• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANGKAT TINDAK TUTUR DAN SIASAT KESANTUNAN BERBAHASA (DATA BAHASA MANDAILING)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANGKAT TINDAK TUTUR DAN SIASAT KESANTUNAN BERBAHASA (DATA BAHASA MANDAILING)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005

PERANGKAT TINDAK TUTUR

DAN SIASAT KESANTUNAN BERBAHASA

(DATA BAHASA MANDAILING)

Namsyah Hot Hasibuan

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract

The idea of sort making of speech acts into three categories: locution, illocution, and perlocution had given rise to beckoning of the multiaspected speech. Speech acts theory regards now semantics as one with-ranged context in human daily communication. An emphasis by this theory was more directed on the speech acts as basic unit of communication rather than merely on sentences. What really meaned by those three-mentioned terms is of the following description. Prompt inferences and speech principles could furtherly be added as decisive factors an addressee to profound understanding of the speech acts. In the social interaction politeness isn’t an unusual term on which one’s conscious means needed to safe other person’s face. Face means here the public self-image of a person. There is positive and negative face respectively with each wants and characters. Wants distinction between the two kinds of face bring forwardly two types of different attitude which respectively being called as positive politeness and negative politeness. They are that involved as participant in interaction should realize the urgency of understanding and applicable competence on the two types of politeness.

Key words: speech acts, interaction politeness, fulling face wants

1. PENDAHULUAN

Linguistik sudah berkembang sedemikian pesatnya sehingga mengakumulasikan sejumlah karya, baik tertulis maupun dalam bentuk lain yang tidak terkira jumlahnya. Memahami akan hal itu tidaklah terlalu sulit apabila dikaitkan dengan sifat objek linguistik yang senantiasa mengalami perubahan. Bahasa yang hidup sebagai akibat dinamika yang terdapat dalam masyarakat senantiasa akrab pula dengan perubahan. Perubahan yang tetap ada pada setiap bahasa menyebabkan teori kebahasaan pun dapat berubah dan berkembang sejalan dengan intensitas penelitian kebahasaan yang dilakukan terhadapnya.

Hal menarik yang dapat diamati dari fenomena ini tidak saja terdapat dan terbatas pada pemerian bahasa tertentu beserta keunikan yang dimunculkannya, tetapi juga pada aneka cara pendekatan beserta teori baru yang diperoleh dari hasil penelitian itu. Khusus menyangkut yang disebut terakhir ini, telah banyak sumber dalam bentuk media yang berbeda – dengan muatan informasi kebahasaan sampai kepada tawaran aneka teorinya. Pada tataran semantik, misalnya, telah banyak sumber dengan liputan aspek yang

lebih luas dan berbeda dari sebelumnya. Di antaranya malah ada yang hadir dengan liputan secara khusus, dengan pengambilan fokus pada satu aspek semantik tertentu.

Namun, perlu disadari bahwa hasil penelitian terhadap bahasa tertentu sebagai sumber lahirnya teori dapat menyiratkan problema tentang tingkat keberterimaan teori itu sendiri untuk semua bahasa. Hal ini sekaligus memberi asumsi bahwa tidak ada teori kebahasaan termasuk teori semantik, yang secara utuh sesuai dengan hasil kajian aspek-aspek semantik berbagai bahasa yang ada di dunia. Dalam hubungan ini, penerapan teori semantik terhadap bahasa lain di luar bahasa yang menjadi model buat pemunculan suatu teori dapat dipandang sebagai upaya melihat tingkat keberterimaan teori tersebut di satu pihak, serta keunikan yang terdapat pada bahasa yang diteliti di pihak lain. Menyadari akan hal bahasa daerah yang terdapat di wilayah Indonesia yang jumlahnya mencapai 726 buah (Sugono 2005), kehadiran teori semantik baru di era modern ini merupakan tantangan tersendiri dalam memahami lebih jauh ihwal semantik kebahasaan kita yang

(2)

bahasa-LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 bahasa daerah sudah jelas dan tercatat sebagai

keberuntungan tersendiri dalam menjaga terpeliharanya kelangsungan kehidupan budaya daerah yang merupakan kekayaan nasional (Halim1981).

Salah satu di antara bahasa daerah yang jumlahnya disebutkan di atas adalah bahasa Mandailing. Berdasarkan pengetahuan penulis, bahasa ini masih tergolong bahasa yang masih jarang mendapat sentuhan pengaplikasian teori linguistik modern, terutama dari tataran semantik. Keinginan untuk memperoleh informasi ihwal semantik bahasa Mandailing melalui pengaplikasian teori seperti dimaksudkan di atas, mendasari upaya penulis untuk mengadakan telaah singkat dalam tataran semantik. Fokus telaah semantik di sini adalah perangkat tindak tutur dan

kesantunan berbahasa bahasa Mandailing. Penulis berharap hasil telaah singkat ini dapat memberikan gambaran tentang aspek semantis bahasa Mandailing.

2. PRAGMATIK

PERANGKAT

TINDAK TUTUR

Saeed (2000) menyebutkan bahwa J.L. Austin adalah orang pertama pencetus konsep tindak tutur melalui bukunya How to do things with words. Menurut Austin, tuturan pada dasarnya dapat dibedakan atas dua jenis. Yang pertama adalah tuturan yang bersifat performatif dan tuturan yang bersifat konstantif. Selanjutnya, dinyatakan bahwa semua tuturan pada dasarnya bersifat performatif, yang berarti bahwa dua hal terjadi secara bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action), dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu ilokusi, lokusi, dan perlokusi (lihat Austin dalam Saeed 2000). Ilokusi merupakan tuturan dengan sekaligus melakukan sesuatu.

Lokusi dimaksudkan sebagai pengucapan kalimat yang memiliki makna dan rujukan tertentu; sedangkan perlokusi merujuk pada tuturan yang digunakan untuk memperoleh efek-efek tertentu, seperti membuat orang merasa terhibur, lebih yakin, ataupun marah. Selanjutnya, konsep performatif dapat meliputi bentuk tuturan yang eksplisit dan implisit. Jenis perfomatif yang implisit ternyata jumlahnya lebih banyak daripada yang eksplisit. Sebagai contoh tuturan performatif yang implisit dan eksplisit masing-masing dapat ditemukan pada yang berikut ini.

implisit : Ro ma ahu. datang lah aku ‘Saya (akan) datang’.

eksplisit : Marjanji bahaso ahu nangkan ro. Berjanji bahwa aku akan datang

‘Saya berjanji bahwa saya akan datang’.

Tuturan pertama di atas disebut implisit karena, walaupun penutur tidak mengucapkan kata

marjanji ‘berjanji’, dia, dalam hubungan ini tetap berbuat seperti tersebut pada kata marjanji. Pada tuturan kedua contoh di atas, perbuatan berjanji, dengan eksplisit, dinyatakan dengan mengatakan

marjanji ‘berjanji’. Teori tindak tutur Austin mendapat pengembangan lanjut dari J.R. Searle (dalam Leech 1981), yang di antara pendapatnya memandang teori bahasa sebagai bagian dari teori tindak (action theory). Oleh Searle upaya sistematisasi dilakukan terhadap teori tindak tutur. Satu di antara upaya sistematisasi yang dilakukan adalah pembuatan taksonomi sendiri, dengan mengelompokkannya ke dalam lima jenis tindak tutur utama.

(1) Tindak tutur representatif, yang menunjukkan komitmen penutur terhadap kebenaran proposisi yang diucapkan (meliputi, antara lain: pemberian pernyataan, pembuatan kesimpulan).

(2) Tindak tutur direktif, yang menunjukkan upaya penutur mempengaruhi lawan bicara untuk melakukan sesuatu (meliputi, antara lain: meminta, bertanya).

(3) Tindak tutur komisif, yang menunjukkan komitmen penutur terhadap tindak yang akan dilakukan (meliputi, antara lain: berjanji, menakut-nakuti, menawarkan).

(4) Tindak tutur ekspresif, yang menunjukkan sikap psikologis (meliputi, antara lain: mengucapkan terima kasih, memuji, mengucapkan selamat datang, mengucapkan selamat).

(5) Tindak tutur deklaratif, yang menunjukkan perubahan secara langsung tentang status sesuatu atas putusan lembaga-lembaga otorita non-linguistis (meliputi, antara lain: memecat, menyatakan perang, menikahkan, membebastugaskan).

2.1 Tindak Tutur Representatif

Bertolak dari pendapat Yule (1996), dinyatakan bahwa tindak tutur representatif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan keyakinan penutur tentang duduk ihwal realita eksternal (lihat juga Peccei 1999). Antara Yule dan Peccei terdapat kesamaan pandangan tentang ciri jenis tindak tutur ini, yaitu faktor kesesuaian. Artinya, pada tindak tutur jenis representatif penutur berupaya agar kata-kata atau tuturan yang dihasilkan sesuai dengan realita duniawi (yang diyakini). Searle (dalam Leech 1993), menyebut tindak tutur jenis ini sebagai tindak tutur asertif, yang mengindikasikan dari segi semantik karena bersifat proposisional. Selain itu, yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian hubungan antara kata-kata

(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 atau tuturan dengan fakta duniawi terletak pada

pihak penutur. Yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur representatif ini, antara lain: pernyataan (assertion), penyimpulan (conclusions), dan pemerian (description); seperti terdapat pada contoh (01a-c) berikut ini.

(01) a. Mata ni ari i milas. matahari itu panas ‘Matahari itu panas’.

b. Horbo inda manaek harambir.

Kerbau tidak memajat kelapa ‘Kerbau tidak memanjat (pohon) kelapa’. c. Natuari ari rayo.

Kemarin hari raya ‘Kemarin hari raya’.

2.2 Tindak Tutur Direktif

Pada tindak tutur direktif terdapat keinginan pihak penutur agar orang lain melakukan sesuatu. Dengan demikian, tindak tutur direktif merupakan ekspresi dari apa yang penutur inginkan (lihat Yule 1996). Pada kesempatan lain, Peccei juga memberi pandangan tentang tindak tutur direktif dengan menyebutkan bahwa dalam jenis tindak tutur ini terdapat pengerahan penutur terhadap lawan berbicara atau pembacanya agar melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dimaksudkannya melalui kata-kata yang disebutkan. Yang termasuk ke dalam jenis ini, menurut Yule, adalah perintah (commands), pesan (orders), permohonan (requests), dan saran (suggestions). Dalam hubungan ini, pendengar bertanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang akan dilakukannya terhadap keinginan penutur. Sebagai contoh, dapat ditemukan pada (02a-c) berikut.

(02) a. Lehen jolo i sia hobar, muruk ko! Beri dulu sama dia nasihat, marah kau ‘Beri dia nasihat dulu, marahi’.

b. Inda langa tarlehen ko di ahu hepeng na saotik i?

tidak dapat memberi kau kepada aku duit yang sedikit itu. ‘Apakah engkau tidak dapat memberiku duit yang

sedikit itu?’

c. Kehe mani tomui ia sannari.

‘Pergi lah jumpai dia sekarang’. ‘Pergilah jumpai dia sekarang’.

2.3 Tindak Tutur Komisif

Dari Yule (1996) diperoleh pemahaman bahwa dalam tindak tutur komisif penutur berketetapan hati untuk menindaklanjuti atau memenuhi apa yang dituturkan. Tuturan semacam ini mengekspresikan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Dalam penggunaan tindak tutur komisif, penutur bertanggungjawab atas kebenaran apa yang dituturkan. Menurut Leech (1993), jenis tindak tutur ini berfungsi menyenangkan. Yang disenangkan tentunya adalah pihak pendengar karena dia tidak mengacu kepada kepentingan penutur. Yang termasuk ke dalam jenis tindak

tutur ini, menurut Yule, adalah perjanjian (promises), ancaman (threats), penolakan (refusal), dan jaminan (pledges). Contohnya dapat ditemukan pada (03a-c) berikut ini.

(03) a. Nangkan lehenon ku dei. Itu akan berikan saya af. ‘Itu akan saya berikan’. b. Ro ma ia so hu pingkok.

Datang lah dia biar saya cekik. ‘Datanglah dia biar saya cekik’. c. Inda di ahu tu si be.

tidak Aku ke situ. ‘Aku tidak mau lagi ke situ’.

2.4 Tindak Tutur Ekspresif

Dalam tindak tutur ekspresif (Yule 1996) terdapat pernyataan yang menggambarkan apa yang penutur rasakan. Tindak tutur ini mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan (states); boleh juga terhadap kesenangan (pleasure), rasa sakit (pain), rasa suka dan taksuka (likes and

dislikes), kegembiraan (joy), ataupun duka (sorrow). Menurut Searle (dalam Leech 1993), sebagaimana halnya dalam tindak tutur komisif, tindak tutur jenis ini juga cenderung menyenangkan. Karena itu, tindak tutur ini, secara intrinsik, bersifat sopan kecuali dalam hal mengecam dan menuduh. Contoh tindak tutur jenis ekspresif dapat ditemukan pada (04a-e) berikut ini.

(04) a. Amman, bana mei. Wah, begitulah hendaknya’. ‘Wah, begitulah hendaknya’. b. Mauli ate, da.

‘Terima kasih, ya’. ‘Terima kasih, ya’. c. Bo, ma isi ia hape.

Ya, sudah di situ dia rupanya ‘Ya, dia sudah di situ rupanya’. d. Pabahat sobar, da. ‘Perbanyak sabar, ya ‘Perbanyak sabar, ya’.

2.5 Tindak Tutur Deklarasi

Dengan mengacu kepada pendapat Yule (1996) diperoleh pemahaman bahwa pada tindak tutur deklaratif terdapat perubahan dunia sebagai akibat dari tuturan itu. Menurut Searle (dalam Leech 1993) tindakan jenis ini tercatat sebagai kategori tindak tutur yang sangat khusus karena hal yang demikian biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kapasitas untuk itu atas dasar kelembagaan. Dengan acuan kelembagaan yang ada pada seseorang, orang yang bersangkutan berwenang untuk melakukannya. Misalnya, yang lazim disaksikan oleh masyarakat, berupa peristiwa tuan kadi yang menikahkan calon suami-istri, hakim yang menjatuhkan hukuman bagi pelanggar undang-undang, pejabat tinggi yang meresmikan bangunan penting, dan sebagainya. Dengan deklarasi yang dibuat oleh pejabat yang

(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 berwenang, keadaan dunia berubah sebagai akibat

dari kata-kata atau tuturan yang diucapkannya. Jika mengacu kepada pejabat yang melakukannya, seperti tuan kadi tadi, dengan kata-kata atau tindak ilokusi yang dilakukan, status kedua orang yang tadinya sebagai calon suami-istri, berubah suami dan istri. Contoh lain lagi dapat ditemukan, pada (05a-b) berikut ini.

(05) a. Ketua Yayasan

Pendidikan: … sikola on goarna BAKTI. … sekolah ini namanya BAKTI. ‘… sekolah ini namanya BAKTI’. b. Dari ayah ke anak: Hutobalkonma gorarmu si Sahat.

Kutabalkanlah namamu si Sahat. ‘Kutabalkanlah namamu si Sahat’.

Pada (05a), berkat upaya ketua yayasan pendidikan yang bersangkutan dalam meresmikan dan memberi nama sekolah yang dimaksudkan, untuk selanjutnya sekolah tersebut resmi bernama sekolah BAKTI. Begitu juga pada (05b), berkat penabalan nama oleh ayah anak yang bersangkutan terhadap anaknya maka anak tersebut resmi bernama Sahat. Tindak tutur lain yang tergolong ke dalam jenis tindak ilokusi ini adalah penjatuhan hukuman (sentencing) dan putusan juri (referee’s

calls). Hal lain yang dapat dipahami dari Searle adalah bahwa semua tuturan merupakan tindak ilokusi. Kenyataan bahwa penutur sering mengucapkan tuturan dalam bentuk yang berbeda dengan tindak tutur yang dimaksudkan. Misalnya penutur bermaksud meminta, tetapi mengekspresikannya melalui bentuk pertanyaan, sehingga terdapat perbedaan antara yang diucapkan dengan yang dimaksudkan. Hal itulah yang mendasari pembagian tindak tutur atas dua jenis, yaitu tindak tutur langsung (direct speech

act) dan tindak tutur taklangsung (indirect speech

act). Kedua jenis tindak tutur tersebut dapat

dijelaskan melalui tampilan berikut.

TUTURAN LANGSUNG TAK-

LANGSUNG

Bia pala na get mulak ia?

Kenapa kalau hendak pulang dia ‘Kenapa kalau dia hendak pulang?’

bertanya suruhan

Oban ayamu, so huida jolo!

Bawa ayahmu, biar kulihat dulu itu ‘Bawa ayahmu, biar tahu saya!’

perintah gertakan

Hutombomkon ho naron.

kuhentakkan (pantat) kau’ nanti ‘Nanti kuhentakkan (pantat) kau’.

pernyataan gertakan

Gambaran di atas menyiratkan problema, yaitu bagaimana orang dapat mengenali tindak tutur taklangsung itu? Untuk itu, Searle mencanangkan satu cara pendekatan. Menurut Searle, dalam bentuk ilokusi taklangsung penutur menyampaikan maksudnya tidak seperti apa yang terdapat pada yang terucapkan. Hal itu dihubungkan dengan pengetahuan bersama terhadap yang melatari informasi itu. Dalam banyak hal, konvensi sangat berperan.

Penderes A: Ketabo mangguris! Ayo menderes ‘Ayo (pergi) menderes!’ Penderes B: Mago piso gurisku.

hilang pisau deresku

‘Pisau deresku hilang’.

Pada percakapan dua orang penderes (pohon karet) di atas, secara sepintas, tidak terlihat adanya relevansi jawaban B terhadap ajakan A. Namun, kerelevanan jawaban B terhadap ajakan A akan mengemuka apabila, siapa saja, mengetahui latar belakang jawaban B. Dengan mengikut pada pendekatan Searle, dinyatakan bahwa B melakukan tindak ilokusi sekunder yang ditandai dengan pembuatan pernyataan; dalam hal ini pernyataan literal bahwa ia kehilangan pisau deres. Tindak ilokusi primer oleh B, sesungguhnya tidak terdapat pada bentuk literalnya,seperti yang diucapkan B, tetapi pada non-literalnya. Penderes A mengetahui bahwa seorang penderes, untuk melakukan pekerjaan menderes, sangat memerlukan pisau deres. Tanpa pisau deres, seorang penderes tidak akan dapat melakukan pekerjaannya untuk menderes. Jelasnya, untuk menderes diperlukan pisau deres. Mengetahui akan hal itu, A dapat membuat praanggapan bahwa B, ketika itu merasa tidak siap untuk melakukan pekerjaan menderes sebelum B menemukan pisau deresnya yang hilang, atau memiliki lagi yang baru. Di sini jawaban B yang terlihat informatif (Mago piso gurisku) ditafsirkan oleh A sebagai penolakan terhadap ajakannya.

3.

KESANTUNAN BAHASA DAN

TINDAK TUTUR

Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau disebut dengan kesantunan saja. Teori kesantunan banyak diperoleh dari Brown dan Levinson (1987), yang memberi batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan muka orang lain. Istilah muka, dalam hubungan ini, oleh Brown dan Levinson (dalam Peccei 1999 dan Yule 1996) dimaknai sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat.

(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Aspek muka terdiri atas muka positif dan

muka negatif. Muka positif mengacu kepada kebutuhan seseorang untuk dapat diterima dan disukai oleh orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan muka negatif merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain. Setiap jenis muka, di antara yang positif dan yang negatif, memiliki keinginan yang berbeda yang dapat disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing lazim disebut sebagai

kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan positif, orientasinya adalah menjaga atau menyelamatkan muka positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang dimaksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Hal demikian biasanya ditandai dengan adanya penggunaan tuturan informal; misalnya dengan memunculkan ucapan yang berciri dialek ataupun bahasa slang, nama panggilan, menggunakan kata ganti yang menunjukkan inklusivitas (seperti kita), dan meminta dengan cara tidak langsung. Selanjutnya, kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menjaga atau menyelamatkan muka negatif orang lain. Hal semacam ini biasa terjadi pada partisipan yang belum mencapai keakraban dalam interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Artinya, masih terdapat jarak sosial antara penutur dan petutur. Pada kesantunan negatif, orang menggunakan siasat bertutur yang menekankan adanya hormat dan menghargai petutur atau pendengarnya. Nama panggilan, bahasa slang, dan tuturan informal yang biasa digunakan dalam siasat kesantunan positif, tidak digunakan pada siasat kesantunan negatif. Sifat permintaan lebih cenderung kepada pengalaman tuturan secara tidak langsung dan impersonal; jika hal demikian dalam bahasa Inggris biasanya (Yule 1996 dan Peccei 1999) sering digunakan kata-kata dengan verba modalitas.

Dalam Yule (1996) dinyatakan bahwa dalam setiap budaya ditemukan adanya prinsip umum kesantunan yang mengatur komunikasi sosial. Kesantunan, dalam hubungan ini, oleh Yule dinyatakan sebagai sikap santun sosial yang telah terkonsepsi tetap dalam masyarakat atau budaya tertentu. Di antara prinsip umum kesantunan itu termasuklah di antaranya, sifat kearifan (tactful), murah hati (generous), rendah hati (modest), dan sifat simpatik (sympathetic) terhadap orang lain. Dikatakan, partisipan yang terlibat dalam interaksi seyogianya menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, yang sering terjadi adalah terdapatnya kesenjangan ketika

berinteraksi, yakni tidak semua prinsip dan norma kesantunan itu terlaksana. Merujuk kepada pemikiran Brown dan Levinson, Yule (1996) selanjutnya mencoba menjelaskan kesantunan, termasuk tipologinya, dengan bertolak dari penjelasan tentang muka. Muka, dalam hubungan ini, merupakan istilah khusus yang dimaknai sebagai citra diri seseorang di masyarakat. Dalam interaksi sosial pada prinsipnya setiap orang memiliki muka yang perlu dijaga citranya oleh orang yang posisinya pada saat berinteraksi sebagai penutur. Dengan demikian dikenal adanya keinginan muka (face wants). Kesadaran yang diwujudkan dalam kesantunan demi menjaga muka seseorang dipandang sebagai kebutuhan muka tersebut (lihat juga Peccei 1999). Kesantunan dalam interaksi sosial dirumuskan sebagai perangkat yang digunakan, yang dapat menunjukkan kesadaran setiap penutur (atau siapa saja) untuk menjaga muka orang lain. Hal itu, oleh Leech (1993) diperjelas dengan mengatakan bahwa kesantunan merupakan siasat yang digunakan untuk menjaga dan mengembangkan hubungan. Oleh Brown dan Levinson (1978/1987) kesantunan itu ditujukan untuk menjaga muka petutur (lihat juga Siregar 2002). Dalam penjelasan Yule lebih lanjut, dinyatakan bahwa kesantunan dapat saja dilakukan dalam situasi sosial berjarak ataupun akrab. Sikap sadar yang ditunjukkan dalam menjaga muka orang lain, yang memiliki jarak sosial dengan penutur lazim dipandang sebagai tindakan menghargai atau hormat pada petutur atau orang lain; sedangkan sikap yang sama terhadap orang yang dirasa akrab dengan kita biasa dipandang sebagai solidaritas atau sikap bersahabat. Sebagai contoh, tipe kesantunan dalam situasi berjarak sosial dapat ditemukan pada tuturan (06) berikut ini.

(06) Santabi di hamu tulang, hara ni parsuadaan bia pala Hormatku buat kamu tulang, karena yang miskin, bagaimana kalau ‘Hormatku buat tulang, karena saya miskin, bagaimana kalau

hutalpok jolo sotik na tubu di saba muyu i

saya petik dulu sedikit yang tumbuh di sawah kalian itu saya memetik sayur yang tumbuh di sawah kalian itu’

Tipe kesantunan yang terdapat pada (06) terjadi antara seorang penutur masyarakat bahasa Mandailing yang tingkat ekonominya rendah kepada seorang (petutur) yang hubungan sosialnya belum tergolong dekat. Namun, karena faktor kepapaan, dia tidak sanggup membeli sayur yang diperlukannya untuk memasak. Kondisi yang demikian membuat penutur pada (06) memberanikan diri berinteraksi dengan petutur yang tergolong memiliki jarak sosial dengan si penutur. Tipe kesantunan kedua, yang menunjukkan keakraban hubungan sosial, dapat

(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 ditemukan pada gambaran melalui tuturan contoh

(07) berikut ini.

(07) Mis, painte jolo!

Mis, tunggu dulu ‘Mis, tunggu dulu!’

Pada contoh (07) terdapat gambaran yang menunjukkan bahwa hubungan sosial antara penutur yang menghasilkan tuturan dengan petutur tidak jauh. Setidaknya dapat diasumsikan bahwa tuturan itu berlangsung dari seorang penutur yang juga merupakan teman akrab si petutur atau yang lebih muda usianya dari penutur – tetapi sudah dikenal dekat oleh si penutur sendiri. Dari masing-masing tipe pendekatan yang terdapat pada contoh (06) dan (07) di atas, dapat dipahami adanya dua jenis kesantunan yang berbeda apabila dikaitkan dengan faktor tingkat keakraban sosial. Dalam konteks berbicara dengan menggunakan bahasa Mandailing, faktor yang menyangkut hubungan tingkat keakraban sosial merupakan hal yang menentukan terhadap pemunculan tipe kesantunan bertutur yang dialamatkan kepada petutur dalam rangka menjaga keinginan muka.

Selanjutnya, dapat saja terjadi bahwa partisipan dalam berinteraksi terkendala oleh hubungan sosialnya yang belum cukup serasi dalam masyarakat. Dalam hubungan interaksi sosial oleh partisipan yang merasa berhadapan dengan kondisi seperti itu biasanya menghendaki agar citra dirinya dalam masyarakat yang justru menjadi keinginan mukanya terjaga dan dihormati. Dalam hubungan ini, apabila penutur kurang memperhatikan hal yang menjadi keinginan muka lawan bicara, misalnya, dengan mengatakan sesuatu berupa paksaan ataupun ancaman, penutur dipandang telah melakukan suatu tindakan mengancam muka (face threatening act). Apa yang disampaikan mungkin saja oleh orang lain ditafsirkan sebagai sesuatu ancaman atau paksaan terhadap mukanya; dan apabila penutur mengantisipasi dan melakukan suatu upaya untuk mengurangi yang mungkin dianggap bersifat ancaman itu, upaya demikian disebut tindakan menjaga muka (face saving action). Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut maksud kedua istilah tersebut akan diilustrasikan dengan contoh (08a-b) dengan memperhatikan lebih dahulu konteks yang melatari kejadiannya.

Di ujung jalan untuk pejalan kaki terdapat sekelompok anak muda yang sedang asyik menyanyi dan memainkan gitar. Sebagian di antara mereka duduk, dan ada juga yang berdiri di ujung jalan yang sama. Namun, karena ukuran jalan yang kecil dibanding dengan jumlah anak muda yang duduk dan

berdiri membuat jalan tersebut jadi tertutup, sehingga mengganggu pejalan kaki yang hendak melewati jalan tersebut. Bagi pejalan kaki yang hendak lewat, satu di antaranya si Ali (A) dan yang satu lagi si Badu (B) berinteraksi dengan beberapa orang anak muda tadi agar mereka meminggir dan jangan berada di ujung jalan tersebut. Si A sadar dan dalam hal ini masih merasa perlu menjaga muka para pemuda yang berada di ujung jalan itu. Namun, si B, yang dalam hal ini merasa tidak perlu terlalu toleransi menghadapi mereka; memilih cara lain dengan melakukan tindak pengancaman muka. Dalam contoh (08), tuturan yang muncul dari si A adalah seperti yang tersebut pada (08a) dan tuturan yang muncul dari si B terdapat pada (08b).

(08) a. Ammaaan, tola do ahu mamolus? Waaah, boleh kah aku lewat ‘Waaah, apa boleh aku ini lewat?

b. Halak get mamolus, morot, inda dalan muyu on. Orang mau lewat, awas, bukan jalan kalian ini. ‘Orang mau lewat, awas, bukan jalan kalian ini.

Dalam upaya menyelamatkan muka orang, yang perlu diperhatikan adalah apa yang menjadi keinginan muka negatif atau yang merupakan keinginan muka positif. Orang yang

bermuka negatif tidak mau terikat dan dibebani; dia cenderung memilih bebas untuk berbuat dan tidak ingin mendapat tekanan atau paksaan dari orang lain. Orang yang bermuka positif menginginkan dirinya dapat diterima sebagai bagian integral dari kelompoknya serta keinginan-keinginannya diperhatikan orang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa muka negatif itu ialah keinginan pribadi untuk independen, dan muka positif sebagai keinginan untuk diterima sebagai anggota kelompok masyarakatnya. Dengan demikian, tindak penyelamatan muka yang orientasinya kepada orang bermuka negatif cenderung dengan penyertaan tanda hormat, menghargai waktu dan urusannya, dan terkadang malah harus disertai lebih dahulu dengan pernyataan minta maaf apabila kita hendak memerintahkan atau mengganggunya. Upaya penyelamatan muka yang dilakukan terhadap orang bermuka negatif seperti itu disebut juga

kesantunan negatif. Selanjutnya, tindak penyelamatan muka yang orientasinya kepada orang bermuka positif cenderung dengan penyertaan sikap solidaritas, perasaan memiliki keinginan dan tujuan bersama. Dalam hubungan ini, upaya penyelamatan muka yang dilakukan terhadap orang bermuka positif disebut kesantunan

(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Hal lain yang dapat diamati dari interaksi

sosial adalah bahwa mengatakan sesuatu tidak selamanya dapat diartikan meminta sesuatu. Dalam hal orang merogoh kantong baju dan mencari-cari isinya, misalnya, dapat saja dia mengatakan seperti pada (09a) atau (09b) berikut.

(09) a. Ala, ma lupa ahu hepeng. Aduh, sudah lupa aku uang

‘Aduh, aku sudah lupa membawa uang’ b. Sanga idia pe antong hubaen hepeng i.

‘Entah di mana itu saya buat uang itu ‘Entah di mana uang itu saya letakkan’

Kalimat seperti (09a) atau (09b) adalah kalimat pernyataan yang jelas tidak terlihat kepada siapa penuturnya mengalamatkan tuturannya itu. Artinya, pengalamatan tuturan oleh penutur tidak diketahui kepada siapa ditujukan. Hal demikian memungkinkan bagi yang mendengar tuturan tersebut bersikap seolah-olah tuturan tersebut belum lagi didengarnya. Tuturan-tuturan semacam itu dapat dipandang sebagai tuturan tanpa pengalamatan yang jelas (off record). Kejadian semacam itu tidak lazim terjadi dan contoh tuturan tersebut hanya dipandang sebagai isyarat saja. Namun, perlu diingat bahwa tuturan seperti itu dapat saja memperoleh tanggapan dan membawa hasil, atau tidak ditanggapi sama sekali. Jika ditanggapi secara baik oleh orang yang mendengarnya, misalnya, dengan mengatakan dan memberi pinjaman sejumlah uang untuk sementara pengganti uang yang tertinggal, yang menyebabkan orang lain sudi memberikan uangnya untuk dipinjami bukan disebabkan oleh tuturan yang tidak dialamatkan kepada siapa-siapa tadi, melainkan karena adanya pengkomunikasiannya. Sebaliknya, kita secara langsung mengalamatkan tuturan kita kepada orang lain untuk menyampaikan maksud. Pengalamatan tuturan secara langsung dengan cara ini disebut pengalamat yang jelas (on record). Sifat langsung yang amat terasakan dari segi pengalamatan tuturan ditemukan pada penggunaan imperatif, seperti pada contoh (10). Perintah jelas sekali dialamatkan kepada orang yang langsung dimintakan untuk merespons dan berbuat memenuhi harapan orang yang memerintahkan. Cara seperti ini disebut pengalamatan langsung (bald on record).

(10) a. Dia jolo hepeng i! Beri dahulu uang itu ‘Beri aku uang dahulu’ b. Hupinjam jolo hepeng mi! Kupinjam dahulu uangmu ‘Kupinjam dahulu uangmu’

Tuturan seperti yang terdapat pada (10) di atas sifat memerintah sangat terasa, terutama bagi

petutur yang tingkat keakrabannya dengan penutur masih tergolong belum begitu dekat. Untuk memperoleh respons yang mungkin lebih baik dari petutur, orang sering melakukan upaya penghalusan atau pengurangan kesan kurang santun dengan cara menyertakan bentuk-bentuk pelengkap penghalus, seperti bia (pala)….’macam mana (kalau)….’, tola do…. ‘apakah boleh ….’, dan sebagainya. Perangkat bahasa yang sifatnya dapat mengurangi kesan tidak santun seperti itu disebut perangkat penghalus (mitigating devices).

Terdapat juga kecenderungan mengidentikkan antara pendekatan secara bald on

record dengan semua bentuk perintah. Hal semacam itu ternyata keliru karena bentuk-bentuk imperatif sering digunakan dalam hubungan yang bersifat akrab tanpa memandangnya sebagai perintah. Sebagai contoh dari hal ini dapat ditemukan pada (11), yang menggambarkan seorang penutur mempersilakan temannya untuk menikmati makanan yang telah tersedia (11a), atau penutur yang akan mencoba menolongnya jangan berlama-lama memakai pakaian yang basah (11b).

(11) a. Panganma da silua i. Makanlah af oleh-oleh itu’. ‘Makanlah oleh-oleh itu’. b. Buka saraormu na litak i!

Buka celanamu yang basah itu ‘Buka celanamu yang basah itu’.

Situasi darurat yang membahayakan memungkinkan juga untuk menjadi penyebab dimunculkannya penggunaan bentuk perintah tanpa memperhitungkan lagi siapa dan kepada siapa tuturan dialamatkan. Gambaran seperti itu dapat ditemukan, misalnya pada contoh (12) yang berikut. Pada contoh (12a) penutur memerintahkan petutur yang boleh jadi belum dikenalnya untuk segera naik untuk menghindarkan, misalnya, bahaya banjir yang sifatnya sementara waktu saja. Contoh (12b) dapat menggambarkan penutur yang lagi memerintahkan semua penghuni atau tamu yang berada di dalam suatu ruangan untuk segera keluar karena adanya bahaya kebakaran yang mengancam keselamatan jiwa.

(12) a. Manaek ko copat! Naik kau cepat ‘Naik kau cepat!’ b. Hamosokan, kaluar copat!

Kebakaran, keluar cepat ‘Kebakaran, keluar cepat!’

Adakalanya dalam hal-hal yang bersifat sosial penggunaan perintah langsung berupa bald

on record, seperti terdapat pada (11) dan (12) dipandang sebagai sesuatu yang tepat dan biasa saja tanpa menganggapnya sebagai ketidaksantunan. Namun, perlu dipahami bahwa

(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 tuturan yang bald on record harus dikaitkan

dengan konteks bertutur, yang dalam hal ini, si penutur mengasumsikan bahwa dia memiliki kebolehan menguasai atau mengendalikan petutur melalui kata-kata yang dihasilkannya. Dalam interaksi sosial sehari-hari yang memperhitungkan kesetaraan, pendekatan bald on record seperti itu (contoh 11-12) potensial dipandang sebagai tuturan yang bersifat mengancam muka orang lain; karena itu penggunaannya sering dihindari. Menghindari tindak pengancaman muka bagi orang lain dapat dilakukan melalui siasat kesantunan positif atau negatif (positive or

negative politeness strategies).

4. SIASAT KESANTUNAN

Dalam Yule (1996) disebutkan adanya dua macam siasat kesantunan. Yang pertama adalah siasat kesantunan positif (positive politeness strategy), dan yang kedua siasat kesantunan negatif (negative

politeness strategy). Dengan siasat kesantunan positif disebutkan, orang (penutur) akan terpandu untuk memintakan apa yang diharapkannya, atau untuk memperoleh suasana keakraban (lihat kembali contoh (06) dan (08a)) di atas. Tuturan langsung (on record), seperti pada contoh (10) diduga sangat rentan terhadap kemungkinan adanya penolakan dari petutur. Karena itu, sebagai upaya antisipasi orang sering mendahului tuturannya dengan percakapan pendahuluan dengan petutur untuk memberi tahu sedikit tentang maksud penutur. Cara ini, seperti terdapat pada (13), dirancang sedemikian rupa sebagai siasat untuk beroleh pengabulan terhadap apa yang hendak diminta.

(13) Jou koum! Por ni roha hamu markalapangan. Tauken adong na huida dohot porni roha manabusina, tai taringot nga maroban hepeng ahu rupa.Bia langa roai pala borkatdo pangidoan, manginjam jolo hepeng muyu, ibagasan sapoken on pe da.

Keluargaku! Kiranya kalian dalam kesejahteraan. Kebetulan sekali ada rupanya yang saya lihat dan inginkan tadi, tetapi teringat saya tidak membawa uang. Kalau permintaan saya dapat dikabulkan, macam mana kalau saya kalian pinjami uang dahulu dalam seminggu ini saja. (terjemahan bebas)

Dalam konteks penggunaan bahasa Inggris, menurut Yule, upaya penyelamatan muka lebih sering ditempuh melalui upaya pemilihan siasat kesantunan negatif (negative politeness

strategy). Bentuk yang lazim digunakan untuk maksud itu adalah bentuk kalimat tanya yang menggunakan verba modalitas, seperti could, can,

might, may, sebagaimana dapat ditemukan pada contoh (14) berikut ini.

(14) a. Could you lend me a pen?

b. I’m sorry to bother you, but can I ask you for a pen or something?

c. I know you’re busy, but might I ask you if – em – if you happen to

have an extra pen that I could, you know – eh – maybe borrow?

Lebih lanjut, Yule menjelaskan bahwa penggunaan siasat seperti ini tetap menyertakan bentuk-bentuk yang menggambarkan pengurangan kesan memaksa, seperti yang tersebut pada contoh berbahasa Inggris (14b). Yang terdapat pada (14c) adalah salah satu dari strategi kesantunan negatif dengan menambah panjang tuturan yang menunjukkan adanya penuh kehati-hatian. Karenanya terdengar juga adanya kekakuan. Mengambil pelajaran dari contoh nomor (14c), Yule selanjutnya mengatakan bahwa penyampaian secara khusus melalui kesantunan negatif, ataupun bertanya dengan maksud meminta izin untuk bertanya (seperti dapat dilihat pada, May I ask...?) tidak banyak membantu penutur dalam upaya memperoleh apa yang diinginkannya. Kelihatannya, pertanyaan semacam itu dapat memberi peluang bagi petutur untuk menjawab pertanyaan tersebut secara negatif yang kurang menguntungkan apabila dibandingkan dengan penyampaian melalui cara langsung dengan bald

on record yang imperatif. Malah dalam hal yang berkenaan dengan paradigma penggunaan bahasa, ketersediaan bentuk pendekatan bald on record ataupun bentuk melalui cara off record, dapat menjadi pilihan yang berarti dalam upaya penyelamatan muka. Pemilihan pendekatan yang bersifat kurang langsung dan tidak jelas biasanya membuat tuturan menjadi memanjang yang disertai dengan struktur yang lebih kompleks dari yang berlaku secara umum. Untuk itu, upaya yang diperlukan oleh si penutur untuk memperoleh apa yang dimaksudkan bertambah; padahal apa yang dimaksudkan dapat saja diperoleh melalui cara lain yang lebih ringkas.

5. SIMPULAN

Salah satu pendekatan dalam kajian makna yang saat ini sedang berkembang adalah teori tentang tindak tutur (theory of speech acts). Teori ini memandang semantik dengan liputan konteks yang lebih luas dalam komunikasi manusia. Unit dasar komunikasi dalam teori ini lebih ditekankan pada tindak tutur daripada sebatas kalimat. Terdapat tiga jenis tindak tutur, yaitu: lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi dimaknai sebagai tuturan faktual kalimat dengan arti tertentu.

Ilokusi, sebagai maksud yang penutur miliki pada kalimat yang dituturkan; sedangkan perlokusi merupakan perolehan hasil dari penuturan kalimat. Di antara ketiga jenis tindak tutur tersebut, ilokusi lazimnya mendapat pembicaraan yang lebih banyak dari ahli. Lebih lanjut, ada yang

(9)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 membaginya ke dalam lima kategori ilokusi, yang

terdiri dari ilokusi representatif, direktif, komisif,

ekspresif, dan deklaratif. Adanya daya ilokusi dalam tindak tutur membabitkan petutur untuk mengombinasikan pengetahuan linguistiknya dengan latar pengetahuan budaya serta pemahaman terhadap konteks saat bertutur. Penentuan pilihan penanda tindak tutur ternyata tidak mudah karena penanda linguistik tidak berperan tunggal dalam operasionalnya. Jenis kalimat yang dikenal belum tentu selalu berkorelasi dengan tindak tutur. Dari uraian diperoleh isyarat bahwa kecekatan inferensial serta prinsip-prinsip percakapan bagi petutur amat menentukan dalam memahami suatu tindak tutur.

Dalam interaksi sosial dikenal yang disebut kesantunan berbahasa, atau kesantunan saja. Kesantunan merupakan upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan muka orang lain. Istilah muka dimaknai sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat. Terdapat dua aspek terkait dengan istilah muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu kepada kebutuhan untuk diterima dan disukai orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan muka negatif merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain. Setiap jenis muka memiliki keinginan yang berbeda yang dapat disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing disebut kesantunan positif dan kesantunan negatif. Kesantunan positif berorientasi pada penyelamatan muka positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang maksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menyelamatkan muka negatif orang lain. Dalam setiap budaya, termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan. Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan, murah hati, rendah hati, dan sifat simpatik terhadap orang lain. Dalam masyarakat Mandailing, prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat, baik formal maupun informal.

Partisipan yang terlibat dalam interaksi seyogianya menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu. Namun, belakangan sering terjadi kesenjangan ketika berinteraksi, tidak semua prinsip dan norma itu terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Eggink, H.J. 1936. Angkola en Mandailing

Bataksch – Nederlandsch Woordenboek. Bandoeng: A.C. NIX & Co.

Halim, Amran. 1981. “Fungsi Politik Bahasa Nasional.” Dalam Politik Bahasa Nasional

1. Jakarta: Balai Pustaka.

Iskander, Willem. 1987. Si Bulus-Bulus Si

Rumbuk-Rumbuk. (Terbitan ke-44) Jakarta: Penerbit Puisi Indonesia.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. 1981. Semantics. Harmonsworth: Penguin.

Leech, Geoffrey. 1993. The Principles of

Pragmatics (Terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Maracub M, Bgd, 1958. Impola ni Hata.

Padangsidempuan: Pustaka Timur. Peccei, J.S. 1999. Pragmatics. China: Taylor &

Francis.

Saeed, John I. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell.

Siregar, Bahren Umar. 2002. “Pemerolehan Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan: Suatu Ancangan Teoretis.” Studia Kultura, Tahun ke-1, 2: 75-103.

Sugono, Dendy. 2005. “Perencanaan Bahasa di Indonesia.” Dalam Bahasa dalam

Perspektif Dinamika Global. Medan: USU Press.

Yule, George. 1996. Pragmatics. China: Wijvern Tijpesetting.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri yang dimaksud antara lain: di dalam sebuah tangga nada terdapat whole tone di bawah tonika yang jelas bukan tangga nada mayor (yaitu modus

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yang mana perancangan sistem robot yang dipadukan dengan metode deep learning khususnya pada bagian sistem visi dan

(2015) yang menunjukkan bahwa seluruh variabel bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, serta empati sebagai bentuk dari kualitas pelayanan sistem elektronik

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh iklan terhadap minat beli pada pengguna Youtube dengan menggunakan brand recognition sebagai variabel intervening.. Sampel

Dengan memvariasi perbandingan air dan semen, konsentrasi limbah yang ditambahkan, konsentrasi agregat pasir silikat dan waktu pemeraman, akan diperoleh data karakteristik

Awal mula kami menemukan ide untuk membuat karya kerajinan dari bahan limbah ini adalah saat kita melihat orang yang merokok di sekitar kita, jika perokok membuang putung rokok

Hasonlóképpen, mivel az aktívabb hitelezési tevékenység normál gazdasági körül- mények között magasabb jövedelmezőséget jelent, ezért azzal a hipotézissel élünk, hogy

dalam penelitian ini ditentukan melalui teknik Purposive Sampling dengan pertimbangan bahwa sampel yang digunakan merupakan kelas yang telah.. menguasai materi Hukum