• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN BENCANA ARSIP VITAL : STUDI KASUS ARSIP GEDUNG DAN RUMAH NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN BENCANA ARSIP VITAL : STUDI KASUS ARSIP GEDUNG DAN RUMAH NEGARA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN BENCANA ARSIP VITAL :

STUDI KASUS ARSIP GEDUNG DAN RUMAH NEGARA

Nadya Beatrix M. M. G. & Anon Mirmani

Ilmu Perpustakaan & Inforamsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail : nadya.beatrix@yahoo.co.id / anon.mirmani@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini berusaha untuk memberi gambaran tentang manajemen bencana arsip vital gedung dan rumah negara di Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi (pengamatan), wawancara, penggunaan instrumen penelitian, dan pengumpulan dokumen terkait topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara sudah melakukan beberapa hal dalam empat tahap manajemen bencana arsip vital. Namun, kendala utama yang dimiliki oleh unit ini adalah belum adanya program tertulis manajemen bencana arsip vital serta keteledoran pembangungan gedung yang justru mengakibatkan bencana bagi arsip subdit ini. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dengan Direktorat PBL dalam rangka keberlanjutan pembangungan Gedung Arsip PBL serta konsultasi dengan pembina kearsipan atau orang ahli untuk membentuk suatu program manajemen bencana arsip vital.

Abstract

This research attempts to give a picture about the disaster management of vital archive of building and houses in Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara. This research is a qualitative research using case study methods. Observation, interviews, document study, and research istrument are used for obtaining data. This research shows that Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara have taken several actions in each steps of four steps disaster management of vital records. However, this research also find the main obstacle in this working unit. This unit doesn’t have written program about disaster management of vital records yet, and meets several problems in the construction of Gedung Arsip PBL. Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara should coordinate with Direktorat PBL to discuss about the construction of Gedung Arsip PBL and consult with the archive advisor or expert to create a program of disaster management of vital records. Keywords : vital records, disaster management.

Pendahuluan

Arsip vital merupakan arsip yang mampu memberikan nilai bukti status hukum mengenai keberadaan organisasi penciptanya, pelanggan dan pemegang saham yang berkaitan dengan organisasi tersebut, sehingga keberadaan arsip itu menjadi sangat penting bagi penciptanya dan tidak tergantikan (Kennedy, 1998: 241). Dia menambahkan bahwa jumlah arsip vital adalah sekitar sepuluh persen dari keseluruhan arsip yang dimiliki organisasi.

(2)

Organisasi yang menjadi sasaran penelitian adalah Subdirektorat (Subdit) Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara yang berada dalam naungan Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan (Direktorat PBL). Subdit ini telah melakukan penataan arsip karena memiliki kesadaran akan pentingnya arsip tersebut bagi pihak yang berkaitan dengan kepemilikan rumah negara. Pentingnya kandungan informasi arsip yang menggambarkan fungsi pokok subdit dan mengandung nilai hukum, menjadikan arsip mereka layak disebut sebagai arsip vital.

Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara berada di lantai lima Gedung Cipta Karya kawasan Kementerian Pekerjaan Umum. Sedangkan arsip milik Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara disimpan di Gedung Arsip PBL yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya perlindungan terhadap arsip, terdapat tim khusus dari Direktorat PBL yang telah berkonsultasi dengan ahli untuk melakukan renovasi serta pengembangan terhadap bangunan Gedung Arsip PBL. Namun, pembangunan gedung arsip PBL memiliki resiko tinggi yang dapat mengancam keselamatan arsip karena arsip tidak dipindahkan keluar gedung ketika pembangunan berlangsung. Selain itu, gedung pernah mengalami kebocoran pipa air penampung air hujan pasca pembangunan. Pembangunan gedung yang ditujukan untuk membangun tempat penyimpanan arsip justru sempat membahayakan arsip.

Dalam rangka menghadapi bencana tersebut, maka organisasi perlu melakukan manajemen bencana, salah satunya adalah manajemen bencana terhadap arsip vital karena arsip vital menjamin pemulihan organisasi pasca bencana. Ketiadaan manajemen bencana terhadap arsip gedung dan rumah negara tentu mempersulit kinerja arsiparis dan staf apabila mereka benar-benar menghadapi bencana tersebut. Hal ini mendapat perhatian peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan perlindungan terhadap arsip vital. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan ilmu preservasi kearsipan dan implementasi, khususnya mengenai manajemen bencana arsip vital di Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara di Kementerian Pekerjaan Umum.

(3)

Tinjauan Teoritis

Manajemen bencana adalah suatu upaya dalam menghadapi bencana, baik itu persiapan maupun pengurangan dampak dari bencana yang telah terjadi. Teygeler (2001: 106) membagi manajemen bencana menjadi empat tahap, yaitu pencegahan, persiapan, reaksi, dan pemulihan. Manajemen bencana dibentuk untuk menjamin keselamatan arsip, terutama ketika menghadapi bencana dalam berbagai skala. Keempat tahap tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Pencegahan adalah tindakan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada arsip, yaitu dengan cara meminimalkan resiko yang dapat diakibatkan oleh bangunan, peralatan, dan ancaman dari alam sekitar.

2. Persiapan adalah membentuk perencanaan tertulis, mendistribusikan, memperbaharui peraturan secara berkala dan melakukan uji coba terhadap peraturan tersebut, Perencanaan penanggulangan bencana harus dibuat sendiri oleh organisasi yang bersangkutan karena kebutuhan setiap organisasi berbeda.

3. Reaksi adalah tanggapan terhadap bencana. Menurut Buchanan (1988) dalam Teygeler (2001: 117), pada tahap ini mencakup instruksi untuk tindakan pertama segera setelah bencana terjadi. Apabila bencana berskala kecil, maka penyelamatan arsip cukup dilakukan oleh unit fungsional atau unit terkait. Sedangkan penyelamatan arsip dari bencana berskala besar harus dilakukan oleh tim khusus pengaman arsip.

4. Pemulihan adalah mengembalikan organisasi seperti sedia kala ketika kondisi lingkungan sudah stabil. Pegawai yang bertanggung jawab terhadap keselamatan arsip vital harus menjamin kebersihan dan keselamatan arsip karena lingkungan kerja yang terkena bencana akan membuat arsip vital lebih rentan terhadap kerusakan. Selain itu, membuat dokumentasi rangkaian bencana yang baru saja dihadapi oleh organisasi. Dokumentasi ini dijadikan pembahasan dalam evaluasi.

Manajemen bencana ditujukan pada arsip vital karena arsip vital yang menjadi penggerak suatu organisasi. Arsip vital memberikan bukti status hukum mengenai keberadaan organisasi penciptanya, menyimpan kekayaan dan kepentingan organisasi, pelanggan dan pemegang saham yang berkaitan dengan organisasi tersebut, sehingga keberadaan arsip itu menjadi sangat penting bagi penciptanya dan tidak tergantikan, seperti yang dikatakan oleh McKinnon (1977) dalam Kennedy (1998: 243).

(4)

Keberadaan arsip vital tidak tergantikan, sehingga harus lebih mendapat perhatian daripada arsip bukan vital. Ketika organisasi mengalami bencana, maka arsip vital menjadi prioritas utama yang harus diselamatkan semata-mata demi keberlangsungan organisasi itu sendiri, seperti dinyatakan oleh Archives and Records Management Section dari PBB:

“Vital records are those official records that, in the event of a disaster, are essential for the recovery of vital operations and the ongoing business of a UN office. Vital records are a very small subset of the agency’s records, without which it could not function effectively.”

Organisasi harus memiliki kebijakan atau tolak ukur atau tim yang dapat menentukan arsip mana yang termasuk ke dalam kategori arsip vital. Tindakan ini sangat penting agar semua arsip yang termasuk ke dalam arsip vital mendapatkan pengelolaan yang lebih layak dan mendapatkan jaminan keamanan lebih baik dibandingkan arsip bukan vital. Namun, perlu juga diketahui bahwa tidak semua arsip vital merupakan arsip aktif. Sebagian arsip yang telah melewati masa aktif tetap disimpan untuk hal-hal berkaitan dengan peraturan dan tujuan perusahaan (Andolsen, 2008). Pengelolaan arsip vital memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penentuan arsip vital yang cermat akan mencegah organisasi menghabiskan anggaran secara sia-sia. Anggaran yang dimaksud adalah pengeluaran yang diperlukan oleh suatu organisasi untuk menjamin keselamatan dan keamanan arsip vital dari segala bentuk bencana.

Bencana biasanya terjadi secara tiba-tiba atau tidak terduga oleh manusia, baik bencana yang disebabkan oleh alam maupun oleh manusia. Bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Menurut Teygeler (2001: 109), bencana yang menjadi ancaman utama bagi organisasi adalah api dan air. Ancaman yang berasal dari api, yaitu kebakaran. Sedangkan ancaman yang berasal dari air dapat berupa kebocoran atau banjir.

Brandt-Grau (2000) dalam Teygeler (2001: 107) menyatakan perlunya keberadaan perencanaan tertulis mengenai manajemen bencana sebagai program preservasi yang akan diimplementasikan institusi. Manajemen bencana ini membuat institusi dapat merespon

(5)

keadaan darurat dengan cepat dan untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap bangunan organisasi beserta isinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan pada hari kerja, mulai dari pertengahan Maret hingga akhir April. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, membaca dokumen, dan menggunakan instrumen penelitian. Observasi dilakukan di dua tempat, yaitu unit kerja Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara serta Gedung Arsip PBL. Wawancara dilakukan dengan teknik semiterstruktur terhadap Kepala Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara (informan W) sebagai pencipta arsip dan arsiparis subdit tersebut (informan S) sebagai petugas aktif yang melakukan kegiatan pengelolaan arsip. Selama penelitian, dokumen yang menjadi referensi adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum. Dokumen ini membantu dalam pemahaman kegiatan yang dilakukan oleh subdit tersebut. Instrumen penelitian yang digunakan sebagai panduan observasi dan wawancara kepada informan adalah daftar checklist yang diadaptasi dari Fire protection self-inspection checklist-fire safety inspection forms yang disusun oleh National Fire Protection Association (1980) dan lembar kerja dari NDCC Assesing Preservation Needs by Beth Patkus (2003).

Hasil Penelitian

Manajemen bencana menjadi upaya yang harus dilakukan dalam rangka menghadapi bencana. Pentingnya peran arsip gedung dan rumah negara bagi pihak di luar unit mereka, bahkan di luar kementerian juga, menjadikan Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara merasa perlu untuk memberikan proteksi kepada arsip tersebut. Manajemen bencana dibedakan menjadi empat tahap, yaitu pencegahan, persiapan, rekasi, dan pemulihan (Reyne Teygeler, 2001: 106).

Pada tahap pencegahan, suatu organisasi melakukan penilaian terhadap kondisi gedung, baik dari luar maupun dari dalam, kemudian menganalisis resiko yang dapat mempengaruhi organisasi tersebut, baik ancaman dari alam maupun dari manusia. Namun, organisasi dapat mengawalinya dengan melakukan identifikasi arsip vital. Identifikasi arsip vital dilakukan pada Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara. Hasilnya, subdit ini

(6)

menghasilkan arsip yang dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu arsip gedung negara dan arsip rumah negara. Arsip gedung negara mencakup arsip tentang rekomendasi untuk membangun gedung negara, arsip tentang pembangunan gedung baru, arsip tentang renovasi gedung, dan arsip tentang pemusnahan suatu gedung. Sedangkan arsip rumah negara mencakup surat alih status rumah golongan dua ke golongan tiga, SIP (Surat Ijin Penghunian) rumah golongan tiga, surat pengalihan hak atau penjualan rumah negara, perjanjian sewa beli rumah negara, dan surat penyerahan hak milik rumah negara dan pelepasan hak atas tanah.

Arsip gedung negara yang telah teridentifikasi tersebut dapat dikategorikan ke dalam arsip vital karena arsip gedung tersebut berkenaan dengan gedung yang dibiayai oleh APBN. Gedung yang didanai oleh APBN, dalam arti uang rakyat, harus memiliki arsip yang jelas ketika gedung akan dibangun, direnovasi, atau bahkan dimusnahkan karena arsip tersebut menjadi bukti pertanggungjawaban lembaga yang bersangkutan terhadap pemerintah dan rakyat. Sedangkan arsip rumah negara juga dikategorikan ke dalam arsip vital karena arsip tersebut berkaitan dengan status sebuah rumah negara (apakah rumah negara tersebut masuk ke dalam golongan 1, 2, atau 3); hak kepemilikan rumah negara (apakah masih milik instansi atau sudah dapat dimiliki oleh individu); serta proses sewa beli rumah negara yang dapat berproses hingga puluhan tahun. Keterangan lengkap mengenai rumah negara tertera dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara. Arsip yang dihasilkan dari kegiatan tersebut memberikan bukti hukum yang sering digunakan dalam peradilan berkenaan dengan pembelian rumah negara, utang piutang selama proses membayar, dan arsip yang menandakan hak milik akan rumah negara. Kedua informan menyadari bahwa arsip mereka sangat penting namun mereka tidak pernah mendengar istilah arsip vital. Ketika mereka mendengar kata arsip vital serta diberikan penjelasan dan contoh arsip vital, kedua informan setuju bahwa arsip yang mereka ciptakan dan mereka kelola layak disebut sebagai arsip vital.

Arsip vital yang telah teridentifikasi dilindungi dengan tiga cara, seperti yang dituangkan ANRI dalam Lampiran Peraturan Kepala ANRI Nomor 6 Tahun 2005, yaitu duplikasi, pemencaran (dispersal), dan dengan peralatan khusus (vaulting). Pada tahap duplikasi, arsip difotokopi bila diperlukan dengan menjamin fisik arsip asli tetap tersimpan dengan aman.

(7)

Pada kegiatan pemencaran, hasil duplikasi arsip disimpan oleh perseorangan (untuk rumah negara) atau lembaga pemerintah lain (untuk gedung negara) yang memiliki hubungan dengan arsip tersebut. Arsip yang asli disimpan di Gedung Arsip PBL yang berada cukup jauh dari unit pencipta. Kemudian dengan peralatan khusus (vaulting), yaitu perlindungan arsip vital dari bencana dengan penggunaan peralatan penyimpanan khusus yang tahan api, kedap air, dan bebas medan magnet untuk arsip berbasis magnetik/elektronik (Peraturan Kepala ANRI No. 6 tahun 2005 Tentang Program Arsip Vital). Sesuai dengan Peraturan tersebut, Gedung Arsip PBL, diperlengkapi dengan tembok tahan api yang dipasang di dinding seluruh ruang penyimpanan arsip. Ruang penyimpanan didesain tertutup dan tanpa sekat dan hanya dapat diakses melalui satu pintu yang didesain tahan api juga. Keterangan ini mencerminkan kesesuaian dengan tuntutan manajemen bencana yang ditetapkan oleh ANRI, terlihat dari ruang penyimpanan arsip yang sudah dibangun dengan kemampuan tahan api.

Arsip vital juga mendapatkan pengamanan, ANRI membaginya menjadi dua, yaitu pengamanan informasi arsip dan fisik arsip. Pengamanan informasi arsip dilakukan dengan memberikan kartu identifikasi bagi pengguna arsip. Dalam pengimplementasiannya di Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara, kartu identifikasi yang digunakan oleh pengguna arsip merupakan kartu pengenal yang biasanya digunakan pegawai di tempat dirinya bekerja. Selain itu, untuk mengakses arsip, mereka membawa surat dari Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara. Terbukti dari paparan di atas bahwa keamanan terhadap informasi arsip di subdit ini sudah diterapkan. Informan S menyadari bahwa seluruh arsip yang mereka kelola memiliki kekuatan hukum dan seringkali digunakan untuk pemeriksaan gedung dan rumah negara. Oleh karena itu, para pengelola arsip hanya melayani pihak yang memiliki maksud dan tujuan yang jelas dengan melampirkan surat pengantar dari unit pencipta di kantor pusat.

Selain informasi arsip, fisik arsip juga perlu diamankan untuk menghindarkan arsip dari berbagai bentuk bencana, baik bencana yang berasal dari alam maupun kelalaian manusia. Sepanjang sejarah Kementerian Pekerjaan Umum berdiri, institusi ini tidak pernah mengalami peristiwa kebakaran. Namun, untuk berjaga-jaga, pada setiap lantai gedung terpasang beberapa alat pemadam kebakaran berupa selang air, tabung pemadam kebakaran, dan alarm kebakaran yang menempel di dinding. Sedangkan pada langit-langit ruangan terdapat alat pendeteksi asap dan alat penyemprot air. Semua peralatan tersebut memiliki standar yang sama di semua direktorat, termasuk Direktorat PBL.

(8)

Selain gedung tempat arsip diciptakan, yang perlu diperhatikan pula adalah kondisi Gedung Arsip PBL. Gedung ini dipergunakan khusus untuk menyimpan arsip Direktorat PBL, seperti yang dikatakan dalam wawancara:

“Gedung arsip yang ada di Jalan Kramat itu memang didesain sedemikian rupa, oleh orang yang ahli di bidangnya, untuk menjadi tempat penyimpanan arsip.” – W

Berdasarkan pernyataan informan W, beliau meyakini bahwa terdapat syarat tersendiri yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu tempat penyimpanan arsip yang layak. Beliau menyinggung soal suhu, kelembaban, serta ancaman kebakaran. Walaupun beliau tidak mengetahui dengan tepat ketentuan yang harus dipenuhi, beliau meyakini bahwa pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan gedung arsip tersebut sudah mempertimbangkan dengan matang bagaimana pembangunan gedung yang layak bagi keselamatan arsip.

Untuk melihat kelayakan Gedung Arsip PBL terhadap ancaman kebakaran, peneliti membuat daftar checklist yang diadaptasi dari Fire protection self-inspection checklist-fire safety inspection forms yang disusun oleh National Fire Protection Association (1980). Formulir ini digunakan karena dianggap cocok untuk dijadikan landasan dalam menilai kelayakan gedung terhadap ancaman terbesar bangunan, yaitu api. Ruang lingkup kriteria yang harus diperhatikan adalah mengenai keselamatan khalayak; peralatan perlindungan kebakaran; urusan rumah tangga dan penyimpanan; pemeliharaan bangunan dan sistem; dan personil dan pelatihan.

Aspek pertama adalah mengenai keselamatan khalayak. Berdasarkan hasil pengamatan, semua pintu yang ada di dalam gedung berfungsi dengan baik dan tidak terhalang apapun, sehingga memudahkan perpindahan orang secara cepat apabila terjadi kebakaran atau gempa. Setiap pintu ruang penyimpanan arsip juga bersifat tahan api tetapi tidak semuanya berada di dalam kondisi tertutup. Gedung arsip terdiri dari empat lantai ini memiliki tangga yang berukuran cukup lebar dan berada di satu tempat. Posisi tersebut akan sangat membantu ketika pegawai terburu-buru turun dari lantai paling atas, mereka langsung menemukan tangga untuk turun ke lantai berikutnya, begitu seterusnya. Kondisi tangga sangat baik, tidak ada keretakan pada lantai. Sayangnya gedung ini belum diperlengkapi dengan petunjuk arah jalur evakuasi seperti tangga, lift, atau tanda exit. Padahal tanda ini sangat berguna bila dalam keadaan darurat, terutama bagi orang yang baru pertama kali ke sana. Gedung Arsip PBL

(9)

berdiri di tepi jalan, tepat di sebelah kiri Kantor Polres Jakarta Pusat. Posisi ini setidaknya lebih memberikan keuntungan bagi pegawai yang bekerja di gedung arsip tersebut, baik dari segi keamanan, ataupun bila pegawai menghadapi keadaan darurat seperti kebakaran.

Aspek kedua adalah ketersediaan peralatan perlindungan kebakaran, yaitu alat-alat yang digunakan sebagai pertolongan pertama ketika api belum membesar. Peralatan yang ada di gedung ini tidak jauh beda dengan alat yang ada di Direktorat PBL, yaitu tabung pemadam api, alat pemancar air, alarm kebakaran, dan selang air. Alarm dan tabung pemadam api dipasang di setiap lantai. Sedangkan selang air berada di posisi bawah, dekat dengan pintu menuju ruang arsip rumah negara. Akan tetapi, terdapat beberapa ruang arsip yang belum memiliki alat pemancar air, salah satunya adalah ruang arsip rumah negara sekaligus tempat kerja utama informan S beserta kedua stafnya. Kemudian peralatan yang perlu diperiksa adalah katup kendali, tangki, dan pipa yang menjadi penunjang alat pemancar air. Informan S mengetahui lokasi peralatan tersebut dipasang, namun beliau tidak tahu cara mengoperasikan atau memeriksa kondisi alat-alat itu.

Aspek ketiga adalah pemeriksaan terhadap kondisi kebersihan ruang penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan, tidak ada material yang mudah terbakar atau sampah yang bertumpuk di dalam Gedung Arsip PBL. Sampah dibuang secara rutin ke luar gedung arsip. area penyimpanan berada dalam kondisi yang bersih dan rapi, khusunya untuk ruang gudang arsip tempat arsiparis dan stafnya bekerja. Namun, di ruang gudang arsip enam, yaitu tempat penyimpanan arsip rumah negara di luar Jabodetabek dan sebagian arsip gedung negara, terdapat banyak sekali kardus berisi berkas proyek Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara yang belum dirapikan. Berkas ini diluar tanggung jawab informan S karena beliau tidak ditugaskan untuk menata arsip tersebut. Pada ruang gudang arsip di lantai tiga, ruang dalam keadaan berdebu, tepatnya pada pemukaan lantai dan arsip itu sebagian besar arsip itu sendiri. Hal ini terjadi karena arsip yang disimpan di lantai tiga jarang dimasuki arsiparis.

Aspek keempat adalah mengenai sistem listrik, air, dan keamanan pada Gedung Arsip PBL. Dari segi keamanan, gedung ini memiliki pagar luar yang berada dalam kondisi sangat baik, tetapi tidak memiliki sistem keamanan tertentu. Gedung ini dijaga beberapa satpam tanpa akses sidik jari bagi pegawai untuk memasuki gedung. Sebagai orang luar, peneliti cukup menyebutkan nama informan S dan berkata bahwa peneliti merupakan orang dari pusat (baca:

(10)

Kantor Kementerian Pekerjaan Umum). Sedangkan untuk sistem listrik dan air, informan S mengaku tidak mengurusi hal tersebut. Sejauh ini, tidak terjadi hambatan yang berarti seperti mati listrik atau air. Hanya saja, saluran air hujan belum berjalan dengan efektif.

Aspek kelima adalah mengenai kualitas SDM, lebih tepatnya pengetahuan serta kesiapan arsiparis, staf, dan para pegawai lain yang ada di dalam Gedung Arsip PBL dalam menghadapi kebakaran. Menurut informan S, beliau dan kedua stafnya belum pernah mendapatkan sosialisasi atau pelatihan mengenai tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi kebakaran. Informan S juga tidak tahu mengenai prosedur penggunaan tabung pemadam api. Namun, ada salah satu staf yang tahu cara menggunakan tabung tersebut karena beliau pernah melihat demonstrasi penggunaan alat tersebut di lingkungan rumah.

Berdasarkan kelima aspek penilaian yang digunakan peneliti untuk melihat persiapan awal pihak Direktorat PBL dalam mempersiapkan gedung khusus penyimpan arsip, direktorat ini perlu memperhatikan aspek fasilitas peralatan perlindungan kebakaran karena ada beberapa peralatan yang memang direncanakan untuk dipasang, namun belum kunjung dipasang juga hingga penelitian ini dilakukan. Untungnya seluruh dinding yang ada di ruang penyimpanan arsip menggunakan dinding khusus, yaitu dinding polystyrene fire retardant (FR) lapis

wiremesh non galvanis plester dua sisi finish cat acrylic emulsi. Dinding ini disebut sebagai

dinding yang tahan api. Selain itu, aspek kesiapan pegawai dalam menghadapi bencana, khususnya kebakaran, harus lebih diperhatikan karena mereka belum pernah diajarkan tentang cara penggunaan peralatan yang ada. Jadi, mereka pun tidak pernah memeriksa kondisi segala peralatan yang ada. Terlepas dari aspek penilaian tersebut, renovasi gedung arsip tersebut merupakan hasil kerjasama Direktorat PBL dengan pihak yang sudah ahli di bidangnya. Pembangunan gedung memang terhenti sementara, sehingga peralatan perlindungan kebakaran belum terpasang seluruhnya. Bila pembangunan yang sudah dipertimbangkan banyak pihak ini dilanjutkan, serta para pegawai diberikan edukasi mengenai ancaman kebakaran, maka subdit ini dapat memenuhi kriteria yang dibuat oleh National Fire Protection Association.

Kemudian peneliti juga menggunakan lembar kerja yang merupakan adaptasi dari NDCC Assesing Preservation Needs by Beth Patkus (2003). Lembar kerja ini digunakan kerena memuat hal tentang lingkungan yang ada di dalam atau di luar bangunan, yaitu dari segi

(11)

temperatur dan kelembapan relatif, polusi, cahaya, dan biota pengganggu. Aspek tersebut merupakan syarat untuk menjamin ketahanan arsip dari lingkungan sekitarnya.

Aspek pertama yang dilihat adalah mengenai temperatur dan kelembapan relatif. Gedung ini menggunakan AC sentral. Alat saluran pendingin ruang sudah dipasang pada langit-langit ruang penyimpanan arsip di setiap lantai. Sayangnya, mesin pendingin belum dihidupkan hingga saat ini. Akibatnya ruang penyimpanan arsip terasa panas, dan pengap. Ruang gudang arsip satu di lantai dua, yang tak lain adalah ruang penyimpanan arsip rumah negara Jabodetabek dan tempat kerja pengolahan arsip diperlengkapi dengan satu unit kipas dan satu unit AC Split (AC yang biasanya digunakan di rumah). Kedua alat ini setidaknya membuat pegawai yang bekerja di dalamnya tidak merasa kepanasan. Seluruh ruang penyimpanan arsip yang ada di lantai dua dibiarkan terbuka karena ruangan tersebut sering dimasuki untuk temu kembali atau penataan arsip, sehingga suhu ruang penyimpanan arsip sama dengan suhu di luar ruang penyimpanan. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlaku bagi ruang gudang arsip di lantai tiga yang selalu dalam keadaan terkunci. Ketika ruangan ini dimasuki, rasa pengap dan panas sangat kentara. Informan S mengaku sudah terbiasa dengan kondisi pengap seperti itu.

Aspek kedua dan ketiga adalah mengenai polusi udara dan pencahayaan pada koleksi. Secara keseluruhan Gedung Arsip PBL didesain tertutup. Alat khusus pertukaran udara tidak ada. Jadi, gedung ini mengandalkan AC sentral yang belum menyala sejak dipasang ketika renovasi tahun 2012. Walaupun suhu ruang tidak sejuk, ruangan ini terbebas dari asap rokok. Sedangkan untuk pencahayaan, gedung ini memiliki jendela yang dipasang di luar ruang penyimpanan arsip tanpa ventilasi udara, sehingga untuk penerangan di dalam ruang penyimpanan menggunakan lampu TL atau dikenal juga dengan sebutan lampu neon.

Aspek keempat yang harus diperhatikan adalah mengenai biota pengganggu (insects) yang merusak arsip. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, informan S mengungkapkan tentang hama yang merusak arsip. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan S, dahulu ada rayap di ruang gudang arsip enam, yang saat itu digunakan untuk menyimpan arsip proyek. Keberadaan rayap terdeteksi ketika ruangan itu akan dialihfungsikan sebagai ruang penyimpanan arsip gedung negara dan arsip rumah negara di luar Jabodetabek. Keberadaan rayap berada diluar perkiraan informan karena ruang penyimpanan tersebut termasuk kategori bangunan baru. Ruang tersebut juga tidak pernah dimasuki oleh informan sampai akhirnya tidak ada tanda-tanda bahwa pemilik arsip akan mengambil arsipnya.

(12)

Ruangan itu pun dibersihkan dari rayap dengan menggunakan minyak tanah. Untung saja, setelah dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi ruang penyimpanan arsip gedung dan rumah negara di luar Jabodetabek, belum ada tanda keberadaan rayap hingga saat ini. Walaupun informan beserta stafnya tidak melakukan pemeriksaan secara rutin, ruangan tersebut dimasuki setiap hari dalam rangka temu kembali arsip.

Kemudian, informan ditanyakan mengenai pelaksanaan fumigasi sebagai pengendalian hama. Respon informan adalah sebagai berikut:

“Sebelum renovasi, kita pernah fumigasi. Setahun sekalilah mbak. Jadi ruangannya ditutup gitu. Semua celah-celah dilakban, sampai celah pintu gitu ya. Terus ruangan itu dimasukin obat. Bentuknya tablet gitu ya. Baunya, aduh, nyengat itu. Saya pernah cium. Jadi setelah dikasih obat, kita gak boleh masuk ruangan selama 24 jam. Tapi sejak tahun 2013 belum pernah fumigasi. Jadi ya paling kita kasih kamper aja gitu di sudut-sudut.” – S

Berdasarkan penuturan informan, kegiatan fumigasi merupakan kegiatan yang rutin dilakukan, yaitu sekali dalam satu tahun. Namun, semenjak dilakukan pembangungan Gedung Arsip PBL, kegiatan fumigasi terhenti sejak tahun 2013. Kenyataan ini sangat disayangkan, terlebih karena kondisi penyimpanan ruang yang belum stabil yang diakibatkan oleh pembangunan serta belum berfungsinya pendingin ruangan.

Ruang gudang arsip satu di lantai dua, selain digunakan sebagai ruang penyimpanan arsip rumah negara di wilayah Jabodetabek, dijadikan pula sebagai tempat kerja dalam arti tempat informan dan kedua stafnya menghabiskan seluruh waktu kerjanya, termasuk istirahat, di dalam ruangan tersebut. Jam istirahat mereka juga tidak pasti, dalam arti mereka akan makan siang ketika pekerjaan sudah dirasa cukup renggang atau sedang tidak ada tamu yang datang.

Aktivitas kebersihan di ruang penyimpanan arsip di lantai dua lebih terjamin daripada ruang penyimpanan di lantai tiga. Berikut adalah penuturan informan:

“Kalau pembersihan, biasanya Pak Nein yang bersihin. Alat-alatnya tradisional aja. Sapu, pel. Sebenarnya ada penghisap debu. Baru dapat setelah renovasi kemarin. Barengan sama alat fotokopi waktu itu. Tapi penghisap debunya cuma dipake dua kali. Mungkin gak biasa ya mbak. Enakan pakai yang tradisional aja. Kalau beres-beres, nyapu gitu, biasanya pagi-pagi atau sore mau pulang. Yang kelihatan kotor ya dibersihkan.” – S

Berdasarkan penuturan informan S, pembersihan biasanya dilakukan oleh mereka sendiri dengan menggunakan alat kebersihan, seperti kemoceng. sapu, kain pel, dan penghisap debu.

(13)

Pembersihan tidak dilakukan secara rutin. Bila terasa debu atau ada kotoran di lantai, barulah lantai dibersihkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan ketika pagi atau sore hari. Sedangkan kemoceng digunakan untuk membersihkan boks arsip atau arsip itu sendiri dari debu yang menempel. Kotoran hasil pembersihan dibuang ke tempat sampah yang tersedia di dalam ruang penyimpananan arsip. wadah tempat sampah tidak tertutup tetapi sampah dibuang keluar gedung secara rutin.

Aspek kelima yang ingin diketahui adalah mengenai tempat penyimpanan arsip gedung dan rumah negara. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan adalah roll opact, rak besi, boks arsip, dan map. Mayoritas tempat penyimpanan arsip menggunakan roll opact, namun ada dua ruang penyimpanan yang diisi dengan rak besi terbuka, ruang gudang arsip empat di lantai dua berisi rak besi terbuka untuk menempatkan arsip yang sempat digunakan pihak lain untuk kebutuhan tertentu, misalnya untuk pemeriksaan atau untuk dibawa ke pengadilan. Sedangkan ruang gudang arsip empat di lantai tiga berisi rak besi untuk menempatkan arsip lama sejak jaman Belanda. Mayoritas arsipnya berupa kartu legger rumah negara. Sejauh ini, mereka tidak memiliki kendala soal tempat kosong untuk penyimpanan arsip baru karena masih banyak tempat pada roll opact. Pengadaan peralatan penyimpanan arsip menjadi tanggung jawab kepala subdit. Jadi, bila pegawai kearsipan membutuhkan tambahan boks arsip, misalnya, mereka bisa mengajukan permohonan pengadaan ke unit kerja yang berkantor di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada aspek dari lembar kerja buatan Beth Patkus yang belum dapat dipenuhi oleh subdit ini. Ruang penyimpanan arsip subdit ini belum memiliki suhu dan kelembapan ruang yang sesuai dengan kebutuhan arsip. Selain itu, kegiatan kebersihan yang dilakukan oleh pegawai di sana tidak menjangkau seluruh ruang penyimpanan, melainkan fokus pada ruang penyimpanan arsip yang merangkap sebagai tempat kerja mereka. Kekurangan dari dua aspek ini dapat berdampak pada timbulnya biota pengganggu. Namun, tidak menutup kemungkinan akan munculnya biota pengganggu bila keadaan ini dibiarkan beberapa tahun ke depan. Terlepas dari belum berfungsinya pendingin ruangan, subdit ini sudah menyediakan peralatan penyimpanan arsip yang cukup lengkap dan masih tersedia untuk menampung arsip baru, seperti rak, roll opact, map, dan boks arsip.

Setelah tindakan pencegahan, maka tahap selanjutnya adalah persiapan. Brandt-Grau (2000) dalam Teygeler (2001: 116) menyatakan bahwa hal yang dilakukan organisasi adalah

(14)

membentuk perencanaan tertulis, memperbaharui peraturan secara berkala dan melakukan uji coba terhadap peraturan tersebut, membentuk dan melatih tim tanggap bencana, dan pendistribusian rencana. Sayangnya, belum ada rencana tertulis atau SOP yang membahas tentang penanggulangan bencana. Baik itu di tingkat Cipta Karya, maupun di tingkat Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, belum ada pula pedoman atau ketentuan yang berkaitan dengan arsip vital. Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum tentang arsip vital masih dalam proses penyusunan oleh Unit Kearsipan Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum.

Ketiadaan peraturan tertulis tidak menghalangi mereka untuk melakukan simulasi apabila terjadi bencana. Ditjen Cipta Karya telah dua kali mengadakan simulasi bila terjadi kebakaran gedung, bekerja sama dengan pihak pemadam kebakaran. Hal yang dipraktekkan adalah cara menyelamatkan diri dari dalam gedung yang disusul dengan sosialisasi penggunaan tabung pemadam kebakaran di halaman gedung. Pada setiap lantai di Cipta Karya terdapat tanda panah di lantai bertuliskan “jalur evakuasi”. Tulisan ini ada di pintu terdepan ruang PBL hingga ke lantai dasar. Sayangnya, simulasi kebakaran ini tidak pernah diikuti oleh pegawai yang bekerja di Gedung Arsip PBL. Mereka mengaku tidak tahu-menahu tentang simulasi tersebut.

Fase pertama dan kedua adalah segala upaya yang dilakukan sebelum bencana terjadi. Sedangkan pada fase ketiga ini adalah fase reaksi terhadap bencana yang mencakup instruksi untuk tindakan pertama segera setelah bencana terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Buchanan (1988) dalam Teygeler (2001: 117). Bencana yang melanda gedung arsip tersebut dalam kurun waktu lima tahun ini adalah peristiwa kebocoran yang diakibatkan oleh jebolnya engsel pada saluran pembuangan air. Pipa yang berfungsi untuk menampung air hujan tersebut ditempatkan di atas ruang gudang arsip empat di lantai tiga, yaitu ruang yang menyimpan kartu legger rumah negara. Kebocoran justru terjadi setelah pembangunan gedung, lebih tepatnya pada pertengahan tahun 2012. Kebocoran terjadi sebanyak dua kali. Pertama pada hari Minggu malam dan yang kedua adalah pada hari kerja. Sumber kebocoran berasal dari tempat yang sama.

Ketika bencana terjadi, maka kegiatan yang seharusnya dilakukan adalah mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan pasca bencana. Pada kasus kebocoran yang terjadi pada hari Minggu malam, arsip sempat dipindahkan ke tempat yang aman karena terdapat satpam yang bertugas

(15)

menjaga gedung tersebut. Ketika air secara serta merta tumpah dari langit-langit ruang gudang arsip empat, kejadian tersebut diketahui oleh satpam yang berjaga. Satpam tersebut segera menghubungi informan S dan memindahkan arsip-arsip yang paling dekat dengan tempat tumpahnya air ke luar ruangan. Ketika informan S sampai di tempat kejadian, beliau juga turut membantu satpam untuk mempercepat proses pemindahan arsip.

Setelah memindahkan arsip, informan S melakukan penanganan sementara terhadap sumber kebocoran, yang dituturkan beliau sebagai berikut:

“Bagian yang bocor itu, kan lubang awalnya ada di lantai empat ya, mbak. Itu kita tutup, dipelur gitu. Eh tapi tanpa sepengetahuan kita, itu yang sudah kita tutup malah dibuka lagi. Dibuka sama orang proyeknya. Ya jadinya banjir lagi. Tapi untungnya gak separah dulu. Kan waktu itu hari kerja, pas sore-sorelah kira-kira sebelum pulang. Nah itu bocor lagi. Untung aja kita masih di sini, mbak. Jadi saya sama yang lain masih sempat untuk mindah-mindahin arsip. arsip yang terkena air, kita keringin. Kita pilah satu-satu, terus kita jemur dekat kipas angin. Yah namanya tindakan darurat mbak, adanya kipas angin atau kita angin-anginkan.” – S

Menurut informan S, pasca jebolnya engsel pipa penampung air hujan, beliau berinisiatif untuk menutup ujung saluran pipa tersebut yang ada di lantai empat. Namun, lubang tersebut dibuka oleh pihak proyek karena air hujan jadi teralihkan ke luar dinding gedung. Pembukaan lubang itu tidak diketahui oleh informan S hingga akhirnya terjadi peristiwa yang sama di ruang gudang arsip empat di lantai tiga. Untungnya peristiwa itu terjadi pada hari kerja, sehingga lebih cepat dan lebih banyak tenaga yang mengangkut arsip ke luar ruangan. Akibat dari peristiwa yang terulang ini, informan S mengecek kembali lubang pipa di lantai empat yang sudah terbuka. Informan S lalu membicarakan hal ini kepada pihak proyek yang menangani renovasi Gedung Arsip PBL. Akhirnya lubang pipa itu ditutup kembali dengan menggunakan semen. Penutupan lubang ini mengakibatkan air hujan yang jatuh ke ruang terbuka di lantai empat harus dibiarkan mengalir melewati dinding luar Gedung Arsip PBL dan meninggalkan bekas pada dinding luar gedung. Walaupun penampakkan terluar gedung jadi sedikit kotor, arsip yang ada di dalam ruang penyimpanan terbebas dari air.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat pegawai kearsipan dengan sigap mendatangi tempat terjadinya kebocoran demi menyalamatkan arsip. Mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Mereka sadar bahwa akan ada kesulitan yang ditemui oleh organisasi tempat mereka bekerja apabila ada arsip yang rusak. Satpam yang berpatroli juga

(16)

telah melakukan tindakan yang tepat dengan segera menghubungi informan S sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan arsip di subdit tersebut.

Tahap terakhir, ketika situasi sudah mulai stabil pasca bencana, hal yang perlu dilakukan anggota organisasi adalah memulihkan organisasi seperti sedia kala. Menurut Brandt-Grau (2000) (dalam Teygeler, 2001: 117), tim bencana yang dibentuk oleh organisasi harus melaksanakan program pengembalian tempat/bangunan organisasi mereka yang telah hancur akibat bencana, menentukan apa saja yang harus dipulihkan terlebih dahulu, membangun program konservasi, menghubungi penjamin asuransi, dan menjadikan pengalaman yang telah mereka alami untuk memperbaiki perencanaan penanggulangan bencana yang telah dibentuk. Pada kenyatannya, Direktorat PBL atau Cipta Karya, atau hingga Kementerian Pekerjaan Umum belum memiliki aturan tertulis mengenai tanggap bencana. Cipta Karya memiliki tim bencana yang disebut Satgas Tanggap Darurat Bencana. Satgas ini dibentuk untuk melakukan penanggulangan terhadap bencana berskala nasional. Jadi, tidak dikhususkan terhadap intern Kementerian Pekerjaan Umum. Satgas ini pula ditujukan untuk memprioritaskan peneyelamatan nyawa manusia, belum detail hingga permasalahan arsip suatu organisasi.

Arsip gedung dan rumah negara yang disimpan dan dikelola oleh informan S beserta kedua stafnya, menjadikan mereka pula sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keselamatan arsip. Ketika kebocoran terjadi, maka mereka memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan arsip. arsip yang telah terkena air, dikeringkan dengan cara manual. Arsip dipisahkan lembar demi lembar lalu dikeringkan dengan cara menjemur arsip tanpa terkena langsung sinar matahari. Informan S menggunakan kipas angin untuk mengeringkan arsip. Khusus untuk arsip yang terlanjur saling menempel satu dengan yang lain karena luput dari perhatian, mereka akan berusaha memisahkannya secara perlahan. Bila tidak berhasil juga, terpaksa kertas tersebut dibiarkan saling menempel. Selain arsip yang terkena air, ada pula arsip yang telah robek atau kertasnya yang sangat tipis. Untuk menanggulangi hal ini, mereka menempelkan selotip pada bagian belakang arsip atau melapisi arsip tersebut dengan kertas baru sehingga terasa lebih aman ketika dipegang. Arsiparis berusaha untuk mengembalikan kondisi arsip seperti sedia kala. Namun, khusus untuk lokasi tempat terjadinya kebocoran pada tahun 2012 belum mendapat penangan dari pihak pembangun gedung hingga saat penelitian dilakukan. Jadi pegawai yang bekerja di sana hanya bisa mengakali kebocoran pipa saluran dengan cara menutup ujung terluar lubang pipa dan menyediakan kain lap pada lokasi lain yang juga mengalami kebocoran.

(17)

Setelah rangkaian peristiwa yang telah terjadi. Langkah akhir yang harusnya dilakukan oleh pihak subdit tersebut adalah evaluasi, yaitu membuat dokumentasi rangkaian bencana, mulai ketika terjadi hingga pasca bencana. Menurut ANRI, dengan melakukan evaluasi, maka organisasi yang terkena bencana itu akan mengetahui tingkat keefektifan program penyelamatan arsip vital yang telah dibuat sebelumnya dan tingkat kesiapan staf dalam menjalankan perannya. Namun, sejauh ini, mereka belum pernah secara khusus melakukan evaluasi terkait dengan bencana yang pernah melanda Gedung Arsip PBL. Peristiwa kebocoran Gedung Arsip PBL memang diketahui oleh mereka. Namun, informan W, sebagai kepala subdit, mengaku tidak dapat berbuat banyak karena renovasi Gedung Arsip PBL bukan menjadi tanggung jawab subdit tersebut, sehingga beliau hanya dapat mendukung penyelamatan sederhana yang dilakukan oleh pegawai yang bekerja di Gedung Arsip PBL.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pembangunan Gedung Arsip PBL memang tidak dapat diprotes oleh pihak Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara karena baik informan W dan informan S tidak memiliki wewenang untuk itu. Pasca kebocoran, informan S beserta kedua stafnya hanya berusaha melakukan pengeringan arsip sesuai dengan materi pelatihan yang mereka dapat. Ini menandakan bahwa mereka mempraktekkan segala sesuatu yang sudah diajarkan demi keselamatan arsip. mereka juga berusaha melakukan tidakan penyelamatan dengan segala cara yang mampu dilakukan, seperti penutupan pipa saluran air hujan yang mengalir melalui dalam gedung arsip. Mereka melakukan ini sebagai bentuk tanggung jawab terhadap organisasi supaya organisasi tidak mengalami kendala dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Kesimpulan

Manajemen bencana arsip vital dibagi ke dalam empat tahap, yaitu pencegahan, persiapan, reaksi, dan pemulihan. Berdasarkan hasil analisis data penelitian terhadap Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara, menajemen bencana arsip vital arsip gedung dan rumah negara yang telah dilakukan pada masing-masing tahap adalah sebagai berikut ini:

1. Pada tahap pencegahan, dilakukan identifikasi arsip vital di Subdit Pembinaan Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara. Arsip vital tersebut adalah arsip yang berkaitan dengan gedung negara, yaitu arsip berkenaan pembangunan, renovasi, serta pemusnahan gedung negara yang menggunakan dana APBN. Kemudian, arsip yang

(18)

berkaitan dengan rumah negara, yaitu arsip berkenaan dengan status rumah negara, proses pembelian atau pembayaran rumah, serta bukti kepemilikan rumah negara yang menjadi milik perseorangan. Arsip tersebut sebagai bukti fungsi utama organisasi serta memberikan status hukum bagi pihak terkait. Arsip tersebut sudah mendapat upaya perlindungan dengan cara duplikasi, menyimpan dokumen secara terpisah dari gedung pencipta arsip, serta menggunakan peralatan khusus penyimpan arsip seperti boks arsip dan roll opact. Dari segi keamanan informasi arsip, mereka membatasi pada pihak yang sudah memiliki ijin saja. Sedangkan mengenai pengamanan fisik arsip, telah ada pihak khusus yang bertugas untuk membangun gedung arsip hingga nantinya sesuai dengan kebutuhan arsip. Berdasarkan pengamatan terhadap Gedung Arsip dengan menggunakan instrumen penelitian, Gedung Arsip PBL sudah cukup tahan terhadap bahaya kebakaran karena dinding dan pintu yang tahan api. Sebagian fire alarm dan tabung pemadam kebakaran sudah difungsikan.

2. Pada tahap persiapan, Subdit ini belum memiliki peraturan atau ketentuan atau pedoman apapun yang membahas tentang arsip vital atau manajemen bencana arsip vital. Sedangkan tindakan yang sudah dilakukan adalah simulasi kebakaran, yaitu oleh Ditjen Cipta Karya. Simulasi dilakukan di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, sudah dipasang pula tanda jalur evakuasi” di sekitar tangga.

3. Pada tahap reaksi terlihat ketika kebocoran terjadi. Arsiparis dengan sigap memindahkan arsip dibantu dengan satpam yang berjaga di gedung arsip tersebut. Beliau memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugasnya sebagai arsiparis untuk mengamankan arsip dari segala bentuk bencana.

4. Pada tahap pemulihan, arsiparis dan kedua stafnya telah berusaha untuk mengeringkan arsip pasca kebocoran sesuai dengan yang pernah diajarkan pada pelatihan kearsipan di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Mereka juga melakukan penutupan sementara pipa air demi menghindari terjadinya kebocoran yang sama untuk ketigakalinya. Sayangnya belum ada kegiatan evaluasi.

Saran

Saran yang dapat diberikan peneliti terkait dengan manajemen bencana arsip vital gedung dan rumah negara milik Subdit Pembinaan Gedung dan Rumah Negara adalah sebagai berikut:

1. Perlunya koordinasi dengan Direktorat PBL dalam rangka keberlanjutan pembangungan Gedung Arsip PBL karena banyak komponen yang perlu segera

(19)

dibenahi demi keselamatan arsip yang disimpan di masing-masing ruang penyimpanan.

2. Perlunya konsultasi atau kerja sama dengan pembina kearsipan atau orang ahli untuk membentuk suatu peraturan mengenai arsip vital dan program manajemen bencana arsip vital karena arsip yang dikelola oleh subdit ini merupakan arsip vital.

Daftar Referensi

Andolsen, Alan A, CMC, CRM. (2008). The Pillars of Vital Records Protection. Information Management Journal, 42, 28.

Arsip Nasional Republik Indonesia. (2005). Lampiran Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2005 tanggal 27 April tentang Pedoman

Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen/Arsip Vital Negara.

Balloffet, Nelly and Hille. (2005). Preservation and Conservation for Libraries and Archives. Chicago: American Library Association.

Broder, J. F. (2006). Risk Analysis and the Security Survey. Third ed. Boston: Butterworth-Heinemann.

Cerullo, Virginia & Michael J. Cerullo. (2004). Business Continuity Planning: A Comprehensive Approach. Journal of Information Management System, 21, 70-78. Cresswell, J. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Forde, Helen. (2007). Preserving Archives. London: Facet Publishing.

Indonesia. (2008). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara.

________. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

________. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan.

Kementerian Pekerjaan Umum. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara.

Kementerian Pekerjaan Umum. (2010). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum. Kennedy, Jay and Cherryl Schauder. (1998). Records Management, A Guide to Corporate

(20)

Loo, R., Eberhard, dan Bettington. (2008). What Are Archives and Archival Program. Dalam Bettington, dkk. (Eds.), Keeping Archives. Third edition. Canberra: Australian Society of Archivists.

Matthews, G. and Eden. (1996). Disaster Management in British Libraries: Project Report with Guidelines for Library Managers. London: The British Library.

Matthews, Graham and John Feather. (2003). Disaster Management for Libraries and Archives. Farnham: Ashgate Publishing.

Menteri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. (2005). Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 Tentang Program Perlindungan, Pengamanan, dan Penyelamatan Dokumen Arsip Vital Negara terhadap Musibah/Bencana.

National Fire Protection Association. (1980). Archives and Records Center. NFPA. Patkus, Beth. (2003). Assessing Preservation Needs: a self-survey guide. Massachusetts:

Northeast Document Conservation Center.

Penn, Ira. (1994). Records Management Handbook. Hampshire: Gower Publishing. Read, Judith and Mary Lea Ginn. (2007). Records Management. Eight edition. Mason :

South-Western Cengeange.

Smith, Kelvin. (2007). Public Sector Records Management: A Practical Guide. Aldershot: Ashgate.

State Records NSW. Manage Your Vital Records.

http://www.records.nsw.gov.au/recordkeeping/dirks-manual/doing-a-di... Diakses pada 27 Maret 2014.

Teygeler, Rene. (2001). Preservation of Archives in Tropical Climates: An Annotated Bibliography. Paris: International Council on Archives (ICA).

The National Archives and Records Administration (NARA). (1999). Vital Records and Records Disaster Mitigation and Recovery: An Instructional Guide.

United Nations. Archives and Records Management Section. “Records and Information Management Guidance”.

United Nations. International Strategy for Disaster Reduction. http://www.unisdr.org/we/inform/terminology

Diakses pada 4 April 2014.

United Nations. UNESCO. “UNESCO Disaster Planning”. http://webworld.unesco.org/safeguarding/en/pdf/txt_sini.pdf Diakses pada 4 April 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian untuk data berdistribusi Chikuadrat dengan mean 1 untuk ukuran sampel 10000 pada Tabel 8 terdapat 2.15% titik sampel yang diluar kontrol sedangkan pada Tabel 5

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pergerakan robot untuk menuju ke tempat tujuan dan kembali ke posisi awal sesuai dengan program yang dibuat, tetapi terdapat ketidaktepatan posisi robot pada tempat tujuan

Arah, kebijakan, dan strategi yang ditetapkan dalam dokumen ini hendaknya digunakan sebagai acuan bagi seluruh personel Deputi Bidang Akreditasi - BSN dalam menetapkan dan

Berkenaan dengan keanggotaan ASEAN, Timor Leste yang secara geografis terletak di wilayah Asia Tenggara secara resmi telah mendaftarkan diri sebagai anggota ASEAN pada

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, terdapat perbedaan pengaruh gangguan menstruasi antara ibu yang menggunakan alat kontrasepsi implan dengan kontrasepsi

Kegiatan Penyimpanan Arsip adalah kegiatan penyimpanan arsip yang dilakukan terhadap arsip yang sudah didaftar dalam daftar arsip untuk menjamin keamanan fisik dan

Boks arsip adalah sarana tempat penyimpanan arsip in aktif dan statis dalam bentuk kertas yang ditata pada rak arsip, terbuat dari beberapa lapisan kertas