• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nelayan

Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan. Para nelayan di Indonesia biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa pantai atau pesisir (Sastrawidjaya, 2002 dalam Sujarno 2008).

Wahyuningsih (1997) yang dikutip dari Dani dan Wahyudin(2011) nelayan dapat dibagi tiga jika dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu:

1). Nelayan juragan

Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke (toke) atau cakong.

2). Nelayan buruh

Nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu usaha penangkapan ikan di laut, sebagai buruh.

3). Nelayan perorangan

Nelayan yang kurang mampu, nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut nelayan perorangan.

(2)

Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2002) yang dikutip dari mussawir (2009) menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok yaitu: 1) Peasant-fisher

Nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti dayung, sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarganya sendiri sebagai tenaga kerja utama.

2) Post-peason fisher

Dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modren. Meski masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memiliki surplus untuk diperdagangkan di pasar.

3) Commersial-fisher

Nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapannya.

4) Industrial-fisher

Yang memiliki ciri-ciri : 1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju; 2) lebih padat modal; 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan.

2.2 Pendapatan Nelayan

Winarno dan Ismaya (2003) dalam kamus ekonomi, pendapatan yaitu: 1. Kelebihan pendapatan atas bahan yang terjadi karena adanya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut selama periode atau jangka waktu tertentu. 2. Sejumlah uang yang diperoleh dalam bentuk laba, bunga, upah, sewa dan sebagainya.

3. Aliran penghasilan dalam periode tertentu dapat berasal dari faktor produksi, sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal dalam bentuk sewa, bunga dan upah.

(3)

Masyarakat nelayan, rumah tangga perikanan laut dibedakan antara pengusaha dan buruh perikanan. Bagi pengusaha, pendapatan rumah tangga berasal dari tiga sumber yaitu dari usaha perikanan, upah buruh perikanan (oleh anggota keluarga) dan dari sumber lain di luar itu seperti pertanian, usaha dagang dan usaha lain atau usaha sambilan. Bagi rumah tangga buruh adalah sama tapi tidak ada pos khusus dari usaha perikanan. Dengan demikian dapat dikatakan pendapatan nelayan sebenarnya berasal dari dua sumber yaitu penangkapan ikan dan dari luar penangkapan ikan (Alpharesy, 2011). Sumber penangkapan ikan merupakan sumber utama pendapatan pada rumah tangga nelayan sedangkan sumber pendapatan dari usaha di luar penangkapan ikan relaif lebih rendah.

Pendapatan rumah tangga dapat berasal lebih dari satu sumber pendapatan. Sumber pendapatan yang beragam tersebut dapat terjadi karena anggota rumah tangga yang bekerja, melakukan lebih dari satu jenis kegiatan dan masing-masing anggota rumah tangga mempunyai kegiatan yang berbeda satu sama lainnya. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman sumber pendapatan adalah penguasaan faktor produksi. Pendapatan itu sendiri dapat diperoleh sebagai hasil bekerja atau asset dan sumbangan dari pihak lain. Kumpulan pendapatan dari berbagai sumber pendapatan tersebut merupakan total pendapatan rumah tangga (Nurmanaf, dalam Hidayat, 1992)

Perbedaan tingkat pendapatan keluarga tidak saja disebabkan oleh tingkat pendidikan akan tetapi juga oleh beberapa faktor lain seperti pengalaman kerja, keahlian, sektor usaha, jenis usaha, lokasi dan lain-lain (Simanjuntak, 1985). Pendapatan rumah tangga pada umumnya masyarakat pedesaan diperoleh dari berbagai sumber yang sangat beragam. Pada rumah tangga nelayan, nampak bahwa pekerjaan penangkapan ikan hampir merupakan satu-satunya sumber pendapatan rumah tangga yang diandalkan. Sujana (1992), dikemukakan bahwa jumlah pendapatan dari usaha penangkapan ikan sekitar 71,58% dari total pendapatan rumah tangga. Pendapatan dari pekerjaan pada sub sektor pertanian relatif kecil 7,61%. Begitu pula dari sektor industri, jasa, perdagangan, hanya sekitar 0,55%.

(4)

Sujana (1992), fenomena keberagaman sumber pendapatan rumah tangga relatif lebih nyata pada rumah tangga petani dibanding pada rumah tangga nelayan dan buruh perkebunan. Besar pendapatan dari berbagai sumber relatif lebih merata pada rumah tangga petani, sedangkan pada rumah tangga nelayan dan buruh perkebunan pendapatan nafkah rumah tangga lebih mengandalkan dari pekerjaan utamanya. Sementara sumbangan pendapatan dari sektor lain di luar pekerjaan utamanya dan dari sektor-sektor non pertanian nampaknya relatif lebih kecil.

Pendapatan masyarakat nelayan bergantung terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang terdapat di lautan. Potensi perikanan tersebut sangat beranekaragam, dengan potensi perikanan sebesar 5,01 juta ton serta asumsi harga ikan hasil tangkapan mencapai US .$. 3.052, maka nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari potensi perikanan Indonesia diperkirakan bernilai US .$. 15 Milyar. Sementara itu pada tahun 1999 nilai yang berhasil dicapai baru sekitar US.$. 9,97 milyar (Dahuri 1996 Dalam Sasongko 2006).

Pendapatan masyarakat nelayan secara langsung maupun tidak akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka, karena pendapatan dari hasil berlayar merupakan sumber pemasukan utama atau bahkan satu-satunya bagi mereka, sehingga besar kecilnya pendapatan akan sangat memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka, terutama terhadap kemampuan mereka dalam mengelola lingkungan tempat hidup mereka.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan

Masyarakat nelayan yang sampai saat ini masih merupakan isu yang sangat menarik untuk didiskusikan. Isu paling umum yang menjadi bahan pembicaraan yaitu isu mengenai kemiskinan dan kesejahteraan. Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan ikan di laut dan di tempat yang masih dipengaruhi pasang surut (Tarigan 2000 dalam Sujarno 2008). Jadi bila ada yang menangkap ikan di tempat budidaya ikan seperti tambak, kolam ikan, danau, sungai tidak termasuk nelayan. Selanjutnya, Tarigan (2000), masih berdasarkan pendapatnya, nelayan dapat dibagi menjadi :

a) Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatan seluruhnya berasal dari perikanan.

(5)

b) Nelayan sambil utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan.

c) Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan.

d) Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim-musim tertentu saja aktif sebagai nelayan.

Rendahnya kualitas sumber daya manusia masyarakat nelayan yang terefleksi dalam bentuk kemiskinan sangat erat kaitannya dengan faktor internal dan eksternal masyarakat. Faktor internal misalnya pertumbuhan penduduk yang cepat, kurang berani mengambil resiko, cepat puas dan kebiasaan lain yang tidak mengandung modernisasi. Selain itu kelemahan modal usaha dari nelayan sangat dipengaruhi oleh pola pikir nelayan itu sendiri. Faktor eksternal yang mengakibatkan kemiskinan rumah tangga nelayan lapisan bawah antara lain proses produksi didominasi oleh pemilik perahu atau modal dan sifat pemasaran produksi hanya dikuasai kelompok dalam bentuk pasar monopsoni (Kusnadi 2003 dalam Sujarno 2008).

Ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan dan diuraikan sebagai berikut :

1. Teknologi

Peralatan yang digunakan oleh nelayan dalam penangkapan ikan (produksi) adalah perahu tanpa mesin atau perahu dengan mesin yang kecil (motorisasi), jaring dan pancing. Modal nelayan adalah nilai daripada peralatan yang digunakan seperti :

-Harga perahu, apakah mempergunakan mesin atau tidak yang dimiliki nelayan. -Harga dari peralatan penangkapan ikan misalnya jaring, pancing, dan lain-lain. -Bahan makanan yang dibawa melaut dan yang ditinggalkan di rumah.

Hal diatas berpengaruh pada pendapatan nelayan, semakin bagus alat/mesin yang digunakan untuk kegiatan penangkapan maka biasanya pendapatan yang diperoleh akan semakin tinggi.

(6)

2. Sosial Ekonomi

Umur, Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2007), bahwa usia 15 sampai 64 tahun merupakan usia produktif serta masuk dalam usia angkatan kerja di Indonesia.

Pendidikan, biasanya sebelum menjadi nelayan pada umumnya mereka telah menempuh pendidikan, misalnya : sampai tingkat SMA, SMP, SD atau tidak menempuh pendidikan sama sekali. Tinggi - rendahnya pendidikan yang dimiliki nelayan berpengaruh pada tingkat pendapatannya, karena hal itu menentukan dibagian mana nelayan buruh yang bersangkutan ditugaskan oleh nelayan juragan (Sujarno 2008).

Budaya, hampir diseluruh kawasan pesisir memiliki tradisi atau budaya yang dilakukan turun-temurun berkaitan dengan kegiatan melaut, Jawa Barat merupakan wilayah persisir pantai utara Jawa yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai nelayan.

Para nelayan Indramayu memiliki tradisi yang cukup unik, yaitu tradisi nadran atau pesta laut yang merupakan agenda rutin bagi para nelayan yang diadakan dua tahun sekali. Nadran dilakukan dua minggu setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi Nadran yang digelar oleh para nelayan Indramayu adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan, baik berupa keselamatan ketika berlayar di laut maupun hasil ikan yang melimpah sepanjang tahun yang lalu. Diawali dengan pemotongan kerbau sehari sebelum acara puncak. Sesaji dan doa dipanjatkan sebelum kerbau disembelih agar proses penyembelihan lancar. Kepala kerbau yang sudah dipotong kemudian akan menjadi sesaji yang dilarung ke tengah laut dengan pendamping beragam tumpeng, kembang, dan jajanan pasar. Pengaruh budaya tidak lepas dari pendapatan yang diperoleh nelayan, sebab ketika budaya yang menjadi adat istiadat masyarakat pesisir setempat dilakukan, maka kegiatan melaut untuk sementara ditiadakan.

Pengalaman, apabila seseorang yang dianggap nelayan yang telah berumur 15 tahun sampai 30 tahun, diatas 30 tahun telah dianggap sebagai nelayan yang berpengalaman (pawing). Semakin banyak pengalaman yang dimiliki sangat

(7)

berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh sebab hal ini juga merupakan kategori atau klasifikasi untuk menentukan banyaknya jumlah tangkapan ikan dilaut (Sujarno 2008).

Peralatan, apakah nelayan itu mempunyai peralatan sendiri dalam melaut dan menangkap ikan atau tidak, jadi apabila ia tidak memiliki peralatan sendiri dan hanya menerima gaji maka dikatakanlah ia buruh nelayan.

Anggota organisasi atau tidak anggota , apakah nelayan tersebut menjadi anggota organisasi atau tidak, dalam hal ini KUD (Koperasi Unit Desa),yang dimaksud KUD adalah KUD nelayan yang tujuannya adalah untuk kelompok nelayan yang menyediakan peralatan dan keperluan nelayan, jadi apabila nelayan itu menjadi anggotanya maka nelayan itu memperoleh kemudahan dan kemurahan dalam melaksanakan usahanya sehingga otomatis berpengaruh pada pendapatan yang akan diperoleh.

Tata Niaga, Ikan adalah komoditi yang mudah rusak dan busuk, jadi penyampaiannya dari produsen (nelayan) kepada konsumen harus cepat agar kualitasnya atau kondisinya tidak rusak atau busuk kalau ikan itu tidak diolah. Kondisi atau keadaan ikan ini sangat berpengaruh kepada harga ikan, demikian juga nilai gizinya. Jadi dalam hal ini dilihat nilai efisiensi dari penggunaan tata niaga perikanan tersebut, dari produsen ke konsumen berarti semakin baik dan semakin efisien tata niaganya dan kriterianya adalah sebagai berikut :

Panjang atau pendek saluran distribusi yang dilalui oleh hasil produksi dalam hal ini ikan (karena tangkapan) dari nelayan (produsen/ sampai ke konsumen akhir agar jangan sampai rusak).

Banyak atau sedikit dari jumlah pos-pos yang terdapat pada saluran distribusi tersebut. Apabila banyak mengakibatkan panjangnya (jauhnya) jarak antara produsen dan konsumen sedangkan kalau pendek (dekat) jarak antara produsen dan konsumen akhir yang artinya makin efisien.

Menambah keuntungan atau tidak yaitu setiap pos saluran distribusi tersebut apakah menambah keuntungan atau tidak bagi nelayan. Dalam hal ini kita bandingkan dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dan meneliti apakah ada korelasi antara hal-hal di atas, apakah ke tiga hal di atas tadi akan menambah atau

(8)

memperbesar pendapatan nelayan. Meningkatnya tangkapan ikan nelayan berarti meningkatnya kesejahteraan nelayan tersebut. Demikian juga hal tersebut menunjang program pemerintah yaitu pengentasan kemiskinan.

Hasil tangkapan (produksi) nelayan itu selanjutnya kita lihat cara pemasarannya, khususnya saluran distribusi dari produsen (nelayan) kepada pemakai akhir atau konsumen. Saluran distribusi dari hasil laut ini

dapat dibagi sebagai berikut :

-Saluran distribusi untuk konsumen akhir -Saluran distribusi untuk rumah tangga -Saluran distribusi untuk pengawetan

-Saluran distribusi untuk coldstorage (pedagang besar atau eksportir). 3.Iklim

Variabel cuaca yang mempengaruhi produktifitas nelayan adalah suhu udara, curah hujan, dan tinggi gelombang. Kenaikan temperatur atau suhu udara akan berdampak pada meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung akan menambah volume air di samudra yang berimplikasi pada semakin tinggi paras laut. Dalam 10 tahun terakhir, paras laut meningkat setinggi 0,1 - 0,3 m (Syahilatua, 2008). Fauzi (2010), sektor perikanan mengalami masalah yang cukup serius terkait dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap maupun budidaya. Perubahan gradual peningkatan suhu yang terjadi secara global berakibat pada perubahan aspek biofisik seperti perubahan cuaca yang ekstrem, kenaikan paras muka laut, perubahan jejaring makanan, dan perubahan fisiologis reproduksi akan berdampak pada aspek sosial ekonomi perikanan.

Muttaqien (2010) produktivitas nelayan diperkirakan turun 60% akibat anomali iklim yang ditandai tingginya curah hujan dan ombak besar, sehingga kegiatan melaut menjadi membahayakan. Pengaruh cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan kadar keasaman air laut menurun. Sehingga wilayah penangkapan semakin jauh dan tidak terjangkau oleh nelayan kecil yang hanya menggunakan perahu tradisonal. Selain itu, gelombang tinggi dan angin kencang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut. Ombak yang

(9)

biasanya hanya setinggi satu meter akan meningkat drastis hingga mencapai dua meter atau lebih. Antara udara dan laut terjadi interaksi yang erat.Perubahan cuaca akan mempengaruhi kondisi laut. Angin misalnya sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus di permukaan laut, dan curah hujan dapat menentukan salinitas (keragaman) air laut (Nontji, 1993).

Musim sangat berpengaruh kepada keadaan kehidupan nelayan yaitu musim barat dan musim timur. Dalam 1 tahun ada 2 musim yaitu musim timur dari bulan Maret sampai awal Agustus keadaan pasang tidak terlampau tinggi, arus tidak terlampau deras, gelombang tidak terlampau besar jadi sedang-sedang saja. Pada musim inilah nelayan banyak mendapat ikan. Pada musim barat, biasanya dari akhir Agustus sampai awal Maret, umumnya gelombang besar, pasang tinggi, arus deras, curah hujan selalu terjadi, dipuncaknya apa yang disebut pasang Perdani, yaitu pasang paling besar/tinggi pada satu kali setahun. Keadaan ini pada umummnya nelayan sangat jarang ke laut karena takut bahaya, jadi produksi sedikit dan biasanya harga ikan akan tinggi. Disamping kedua musim dalam satu kali setahun tadi ada lagi pengaruh musim bulanan yaitu pada bulan purnama dan pada bulan gelap. Pada bulan purnama atau terang arus akan deras dan pasang akan tinggi. Sebaliknya pada bulan gelap, gelombang akan kecil, arus tidak bergerak yang disebut dengan istilah pasang mati.

2.4 Tingkat Kesejahteraan

Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan. Gunawan (2007) kebijakan khusus pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang harus mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah pembangunan tersebut harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan yang terdiri dari beberapa hal.

Pertama, modal usaha guna mengembangkan kewirausahaan yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme

(10)

penyaluran dana bantuan dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat.

Kedua, pemberdayaan sumberdaya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumberdaya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan, penyuluhan dan pendampingan.

Ketiga, penguatan kelembagaan yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran serta adminitrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal.

Keempat, prasarana dan sarana serta sistem informasi yaitu mengembangkan prasarana dan sarana serta jaringan pemasaran sehingga masyarakat dengan mudah mendapatkan input produksi dan menjual produk kepasar lokal, regional dan nasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan penyedia jasa pendukung. Serta sistem informasi yaitu meningkat kemampuan pengendalian dan pelaporan berbasis sistem informasi manajemen dan sistem informasi geographis agar pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan secara tepat arah, tepat sasaran dan tepat tujuan.

Kesejahteraan bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Konsep tentang kesejahteraan juga berkaitan dengan konsep tentang kemiskinan. Sayogyo (1997), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu : (1) miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota, (3) paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara

(11)

180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota.

Kesehatan dapat juga dipakai sebagai ukuran sebagai ukuran kesejahteraan seseorang. Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan-makanan bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi lingkungan yang tidak memadai.

Tinjauan tentang kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda pemenuhannya.

Selain itu, faktor gizi juga merupakan indikator utama dalam komponen gizi dan konsumsi yang digunakan dalam menggambarkan taraf hidup masyarakat. Penyebab kekurangan gizi yang menggambarkan taraf hidup masyarakat yang lebih rendah lebih lanjut dikatakan bahwa tingat ekonomi masih rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan kesehatan.

Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas tempat tinggal yang dimiliki. Perumahan adalah salah satu kebutuhan dasar yang paling penting selain makanan dan pakaian untuk mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah tangga/masyarakat.

UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan

(12)

menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan dan pola pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS 1991).

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002), yang disebut keluarga sejahtera adalah : (1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama; (2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarganya; dan (3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, berkehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk, disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya.

Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan . Badan Pusat Statistik (2009) menentukan tingkat kesejahteraan menyangkut segi-segi yang dapat diukur (measurable welfare). Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah :

(1) Pendapatan rumah tangga. (2) Konsumsi rumah tangga. (3) Keadaan tempat tinggal. (4) Fasilitas tempat tinggal. (5) Kesehatan anggota keluarga.

(6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan

(13)

obat-obatan.

(7) Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan. (8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

(9) Kehidupan beragama.

(10) Perasaan aman dari gangguan kejahatan. (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga.

Tingkat kesejahteraan Keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002) adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2) Keluarga Sejahtera Tahap-1 (S-1), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga Berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal serta kebutuhan transportasi.

3) Keluarga Sejahtera Tahap-2 (S-2), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar dan juga telah dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi.

4) Keluarga Sejahtera Tahap-3 (S-3), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif dimasyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya.

5) Keluarga Sejahtera Tahap-3 plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seuruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

(14)

Kusnadi (2002), perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya laut secara berlebihan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi.

- Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan BPS

Tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan kriteria yang digunakan BPS dalam SUSENAS tahun 2009 yaitu sebelas indikator kesejahteraan. Secara umum tingkat kesejahteraan merupakan kombinasi dari 11 indikator yang dapat dituliskan sebagai berikut :

TK = ƒ (I1, I2, I3, I4, I5, I6, I7, I8, I9, I10, I11) Keterangan :

TK = Tingkat kesejahteraan I1 = Pendapatan rumah tangga I2 = Pengeluaran rumah tangga I3 = Keadaan tempat tinggal I4 = Fasilitas tempat tinggal

I5 = Kesehatan anggota rumah tangga

I6 = Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan

I7 = Kemudahan memasukan anak ke suatu jenjang pendidikan I8 = Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi

I9 = Kehidupan beragama

I10 = Rasa aman dari gangguan tindak kejahatan I11 = Kemudahan dalam melakukan olahraga

(15)

Skor tingkat klasifikasi baik pada sebelas indikator kesejahteraan maupun tingkat kesejahteraan, dihitung berdasarkan pedoman penentuan range skor metode baru Maret 1994 dari BPS yang dimodifikasi dengan kriteria kemiskinan Sajogyo dan Direktorat Jenderal Tata Guna Tanah. Klasifikasi kesejahteraan dibagi menjadi tiga dengan cara mengurangkan jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan hasil pengurangan itu dibagi dengan jumlah klasifikasi, yaitu tiga, terdiri atas tinggi, sedang dan rendah. Skor tingkat kesejahteraan menurut klasifikasi adalah sebagai berikut :

1) Tingkat kesejahteraan tinggi jika mencapai skor = 27-35 2) Tingkat kesejahteraan sedang jika mencapai skor = 19-26 3) Tingkat kesejahteraan rendah jika mencapai skor = 11-18

- Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Tata Guna Tanah

Direktorat Jenderal Tata Guna Tanah mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan nilai konsumsi total sembilan bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimal yang dipergunakan sebagai tolok ukur yaitu 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg minyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai batas garis kemiskinan. Dengan menggunakan tingkat pengeluaran setara dengan pengeluaran untuk konsumsi sembilan bahan pokok. Direktorat Jenderal Tata Guna Tanah membagi tingkat kemiskinan menjadi empat golongan, yaitu :

1) Tidak miskin : Apabila tingkat pengeluaran lebih besar dari 200 % dari total pengeluaran 9 bahan pokok.

2) Hampir miskin : Apabila tingkat pengeluaran lebih besar dari 126-200 % dari total pengeluaran 9 bahan pokok .

3) Miskin : Apabila tingkat pengeluaran lebih besar dari 75-125 % dari total pengeluaran 9 bahan pokok.

4) Miskin sekali : Apabila tingkat pengeluaran lebih besar dari 75 % dari total pengeluaran 9 bahan pokok.

(16)

- Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Sajogyo

Sajogyo menentukan tingkat kemiskinan dengan melihat besarnya pendapatan per kapita per tahun yang diukur dengan nilai setara dari harga beras setempat. Daerah Palabuhanratu merupakan daerah perkotaan. Tingkat kemiskinan untuk daerah perkotaan dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut :

1) Tidak miskin, yaitu apabila pendapatan per kapita per tahun lebih tinggi dari 480 kg beras.

2) Miskin, (nilai ambang kecukupan pangan),yaitu apabila pendapatan per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 480 kg beras.

3) Miskin sekali, (tidak cukup pangan), yaitu apabila pengdapatan per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 360 kg beras.

4) Paling miskin, yaitu apabila pendapatan per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 270 kg beras.

- Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Kusnadi

Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui atau mendasarkan diri pada basis sosial budaya setempat merupakan kerangka pijakan untuk mengembangkan mobilitas vertikal mereka. Dengan demikian, peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat nelayan dapat dilaksanakan secara bertahap dan menyatu padu dalam kehidupan sosial budaya mereka. Pranata-pranata budaya, jaringan sosial, dan kaum perempuan nelayan merupakan potensi dan modal sosial budaya (cultural capital) yang sangat berharga sehingga diperhitungkan dalam proses pemberdayaan ekonomi. Nelayan yang bisa bertahan atau meningkat kesejahteraan hidupnya adalah nelayan-nelayan bermodal besar, yang kemampuan jelajah penangkapannya hingga ke lepas pantai (off shore). Jumlah mereka relatif kecil. Sebaliknya, untuk nelayan kecil atau nelayan tradisional dengan kepemilikan kemampuan peralatan tangkap dan modal usaha yang terbatas, harus puas dengan kenyataan kepahitan hidup dan persaingan yang semakin keras dalam memperoleh hasil tangkapan.

Secara sosial ekonomi, tingkat kehidupan nelayan kecil atau nelayan tradisional, tidak banyak berubah. Artinya, tingkat kesejahteraan mereka semakin

(17)

merosot jika dibandingkan masa-masa tahun 1970-an. Hal yang sama (bahkan lebih parah dialami oleh para nelayan buruh yang bekerja pada unit-unit penangkapan nelayan tradisional atau nelayan dengan peralatan tangkap yang lebih modern, seperti perahu slerek. Karena tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan hidup yang rendah, dalam struktur masyarakat nelayan maka nelayan buruh merupakan lapisan sosial yang paling miskin (Kusnadi,2002: 1-24). Kemiskinan dan rendahnya derajat kesejahteraan sosial menimpa sebagian besar dari kategori nelayan tersebut. Oleh karena itu, identifikasi secara komprehensif terhadap faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah kemiskinan dikalangan nelayan sangat penting dilakukan. Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan sebagian dari sebab-sebab yang kompleks. Sebab-sebab yang kompleks tersebut dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu sebab yang bersifat internal dan sebab eksternal. Kedua kategori sebab kemiskinan tersebut saling berinteraksi dan saling melengkapi. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja (pemilik perahu nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang “boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan.

Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal berkaitan dengan kondisi diluar diri dan aktivitas kerja nelayan. Sebab-sebab eksternal ini mencakup masalah : (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktik penangkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau dikawasan pesisir, (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca panen (7)

(18)

terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor nonperikanan yang tersedia di desa-desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

boleh menggunakan hak istimewa informasi untuk perdagangan untuk keuntungan jangka pendek melainkan untuk beberapa jangka panjang 6) sehubungan denganbeberapa

Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan dating membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap- tiap diri akan

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

40 Shift 1 (Pukul 07.45) MUSTIKA CAHYA NIRMALA DEWINTA UGM | Fakultas Kedokteran Gizi Kesehatan 41 Shift 1 (Pukul 07.45) ARDHY KHARTIKA DEWI UGM | Fakultas Kedokteran Ilmu

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama