• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PURA MANGKUNAGARAN DALAM MELESTARIKAN TARI GAYA MANGKUNAGARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA PURA MANGKUNAGARAN DALAM MELESTARIKAN TARI GAYA MANGKUNAGARAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Pura Mangkunagaran adalah eks pusat pemerintahan Kadipaten Mangkunagaran di bawah Keraton Surakarta. Mangkunagaran memiliki jenis tari khusus yang sampai saat sekarang masih dikenal oleh masyarakat luas sebagai tari identitas Mangkunagaran, yakni tari gaya Mangkunagaran. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya Pura Mangkunagaran dalam melestarikan tari gaya Mangkunagaran, berkait dengan bagaimana Pura Mangkunagaran mempertahankan, memperkembangkan, dan menyebarluas-kannya. Metode penelitian yang diterapkan adalah kualitatif. Lokasi Penelitian, Pura Mangkunagaran. Teknik pengambilan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah analisis data bergerak dari saat pengambilan data, penyajian data, reduksi data, dan verifikasi sebagai suatu siklus sampai temuan penelitian itu oleh peneliti diyakini kebenarannya. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pelestarian tari gaya Mangkunagaran dilakukan oleh pihak Pura dengan cara mempertahankan keasliannya melalui pelatihan dan penyajian di Pura Mangkunagaran utamanya untuk kepentingan upacara adat, (2) selain mempertahankan keaslian, pihak Pura juga mengembangkan materi dan fungsi. Pengembangan materi dan fungsi ini dimaksudkan untuk mengikuti laju kebutuhan masyarakat dalam berkesenian, (3) pelestarian juga dilakukan oleh pihak Pura di antaranya dengan cara menyebarluaskannya pada masyarakat umum dengan cara melatih para penari dari masyarakat umum, melakukan penyajian untuk berbagai kepentingan umum, mengikuti pertukaran seni budaya dengan negara sahabat, dan membukukan deskripsi tari gaya Mangkunagaran yang mudah didapat oleh masyarakat umum untuk dibaca dan dipelajari.

Kata kunci: tari, pelestarian tari, gaya tari, mempertahankan tari, memperkembangkan tari, dan menyebarluaskan tari.

Pendahuluan

Tari gaya Mangkunagaran adalah suatu jenis tari tradisional klasik Jawa yang awalnya diciptakan untuk kepentingan upacara-upacara tertentu di Pura Mangkunagaran. Saat sekarang seiring dengan kemajuan jaman dalam hubungannya dengan kemajuan berbagai segi kehidupan masyarakat, tari gaya Mangkunagaran telah banyak dimanfaatkan oleh pihak Pura sendiri dan masyarakat umum untuk berbagai kepentingan. Berkembangnya fungsi yang demikian selain karena tuntutan jaman, juga karena pihak Pura Mangkunagaran sendiri menginginkan agar tari gaya Mangkunagaran senantiasa hidup subur di tengah masyarakat sebagai upaya pelestariannya.

• Dosen Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang, sekarang tengah menyelesaikan program

(2)

Dalam sejarahnya, Pura Mangunagaran berdiri pada tanggal 16 Maret 1757 Masehi sebagai daerah Kadipaten pecahan Keraton Surakarta. Letak Bangunan antara Keraton Surakarta dengan Pura Mangkunagaran sangat dekat, kurang lebih hanya berjarak 5 km. Sekalipun letak bangunan antara Keraton Surakarta dengan Pura Mangkunagaran berdekatan, namun dulu keduanya mempunyai batas wilayah yang jelas. Berdirinya Pura Mangkunagaran karena desakan keras dari Raden Mas Said melalui peperangan yang sangat panjang dan melelahkan (tahun1741-1757). Atas hasil jerih payah Raden Mas Said melalui peperangan itu, akhirnya Raden Mas Said diberi daerah sendiri yang akhirnya dinobatkan sebagai Adipati bergelar Pangeran Adipati Mangkunagara atau Mangkunagara I (Ricklefs 1978 : 52; Radjiman 1984: 22). Mengenai siapa sebenarnya Raden Mas Said itu, Raden Mas Said adalah putra sulung Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunagara di Kartasura, kemudian dikenal sebagai Raden Mas Arya Pangeran Suryakusuma atau Pangeran Sambernyawa, yang kemudian menjadi Adipati bergelar Pangeran Adipati Mangkunagara I (Reksa Pustaka Mangkunagaran 1970: 12).

Jadi jelaslah sebenarnya Mangkunagaran adalah sebuah pemerintahan setingkat kadipaten, akan tetapi konsep kekuasaan yang digunakan pada saat itu berorientasi pada konsep raja. Untuk itu Mangkunagaran dalam menjalankan pemerintahannya tidak bedanya dengan pemerintahan yang dipegang oleh raja secara langsung. Senyatanya Sri Mangkunagara oleh rakyatnya juga dianggap sebagai raja, dalam arti orang yang didewakan dan orang yang dipatuhi segala kehendak dan perintahnya (Moertono 1985: 71-86). Dengan ini Pura Mangkunagaran mempunyai ciri tersendiri yang sangat berbeda dengan kadipaten-kadipaten lain.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Suharti (1990) semenjak pemerintahan Sri Mangkunagara VII, Pura Mangkunagaran juga mempunyai kesenian dengan ciri tersendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lain, dan juga berbeda dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Kesenian yang dimaksud adalah seni tari, yang sampai saat sekarang orang mengenalnya dengan sebutan tari gaya Mangkunagaran. Wujud tarinya merupakan perpaduan antara tari gaya Yogyakarta dengan tari gaya Surakarta, yang memang berdasar sejarahnya tari tersebut diciptakan oleh para penari Mangkunagaran yang mempelajari tari gaya Yogyakarta dan tari gaya Surakarta.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah “bagaimana Pura Mangkunagaran melestarikan tari gaya Mangkunagaran yang menjadi miliknya itu agar tetap eksis di lingkungan Pura Mangkunagaran sendiri dan masyarakat pendukungnya. Pelestarian ini berkait dengan bagaimana pihak Pura Mangkunagaran mempertahankan, memperkembangkan, dan menyebarluaskan tari gaya Mangkunagaran itu”. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui upaya Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran. Manfaat yang

(3)

diperoleh, pihak terkait mendapat informasi berkenaan dengan upaya Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran untuk dijadikan bahan kajian dan pengembangan oleh siapa pun yang berkepentingan.

Blumer (dalam Poloma 1994) melalui teori interaksionisme simboliknya menjelaskan: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu pada mereka, (2) Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Blumer tidak menjelaskan secara khusus pengertian makna yang dimaksud dalam teorinya itu. Namun demikian menurut Sedyawati (1995) makna dalam dunia seni dan tampaknya juga berhubungan atau sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Blumer itu, adalah berkait dengan apakah seni itu dapat dinikmati atau tidak, menggugah imajinasi atau tidak, menyentuh rasa atau tidak, dan mampu mewujudkan suatu nilai budaya atau tidak. Teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh Blumer ini menurut Johnson (1990) sangat dipengaruhi oleh Mead.

Dalam pandangan interaksionisme simbolik Mead sebagaimana pula dikembangkan oleh Garna (1996), manusia bukan saja dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi objektif, tetapi paling tidak sebagiannya merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan Mead, menekankan perlunya memperhatikan definisi atau interpretasi subjektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus objektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Bagi Mead, orang tidak hanya menyadari orang lain, tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa atau bunyi sebagai satu-satunya simbol yang terpenting walau ada juga yang melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinyu. Selanjutnya ditegaskan oleh Blumer (dalam Poloma 1994:261) bahwa proses penyampaian makna inilah yang merupakan subject matter dari seluruh analisis yang ia buat mengenai interaksi simbolik.

Secara tegas Blumer mengemukakan pula, bahwa tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar, tidak pula disebabkan kekuatan dalam. Gambaran yang benar ialah dia membentuk objek-objek itu, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran

(4)

atau bertindak berdasarkan simbol-simbol. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagai proses self-indication. Maksudnya adalah “proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu”. Proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu.

Tindakan manusia penuh dengan penafsiran. Setiap tindakan berjalan dalam bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual dari orang lain. Selanjutnya Blumer mengemukakan pemikirannya tentang reaksi seseorang terhadap suatu rangsangan lingkungan akan berbeda-beda tergantung pada kebutuhan tertentu atau dorongan yang penting pada waktu itu serta hakikat kegiatan yang sedang berlangsung di mana individu terlibat. Hal ini berhubungan dengan kemampuan manusia dalam interpretasi subjektif dan perhatiannya terhadap sesuatu objek yang selalu dilakukan secara selektif. Atas dasar inilah maka rangsangan lingkungan yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda, artinya respon perilaku yang berbeda mungkin diperoleh dari rangsangan yang sama karena adanya perbedaan dalam dorongan, kebutuhan, dan sikap (Johnson dalam Lawang 1986:16).

Dalam hubungannya dengan bagaimana upaya Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran yang secara nyata diakui sebagai milik Mangkunagaran, berdasar teori interaksionisme simbolik itu menjadi jelas bahwa tinggal bagaimana pihak Pura memandang seni tari tersebut. Jika pihak Pura Mangkunagaran merasa seni tari yang dimiliki tersebut dapat dinikmati, menggugah imajinasi, menyentuh rasa, dan mewujudkan suatu nilai sosial budaya yang positif, tentu tari gaya Mangkunagaran tersebut akan dilestarikan sesuai dengan kemampuannya.

Pengertian gaya tari secara umum mengacu pada pengertian kesenian yang menampilkan ciri-ciri individual maupun kelompok, yang dihasilkan dalam periode tertentu dan kawasan tertentu. Dalam pengertian ini dapat dimengerti bahwa, gaya berarti cara-cara yang tidak sama yang membedakan dan membawa ciri antara satu dengan yang lain (Murgiyanto 1985:23). Pada umumnya kata gaya dipergunakan dalam tiga aspek, yaitu gaya perseorangan, gaya zaman, dan gaya nasional kebangsaan atau kedaerahan (Sumaryo 1978:69). Namun gaya dapat merupakan sifat tersendiri dari perwujudan seni yang terlepas dari penilaian-penilaian estetis yang dipakai untuk menghasilkan seni, dan juga terlepas dari tujuannya. Apakah seni itu indah atau tidak indah bukanlah masalah.

(5)

Gaya dalam seni biasanya ditentukan dengan tiga macam kriteria, yaitu : (1) gaya dalam tempo, adalah sifat/ watak seni yang menunjukkan persamaan suatu waktu tertentu dalam sejarah. Misalnya di Indonesia ada seni waktu penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman perjuangan tahun 45; (2) gaya daerah, adalah sifat-sifat seni yang menunjukkan daerah tertentu, seperti di Indonesia terdapat gamelan Jawa, Bali, Sunda dan sebagainya; (3) gaya perseorangan (individu) adalah sifat-sifat dari seni yang menunjukkan seorang pencipta atau pelaku tertentu yang terlepas dari tanda-tanda gaya dalam tempo maupun gaya kedaerahan atau nasional (Pasaribu 1983: 2-3).

Dalam hubungannya dengan itu yang dimaksud dengan gaya tari di sini adalah sifat pembawaan tari, menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan. Misalnya, dapat dibedakan gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta karena ada sejumlah gerak khas terdapat dalam tari Yogyakarta yang tidak terdapat dalam tari Surakarta, dan demikian pula sebaliknya (Sedyawati 1981: 4). Ada tari gaya Mangkunagaran, berarti ada gerak khas terdapat pada tari Mangkunagaran, yang menurut Suharti (1990) gerak khas tari gaya Mangkunagaran tersebut terutama terletak pada perpaduan antara tari gaya Yogyakarta dan tari gaya Surakarta dengan menonjolkan gerak yang mengalir mengambil dasar gerakan dari gaya Surakarta dan warna gerak tegas mengambil dari dasar gerakan tari gaya Yogyakarta.

Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu seluruh data yang ada dideskripsikan dalam bentuk kata-kata yang kata-kata itu tidak diangkakan seperti lazimnya dalam penelitian kuantitatif. Cara kerja dan berpikir untuk mendapatkan data yang benar pun melalui proses kerja dan berpikir induktif bukan deduktif sebagaimana halnya yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif. Penentuan lokasi, sasaran kajian, teknik pengumpulan data, dan langkah analisis data secara umum akan dijelaskan berikut ini.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Pura Mangkunagaran. Alasan pemilihan tempat ini karena Tari Gaya Mangkunagaran adalah milik Mangkunagaran yang banyak digunakan untuk kepentingan Pura Mangkunagaran. Selain itu Mangkunagaran adalah pusat “pemerintahan” Mangkunagaran dan pusat pengembangan budaya Mangkunagaran secara umum termasuk pengembangan seni tari gaya Mangkunagaran.

(6)

Sasaran Kajian

Sasaran kajian dalam penelitian ini adalah mengenai upaya Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran. Pelestarian di sini berkait dengan bagaimana tari gaya Mangkunagaran dipertahankan, dikembangkan, dan disebarluaskan. Dipertahankan berarti dijaga keasliannya, dikembangkan berarti berpijak dari yang asli dibuat lebih fleksibel baik materi maupun fungsinya, dan disebarluaskan dimaksudkan selain digunakan untuk lingkungan sendiri juga diupayakan untuk digunakan oleh masyarakat umum.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dalam wawancara ini yang diwawancarai adalah sebagian dari para kerabat dan abdi dalem yang terlibat dalam struktur organisasi dan aktif dalam kepengurusan di Pura Mangkunagaran serta sebagian dari komunitas di lingkungan Pura Mangkunagaran yang tidak ikut terlibat secara langsung dalam struktur organisasi resmi di Pura Mangkunagaran.

Observasi dilaksanakan saat latihan dan persiapan serta pementasan tari gaya Mangkunagaran berlangsung di Pura Mangkunagaran. Selain itu observasi juga dilakukan saat para abdi dalem yang berhubungan dengan pelestarian seni tari gaya Mangkunagaran melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan tugasnya.

Dokumentasi diambil dari gambar-gambar, catatan-catatan, dan rekaman yang berkait dengan kegiatan di Pura Mangkunagaran dalam hubungannya dengan pementasan tari gaya Mangkunagaran di Pura Mangkunagaran.

Langkah Analisis

Langkah analisis dilakukan dengan mengikuti alur analisis Miles dan Huberman (dalam Rohidi 1992 dan Nasution 1996). Langkah yang digunakan terdiri dari: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (3) verifikasi yang bergerak terus sebagai suatu proses siklus sampai setiap poin kecil yang dianggap sebagai hasil penelitian diyakini kebenarannya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sebagai upaya memberikan gambaran hasil penelitian secara jelas mengenai bagaimana upaya Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran, akan dikemukakan terlebih dahulu kondisi Mangkunagaran berkait dengan struktur keorganisasian Pura Mangkunagaran. Tujuan dikemukakan terlebih dahulu struktur keorganisasian Pura

(7)

Mangkunagaran ini mengandung maksud, agar laporan hasil penelitian ini nanti dapat dipahami secara lebih mudah. Berkait dengan itu perlu disampaikan juga bahwa, dalam menyampaikan hasil penelitian ini nanti, antara hasil penelitian dengan pembahasan tidak akan disampaikan secara terpisah. Penyampaian hasil penelitian dengan pembahasan yang tidak dipisah disebabkan karena dalam menelorkan hasil penelitian ini telah menggunakan pijakan teori dan konsep yang secara implisit telah menyatu di dalam hasil tersebut.

Struktur Organisasi Pura Mangkunagaran

Organisasi Pura Mangkunagaran dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu bagian Sekretariat, bagian Kabupaten Mandrapura, Kantor Kawedanan Satria, dan Kantor Reksa Budaya.

1. Bagian Sekretariat

Sekretariat, dipimpin oleh seorang koordinator dan dibantu oleh kepala bidang perencanaan teknis/ non teknis, kepala bidang keuangan, kepala bidang personalia, dan kepala bidang humas/ protokol. Sekretariat, di dalam tugas sehari-harinya bertanggung jawab kepada Sri Paduka Mangkoenagoro IX. Tugas pokok kesekretaritan utamanya adalah menjalankan/ menyimpan arsip serta menjalankan surat-surat dinas Sri Paduka Mangkoenagoro IX, menyiapkan dan membukukan (arsip) surat keputusan dan sejenisnya. Koordinator menjadi penghubung Sri Paduka Mangkoenagoro IX dengan semua pihak.

2. Bagian Kabupaten Mandrapura

Kabupaten Mandrapura dipimpin oleh seorang Pengageng yang dibantu oleh seorang wakil, seorang bendaharawan, dan seorang sekretaris. Di dalam tugas sehari-harinya bertanggung jawab kepada Sri Paduka Mangkoenagoro IX. Tugas utama Kabupaten Mandrapura, adalah: (1) mengatur dan mengelola rumah tangga Istana, penataan dan pemeliharaan Pura Mangkunagaran, (2) merawat pusaka, gedung, halaman, taman, instalasi listrik, dan instalasi air, (3) mengelola urusan ulama, (4) menjaga keamanan istana, dan (5) pariwisata/ museum, yang di dalam operasionalnya ditunjuk Biro Pariwisata.

3. Kantor Kawedanan Satria

Kantor Kawedanan Satria dipimpin oleh seorang pengageng dibantu oleh wakil pengageng, bendaharawan, dan sekretaris. Di dalam tugasnya bertanggungjawab kepada Sri Paduka Mangkoenagoro IX. Tugas Kantor Kawedanan Satria adalah: (1) menggali dan mempertahankan tata cara, tata busana, dan tata upacara serta adat istiadat Mangkunagaran pada umumnya dan Pura Mangkunagaran pada khususnya, yang memiliki nilai-nilai positif, (2) menerima laporan

(8)

kelahiran, perkawinan, dan kematian putra sentana dalem, (3) mengelola buku induk silsilah keturunan para kerabat yang jumeneng Mangkoenagoro dan mengeluarkan piagamnya, (4) mengelola buku induk silsilah keturunan para punggawa baku dan mengeluarkan piagamnya, (5) mengelola makam-makam dan pesanggrahan, (6) mengeluarkan pepanci sentana dalem, dan (7) menjalankan tata cara, adat istiadat di Pura Mangkunagaran.

4. Kantor Reksa Budaya

Kantor Reksa Budaya dipimpin oleh seorang pengageng, dibantu oleh seorang wakil, staff ahli (nara sumber), bendahara, dan sekretaris. Di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari bertanggungjawab langsung kepada Sri Paduka Mangkoenagoro IX. Tugas utama Kantor Reksa Budaya adalah menjadikan Pura Mangkunagaran sebagai pusat pengembangan budaya Mangkunagaran. Di dalam menjalankan tugas sehari-harinya dibantu oleh Reksa Pustaka, Langen Praja, dan Barawiyata. Secara rinci tugas bagian-bagian tersebut sebagai berikut:

a. Reksa Pustaka

Tugas Reksa Pustaka menggali, mengembangkan, menginventarisasikan, mengalih bahasakan, dan memelihara buku-buku perpustakaan serta menyelenggarakan pengarsipan surat-surat utama.

b. Barawiyata

Tugas Barawiyata, memelihara dan mengusahakan kehidupan lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus yang berkait dengan seni budaya.

c. Langen Praja

Tugas Langen Praja, melaksanakan gladen (latihan) dan pergelaran seni tari, karawitan, seni suara yang bersumber pada khasanah dan hasil penggalian budaya Mangkunagaran serta melaksanakan kaderisasi di bidangnya.

Berdasar gambaran struktur organisasi Pura Mangkunagaran, diketahui bahwa seni tari masuk dalam sub struktur Langen Praja yang merupakan bagian dari struktur Reksa Budaya. Melalui Langenpraja inilah seni tari gaya Mangkunagaran dipertahankan, dikembangkan, dan disebarluaskan. Berikut akan dikemukakan bagaimana Langenpraja sebagai bagian dari struktur pemerintahan Mangkunagaran mempertahankan, mengembangkan, dan menyebarluaskan tari gaya Mangkunagaran.

Langen Praja Mempertahankan Tari Gaya Mangkunagaran

Pihak Pura Mangkunagaran melalui Reksa Budaya dan Langen Praja sesuai dengan tugasnya sangat berkepentingan mempertahankan aset seni budaya yang dimiliki dengan tetap

(9)

menjaga keasliannya. Oleh karena itu Reksa Budaya melalui substruktur Langen Praja ini melakukan kegiatan-kegiatan kesenitarian gaya Mangkunagaran dengan rutinitas yang sangat tinggi. Ini semua langsung dipimpin oleh tetindih atau pelatih tari gaya Mangkunagaran secara langsung yang memang dalam struktur Langen Praja ia bertugas melakukan kegiatan mempertahankan dan menggali seni tari asli gaya Mangkunagaran yang dirasa telah punah.

Perlunya seni tari gaya Mangkunagaran ini dipertahankan sesuai aslinya, karena seni tari ini merupakan ciri khas Mangkunagaran, kebanggaan Mangkunagaran, dan dapat dianggapnya sebagai bagian dari budaya Mangkunagaran yang diaktualisasikan dalam wujud seni tari gaya Mangkunagaran. Seni tari gaya Mangkunagaran ini oleh pihak Pura juga dilihatnya sebagai sesuatu yang dapat menggugah rasa sebagai orang Mangkunagaran, dapat dijadikan alat ekspresi, indah, dan enak dinikmati.

Untuk itu maka menjaga keasliannya adalah penting. Dalam usaha menjaga dan mempertahankan keaslian tari gaya Mangkunagaran ini, pihak Pura melalui substruktur Langen Praja mengadakan pelatihan rutin setiap hari Senin sore, Rabu pagi, dan Sabtu sore. Latihan rutin yang diadakan setiap hari Senin sore pukul 16.30 – 18.00 bertempat di pendapa bagian bawah joglo Pura Mangkunagaran. Peserta yang mengikuti latihan setiap hari Senin sore ini terdiri dari para siswa SLTA, mahasiswa, dan warga negara asing.

Selain latihan rutin setiap hari Senin sore, juga diadakan pula latihan rutin setiap hari Rabu pagi dan Sabtu sore. Latihan yang diadakan setiap hari Rabu pagi pukul 10.00 – 12.00 diikuti oleh para abdi dalem bersama dengan para penari umum yang dianggap sudah memiliki kemampuan yang baik. Penari umum di luar Pura yang terlibat latihan tadi sebagian besar terdiri dari personil-personil yang kebanyakan berasal dari para siswa sanggar tari, sekolah seni seperti SMKI Surakarta, perguruan tinggi seni seperti STSI dan ISI Yogyakarta, seniman Surakarta, serta mahasiswa umum.

Latihan yang diadakan setiap Sabtu sore pukul 16.30 – 18.00 yang dahulu diprioritaskan untuk penggalian tari gaya Mangkunagaran oleh ibu Sutarwo dan ibu Umi (tetindihtari), sekarang sudah berubah menjadi latihan rutin seperti yang diadakan setiap hari Senin sore. Latihan bertempat di pendapa bagian bawah Pura Mangkunagaran. Peserta yang mengikuti latihan setiap hari Sabtu sore ini terdiri dari para siswa SLTA, mahasiswa, dan warga negara asing.

Langen Praja Mengembangkan Tari Gaya Mangkunagaran

Semula di dalam Pura, tari gaya Mangkunagaran hanya dipergunakan atau difungsikan untuk upacara-upacara adat, seperti jumenengan, suran, dan perkawinan. Sekarang ini pihak Pura, yang dalam hal ini ditangani oleh subbagian Langen Praja telah mengembangkannya, utamanya

(10)

untuk sajian wisata sekalipun sedang tidak ada upacara-upacara tertentu. Selain itu saat sekarang di luar Pura, tari gaya Mangkunagaran jauh lebih banyak digunakan oleh masyarakat, seperti untuk kepentingan upacara perkawinan, tontonan atau hiburan, festival, dan juga pertukaran budaya. Dalam banyak kesempatan tari gaya Mangkunagaran ini juga dipertunjukkan di Mancanegara seperti yang pernah dilakukan di Paris, Inggris, dan Jepang. Semuanya ini tidak lepas dari usaha pihak Pura Mangkunagaran agar seni tari gaya Mangkunagaran ini, keberadaannya tidak hanya digunakan untuk kepentingan di dalam Pura saja.

Mengenai kepentingan wisata, upacara perkawinan di luar Pura oleh Masyarakat pendukung, tontonan atau hiburan, dan festival akan dikemukakan berikut ini.

a. Wisata

Di dalam Pura Mangkunagaran, tari gaya Mangkunagaran dijadikan paket wisata oleh bagian Biro Pariwisata. Di sini ada kerjasama antara bidang Biro Pariwisata dengan bagian Langen Praja. Penyelenggaraan pementasan tari gaya Mangkunagaran yang digunakan untuk suguhan wisata, biasanya diadakan pada waktu malam hari mulai pukul 20.00 (sesudah makan malam), karena acara tersebut diselenggarakan setelah para turis makan malam.

b. Upacara Perkawinan bagi Masyarakat Umum

Lingkungan masyarakat luar Pura Mangkunagaran juga sering menyelenggarakan perkawinan dengan mementaskan tari gaya Mangkunagaran ini. Tari gaya Mangkunagaran dipentaskan di luar Pura Mangkunagaran kebanyakan bukan merupakan bagian upacara yang disakralkan, melainkan tari tersebut digunakan sekadar untuk disuguhkan kepada para tamu agar suasana upacara perkawinan tersebut menjadi lebih hidup, megah, ada nuansa estetiknya dari gemulainya tarian yang bercorak gaya Mangkunagaran, menyenangkan, serta menghibur.

c. Hiburan/ Tontonan

Sebenarnya seni tari gaya Mangkunagaran difungsikan sebagai tontonan atau hiburan tersebut pelaksanaannya di masyarakat umum maupun di Pura Mangkunagaran sendiri menyatu dengan kepentingan yang lain. Ketika Pura Mangkunagaran dan atau masyarakat umum menyelenggarakan upacara dengan menggunakan tari ini misalnya, masyarakat atau siapa pun yang terlibat di dalamnya tidak melihat kesakralannya. Yang dilihat adalah gemulainya gerak para penari, gemerlapnya busana yang dikenakan penari, kecantikan para penari putri baik kecantikan alami maupun kecantikan karena pengaruh rias, kemolekan tampilan dipadu dengan alunan gamelan yang mengiringi tari tersebut, dan lain sebagainya.

(11)

d. Festival

Seni tari gaya Mangkunagaran selain difungsikan untuk upacara-upacara sakral dan nonsakral di Pura Mangkunagaran, untuk upacara perkawinan bagi masyarakat umum, suguhan wisata, dan lain sebagainya, perkembangan sampai saat ini telah sampai pada mengikuti festival keraton. Pengiriman tari gaya Mangkunagaran pada acara festival keraton telah tiga kali dilakukan. Pertama, di Cirebon dengan menyajikan materi tari Wirun dan tari Srimpi Muncar. Kedua, di Jakarta dengan menyajikan tari bedaya Bedah Madiun dan srimpi Muncar. Ketiga, di Bali dengan menyajikan tari srimpi Muncar yang dipentaskan secara lengkap dengan gamelan dan pengrawit yang dikirim langsung dari Pura Mangkunagaran.

e. Pertukaran Budaya

Dalam acara pertukaran budaya, Mangkunagaran juga mengirimkan kontingen tari. Pengiriman pertama, pada tahun 1989 ke Paris dengan materi tari putri bedaya Bedah Madiun dan Wireng Bandawala. Kedua, tahun 2005 ke Maroko dengan materi tari Bandabaya, Kelana Topeng, Srimpi Muncar, Gambyong Retna Kusuma, dan sendratari Panji Sekartaji.

Selain fungsi tari yang telah mengalami perkembangan, materi tarinya pun juga telah mengalami perkembangan. Perkembangan materi tari, terutama terletak pada iringan yang digunakan untuk mengiringi tari gaya Mangkunagaran. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan siswa dalam belajar dasar-dasar tari gaya Mangkunagaran.

Beberapa bentuk tari yang dicoba oleh tetindih untuk dasar-dasar tari gaya Mangkunagaran yang menggunakan iringan bukan gaya Mangkunagaran, adalah tari Bondan, tari Golek Sulung Dayung, dan tari Golek Montro. Jelasnya, ketiga tari tersebut gayanya adalah gaya tari Mangkunagaran tetapi iringan yang digunakan gaya Surakarta. Selain itu salah seorang penari dari Pura juga telah menyusun tari wireng Bisma dan Srikandi dengan mencoba mengkolaborasikan tari gaya Mangunagaran dengan tari gaya Surakarta.

Langenpraja Menyebarluaskan Tari Gaya Mangkunagaran

Dalam usaha menyebarluaskan tari gaya Mangkunagaran, pihak Pura melalui substruktur Langen Praja tidak hanya menyebarluaskan melalui sajian tari atau pelatihan tari secara langsung tetapi juga dilakukan penyebarluasan menggunakan pengetahuan dan pembelajaran tari dalam bentuk tulisan. Dalam gerak langkah menyediakan pengetahuan dan materi tari dalam bentuk tulisan atau deskripsi tari yang telah dibukukan, Langen Praja bekerjasama dengan bagian Reksa Pustaka.

(12)

Secara khusus peranan Reksa Pustaka dalam hal membantu menyebarluaskan materi tari gaya Mangkunagaran dalam bentuk tulisan ini adalah menginventarisasikannya serta meminjamkannya untuk digandakan bagi yang memerlukan. Melalui cara ini, diharapkan siapa saja yang memerlukan akan sangat mudah terbantu. Dengan kemudahan itu, diharapkan banyak orang tertarik untuk membaca dan mempelajarinya. Hanya sampai sebatas itu Reksa Pustaka dapat membantu menyebarluaskan tari gaya Mangkunagaran.

Selain bagian Reksa Pustaka, sangat sulit pada bagian-bagian lain ikut serta secara langsung membantu menyebarluaskan seni tari gaya Mangkunagaran ini ke masyarakat umum karena memang bukan bagiannya. Yang jelas usaha penyebarluasan tari gaya Mangkunagaran ke masyarakat luas lebih banyak dilakukan oleh Langen Praja. Langen Praja selain selalu menyediakan para penari yang setiap saat siap pentas, para penarinya dan juga para tetindih banyak mengajarkan tari gaya Mangkunagaran ini kepada banyak orang, baik di dalam Pura maupun di luar Pura.

Simpulan

Pura Mangkunagaran dalam usaha melestarikan tari gaya Mangkunagaran dilakukan melalui suborganisasinya yang membidangi pengembangan seni budaya, yakni Langen Praja. Pelestarian ini dilakukan dengan cara mempertahankan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ke masyarakat umum. Mempertahankan keaslian tari gaya Mangkunagaran dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan sajian yang dilakukakan utamanya di dalam Pura untuk kepentingan upacara-upacara adat.

Sekalipun keasliannya dipertahankan namun juga berusaha mengembangkannya. Maksud dari usaha mengembangkan ini adalah agar yang asli tetap ada namun juga muncul yang lain dalam bentuk pengembangan mengikuti selera estetik masyarakat dan menyelaraskan fungsi serta kegunaan yang lain secara lebih luas. Dalam usaha mengembangkan fungsi ini, dapat dilihat misalnya di dalam Pura Mangkunagaran sendiri. Semula di dalam Pura, tari gaya Mangkunagaran hanya dipergunakan untuk upacara-upacara adat seperti jumenengan, suran, dan perkawinan, sekarang pihak Pura telah memperkembangkannya untuk sajian wisata sekalipun sedang tidak ada upacara-upacara tertentu. Dalam segi pengembangan materi, juga telah dilakukan kolaborasi dengan bentuk dan gaya serta iringan dari jenis tari yang lain.

Seni tari gaya Mangkunagaran oleh pihak Pura selain dipertahankan dengan menjaga keasliannya, dikembangkan luas baik materi maupun fungsinya, juga disebarluaskan ke masyarakat umum secara besar-besaran. Penyebarluasan selain dilakukan dalam bentuk

(13)

penyajian dan latihan untuk masyarakat umum, juga dilakukan dengan cara membuat deskripsi tari gaya Mangkunagaran itu yang dibuat dalam bentuk buku sehingga siapa pun dapat membaca dan mempelajarinya. Dengan demikian secara umum dapat dipahami bahwa Pura Mangkunagaran merupakan “eks Kadipaten” yang masih tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya namun sangat terbuka bagi pengembangannya secara umum termasuk secara khusus pengembangan di bidang seni tari.

Daftar Pustaka

Garna, J.K. 1996. Ilmu-ilmu Sosial: Dasar – Konsep – Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

Johnson, D. P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Lawang, Robert MZ (terj). Jakarta: Gramedia.

Johnson, D. P. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II. Terjemahan Robert MZ Lawang. Jakarta: Gramedia.

Miles, M.B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi R .Jakarta: UI Press.

Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Murgiyanto, S. 1985. Koreografi. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Pakempalan Ngarang Serat ing Mangkunagaran. 1970. Serat Babad Panambangan. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunagaran.

Pasaribu, A. 1983. Riwayat Musik dan Musisi. Jakarta: Gunung Agung. Poloma, M. M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Radjiman. 1984. Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Krida. Ricklefs, MC. 1978. Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original Kartasura

Chronicle and Related Materials. London: University of London. Sedyawati, E. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Sedyawati, E. 1995. Konsep dan Implementasi Pendidikan Seni. Seminar Nasional di IKIP Semarang.

(14)

Suharti, T. 1990. Tari Di Mangkunegaran Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dalam Dimensi Kultural 1916-1988. Tesis untuk S-2 Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan komponen simetris, tegangan dan arus tiga fasa yang dalam keadaan tak seimbang di-. transformasikan ke dalam

Secara definisi, yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau, dan

Perawatan dirumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan dari rumah sakit yang sudah termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning ) dan dapat dilaksanakan oleh perawat

Rosnidar

Sedangkan Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai

Using a four-tier diagnostic test to assess the nature of students’ alternative conceptions... Development and application of a

Data yang diperoleh dari wawancara dan pernyataan langsung significant otherserta observasi yang dilakukan oleh peneliti tentang aspek pervasif yang menjelaskan

Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemahaman masyarakat di RT 007 RW 004 Desa Bieto Desa Niukbaun Kecamatan Amarasi Barat memiliki pengetahuan tentang