• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATANYANG LEBIH BERKUALITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATANYANG LEBIH BERKUALITAS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 28

PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATANYANG LEBIH BERKUALITAS

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indikator status kesehatan merupakan salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya utama untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya mendukung percepatan pembangunan nasional.

Secara umum, status kesehatan dan gizi masyarakat terus mengalami peningkatan, antara lain dilihat dari beberapa indikator. Angka kematian bayi menurun dari 35 (2003) menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (2005). Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi tersebut, usia harapan hidup meningkat dari 66,2 tahun (2004) menjadi 69,4 tahun (2006). Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tercatat 28 persen (2005).

(2)

Walaupun terjadi peningkatan, status kesehatan masyarakat Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan dengan status kesehatan di negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina, dan khususnya untuk angka kematian ibu maternal masih jauh dari sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Kondisi status kesehatan dan keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan tersebut, dipengaruhi antara lain oleh faktor lingkungan fisik, biologik maupun sosial ekonomi, perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta kondisi pelayanan kesehatan.

I. Permasalahan yang Dihadapi

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah belum optimalnya pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Hal ini antara lain dikarenakan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Demikian pula dengan kualitas dan pemerataan tenaga kesehatan juga masih belum optimal karena masih terbatasnya dukungan sumber daya kesehatan.

Permasalahan kesehatan lainnya yaitu pola penyakit yang selalu berubah, dan masih terdapatnya kantong-kantong endemis beberapa penyakit menular pada daerah resiko tinggi. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, dan diare. Selain itu, Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti HIV/AIDS, chikunguya, dan Avian Influenza (Flu Burung).

Disisi lain dalam upaya peningkatan gizi masyarakat menghadapi kendala antara lain yaitu tingkat pendapatan sebagian besar kelompok masyarakat yang masih rendah dan perubahan pola makan serta pola hidup yang tidak mendukung upaya perbaikan gizi.

Pengawasan terhadap obat, makanan dan keamanan pangan serta narkotika, psikotropika dan zat adikfif (NAPZA) menjadi hal sangat penting. Hal ini dilakukan agar masyarakat mendapat perlindungan yang semakin baik terhadap peredaran produk obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan dan penyalahgunaan

(3)

NAPZA. Dalam hal pengawasan obat dan keamanan pangan, perlu ditingkatkan pengawasan yang tidak hanya mencakup produk yang beredar di dalam negeri, tetapi juga produk-produk Indonesia yang diekspor ke luar negeri.

Selain permasalahan mendasar tersebut di atas, dalam satu tahun terakhir terdapat beberapa isu penting/strategis yang perlu penanganan segera, yaitu: peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin; ketersediaan dan keterjangkauan obat generik esensial; peningkatan peran serta aktif masyarakat; pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan; penanggulangan penyakit; penanggulangan gizi buruk; penanggulangan bencana; dan pengawasan obat dan makanan.

(1) Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin

Berbagai upaya penanganan terhadap masalah kesehatan masyarakat miskin telah dilakukan, baik melalui upaya penyediaan sarana pelayanan kesehatan dasar (supply oriented) maupun upaya penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin berbasis beneficiary (demand oriented). Sarana pelayanan kesehatan dasar yang tersedia terus meningkat jumlahnya dari tahun-tahun sebelumnya. Program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin), yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, selama ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat miskin. Namun, masih ada sebagian masyarakat miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan dasar dan memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan karena kendala jarak dan biaya transportasi.

Menyadari pentingnya penanganan yang berkelanjutan terhadap masalah kesehatan masyarakat miskin, pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan pelayanan dan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui program upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

(4)

(2) Ketersediaan dan keterjangkauan obat generik esensial

Ketersediaan dan keterjangkauan obat generik esensial, serta penurunan harga obat perlu terus diupayakan. Pada periode tahun 2004–2006, harga obat generik telah diturunkan, serta dilakukan labelisasi obat generik dan sekaligus pencantuman harga obat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses terhadap sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergi ini, masyarakat diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan, mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.

(3) Peningkatan peran serta aktif masyarakat

Saat ini semakin banyak masalah kesehatan yang dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat dan tepat pada tingkat yang paling bawah (grass root). Peran serta aktif masyarakat dalam mendeteksi secara dini masalah kesehatan tersebut masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, pembentukan dan pengembangan Desa Siaga dengan satu Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) perlu terus diupayakan. Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat juga telah dikembangkan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) dan Musholla Sehat.

(4) Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan masih belum mencukupi dan penyebarannya belum merata. Daerah-daerah terpencil dan tertinggal masih kekurangan tenaga kesehatan, terutama dokter dan bidan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2006 telah diangkat dan ditempatkan pegawai tidak tetap (PTT) dokter spesialis, dokter, dan dokter gigi di daerah terpencil dengan insentif khusus. Namun kebutuhan tenaga kesehatan masih cukup besar sehingga ketersediaan dan penyebaran tenaga kesehatan tetap akan menjadi permasalahan selama beberapa tahun ke depan.

(5)

(5) Penanggulangan penyakit

Penyakit infeksi menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol, antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, HIV/AIDS dan penyakit flu burung (Avian Influenza). Pada tahun 2006, kasus penyakit flu burung pada manusia tercatat sebanyak 55 kasus terkonfirmasi (confirmed casus) dan 45 diantaranya meninggal dunia (case fatality rate (CFR) 81,8 persen). Pada awal tahun 2007 (sampai bulan Juni 2007), tercatat sebanyak 26 kasus flu burung dengan kematian sebanyak 22 kasus. Indonesia masih dapat mempertahankan wabah flu burung pada Fase-3, yaitu keadaan dimana virus flu burung hanya menular dari unggas ke manusia. Di bidang kesehatan, perkembangan penyakit flu burung ini, menjadi suatu tantangan yang perlu ditangani lebih baik terutama dalam hal survailans, penanganan pasien/penderita, penyediaan obat, sarana dan prasarana rumah sakit.

(6) Penanggulangan gizi buruk

Pada tahun 2006 dan 2007, upaya perbaikan status gizi masyarakat, terutama masyarakat miskin, menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Masalah kurang gizi disebabkan berbagai faktor seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan pengetahuan, status kesehatan, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu upaya penanggulangan masalah gizi dengan fokus pada kelompok miskin harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi. Permasalahan gizi utama yang dihadapi meliputi kurang energi protein pada ibu hamil, bayi, dan balita, serta berbagai masalah gizi lain seperti anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat gizi mikro lainnya.

(7) Penanggulangan bencana

Berbagai bencana yang terjadi selama ini telah mengakibatkan banyak kerugian harta maupun korban jiwa. Upaya penanggulangan

(6)

bencana di bidang kesehatan dilakukan dalam rangka menangani masalah kesehatan yang timbul sebagai akibat terjadinya bencana. Penanganan masalah kesehatan perlu terus diupayakan antara lain melalui pemberian pelayanan kesehatan dan gizi, seperti pengobatan secara gratis dan pemberian makanan pendamping ASI khusus bagi bayi dan balita.

(8) Pengawasan obat dan makanan

Dengan makin gencarnya globalisasi dan era pasar bebas, maka ke depan tugas-tugas pengawasan obat dan makanan akan semakin luas dan kompleks. Kompleksitas pengawasan tidak hanya mecakup produk yang beredar di dalam negeri, tetapi juga produk-produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri. Selain itu, pengawasan obat dan makanan juga berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap masyarakat. Untuk itu pengawasan tidak hanya dilakukan terhadap produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik, mulai dari kualitas bahan yang akan digunakan, cara produksi, distribusi, penyimpanan, sampai dengan produk tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat.

II. Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai

Untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan, maka kebijakan umum pembangunan kesehatan pada tahun 2007 diarahkan untuk: (1) meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan melalui peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; dan pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan kelas III rumah sakit; (2) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dasar; dan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; dan (3) meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; dan peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini.

(7)

Langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah yang menonjol selama setahun terakhir dan hasil yang dicapai adalah sebagai berikut.

a. Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin

Tujuan umum program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien.

Pemanfaatan program Askeskin oleh masyarakat miskin terus meningkat. Pada tahun 2006, jumlah kunjungan rawat jalan tingkat pertama di Puskesmas mencapai sekitar 110 juta kunjungan, kunjungan rawat jalan tingkat lanjut di Rumah Sakit mencapai sekitar 7 juta kunjungan, dan pemanfaatan rawat inap tingkat lanjut di Rumah Sakit mencapai sekitar 1,5 juta orang. Melalui program ini masyarakat miskin juga sudah mendapat pelayanan kesehatan untuk kasus khusus seperti pertolongan persalinan sekitar 501,6 ribu orang, hemodialisa sekitar 5.400 orang, operasi jantung sekitar 2.950 orang, dan operasi caesar terhadap sekitar 7.100 orang.

Dalam rangka mendukung program Askeskin, sampai akhir tahun 2006 telah berhasil ditingkatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat, melalui peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan, yaitu Puskesmas meningkat dari 5.540 unit pada tahun 2004 menjadi 5.614 unit pada tahun 2006, Puskesmas Perawatan meningkat dari 2.010 unit pada tahun 2004 menjadi 2.227 unit pada tahun 2006, Pustu (Puskesmas Pembantu) meningkat dari 21.854 unit pada tahun 2004 menjadi 22.171 unit pada tahun 2006, Puskesmas Keliling meningkat dari 9.259 unit pada tahun 2005 menjadi 15.795 unit pada tahun 2006, baik dalam bentuk kendaraan roda empat maupun kendaraan air.

Sementara itu, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta meningkat dari 1.246 buah pada tahun 2004 menjadi 1.292 buah pada tahun 2006. Untuk dapat memberikan pelayanan rawat inap yang memadai di daerah terpencil dan perbatasan, pada tahun 2006 telah diadakan pula 4 Rumah Sakit lapangan (mobile hospital), dan

(8)

pada tahun 2007 akan bertambah lagi sebanyak 10 Rumah Sakit lapangan, terutama pada daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Peningkatan kualitas Rumah Sakit dapat dilihat dari meningkatnya jumlah Rumah Sakit terakreditasi dari 602 Rumah Sakit pada tahun 2005 menjadi 623 Rumah Sakit pada tahun 2006. Untuk lebih meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan rumah sakit telah ditetapkan 15 rumah sakit sebagai RS Badan Layanan Umum (RS-BLU).

b. Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat Generik

Dalam rangka peningkatan keterjangkauan masyarakat terhadap obat bagi semua lapisan masyarakat, sejak tahun 2006 Pemerintah secara terus menerus melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga obat, khususnya obat generik. Jumlah item/jenis obat generik yang akan diturunkan terus diupayakan. Pada tahun 2006 lebih dari 157 item/jenis obat generik telah dapat diturunkan sampai dengan 70%, dan disusul dengan penurunan harga 1.418 item/jenis obat esensial generik bermerek antara 10-80%. Pada tahun 2007, telah dilakukan rasionalisasi harga obat dari 454 obat generik dan diantaranya 61 item/jenis mengalami penurunan sampai 10%. Selain itu agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar tentang obat generik dan harganya, maka telah dilakukan pula labelisasi obat generik pada kemasannya, dan dengan pencantuman harga eceran tertinggi (HET).

Sementara itu dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap obat, pada awal tahun 2007 telah ditetapkan kebijakan Apotik Rakyat dan Obat Serba Seribu. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanaan kefarmasian, menertibkan peredaran obat, memberikan kesempatan kepada apoteker untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian, mengurangi pengangguran, dan menggulirkan ekonomi rakyat. Apotek Rakyat adalah apotek yang persyaratannya disederhanakan, tidak memerlukan modal besar, dapat dimiliki sendiri, dan akan tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan Obat Serba Seribu adalah obat murah, bebas terbatas untuk pengobatan sendiri (self medication) bagi keluhan-keluhan umum. Sampai saat ini telah tersedia 12 jenis Obat Serba Seribu dan

(9)

akan terus bertambah. Obat ini dapat dibeli oleh masyarakat di Apotik, Apotik Rakyat, Toko Obat, Toko maupun Warung dan juga di Pos Kesehatan Desa.

Dalam penggunaan obat, telah dilakukan upaya penyuluhan dan penyebaran informasi, agar obat digunakan secara tepat dan rasional, serta menghindari penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat. Upaya penggunaan obat rasional dilaksanakan dengan penerapan konsep obat esensial, penggunaan obat generik serta promosi/ informasi penggunaan obat rasional. Untuk itu telah disusun acuan penggunaan obat dalam bentuk Daftar Obat Essensial Nasional untuk seluruh strata pelayanan kesehatan, formularium di tiap rumah sakit, dan formularium Askeskin.

c. Peran Serta Aktif Masyarakat

Salah satu strategi pembangunan kesehatan adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengembangan Desa Siaga. Kriteria Desa Siaga adalah memiliki minimal 1 (satu) Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dengan seorang tenaga bidan dan minimal 2 orang kader desa. Fungsi dari Poskesdes adalah melakukan koordinasi dari berbagai upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM). Pada tahun 2006 telah dilakukan pencanangan Pengembangan Desa Siaga dan telah dikembangkan 12.300 Desa Siaga, yang dilengkapi dengan 12.300 Pos Kesehatan Desa. Pada tahun 2007 akan dikembangkan 30.000 Desa Siaga, dan targetnya pada tahun 2009 seluruh desa akan menjadi desa siaga.

Sarana kesehatan berbasis masyarakat lainnya adalah Posyandu. Posyandu aktif meningkat dari sebanyak 206.971 pada tahun 2004 menjadi sebanyak 248.358 pada tahun 2006. Balita yang ditimbang di Posyandu juga meningkat dari 43% pada tahun 2004 menjadi 60% pada tahun 2006. Pada tahun 2006 juga telah dikembangkan 200 Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) dan 229 Mushola Sehat.

(10)

d. Pemenuhan Tenaga Kesehatan

Secara bertahap pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan terus dilakukan. Guna pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan di daerah terutama di daerah terpencil, sangat terpencil dan daerah perbatasan, maka sejak tahun 2005 hingga Juni 2007 telah ditempatkan 141 dokter spesialis, 7.091 dokter umum, 2.065 dokter gigi, dan 38.889 bidan. Dari jumlah tersebut, tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil sebanyak 7 dokter spesialis, 3.275 dokter umum, 903 dokter gigi, dan 17.356 bidan.

Dalam rangka pendayagunaan tenaga kesehatan telah dilaksanakan kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan dalam bentuk PTT (Pegawai Tidak Tetap), utamanya untuk daerah terpencil dan sangat terpencil. Upaya ini didukung kebijakan penyesuaian waktu penugasan dokter dan dokter gigi PTT dengan kriteria daerah terpencil dan sangat terpencil. Di samping itu untuk menarik minat bagi tenaga dokter dan dokter gigi PTT yang ditugaskan di daerah sangat terpencil, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif penghasilan.

e. Penanggulangan Penyakit

Pada tahun 2004 kasus penderita demam berdarah dengue (DBD) yang ditemukan berjumlah sekitar 80.000 kasus, pada pada tahun 2006 meningkat menjadi sekitar 83.000 kasus. Sedangkan angka kematian menurun dari 1,4% pada tahun 2004 menjadi 1% pada tahun 2006. Penurunan angka kematian ini menunjukkan semakin baiknya penatalaksanaan kasus demam berdarah di Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Upaya penanggulangan demam berdarah yang telah dilakukan adalah: (1) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB); (2) Pemberantasan vektor; (3) Penatalaksanaan kasus; (4) Penyuluhan; (5) Kemitraan dalam wadah kelompok kerja nasional (POKJANAL DBD); (6) Peningkatan peran serta masyarakat (jumantik, desa siaga, dan pemuda siaga).

(11)

Sementara itu penemuan kasus tuberculosis (TB) dapat ditingkatkan dari 54% pada tahun 2004 menjadi 73,4 % pada tahun 2006. Demikian pula angka penyembuhannya (success rate) telah dapat mencapai lebih dari 89%, yang berarti telah melebihi target internasional sebesar 85%. Upaya peningkatan penanggulangan TB yang telah dilakukan mencakup : (1) Perluasan pelayanan TB di sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta; (2) Perluasan pelayanan DOTS di Rumah Sakit; (3) Implementasi ISTC (International Standard for TB Care) melalui kolaborasi dengan organisasi profesi; (4) Melibatkan dokter praktek swasta dalam penanggulangan TB; (5) Kampanye melalui media massa; dan (6) Pelayanan TB berbasis komunitas.

Kasus HIV/AIDS terus meningkat dengan cukup bermakna dari tahun ke tahun. Upaya penanganan terus diperbaiki untuk mengurangi risiko penularan penyakit ini. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan mencakup: (1) Peningkatan kuantitas dan kualitas surveilans penyakit infeksi menular seksual: (2) Promosi penggunaan kondom pada kelompok risiko tinggi; (3) Peningkatan peran Komisi Penanggulangan AIDS; (4) Layanan komprehensif HIV dan AIDS oleh 153 Rumah Sakit; (5) 260 layanan konseling dan testing yang tersebar di seluruh daerah; (6) Pencegahan Penularan HIV-AIDS dari Ibu ke bayi, melalui screening dan pengobatan; serta (7) Save Tanah Papua melalui active case finding.

Untuk kasus Malaria selama periode tahun 2005-2006 seluruhnya telah diobati (100%). Upaya penanggulangan malaria yang dilakukan antara lain dengan pengobatan massal, survei demam, penyemprotan rumah, penyelidikan vektor penyakit dan tindakan lain seperti pengeringan tempat perindukan.

Dalam rangka penanggulangan flu burung pada tahun 2006 telah disiapkan 44 Rumah Sakit Rujukan yang akan terus dikembangkan menjadi 100 rumah sakit rujukan pada tahun 2007. Di samping itu telah dikembangkan pula 8 laboratorium diagnostik dan peningkatan kompetensi laboratorium Badan Litbangkes, sehingga sejak Juli 2006 pemeriksaan laboratorium flu burung sudah dapat dilakukan di Indonesia, tanpa harus mengirim specimen ke Hongkong. Dalam rangka pengobatan dini gejala flu burung telah diproduksi Tamiflu atau oseltamivir di dalam negeri, dan telah

(12)

disiapkan sebanyak 16 juta kapsul, dan telah tersedia di setiap Puskesmas dan Rumah Sakit.

Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia Tahun 2007, Indonesia telah berhasil dalam memperjuangkan pembangunan kesehatan bagi negara-negara sedang berkembang, dengan melakukan perombakan kebijakan Sharing Viruses System yang selama lebih dari 50 tahun berlangsung dengan cara yang tidak adil, tidak transparan dan tidak akuntabel. Di masa mendatang diharapkan adanya pemerataan pelayanan kesehatan, dengan harga terjangkau, alih teknologi dan mendapat akses teknologi yang sangat berarti bagi negara-negara sedang berkembang.

Dalam rangka mendukung sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, pada tahun 2006 telah dikembangkan sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh Indonesia melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Informasi yang diperoleh akan mencakup gambaran indikator kesehatan secara nasional dan tingkat kabupaten, karakteristik genetika yang berhubungan dengan penyakit tertentu, parameter status kesehatan sebagai sarana pengembangan biobanking Indonesia. Selain itu telah berhasil dilakukan pengumpulan dan penyimpanan bekuan darah dari 100.000 penduduk Indonesia untuk membantu upaya pengembangan test diagnostik penyakit tertentu, seperti dengue, malaria, dan avian influenza.

f. Penanggulangan Gizi Buruk

Upaya prioritas yang dilaksanakan dalam penanganan gizi buruk adalah: (1) pendidikan gizi meliputi peningkatan kapasitas pengelolaan gizi kabupaten/kota, peningkatan kompetensi teknis tenaga ahli gizi dan tim asuhan gizi puskesmas, peningkatan kemampuan kader dalam deteksi dini balita gizi kurang, penyuluhan gizi dan pendampingan balita gizi buruk pasca rawat; (2) Pencegahan dan penanggulangan kekurangan energi protein (KEP), anemia, gejala akibat kekurangan yodium), kekurangan vitamin A, dan masalah gizi lebih, dalam pelaksanaannya difokuskan pada pemberian tablet besi (Fe), pemberian yodium, pemberian makanan pendamping ASI selama 90 hari kepada anak 6-24 bulan keluarga

(13)

miskin, pelayanan konseling gizi, tatalaksana anak gizi buruk termasuk rujukan; (3) Pemberdayaan masyarakat (melalui posyandu, pendampingan dan kegiatan kelompok masyarakat) dalam pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI lokal, makanan aneka ragam, konsumsi garam beryodium, konsumsi gizi mikro; dan (4) surveilans gizi.

g. Penanggulangan Bencana

Selama tahun 2006 di beberapa wilayah/propinsi telah terjadi bencana alam seperti banjir/banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi dan letusan gunung berapi, maupun bencana karena ulah manusia seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, ledakan bom dan konflik sosial. Jumlah korban meninggal dunia tercatat sebanyak lebih dari 7.600 jiwa. Bencana alam terbesar pada tahun 2006 adalah gempa bumi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah, dan jumlah korban meninggal tercatat sebanyak lebih 5.700 jiwa dan luka ringan maupun berat berjumlah sekitar 192.000 orang. Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana yang berskala nasional telah dapat ditangani dan ditanggulangi dengan baik. Guna mempercepat mobilisasi sumberdaya kesehatan dalam keadaan bencana, telah didirikan Pusat bantuan regional penanganan krisis kesehatan di 9 propinsi yaitu di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Masing-masing Pusat tersebut dilengkapi dengan tenaga terlatih dan logistik yang lengkap, yang setiap saat siap digerakkan dan didistribusikan ke daerah bencana. Dalam kaitan dengan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, diharapkan peran aktif dan kontribusi positif masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan berbagai upaya, terutama untuk kejadian bencana dalam skala lokal.

h. Pengawasan Obat dan Makanan

Pengawasan obat dan makanan dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat sekaligus

(14)

meningkatkan daya saing industri obat dan makanan Indonesia yang berbasis pada keunggulan mutu. Selama tahun 2006 telah dilaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka perlindungan kepada masyarakat dari risiko produk obat, obat tradisional, makanan, kosmetik, produk komplemen dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan/ safety, dan khasiat/kemanfaatan

Dalam rangka pengawasan produk obat, pada tahun 2006 telah dilakukan inspeksi terhadap lebih dari 2.500 Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan 8.900 apotek, terkait dengan penerapan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Dari hasil audit diketahui sekitar 51,6% masih melakukan pelanggaran terhadap ketentuan CDOB dan telah dilakukan tindak lanjut berupa pembinaan sampai dengan pencabutan izin. Dalam rangka pengawasan mutu obat tradisional yang beredar, selama tahun 2006 telah dilakukan pengujian mutu obat tradisional dan hasilnya diketahui 19,9% sampel tidak memenuhi persyaratan. Dalam rangka pengawasan mutu dan keamanan pangan, selama tahun 2005 sampai dengan Juni 2007 telah dilakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 6.800 sarana industri yang terdiri dari industri makanan yang memperoleh MD dan industri rumah tangga (IRT). Hasil pemeriksaan memperlihatkan sebesar 19,8% sarana sudah baik dalam penerapan cara-cara produksi pangan yang baik (CPPB), 61,6% sarana dinilai cukup dan 13% sarana dinilai masih kurang.

Dalam rangka pengawasan mutu produk pangan yang beredar di masyarakat, selama tahun 2005 sampai dengan Juni 2007, secara rutin telah dilakukan pengambilan sampel dan pengujian produk pangan pada lebih dari 56.500 sampel pangan. Hasil pengujian menunjukkan 4,4% produk pangan tidak memenuhi persyaratan (TMS) mutu dan keamanan. Selain itu, telah dilakukan pula sampling khusus dan pengujian laboratorium terhadap sekitar 4.200 sampel garam beryodium yang beredar di masyarakat. Hasil pengujian menunjukkan sekitar 22,5% garam beryodium belum memenuhi syarat kadar Kalium Iodat (KIO3).

Dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, telah dilakukan pengujian laboratorium terhadap sekitar 7.400 sampel barang bukti yang diduga/dicurigai sebagai

(15)

narkotika atau psikotropika. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, terbukti lebih dari 3.200 sampel merupakan narkotika dan lebih dari 3.500 sampel terbukti psikotropika.

III. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Memperhatikan berbagai permasalahan di bidang kesehatan, langkah kebijakan yang dilakukan, dan hasil-hasil yang telah dicapai, maka rencana tindak lanjut yang diperlukan antara lain diuraikan sebagai berikut.

1. Peningkatan akses, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin, melalui pelayanan bagi penduduk miskin di kelas III Rumah Sakit, pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya, dan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar (sebagian dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus);

2. Peningkatan ketersediaan tenaga medis dan paramedis terutama untuk pelayanan kesehatan dasar di daerah terpencil dan tertinggal, melalui pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya, serta rumah sakit kab/kota dan daerah bencana;

3. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, melalui penanggulangan penyakit menular, peningkatan surveilans, dan penemuan dan tatalaksana kasus;

4. Penanggulangan penyakit flu burung dan kesiapsiagaan pandemi influenza melalui penyusunan dan pelaksanaan surveilans, penanganan pasien/penderita flu burung, penyediaan obat flu burung, sarana dan prasarana penanganan kasus di rumah sakit;

5. Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi masyarakat, dan peningkatan surveilans gizi; dan

(16)

6. Peningkatan ketersediaan obat generik esensial, pengawasan obat, makanan dan keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, peningkatan pengawasan obat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA), pengadaan sarana dan prasarana pengawasan obat dan makanan dan peningkatan SDM.

Kebijakan tersebut didukung oleh promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumber daya kesehatan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan.

Referensi

Dokumen terkait

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Provinsi Jawa Tengah sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 84 tahun 2016 melaksanakan fungsi

Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan dampak kebijakan kebudayaan yang sudah diterapkan terhadap komunitas seni dan tradisi budaya Banyuwangi, khusunya Using,

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga Pasal 59 disebutkan Program Pascasarjana berubah nama menjadi Sekolah Pascasarjana

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pajak mempunyai fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan fungsi Bahasa Inggris di Indonesia, Thailand, dan Filipina; mendiskripsikan komparasi penguasaan Bahasa Inggris di Indonesia,

Hal ini menandakan bahwa penambahan ekstrak meniran dan bawang putih mampu merangsang nafsu makan sehingga pem- berian ekstrak meniran pada perlakuan pencegahan

Setelah dilakukan analisis pada struktur breasting dolphin dengan penguatan (tie-braces), didapatkan bahwa struktur memiliki UC member stress jauh dibawah batas

Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut: sebanyak 1 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3