• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. KONDISI UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. KONDISI UMUM"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.

KONDISI UMUM

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional disusun secara periodik meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk jangka waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga untuk jangka waktu 5 tahun, serta Rencana Pembangunan Tahunan yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L).

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Selanjutnya RPJPN ini dibagi menjadi empat tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), salah satunya adalah RPJMN 2015-2019 yang merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025. Sebagai kelanjutan RPJMN tahap kedua, RPJMN tahap ketiga ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian yang berlandaskan keunggulan sumber daya alam, sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat.

Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian program-program prioritas pemerintah, BPOM sesuai kewenangan, tugas pokok dan fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan BPOM untuk periode 2015-2019. Penyusunan Renstra BPOM ini berpedoman pada RPJMN periode 2019. Proses penyusunan Renstra BPOM tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014, serta melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra BPOM. Selanjutnya Renstra BPOM periode 2015-2019 diharapkan dapat meningkatkan kinerja BPOM dibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

(2)

Adapun kondisi umum Direktorat pada saat ini berdasarkan peran, tupoksi dan pencapaian kinerja adalah sebagai berikut:

A. Peran Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)

Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT merupakan unit kerja yang berada di bawah Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. Tugas, fungsi dan kewenangan Direktorat diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.

Sesuai amanat ini, Direktorat mempunyai tugas: penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan dan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, Direktorat menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : 1. Penyusunan rencana dan program pengawasan produksi produk terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT); 2. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengawasan produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga; 3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang inspeksi dan sertifikasi produksi produk terapetik dan PKRT; 4. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang harga obat; 5. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang pengawasan bahan baku obat dan analisis penerapan cara pembuatan obat yang baik; 6. Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengawasan produksi produk terapetik dan PKRT;

Tugas dan fungsi tersebut Direktorat merupakan penjabaran tugas dan fungsi pada BPOM sebagai lembaga pemerintah yang merupakan garda depan dalam hal perlindungan terhadap konsumen. Di sisi lain, tupoksi BPOM ini juga sangat penting dan strategis dalam kerangka mendorong tercapainya Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) yang telah

(3)

hidup manusia Indonesia, khususnya di sektor kesehatan; pada butir 2: Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif demokratis dan terpercaya; pada butir 3 : Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan; pada butir 6 : Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta pada butir 7 : Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Oleh karena itu, BPOM sebagai lembaga pengawasan Obat dan Makanan sangat penting untuk diperkuat, baik dari sisi kelembagaan maupun kualitas sumber daya manusia, serta sarana pendukung lainnya seperti laboratorium, sistem teknologi dan informasinya, dan lain sebagainya, untuk mendukung tugas-tugasnya tersebut.

Direktorat harus menjalankan tugas secara lebih proaktif, tidak reaktif, yang hanya bergerak ketika sudah ada kasus-kasus yang dilaporkan dengan mengawasi Industri Farmasi sebanyak 207 yang tersebar di 9 (sembilan) provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Dari hasil produksi industri farmasi sekitar 12.915 item obat beredar (berdasarkan hasil pemutakhiran profil obat beredar tahun 2014) harus diawasi terhadap mutu obat yang beredar serta kemampuan pengujian dari 33 BBPOM harus secara intensif dilakukan peningkatan.

B. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merupakan organisasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden RI No.16 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK. 00.05.21.4231 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan POM Nomor 02001/SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan POM, struktur Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

(4)

(PKRT) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA .

Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT adalah sebagai berikut :

Subdit Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan

PKRT

.

Subdit Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis

CPOB

Subdit Harga Obat dan Farmakoekonomi

Seksi

Inspeksi Sarana Produksi Produk Terapetik dan

PKRT

Seksi Sertifikasi Sarana Produk Terapetik dan

PKRT Seksi Tata Operasional Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat Seksi Analisis Penerapan CPOB Seksi Pemantauan dan Analisis Harga Obat

Seksi Farmakoekonomi

Kelompok Jabatan Fungsional Direktur

Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT

(5)

SUMBER DAYA MANUSIA

Untuk mendukung tugas-tugas Direktorat sesuai dengan tugas dan fungsinya diperlukan sejumlah SDM yang memiliki keahlian dan kompetensi yang baik. Jumlah SDM yang dimiliki Direktorat sampai tahun 2014 adalah sejumlah 43 orang, yang tersebar di pada 3 (tiga Sub Direktorat). Latar belekang pendidikan pegawai antara lain Apoteker, S2 non Apoteker, S1 Non Farmasi, D3 Farmasi, D3 Komputer, D3 Akuntansi dan Sekolah Menengah Umum.

Pada tahun 2014, Direktorat belum didukung dengan SDM yang memadai masih terdapat kekurangan SDM sebanyak 32 orang yang dihitung berdasarkan analisa beban kerja dan target yang telah ditetapkan. Profil kebutuhan pegawai berdasarkan analisa beban kerja sebagai berikut :

Dengan asumsi tahun 2016 – 2019 tidak ada menambahan pegawai

Adanya kebijakan Pemerintah untuk melakukan moratorium pegawai selama 5 (lima) tahun mulai tahun 2015 – 2019, maka akan mengakibatkan terjadinya kesejangan pegawai di Direktorat. Dengan beban kerja yang semakin tinggi secara signifikan membutuhkan pegawai yang cukup untuk menunjang pelaksaaan pengawasan pada Industri Farmasi dan terhadap mutu obat beredar.

Tahun 2014 jumlah pegawai Direktorat sebanyak 43 pegawai terdiri dari 11 Pejabat Struktural, 2 Pejabat Fungsional Farmasi dan Makanan, 31 Pejabat Fungsional Umum untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat mempunyai tenaga honorer yang berpendidikan Apoteker, S1 komputer, D3 Akuntansi dan SMU. Profil pegawai dapat dijelaskan pada gambar 1.2 di bawah ini :

(6)

Komposisi pegawai per pendidikan

Untuk peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM Direktorat bagi para pegawai sampai dengan tahun 2014 terdapat pegawai yang mendapatkan persetujuan tugas belajar dan izin belajar serta berpartisipasi pada pelatihan-pelatihan di dalam dan luar negeri. Hal ini diperlukan untuk menghadapi perubahan lingkungan strategis yang semakin dinamis, khususnya perubahan lingkungan strategis eksternal, maka perlu dilakukan, agar dapat mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut sehingga bisa mewujudkan tujuan organisasi dalam lima tahun kedepan.

Pada penerimaan pegawai tahun 2014 Direktorat mendapatkan 11 CPNS yang berpendidikan Apoteker. Dengan penambahan pegawai sehingga pada tahun 2015 Direktorat mempunyai jumlah pegawai 54 orang yang terdiri dari 11 pria dan 43 wanita.

C. Hasil Capaian Kinerja Direktorat periode 2010-2014

Sesuai dengan peran dan kewenangannya, BPOM mempunyai tugas mengawasi peredaran Obat dan Makanan di wilayah Indonesia. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut maka terdapat beberapa tujuan yang akan dicapai dalam Renstra 2010-2014 BPOM, yaitu: 1) Mewujudkan standar, Peraturan, dan regulasi; 2) Meningkatnya mutu sarana produksi produk terapetik dan PKRT sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) Terkini; 3) Evaluasi Komposisi Pegawai

(7)

pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, monitoring efek samping produk di masyarakat, penyidikan dan penegakan hukum; 5) Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk; 6) Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan Obat dan Makanan; 7) Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Kewenangan Direktorat dalam kerangka tugas Badan POM adalah Post Marketing Surveilance. Penjabaran teknis tugas tersebut berupa kegiatan sampling dan pengujian, yang di dalam penentuan prioritas samplingnya juga mencakup pemenuhan CPOB oleh industri farmasi.

Pemenuhan Industri Farmasi terhadap CPOB dan Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik (CPBBAOB) dibuktikan dengan Sertifikat CPOB/CPBBAOB yang berlaku selama 5 (lima) tahun. Kewenangan Direktorat dalam kerangka tugas Badan POM adalah melakukan pemeriksaan sarana produksi produk terapetik untuk melihat pemenuhan sarana produksi terhadap ketentuan CPOB dan CPBBAOB. Untuk melihat pemenuhan terhadap ketentuan tersebut dilakukan inspeksi ke industri farmasi baik dalam kerangka pengawasan pre marketing maupun post marketing. Dengan demikian cakupan terdiri atas inspeksi dalam rangka permohonan izin industri farmasi dan sertifikasi; inspeksi dalam rangka resertifikasi; inspeksi verifikasi CAPA (follow up inspection); inspeksi dalam rangka perubahan fasilitas; serta inspeksi dalam rangka penanganan obat TMS dan Recall (audit GLP). Selain itu terdapat juga inspeksi dalam rangka kasus khusus ataupun audit komprehensif.

Untuk mendukung strategi percepatan pencapaian MDGs melalui kemitraan sektor publik dan sektor swasta, Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi industri farmasi dalam negeri sehingga dapat menguasai pasar domestik dan mampu bersaing di pasar regional dan global salah satunya dengan berusaha memacu industri farmasi untuk terlibat dalam prakualifikasi (PQ) WHO. Hingga tahun 2014 lalu, prakualifikasi WHO merupakan salah satu program strategis yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri farmasi nasional. Anggaran yang menyokong program ini selain berasal dari APBN juga didanai oleh Global Fund. Berbagai hal telah dilakukan antara lain melakukan workshop dan seminar, asistensi regulatori terhadap industri farmasi yang memiliki fasilitas untuk memproduksi obat-obatan essensial (hormon, antiretroviral, tuberkolosis, dan malaria) baik dengan mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri maupun dalam negeri utamanya terkait peningkatan pemenuhan CPOB dan penyusunan CAPA hasil visitasi. Meski jumlah industri yang potensial untuk melaksanakan prakualifikasi WHO dalam waktu dekat hanya sebanyak 6 industri, pada periode mendatang

(8)

tidak menutup kemungkinan akan bertambah jumlah industri yang memiliki kapasitas untuk prakualifikasi WHO.

Adapun pencapaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan Direktorat tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja pada tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Perbandingan kinerja tahun 2010 s.d 2014

SASARAN INDIKATOR KINERJA

TARGET/ REALISASI/ CAPAIAN TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014 Meningkat nya mutu sarana produksi produk terapetik dan PKRT sesuai dengan Good Manufacturing Practice (GMP) Terkini 1 Persentase sarana produksi obat yang memiliki sertifikat GMP terkini (total jumlah sarana 202 unit)

Target 50 60 70 80 85

Realisasi 47,78 60,09 67,82 78,22 83,66 Capaian 95,56 100,15 96,89 97,78 98,43 2*) Persentase Industri

Farmasi yang memenuhi persyaratan

prakualifikasi WHO (dari 8 Industri Farmasi yang potensial) Target - - 25 50 75 Realisasi - - 0 50 75 Capaian - - 0 100 100 3**) Jumlah pemeriksaan terhadap Industri Farmasi memiliki persetujuan fasilitas bersama yang menggunakan bahan obat berpotensi disalahgunakan Target - - - 4 - Realisasi - - - 5 Capaian - - - 125%

 Dari tabel diatas, apabila dibandingkan tahun 2010 dengan capaian pada tahun 2011 pencapaian indikator persentase sarana produksi obat yang memiliki sertifikat GMP terkini meningkat sedangkan dari tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi penurunan. Capaian tahun 2013 meningkat dibanding tahun 2012 yaitu dari 96,89% menjadi 97,78% begitu juga dengan capaian tahun 2014 meningkat dibanding tahun 2013 yaitu dari 97,78% menjadi 98,43%. Pada tahun 2014 tercapai 169 industri farmasi yang memenuhi persyaratan CPOB terkini, hal ini belum sesuai dengan target yang diharapkan yaitu 172 industri farmasi (85% dari 202 industri farmasi).

 Sedangkan jika dilihat mengenai persentase industri farmasi yang memenuhi persyaratan prakualifikasi WHO (dari 8 industri farmasi yang potensial), terjadi

(9)

dimulai dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan pengenalan maksud dan tujuan pra kualifikasi WHO serta manfaat yang diperoleh jika mengikuti program tersebut. Kegiatan yang dilakukan meliputi workshop, asistensi regulatory bersama dengan Tim Ahli CPOB dengan melakukan site visit fasilitas. Dari kegiatan yang telah dilakukan, beberapa industri farmasi mendapatkan manfaat dan timbul keinginan untuk mengikuti kegiatan prakualifikasi WHO. Kegiatan berkelanjutan yang dilakukan dari tahun 2012 - 2014 memberikan dampak positif terhadap kesadaran peningkatan daya saing industri farmasi salah satunya dengan mengikuti program prakualifikasi WHO, sehingga di tahun 2013 beberapa industri farmasi telah menyatakan kesediaan untuk mengikuti prakualifikasi WHO ini terutama industri farmasi yang memproduksi obat hormon dan obat tuberculosis. Pada tahun 2014, terdapat 6 (enam) industri farmasi yang berpotensi untuk mengikuti program prakualifikasi WHO sesuai dengan yang ditargetkan.

I.2. POTENSI DAN PERMASALAHAN

Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global, permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks. Arus besar globalisasi membawa keleluasaan informasi, fleksibilitas distribusi barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu-isu yang berdimensi lintas bidang. Hal ini menuntut peningkatan peran Direktorat dalam mengawasi peredaran produk obat.

Secara garis besar, lingkungan strategis yang bersifat eksternal yang dihadapi oleh Direktorat terdiri atas 2 (dua) isu mendasar, yaitu kemajuan teknologi dan kesehatan dan globalisasi. Isu kesehatan yang akan diulas disini adalah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sedangkan terkait globalisasi, akan diulas tentang perdagangan bebas, komitmen internasional, post MDGs 2015, perubahan iklim, MEA dan demografi. Isu-isu tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Adapun lingkungan strategis yang mempengaruhi peran Direktorat baik internal maupun eskternal adalah sebagai berikut :

1.2.1. Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem

(10)

kemasyarakatan. SKN merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang dipergunakan sebagai acuan utama dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat serta menuntut peran aktif masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan tersebut.

Upaya pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh semua pihak (pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) melalui peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Bentuk pelayanan kesehatan tersebut berupa layanan Rumah Sakit, Puskesmas dan kegiatan peran serta masyarakat melalui Posyandu.

Semakin banyak pelayanan kesehatan yang disediakan, maka akan semakin mempengaruhi kebutuhan pelayanan pendukung kepada kesehatan masyarakat tersebut, yang antara lain tentunya adalah kebutuhan akan obat semakin meningkat. Penjaminan mutu obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Hal ini merupakan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Direktorat dalam pengawasan mutu terhadap obat beredar khususnya obat dalam SJSN

Penjaminan mutu obat tidak terlepas dari kualitas obat tersebut, aspek yang tidak dapat lepas dari kualitas adalah penjaminan mutu dari awal , tingkat kematangan Industri Farmasi dalam penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik menjadi salah satu faktor penentu kualitas obat. Di samping itu juga munculnya bibit penyakit baru atau bibit penyakit yang dulu pernah ada dan sudah langka kasusnya sekarang, namun kini berjangkit kembali. Penyakit ini, baik menular maupun yang tidak menular sebagai akibat dari adanya perubahan iklim secara global, fluktuasi ekonomi, model perdagangan bebas dan kemajuan teknologi maupun transisi dari demografi, juga turut mengubah pola dan gaya hidup dari masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi obat.

1.2.2. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang minimal layak menuju terwujudnya kesejahteraan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem ini merupakan program negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan sistem. Sistem ini diharapkan dapat menanggulangi risiko ekonomi karena sakit, PHK, pensiun usia lanjut dan risiko lainnya dan merupakan cara (means), sekaligus tujuan (ends) dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu, dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional juga diberlakukan penjaminan mutu obat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

(11)

Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).

Implementasi JKN dapat membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap pengawasan obat. Dampak langsung adalah meningkatnya jumlah permohonan pendaftaran produk obat, baik dari dalam maupun luar negeri karena perusahaan/industri obat akan berusaha menjadi supplier obat untuk program pemerintah tersebut. Selain peningkatan jumlah obat yang akan diregistrasi, jenis obat pun akan sangat bervariasi. Hal ini, disebabkan adanya peningkatan demand terhadap obat sebagai salah satu produk yang dibutuhkan. Sementara dampak tidak langsungnya diasumsikan adalah terjadinya peningkatan konsumsi obat, baik jumlah maupun jenisnya.

Dampak lain adalah banyak industri farmasi yang akan melakukan pengembangan fasilitas dan peningkatan kapasitas produksi dengan perluasan sarana yang dimiliki. Dengan peningkatan kapasitas dan fasilitas tersebut maka akan terjadi peningkatan permohonan sertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Dalam hal ini peran Badan POM akan semakin besar, salah satunya adalah pengawasan pre-market melalui sertifikasi CPOB dan post-market melalui intensifikasi pengawasan obat pasca beredar oleh Direktorat melalui kegiatan sampling dan pengujian di unit teknis daerah. Pelaksanaan sampling harus efisien serta berdasarkan kajian risiko yang tetap mempertimbangkan justifikasi profesional dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan khasiat obat yang beredar. Metodologi penetapan prioritas sampling dilakukan dengan pendekatan kajian risiko yang telah dikelompokkan kategori tingkat kekritisannya sehingga diperoleh targeted sample.

(12)

Menurut UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa obat yang dijamin dalam BPJS ditetapkan oleh pemerintah. Hasil dari penetapan obat tersebut adalah formularium nasional (Fornas). Fornas adalah daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Sementara untuk pengadaan obat-obatan yang ada di dalam Fornas adalah melalui catalog dimana seluruh kabupaten/kota melakukan pengadaan obat melalui sistem e-catalog.

Fornas dan e-catalog adalah kata kunci dalam pengadaan obat di era JKN. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi masyarakat dari penggunaan obat-obatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat, Badan POM melakukan pengawasan obat baik secara pre market dan post market. Pengawasan post market antara lain melalui kegiatan sampling dan pengujian yang bertujuan untuk mengawasi mutu obat di peredaran dengan prioritas obat yang digunakan dalam program pemerintah. Hal tersebut tertuang dalam pedoman prioritas sampling, dimana obat-obat yang terdapat dalam program pemerintah termasuk dalam targeted sample Badan POM mengingat jumlahnya yang besar dan sebaran distribusinya yang luas, sehingga meningkatkan faktor risiko dalam pengawasan pemastian mutunya.

1.2.3 Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional

Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi dan transportasi yang sangat cepat dan masif akhir-akhir ini dan berkonsekuensi pada fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif.

Dampak dari pengaruh lingkungan eksternal khususnya globalisasi tersebut telah mengakibatkan Indonesia masuk dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ekonomi yang menghendaki adanya area perdagangan bebas (Free Trade Area). Ini dimulai dari perjanjian ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand), Free Trade Area, ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA)dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA).

(13)

perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional dan berpeluang besar menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional. Hal ini membuka peluang peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta memungkinkan sejumlah produk Obat dan Makanan Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran domestik negara-negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015, diharapkan industri farmasi, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan dan makanan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar negeri.

Untuk meningkatkan daya saing produk obat ASEAN pada era pasar bebas ASEAN (AFTA-ASEAN Free Trade Area) diperlukan harmonisasi standard dan persyaratan produk obat di kawasan ASEAN. Kegiatan harmonisasi ASEAN bidang obat dimulai tahun 1999 dalam sidang ASEAN Consultative Committee for Standard and Quality (ACCSQ) - Pharmaceutical Product Working Group (PPWG). Harmonisasi ASEAN di bidang obat mencakup 2 (dua) bagian yang saling terkait satu dengan lainnya, yaitu:

• Harmonisasi regulasi pre-market, yang merupakan harmonisasi untuk penyeragaman standar dan persyaratan dalam rangka registrasi sebelum obat beredar termasuk pemenuhan persyaratan GMP (Good Manufacturing Practice)/CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik);

• Harmonisasi pengawasan post-market, yang meliputi harmonisasi dalam hal pengawasan pemenuhan terhadap standar dan persyaratan yang telah ditetapkan pre-market, yaitu MRA GMP Inspection dan Post Market Alert System

MRA on GMP Inspection ditandatangani pada tanggal 10 April 2009 pada saat berlangsungnya 14th ASEAN Summit di Thailand, oleh Menteri Perdagangan dari 10 negara ASEAN. Implikasi dari MRA ini adalah kewajiban untuk saling menerima atau mengakui laporan inspeksi dan GMP Certificate untuk sarana pembuatan obat yang diterbitkan oleh National Drug Regulatory Authority (NDRA) dari masing-masing negara anggota dengan persyaratan GMP setara PIC/S (Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme). NDRA yang telah setara dengan PIC/s atau yang telah diakui sistem pengawasannya akan menjadi Listed Inspection Service, saat ini negara yang sudah menjadi anggota Listed Inspection Service adalah Singapura, Malaysia, Indonesia dan Thailand.

Dalam kaitan dengan globalisasi dan perjanjian-perjanjian internasional khususnya di sektor ekonomi tersebut, harusnya yang menjadi dasar pijakan dan harus ditekankan dari awal adalah soal kedaulatan bangsa, negara dan rakyat kita dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan trans-nasional dan negara-negara lain tersebut. Dan ini sangat sejalan

(14)

dengan 9 (sembilan) agenda prioritas pembangunan (Nawa Cita), khususnya pada butir 1: Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara (dengan memperkuat peran dalam kerjasama global dan regional), juga pada butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu-isu ekonomi saja, namun juga merambah pada isu-isu kesehatan. Terkait isu kesehatan, masalah yang akan muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Permasalahan ini akan semakin kompleks dengan sulitnya pemerintah dalam membuka akses kesehatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, khususnya untuk masyarakat yang berada di pelosok desa dan perbatasan. Sebagai contoh, saat ini akses masyarakat untuk mendapatkan obat legal dari apotek masih terbatas sehingga menyebabkan harga obat menjadi lebih mahal. Secara nasional, jumlah apotek yang ada masih kurang, belum semua kecamatan terjangkau dengan layanan apotek.

Perdagangan bebas membuat kepekaan “berbisnis” menjadi sangat tinggi. Kebutuhan obat yang tinggi dengan ketersediaan yang rendah ditambah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum membuat masih ditemukan obat-obat yang tidak memenuhi ijin edar dan mengandung bahan baku yang berbahaya. Hal ini jelas akan sangat merugikan masyarakat. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), praktik pemalsuan produk obat di dunia rata-rata mencapai 10%, dan mencapai 20-40% untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi BPOM sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab terkait dengan pengawasan atas produk Obat yang beredar di masyarakat.

Pada tahun 2014 jumlah perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 207 perusahaan, sebanyak 34 diantaranya merupakan perusahaan multinasional, 166 perusahaan nasional dan 7 perusahaan BUMN. Selama tahun 2014, terdapat 48 (empat puluh delapan) industri farmasi yang rutin melakukan kegiatan eksportasi obat jadi dan bahan baku ke 64 (enam puluh empat) Negara.

Produksi domestik untuk bahan baku obat juga masih sangat kecil. Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai saat ini kebanyakan masih belum dapat bersaing dengan produk impor. Jumlah industri farmasi nasional cukup besar dengan kapasitas produksi sebesar

(15)

3% dari kapasitas total dunia. Namun, disisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil yaitu sekitar 0,2% dari total pasar dunia (Kardono, 2004).

Dengan melihat besarnya potensi dan permasalahan yang dihadapi Indonesia, maka pemerintah harus selalu mendukung dan melindungi industri farmasi di Indonesia. Dengan adanya Free Trade Area (FTA), maka pemerintah harus mengembangkan kesiapan industri farmasi untuk dapat mendukung pemerataan, keterjangkauan dan ketersediaan obat yang bermutu, aman dan berkhasiat sehingga mampu bersaing dengan produk obat dari luar negeri. Dalam hal ini Direktorat membuat rencana strategis yaitu peningkatan peran serta pelaku usaha untuk menerapkan ketentuan yang berlaku mengingat saat ini masih banyak industri farmasi yang belum melakukan perbaikan yang berkesinambungan apabila tidak diinstruksikan oleh Badan POM. Selain itu masih banyak industri farmasi yang belum matang dalam hal pemenuhan terhadap ketentuan.

Terkait dengan fungsi Badan POM sebagai institusi pengawasan, maka selain mengefektifkan inspeksi CPOB, Direktorat mengupayakan pengawasan dari sisi lain yaitu pengawasan oleh pelaku usaha dengan meningkatkan kemandirian atau tingkat kedewasaan industri farmasi. Nantinya diharapkan semua industri farmasi menjadikan pemenuhan CPOB sebagai kebutuhan dan merupakan bagian dari budaya perusahaan. Dengan demikian industri farmasi mampu bersaing dengan produsen dari luar negeri dengan secara konsisten memenuhi ketentuan CPOB.

1.2.4. Perubahan Iklim

Perubahan iklim mengakibatkan munculnya bibit penyakit baru hasil mutasi gen dari beragam virus. Bibit penyakit baru tersebut diantaranya virus influenza yang variannya sekarang menjadi cukup banyak dan mudah tersebar dari satu negara ke negara lain.

Menurut Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) tahun 2013 melaksanakan kajian dan pemetaan model kerentanan penyakit infeksi akibat perubahan iklim. Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya Demam Berdarah Dengue, Malaria dan Tuberkulosis. Terdapat tiga penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus bagi Indonesia terkait perubahan iklim dan perkembangan vector yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Diare. Selain dari ketiga jenis penyakit tersebut, masih ada lagi penyakit yang banyak ditemukan akibat adanya perubahan iklim seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan penyakit batu ginjal.

(16)

Dengan adanya potensi permasalahan serta peluang dari proses perubahan iklim, diperlukan peranan dari BPOM khususnya Direktorat dalam mengawasi peredaran varian produk obat yang baru dari jenis penyakit tersebut, baik yang diproduksi di dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri. Selain dari obat, varian obat baru. Kondisi ini menuntut kerja keras dari Direktorat dalam melakukan pengawasan terhadap perkembangan teknologi produksi dan peredaran obat tersebut.

1.2.5. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Kemajuan dari ekonomi Indonesia dapat dilihat dari indikator makro-ekonomi, yakni pendapatan perkapita sebesar USD 3000 tahun 2010 dan diproyeksikan pada tahun 2025 mencapai USD 14.250–15.500 (Bappenas; 2012) dan telah menjadi 10 (sepuluh) besar negara yang mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli yang ada pada masyarakat Indonesia. Secara teori dan fakta, bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar kesadaran masyarakat dalam pola hidup sehat.

Berdasarkan data konsumsi obat yang dilakukan masyarakat Indonesia pada sebagian besar penduduk masih banyak yang mengkonsumsi obat modern. Konsumsi obat modern pada tahun 2012 mencapai 91,40%, beberapa penyakit degeneratif, yakni penyakit yang dimiliki para kaum lanjut usia justru banyak menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Untuk itu, dengan banyaknya konsumsi obat modern yang dilakukan masyarakat, maka Direktorat mempunyai peran penting untuk mengawasi mutu obat yang beredar.

1.2.6. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut sensus penduduk tahun 2010, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir sebesar 32,5 juta jiwa (sebesar 1,49% pertahun). Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa. Dari gambar 1.2 di bawah ini,dapat dilihat bahwa jumlah populasi terbesar berada pada kelompok umur remaja 15-19 tahun, namun menunjukan tren penurunan. Sementara usia produktif antara 30-54 tahun justru menunjukan tren meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan usia 55-64 tahun dan usia di atas 65 tahun menunjukan tren yang meningkat tetapi dengan jumlah yang berbeda. Semakin meningkat usia harapan hidup, artinya tingkat kesehatan masyarakat juga semakin meningkat.

(17)

Gambar 1.2

Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2009-2013

Indonesia sebagai negara ke-4 dengan populasi lanjut usia tertinggi, yakni 9,079 juta tahun 2010 dan akan naik pada tahun 2020 menjadi 29,047 juta (BPS Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2010). Maka perubahan pola beban penyakit untuk kaum lansia dengan beban yang lebih kronik dan membutuhkan layanan kesehatan pada jangka panjang yang lebih berkualitas. Secara umum, bahwa transisi demografi juga akan menimbulkan efek pada transisi kesehatan di masyarakat, sehingga terjadi peningkatan dalam penggunaan layanan kesehatan baik secara personal, korporat maupun masyarakat luas. Efek ini akan dapat mempengaruhi besarnya beban fasilitas kesehatan dan sistem jaminan kesehatan masyarakat Indonesia, dan sekaligus akan menambah beban kerja dari BPOM khususnya Direktorat sebagai pengawas di bidang obat.

Konsumsi obat baik farmasi akan cukup besar pada kelompok usia produktif, karena pola hidup dan orientasi konsumsi juga akan mengarah pada kesehatan pada jangka panjang. Hal ini menjadi tambahan tugas bagi Direktorat untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai jenis obat yang beredar dan semakin meningkat jumlahnya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme pasar akan berlaku yaitu peningkatan permintaan menyebabkan penawaran juga semakin tinggi. Adanya potensi pasar membuat para produsen baik lokal maupun internasional memproduksi obat. Bertambahnya jumlah produsen ini tentunya menuntut semakin besarnya peran Direktorat dalam proses pengawasannya. Belum sepenuhnya Industri Farmasi melaksanakan pemenuhan persyaratan GMP (Good Manufacturing Practice) yang menjadi tantangan Direktorat dalam melakukan pengawasan.

(18)

1.2.7. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi bidang kesehatan dan komitmen pemerintah belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan sehingga belum secara optimal memberikan perlindungan bagi masyarakat. Kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan perundangan merupakan tantangan yang sangat penting dalam mensinergikan kebijakan kesehatan khususnya dalam pengawasan obat. Untuk itu koordinasi seluruh pemangku kepentingan (Kemenkes, Dinkes, BKKBN) turut menjadi faktor penting dalam keberhasilan penjaminan mutu obat beredar.

Dengan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan pemerintah yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah, maka urusan kesehatan menjadi salah satu kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah. Hal ini berdampak pada pengawasan obat yang bersifat sentralistik dan tidak mengenal batas wilayah (borderless) sehingga perlu adanya one line command (satu komando), apabila terdapat suatu produk obat yang tidak memenuhi syarat maka dapat segera ditindaklanjuti.

Desentralisasi dapat menimbulkan beberapa permasalahan di bidang pengawasan obat diantaranya kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di daerah sehingga tindaklanjut hasil pengawasan obat belum optimal. Untuk itu, agar tugas pokok dan fungsi Direktorat berjalan dengan baik, diperlukan komitmen yang tinggi, dukungan dan kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (sound governance). Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing.

1.2.8.Perkembangan Teknologi

Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, namun penyediaan bahan baku obat yang diperoleh dari impor mencapai 96% dari kebutuhan. Dengan kemajuan teknologi dan besarnya kebutuhan produk obat, Direktorat dapat mendorong industri farmasi untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku obat dalam negeri.

Selain teknologi produksi juga didukung dengan teknologi transportasi. Perkembangan industri transportasi baik darat, laut, dan udara maupun jasa pengiriman barang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sehingga distribusi obat secara masal dapat dilakukan lebih efisien. Untuk itu, dampak pengawasan atas peredaran obat semakin tinggi, dikarenakan

(19)

distribusi obat ketempat tujuan di seluruh wilayah Indonesia semakin cepat, sehingga antipasi pengawasan obat juga harus sama cepatnya.

1.2.9 Isu-isu Strategis sesuai dengan Tupoksi dan Kewenangan Direktorat

Selama periode 2010-2014, pelaksanaan peran dan fungsi Direktorat tersebut di atas telah diupayakan secara optimal sesuai dengan target hasil pencapaian kinerjanya. Namun demikian, upaya tersebut masih menyisakan permasalahan yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat, antara lain : (1) belum sepenuhnya tercapai penapisan produk dalam rangka pengawasan obat sebelum beredar (pre-market). Dalam hal pengawasan obat sebelum beredar, Direktorat telah melakukan evaluasi terhadap kesesuaian fasilitas produski dengan CPOB sebelum industri farmasi melakukan produksi obat. Hal-hal yang di evaluasi adalah kesesuaian fasilitas produksi (bangunan dan peralatan produksi) serta sarana penunjang (antara lain : sistem tata udara dan sistem pengolahan air) termasuk status kulaifikasinya. Selain itu dilakukan evaluasi terhadap Protokol Validasi, mencakup Validasi Proses, Validasi Pembersihan dan Validasi Metode Analisa. Kesesuaian/ pemenuhan terhadap CPOB dinyatakan dengan Sertifikat CPOB yang berlaku sampai 5 (lima) tahun untuk kemudian diresertifikasi. perjelas oleh insert (sertifikasi CPOB untuk membedakan dengan ditlai) (2) belum optimalnya pengawasan obat pasca beredar di masyarakat (post-market). Terkait dengan hal ini, sejak tahun 2013 Direktorat telah melakukan penetapan prioritas sampling dengan pendekatan kajian risiko yang telah dikelompokkan kategori tingkat kekritisannya. Semakin tinggi risikonya semakin besar proporsi terhadap kategori obat tersebut untuk disampling dan diuji. Disamping untuk sejak tahun 2014, Direktorat menerapkan kebijakan baru bahwa utuk mengatasi kendala keterbatasan jumlah sampel dengan bets yang sama di satu sarana maupun untuk obat mahal yang berisiko maka melalui kajian risiko dan justifikasi yang memadai, dapat disampling dan dilakukan pengujian terhadap parameter tertentu saja yaitu parameter uji kritis (PUK). dan (3) belum optimalnya pelayanan publik, hal ini dengan dapat diketahui dari survey yang ada baik yang dilakukan oleh Inspektorat Badan POM maupun survey oleh Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT. Pelayanan publik yang belum optimal secara umum terkait dengan tidak sesuainya timeline tindak lanjut yang disebabkan oleh keterbatasan jumlah SDM. Untuk mengatasi hal tersebut, Direktorat telah melakukan percepatan kinerja antara lain dengan melakukan screening awal terkait permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dan Konsep Desain Sistem Tata Udara (KDSTU) serta evaluasi CAPA dilakukan dengan cara desk secara langsung dengan pihak industri farmasi. Terkait dengan pelayanan publik dalam hal evaluasi site master file dalam

(20)

rangka pendaftaran produk impor, telah dilakukan penyesuaian tahap alur dokumen yaitu dengan langsung melakukan penerimaan dokumen di Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT tidak lagi dari Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi.

1.2.10 Jejaring Kerja

Direktorat menyadari dalam pengawasan sarana produksi obat tidak dapat menjadi single player. Untuk itu Direktorat mengembangkan kerjasama dengan lembaga-lembaga, baik di pusat, daerah, maupun internasional. Jaringan yang luas ini sangat strategis posisinya dalam mendukung tugas-tugas Direktorat maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring kerja yang sudah dimiliki Direktorat yaitu Jejaring Satgas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal (Pusat dan Daerah). Di tingkat regional maupun internasional Direktorat memiliki jejaring kerja dengan ASEAN Rapid Alert System for Food and Feed (ARASFF), World Health Organization (WHO), Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme (PIC/S). Peluang kerjasama ini terbuka tentunya karena citra BPOM yang baik di internasional.

1.2.11 Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, BPOM melaksanakan reformasi birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010-2025. Upaya atau proses RB yang dilakukan BPOM merupakan pengungkit dalam pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB. Pola pikir pelaksanaan RB sebagaimana

Gambar 1.10 di bawah ini:

a. Penataan dan Penguatan Struktur Organisasi

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, BPOM memiliki instansi vertikal atau UPT BB/Balai POM di tingkat provinsi. Selain itu, untuk mendukung pengawasan Obat dan Makanan di

(21)

penataan dan penguatan baik dari segi struktur organisasi, kompetensi dan kuantitas SDM, sarana dan prasarana, maupun koordinasi dengan lintas sektor agar pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Obat dan Makanan dapat dilakukan secara lebih optimal. Tantangan BPOM ke depan adalah melakukan kajian, penataan, dan evaluasi organisasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi secara proporsional menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi BPOM.

b. Penataan Tatalaksana

Sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik, Direktorat berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari Obat yang berisiko terhadap kesehatan dan secara terus-menerus meningkatkan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada seluruh pemangku kepentingan. Komitmen Direktorat tersebut dilakukan melalui penerapan sistem mutu secara konsisten dan ditingkatkan secara berkelanjutan yang dibuktikan dengan pemenuhan atau perolehan Quality Management System ISO 9001:2008; PIC/S Quality System Requirement for Pharmateucal Inspectorate (PI 0023); dan WHO Quality System Requirement for National GMP Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002);

Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan juga dilakukan survey kepuasan pelanggan melalui kuesioner yang dibagikan kepada industri farmasi. Hasil survey akan dianalisa sebagai bahan masukan untuk peningkatan pelayanan baik administrasi maupun penyediaan sarana dan prasarana.

Penerapan e-government atau penggunaan teknologi informasi di lingkungan Direktorat perlu diupayakan di antaranya pelaporan aktivitas industri farmasi, pelaporan hasil pengawasan baik berupa pengawasan sarana maupun hasil sampling dan pengujian obat serta berbagai penyelenggaraan manajemen pemerintahan lainnya yang dilakukan secara elektronik serta keterbukaan informasi publik bagi masyarakat. Berbagai sistem mutu dan pengembangan egovernment yang dapat meningkatkan kinerja Direktorat seyogyanya dapat diintegrasikan sesuai dengan ruang lingkupnya agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

c. Penataan Peraturan perundang-undangan dan Penegakan Hukum

Telah banyak Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan teknis pelaksanaan tugas fungsi Direktorat. Namun, Peraturan Perundang-undangan yang ada selama ini kurang mendukung tercapainya efektivitas pengawasan Obat dan Makanan. Demikian pula sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran di bidang Obat belum memberikan efek jera sehingga sering terjadi kasus berulang.

(22)

Beberapa kerangka regulasi yang diasumsikan dapat mendukung pencapaian tujuan pengawasan Obat dibahas pada Kerangka Regulasi. Adanya kerangka regulasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kaidah pelaksanaan RPJMN/RKP membuka peluang untuk menciptakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan meminimalkan ego sektoral. Direktorat perlu mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan peraturan perundangundangan yang akan masuk dalam prolegnas setiap tahunnya bersamaan dengan penyusunan rencana kerja. Selain itu sesuai kerangka regulasi, untuk memastikan bahwa setiap norma kebijakan yang akan diratifikasi memberikan manfaat bagi masyarakat, Direktorat perlu membuat cost-benefit analysis.

Sedangkan terhadap regulasi teknis yang dikeluarkan BPOM, perlu dilakukan regulatory impact assessment. Kaitannya dengan pengawasan Obat dan Makanan di daerah, selain ketersediaan NSPK, perlu didorong terbitnya aspek legal berupa Peraturan/SK Gubernur dan ditindaklanjuti dengan Peraturan/SK Bupati/Walikota. Pada level operasional, Direktorat telah memiliki Pedoman Pengawasan yang jelas untuk acuan dalam pengawasan obat berupa pengawasan sarana produksi dan pengawasan mutu obat beredar.

d. Penguatan Akuntabilitas Kinerja

Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Direktorat telah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan baik, dibuktikan dengan hasil evaluasi LAKIP Direktorat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan pada evaluasi 2013 memperoleh nilai A. Komitmen pimpinan yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan SAKIP menjadi kekuatan penting dalam upaya penguatan akuntabilitas kinerja Direktorat.

Namun, Direktorat masih perlu melakukan penyempurnaan dalam penatausahaan manajemen pemerintahan (keuangan dan BMN) dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel. Ke depan, untuk menjawab ekspektasi masyarakat terhadap akuntabilitas BPOM selaku institusi pengawasan, Direktorat mendukung program BPOM yang telah menargetkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap opini laporan keuangan BPOM dari BPK.

e. Penguatan Pengawasan

Penguatan pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Melalui upaya pengawasan yang dilakukan Direktorat, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pengelolaan

(23)

wewenang. Pengawasan yang dilakukan Direktorat antara lain melalui kebijakan penanganan gratifikasi, penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), pengelolaan pengaduan masyarakat, implementasi whistle-blowing system, penanganan benturan kepentingan, pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), dan pendayagunaan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam perencanaan dan penganggaran.

f. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur

Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur BPOM yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Perencanaan kebutuhan pegawai BPOM dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan proses penerimaan pegawai dilakukan secara transparan, objektif, akuntabel, dan bebas KKN serta promosi jabatan dilakukan secara terbuka.

Pengembangan pegawai yang dilakukan Direktorat berbasis kompetensi yang selanjutnya capaian penilaian kinerja individu pegawai akan dijadikan dasar untuk pemberian tunjangan kinerja. Peningkatan kompetensi dilakukan dengan mengikutserta pada training baik nasional maupun internasional bagi seluruh pegawai. Hal ini diimbangi dengan penegakan aturan disiplin dan kode etik serta pemberian sanksi. Seluruh aktivitas manajemen SDM tersebut didukung oleh sistem informasi kepegawaian.

Saat ini, SDM Direktorat telah memiliki kualitas yang memadai, namun dari sisi kuantitas SDM Direktorat belum mencukupi kebutuhan untuk menjalankan tugas dan fungsi pengawasan (post market). Sistem manajemen pemerintah menuntut adanya ukuran keberhasilan, baik di tingkat organisasi sampai ke level individu. Untuk saat ini, sistem manajemen kinerja belum optimal diterapkan, sehingga perlu dilakukan penerapan sistem manajemen kinerja yang lebih efektif dan efisien terutama dalam hal pelaksanaan evaluasi terhadap peta dan kelas jabatan yang telah disusun. Pemanfaatan sistem informasi kepegawaian yang telah dibangun juga perlu dioptimalisasi sebagai pendukung pengambilan kebijakan manajemen SDM.

g. Manajemen Perubahan

Manajemen perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran RB. Untuk menggerakkan organisasi dalam melakukan perubahan, BPOM telah membentuk agent of

(24)

change sebagai role model serta forum bagi pembelajaran atau inovasi dalam proses perubahan yang dilakukan. Direktorat sebagai unit kerja mendukung terhadap pembentukan agent of change dimana setiap agent of change harus dapat memberikan nuansa perubahan terhadap kinerja. Komitmen dan keterlibatan pimpinan dan seluruh pegawai secara aktif dan berkelanjutan merupakan unsur pendukung paling utama dalam perubahan pola pikir dan budaya kerja dalam rangka pelaksanaan RB.

Untuk mengurangi risiko kegagalan yang disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan dibutuhkan media komunikasi secara reguler untuk mensosialisasikan RB atau perubahan yang sedang dan akan dilakukan, termasuk pentingnya peran agent of change dan manfaat dari forum pembelajaran atau inovasi.

Hasil analisa lingkungan strategis baik eksternal maupun internal dirangkum dalam tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2 : Rangkuman Analisis SWOT

Kekuatan Kelemahan

 Kualitas SDM, Inspektur CPOB yang diakui secara Internasional

 Integritas Pelayanan Publik diakui secara Nasional

Networking yang kuat dengan lembaga-lembaga pusat/daerah/internasional  Pedoman Pengawasan yang jelas  Komitmen Pimpinan dan seluruh ASN

Direktorat menerapkan Reformasi Birokrasi

 Sistem pengawasan yang komprehensif mencakup pre-market dan post market

 Payung hukum pengawasan obat belum memadai

 Beberapa ASN masih memerlukan peningkatan kompetensi (capacity building)

 Masih terbatasnya jumlah SDM dalam cakupan pengawasan produksi obat dan mutu obat beredar

 Masih belum optimalnya sistem manajemen kinerja

 Terbatasnya sarana dan prasarana baik pendukung maupun utama

 Dukungan sistem IT dalam pengawasan belum memadai

 Belum optimalnya struktur organisasi dan tata kerja

PELUANG TANTANGAN

 Adanya Program Nasional (JKN dan SKN)  Perkembangan Teknologi yang sangat

cepat termasuk teknologi informasi  Jumlah industri Obat yang berkembang

pesat

 Terjalinnya kerjasama dengan instansi terkait

 Peningkatan permohonan sertifikasi dan

 Perubahan iklim dunia yang memperngaruhi pola penyakit  Demografi dan perubahan komposisi

penduduk

 Perubahan pola hidup masyarakat (sosial dan ekonomi)

 Globalisasi, perdagangan bebas dan komitmen internasional

(25)

diselenggarakan secara konkruen antara pusat dan daerah

 Masih banyak jumlah pelanggaran di bidang Obat

 Lemahnya penegakan hukum

 Ketergantungan impor bahan baku obat sangat tinggi

Berdasarkan hasil Analisa SWOT tersebut di atas, maka Direktorat perlu melakukan penguatan organisasi dan kelembagaan, agar faktor-faktor lingkungan strategis yang mempengaruhi baik dari internal maupun eksternal tidak akan menghambat pencapaian tujuan dan sasaran organisasi Direktorat periode 2015-2019. Dilihat dari keseimbangan pengaruh lingkungan internal antara kekuatan dan kelemahan serta pengaruh lingkungan eksternal antara peluang dan ancaman, , maka diusulkan penguatan peran dan kewenangan Direktorat untuk periode 2015-2019 sebagaimana pada Gambar 1.3 di bawah ini :

Gambar 1.3:Peran dan Kewenangan Direktorat

atatan (stakeholder diganti industri farmasi)

Tabel 1.3 Penguatan Peran Direktorat Tahun 2015-2019 Penguatan Sistem

Pengawasan Obat

 Pengawasan sarana produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik

 Pengawasan mutu obat yang beredar

 Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan sarana produksi bahan baku obat

Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi Publik

 Mendorong kemitraan dan kemandirian pelaku usaha melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik termasuk peringatan publik

 Pengelolaan data dan informasi Obat dan Makanan

 Penyebaran informasi bahaya obat dan makanan yang tidak memenuhi standar

(26)

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas terdapat beberapa penyebab yang dianggap sangat krusial dan strategis bagi peran Direktorat dalam melakukan pembenahan di masa mendatang, sehingga diharapkan pencapaian kinerja berikutnya akan lebih optimal. Di bawah ini pada gambar 1.4 terdapat diagram yang menunjukkan analisa permasalahan pokok dan isu-isu strategis sesuai dengan tupoksi dan kewenangan Direktorat sebagai berikut :

Gambar 1.1: Diagram permasalahan dan isu strategis, kondisi saat ini dan dampaknya

B

Berdasarkan kondisi obyektif yang dipaparkan di atas, kapasitas Direktorat sebagai unit kerja yang berada di bawah Kedeputian I BPOM sebagai unit kerja yang melakukan pengawasan obat masih perlu terus dilakukan penguatan, baik secara kelembagaan maupun dari sisi manajemen sumber daya manusianya, agar pencapaian kinerja di masa datang semakin membaik dan dapat memastikan berjalannya proses pengawasan obat yang lebih ketat dalam menjaga keamanan, mutu serta khasiat/manfaat obat tersebut, yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi pembangunan kesehatan masyarakat.

PERAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN Penguatan kebijakan teknis pengawasan

(RegulatorySystem)

Pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan

BELUM OPTIMALNYA PERAN BPOM DALAM MELAKSANAKAN PENGAWASAN OBAT DAN

MAKANAN

Belum optimalnya sistem pengawasan Obat dan Makanan

Belum optimalnya pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan dalam

pemenuhan ketentuan yang berlaku Masih terbatasnya kapasitas kelembagaan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan SDM

(27)

Untuk itu, ada 3 (tiga) isu strategis dari permasalahan pokok yang dihadapi Direktorat sesuai dengan peran dan kewenangannya agar lebih optimal, yang perlu terus diperkuat dalam peningkatan kinerja di masa yang akan datang sebagai berikut :

1. Penguatan sistem dalam pengawasan obat ,

2. Peningkatan pengawasan melalui kerjasama, komunikasi kepada pemangku kepentingan dalam pemenuhan ketentuan yang berlaku,

3. Penguatan kapasitas kelembagaan Direktorat, serta meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya manusia.

Untuk memperkuat peran dan kewenangan tersebut secara efektif, perlu terus melakukan perbaikan dan pengembangan secara kelembagaan serta penguatan regulasi, khususnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut peran dan tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kondisi lingkungan strategis dengan dinamika perubahan yang sangat cepat, menuntut Direktorat dapat melakukan evaluasi dan mampu beradaptasi dalam pelaksanaan peran-perannya secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan etos kerja tersebut, diharapkan mampu menjadi katalisator dalam proses pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional.

(28)

BAB II

VISI, MISI DAN TUJUAN BPOM

Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi ke depan sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I, makaBPOM sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga Pengawasan Obat dan Makanan dituntut untuk dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat/khasiat sesuai standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, disusun visi dan misi serta tujuan dan sasaran BPOM.

Gambar 2.1 : Peta Strategis BPOM Periode2015-2019

II.1. VISI

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, BPOM harus memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberhasilan pelaksanaan RPJMN 2015-2019 dan RKP Tahunan, melalui penyusunan rencana strategis dan tahunan (RPJMN, RKP) yang berkualitas serta optimalisasi pengendalian dan monitoring evaluasi atas pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan secara efektif dan efisien serta pelaksanaan tugas-tugas lainnya dari pemerintah.

(29)

Kualitas pengawasan Obat dan Makanan dilihat dari: 1) Kualitas kebijakan dalam penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria terhadap Obat dan Makanan;2) Kualitas pengawasan Obat dan Makanan, serta 3) Kerjasama dan Komunikasi Publik dalam mendorong peran serta masyarakat dalam memanfaatkan produk-produk Obat dan Makanan sesuai standar. Apabila keseluruhan hal tersebut dapat terpenuhi, maka berarti BPOM telah mampu berperan dalam mendukung pencapaian, target, sasaran, misi dan visi RPJMN 2015-2019 sesuai visi, misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019, dan selanjutnya mendukung pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sesuai amanat UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Adapun visi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:

Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong

Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:

1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan,

2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum,

3. Mewujudkan politik luar negeri yang bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim,

4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera, 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing,

6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju dan kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan

7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Untuk mendukung pencapaian visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam RPJMN 2015-2019 tersebut, maka BPOM sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam pengawasan Obat dan Makanan menetapkan Visi BPOM 2015-2019 (Direktorat mempunyai visi yang selaras dengan visi Badan POM) adalah sebagai berikut:

(30)

Penjelasan Visi:

Proses penjaminan pengawasan Obat dan Makanan harus melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan serta dilaksanakan secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang lebih baik. Sejalan dengan itu, maka pengertian kata Aman dan Daya Saing adalah sebagai berikut:

Aman : Keadaan bebas dari bahaya. Semua Obat dan Makanan harus dijamin keamanannya, agar tidak membahayakan bagi masyarakat pengunaannya. Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang telah memenuhi

standar, baik standar nasional maupun internasional, sehingga adanya kesiapan suatu produk bangsa untuk interaksi daya saing di masa depan. Agar menjadi kompetitif, dalam arti ini adalah memiliki peluang untuk menang bagi sejumlah pemain industri yang menghadapi biaya tinggi.

II.2. MISI

Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata sesuai dengan penguatan peran BPOM sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Bab I terhadap peran BPOM. Adapun misi yang akan dilaksanakan sesuai dengan peran-peran BPOM (Direktorat mempunyai misi yang selaras dengan misi BPOM) tersebut untuk periode 2015-2019, adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi masyarakat

Pengawasan Obat dan Makanan merupakan satu-kesatuan fungsi (full spectrum) standardisasi, penilaian produk sebelum beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum. Menyadari kompleksnya tugas yang diemban BPOM dalam melindungi masyarakat dari produk yang tidak aman dengan tujuan akhir adalah masyarakat sehat, serta berdaya saing, maka perlu disusun suatu sasaran strategis khusus yang mampu mengawalnya. Di satu sisi tantangan dalam pengawasan Obat dan Makanan semakin tinggi, sementara sumber daya yang dimiliki terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam penyelenggaraan tugas. Untuk itu pengawasan Obat dan Makanan seharusnya didesain berdasarkan analisis risiko, hal ini untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara proporsional untuk mencapai tujuan sasaran strategis ini.

(31)

2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan.

Sebagai salah satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM), yaitu pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjamin produk Obat dan Makanan aman. Pelaku usaha merupakan pemangku kepentingan yang mampu memberikan jaminan produk yang memenuhi standar dengan memenuhi ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi Obat dan Makanan.

Sebagai lembaga pengawas, BPOM harus bersikap konsisten terhadap pelaku usaha, yaitu dengan melaksanakan proses pemeriksaan serta pembinaan dengan baik. BPOM harus mampu membina dan mendorong pelaku usaha untuk dapat memberikan produk yang aman, bermanfaat/berkhasiat, dan bermutu. Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan diharapkan pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan.

Era perdagangan bebas telah dihadapi oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Sementara itu, kontribusi industri Obat dan Makanan terhadap Pendapatan Nasional Bruto (PDB) cukup siginifikan. Industri makanan, minuman, dan tembakau memiliki kontibusi PDB non migas di tahun 2012 sebesar 36,33 persen, sementara Industri Kimia dan Farmasi sebesar 12,59 persen (sumber: Laporan Kemenperin 2004-2012). Perkembangan industri makanan, minuman, dan farmasi (obat) dari tahun 2004 sampai dengan 2012 juga mempunyai tren yang meningkat. Hal ini tentunya merupakan suatu potensi yang luar biasa untuk industri tersebut berkembang lebih pesat.

Kaitannya dengan perdagangan bebas, industri dalam negeri tidak hanya bersaing di pasar dalam negeri, namun juga pasar di luar negeri. Sebagai contoh, masih besarnya impor terhadap obat serta besarnya pangsa pasar dalam negeri dan luar negeri menjadi tantangan industri obat untuk dapat berkembang. Demikian halnya dengan industri makanan, di mana pasar dalam negeri dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia sangat potensial. Industri kosmetik, obat tradisional, dan suplemen kesehatanpun mempunyai karakteristik yang sama. Kemajuan industri Obat dan Makanan secara tidak langsung juga dipengaruhi dari sistem serta dukungan regulatory yang mampu diberikan oleh BPOM. Sehingga BPOM berkomitmen untuk mendukung peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan keamanan, manfaat, dan mutu Obat dan Makanan.

Masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen mempunyai peran yang sangat strategis untuk dilibatkan dalam pengawasan Obat dan Makanan, utamanya pada sisi demand. Sebagai salah satu pilar pengawasan Obat dan Makanan, masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi

Gambar

Tabel 1.1 Perbandingan kinerja tahun 2010 s.d 2014
Gambar 1.10 di bawah ini:
Tabel 1.2 : Rangkuman Analisis SWOT
Tabel 1.3 Penguatan Peran Direktorat Tahun 2015-2019
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Namun jika dalam hipotesis kandungan informasi atau pengisyaratan ternyata dapat membuat investor berfikir dan memperkirakan pembagian dividen berdasarkan laba perusahaan

Fungsi terkait untuk menangani permasalahan tersebut biasanya pakai trigger mas, namun sepengetahuan saya, di MySQL kita tidak dapat memanipulasi row pada tabel yang

Dari hasil tersebut dapat diketahui produktivitas masing-masing alat berat pada setiap perhitungan, yaitu berdasarkan data lapangan didapat produktivis

Menurut Masyuri dan Zainudin (2009), kerjasama merupakan kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan

Pada tahap ini dilakukan uji performansi dari kinerja perangkat keras yang telah dibuat serta menganalisa apakah telah sesuai dengan spesifikasi perancangan yang telah

Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar perawat di Ruang Rawai Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki stress kerja yang tinggi, namun memiliki mutu