Sekretariat Nasional Jln. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta Selatan 12790;Jakarta - Indonesia Phone: +62-21-7991890 Fax: +62-21-7993426 Email: spi@spi.or.id;Website: http://www.spi.or.id
Terjadi kesenjangan antara Hasil yang diharapkan dan Hasil yang dicapai oleh Pemerintah UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 &3
UU Pokok Agraria No.5 1960 Pembukaan UUD 1945
Kemiskinan, Kelaparan Dan Konflik Agraria
Masyarakat Adil dan Makmur
Kesenjangan Kaya dan Miskin ( Tidak ada pemerataan)
Land Grabbing – Food Estate, Agro Fuel -- REDD Dominasi Produk-produk Impor di Pasar Konsumsi Petani gurem semakin meningkat
Area Penyimpangan Konstitusi menuju era Deregulasi, Privatisasi dan Liberalisasi – Sekulerisasi Negara – Negara Minimalis
Krisis Pangan – Krisis Harga Pangan -Krisis Biodiversitas – Krisis Iklim Landasan Perjuangan P.Agraria:
MODEL PEMBANGUNAN YANG MENYIMPANG DARI KONSTITUSI :
Pra Kolonial (1200-1600) : UPETI VOC/belanda dan Inggris :1600-1870 Upeti, Land rent, tanam paksa, pajak hasil pertanian Kemerdekaan dan orde lama : Nasionalisasi perkebunan/aset Orde Baru : Pengambil alihan lahan perkebunan oleh untuk penguasa dan pengusaha “land grabbing”, privatisasi SDA Privatisasi SDA, pengambil alihan lahan atas nama kepentingan umum, Green Grabbing
Petani :
-Penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha
-Hidup di pedesaan dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan
-Adanya pengambil alihan lahan petani secara laten
Petani berjuang mempertahankan tanah adat, tanah komunal,
okupasi, dan reclaiming untuk mengambil alih tanah yang
semestinya menjadi Haknya
Konflik Agraria
Uraian SP-1993 (juta) SP 2003 (juta) 2008 (juta) Jumlah Rumah TanggaPetani
20,8 25,4 28,3 Jumlah Petani Gurem 10,8 13,7 15,6 Porsi Petani Gurem 51,9% 53,9% 55,1% Porsi Petani Gurem di Jawa 69,8% 74,9% - Luas Panen Padi (ha) 11,013 11,488 12,34 Luas Panen/RT Petani (ha) 0,529 0,452 0,436 Perkembangan Rumah Tanga Petani, Petani Gurem, Luas Panen Padi
Sumber: Bank data SPI/Khudori (2008)
BPS (Sensus Pertanian 1993 dan 2003), data 2008 hasil proyeksi. Keterangan: Pertumbuhan Rumah Tangga Petani = 2,2% (1993-2003) Pertumbuhan Petani Gurem = 2,6% (1993-2003) Pertumbuhan Luas Panen Padi = 0,8% (1993-2008)
Konflik Agraria:
Tingginya angka kemiskinan di pedesaan akibat ketimpangan struktur agraria, ingin dipecahkan oleh para pendiri Republik Indonesia melalui penetapan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun sampai sekarang hal tersebut tidak dilaksanakan, sebagai akibatnya konflik agraria bermunculan. Konflik agraria menjadi sejarah dan kenyataan kelam bagi kaum tani, karena kekerasan fisik, korban nyawa dan akhirnya kriminalisasi petani menjadi dampaknya
Kemiskinan, Konflik Agraria dan Bencana Lingkungan
Tahun
Kasus
Luasan
Lahan (Ha)
Kriminalisa
si petani
Tergusur
Tewas
2007
76
196.179
166 orang 24.257 KK
8 orang
2008
63
49.000
312 orang 31.267 KK
6 orang
2009
24
328.497, 86 84 orang
5.835 KK
4 orang
2010
22
77.015
106 orang 21.367 KK
5 orang
2011
120
342.360, 43
35 orang 273.888 KK 18 orang
Sumber: SPI, 2008, 2009, 2010, dan 2011 diolah dari berbagai sumber
Ket: *jumlah petani yang ditangkap dan mengalami kekerasa fisik
Food estate Monokultur Sawit untuk agrofuel REDD & konservasi Legalitas : -UU penanaman Modal 2007 -UU No. 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, -Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD (turunan :Permenhut No. 36/2009, -Permenhut no.68/2008) - Dampak green grabbing terhadap petani Intimidasi Pengrusakan sarana dan tempat tinggal Penangkapan dan kriminalisasi penganiayaan Hilangnya sumber ekonomi petani penembakan
Perjuangan SPI thd Land Grabbing di Jambi
Jauh sebelum PT. Asialog
dan Inhutani mengelola
HGU seluas 46.000 ha di
Kab. Muaro Jambi,
Batanghari dan
Sarolangun, masy adat dan
petani telah terlebih dahulu
tinggal dan mengelola
hutan.
Keberadaan perusahaan
kemudian telah
menggusur petani dan
masyarakat adat.
Thn 2007, ketika HGU
habis, masyarakat lalu
menggarap tanah yang
Lahan tersebut
digunakan untuk
bercocok tanam
tanaman pangan
(sayur-sayuran,
padi) dan tanaman
keras (karet dan
sawit)
serta menciptakan
komunitas
dan wilayah mereka.
Kedatangan PT REKI (Restorasi Ekosistem
Indonesia) tahun 2008 menggunakan lahan
milik petani untuk program REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and
Degradation- Mengurangi Emisi Karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan) walaupun
SK Kemenhut baru keluar tahun 2010.
Wilayah konsesi PT REKI seluas 101.365 ha
mencakup 2 propinsi, Jambi dan Sumatra
Selatan. Di Jambi seluas eks HGU PT.
Asialog dan Inhutani.
Ketika PT REKI mengambil alih lahan
tersebut, petani diusir keluar dari tanah,
mengalami intimidasi dan penangkapan
PT REKI menggunakan preman dan polisi
hutan untuk mengintimidasi petani
Petani dipaksa menanda tangani perjanjian
yang menyatakan setuju untuk meninggalkan
lahan milik mereka dan tidak pernah
Penggusuran petani atas nama Green Economy juga
terjadi di Kec. Lembah Masurai, Kab. Merangin, Jambi
dengan perluasan Taman Nasional Kerinci Sebelas
14.000 ha.
Rencana perluasan ini tidak pernah dibicarakan dengan
masyarakat yg tinggal dan mengolah lahan disekitar
hutan.
Polisi hutan bersama lembaga pendukung melakukan
penggusuran, penebangan dan pembakaran kebun dan
rumah penduduk.
Pembakaran kebun dan rumah petani anggota SPI
Pasukan Polisi Hutan yang mengintimidasi petani
dan menebangi kebun kopi petani
Aksi SPI Jambi tolak penggusuran
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan hendaknya
dilakukan bersama dan demi kemaslahatan
masyarakat.
Praktek green economy yang dilakukan melalui proyek
REDD atau perdagangan karbon lainnya tidak akan
menyelamatkan hutan dan justru meningkatkan konflik
agraria.
Siaran Pers SPI terkait Bebaskan 13 Petani yang Ditangkap, Petanilah yang Menjaga Kelestarian Alam – 19 Oktober 2012
http://www.spi.or.id/?p=5690
JAKARTA. Berdasarkan laporan yang kami terima, telah terjadi penangkapan terhadap 13 orang petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Sungai Jerat, Batanghari, Jambi pada kamis (18/10/2012) oleh polisi hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan aparat Brimob Jambi.
Menurut Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Agus Ruli Ardiansyah, peristiwa penangkapan terhadap 13 petani tersebut dilakukan oleh aparat polisi yang menggunakan tutup kepala seperti ninja dengan menggeledah rumah serta menangkap para petani secara paksa.
\
“Hal ini menambah daftar panjang pelanggaran Hak Asasi Petani dalam penyelesaian konflik agraria, dengan upaya kriminalisasi terhadap perjuangan petani yang sedang menuntut hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) setelah Mesuji Lampung, Bima NTB dan Ogan Ilir Sumsel,” ungkap Ruli di Jakarta pagi ini (19/10).
Ruli juga menyampaikan, para petani yang sudah hidup lama di areal eks HPH Asialog, sejak tahun 2010 berkonflik dengan PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI). Sementara PT REKI tidak menghargai upaya penyelesaian konflik agraria yang sedang berjalan selama ini dilakukan oleh petani baik melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi sampai kepada Kementerian Kehutanan RI, dengan selalu melakukan tindakan provokasi dan premanisasi. Bahkan PT. REKI telah menunjukan sikap arogansi, yaitu telah memaksa aparat Kepolisian dan Polhut untuk menggunakan pendekatan hukum dan keamanan dengan melakukan penangkapan danpenahanan terhadap petani. “dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi petani,” tambah Ruli.
Siaran Pers SPI terkait Bebaskan 13 Petani yang Ditangkap, Petanilah yang Menjaga Kelestarian Alam – 19 Oktober 2012
Lanjutan:
Logikanya itu, masyarakat (baca:petani) tidak akan merusak hutan karena sama saja dengan merusak diri sendiri, karena mereka itu hidup dari hutan. PT REKI yang datang belakanganlah yang bertindak seakan pemilik mutlak hutan disana padahal itu khan hanya konsesi, dengan dalih konservasi mereka pun ingin mengusir masyarakat dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan dengan adat-adat masyarakat sekitar,” tegas Ruli.
Sementara itu, menurut Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Jambi Sarwadi Sukiman, tuduhan PT REKI yang mengatakan petani anggota SPI merambah hutan sama sekali tidak benar.
“Kami disana justru menanami areal hutan dengan tanaman keras seperti tanaman karet, pala, jelutung dan lainnya yang sesuai dengan skema kehutanan dari Kementerian Kehutanan yang bernilai ekonomis bagi kami para petani, kami juga mendampingkannya dengan tanaman pangan untuk kami konsumsi sehari-hari. Jadi kami justru melestarikan hutan sekaligus bisa mengambil nilai ekonomis dari hutan, anak-anak kami jadi bisa bersekolah dengan layak,” papar Sarwadi tadi pagi (19/10) dari Laos yang saat ini sedang mengikuti forum AEPF 9 (Asia-Europe People’s Forum) yang salah satunya juga membahas mengenai permasalahan REDD . Oleh karena itu, Agus Ruli menambahkan sudah seharusnya petani yang ditangkap langsung dibebaskan saja dan tidak terus dikriminalisasi karena petanilah yang berperan dalam melindungi kelestarian alam.
“Kami juga meminta pemerintah melalui Bapak Zulkifli Hasan selaku Menteri Kehutanan RI, untuk segera membentuk tim penyelesaian konflik agraria di Provinsi Jambi, yang dihadapi petani di wilayah kawasan hutan
SIARAN PERS SPI 23 JULI 2012
\MENGHADIRI UNDANGAN DISKUSI DENGAN DISHUT BATANG HARI Dua Petani SPI Ditahan Paksa
http://www.spi.or.id/?p=5343
BATANGHARI. Mad Dedy, Ketua Badan Pelaksana Ranting (BPR) Serikat Petani Indonesia (SPI) Bahar Selatan, Kabupaten Batanghari, Jambi dan Jhon Nadeak, Ketua Badan Pelaksana Basis (BPB) SPI Sungai Jerat, Kabupaten Batanghari ditahan paksa oleh Polres Batanghari di halaman Kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, tadi pagi (23/07), sekitar pukul 10.30 WIB. Mereka ditangkap pada saat menghadiri undangan dari Dinas Kehutanan Kab Batanghari dalam rangka penyelesaian konflik antara petani SPI dengan PT REKI.
Sarwadi Sukiman, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Jambi memaparkan, kedua petani yang ditangkap tersebut datang bersama dia dan empat orang petani lainnya atas dasar undangan dari Dishut Batang Hari.
“Jadi kami bertujuh datang atas undangan Dishut untuk berdiskusi sebagai lanjutan proses penyelesaian konflik agraria di Kabupaten Batanghari. Kami dan Dishut sebelumnya telah menandatangani MoU. Begitu sampai di halaman kantor Dishut, mereka berdua ditahan paksa oleh para polisi yang berpakaian preman dan langsung digelandang ke kantor Polres Batang Hari,” ungkap Sarwadi.
Sarwadi juga mengungkapkan bahwa pihaknya cukup terkejut atas penangkapan ini. “Saat kami tanya apa alasan penangkapannya, mereka (Polres Batanghari) tidak memberitahu. Tanya aja nanti langsung di Polres, kata mereka,” papar Sarwadi.
.
SIARAN PERS SPI 23 JULI 2012
\MENGHADIRI UNDANGAN DISKUSI DENGAN DISHUT BATANG HARI Dua Petani SPI Ditahan Paksa
Lanjutan:
Sarwadi dan yang lain pun langsung mendatangi Polres Batanghari untuk meminta keterangan resmi mengenai penangkapan dua orang petani tersebut. Namun anehnya, Sarwadi dan pihak SPI Jambi yang berusaha untuk menemui mereka tidak mendapat izin dari pihak kepolisian. “Kami petani berniat baik untuk berdiskusi penyelesaian konflik agraria, malah ditangkapi dengan alasan yang tidak jelas. Jelas ada yang salah dengan pemerintahan ini,” tegas Sarwadi. Sementara itu, pada saat dikonfirmasi langsung oleh Sarwadi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari, Suhabli mengaku pihaknya sama sekali tidak mengetahui soal akan adanya penangkapan tersebut.
Hingga berita ini dinaikkan, Sarwadi dan beberapa pengurus SPI Jambi masih bertahan di Polres Batanghari untuk mendapatkan kepastian mengenai penangkapan kedua temannya.