• Tidak ada hasil yang ditemukan

B A D A N P E L A K S A N A K E G I A T A N U S A H A H U L U M I N Y A K D A N G A S B U M I. WAWANCARA hal. 9

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "B A D A N P E L A K S A N A K E G I A T A N U S A H A H U L U M I N Y A K D A N G A S B U M I. WAWANCARA hal. 9"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Patra Office Tower, Jl. Gatot Subroto Kav. 32-34, Jakarta 12950 - http://www.bpmigas.com

EDITORIAL

hal. 2

ASAS CABOTAGE,

ANUGERAH ATAU MUSIBAH?

Awal tahun 2008, Dirjen Perhubungan Laut mengeluarkan aturan baru bagi industri perkapalan yang beroperasi di perairan Indonesia. ...

COMDEV

hal. 14

WAWANCARA

hal. 9 B A D A N P E L A K S A N A K E G I A T A N U S A H A H U L U M I N Y A K D A N G A S B U M I

Buletin

NO. 58, SEPTEMBER 2009 MEDCO LAKSANAKAN PROGRAM PADI ORGANIK

Budi Indianto, Deputi Pengendalian Operasi BPMIGAS :

Saya yakin,

Asas Cabotage

Terealisasi

(2)

EDITORIAL

Buletin

edisi 58 :

September 2009

Redaksi menerima masukan artikel yang dikirim melalui:

Email : hupmas@bpmigas.com Fax : 021-5290 1261

Redaksi :

DINAS HUMAS & HUBUNGAN KELEMBAGAAN BPMIGAS

Patra Office Tower

Jl. Gatot Subroto Kav. 32-34, Jakarta 12950 - http://www.bpmigas.com

Awal tahun 2005, pemerintah mengeluarkan aturan baru bagi industri perkapalan yang beroperasi di perairan Indonesia. Arahannya: agar kapal-kapal tersebut menggunakan bendera Indonesia.

Sepintas aturan tersebut tampak sederhana karena yang dimintakan adalah perubahan bendera. Namun perubahan bendera membawa konsekwensi pada kepemilikan kapal, yakni minimal 51 persen saham kepemilikan harus berada di tangan warga Indonesia.

Industri hulu migas yang setiap tahun mengoperasikan lebih dari 600 buah kapal secara sepintas tidak akan terkena dampak yang cukup signifikan, karena 90 persen kapal yang digunakannya untuk menunjang kegiatan operasi telah berbendera Indonesia. Sementara jumlah kapal yang masih berbendera asing hanyalah

ASAS CABOTAGE,

ANUGERAH ATAU MUSIBAH?

10 persen atau sekitar 60 kapal. Namun dilihat dari jenis kapal yang masih berbendera asing, ternyata dampak yang ditimbulkannya akan sangat signifikan, sebab kapal-kapal tersebut merupakan perangkat penunjang operasi yang vital. Jenis-jenis kapal tersebut antara lain Jack Up Rig maupun 3D Seismic Vessel. Bila pengadaan kapal-kapal ini terganggu, dikhawatirkan akan berdampak pada ketahanan energi di masa depan. Dampak lain yang mungkin ditimbulkan adalah dampak finansial, karena jenis kapal ini memerlukan biaya yang sangat besar.

Selama ini penguasaan kapal-kapal jenis ini belum diminati pengusaha dalam negeri karena selain membutuhkan investasi yang sangat besar, biasanya masa kontrak penggunaan kapal tidak panjang, maksimal hanya tiga atau empat bulan.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) sebagai lembaga pengawas kegiatan minyak dan gas bumi telah mendorong pengusaha nasional untuk mau menguasai jenis kapal yang spesifik tersebut. Bersama Dirjen Perhubungan Direktorat Perhubungan Laut, BPMIGAS telah mengadakan road show

untuk mendekati pengusaha, perbankan dan asuransi agar ikut terjun di bisnis kapal penunjang kegiatan hulu migas jenis kelas berat ini. Kalangan industri juga dilobi, agar upaya yang dilakukan dapat disinergikan.

Sejumlah insentif juga sedang dipikirkan, agar moment pemberlakuan asas cabotage

ini dapat menjadi gerbang bagi pengembangan ekonomi bangsa, sehingga manfaat yang diperoleh Negara dari kegiatan hulu migas menjadi maksimal.

Kini kita tinggal menguji kesiapan pengusaha perkapalan Indonesia dan komponen lainnya yang diperlukan dalam pembangunan industri perkapalan (seperti perbankan dan asuransi), apakah juga memiliki nyali yang cukup kuat untuk ikut terjun pada bisnis ini? Pemanfaatan momen ini akan mengantarkan mereka menjadi pebisnis yang ulung seperti beberapa industri perkapalan dari Negara jiran.

Ataukah mereka sesungguhnya hanya pengusaha yang cengeng, yang tidak berani melakukan inovasi serta takut berubah? Waktu akan menjawab. Namun harapan utamanya tentu saja adalah jangan sampai pemberlakuan

asas cabotage yang seharusnya membawa berkah bagi perekonian bangsa malah menjadi musibah. •••

(3)

LAPORAN UTAMA

Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran menjadi gong didengungkannya asas cabotage. Pemberlakuan asas ini berarti memberi hak perusahaan angkutan dari Negara Indonesia beroperasi komersial secara ekslusif.

Dalam implementasinya, asas cabotage seakan dianggap kewajiban menggunakan bendera Republik Indonesia. Namun sesungguhnya penggantian bendera dari asing jadi merah putih itu mengandung implikasi, saham mayoritas (minimal 51 persen) kepemilikan kapal harus berada di tangan perusahaan Indonesia.

Untuk kapal pengangkut yang digunakan untuk menunjang kegiatan industry hulu migas, termasuk kapal pendukung operasi di lepas pantai (off shore), asas cabotage diterapkan secara penuh pada 1 Januari 2011. Artinya, waktu yang dimiliki tidak lebih dari satu tahun tiga bulan.

Dalam rencana aksi pentahapan penerapan asas tersebut, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) tidak begitu saja mengkopi peraturan tersebut dan memberikannya pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) untuk ikut dan patuh melaksanakannya. “Kami melakukan pengembangan dan mensinergikannya dengan instansi lain agar manfaatnya maksimal,” kata Deputi Pengendalian Operasi, BPMIGAS, Budi Indianto.

Untuk memulai aksinya, pada tahun 2008 BPMIGAS bersama Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan telah membentuk forum kerja sama kegiatan penunjang di sektor laut. Ikut dilibatkan di dalamnya adalah Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Kontraktor KKS, industri perkapalan dan lepas pantai, perbankan dan asuransi, serta asosiasi pengelola pelayaran nasional.

MENDORONG PENERAPAN

ASAS CABOTAGE

(4)

LAPORAN UTAMA

Sinergi, kata dia, memang menjadi kata kunci. Seluruh komponen mesti bahu-membahu di tengah tantangan yang menghadang. Tanpanya, aturan yang ada hanya akan diberlakukan ala kadarnya. “Padahal, asas cabotage tidak bisa dilihat sepotong-sepotong,” kata Budi.

BPMIGAS menilai seluruh komponen harus dapat diambil alih menjadi milik nasional. Artinya tidak hanya benderanya saja. Klasifikasi kapal juga harus dilakukan BKI. Begitu pula dengan asuransi dan perbankannya. Bahkan secara bertahap pembangunannya juga mesti dilakukan di dalam negeri.

Saat ini, BPMIGAS tengah mengkaji payung hukum yang mengatur ketentuan tersebut, khususnya yang akan diberlakukan untuk kapal-kapal angkutan minyak dan gas bumi, serta kapal pendukung kegiatan operasi di lepas pantai. “Jalannya memang tidak mudah, tapi kita optimis itu bisa dilakukan,” kata Budi.

Kendala Pendanaan

Salah satu kendala pemenuhan asas cabotage di bidang migas disebabkan tidak optimalnya dukungan lembaga keuangan lokal untuk membiayai pengadaan kapal. Betapa sulitnya pelayaran mendapatkan pendanaan untuk pengadaan kapal baru atau bekas, apalagi sampai kepada tahap meminta bunga rendah.

Pelaku usaha pelayaran Indonesia juga tidak bisa terlalu berharap mendapat sumber pendanaan dari lembaga pembiayaan asing karena negara ini belum menerapkan konvensi internasional tentang penahanan kapal atau arrest of ship.

Alotnya sumber pendanaan ini, kata Budi, disebabkan oleh masih awamnya pengenalan perbankan dalam negeri terhadap industri migas. Perbankan lebih memilih bidang lain yang telah dikenal dan dipercaya lebih menjanjikan, semisal properti. “Intinya, perbankan nasional enggan berspekulasi,” katanya.

Untuk memecahkan kendala, BPMIGAS proaktif mendekati dunia perbankan. Secara informal, pihaknya memberi pengertian kepada bank-bank tersebut supaya tidak takut memberikan pinjaman untuk pengadaan kapal bidang migas. Salah satu bukti yang dipaparkannya adalah kondisi industri hulu migas yang tidak pernah terpengaruh pada kondisi ekonomi global, termasuk saat dunia dilanda krisis ekonomi. “Ini artinya, Kontraktor KKS pasti akan membayar pinjamannya. Mereka nggak mungkin ngemplang,” tambah Budi.

Hal senada diungkapkan Kepala Sub Dinas FSO, FPSO, dan Kapal Penunjang, Djoko Widhihananto. Menurutnya, sebagai pengawas dan pengendali kegiatan hulu migas, instansinya menjamin Kontraktor KKS tidak mungkin lari ataupun berbuat yang nyeleneh. “Jangan khawatir, kami kan berada di belakang Kontraktor KKS,” katanya.

Untuk memuluskan tujuannya, BPMIGAS melobi

perbankan nasional, antara lain Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Internasional Indonesia (BII). Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, tidak jarang perbankan juga diajak ke galangan kapal.

Lobi juga dilakukan pada Bank Indonesia sebagai pengawas dan pengendali perbankan. Institusi itu didorong untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi perbankan agar lebih tertarik membiayai pembangunan kapal. Salah satu usulan yang disampaikan adalah masukan dari para pengusaha, yaitu agar pengadaan kapal tidak dianggap sebagai barang impor sehingga tidak perlu proses pengisian formulir impor barang dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Masalah pengadaan pendanaan juga terkendala oleh tidak tersedianya jaminan kontrak jangka panjang di sektor angkutan migas. Periode sewa kapal jenis tertentu yang hanya tiga bulanan dianggap kurang memberikan jaminan secara bisnis, sehingga perbankan ragu memberikan pendanaan untuk menunjang pengadaannya.

(5)

LAPORAN UTAMA

Untuk mengatasi kendala ini, Djoko mengatakan, BPMIGAS telah mendorong Kontraktor KKS agar membuat kontrak pengangkutan jangka panjang hingga lima tahun. Kontrak panjang ini diwajibkan bagi kapal-kapal angkutan rutin, semacam utility boat karena dapat digunakan untuk menunjang operasi dari awal hingga produksi selesai. Kapal-kapal baru yang dibuat di Indonesia juga didorong melakukan kontrak panjang.

Namun, kebijakan kontrak jangka panjang tidak dapat diterapkan kepada semua jenis kapal penunjang kegiatan migas. Kapal kelas kakap semacam Jack Up Rig maupun 3D Seismic Vessel tidak mungkin menerapkannya karena hanya digunakan untuk menunjang kegiatan operasi hulu migas pada jangka pendek.

Dicontohkan, penggunaan kapal seismic oleh Kontraktor KKS hanya akan dioperasikan di lokasi tertentu pada saat kontraktor melakukan survei lapangan. Kegiatan ini hanya dilakukan dalam jangka waktu yang sangat pendek, rata-rata 20 hari hingga 3 bulan. “Jadi untuk kapal jenis ini, kontraknya tidak bisa dibuat tahunan,” kata Djoko sembari menambahkan perbankan mesti memahami kegiatan ini. Kendala Klasifikasi dan Asuransi

Masalah tidak terhenti dipendanaan. Keinginan mengkelaskan kapal secara nasional terhadang oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang belum menjadi anggota

Internasional Association of Classfication Societies (IACS). Kondisi ini menyebabkan kepercayaan asing, khususnya pihak asuransi sangat minim.

Budi mengakui, secara politis, sulit bagi BKI untuk menjadi anggota IACS. Posisi Indonesia yang strategis yang dilewati banyak kapal asing menjadi alasan. Jika BKI mendapat sertifikasi internasional, otomatis klasifikasi asing tidak dapat lagi mengkelaskan kapal yang beroperasi di Indonesia. Biro klasifikasi seperti, American Bereau of Shipping

(Amerika Serikat), Germanischer Lloyd (Jerman), Nippon Kaiji Kyokai (Jepang), maupun Llyod Register (Inggris) dipastikan tidak rela “lahannya” diambil. Karena itu, Budi mendorong BKI meningkatkan kualitas secara teknis. Dengan standar yang mengacu IACS, bisa menjadi pertimbangan lembaga asuransi untuk menjamin kapal-kapal yang disewa maupun dimiliki Kontraktor KKS.

Dia mengungkapkan, saat ini baru sekitar 75 persen bagian kapal bisa di-cover asuransi nasional, meliputi konstruksi dan permesinan. Sementara asuransi muatan yang berkisar 25 persen hanya diberani ditanggung oleh

Protection and Indemnity Club.

“Padahal asuransi muatan diperlukan untuk menjamin resiko pencemaran lingkungan, semisal muatannya tumpah,” katanya. Masalahnya, mayoritas lembaga asuransi anggota klub ini tidak mau memberikan asuransi jika tidak

ada garansi dari IACS karena dianggap kurang kompeten. Meski demikian, BPMIGAS dan lembaga-lembaga di pemerintahan tidak kehilangan akal. Perusahaan-perusahaan asuransi nasional didorong untuk membentuk

Indonesia Protection & Indemnity Club. Sembari menunggu pihak asuransi menggodok rancangan, pemerintah secara paralel menyiapkan perangkat-perangkat penting untuk mendukung operasionalnya. “Mudah-mudahan bisa terbentuk dalam waktu dekat,” kata Budi.

Tak hanya itu, BPMIGAS mendorong agar kemampuan industri galangan kapal makin mumpuni. Saat ini, sudah ada komitmen dari Ikatan Perusahaan Industri Kapal Nasional Indonesia (IPERINDO) melalui Departemen Perindustrian untuk membuat tabel jenis-jenis kapal apa yang dapat dibangun, tipe-tipe apa yang bisa di-maintenance di Indonesia.

Tabel tersebut akan digunakan oleh BPMIGAS, khususnya Divisi Pengadaan Manajemen Aset (PMA) untuk mempertimbangkan rencana pengadaan kapal yang diajukan Kontraktor KKS. Dari tabel tersebut juga, tidak tertutup kemungkinan Kontraktor KKS yang akan mengadakan kapal-kapal yang masuk dalam tabel, diwajibkan untuk membangun di dalam negeri.

Rentetan kebijakan ini diharapkan juga akan berimbas pada industri lainnya, misalnya industri baja seperti Krakatau Steel.

“Memang kebijakan itu tidak bisa diterapkan pada semua jenis kapal, tapi kita harus memulai dari yang bawah,” kata Budi.

Oleh karena itu, Budi mengingatkan agar galangan kapal nasional tidak terlena dengan peluang yang diberikan tersebut. Galangan kapal harus meningkatkan kualitas secara cepat sebab industri galangan kapal di dalam negeri mesti bersaing ketat dengan industri sejenis dari negara-negara lain.

Untuk membantu agar perhatian industri galangan kapal nasional terpusat pada peningkatan standar, BPMIGAS telah menetapkan ada tiga prinsip dalam pengadaan kapal, yakni kualitas mutakhir, harga yang cukup kompetitif, dan ketepatan waktu pengiriman. Syarat ini juga diberlakukan pada barang-barang penunjang operasi lainnya yang dikerjakan di Indonesia.

“Mereka (pengusaha dan galangan kapal) harus dipaksa memenuhinya,” kata dia. Menurutnya, jika pengguna tidak memacu perkembangan industri dalam negeri, niscaya kemandirian hanya angan-angan. “Setiap komponen bangsa ini harus sadar bahwa kita harus segera bangkit di atas kemampuan kaki sendiri. Saat ini bukan jamannya lagi didikte orang asing,” kata Budi. •••

(6)

LAPORAN PENDUKUNG

kapal dalam negeri.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung pengembangan industri galangan kapal nasional mengingat penggunaan kapal untuk menunjang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menunjukkan peningkatan. Tahun 2007 ada 497 buah kapal yang digunakan untuk menunjang kegiatan hulu migas. Kemudian meningkat 28 persen menjadi 638 kapal pada 2008. Tahun ini jumlahnya berkurang lima kapal jadi 633 unit.

Berdasarkan Data Sub Dinas FSO, FPSO, dan Kapal Penunjang BPMIGAS, secara kepemilikan, mayoritas kapal yang digunakan untuk menunjang kegiatan usaha hulu migas telah dimiliki perusahaan Indonesia. Artinya kapal-kapal tersebut telah menggunakan bendera Indonesia. Dari 633 kapal yang yang digunakan KKKS, hanya 60 kapal atau sekitar 10 persen yang dimiliki asing.

Sayangnya, meski jumlah kapal minoritas, asing tetap menguasai pasar secara signifikan. Sebagai contoh, pada tahun 2008, jumlah kapal asing penunjang kegiatan usaha hulu migas adalah 77 buah. Anggaran yang digunakan untuk menyewa kapal-kapal tersebut mencapai US$ 115 juta (sekitar Rp 1,1 Triliun). Bandingkan dengan anggaran untuk sewa kapal nasional sebanyak 561 unit yang kontraknya “hanya” US$ 90 juta (sekitar 1 Januari 2011 adalah batas waktu

pemberlakuan asas cabotage, yaitu ketentuan yang mengharuskan kapal-kapal yang beroperasi di Indonesia harus berbendera Indonesia. Industri hulu migas yang juga bakal terkena ketentuan tersebut, telah berbenah. Bagaimana langkah persiapannya?

SEJAK diberlakukan asas cabotage

pada tahun 2005, jumlah kapal berbendera Indonesia terus meningkat. Data Departemen Perhubungan mengungkapkan jumlah armada niaga nasional sampai triwulan I/ 2009 mencapai 8.387 unit atau bertambah 2.346 unit (38,83 persen) dibandingkan kondisi 4 tahun lalu sebanyak 6.041 unit.

Penambahan kapal nasional tersebut sebagian besar berasal dari pengalihan bendera kapal-kapal milik perusahaan angkutan laut asing ke perusahaan angkutan laut nasional. Selain itu juga ada penambahan armada berkat pembangunan kapal baru dan dari pengangkatan kapal bekas.

Penambahan kapal berbendera Indonesia juga terlihat pada kapal-kapal yang digunakan untuk mendukung kegiatan hulu migas. Perkembangan ini merupakan dampak dari kebijakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) yang mengharuskan Kontraktor KKS membuat kapal-kapal pada galangan

DUKUNG ASAS CABOTAGE:

BPMIGAS HARUSKAN KKKS GUNAKAN

KAPAL BERBENDERA INDONESIA

Rp 900 miliar)! Kelas Berat

Kepala Sub Dinas FSO, FPSO, dan Kapal Penunjang BPMIGAS, Djoko Widhihananto mengatakan, penguasaan pasar yang tidak seimbang ini terjadi karena kapal-kapal yang dimiliki asing merupakan jenis kelas berat yang tarif sewanya mahal seperti Jack Up Rig, Drilling Ship,

Pipe and Cable Laying Ship, ataupun

3D Seismic Vessel. “Harga kapal-kapal itu memang sangat mahal dan belum ada galangan kapal dalam negeri yang mampu membuatnya,” kata Djoko.

Upaya untuk mendorong agar industri galangan kapal atau pengusaha nasional terlibat pada bisnis ini tidak mudah direalisasi karena berbagai faktor. Menurut Djoko, beberapa faktor tersebut antara lain kurangnya ketertarikan pengusaha nasional mengelola kapal yang rata-rata memiliki waktu sewa pendek, serta belum adanya industri perbankan dan asuransi yang siap mendukung pengembangan usaha tersebut.

Lalu bagaimana bila sampai tahun 2011 ternyata belum tersedia kapal kelas berat yang berbendera Indonesia? Deputi Pengendalian Operasi, BPMIGAS, Budi Indianto mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih memegang prinsip semua jenis

(7)

LAPORAN PENDUKUNG

kapal telah berbendera Indonesia pada 1 Januari 2011. Oleh karena itu pihaknya terus memantau Kontraktor KKS agar melakukan persiapan untuk mendukung kebijakan tersebut.

“Kami sangat mendukung pemberlakuan asas cabotage. Karena itu sampai saat ini kita belum berpikir untuk meminta pengecualian pemberlakuan aturan untuk jenis-jenis kapal tertentu itu. Pendek kata, para pengusaha kapal itu harus dipaksa dulu. Kalau perlu sampai mereka dipaksa sampai berdarah-darah,” kata dia.

Menurutnya, pengusaha perkapalan harus “disiksa” agar mau menasionalisasi bisnis pelayaran. Tanpa paksaan, pengusaha akan santai. Hanya puas menjadi kapal agen saja, bukan berusaha memiliki.

Dispensasi?

Menurut Budi, permintaan dispensasi tetap saja dimungkinkan, namun langkah ini merupakan opsi terakhir. “Kalau sampai batas akhir ada kapal jenis tertentu (tailor made – spesifik) yang belum bisa berbendera Indonesia, pasti akan dipertimbangkan,” katanya. Contoh jenis kapal yang spesifik yang mungkin masuk katagori ini adalah kapal seismik yang biasanya hanya memiliki masa kontrak sekitar tiga bulan untuk survei lokasi.

Akhir tahun ini, lewat pemeriksaan fasilitas apung migas dan off shore, BPMIGAS dan Direktorat Jenderal P e r h u b u n g a n Laut, Departemen Perhubungan, akan mengkalkulasi jenis-jenis kapal apa yang tidak memungkinkan secara operasional berganti bendera.

Dari pantauan awal diketahui, saat ini terdapat 26 kapal penunjang operasi yang masih m e n g g u n a k a n bendera asing dengan masa kontrak melampaui tenggat pelaksanaan asas

cabotage secara

penuh pada 1 Januari 2011. Mayoritas kapal

berjenis floating storage and of loading

(FSO) dan floating, production, storage and of loading (FPSO). Sisanya, jenis

work over barge, tanker, tug boat, jack up rig, dan anchor handling tugs supply

(AHTS).

Meski demikian, tambah Djoko, sampai saat ini belum ada KKKS yang mengajukan amandemen kontrak. Bahkan, menurutnya, kontraktor terus melakukan proses pergantian bendera s e l u r u h k a p a l -kapal itu. “Kami terus m e n d a p a t l a p o r a n p r o g r e s n y a di lapangan, secara periodik,” katanya. B P M I G A S berharap, kapal F S O / F P S O berbendera asing yang kontraknya melewati Januari 2011 agar

diberikan kesempatan beroperasi sampai masa kontraknya berakhir. Demikian pula untuk kapal-kapal khusus untuk kegiatan seismik, drilling, dan konstruksi agar dibebaskan dari ketentuan harus berbendera Indonesia. Tujuannya agar aturan yang ditetapkan tidak mengganggu operasional sektor migas karena akan merugikan negara, apalagi kapal berbendera asing yang digunakan oleh KKKS merupakan kontrak yang sudah telanjur ada.

"Kalau mesti dihentikan bagaimana pertanggungjawabnnya,” kata Djoko.

Dia mengatakan, permintaan dispensasi untuk kapal kelas berat masih didiskusikan lebih lanjut dengan Departemen Perhubungan dan asosiasi perusahaan pelayaran Indonesia (INSA). Secara prinsip, sebenarnya mereka tidak terlalu mempermasalahkan. Apalagi, dalam payung hukum yang mengatur mengenai asas cabotage

ada klausul pengecualian bagi industri tertentu. BPMIGAS akan melihat seperti apa klausul itu dan kondisi bagaimana pengecualian itu bisa diberlakukan. “Mungkin temporer (ada jangka waktu)," kata Djoko. •••

NO Tipe Kapal Jumlah Kapal 1 AHT 8 2 AHTS 16 3 Crane Barge 9 4 Cres Boat 67 5 FiFi Vessel 11 6 Flat Top Barge 14 7 FPSO/FPO/LPG FSO 20 8 Harbour Tug 7 9 Hopper Barge 30 10 LCT 45 11 Mooring Boat 3 12 Off shore Support Vessel/Multi Purpose 14 13 Oil Barge 12 14 PCV/Conserver 4 15 Production Support Vessel 8 16 PSV/Supply Boat 10 17 Sea Truck 121 18 Speed Boat 49 19 Swamp Barge Rig 6 20 Tanker 6 21 Tug Boat 82 22 Utility Vessel 15 23 Wall Maintenance Boat 5 24 Well Testing Barge 13 25 Work Boat 5 26 Work Over Barge 4 27 Other 41

JUMLAH DAN KAPAL BERBENDERA ASING VS BERBENDERA INDONESIA TAHUN 2008

(8)

SEREMONIAL

HALAL BIHALAL BPMIGAS

SEPEKAN setelah bekerja kembali

dari libur lebaran, tepatnya hari Rabu,

30 September 2009, Badan Pelaksana

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas

Bumi (BPMIGAS) mengadakan halal

bihalal. Ratusan orang memadati

Ruang Yudistira di gedung Patra

Jasa, Jakarta. Mulai dari karyawan,

wartawan, Kontraktor Kontrak Kerja

Sama (KKKS), Bank Badan Usaha Milik

Negara, dan instansi lainnya tumplek

blek untuk saling memaafkan.

Sebelumnya, pada 18 September,

BP Migas mengadakan buka

bersama di tempat yang sama

(9)

WAWANCARA

MENGAWAL dan mengendalikan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) tidak membuat BPMIGAS hanya fokus pada produksi. Sebab tanpa komponen pendukung lainnya, target produksi migas yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR sulit terealisasi. Tak mengherankan jika BPMIGAS sangat memperhatikan peraturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk penerapan asas cabotage.

Menurut Deputi Pengendalian Operasi BPMIGAS, Budi Indianto, kewaspadaan mutlak dilakukan sebab aturan yang dijalankan setengah-setengah dipastikan akan menghambat industri hulu migas, yang ujung-ujungnya mempengaruhi hasil produksi migas.

Bagaimana rincian persiapannya? Lulusan Teknik Perkapalan, Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), Surabaya itu secara panjang lebar menceritakan bagaimana asas tersebut bisa dijadikan pintu gerbang nasionalisasi pelayaran Indonesia, yang ujungnya juga akan berdampak pada industri hulu migas. Berikut wawancara Buletin BPMIGAS dengan pria kelahiran Malang, 53 tahun lalu itu:

Departemen Perhubungan mengeluarkan kebijakan asas cabotage. Bagaimana pandangan BPMIGAS?

Kami sangat mendukung pemberlakuan asas cabotage. Bahkan kami berpikir kalau asas tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh, seharusnya ada banyak hal yang dapat kita ambil alih agar menjadi milik nasional. Artinya, tidak hanya menyangkut benderanya saja, tetapi juga seluruh potensi yang dapat dimanfaatkan oleh nasional. Misalnya klasifikasi kapal seharusnya dilakukan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). (Saat ini) banyak kapal berbendera Indonesia, tapi klasifikasinya masih asing, misalnya menggunakan klasifikasi dari ABS (American Bereau of Shipping), LR (Llyod Register, Inggris), GL (Germanischer Lloyd), atau NKK

(Nippon Kaiji Kyokai).

Demikian pula di bidang asuransi, seharusnya juga menggunakan asuransi nasional.

SAYA YAKIN

ASAS CABOTAGE

TEREALISASI

Budi Indianto,

Deputi Pengendalian Operasi BPMIGAS

Saat ini, sungguh disayangkan, sepertinya lembaga yang mengeluarkan kebijakan asas cabotage tidak pernah berpikir menjabarkan asas cabotage itu sebagai kapal bendera Indonesia, kelasnya harus Indonesia, asuransinya juga harus Indonesia. Jadi yang disebut untuk Indonesia cukup luas. BPMIGAS sendiri ingin melakukan itu semua, tidak hanya menerapkan

asas cabotage lewat bendera saja.

Memang apa saja yang telah dilakukan BPMIGAS jelang penerapan asas tersebut?

Dalam pelaksanaannya, BPMIGAS sudah melakukan langkah-langkah yang cukup sinergi. Artinya BPMIGAS tidak begitu saja mengkopi peraturan itu dan memberikannya kepada Kontraktor KKS untuk dilaksanakan dan harus diikuti serta dipatuhi.

Saat ini, kita sudah mempunyai satu forum untuk mendiskusikan penerapan asas cabotage. Forum yang sudah berjalan sejak satu tahun lalu terdiri dari BPMIGAS, Kontraktor KKS, dan Ditjen (Direktorat Jenderal) Perhubungan Laut. Kemudian juga ada asosiasi-asosiasi pelayaran seperti INSA dan IPERINDO (Ikatan Perusahaan Industri Kapal Nasional Indonesia).

Kami melibatkan juga Departemen Perindustrian karena terkait dengan industri kapal, dengan Kementerian Negara BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan jangan lupa perbankan nasional. Yang paling aktif adalah Bank Mandiri. Belakangan baru BNI (Bank Negara Indonesia) ikut bergabung.

Adakah kendala yang menghadang?

Pada saat menerapkan asas cabotage yang berbendera Indonesia,

(10)

WAWANCARA

"Pengusaha perkapalan

seperti INSA itu harus

“disiksa”. Kalau tidak,

mereka akan santai saja

dan hanya akan menjadi

agen saja, bukan berusaha

memiliki. Sebab menurut

saya, jadi pengusaha

harus ulet. Jangan takut

punya kapal berbendera

Indonesia, karena

klasifikasi Indonesia

dianggap tidak laku di luar.

Itu namanya mau enak

saja, tidak ada kemauan."

kami juga harus mengkelaskan

Indonesia. Tetapi ternyata Biro Klasifikasi Indonesia belum menjadi anggota IACS (Internasional Association of Classfication Societies). Yang ditanyakan Kontraktor KKS, kalau BKI bukan anggota IACS, bagaimana lembaga ini bisa menjamin safety

peralatan-peralatan?

Memang pada beberapa waktu yang lalu, peraturan BKI tidak mengacu ke IACS. Tetapi sekarang sudah (mengacu ke sana). BKI juga sudah menunjukkan ada tiga works over yang dibangun di Cina. Sekarang peralatan apung (blok) Kakap yang ada di Natuna sedang kita ambil dengan BKI. Jadi BKI sudah berbenah dan sudah bisa membuktikan. Tapi kalau ditanya kapan mereka bisa diterima sebagai anggota IACS, kami serahkan ke BKI dan IACS.

Menurut saya, dalam kasus ini Indonesia berada di satu gate di antara dua benua besar. Saya prediksikan, secara politis tidak akan terlalu mudah bagi IACS untuk memasukkan BKI sebagai member, sebab kalau itu diberikan klasifikasi asing tidak akan bisa bekerja di sini. Semua sudah on behalf BKI. Yang penting, kita harus sudah comply ke IACS dan

paradigmanya harus berubah.

Jangan sampai peraturan itu dibuat tapi tanpa suatu komitmen dari suatu badan seperti BPMIGAS yang bersama KKKS mengoperasikan lebih dari 600 kapal dari berbagai tipe. Jumlah ini lebih banyak daripada TNI Angkatan Laut.

Berbekal armada yang begitu besar, diharapkan industri hulu migas dapat men-triger industri lain untuk mengembangkan diri. Sebab pada kasus cabotage ini, BPMIGAS tidak

hanya memikirkan penggunaan bendera saja, tetapi juga hal yang lainnya.

Apakah yakin asas cabotage bisa dilakukan awal tahun 2011? Bagaimana pengaruhnya pada industri hulu migas?

Memang sejak awal kita sadar bahwa itu pasti akan sangat mempengaruhi industri hulu migas. Tapi, kalau mau menetapkan suatu peraturan itu tidak perlu dipikirkan sulitnya dulu. Kalau kita tidak paksakan dan tidak disiplin, maka aturan itu tidak akan terlaksana.

Oleh karena itu kami tetap meminta Kontraktor KKS mematuhi aturan penggunaan kapal berbendera Indonesia, termasuk pada kapal seismik yang hanya dipakai sekitar tiga hingga enam bulan. Sekarang beberapa kapal yang beroperasi di Kontraktor KKS sedang mengurus pergantian bendera. Perkara ada pengecualian itu urusan nanti. Pokoknya sampai berdarah- darah, harus dipaksakan dahulu.

Pengusaha perkapalan seperti INSA itu harus “disiksa”. Kalau tidak, mereka akan santai saja dan hanya akan menjadi agen saja, bukan berusaha memiliki. Sebab menurut saya, jadi pengusaha harus ulet. Jangan takut punya kapal berbendera Indonesia, karena klasifikasi Indonesia dianggap tidak laku di luar. Itu namanya mau enak saja, tidak ada kemauan.

Bicara pengecualian, apa yang diharapkan BPMIGAS?

Saya perkirakan, sampai akhir tahun ini akan ditemukan satu titik kulminasi, sehingga kami dan Ditjen Perhubungan Laut harus menentukan jenis-jenis kapal tertentu yang belum bisa disiapkan dan mencari jalan keluarnya.

Nanti fasilitas apung BPMIGAS akan diperiksa oleh Ditjen Perhubungan Laut untuk memastikan jenis-jenis kapal tertentu yang tidak ada di pasaran, seperti kapal FSO/FPSO. Selain itu juga ada jenis kapal yang kalau mau dipakai di suatu tempat harus disesuaikan

(11)

WAWANCARA

dengan kondisinya, sehingga kalau (kapal-kapal itu) juga dibenderakan Indonesia, bakal membutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, terutama masalah biaya.

Tapi itu opsi terakhir. Sejauh ini saya tetap optimis keharusan itu bisa dilaksanakan. Ada istilah, “tunggu sampai the last last last minute”.

Pemberlakuan asas cabotage membutuhkan dukungan perbankan. Bagaimana tanggapan perbankan terhadap keadaan ini?

Aset terapung (kapal) masih belum familiar untuk mereka. BPMIGAS sebagai satu unit badan pemerintah terus berusaha memberikan suatu sinergi yang komperhensif.

Oleh karena itu kami berusaha memberi perspektif pada perbankan bahwa meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi yang berat, perminyakan tidak pernah terpengaruh. Artinya industri hulu migas yang menyewa kapal, pasti kita akan membayarnya. Nggak mungkin mereka ngemplang. Kami berharap Bank Indonesia juga membuat regulasi bagi perbankan fleksibel melakukannya.

Bagaimana dari sisi asuransi?

Sekitar 75 persen dari komponen kapal, yakni mesin dan konstruksi itu diasuransikan oleh perusahaan asuransi nasional, misalnya seperti Asuransi Tugu Pratama. Sementara 25 persen lainnya merupakan asuransi yang mencover muatannya sendiri, untuk menjaga risiko misalnya kalau barang muatannya tumpah. Itu yang disebut P&I (Protection & Indemnity)

Club.

Masalahnya, tanpa garansi dari IACS, P&I Club tidak mau menggaransi muatan kapal tersebut. Kalaupun ada yang mau, biasanya mereka dianggap kurang kompeten. Menghadapi masalah ini, saya tidak akan kehilangan akal. Dalam waktu dekat kami akan meresmikan Indonesia P&I Club (Indopic).

Tapi kami masih harus membicarakannya dengan Departemen Keuangan. Saya harus menjelaskan Indopic bukan sekedar untuk perusahaan asuransi yang mencari duit, tapi dalam rangka merebut nasional yang satu paket tadi.

Kalau tidak ada asuransi yang mau menanggung kapal-kapal yang telah mengikuti asas cabotage, masa’ kita nggak bisa beroperasi? No Way! Kita ini bukan jamannya lagi didikte oleh orang asing. Segala upaya harus kita lakukan untuk menasionalisasikan.

Kapan P&I Club akan dibentuk?

Kami sudah mengadakan beberapa kali rapat. Mungkin P&I Club memang harus segera dibentuk, tapi prosesnya kami serahkan ke pihak asuransi nasional. Kami tidak mau ikut campur urusan itu. Yang penting perangkat-perangkat ini harus segera disiapkan. Bank Nasional, seperti Bank Mandiri dan BNI sekarang sedang menyiapkan pola bagaimana mendukung operasionalnya.

Kita harus bisa bergerak dan berdiri di atas kaki kita sendiri. Nanti pada saatnya saya akan melaporkan sekaligus mengusulkan kepada Kepala BPMIGAS untuk mengeluarkan aturan, bahwa kapal yang digunakan untuk menunjang kegiatan usaha hulu migas harus berbendera Indonesia, mengikuti klasifikasi Indonesia dan menggunakan asuransi Indonesia.

Jika semua sudah mendukung, siapkan galangan kapal dalam negeri membangun kapal yang dibutuhkan?

Kemarin dalam forum sudah ada komitmen dari IPERINDO melalui Departemen Perindustrian. Nanti awal Desember di Batam kami akan membuat tabel ketentuan mengenai jenis-jenis kapal apa saja yang dapat dibangun, termasuk tipe-tipe apa yang bisa di-maintanace di Indonesia. Nanti BPMIGAS, khususnya Divisi Pengadaan Manajemen Aset akan mengacu ke situ.

Memang pada awalnya, kita tidak mungkin mengambil semua aspek, tapi kita harus memulai dari bawah. Misalnya, jenis AHTS (anchor handling tugs supply). Jenis kapal yang kecil-kecil itu semua sudah harus dibangun di Indonesia, tidak boleh dibangun di luar negeri, apalagi dioperasikan dengan menggunakan bendera asing. Dengan pemberlakuan kebijakan ini diharapkan produk dari industri baja seperti Krakatau Steel seakan terserap.

Kita tak usah bicara yang muluk muluk. Harus dimulai dari bawah. Tujuan dari asas cabotage ini kan supaya kapal yang beroperasi di Indonesia dimiliki oleh pengusaha pelayaran nasional.

Kendala di lapangan pasti ada, tapi kendala bukan menjadi hambatan bagi kita. BPMIGAS sudah menetapkan tiga prinsip, yakni Quality, Cost and Delivery. Apapun barang yang dikerjakan di Indonesia, semuanya berdasarkan itu. Mereka itu harus disiksa supaya nurut dengan prinsip itu. Kalau mereka mau ikut ya ayo, kalau tidak sana minggir.

Soal lain, sebagai punggawa baru pengendalian operasi, tantangan apa yang dianggap paling berat?

Sejak duduk pada jabatan ini saya merasa tantangan yang saya hadapi biasa-biasa saja karena teman-teman saya sudah on track. Ini saya ketahui dengan pasti, sebab kami tumbuh bersama. Bedanya dulu saya sebagai montir di dalam “mobil” ini. Nah sekarang saya menjadi supir. Kebetulan saya juga sudah kenal dengan montir-montir yang lain. Jadi ya tinggal saya supiri. Deputi itu kan hanya menentukan “arah angin”. Mengatur manajemennya. Unit di bawahnya yang bergerak.

Soal produksi pasti paling sering disorot. Tapi kalau semua sistem berjalan, setiap divisi, dinas, dan sub dinas tahu harus melakukan apa, semuanya jadi lebih mudah. Bisa diketahui apa permasalahannya dan siapa yang harus action. •••

(12)

SEPUTAR KKKS

B

LOK Tuban yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB P-PEJ) berhasil mencapai produksi 40 ribu barel per hari (bph) pada akhir Agustus lalu. Bahkan, saat ini, produksinya telah meningkat lagi pada kisaran 41 ribu bdh.

Pencapaian ini menjadi prestasi tersendiri mengingat semula target produksi 40 ribu bph diperkirakan akan dicapai pada akhir tahun 2009 ini. “Tingkat produksi yang melebihi target itu perlu disyukuri,” kata General Manager JOB P-PEJ, Suryadi Oemar.

Produksi minyak Blok Tuban dihasilkan dari Lapangan Mudi yang berlokasi di Kabupaten Tuban dan Lapangan Sukowati di Kabupaten Bojonegoro. Keduanya di Jawa Timur. Lapangan Mudi mulai berproduksi pada 1998 dan Lapangan Sukowati mulai tahun 2004.

Saat ini, JOB P-PEJ memiliki wilayah kerja seluas 1.478,34 kilometer persegi yang meliputi enam kabupaten di Jawa Timur, yakni Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Seiring peningkatan produksi minyak, manajemen terus menggiatkan pencarian sumur-sumur baru.

Suryadi mengatakan, sejalan dengan selesainya pemboran sumur Sukowati- 12A, produksi minyak dapat ditingkatkan menjadi sekitar 45 ribu bph pada Desember 2009.

Tahun depan, JOB P-PEJ berencana mengebor lagi dua sumur di Pad B Sukowati yang ada di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, yakni, sumur-14 dan sumur-15. Sumur-sumur tersebut bukan untuk menambah produksi minyak, tapi mempertahankan produksi minyak di kisaran 45 ribu bph. “Produksi dari sumur-sumur baru tersebut akan menutupi penurunan produksi dari sumur-sumur-sumur-sumur

existing,” katanya.

Karena skenario-skenario tersebut, Suryadi optimis, produksi puncak Blok

PRODUKSI MINYAK BLOK TUBAN

CAPAI 40 RIBU BAREL PER HARI

(13)

SEPUTAR KKKS

Tuban bisa dipertahankan selama tiga tahun setelah produksi 45 ribu bph.

Hasil produksi puncak tersebut mendatangkan kelegaan tersendiri bagi manajemen JOB P-PEJ, maupun pemerintah. Pasalnya, Blok Tuban menjadi salah satu andalan pemerintah untuk menunjang target lifting minyak (bagian minyak untuk negara) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai catatan, pada tahun 2010 Dewan Perwakilan Rakyat RI dan pemerintah telah menyetujui target lifting minyak sebesar 965 ribu bph.

Pipa Baru

Untuk mendukung peningkatan produksi, JOB P-PEJ juga telah menyelesaikan pembangunan pipa

berukuran 10 inchi dari Mudi ke Palang sepanjang 38 kilometer. Peresmian dilakukan Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), Achmad Luthfi pada 21 Agustus lalu.

Pipa yang dapat menunjang penyaluran produksi minyak lebih dari 60 ribu bph itu akan digunakan untuk menyalurkan minyak yang berasal dari Lapangan Sukowati dan Lapangan Mudi ke tempat penampungan minyak mentah (Center Processing Area) di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban ke Palang Station di Desa Karang Agung, Kecamatan Palang, Tuban.

Dari Palang Station, minyak mentah kemudian dialirkan ke pipa bawah laut sepanjang 20 km untuk diproses di Central Processing Area, yaitu di

Floating Storage Offshore (FSO) Cinta Natomas, di utara Pantai Tuban.

Suryadi menjelaskan, pembangunan pipa telah mengikuti prosedur yang benar, melibatkan instansi terkait yang berkompeten, serta memberikan ganti rugi lahan yang

memadai berdasarkan kesepakatan dengan para pemilik lahan.

“Prinsipnya tidak boleh ada yang dirugikan. Kami mematuhi semua aturan main yang ditetapkan pemerintah,” katanya sembari menambahkan, penggunaan lahan untuk pipa didasarkan pada sistem sewa yang dibayar setiap tahun.

Seiring dengan penambahan produksi dari sumur minyak Lengowangi-1, JOB P-PEJ juga mulai mengalirkan gas ke pabrik pupuk PT Petro Kimia Gresik. Gas dialirkan melalui pipa diameter delapan inchi sepanjang 4,8 kilometer.

Pasokan gas sebesar 5 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) ke pabrik Petro Kimia Gresik digunakan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan gas untuk proses produksi. Saat ini, PT Petro Kimia Gresik baru mendapatkan pasokan sebesar 50 MMSCFD, dari kebutuhan sebesar 60 MMSCFD.

Tambahan pasokan tersebut diharapkan bisa mengatasi kendala pasokan gas yang dibutuhkan Petro Kimia Gresik dalam memproduksi pupuk, sehingga dapat menjamin ketersediaan pupuk dalam mendukung program swasembada pangan nasional. •••

(14)

COMDEV

SALAH satu program kegiatan pengembangan masyarakat atau community development

(Comdev) yang dilakukan Medco E&P di sekitar daerah operasinya adalah menggalakkan program padi organik dengan menggunakan metode SRI (System Rice Intensification). Desa Suka Makmur, Kabupaten Musi Rawas, Sematera Selatan, menjadi proyek percontohan program tersebut di Sumatra. Panen perdana telah dilaksanakan 2 Agustus lalu, dihadiri Menteri Pertanian pada saat itu, Anton Apriyantono dan Pendiri Medco, Arifin Panigoro.

Program SRI dipilih karena terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Dari lahan seluas 15 hektare, 30 petani binaan Medco berhasil memanen 105 ton gabah kering. Artinya, setiap hektar sawah penganut program SRI menghasilkan tujuh ton beras. Sebagai perbandingan, sebelumnya sawah di areal tersebut hanya menghasilkan setengah hingga satu ton per hektar. Hasil panen yang berlipat 600 persen tersebut

diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri dan dijual guna menambah pendapatan mereka.

Selain mendatangkan

keuntungan finansial karena terjadi peningkatan produktifitas,

penanaman padi dengan

menggunakan model SRI dinilai unggul dari sisi ramah lingkungan. Pasalnya pupuk yang digunakan adalah pupuk organik. Konsumen diharapkan akan menjadi lebih sehat karena tidak ikut mengkonsumsi residu pestisida dalam beras. SRI juga mengurangi penggunaan air secara berlebihan di sawah, sehingga potensi peningkatan gas metana yang membahayakan iklim dapat dikurangi.

Mengingat berbagai manfaat yang ditimbulkan dari program SRI, Presiden Direktur Medco E&P, Budi Basuki mengatakan, bahwa program SRI sejalan dengan visi dan misi Medco E&P sebagai perusahaan yang bergerak di bidang hulu minyak dan gas bumi yang memiliki tanggung jawab

mengurangi pemanasan global. “Secara konsisten kami berusaha mengurangi pemanasan global. Caranya antara lain dengan penghijauan serta pengurangan emisi gas,” katanya.

Hingga kini Medco Foundation telah mengembangkan padi SRI organik di Jawa Barat, Aceh Nangroe Darussalam, Bali, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Merauke.

Sejak diterapkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), biaya pengembangan masyarakat masuk ke dalam biaya yang tidak dapat di-cost recovery.

Meski demikian, BPMIGAS tetap mengajak seluruh KKKS baik produksi maupun eksplorasi untuk menjaga kelestarian lingkungan di

wilayah kerja mereka. •••

(15)

PERISTIWA

DISEPAKATI, TARGET PRODUKSI 2010

SEBESAR 965 RIBU BPH

PEMERINTAH dan Komisi VII, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati target produksi minyak bumi tahun 2010 sebesar 965 ribu barel per hari (bph) dalam rapat dengar pendapat yang digelar 24 Agustus lalu. Target produksi ini lebih besar dari target yang ditetapkan dalam APBN 2009 sebesar 960 ribu bph.

Hadir mewakili pemerintah, yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu, Purnomo Yusgiantoro, Direktur Pertamina Karen Agustiawan, Direktur PLN Fahmi Mochtar, Kepala BPMIGAS R Priyono, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono, serta Direktur Jenderal Listik dan Pemanfaatan Energi, Jack Purwono.

Kenaikan target produksi sebesar 5.000 bph ini sesuai dengan Nota Keuangan yang dibacakan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 3 Agustus 2009.

Untuk mencapai target produksi

minyak tahun 2010, Priyono mengatakan, pemerintah akan mengandalkan produksi dari 21 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Harapan terbesar diharapkan datang dari Chevron Pacific Indonesia yang menyumbang 370 ribu bph, Pertamina sebesar 138 ribu, Total Indonesie sebesar 92,96 ribu, dan Conoco Philips Natuna dengan kucuran 54 biru bph.

Diakui bahwa saat ini banyak lapangan besar yang menurun produksinya, seperti Chevron, Total, dan Conoco Philips. Tanpa melakukan usaha apapun, setiap tahun laju penurunan produksi dari lapangan-lapangan di wilayah kerja tersebut mencapai 15 persen per tahun.

Sejumlah usaha untuk menekan laju penurunan produksi telah dilakukan. Namun harapan terbesar untuk pencapaian peningkatan produksi ditumpukan pada peningkatan produksi dari lapangan-lapangan migas yang dikelola Pertamina EP. Harapan tampaknya tidak berlebihan

karena banyak lapangan migas di wilayah tersebut yang belum dikelola dengan menggunakan teknologi lanjutan seperti EOR. Oleh karena itu pemerintah dan Pertamina EP sepakat untuk menaikkan laju produksi dari 125 ribu bph pada tahun 2009 menjadi 138 ribu bph pada tahun 2010.

Akankah Pertamina mampu mencapai target tersebut? Salah satu peningkatan produksi telah terjadi dari lapangan Offshore Northwest Java

(ONWJ). Saat dikelola oleh operator lamanya, BP, produksi lapangan tersebut sebesar 22 ribu bph. Kini produksi dari lapangan tersebut telah mencapai 28 ribu bph.

Tambahan produksi minyak yang cukup signifikan ditargetkan datang dari Blok Cepu yang dikelola Mobil Cepu Limited, anak perusahaan Exxon Mobil. Realisasi produksi dari lapangan tersebut diharapkan akan stabil pada angka 20 ribu bph. Blok Natuna-B yang dikelola ConocoPhillips Indonesia diharapkan juga mampu ditingkatkan dari 48 ribu bph menjadi 54 ribu bph, serta dari lapangan produksi yang dikelola Chevron Indonesia Corporation di Kalimantan Timur yang diharapkan meningkat dari 21 ribu bph menjadi 28 ribu bph.

P e r t a n y a a n n y a , akankah target tercapai mengingat sebagian besar lapangan produksi Indonesia sudah tua? Sebagai gambaran rata-rata minyak nasional sampai dengan Agustus 2009 sekitar 948,9 ribu barel per hari atau 99,5 persen terhadap target ABPN 2009. •••

(16)

EXPANSI

BPMIGAS DAN DEPARTEMEN

PERINDUSTRIAN SEPAKAT MAJUKAN

INDUSTRI ALAT BERAT NASIONAL

ADA harapan baru bagi industri alat berat dan permesinan nasional untuk semakin berkembang pada tahun-tahun mendatang. Pasalnya, pada 21 Agustus 2009 lalu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dan Departemen Perindustrian membuat kesepakatan mengenai penggunaan alat berat dan permesinan, serta penggunaan kapal dan bangunan lepas pantai dalam kegiatan industri hulu migas.

Penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan Kepala BPMIGAS, R. Priyono dan Menteri Perindustrian kala itu, Fahmi Idris, di Jakarta. Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut Rapat Kerja BPMIGAS dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan Departemen Perindustrian mengenai alat berat pada 27-29 Mei di Bandung, serta Rapat Kerja Perkapalan dan Transportasi pada 27-28 Juli di Surabaya.

Priyono mengatakan, nota kesepakatan dibuat agar industri nasional dapat tumbuh dan berkembang, serta berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan Kontraktor KKS dalam menyediakan keperluan operasinya. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 investasi industri migas sekitar US$ 12,08 miliar, meningkat 12,6 persen dibandingkan realisasi investasi 2007 yang sebesar

US$ 10,74 miliar. Sebagian besar investasi digunakan untuk membiayai wilayah kerja produksi, yakni sebesar US$ 10,61 miliar, sisanya senilai US$ 1,48 miliar untuk non produksi.

Kerja sama ini menjadi salah satu agenda BPMIGAS sebagai lokomotif penggerak industri nasional serta upaya peningkatan komponen lokal dalam industri migas. Selain dengan Departemen Perindustrian, kesepakatan-kesepakatan lintas sektoral lainnya telah ditandatangani untuk mendorong terciptanya

multiplier effect industri hulu migas bagi perkembangan perekonomian nasional.

Saat ini, jumlah Kontraktor KKS yang beroperasi di Indonesia mencapai lebih dari 216 perusahaan. Sebanyak 63 Kontraktor KKS di antaranya sudah berproduksi, sisanya masih dalam tahap eksplorasi.

Dalam melakukan operasinya, Kontraktor KKS membutuhkan alat berat. Jenis alat berat yang biasa digunakan antara lain, dump truck,

motor grader, hydraulic excavator,

bulldozer, crane, backhoe loader,

forklift, power sovell, dan permesinan yang berkaitan dengan operasi hulu migas. Sampai tahun 2009 ini total penggunaan alat berat mencapai sekitar 1000 unit dengan pengguna terbanyak Chevron Pacific Indonesia.

Di bidang perkapalan, jumlah armada kapal yang digunakan untuk menunjang operasional seluruh Kontraktor KKS pada tahun 2009 sebanyak 633 unit yang terdiri dari berbagai tipe, misalnya tugboat, crew boat, barges, anchor handling tug and supply (AHTS), dan floating storage and of loading (FSO). Dari sejumlah itu, sekitar 10 persen (60 kapal) di antaranya masih berbendera asing.

BPMIGAS dan Departemen Perindustrian juga bersepakat akan segera merancang langkah-langkah konkret bagi industri alat berat dan perkapalan nasional dalam menyiapkan diri untuk memberikan produk dan pelayanan terbaik. Semoga cita-cita menjadikan industri alat berat dan perkapalan nasional menjadi tuan di negeri sendiri dapat terwujud. •••

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), rasionalization (rasionalisasi), capability

Melalui penerapan sistem data warehouse dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan, diantaranya proses analisis ataupun pengelolaan informasi berdasarkan data

Ketidakmampuan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari- hari akan mendorong manusia untuk selalu mengadakan hubungan timbal balik dengan sesamanya serta bertujuan

Melalui temuan dan analisis data di atas dapat dilihat bahwa adanya pembongkaran representasi kulit hitam dalam aspek kepemimpinan dan heroisme. Namun pembongkaran itu

Diantara pemikirannya adalah mengenai konsep falah, hayyah thayyibah, dan tantangan ekonomi umat Islam, kebijakan moneter, lembaga keuangan syariah yang lebih ditekankan kepada

Secara umum masalah penelitian yang menjadi titik fokus rumusan masalah adalah partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan sampah berbasis komunitas lokal

ƒ Menyimpan suatu blok dari main memory yang sering diakses oleh CPU.. Dalam operasinya, pertama-tama CPU akan mencari data di L1, kemudian di L2, dan

Menurut Darminto (2010) kinerja keuangan juga merupakan keseluruhan hasil kerja manajemen dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki yang dapat.. Kinerja