• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - SILFIANA SAFITRI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - SILFIANA SAFITRI BAB II"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer sudah pernah dikaji oleh beberapa mahasiswa. Berikut ini kajian yang berkaitan dengan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Pertama, skripsi berjudul Konflik Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA oleh Khoirun Nisa mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, konflik sosial, konflik politik dan implementasi novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada data dan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti.

Penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa tentunya berbeda dengan penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan Khoirun Nisa datanya berupa struktur, konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada novel sebagai bahan ajar di SMA. Sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi sastra. Lalu dalam penelitian ini datanya adalah teks novel yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan yang mengandung gaya bahasa pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer. Lalu pendekatannya menggunakan stilistika.

(2)

9

kedua ini berbeda dengan penelitian miliknya Khoirun Nisa yang berjudul Konflik Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa datanya struktur, konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada novel sebagai bahan ajar di SMA sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi sastra. Adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh Nela Dian Octora ini datanya berupa tokoh perempuan dalam posisi subjek dan posisi objek serta posisi pembaca yang ditampilkan pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sedangkan pendekatannya menggunakan model Sara Mills.

(3)

10

B. Novel

Nurgiyantoro (2007: 9-10), istilah novel berasal dari bahasa Itali novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam prosa. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Dalam The American College Dictionary (dalam Suyitno, 2009: 36), novel merupakan suatu cerita prosa fiktif dalam panjang yang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Aziez & Hasim (2010: 2), novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Jadi kesimpulannya novel merupakan suatu karya fiksi yang di dalamnya mengandung tokoh, alur, dan peristiwa rekaan dan panjangnya melebihi dari cerpen.

C. Stilistika

(4)

11

Menurut Soeratno (2001: 172), secara etimologis stylistics berkaitan dengan style. Style artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaaan bahasa dalam karya sastra. Turner (dalam Soeratno, 2001: 172-173), stylistics atau stilistika merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa yang tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya dan memusatkan pada variasi penggunaan bahasa dalam karya sastra.

D. Gaya Bahasa

1. Pengertian Gaya Bahasa

(5)

12

Menurut Kridalaksana (2001: 63), gaya bahasa merupakan pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Selain itu bisa diartikan sebagai pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu atau keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Selain itu, gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca (Pradopo, 2009: 93). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan gaya bahasa ialah pemakaian ragam kekayaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang dalam menulis atau bertutur untuk memberikan efek tertentu kepada pembaca.

2. Jenis Gaya Bahasa

(6)

13

yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan (c) gaya menengah. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi lima yaitu (a) klimaks, (b) antiklimaks, (c) paralelisme, (d) antithesis, dan (e) repetisi. Repetisi itu sendiri ada bermacam-macam yakni epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua yaitu (a) gaya bahasa retoris dan (b) gaya bahasa kiasan (Keraf, 2004: 127-145).

Nurgiyantoro (2014: 218), menambahkan jenis gaya bahasa jumlahnya relatif banyak bahkan tidak sedikit literatur dan orang yang memasukan stile yang bermain dengan struktur. Dari sekian banyak bentuk gaya bahasa tampak bahwa gaya bahasa itu pada umumnya berupa gaya bahasa perbandingan dan sebagian majas pertautan. Gaya bahasa perbandingan yaitu simile, mertafora, personifikasi, dan alegori. Sedangkan gaya bahasa pertautan yaitu metonimi dan sinekdoki.

(7)

14

mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Dari beberapa pendapat di atas mengenai jenis gaya bahasa tersebut dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendapat Keraf karena menurut peneliti jenis gaya bahasa yang di kemukakan oleh Keraf sudah mewakili paparan mengenai jenis gaya bahasa dari pakar yang lain. Teori penelitian ini juga dibatasi pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna karena data penelitian ini berupa novel.

a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Menurut Keraf (2004: 124-129), struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Adapun yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat tersebut, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa antara lain: (1) klimaks, (2) antiklimaks, (3) paralesisme, (4) antithesis, dan (5) repetisi.

1) Klimaks

(8)

15

yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Keraf (2004: 124-125), menambahkan bahwa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Bila klimaks itu terbentuk dari beberapa gagasan yang berturut-turut semakin tinggi kepentingannya maka disebut anabasis, contoh: Tuan-tuan jangan terlalu banyak menghamburkan waktu, tenaga, dan fikiran bagi saya. Jadi kesimpulannya klimaks adalah gaya bahasa yang terdiri dari gagasan yang berturut-turut semakin tinggi tingkat kepentingannya.

2) Antiklimaks

Keraf (2004: 125-126), mengungkapkan bahwa antiklimaks merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur, contoh : Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di ibu kota negara, ibu kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di

seluruh Indonesia. Antiklimaks merupakan urutan penyampaian yang menunjukkan semakin mengendur kadar pentingnya sebuah gagasan (Nurgiyantoro, 2007: 303).

(9)

16

3) Paralelisme

Nurgiyantoro (2007: 302), paralelisme menyaran pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang sama pula secara berurutan. Contoh : Diantara sejumlah warga terpaksa ada yang dipilih, dibatasi, bahkan adakalanya ditolak untuk diterima sebagai anggota.

Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Tarigan, 2013: 131).

Keraf (2004: 126), paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Jadi kesimpulannya paralelisme merupakan gaya bahasa yang mempunyai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata dan menduduki fungsi yang sama secara berurutan dalam sebuah kalimat.

4) Antithesis

(10)

17

Jadi kesimpulannya antithesis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata berlawanan atau bertentangan arti satu dengan lainnya.

5) Repetisi

Repetisi merupakan gaya pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau kelompok kata yang diulang dalam repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, dan berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain (Nurgiyantoro 2007: 301). Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting. Repetisi seperti halnya dengan paralesisme dan antithesis lahir dari kalimat yang berimbang. Macam-macam repetisi meliputi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Keraf (2004: 127-129) menjelaskan macam-macam repetisi itu sebagai berikut:

a) Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh:

Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita.

b) Tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah kontruksi. Contoh :

Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. c) Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap

baris atau kalimat berikutnya. Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 299-300), mengemukakan anafora merupakan gaya bahasa yang menunjukkan adanya pertautan atau menampilkan pengulangan kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan, contoh :

Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya.

d) Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh :

(11)

18

Udara yang kau hirupi, air yang kau tengguki adalah puisi

e) Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh :

Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin

f) Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh :

Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng

g) Epanalepsis adalah perulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh :

Kita gunakan pikiran dan perasaan kita

Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan

h) Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

Siswantoro (2014: 210), mengatakan bahwa repetisi merupakan penggunaan gaya bahasa yang bertujuan untuk memberi penekanan kepada makna frasa. Jadi kesimpulannya repetisi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan kata atau kelomok kata yang sama yang terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan letak posisinya bisa di awal, tengah maupun akhir kalimat.

b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

(12)

19

1) Gaya Bahasa Retoris

a) Aliterasi

Menurut Siswantoro (2014: 136), aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan di posisi akhir atau di posisi awal kata, seperti bunyi /t/ pada pasangan tried atau true, bunyi /m/ pada pasangan might dan main, bunyi /n/ pada pasangan thin dan pin. Sedangkan Tarigan (2013: 175), menjelaskan aliterasi yaitu sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Contoh aliterasi seperti : Takut titik lalu tumpah. Kalimat tersebut merupakan aliterasi

t terlihat dengan pengulangan konsonan t berturut-turut pada satu kalimat. Nurgiyantoto (2007: 303), menambahkan bahwa aliterasi merupakan penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonem-konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Jadi kesimpulannya aliterasi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi konsonan di posisi awal, tengah, dan akhir kata.

b) Asonansi

(13)

20

c) Anastrof atau Inversi

Ducrot & Todorov (dalam Tarigan, 2013: 85), inversi merupakan permutasi atau perubahan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Dengan kata lain inversi merupakan perubahan urutan subjek predikat (SP) menjadi predikat subjek (PS). Sedangkan Keraf (2004:130), berpendapat bahwa anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Anastrof ini mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis dengan menyebutkan terlebih dahulu predikat sebelum subjeknya, contoh: Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Jadi kesimpulannya inversi merupakan gaya

bahasa yang melakukan pembalikan urutan susunan kata subjek predikat menjadi predikat subjek.

d) Apofasis atau Preterisio

Keraf (2004: 130-131), berpendapat bahwa Apofasis atau disebut juga Preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya, contoh: Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan

(14)

21

e) Apostrof

Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Dalam pidato yang disampaikan pada suatu masa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak. Dengan demikian dia tampak tidak berbicara pada hadirin, contoh: Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 83), berpendapat apostrof merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Jadi kesimpulannya apostrof merupakan gaya bahasa yang mengalihkan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.

f) Asindeton

Nurgiyantoro (2007: 303), asindeton merupakan penggunaan pungtuasi yang berupa „‟tanda koma‟‟. Keraf (2004: 131), berpendapat asindeton adalah suatu gaya

(15)

22

mengemukakan beberapa kata, frasa, maupun klausa secara berurutan tanpa menggunakan kata sambung dalam kalimat.

g) Polisindeton

Tarigan (2013: 137), polisindeton merupakansuatu gaya yang merupakan kebalikan asindeton. Dalam polisindeton beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Sedangkan Keraf (2004: 131), polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Polisindeton ialah bentuk pengulangan yang menggunakan kata tugas tertentu misalnya kata „‟dan‟‟ (Nurgiyantoro, 2007: 303). Contoh polisindeton sebagai berikut : Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?. Jadi kesimpulannya polisindeton merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan yang menggunakan kata penghubung secara berurutan dalam suatu kalimat.

h) Kiasmus

(16)

23

i) Elipsis

Keraf, (2004: 132), elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar. Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat itu disebut anakoluton. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat tersebut dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis, contoh: jika anda gagal melaksanakan tugasmu…..tetapi baiklah kita tiak membicarakan hal itu. Sedangkan

Tarigan (2013: 133), memaparkan elipsis ialah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan pembuangan atau penghilangan kata yang memenuhi bentuk kata berdasarkan tata bahasa. Jadi kesimpulannya elipsis merupakan gaya bahasa yang menghilangkan unsur kalimat dengan posisi penghilangan bisa di awal, tengah, maupun akhir kalimat.

j) Eufemisme

Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang. Eufemisme mengandung ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2004: 132). Contoh: Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (=bodoh). Tarigan (2013: 125), mengungkapkan eufemisme

(17)

24

pengganti ungkapan kasar agar ungakapan tersebut tidak menyinggung perasaan seseorang.

k) Litotes

Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 58), litotes merupakan sejenis gaya bahasa yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Keraf, (2004: 132-133) mengemukakan litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Contoh: Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya. Jadi kesimpulannya litotes adalah gaya bahasa

yang menyatakan sesuatu dengan cara merendahkan diri dari yang sebenarnya terjadi.

l) Histeron Proteron

(18)

25

m) Pleonasme dan Tautologi

Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 28), pleonasme merupakan pemakaian kata yang mubazir yang sebenarnya tidak perlu. Sedangkan tautologi merupakan acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menyatakan suatu gagasan atau pikiran. Keraf (2004: 133-134), menjelaskan pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan salah satu kata mubazir artinya tetap utuh. Sebaliknya acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya :

(1) Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.

Ungkapan diatas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata : dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah itu.

(2) Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya

(19)

26

n) Perifrasis

Menurut Keraf (2004: 134), perifrasis mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: Ia telah beristirahat dengan damai (=mati, atau meninggal). Sedangkan Tarigan (2013: 31),

mengungkapkan perifrasis merupakan gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Jadi kesimpulannya perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata yang berlebihan tetapi sebenarnya dapat diganti hanya dengan satu kata saja.

o) Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Contoh : Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru (Keraf, 2004: 134). Sedangkan Shadily (dalam Tarigan, 2013: 33), menjelaskan prolepsis atau antisipasi berarti gaya bahasa yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Jadi kesimpulannya prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata terlebih dahulu sebelum peristiwa yang sebenarnya terjadi.

p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris

(20)

27

terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin, contoh : Rakyatlah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? Kalimat pada contoh tersebut merupakan erotesis karena tidak membutuhkan jawaban. Sedangkan Tarigan (2013: 130), menambahkan erotesis sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Jadi kesimpulannya erotesis atau pertanyaan retoris adalah gaya bahasa yang berupa penegasan kalimat pertanyaan yang tidak menghendaki adanya jawaban karena pertanyaannya telah menyindir dari jawabannya.

q) Silepsis dan Zeugma

Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, kontruksi yang digunakan secara gramatikal benar tetapi secara semantik tidak benar. Contohnya :

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya Fungsi dan sikap bahasa.

Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan, demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya berbeda, yang satu berarti „‟fungsi dari bahasa‟‟ dan yang lain „‟sikap terhadap

(21)

28

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun secara gramatikal. Tarigan (2013: 68), menjelaskan zeugma adalah kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun gramatikal. Misalnya :

Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.

Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami. Jadi kesimpulannya zeugma merupakan gaya bahasa yang berupa gabungan dua kata yang sebenarnya hanya cocok untuk salah satu kata saja dalam sebuah kalimat.

r) Koreksio atau Epanortosis

Keraf, (2004: 135), koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah, contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. Sedangkan Tarigan (2013: 34), mengemukakan koreksio adalah gaya

(22)

29

s) Hiperbola

Menurut Keraf (2004: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Contoh hiperbola sebagai berikut : Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. Nurgiyantoro (2007: 300), mengemukakan hiperbola adalah suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan. Sedangkan Tarigan (2013: 55), menambahkan hiperbola adalah suatu cara yang berlebih-lebihan untuk mencapai efek. Jadi kesimpulannya hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan terhadap suatu hal yang sebenarnya hal tersebut biasa saja.

t) Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2004: 136). Paradoks menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan, contoh: Musuh sering merupakan kawan yang akrab. Kalimat tersebut merupakan paradoks karena mengandung pertentangan tetapi menarik perhatian karena kebenarannya memang ada. Nurgiyantoro (2007: 300), berpendapat bahwa paradoks merupakan cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Jadi kesimpulannya paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan fakta yang ada.

u) Oksimoron

(23)

30

sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks, contoh: Itu sudah menjadi rahasia umum. Sedangkan Ducrot & Tororov (dalam Tarigan 2013: 63), menambahkan

oksimoron merupakan jenis gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksis, baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim. Jadi kesimpulannya oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggabungkan kata-kata berupa penegasan untuk menimbulkan efek yang bertentangan.

2) Gaya Bahasa Kiasan

Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Adapun jenis-jenis bahasa kiasan meliputi: (a) persamaan/ simile, (b) metafora, (c) alegori, parabel, dan fabel, (d) personifikasi atau prosopopoeia, (e) alusi, (f) eponim, (g) epitet, (h) sinekdoke, (i) metonimia, (j) antonomasia, (k) hipalase, (l) ironi, sinisme, dan sarkasme, (m) satire, (n) inuendo, (o) antifrasis, dan (p) pun/ paronomasia (Keraf, 2004: 138-145).

a) Simile

(24)

31

298), mengungkapkan simile merupakan perbandingan yang langsung dan eksplisit dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan. Sedangkan Keraf (2004: 138), menambahkan simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Perumpamaan atau perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam karya sastra, contoh: matanya seperti bintang timur. Jadi kesimpulannya simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang langsung dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan.

b) Metafora

Menurut Siswantoro (2014: 116), metafora merupakan perbandingan antara dua objek atau ide yang masing-masing sebagai tenor (yang dibandingkan) dengan vehicle (pembanding). Sedangkan Keraf (2004: 139), berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh: Orang itu buaya darat. Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2014: 224), juga mengemukakan

(25)

32

c) Alegori, Parabel, dan Fabel

Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori, parable, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Nurgiyantoro (2014: 239), alegori merupakan sebuah cerita kiasan yang maknanya tersembunyi pada makna literal.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Tarigan (2013: 25), parabel merupakan cerita yang berkaitan dengan kitab suci dan merupakan alegori singkat yang mengandungv pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Jadi kesimpulannya parabel adalah gaya bahasa yang berupa cerita dengan tokohnya manusia yang mengandung nilai moral.

(26)

33

d) Personifikasi atau Prosopopoeia

Keraf (2004: 140-141), mengungkapkan bahwa personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-seolah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Contoh personifikasi sebagai berikut : Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami. Nurgiyantoro (2007: 299), mengemukakan bahawa personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat-sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Personifikasi adalah jenis gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 2013: 17). Jadi kesimpulannya personifikasi merupakan gaya bahasa yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup seperti perilaku yang dilakukan manusia.

e) Alusi

(27)

34

f) Eponim

Keraf (2004: 141), eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu. Contohnya : Kerakusannya persis Karun. Sedangkan Tarigan (2013: 127), menjelaskan eponim merupakan gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi kesimpulannya eponim merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama seseorang yang sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk menyatakan sifatnya.

g) Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang, contoh: Putri malam sudah bangun dari peranduannya (Keraf, 2004: 141). Sedangkan Tarigan (2013: 128), berpendapat epiteton merupakan gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Pada epiteton tampak adanya ajektif atau frasa deskriptif untuk menunjukkan sifat sesuatu yang menjadi subjek gaya. Frasa seperti itu biasanya disebut epitet. Jadi kesimpulannya epitet merupakan gaya yang berupa sifat atau ciri yang khusus dari seseorang untuk menggantikan nama seseorang atau suatu barang.

h) Sinekdoke

(28)

35

sebagian (totem pro parte). Sedangkan Keraf (2004: 142), berpendapat bahwa sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte), contoh: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00. Kalimat tersebut mengandung sinekdoke pars pro toto karena kepala merupakan bagian dari anggota tubuh manusia. Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4.

Kalimat di atas mengandung sinekdoke totum pro parte karena mempergunakan keseluruhan (Indonesia dan Malaysia) untuk menyatakan sebagian (kelompok pemain sepak bola). Nurgiyantoro (2007: 300), menambahkan sinekdoke

berarti „‟menerima bersama-sama‟‟ dan merupakan gaya yang tergolong gaya

pertautan yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro toto), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Jadi kesimpulannya sinekdoke merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menyebutkan nama sebagian sebagai pengganti keseluruhan atau sebaliknya.

i) Metonimia

(29)

36

nama, contoh: Ia membeli sebuah kijang. Kalimat tersebut mengandung metonomia. Hal ini digambarkan dengan kata kijang merupakan merk sebuah mobil. Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 121), menambahkan bahwa metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Jadi kesimpulannya metonomia merupakan gaya bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya.

j) Antonomasia

Keraf (2004: 142), antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epipeta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya : Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 129), antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Jadi kesimpulannya antonomasia merupakan gaya bahasa yang menggambarkan suatu benda dengan simbol dan gelar sebagai pengganti nama yang sebenarnya.

k) Hipalase

(30)

37

bahasa yang menggunakan suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Jadi kesimpulannya hipalase merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang berlainan dengan kata yang dimaksud.

l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Menurut Keraf (2004: 143), sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan dibalik rangkaian kata-katanya, contoh : Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan

seluruhnya!

Menurut Tarigan (2013: 61), mengungkapkan ironi merupakan sejenis gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan. Jadi kesimpulannya ironi merupakan gaya bahasa yang bertujuan untuk menyindir seseorang secara halus dan tersirat.

(31)

38

sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Contoh : Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!. Jadi kesimpulannya sinisme merupakan gaya bahasa yang berupa sindiran dan biasanya terjadi ejekan.

Keraf (2004: 143-144), sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contoh: Kelakuanmu memuakkan saya. Sedangkan Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 92), sarkasme

merupakan sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Jadi kesimpulannya sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi dan sinisme sehingga dirasa sangat menyakiti hati dan kurang enak di dengar.

m) Satire

Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar

diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Satire berisi kritik sosial baik secara terang-terangan maupun terselubung. Contoh:

Maling-maling kecil kau adili Maling-maling besar kau lindungi Di mana letak keadilan

(32)

39

Sedangkan Tarigan (2013: 70), menambahkan satire merupakan sejenis bentuk argumen yang beraksi secara tidak langsung, terkadang secara aneh bahkan ada kalanya dengan cara yang cukup lucu yang menimbulkan tertawaan. Jadi kesimpulannya satire merupakan gaya bahasa yang mengandung ungkapan ironi untuk menertawakan suatu masalah dan biasanya berupa kritik moral atau politik.

n) Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Contoh : Setiap ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum (Keraf, 2004: 144). Sedangkan Tarigan (2013: 74),

mengemukakan inuendo merupakan gaya bahasa yang menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sekilas. Jadi kesimpulannya inuendo merupakan gaya bahasa ironi yang mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dan tampak tidak menyakitkan sekilas.

o) Antifrasis

Menurut Keraf (2004: 144-145), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, contoh: Engkau memang orang yang mulia dan terhormat. Antifrasis merupakan gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata

(33)

40

p) Pun atau Paronomasia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tidak ada hubungan prestasi belajar mata pelajaran kewirausahaan dengan jiwa kewirausahaan siswa SMK; (2) tidak ada

Rangkaian dekoder digunakan untuk pengkodean (sandi) untuk menentukan jumlah pulsa yang digunakan Dalam hal ini jumlah kodenya adalah tiga sinyal jika bukan maka akan

Menurut saya, jika selalu menggunakan barang yang berbeda dapat menambah percaya diri dihadapan orang

In order to produce steamed buns with desirable physical qualities and antioxidant activity, appropriate mixing time, mixing speed, and angkak concentration are

Dalam rangka mencari metode pembelajaran yang tepat maka, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pemahaman awal siswa mengenai konsep usaha dan energi; (2) pemahaman

Their sharing of all components of intimacy are their ways of maintaining the intimacy by showing caring and loving one another, accepting whatever their partner say as a

Analisis kinerja ruas jalan perkotaan, dengan indikator kinerja yaitu arus lalu lintas (Q), kapasitas (C), derajat kejenuhan/ Degree of Saturation (DS), kecepatan arus bebas yang

Skripsi dengan judul : “Peningkatan Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Operasi Hitung Bilangan Bulat Khususnya Pengurangan Dengan Metode Demonstrasi Menggunakan Media Garis