASAN

Leukemia akut biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi dapat juga terjadi pada orang dewasa. Seperti pada kasus ini, leukemia limfositik akut terjadi pada pasien berusia 32 tahun. Leukemia akut biasanya memiliki gejala lebih berat daripada leukemia kronis, disertai kegagalan pada sumsum tulang sehingga menyebabkan anemia, trombositopenia, dan leukosit yang dihasilkan tidak berfungsi normal (Greenberg and Glick, 2003). Gejala tersebut dapat dilihat pada kasus ini.

Jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit pasien ini semakin menurun dari awal pemeriksaan darah hingga pemeriksaan terakhir di RSHS. Jumlah leukosit semakin hari semakin meningkat. Dari temuan tersebut pasien didiagnosis leukemia akut. Diagnosis tersebut baru ditegakkan saat data pasien diambil untuk pembuatan laporan kasus ini. Diagnosis tipe limfoblastik atau myeloblastik ditentukan lebih pasti melalui pungsi sumsum tulang, namun pada kasus ini tidak ditemukan data pungsi sum-sum tulang. Pada hasil pemeriksaan darah, hanya dikatakan bahwa jumlah leukosit dan trombosit telah dipastikan dengan apusan sel darah tepi. Diduga telah ditemukan sel blas pada apusan sel darah tepi tersebut.

Keluhan utama pasien ketika datang ke rumah sakit adalah perdarahan terus-menerus pada gusi yang baru pertama kali dirasakan. Perdarahan gusi spontan dapat disebabkan inflamasi yang diinduksi plak atau iritan lokal. Pada pasien leukemia, perdarahan gusi spontan dipicu dan diperparah adanya trombositopenia, seperti yang terjadi pada pasien ini, yatu perdarahan yang terus menerus. Selain itu, pasien juga merasakan timbulnya bintik-bintik merah pada seluruh tubuh. Bintik perdarahan tersebut juga disebabkan trombositopenia. Trombositopenia pada pasien ini dibuktikan dengan jumlah trombosit pasien yaitu 3000 sangat jauh di bawah nilai normal (150.000-450.000).

Perdarahan oral pada pasien leukemia dapat diredakan dengan menghilangkan iritan local yang jelas, dan direct pressure. Dapat digunakan absorbable gelatin atau

(30)

colagen sponge, thrombin topical. Dapat juga menggunakan obat kumur antifibrinolitik seperti asam tranexaminic atau asam ε-aminocaproic. Jika terapi local ini tidak berhasil dalam menangani perdarahan gingival dan hemorrhage, transfuse platelet sangat diperlukan (Greenberg and Glick, 2003). Pada kasus ini, pasien mendapatkan transfuse trombosit, sehingga perdarahan oral telah berhenti.

Anemia adalah penyakit akibat penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit (Langlais, 2003) Anemia dapat menyebabkan pucatnya mukosa oral (Greenberg and Glick, 2003), seperti yang terlihat pada pasien ini. Adanya anemia pada pasien ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan bahwa jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit pasien berturut-turut adalah sebesar 1.14 juta/µl; 3,3 g/dL; dan 9%.

Pasien juga mengalami coated tongue yaitu suatu tampilan klinis lidah berselaput yang terjadi pada dorsum lidah, dan berhubungan tingkat kebersihan mulut yang buruk (Jordan and Lewis, 2006). Coated tongue dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita leukemia. Pada pasien dengan leukemia ini, coated tongue dapat menjadi lebih parah karena morbiditas pasien akan menghambat tindakan kebersihan mulut. Coated tongue pada pasien ini dapat diredakan dengan meningkatkan oral hygiene. Pasien belum menerima obat-obatan peroral, sehingga dapat dikatakan tidak ada pengaruh obat pada rongga mulut.

Meningkatkan oral hygiene adalah hal yang penting dalam perawatan dental pasien leukemia. Oral hygiene dapat mengurangi keparahan perdarahan gusi, coated tongue, serta membantu mencegah infeksi sekunder pada luka terbuka bila ada. Obat kumur kloheksidin juga dapat diberikan untuk menghambat pertumbuhan plak pada pasien leukemia dan mengendalikan infeksi superfisial.

Salah satu rencana perawatan pasien ini adalah kemoterapi. Saat data pasien diambil untuk pembuatan makalah ini, pasien belum menerima kemoterapi, sehingga tidak ada manifestasi oral yang berhubungan dengan kemoterapi -misalnya ulkus pada mukosa dan ulkus infeksi herpes simpleks.

(31)

Pada saat gejala timbul, pasien ini tidak mendatangi dokter gigi. Tetapi ada kemungkinan dokter gigi akan menjadi klinisi yang pertama mengetahui adanya leukemia pada pasien, mengingat perdarahan gusi terus menerus merupakan salah satu gejala dini leukemia. Oleh sebab itu, dokter gigi harus dapat memahami manifestasi oral leukemia dengan baik. Leukemia akut merupakan penyakit yang fatal, bila gejalanya dipahami, diagnosis dan rujukan dini dapat membantu hasil penyembuhan lebih baik.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Couper CL, Loewen R, Shore T. Gingival hyperplasia complicating myelomonocytic leukemia. J Can Dent Assoc 2000

Greenberg, M.S. & Glick, M. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and treatment. BC Decker Inc.

Freireich E J. 2010. Acute lymphocytic leukemia (ALL). http://www.merck.com/ mmhe/sec14/ch176/ ch176b.html. Diakses tanggal 6 Oktober 2011

Harmening, Denise M. 2002. Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis. 4th Ed. USA: F. A. Davis

M.C William. 2000. Leukemia. Dalam: Samik Wahab. Ilmu Kesehatan Anak Nelson,Edisi 15. Jakarta. EGC.

Maloney K, Foreman K N, Giller R H, Greffe B S, Graham K D, et all. 2008. Neoplasticdisease. Dalam. Hay W W, Levin M J, Sondheimer J M, Deterding R R, penyuting.Current diagnosis & treatment pediatrics. 19

Seiter Karen. Acute Lymphoblastic Leukemia. Diambil dari http://www.emedicine.com/med/topic3146.htm. Diakses pada tanggal 6 Oktober 2011

Wahyuni, Nelmi. 2006. Peran Dokter Gigi Dalam Mendeteksi Dini Leukemia Melalui Manifestasinya di Rongga Mulut (Laporan Kasus). USU: Sumatera Utara

Gambar

Gambar   4.  Mukosa   bukal  kiri   dan  kanan terlihat pucat

Referensi

Dokumen terkait

Difraktogram hasil kalsinasi hidroksiapatit dengan kecepatan pengadukan 300 rpm pada suhu reaksi 90 o C yang ditunjukkan Gambar 3.5 (c), teramati puncak- puncak yang

Sumpah Pemuda lahir dari sebuah pemahaman tentang nasionalisme yang sebelumnya pernah dicetuskan dalam Manifesto Politik dengan tiga prinsip  pergerakan di mana salah satu

Harvested area, production and productivity of not wetland paddy production by village in Tepus District 2011 Desa Villages Luas Panen Harvested area (Ha) Produksi Production

Dengan bertambahnya usia, kemungkinan bahwa massa dalam kelenjar liur menjadi ganas bertambah besar, pada umumnya yang sering terjadi pada orang dengan usia 40

Variabel umur, tingkat pendidikan, Status gizi, kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, serta kontak dengan penderita TB Paru, memiliki hubungan dengan kejadian TB

bersama kelompoknya siswa merumuskan langkah-langkah kegiatan. Siswa diajak mengamati lingkungan alam sekitar. Bersama kelompoknya siswa mengumpulkan informasi dari

Kar.a !l!a% $($uler.. raian di atas menun$ukkan peran bahasa atau praktik berbahasa dalam penulisan karya ilmiah. arya ilmiah mustahil ditulis tanpa bahasa, yang mana

Dari hasil pengamatan di Madrasah Ibtidaiyah Negri (MIN) Jejeran Bantul yang dilakukan pada empat kelas paralel terhadap guru serta siswa khususnya kelas III, di dalam