• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Puisi menampilkan perubahan cara pandang terhadap estetika. Perubahan tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap periode (Riffaterre, 1978: 1). Hal tersebut dapat ditemukan melalui sejarah perpuisian Indonesia. Dalam pemetaan sejarah puisi Indonesia modern, Rachmat Djoko Pradopo (1995: 39-40) membagi periodisasi ke dalam empat periode yang masing-masing memiliki ciri dan konvensi sendiri, baik intrinsik maupun ekstrinsik sebagai berikut (1) periode Pujangga Baru 1920-1942, (2) periode Angkatan 45 1942-1955, (3) periode 1955-1970, (4) periode Angkatan 70 1990. Pradopo, (1995: 49-55) menyimpulkan bahwa ragam perpuisian Indonesia adalah (1) puisi mantra, (2) puisi bergaya imajisme, (3) puisi lugu, (4) puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara, (5) puisi lirik, dan selanjutnya puisi bergaya mantra yang berkembang ke arah mistik, yang dikenal dengan puisi sufistik, yaitu puisi yang bernafaskan sufisme atau mistik Islam, yang mengikuti pandangan ketuhanan para tokoh sufi.

Puisi sufistik merupakan ungkapan estetik sebuah perjalanan spiritual menuju ke lubuk rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami pencerahan. Oleh sebab itu, ia akan mengalami kebangunan diri kembali atau tranformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi sufistik

(2)

inilah puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan (Bachri, 1978:V).

Dalam kesusastraan Indonesia, puisi sufistik telah menjadi tema besar yang menarik perhatian bagi para sastrawan. Mulai dari Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Sanusia Pane, Bahrum Rangkuti, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi, dan lain-lain. Hadi (1985: v) mengungkapkan bahwa perhatian dan ketertarikan para sastrawan terhadap puisi sufistik tampak melalui acara-acara sastra khususnya pembacaan sajak-sajak dan kisah-kisah sufi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail pada tahun 1982, 1983, dan 1984, seperti Malam Rumi, Malam Hamzah Fansuri, dan Peringatan Iqbal. Menurut Hadi (1985: v) bahwa ketertarikan para sastrawan terhadap puisi sufistik karena daya tarik puisi-puisi sufistik yang mengandung makna atau pesan kerohanian dan moral bagi pembacanya.

Bahrum Rangkuti merupakan salah satu penyair Indonesia yang juga tertarik dengan tema-tema puisi sufistik. Hadi mengungkapkan bahwa Bahrum Rangkuti merupakan salah satu penyair angkatan 45 yang tetap konsisten dengan puisi-puisinya sufinya (Hadi, 2006: 4). Puisi-puisi sufi Bahrum Rangkuti terpublikasikan dalam Majalah Panji Poestaka. Sementara itu, Bahrum Rangkuti mengakui bahwa puisi sufinya banyak terpengaruh oleh pikiran Muhammad Iqbal. Hal ini tidak lepas dari studinya yang pernah ke Pakistan dan kegemarannya mempelajari agama dan filsafat kebudayaan (Jassin, 1993: 177).

Dalam buku Sastra Baru Indonesia 1, kritikus kondang A Teeuw menyatakan: “Tokoh yang mewakili pendekatan cara Islam dalam Angkatan 45

(3)

ialah Bahrum Rangkuti yang menganggap Mohammad Iqbal, penulis dan ahli filsafat kebudayaan Pakistan itu sebagai tokoh besar yang sempurna dalam lapangan kebudayaan.‟‟ Di bagian lain (Sastra Indonesia Modern II) pengamat sastra Indonesia asal Belanda itu juga menyatakan: “Menurut Bahrum Rangkuti, pendidikan agama di Indonesia secara keseluruhan hampir tidak menaruh perhatian terhadap kesenian pada umumnya dan terhadap penulisan kreatif khususnya.”

Kiprah kepengarangan Bahrum Rangkuti sendiri, boleh jadi lantaran sangat dipengaruhi oleh faktor keagamaan yang ditanamkan kedua orang tuanya. Ayahnya, M Tosib Rangkuti dikenal sebagai seorang pengikut salah satu aliran tarekat. Ibunya, Siti Hanifah Siregar, juga dikenal sebagai orang yang taat beribadah, bahkan menyenangi tasawuf. Kedekatan dengan ibunya itulah yang banyak mempengaruhi Bahrum dalam soal-soal keagamaan. Wajarlah jika kemudian kehidupan Bahrum tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan, termasuk juga yang tercermin dalam sejumlah karyanya. Mencermati proses perkembangan kepengarangan Bahrum Rangkuti, memang tampak jelas adanya dua pengaruh kuat yang melekat pada karya-karyanya. Pertama, pengaruh pendidikan keagamaan yang ia serap secara langsung dari kedua orangtuanya dan kemudian tentu saja dari bacaan yang dapat memperluas wawasan pengetahuannya tentang Islam. Kedua, pengaruh karya-karya Mohammad Iqbal, baik karya fiksinya, Javid Namah, maupun karya filsafatnya, khususnya buku The Reconstruction of Religious in Islam (1934). Dalam perjalanan kepengarangan Bahrum Rangkuti yang kemudian, tampak bahwa nafas dan moral Islami secara konsisten

(4)

diselusupkan dalam karya-karyanya. Tidaklah berlebihan jika A Teeuw mengatakan, bahwa Bahrum Rangkuti merupakan tokoh yang mewakili pendekatan cara Islam dalam Angkatan 451.

Dari berbagai pengalaman religius Bahrum tersebut, menjadi alasan peneliti dalam melakukan penelitian terhadap puisi “Mikraj”. Bahrum menciptakan puisi “Mikraj”, pasti tak lepas dari pengalaman spiritualnya yang dituangkan melalui berbagai simbol dalam estetika puisi sufistik. Dalam tradisi sufi, pengucapan estetik dalam bentuk karya sastra mempunyai makna suatu pengucapan yang dapat dijadikan suluk atau jalan kerohanian menuju hakikat kehidupan yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan estetik dalam sastra ataupun seni dengan demikian dapat dijadikan tangga naik atau sarana pendakian, bahkan penerbangan menuju alam transendental (alam lauhut) (Hadi, 2004: 57). Lebih lanjut, Abdul Hadi mengungkapkan bahwa bagi sufi dan penulis muslim yang berkarya dalam wawasan estetik, puisi tidak lain adalah penamsilan atau pemisalan, yaitu pengungkapan secara simbolik gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang diperoleh setelah menempuh ilmu suluk. Jami, seperti telah dikemukakan, menyebut puisi sebagai „kias tentang alam keabadian‟ (Hadi, 2004: 49).

H.B. Jassin dalam bukunya Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Balai Pustaka, 1948), memasukkan empat buah puisi Bahrum Rangkuti yang pernah dimuat majalah Pantja Raja, No. 24, I, 1946, yaitu “Do‟a makam”, “Hampa”,

1

(5)

“Insaf”, dan “Mi‟radj”. Puisi “Mikraj” merupakan sebuah puisi yang menarik dari Bahrum Rangkuti karena memuat perenungan atau penghayatannya terhadap peristiwa Mikraj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam penelitian Santosa, dkk, (2007: 126) mengemukakan bahwa Bahrum Rangkuti penyair tahun 1940-an memotret perjalanan malam Nabi Muhammad SAW sebagai rasa imannya melalui sajak “Mikraj”. Sajak yang menarik tentang peristiwa Mikraj. Peristiwa besar dalam satu malam perjalanan Muhammad dari Makah ke Palestina, dan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke langit sampai tujuh, bertemu Tuhan di Sidratul Muntaha. Namun, penelitian tersebut masih mengacu kepada makna literalnya yang perlu ditindaklanjuti dalam penelitian ini sehingga penelitian terhadap puisi “Mikraj” menjadi luas dan makna atau pesan spiritual di dalamnya dapat terungkap secara eksplisit. Dalam hal ini, hasil penelitian yang secara literal tersebut telah tertuang dalam puisi, sehingga makna literal tersebut belum tentu dimaknai demikian. Sebagaimana menurut Riffaterre, bahwa puisi mengatakan sesuatu dan memaksudkan hal yang lain (Riffaterre, 1978: 1). Lebih lanjut Rene Wellek juga menyatakan (1990:15) bahwa bahasa sastra (terutama puisi) penuh ambiguitas, konotatif, bukan sekadar referensial yang mengacu pada satu hal tertentu.

Dalam hal ini, puisi “Mikraj” perlu dipahami tidak hanya secara tektsual, namun perlu dipahami dengan melibatkan banyak kode di luar bahasa terutama dengan latar belakang pengarangnya. Bahrum Rangkuti sebagai pengarang yang tetap konsisten terhadap puisi-puisi sufi di angkatan 45, begitu menonjol melalui puisi “Mikraj”. Puisi “Mikraj” sebagai puisi sufistik yang lahir dari Bahrum

(6)

terinspirasi dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW. Sebuah peristiwa yang fenomenal di kalangan umat Islam. Peristiwa inilah yang menjadi dambaan ahli mistik untuk menyempurnakan keimanannya kepada Allah. Dalam hal ini, Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW telah sampai ke tempat yang paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya (Rifai, 2002: 5). Dambaan tersebut terwujud melalui perjalanan spiritual para sufi yang dapat ditemukan melalui puisi-puisi sufistik. Dalam hal ini puisi “Mikraj” menjadi sarana bagi Bahrum Rangkuti untuk menuangkan perjalanan spiritual para sufi dalam bentuk puisi. Perjalanan spiritual inilah yang menjadi tema sentral dalam puisi-puisi sufistik.

Menurut Hadi (2004: 111) bahwa pada umumnya sastra sufistik atau puisi sufistik mengungkapkan tahapan-tahapan (maqamat) dan keadaan-keadaan jiwa atau rohani (ahwal) yang dialami oleh para sufi dalam menempuh ilmu suluk. Keadaan-keadaan rohani yang dicapai sering dilukiskan melalui berbagai tamsil. Kemabukan mistik ditamsilkan sebagai anggur; perjalanan naik dari tahap awal ke tahap selanjutnya dalam tasawuf ditamsilkan sebagai perjalanan mendaki ke puncak bukit untuk menemui Kekasih.

Puisi “Mikraj” yang diciptakan oleh penyair yang terpengaruh dengan puisi-puisi sufistik oleh Muhammad Iqbal menjadi menarik untuk diteliti karena memuat makna tertentu. Makna tertentu tersebut berkaitan dengan pandangan ketuhanan para tokoh sufi sebagaimana yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Begitu juga dengan ungkapan Abdul Hadi mengenai pembicaraan

(7)

tentang puisi sufistik yang mengarah kepada maqam dan hal yang dialami oleh para sufi dalam perjalanan spiritualnya. Akan tetapi, sebagai karya sastra dalam bentuk puisi, makna tersebut tidak langsung ditemukan. Makna tersebut disampaikan melalui ketidaklangsungan ekspresi puisi. Ketidaklangsungan ekspresi tersebut menghambat pemahaman sehingga menuntut peneliti untuk lebih jauh memaknainya tidak hanya melalui ungkapan lahir atau artinya saja, tetapi juga memaknainya melalui makna batin yang dikiaskan atau disimbolkan oleh arti yang secara tekstual tersebut. Dalam hal ini peneliti mengutip pendapat Kuntowijoyo (1984: 154-155) yang mengatakan bahwa sebuah sastra transendental, dalam hal ini puisi, yang terpenting adalah makna, bukan semata-mata bentuk; abstrak, bukan konkret, spiritual, bukan empiris; dan yang di dalam, bukan yang di permukaan. Jika kita mengutamakan bentuk, dan mengabaikan makna, kita akan terperangkap kepada permainan dan rekaan yang kurang bermakna. Kita hanya akan menjadi pemuja bentuk, dan lupa pada pesan moral dan spiritual yang merupakan kewajiban pengarang untuk menyampaikannya ke tengah dunia yang semakin kehilangan makna.

Dengan demikian, peneliti merasa penting untuk melakukan pemaknaan terhadap puisi “Mikraj”. Dalam memaknai puisi “Mikraj”, peneliti menggunakan teori semiotika Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry. Dalam penelitian ini istilah makna menggunakan istilah Riffaterre yakni significance (signifikansi). Signifikansi puisi berarti sesuatu yang penting dibicarakan oleh puisi yang tersampaikan secara implisit yang akan muncul secara eksplisit melalui pembacaan retroaktif (Riffaterre, 1978:167). Dalam hal ini, Riffaterre

(8)

menganggap puisi sebagai salah satu aktivitas bahasa. Hanya saja, karena puisi berbicara mengenai sesuatu dengan maksud lain, berbicara secara tidak langsung, bahasa yang digunakan di dalamnya pun berbeda dari bahasa linguistik. Oleh karena itu, puisi “Mikraj“, tidak hanya dipahami melalui pembacaan heuristik yang hanya mengacu kepada arti literalnya, namun perlu juga dipahami melalui pembacaan retroaktif atau hermeneutik sehingga membantu pembaca dapat menemukan signifikansi yang terkandung di dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah

Puisi “Mikraj“ karya Bahrum Rangkuti mengandung signifikansi tertentu. Akan tetapi, signifikansi tersebut tersampaikan secara tidak langsung melalui berbagai tanda atau ketidaklangsungan ekspresi puisi yang menghambat pemahaman pembaca. Dengan demikian, permasalahan yang kemudian muncul jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan adalah apa signifikansi puisi “Mikraj“ karya Bahrum Rangkuti?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Adapun tujuan teoretis dalam penelitian ini ialah untuk menemukan signifikansi puisi “Mikraj” Karya Bahrum Rangkuti.

Adapun tujuan praktisnya ialah untuk memudahkan pemahaman masyarakat dalam memahami pesan spiritual yang tertuang dalam puisi “Mikraj”

(9)

karya Bahrum Rangkuti dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu sastra, sehingga dapat mempeluas khasanah ilmu kesusastraan Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran peneliti, penelitian terhadap objek material yakni puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti pernah diteliti oleh tim peneliti Puji Santosa, Mardiyanto, dan Suryami, dengan judul Puisi-Puisi Kenabian dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern. Dalam laporan penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sajak Bahrum Rangkuti yang berjudul “Mikraj” mengacu pada kisah dalam Hikayat Nabi Muhammad Mi‟raj, yaitu kisah tentang perjalanan Nabi Muhammad naik ke langit sampai tujuh, kepadanya diperlihatkan bermacam-macam siksa yang dialami oleh orang-orang yang berada di neraka. Selain itu, diperlihatkan juga macam-macam kenikmatan yang dialami oleh orang di surga, bertemu dengan para malaikat dan para nabi yang terdahulu (Santosa, dkk. 2007: 130).

Berkaitan dengan penelitian terhadap puisi sufistik, telah dilakukan oleh Abdul Wahid Bambang Suharto dalam bentuk tesis dengan judul “Konsep Cinta dalam Gandrung Karya A. Mustofa Bisri: Interpretasi Hermeneutik”. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa puisi A. Mustofa Bisri memberikan tangga-tangga ruhani yang meninggi menuju Allah, saling berhubungan, dan saling melahirkan situasi ruhani sampai ke tingkatan tawakkal, melalui tahlil ke tasbih ke tahmid ke takbir ke istighfar ke syukur ke khauf ke raja‟ dan ke tawakkal sehingga menuju fanaa‟ (kefanaan) dan baqaa‟ (keabadian). Dengan begitu, puisi

(10)

A. Mustofa Bisri menempatkan tasawuf sebagai jalan yang meninggi, yang dijiwai oleh syahadat. Karena itu puisinya diilhami oleh ayat-ayat al-Quran dalam tafsir tasawuf, di samping hadis qudsi sehingga bermakna keruhanian sekaligus berdimensi moral sosial (Suharto, 2007).

Selanjutnya penelitian yang menggunakan teori semiotika Riffaterre dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, tesis dengan judul “Keadilan dalam Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) Karya Taufik Ismail: Pemaknaan Semiotik Riffaterre”. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa lewat pembacaan terhadap sajak “KBMSM” sebagai sajak sentral, ditemukan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan keadilan. Berdasarkan kiasan-kiasan yang secara mimesis menandai penyimpangan-penyimpaangan bahasa dan ketidakgaramtikalan ditemukan berbagai hal berkaitan dengan keadilan. Hal itu membangun hubungan kausalitas yang menunjukkan adanya hal-hal yang berkaitan dengan keadilan (Djihadah, 2009).

Kedua, tesis dengan judul “Religiusitas dalam Antologi Puisi Cinta Ladang Sajadah Karya D. Zawawi Imron: Pemaknaan Semiotika Riffaterre”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antologi puisi Cinta Ladang Sajadah menggunakan berbagai unsur ketidaklangsungan ekspresi, baik yang berupa penggantian arti, pemencongan arti, maupun penciptaan arti. Pemaknaan terhadap lima sajak sampel memperoleh kesimpulan bahwa sajak-sajak tersebut kental dengan makna religiusitas yang berhipogram dengan ajaran agama Islam. Selain itu, semua makna religiusitas, yaitu religiusitas yang mengacu pada ajaran agama

(11)

Islam, baik menyangkut masalah akidah, syariah, maupun akhlak, terdapat dalam antologi puisi Cinta Ladang Sajadah. Aspek akidah meliputi seluruh aspek yang terdapat dalam rukun Iman. Aspek syariah mencakup bidang muamalah tentang sikap seorang pemimpin dan bidang ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam. Unsur ibadah yang tidak ditemukan hanyalah masalah ibadah puasa. Apek akhlak meliputi tata cara berhubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan alam (Dhiana, 2009).

Ketiga, Tesis dengan judul “Saman Karya Ayu Utami: Kajian Semiotika Riffaterre“. Hasil penelitian terhadap teks Saman menunjukkan bahwa siginfikansi teks ditemukan setelah melalui tahap pembacaan heuristik, pembacaan hermenutik, dan identifikasi matriks serta model berdasarkan dari pengamatan hipogram potensial dan aktual. Dalam pembacaan heuristik, dapat diketahui bahwa teks Saman terbagi menjadi tiga bagian cerita, yaitu kisah perjalanan hidup Saman, kisah percintaan Laila, dan kisah mengenai persahabatan Laila dengan teman-temannya. Ketiga cerita tersebut masing-masing dapat berdiri sendiri, hanya tokoh-tokohnya saja yang saling berkaitan. Dari hasil pembacaan hermeneutik yang diikuti dengan identifikasi matriks dan model dapat diketahui bahwa signifikansi teks Saman adalah perlawanan dan pelanggaran tokoh-tokoh yang ada dalam teks Saman terhadap kodifikasi kultural yang sudah mapan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan sistem kehidupan sosial dalam masyarakat yang selama itu tidak dapat berjalan lancar. Hal ini merupakan akibat dari sistem pemerintahan yang otoriter

(12)

dan represif. Dengan perlawanan-perlawanan tersebut, diharapkan akan tercipta sebuah dunia baru (Wasana, 2001).

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan berbagai penelitian di atas. Adapun persamaan dengan penelitian Santoso dkk, terletak pada objek materialnya yakni puisi “Mikraj”, namun berbeda pada objek formal dan teori yang digunakan. Begitu juga dengan hasil penelitian tersebut belum menjawab fokus permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian Abdul Wahid yang dikemukakan di atas, dapat dijadikan rujukan dalam penelitian ini karena penelitian tersebut memuat beberapa puisi-puisi sufistik Mustofa Bisri. Selanjutnya pada penelitian yang menggunakan teori semiotika Riffaterre pada tesis pertama sampai ketiga memiliki persamaan pada penggunaan teori, namun berbeda pada objek materialnya. Peneliti masih menggunakan teori Riffaterre, karena ingin mengemukakan signifikansi puisi “Mikraj‟ dengan metode yang dikemukakan Riffaterre yakni metode pembacaan heuristik dan retroaktif. Menurut peneliti, metode tersebut sangat tepat dan mudah dalam mengungkapkan signifikansi puisi “Mikraj”, sehingga tujuan penelitian ini dapat tercapai.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian yang menggunakan objek material berupa puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti belum pernah dilakukan sehingga belum ada pemecahan mengenai masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini khusunya dalam kerangka teori semiotika Riffaterre. Oleh karena itu, penelitian terhadap puisi “Mikraj“ karya Bahrum Rangkuti perlu dilakukan.

(13)

1.5 Landasan Teori

Penekanan teori semiotika dalam kaitannya dengan karya sastra adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda dan bahasalah media sastra. Keseluruhan teks dari suatu karya sastra merupakan tanda-tanda yang perlu dimaknai untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap teks tersebut.

Michael Riffaterre (1978: 1) dalam bukunya yang berjudul Semiotic Of Poetry menguraikan bahwa bahasa puisi berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya dan mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dan memaksudkan hal lain (a poem says one thing and means another). Oleh karena itu, Riffaterre berpandangan bahwa perbedaan yang kita tangkap secara empiris antara puisi dan nonpuisi adalah dijelaskan sepenuhnya oleh cara suatu teks puitik membawa makna.

Ada tiga cara yang yang diambil puisi untuk melaksanakan ketidaklangsungan pembawaan makna tersebut, yaitu pergeseran arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distortingof meaing), dan penciptaan arti (creating of meaing). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Inderection is produced by displacing, distorting, or creating meaning. Displacing, when the sign shift from one meaing to another, when the one word „Stands for” another, as happens with metaphore and metonimy. Distorting, when there is ambiguity, contradiction, or nonsense. Creating, when the textual space serve as a principle of organization for making signs out of linguistics items that may not be meaningful otherwise (for instance, syimmetry, rhyme, or semantic equivalence between positional homologues in a stanza).

(14)

Pergeseran arti (displacing) bila tanda bergeser dari satu arti ke arti lain, bila satu kata mengacu pada kata lain sebagaimana terjadi pada metafora dan metonimia. Penyimpangan arti (distorting) jika terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Penciptaan arti (creating) ketika ruang tekstual bertindak sebagai sebuah prinsip organisasi untuk menghasilkan tanda-tanda dari item-item linguistik yang pada mulanya mungkin tidak bermakna sama sekali misalnya simetri, homolog, dan tipografi. Berbagai ketidaklangsungan ekspresi ini disebut Riffaterre sebagai ungramatikalitas. Ungramatikalitas inilah yang dapat mengancam fungsi mimesis bahasa karya sastra dan menghambat pemahaman terhadap puisi. Oleh karena itu, Riffaterre mengemukakan bahwa pemaknaan terhadap puisi tidak hanya melibatkan kompetensi linguistik pembaca, tetapi juga harus melibatkan kompetensi kesusastraan pembaca.

Dalam melibatkan kedua kompetensi tersebut, Riffaterre mengemukakan dua tahap pembacaan yakni pembacaan heuristik dan retroaktif. Pembacaan heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang harus dilewati oleh setiap pembaca puisi. Tahap pembacaan yang bergerak dari awal ke akhir teks, dari atas ke bawah halaman, dan mengikuti pembentangan sintagmatik. Masukan bagi pembacaan tahap ini adalah kompetensi linguistik pembaca yang meliputi asumsi bahwa bahasa bersifat referensial (setiap kata memiliki acuannya); meliputi juga kemampuan pembaca untuk menangkap ketidaksesuaian antarkata yang berupa deviasi gramatikal (menangkap ketidakgramatikalan), kemampuan menangkap bahwa sebuah kata atau frasa tidak dapat dipahami hanya secara literal dan hanya bisa dipahami jika dilakukan sebuah transformasi semantik; misalnya dengan

(15)

membaca sebuah kata atau frasa sebagai sebuah metafora atau metonimia. Masukan pembaca pada tahap ini terjadi hanya karena teks bersifat ungramatikal. Dengan kata lain, kompetensi linguistik pembaca memungkinkan pembaca untuk mempersepsi ungramatikalitas-ungramatikalitas yang ada dalam teks puisi yang diteliti (Riffaterre, 1978:5).

Pada tahap pembacaan heuristik ini, pembaca masih mengalami berbagai hambatan dalam proses pemaknaan sehingga hambatan tersebut harus dilampaui dengan melanjutkan pembacaan pada tahap kedua. Pembacaan tahap kedua disebut Riffaterre sebagai pembacaan retroaktif. Pada tahap pembacaan retroaktif ini, pembaca melibatkan kompetensi kesusastraan yakni familiaritas pembaca dengan sistem deskriptif, tema-tema, mitologi-mitologi masyarakat, dan terutama sekali dengan teks-teks lain. Dimanapun ada gap-gap yang kosong seperti deskpripsi-deskripsi tak komplit, atau alusi-alusi, atau kutipan-kutipan, kompetensi kesusastraan pembaca inilah yang akan merespon secara tepat dan melengkapi atau mengisinya secara model hipogram. Pada tahap ini, pembaca menyimak teks, mengingat apa yang telah dibacanya melalui tahap pertama, dan memodifikasi pemahaman tersebut berdasarkan apa yang dipahami dalam tahap pembacaan kedua. Pembaca melangkah dari awal ke akhir teks, melakukan peninjauan, revisi, dan komparasi sampai menemukan invariant atau matriks yang juga mengarahkan kepada signifikansi puisi.

Hal ini sesuai konsep Riffaterre sebagai berikut.

The second stage is that of retroactive reading. This is the time for a second interpretation, for the truly hermeneutic reading. In theis progresses trought the text, the reader remembers what he has just read and modifies his understanding of it in the light of what he is now

(16)

decoding. As he works forward from start to finish, he is reviewing, revising, comparing backwards (1978: 5-6).

Pada tahap pembacaan ini, pembaca menerapkan dekoding struktural karena teks sebenarnya merupakan variasi dari sebuah struktur dan relasi varian-variannya kemudian membentuk kesatuan makna (signifikansi). Efek maksimal pembacaan retroaktif sebagai generator sistem pemaknaan hadir pada bagian akhir teks. Artinya, teks harus dilihat keutuhannya yang menyeluruh, bukan bagian per bagian. Dari sini semakin jelas perbedaannya bahwa teks sebagai suatu kesatuan struktur “unit signifikansi” (unit of siginificance), sedangkan satuan linguistik berupa kata-kata, frasa, serta kalimat yang menyusun teks itu merupakan “unit-unit arti”(“unit-unit of meaning) (Riffaterre, 1978: 5-6).

Dalam pembacaan retroaktif, memerlukan konsep interpretan yaitu sebuah tanda yang menerjemahkan tanda-tanda permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang ditunjukkan oleh teks. Sebagaimana menurut Riffaterre berikut.

Any equivalence established by the poem and perceived by retroactive reading may be regarded as interpretant (Riffaterre, 1978: 81).

Berbagai ekuivalensi yang ditetapkan oleh puisi dan dipersepsi melalui pembacaan retroaktif dapat dipandang sebagai intepretan. Terhadap pernyataannya itu, Riffaterre mengacu pada apa yang dicontohkan oleh Eco mengenai interpretant, yaitu sebuah paradigma sinonimi yang dapat berupa bentuk tanda yang sejajar dalam sistem semiotik yang lain; sebuah definisi dalam istilah sistem semiotik yang sama; sebuah indeks; atau konotasi yang sudah mapan, misalnya anjing yang menandai „kesetiaan‟ (1978:182).

Interpretan dapat berupa sebuah tanda tekstual. Daripada disimbolkan oleh kata yang mengacu pada teks yang harus ditemukan oleh pembaca sebagai

(17)

petunjuk hermeneutiknya, interpertant merupakan sebuah fragmen pada teks yang secara aktual dikutip dalam puisi yang dimaksudkan untuk ditafsirkan. Mungkin saja tidak ada simbol tipografis yang membedakannya dari isinya; kutipan mungkin tidak lengkap dan meminta pembaca agar berupaya melengkapinya dengan ingatan dan terkaan. Seperti lazimnya, wacana puisi secara samar merintangi pemahaman dan tidak mendorong pembacaan cepat; kita dipaksa untuk mengenali bahwa dalam membaca puisi ada periode permulaan dan penundaan untuk menyadari tentang hal sebenarnya yang diberikan oleh teks.

Riffaterre mengemukakan bahwa interpretan tekstual membimbing pembaca dengan dua cara. Pertama, membantu pembaca untuk fokus pada intertekstualitas, terutama pada bagaimana puisi mencontohkan bentuk konflik intertekstual. Bahkan, hipogram yang menurunkan (derived) puisi itu juga dikutip dalam puisi, sebagai interpretant, dalam bentuk fragmennya. Fragmen ini, hadir secara fisik dan dapat dilihat pada permukaan (tetapi dirasakan sebagai bagian asing dengan sebuah pra-eksistensi tekstual yang bebas di tempat lain), berpasangan dalam oposisi biner dengan derivasi yang dipicunya. Kedua, interpretant berfungsi sebagai model bagi derivasi hipogramatik (Riffaterre, 1978:109-110).

Menurut Riffattere, interpretant dibagi dua, yaitu leksematik dan tekstual. Interpretant leksematik ialah interpretant yang menjembatani (mediating) kata-kata yang disebut sebagai dual sign karena mampu menghadirkan dua teks dalam puisi (atau satu teks yang harus dipahami dengan dua cara berbeda) atau lainnya yang mengandaikan adanya dua hipogram secara simultan. Selanjutnya,

(18)

interpretant tekstual ialah interpretant yang menjembatani teks yang dikutip dalam puisi atau disinggung di dalamnya; interpretant tekstual dengan sendirinya berisi model kesejajaran atau persamaan (equivalence) dan pergeseran dari kode yang satu ke kode yang lain, dan memaksakan kaidah idiolek puisi dengan kekuasaan tata bahasa normatif, berupa tradisi atau konvensi, yang menjamin praktik semiotik yang khas pada sebuah sajak (Riffaterre, 1978:81).

Interpretan leksematik disebut juga “tanda ganda” (dual sign) karena bisa menimbulkan dua kemungkinan. Jika tidak mengahadirkan dua teks secara serentak dalam karya sastra (atau satu teks yang harus dipahami dengan dua cara yang berbeda, semacam pembacaan sinkronis dan diakronis, atau bahkan pankronis), maka kemungkinan yang lain adalah dua hipogram diandaikan hadir secara serentak dalam teks yang tengah dibaca. Sementara itu, yang dimaksud interpretan tekstual adalah teks-teks perantara (mediating texts), atau katakanlah teks-teks lain, yang dikutip maupun disinggung secara sepintas di dalam teks. Teks perantara tersebut mengandung suatu model-model ekuivalensi dan transferal dari satu kode ke kode lainnya serta menetapkan kaidah ideolek karya sastra yang setara dengan otoritas tata bahasa normatif. Tradisi teks maupun sastra, selain konvensi-konvensi yang meliputinya, memiliki peran dalam menjamin praktik semiotik yang khas terhadap karya sastra.

Tanda ganda adalah kata bermakna samar yang ditempatkan pada titik singgung antara dua jalur semantik atau asosiasi formal. Hubungan antarkata tergambar bersamaan dengan rangkaian asosiasi sepanjang tuturan paralel oleh kalimat-kalimat. Tuturan-tuturan paralel itu bisa bertemu hanya jika makna ganda

(19)

mendapatkan tempat yang baik di dalam salah satu jalur dengan kemungkinan berpindah ke jalur yang lain tanpa kesulitan. Dual sign is an equivocal word situated at the point where two sequences of semantic or formal association intersect (1978:86).

Tanda ganda merupakan sebuah kata yang memiliki arti ambigu (equivocal) yang disituasikan sebagai titik ketika dua urutan semantik atau asosiasi formal saling memotong. Riffaterre memberikan contoh tanda ganda pada kata oublies dalam sebuah sajak prosa karya Chateaubriand. Kata tersebut merupakan tanda ganda karena pada level mimetik yang bersifat sintagmatik berarti „waffers‟/ „waffles‟, tetapi pada level semiotik yang bersifat paradigmatik bermakna „oblivion‟/„vanished memory‟. Keduanya seakan-akan homonim dan homofon penuh. Oleh karena itu, Riffaterre menyebutkan bahwa Chateaubriand berbicara tentang waffles, tetapi dalam sebuah bahasa yang terdengar sebagai nada kematian. Tanda ganda dapat diuraikan (decoding) hanya melalui metode pembacaan retroaktif. Riffaterre menyatakan bahwa melalui tanda ganda ini dapat dihasilkan suatu teks dan hipogramnya.

Dengan demikian, sebuah tanda di dalam karya sastra memiliki kemungkinan untuk mengacu kepada tanda-tanda yang lain; satu tanda memiliki dua acuan atau lebih. Dual sign tidak hanya berupa kata-kata yang terdapat di dalam sebuah teks, tetapi juga bisa berupa judul. Judul dapat memberikan informasi awal atau gambaran kepada pembacanya tentang apa yang terdapat di dalam teks yang akan dibacanya. Pada saat yang sama, judul bisa saja mengacu kepada teks-teks di luarnya (Riffaterre, 1978:99). Makna yang terkandung di

(20)

dalam dual sign dapat diungkap setelah pembaca menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya (Riffaterre, 1978:82). Sebuah tanda yang berkedudukan sebagai dual sign seperti sebuah pendulum semantik sehingga pembacaannya pun tidak pernah stabil (Riffaterre, 1978:90).

Oleh karena itu, pembacaan retroaktif berfungsi untuk memproduksi tanda dan teks. Dalam memproduksi tanda, maka dibutuhkan yang namanya hipogram baik hipogram potensial maupun aktual. Produksi tanda puitik ditentukan oleh turunan hipogramatik: sebuah kata atau frasa terpuitikkan ketika dihubungkan pada sebuah kelompok kata yang telah ada lebih dulu (preeksisten). Hipogram sudah merupakan sebuah sistem tanda-tanda yang meliputi setidak-tidaknya sebuah pernyataan, dan mungkin seluas teks. Hipogram berupa potensial dan aktual. Hipogram potensial merupakan segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan yang berupa prasuposisi, sistem deskriptif, seme, konotasi, yang sudah dianggap umum. Implikasi tersebut tidak terdapat dalam kamus, melainkan telah ada dalam pikiran penutur bahasa pada umumnya. Hipogram aktual merupakan teks aktual yang dapat dilihat dalam teks sebelumnya. Agar puitisitas aktif di dalam teks, tanda yang dihubungkan ke sebuah hipogram haruslah juga varian dari matriks teks (Riffaterre, 1978: 23).

The hypogram is already a system of signs comprising at least a predication, and it may be as large as a text. The hypogram may be potential, therefore observable in language, or actual, therefore observable in a previous text (Riffaterre, 1978: 23).

Apabila hipogram merupakan teks yang aktual, dalam hal ini adalah teks terdahulu, kompetensi kebahasaan pembaca mungkin tidak cukup. Ketika pembaca mengenali hipogram dan menguraikan teks berdasarkan hipogramnya,

(21)

interpretasinya tidak hanya berisi penguraian, tetapi juga kesadaran terhadap tradisi. Kesadaran ini mengarahkan pembaca kepada evaluasi estetikanya (Riffaterre, 1978:144). Hipogram dapat dihasilkan dari ungkapan-ungkapan klise, kutipan dari teks-teks lain, atau sebuah sistem deskriptif (Riffaterre, 1978:63). Hipogram merupakan dead landscape yang mengacu kepada realitas yang lain (Riffaterre, 1978:12) dan keberadaannya harus disimpulkan sendiri oleh pembaca (Riffaterre, 1978:94).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teks-teks lain yang dapat didekatkan dengan teks yang kita baca bersifat luas sekaligus terbatas. Maksudnya, teks-teks tersebut bisa saja berupa teks-teks yang bersifat universal, tidak hanya teks-teks tertulis. Tetapi, keuniversalan teks-teks tersebut terbatas pada teks-teks yang berupa sebuah sistem spesifik dan bersifat verbal; tidak semua peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai teks. Ketika pembaca berhasil menemukan interteks, intertekstualitas akan terlihat secara eksplisit (Riffaterre, 1978:137). Maksudnya, ketika pembaca berhasil menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya, kemudian menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan keduanya sehingga dapat mengetahui hubungannya, pembaca akan merasa lebih mudah dalam mengungkap signifikansi teks.

Dalam memproduksi teks, maka dibutuhkan yang namanya ekpansi dan konversi. Riffaterre (1978: 47) mengungkapkan bahwa ekspansi adalah agen utama dalam pembentukan tanda-tanda tekstual. Oleh karenanya ekspansi adalah generator utama signifikansi, karena satu konstanta dapat dideteksi hanya dimana

(22)

teks merentang memasuki varian-varian suksesif konstanta awalnya, yang lebih kompleks muncul dari yang lebih simpel.

I should say that it is the chief agent in the formation of textual signs and texts, and is therefore the principal generator of significance, since a constant can be spotted only where the text spreads out into successive variants of its initial given, the more complex issuing from the simpler (Riffaterre, 1978: 47).

Mekanisme ekspansi terjadi bila konstituen-konstituen matriks ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih kompleks (Rule: Expansion transforms the constituents of the matrix sentence into more complex forms) (Riffaterre, 1978: 48). Sebaliknya mekanisme konversi terjadi bila konstituen-konstituen matriks ditransformasikan dengan cara memodifikasinya dengan faktor-faktor yang sama (Rule: Conversion transforms the constituents of the matrix sentence by modifyng them all with the same factor) (Riffaterre, 1978: 63). Akhirnya, produksi teks baik ekspansi maupun konversi berfungsi juga pada proses produksi tanda melalui analisis terhadap hipogram baik aktual maupun potensial.

Pada proses pembacaan tahap kedua juga dikenali adanya matriks, model, dan varian-varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harfiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harfiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur oleh

(23)

aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19).

Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“The poem result from the transformation of the matrix, a minimal literal sentence, into a longer, complex, and non literal peripharasis. The matrix is hypothetical, being only the grammatical and lexical actualization of strukcture. The matrix may be epitomized in one word, in which case the word will not appear in the text. Its always actualized in successive variants, the form of these variants is governed by the first or primary actualization, the model. Matrix, model, and the text are variants of the same structure (Riffaterre, 1978: 19).

Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks,

sedangkan model menentukan tata-cara pemerolehannya atau

pengembangannya (Riffaterre, 1978:21).

The matrix alone would not suffice to explain textual derivation, nor would the model taken separately, since only the two in combination create the special language whrerein everything the believer does that is pertinent to what defines him as a believer is expressed in love code. Hence the text as a whole is indeed a variant of the verb for the activity typical of the faithful (to give thanks). The text in its complexity does no more than modulate the matrix. The matrix is thus the motor, the generator of the textual derivation, while the model determines the manner of that derivation (Riffaterre, 1978: 21).

Riffaterre (1978: 13) mengibaratkan signifikansi teks terbentuk seperti donat. Lubang di bagian tengah memiliki peran sebagai penopang keseluruhan daging donat. Lubang ini adalah bagian kosong, tidak hadir namun menentukan identifikasi apakah sebuah kue patut disebut sebagai donat ataukah bukan. Lubang itulah yang dianalogikan dengan matriks, baik matriks dari sebagai hipogram maupun matriks yang mengatur hipogram, sedangkan daging donat adalah

(24)

keseluruhan makna teks (The significance is shaped like a doughnut, the hole being either the matrix of the hypogram or the hypogram as matrix). Dengan ditemukannya sebuah matriks, maka pembaca akan menemukan juga signifikansi puisi secara utuh.

Riffaterre (1978: 150) mengemukakan bahwa intepretasi yang tepat dan komplit mengenai puisi dimungkinkan hanya oleh interteks. Puisi membawa makna hanya dengan mereferensi dari teks ke teks (The poem carries meaning only byreferring from text to text). Riffaterre (1978: 164) menyimpulkan bahwa proses intepretasi berlangsung dalam pikiran pembaca. Pembaca merupakan agen utama untuk mengadakan hubungan antara teks, intepretan, dan interteks. Namun, pikiran pembaca tetap berada dikontrol oleh kesatuan semantik dan gambaran formal yang merupakan hasil transformasi matriksnya. Hal tersebut karena pembaca berhadapan dengan teks, sehingga pembaca diarahkan oleh teks yang secara aktual dihadapi dalam puisi.

Akhirnya, Riffaterre (1978: 165) mengemukakan bahwa pembacaan terhadap puisi tidak pernah stabil dan interpretasi tidak pernah bersifat final. Dalam hal ini, pemaknaan terhadap puisi memiliki hasil signifikansi yang berbeda-beda berdasarkan pengalaman pembaca, sehingga Riffaterre mengungkapkan bahwa dengan sifat puisi yang multitafsir inilah yang membuat puisi selalu dapat dibaca berulang-ulang dan menarik (Riffaterre, 1978: 165).

(25)

1.6 Metode Penelitian

Berkaitan dengan metode penelitian, Faruk (2012: 24-25) menyebutkan terdapat dua metode dalam penelitian yakni metode pengumpulan data yang berarti seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empirik terkait masalah penelitian; serta metode analisis data yakni seperangkat cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dengan data lain yang bermuara pada suatu pengetahuan ilmiah.

1.6.1 Objek Penelitian

Sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang sudah dibuat, harus ditentukan lebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini yang pertama-tama harus dilakukan adalah menentukan objek material dan objek formal (Poedjawijatna, dalam Faruk, 2012: 23). Objek material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 23).

Adapun objek material dalam penelitian ini ialah puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti dalam Gema Tanah Air Cetakan ke-5 (1969) susunan H.B Jassin, sedangkan objek formal dari penelitian puisi “Mikraj” dengan kerangka teori Michael Riffaterre adalah “signifikansi” puisi.

(26)

1.6.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka (Muhadjir, 1996: 29). Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah tanda-tanda yang berupa kata, frasa, klausa dan kalimat dalam puisi “Mikraj”. Data ini diperoleh melalui sumber data primer yakni puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti. Data inilah yang mengarahkan kepada penemuan tentang signifikansi puisi. Namun, data ini belum cukup untuk menemukan signifikansi tersebut, sehingga perlu yang namanya data sekunder.

Data sekunder merupakan data pendukung yakni data yang ada di luar teks puisi Mikraj yang diperoleh dari sumber data sekunder yakni buku, artikel, web internet, dan laporan-laporan penelitian seperti disertasi, tesis, skripsi, dan laporan ilmiah lainnya yang ada kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini. Data sekunder digunakan untuk memudahkan interpretasi peneliti dalam menemukan signifikansi puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data

Setelah menentukan objek material dan objek formal serta data dan sumber data penelitian, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data-data penelitian. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan. Dalam studi pustaka tersebut, terdapat beberapa langkah kerja yang dilakukan. Pertama, menentukan objek penelitian baik objek material dan objek

(27)

formal. Kedua, membaca secara cermat data primer yakni frasa, kata, klausa, dan kalimat yang tersebar dalam seluruh baris puisi. Ketiga, mencari data-data sekunder melalui buku, artikel, web internet, dan laporan-laporan penelitian seperti disertasi, tesis, skripsi, dan laporan ilmiah lainnya yang ada kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini. Keempat, membaca secara cermat data-data sekunder yang terdapat dalam buku, artikel, web internet, dan laporan-laporan penelitian seperti disertasi, tesis, skripsi, dan laporan ilmiah lainnya. Kelima, pemberian nomor pada data primer yang tersebar dalam setiap baris puisi “Mikraj”. Penomoran data bertujuan untuk mempermudah dalam proses analisis data.

1.6.3 Metode Analisis Data

Data yang sudah diperoleh, akan dihubungkan satu sama lain dalam sebuah proses yakni analisis data. Data-data yang diperoleh berupa data deskripsi verbal sehingga dilakukan analisis melalui metode pembacaan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan metode analisis Semiotika Michael Riffaterre (1978: 5) yang meliputi pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif.

Pembacaan heuristik melibatkan kompetensi linguistik pembaca dalam menganalisis data primer yakni setiap kata, frasa, klausa, dan kalimat yang yang tersebar dalam seluruh baris puisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1989), menyoroti unsur-unsur yang bersifat ungramatikalitas, terpecah-pecah, heterogenitas makna, serta ambiguitas. Ungramatikalitas tersebut

(28)

yang dapat menghambat pemahaman peneliti, sehingga untuk mengatasi hambatan tersebut, maka peneliti melanjutkan pembacaan pada level kedua yakni pembacaan retroaktif.

Pembacaan retroaktif melibatkan kompetensi kesusastraan pembaca dalam menganalisis data dengan melakukan dekoding dan modifikasi ulang atas apa yang terserap pada pembacaan pertama. Pembaca melakukan pembacaan teks secara bolak-balik, dari awal hingga akhir, dengan memodifikasi pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang telah dibacanya (Riffaterre, 1978: 4-6). Tahap pembacaan ini merupakan interpretasi tahap kedua yang bersifat hermeneutik yang melibatkan banyak kode di luar bahasa sehingga pembaca dapat mengungkapkan makna (significance) teks sebagai sistem tanda (Riffaterre, 1978: 2). Pada pembacaan ini dikembalikan kepada pikiran pembaca dan proses komunikasi antara pembaca dan teks. Pikiran pembaca tetap diarahkan oleh data-data primer berupa meaning atau makna kebahasaan serta data sekunder dalam proses interpretasi sehingga pembaca tetap terkontrol oleh data tekstual dalam memahami signifikansi yang tidak tampak secara tekstual. Pada pembacaan ini, ada beberapa langkah yang dilalui yakni (1) menganalisis hipogram baik potensial maupun aktual dengan menemukan implikasi dari makna kebahasaan yang meliputi prasuposisi, seme, klise, sistem deskriptif, menguraikan tradisi, tema-tema, mitologi-mitologi masyarakat yang mengarah kepada genre puisi sufistik, serta teks-teks lain berupa puisi sufistik terdahulu dan tafsir Al-Quran dan Hadis yang terimplikasi dari puisi “Mikraj”; menentukan hubungan oposisi yang

(29)

muncul dari interpretasi peneliti; (2) pencarian matriks puisi melalui aktualisasi model dan varian-varian.

Akhirnya, untuk menghubungkan data-data dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara struktural, yaitu arti yang bersifat tekstual dan ungramatikalitas dihubungkan satu sama lain dalam pembacaan retroaktif. Dari pembacaan retroaktif inilah, signifikansi puisi dapat diungkapkan secara eksplisit. Sebagaimana menurut Riffaterre bahwa fungsi pembacaan retroaktif ialah sebagai pencetus signifikansi (Riffaterre, 1978: 5-6, 13).

Langkah kerja analisis yang akan dilakukan dapat disederhanakan melalui bagan berikut.

Pembacaan heuristik

Pembacaan Retroaktif Makna kebahasaan

Hipogram Potensial dan Hipogram aktual

Ungramatikalitas

Matriks, model, dan varian-varian

Signifikansi Puisi “Mikraj” Karya Bahrum

Rangkuti

(30)

1.6.4 Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini secara keseluruhan mempunyai beberapa tahapan sampai pada kesimpulan. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Menentukan objek material berupa puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti.

2) Membaca puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti secara cermat.

3) Menentukan masalah atau objek formal penelitian, yakni signifikansi puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti

4) Menentukan teori dalam menganalisis objek formal yang telah ditentukan, yakni teori semiotika Riffaterre.

5) Melakukan pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder 6) Melakukan analisis data melalui pembacaan heuristik dan retroaktif 7) Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh

8) Menyajikan ke dalam laporan penelitian berdasarkan sistematika penyajian laporan penelitian yang telah ditentukan.

Tahapan-tahapan tersebut adalah tahap-tahap yang dilakukan secara keseluruhan dalam penelitian ini. Tahapan penelitian di atas adalah tahap-tahap yang dilakukan peneliti dari awal hingga akhir penulisan.

(31)

1.7 Sistematika Penyajian

Tesis ini terdiri dari empat bab. Adapun keempat bab tersebut disajikan dengan sisitematika sebagai berikut.

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II membahas signifikansi puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti melalui pembacaan heuristik dan retroaktif. Dalam pembacaan heuristik menguraikan makna kebahasaan dan ungramatikalitas puisi, sedangkan dalam pembacaan retroaktif menguraikan hipogram potensial dan aktual, matriks, model, dan varian-varian puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti.

Bab IV Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi ringkasan hasil akhir dari penelitian dan saran berisi rekomendasi yang ingin disampaikan peneliti terhadap penelitian-penelitian lainnya mengenai puisi “Mikraj” karya Bahrum Rangkuti dan penggunaan teori semiotika Riffaterre.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melakukan penelitian ini, peneliti harap bisa menjadi sebuah pengalaman dan pembelajaran mengenai pentingnya sebuah komunikasi yang baik sehingga makna pesan

18 proses kunci pemberian informasi efektivitas relevansi 19 proses kunci kerja sama pimpinan jurusan produktivita s relevansi 20 proses kunci waktu mengajar dosen

Mendapatkan kode biss key tv one melalui penyedia di situs jejaringan seperti sosial media seperti Facebook dan Forum lainnya yang menyajikan khusus tentang biss key, cara

Pelaksanaan tindakan siklus II pada pertemuan II sebagai tindak lanjut dan perbaikan proses pembelajaran dan pemahaman siswa pada pertemuan I, maka pada pelaksanaan

Lokasi kawasan wisata telaga sarangan Kabupaten Magetan berada pada kawasan pegunungan yang dikelilingi sebuah telaga, yaitu Telaga Sarangan yang mempunyai

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama efektif menyerentakkan berahi

Untuk menjamin kepastian hukum dalam melakukan pungutan berupa retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil dan berdasarkan Pasal 54 ayat

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014