• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskusi & Peluncuran Buku Foto "EXILE"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskusi & Peluncuran Buku Foto "EXILE""

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at Malam, 16 Januari 2015 ---

Diskusi & Peluncuran Buku Foto "EXILE"

* * *

Karya: Rosa Panggabean "Rosa Bean"

(Pewarta Foto Antara)

“Perjalanan ini berarti besar buat saya, karena membuat saya menjadi “melek”sejarah.

Saya merasakan luka pada eksil 65 dalam guratan wajah dan intonasi suara saat saya berbincang dengan mereka. Selain itu, saya juga masih mendapati kepedulian mereka yang bukan basa basi tentang tanah air mereka. Dan rasanya tidak ada salahnya jika saya ingin mengajak generasi yang tidak menjadi saksi sejarah tersebut juga ikut membuka mata terhadap sejarah. Sementara itu, tak melupakan tugas saya sebagai pewarta foto yaitu mengutarakan pesan kepada publik, lewat catatan kecil ini saya mencoba menyampaikan pesan para eksil 65 kepada kalian yang membacanya. Dan inilah kisah mereka. (cetak tebal dari saya, I.I.)

* * *

Pembicara :

Yudhi Soerjoatmodjo (Fotografer) Amin Mudzakkir (Peneliti LIPI)

Moderator :

Sihol Sitanggang (Fotografer)

Sabtu, 17 Januari 2015 Pukul: 15.00 WIB

Galeri Foto Jurnalistik Antara Jl.Antara 59,Pasar Baru Jakarta 10710

Detail buku : 77 halaman 14,8x21 Hard Cover @ Rp.120.000,

(2)

2 Buku-Foto karya Rosa ini, 'lain dari yang lain'. Temanya berat dan akan selalu HANGAT. Yaitu masalah “EKSIL”. Indonesia mengenal “Eksil”, pada periode Indonesia masih merupakan “Hindia Belanda”. Sebuah negeri jajahan negara Belanda, yang terletak. Di kawasan “Khatulistiwa” yang kaya raya.

Para pejuang dan aktivis Indonesia yang terlibat dengan kegiatan dan tuntutan INDONESIA MERDEKA, sering berakhir menjadi “EKSIL”. Dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda, biasanya -- ke . . negeri Belanda. Mereka antara lain adalah pejuang kemerdekaan nasional TAN MALAKA.

* * *

Setelah Indonesia Merdeka, tidak ada lagi orang Indonesia yang 'dibuang' ke luarnegeri.

Suatu ketika, dalam tahun 1965, kekuasaan politik negara dan pemerintah Indonesia diserobot oleh Jendral Suharto. 'Incumbunt President' Sukarno digulingkan. Beliau Dikenakan tahanan rumah. Tanpa proses pengadilan dipecat dari jabatannya.

Sejak itu para pendukung Presiden Sukarno, yang kebetulan ada di luarnegeri, paspornya dicabut. JADILAH MEREKA ORANG-ORANG EKSIL Indonesia setelah Indonesia Merdeka.

* * *

Kelanjutan riset dan studi Rosa Pnggabean terhadap para eksil, dituangkannya antara lain di dalam bukunya EKSIL, sbb:

Rosa Panggabean:

“EKSIL”

“Dalam perjalanan singkat saya di kota yang penduduknya heterogen, Amsterdam, saya beusaha menemui beberapa orang eksil 65 yang dikabarkan menetap di sana. Setelah berbincang dan berceritera tentang kondisi Indonesia sekarang, siapa dan apa latar belakang saya, saya pun menceriterakan maksud saya membuat catatan visual tentang para eksil 65 yang kini tinggal di negeri kincir angin itu. Tidak semua orang setuju dengan maksud saya tersebut, namun tiga orang diantara mereka membolehkan saya mendokumentasikan kegiatan mereka. Mereka adalah Ibrahim Isa, Chalik Hamid dan

Sarmadji.

“Ide mendokumentsikan mereka ini sebenarnya tercatat pada sebuah perbincangan yang random antara saya dan sahabat saya Oxal, ia berceritera bahwa di Leiden, tempat ia mengenyam pendidikan S-2, ia sempat mengenal sejumlah priya tua yang bertahun-tahun tak pulang ke Indonesia karena mereka dituduh sebagai bagian dari komunis. Pada saat itu,

(3)

3 saya menjadi bagian dari dari generasi yang dijejali film Pengkhianatan G 30 S PKI setiap tahun dan selalu tertidur pada saat pelajaran sejarah diajarkan di bangku sekolah, hanya bisa bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang-orang yang mempunyai kisah seperti itu, dan bagaimana mungkin pemerintah tidak melakukan upaya pun terhadap mereka. Pada saat itu, tak terlintas di benak saya bahwa saya akan berkenalan dengan sebagian dari mereka, dan bahkan membuat catatan visual tentang mereka.

“Buat saya yang tidak mempunyai catatan ingatan langsung tentang apa yang terjadi pada tahun 1965 dan menerima versi sejarah yang diajarkan di sekolah, saya pun tertatih-tatih menerima versi sejarah yang berbeda. Sayapun harus kembali mempelajari keterkaitannya dengan sejarah Indonesia mereka, sejarah dunia yang berimbas kepada mereka yang disebut para eksil. Yang saya fahami adalah ada hak-hak manusia yang direnggut paksa dalam perjalanan sejarah tersebut.

“Perjalanan ini berarti besar buat saya, karena membuat saya menjadi “melek”sejarah.

Saya merasakan luka pada eksil 65 dalam guratan wajah dan intonasi suara saat saya berbincang dengan mereka. Selain itu, saya juga masih mendapati kepedulian mereka yang bukan basa basi tentang tanah air mereka. Dan rasanya tidak ada salahnya jika saya ingin mengajak generasi yang tidak menjadi saksi sejarah tersebut juga ikut membuka mata terhadap sejarah. Sementara itu, tak melupakan tugas saya sebagai pewarta foto yaitu mengutarakan pesan kepada publik, lewat catatan kecil ini saya mencoba menyampaikan pesan para eksil 65 kepada kalian yang membacanya. Dan inilah kisah mereka. (cetak tebal dari saya, I.I.)

“Kisah ini dimulai sejak masa pemerintahan Soekarno di tahun 1964, melalui jargon politik TRISAKTI, Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekoomi dan Berkepribadian di Bidang Kebudayaan demi mewudjutkan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), pemerintah RI pada masa itu menjalin kerjasama dengan sejumlah negara yang berhaluan sosialis. Indonesia dapat mengirimkan sejumlah pemuda Indnesia sebagai delegasi bangsa dan untuk bersekolah di luar negeri. Program ini merupakan program beaswiswa yang diberikan oleh negara yang akan dituju. Tujuan program ini tentu tentu saja sejalan dengan upaya menjadikan pemuda-pemuda Indonesia yang memiliki keakhlian di berbagai bidang ilmu. Baik bidang ilmu teknik, kedokteran, pertanian, higga sastra. Sehingga Indonesia, akan mempunyai sumber daya manusia akhli yang mampu membangun bangsa dan sanggup mengelola sumber daya alam Indonesia demi kemajuan bangsa kelak.

“Program ini juga selaras denga semangat KAA, Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. Yaitu semangat membebaskan diri dari hegemoni dan penindasan dari bangsa lain usai berakhirnya era penjajahan klasik. Membangun nasionalisme di dalam tata pergaulan internasional yang sejajar tanpa penindasan.

(4)

4 Beberapa negara mau menjalin kejasama untuk memberikan bea siswa kepda pemuda pemuda Indonesia, seperti China dan beberqapa negara di Eropoa Timur seperti Uni Sovyet, Republik Ceko, Rumania, Albania yang merupakan negara-negara sosialis. Tercatat sekitar 1500 orang dikirim ke negara-negara di Eropa Timur. Sekalipun demikian, politik Indonesia pada saat itupun menganut politik luar negeri ayang tidak berpihak kubu bipolarisasi dunia, yaitu blok barat dan blok timur.

* * *

“Di Amsterdam saya diperbolehkan memotret tiga orang eksil 65 yng sudah sangat terbuka atas identitqas diri mereka. Sarmadji, seorang guru yang tidak berafiliasi ke partai politik maupun organisasi sosial politik ketika itu, dikirim ke China untuk mempelajari bagaimana pendidikn di luar sekolah yang diterapkan di China. Chalik Hamid, seorang sastrawan muda yang bergabung dengan organisasi LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikirim ke Albania untuk mempelajari sinematografi. Dan Ibrahim Isa, seorang delegasi muda yang diutus sebagi perwakilan Inonesia at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian People's Solidarity Organization) pada tahun 1960-1966 di Cairo.

“Pada Januari 1966 Ibrahim Isa diutus untuk menjelaskan mengenai kondisi politik Indonesia mengenai apa yang terjadi pada setelah tanggal 1 Oktober 1965 pada Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia Afrika Amerika Latin (Tricontinental Conference di Kuba. Setelah itu ia tidak pernah kembali ke tanah air. Sebuah media cetak yang dikuasai militer pada saat itu menyatakan akan menangkap Ibrahim Isa dengan tuduhan sebagai agen Gestapu dan akan mejatuhkan hukuman gantung kepadanya. Ibrahim Isa hidup dari negara ke negara hingga pada tahun 1987 ia meminta suaka politik dari pemerintah Belanda hingga menjadi warga negara Belanda.

“Pasca peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965, keadaan politik nasional memanas. Militer mengambil alih pemerintahan dan petinggi PKI ditangkap bahkan beberapa diantara mereka dieksekusi tanpa melalui persidangan. Operasi yang dilakukan militer inipun tak hanya mengejar anggota PKI dan onderbouwnya, namun juga terhadap orang-orang yang bertalian dengan pemerintahan Soekarno, para simpatisan dan tentu saja pemuda-pemuda yang mengikuti beasiswa di negara-negara berfaham sosialis. Para delegasi yang berada di luar negeri tidak luput dari operasi mengatasnamakan pembersihan terhadap paham komunis di Indonesia. Paspor mereka dicabut alias tidak berlaku lagi dan jika mereka pulang ke tanah air, langsung ditangkap.

“Kondisi inilah yang menyebabkan banyak dari pemuda yang mengikuti program beaiswa ini tidak dapat kembali ke tanah air. Mereka hidup sebagai eksil di luar negeri. Mereka memilih tidak kembali karena rejim militer melakukan represi yang luar biasa. Cap sebagai komunis

(5)

5 itu tidak hanya dikenakan kepada mereka saja, namun kepada keluarga dan keturunannya yang masih tinggal di tanah air. Para eksil 1965 hidup bertahun-tahun tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Cina serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil. Maka pada tahun 1980-an sebagian dari mereka berimigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda.

“Mereka meminta suaka politik dan melamar menjadi warga negara Belanda. Kemudahan mereka dapatkan karena dalam satu pemahaman, para eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para eksil ini sejatinya adalah warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia merdeka atau masih dianggap lahir di wilayah Nderlandsch-Indië. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para eksil ini sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tanah air kelahiran mereka, Indonesia.

“Harapan yang tersisa dari mereka yang sudah tua itu, pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak meminta kompensasi materi atas penderitaan mereka akibat tragedi 1965 yang telah memakan begitu banyajk korban secara fisik dan moral. Mereka hanya mengharapkan permintaan maaf dari pemerintah atas keterbuangan mereka sebagai anak bangsa.”

* * *

SIAPA ROSA PANGGABEAN?

“Ocha, -- begitu kawan dan sejawatnya memanggil, dibesarkan dikota Cirebon, Jawa Barat. Dia lahir hanya beberapa bulan sebelum mendiang presiden kedua, Soeharto, pada 18 Agustus 1982 mencanangkan pemberantasan preman secara fundamental dengan jalan kekerasan. Fakta pada kala itu menunjukkan tingkat kriminalitas di ibukota, Yogya dan Jawa Tengah melesat tinggi bak meteor di antariksa. Pihak keamanan lalu menggelar Oporasi Clurit yang dalam catatan sejarah kriminalitas lebih dikenal sebagfai Operasi “Petrus” alias penembakan misterius.

“Sesekali Ocha kecil masih mendengar penuturan sang ibu di meja makan perihal mayat-mayat yang diindikasi sebagai preman tegeletak di jalan-jalan, di kanal, di pesisir pantai dimana Operasi Clurit di gelar. Kekerasan selalu menggetarkan bagi sanubari perempuan yang pada suatu ketika atas prestasinya di bidang fotografi jurnalistik beroleh kesempatan untuk mengunjungi Amsterdam. Kota yang menjadi markas dari Yayasan

(6)

6 World Press Photo, penyelenggara penghargaan fotografi jurnalistik tahunan yang paling bergengsi saat ini di seantero bumi.

“Dalam kunjungan singkatnya di negeri kincir angin itu, Ocha melakukan pemotretan dan melakukan wawancara dengan tiga tokoh eksil Indonesia yang terbuang dari kampung halamannya dan tampaknya akan terpaksa menghabiskan sisa hidup mereka di negeri yang jauh dari tanah kelahiran mereka.

“Melalui jalan yang berliku, Ocha berhasil meyakinkan Sarmadji seorang guru, Chalik Hamid sastrawan Lekra dan Ibrahim Isa yang paspornya semuanya dibekukan dan terusir dari negaranya sendiri sebagai nara sumber bagi pelaksanaan proyek kemanusiaan tengah dijalankannya. Mereka tengah berada di luar negeri saat peristiwa 30 September 1965 pecah dan sejak itu tak diijinkan untuk kembali ke Indonesia.

“Pada saat peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern itu meletus, Ocha belum dilahirkan. Bahkan pada saat itu ayahnya masih seorang pemuda berusia 15 yang mencoba menjadi perantau keluar dari tanah kelahirannya di Sumatera Utara, nan jauh disana. Rasa kemanusiaan Ocha yabg mendorongnya melakukan proyek pribadi dengan tema yang sejatinya sangat sensitif apalagi dilakukan oleh seorang pewarta foto muda yang minim pengetahuannya tentang sejarah kekerasan Orde Baru di awal kekuasaannya.

“Kebulatan hasrat Ocha pada sejarah yang terkunci rapat, dan mengangkatnya dalam suatu reportase visual secara pribadi adalah jalan kepada sebuah pengabdian kepada sebuah profesi jurnalisik yang tugasnya adalah menyiarkan kebenaran. Kepatuhan Ocha pada riset kecil seputar keberadaan Partai Komunis Indonesia dan lingkar dalamnya, membawanya kepada kotak terpendam dari kejahatan politik yang seperti beroleh dinastinya sendiri dalam estafet kesinambungan kepemimpinan nasional Indonesia. Paling tidak dengan keteguhan untuk terus membungkamnya dalam pusara tak bernama.

“Mengangkat opini pribadi yang menegaskan sikap anti kekerasaan seperti termaktub kemudian secra kolektif dalamn peluncuran buku “Exile”, adalah suatu karakter yang menjadi inti dari amanat jurnalisme.

“Pada hakikatnya Ocha telah menyampaikan kesaksian suara hatinya melalui rangkaian foto sesinya kepada dunia.

“Kita tak sekedar berhutang mata pada sejarah kemanusiaan yang nyatanya terus menggelindingkan roda-roda yang nyatanya terus menggelimpangkan roda-roda berdarahnya di sluruh dunia. Hingga hari ini.

(7)

7 Oscar Motuloh

Galeri Foto Jurnalistik Antara

Referensi

Dokumen terkait

Fakta-fakta inilah yang menandai urgennya studi ini dilakukan, sekaligus menjadi konsiderasi melakukan studi berjudul “Model Fungsionalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal ( Local

 In order to facilitate the ecosystem-based fisheries in the Asia Pacific region, co-management approach is important (not the Top-Down, Command-and-Control approach).  We

PENGARUH PROMOSI DAN MUTASI JABATAN TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN PADA PT.. PLN(PERSERO)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative dan permisive akan menciptakan lebih banyak anak yang memiliki harga diri

Original article A phase II study of multimodality treatment for locally advanced cervical cancer : neoadjuvant carboplatin and paclitaxel followed by radical

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara besar arus listrik melalui medium air dengan kerusakan histopatologi otot gastroknemius tikus Wistar

Dengan hasil ketiga percobaan di atas, dapat dilihat bahwa setting time dengan w/p rasio rendah (kental) memiliki setting time yang lebih cepat daripada normal, sedangkan