• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penilaian Potensi Aspek Biofisik Lokasi Tapak Aksesibilitas dan Sirkulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penilaian Potensi Aspek Biofisik Lokasi Tapak Aksesibilitas dan Sirkulasi"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

72

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Penilaian Potensi Aspek Biofisik Lokasi Tapak

GTJ adalah kawasan wisata yang terletak di sebelah Barat Kabupaten Purwakarta, dimana terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya cukup strategis terletak di antara DKI Jakarta dan Kota Bandung dimana kedua kota tersebut termasuk daerah tujuan wisata yang potensial. Kawasan ini memiliki jarak 125 km dari Jakarta dan 67 km dari Bandung yang dapat diakses melalui Jalan Tol Cipularang. Hal tersebut memudahkan transportasi bagi calon pengunjung dan distribusi barang dan jasa penunjang kegiatan pariwisata ke pusat industri pariwisata di Jakarta, Bandung, serta daerah tujuan wisata potensial lainnya.

Aksesibilitas dan Sirkulasi

Akses menuju GTJ cukup mudah karena berbatasan dengan Jalan Raya Jatiluhur dan Jalan Raya Purwakarta-Bandung. Selain itu, kawasan ini dapat ditempuh melalui tol Cipularang dan tol Cikampek-Jakarta. Hal ini menjadikan GTJ cukup strategis bagi pengunjung dari arah Jakarta atau Bandung untuk berwisata dan beristirahat sejenak dari rutinitas di kota asal yang begitu padat, arus keluar masuk transportasi barang dan jasa pariwisata, serta para karyawan yang berasal dari Jatiluhur dan daerah yang terlewati Jalan Tol Cipularang. Untuk mencapai GTJ, transportasi yang ada berupa ojek dan angkutan perkotaan. Transportasi yang diperbolehkan masuk kawasan adalah sepeda, ojek, sepeda motor, dan mobil pribadi.

Pola sirkulasi lalu lintas di GTJ cukup teratur dengan jaringan jalan yang berbentuk gabungan antara pola grid dan linear. Terdapat jalan arteri dan jalan kolektor di dalam kawasan. Jalan arteri berfungsi untuk menghubungkan objek-objek area rekreasi dan hotel.

Berdasarkan pengamatan di lapang, jalur hijau di GTJ belum memiliki manfaat fungsional untuk mengatasi masalah kenyamanan manusia. Tidak adanya

(2)

trotoar di sepanjang jalur hijau ini menyebabkan berkurangnya kenyamanan dan keamanan bagi sirkulasi pejalan kaki di GTJ. Maka, pembangunan trotoar beserta vegetasi di sepanjang tepi jalan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya sebagai pembatas antara trotoar dengan jalan raya dalam kawasan. Selain itu, perlu dibangun jalur sepeda, agar pengguna sepeda yang biasa melakukan aktivitas di pagi hari dapat merasa nyaman dan aman dari kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Topografi dan Drainase

GTJ memiliki topografi yang bervariasi. Daerah yang tertinggi terletak di sebelah Timur Tapak. Daerah terendah berada di sebelah Barat berdekatan dengan Waduk Ir. H. Djuanda. Daerah relatif datar berada di sebelah Utara sehingga digunakan untuk pembangunan konstruksi dan perluasannya. Perbedaan topografi yang terdapat di beberapa tempat tetap dipertahankan untuk memberikan nilai kualitas visual lanskap yang menarik dari adanya variasi ketinggian.

Sistem drainase yang digunakan adalah drainase terbuka. Limpasan dari ruang terbuka masuk ke sistem drainase terbuka, dialirkan ke waduk, dan masuk ke Sungai Citarum. Sedangkan, limbah domestik dari hotel dan bungalow masuk dialirkan ke Sungai Citarum. Untuk mengurangi bau yang tidak sedap akibat pembuangan limbah dan air buangan di saluran drainase, maka ditanam vegetasi penyerap bau. Kondisi umum saluran drainase masih baik, tidak terdapat penumpukkan sampah di dalamnya. Hal ini dikarenakan jumlah pengunjung menurun pada bulan April hingga Mei, sehingga pengunjung tidak terlalu banyak mengeluarkan banyak limbah domestik dan air buangan. Namun, perlu diperhatikan dalam pengembangan ke depan ketika jumlah pengunjung semakin banyak dan jumlah struktur bangunan semakin meluas.

Iklim

Menurut Laurie (1896), iklim merupakan hasil dari sejumlah faktor tidak tetap (variabel) yang berhubungan timbal balik, meliputi suhu, uap air, angin, radiasi matahari, dan curah hujan. Penyesuaian terahadap kondisi iklim lebih baik

(3)

74

 

daripada menentangnya dalam merencanakan lanskap, dengan memanfaatkan aspek-aspek yang menguntungkan dan mengendalikan aspek-aspek yang merugikan.

Suhu Udara

Berdasarkan pengamatan Subdivisi Bendungan Perum Jasa Tirta II, suhu rata-rata di GTJ adalah 26.4oC. Menurut Robinette (1983), kisaran suhu udara luar yang nyaman bagi manusia adalah 21-27 oC, sehingga secara umum suhu di GTJ masih tergolong nyaman bagi manusia. Berkaitan dengan tingkat kenyamanan manusia (Thermal Humidity Index), yang dilihat dari hubungan antara suhu dan kelembaban rata-rata kawasan, dengan THI berkisar 26-28 menunjukkan kawasan tersebut berada dalam kondisi yang nyaman bagi wisatawan. Namun, berdasarkan pengamatan langsung di tapak, suhu rata-rata di siang hari dapat mencapai 33oC.

Suhu yang tinggi ini disebabkan oleh faktor peralihan angin pada musim pancaroba. Di Indonesia angin Monsun Australia (Juni-Juli-Agustus) yang kering membawa udara dingin dari arah Selatan yang sedang musim dingin, sehingga cenderung saat kemarau relatif lebih sejuk. Demikian juga saat angin Monsun Asia (Desember-Januari-Februari) yang basah membawa udara dingin dari arah Utara yang sedang musim dingin, sehingga musim hujan juga relatif dingin. Saat musim peralihan (Maret-Mei dan September -November) angin cenderung lemah (kecuali angin lokal saat terjadi puting beliung) dan bersifat lokal, sehingga tidak ada efek pendinginan. Radiasi panas (inframerah) dari permukaan yang terpanasi relatif tidak tersebar, sehingga efek urban heat island semakin terasa pada musim peralihan ini. Selain itu, belum memadainya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan penataan lanskap yang baik ini menimbulkan ketidaknyamanan. Menurut Robinette (1983) pada dasarnya vegetasi dapat mengontrol pengaruh sinar matahari dengan cara: (1) menyaring radiasi matahari, (2) permukaan tanah mengalami perbedaan suhu setiap saat tergantung radiasi panas yang diterimanya pada permukaan yang berbeda, (3) menahan radiasi matahari secara keseluruhan, dan (4) memantulkan radiasi matahari. Dampak keteduhan dari keberadaan vegetasi ini akan berpengaruh terhadap manusia sehingga timbul efek kenyamanan (Gambar 36).

(4)

a

b

Gambar 36. Cara vegetasi mengontrol radiasi matahari: (a) 4 mekanisme vegetasi; (5) dampak keberadaan vegetasi terhadap manusia (Robinette, 1983)

(5)

76

 

Menurut Carpenter, et al (1975), keadaan permukaan tanah sangat ditentukan oleh seberapa banyak radiasi matahari yang diserap dan seberapa banyak juga yang dipantulkan. Hal ini menentukan suhu permukaan tanah dan udara di sekelilingnya. Ruang terbuka memberikan pantulan radiasi yang berbeda, seperti tajuk pohon, penutup tanah, semak, bahkan permukaan yang dilapisi aspal dan hard material lainnya akan lebih mengurangi pantulan dan menambah penyerapan.

Widyastama dalam Budiman (2010) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurca), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acaciaauriculiformis) dan beringin (Ficus benjamina). Tanaman tersebut tergolong tanaman peneduh dalam kawasan wisata dan memberikan iklim mikro yang baik bagi kawasan. Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya terhadap RTH sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah mempunyai RTH lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman.

Kelembaban udara

Menurut Laurie (1984), kelembaban udara yang ideal bagi kenyamanan manusia agar dapat melakukan aktivitasnya dengan baik adalah berkisar 40-75 %. Kelembaban udara di GTJ berdasarkan data dari Subdivisi Bendungan Perum Jasa Tirta II Tahun 2005-2009 adalah tidak ideal yaitu sebesar 89.5 %. Namun, berdasarkan pengamatan di lapang, kelembaban udara di sekitar GTJ sebesar 62.3 % dan tergolong cukup ideal. Kelembaban udara di GTJ cukup ideal karena di sepanjang jalan dalam kawasan terdapat jalur hijau dan koridor vegetasi sehingga aliran udara yang lembab tidak terhambat (mengalirkan dan mengurangi kelembaban udara yang tinggi). Cara vegetasi mengontrol kelembaban udara terdapat dalam Gambar 37.

(6)

Gambar 37. Cara vegetasi mengontrol kelembaban udara (Robinette, 1983)

Curah Hujan

Curah hujan di GTJ berdasarkan data dari Subdivisi Bendungan Perum Jasa Tirta II Tahun 2005-2009 adalah sebesar 20.2 mm/hari. Curah hujan yang tidak terlalu besar ini kurang dapat dimanfaatkan untuk menjahga kesediaan air tanah. Oleh karena itu, pengelola air tanah tidak menggunakan air tanah sebagai sumber air bakunya, melainkan menggunakan air dari Sungai Citarum yang diproses melalui beberapa tahap penjernihan di WTP. Curah hujan yang tidak terlalu besar tidak akan menyebabkan banjir atau erosi yang hebat di kawasan. Namun, pada daerah dengan kemiringan tinggi dan rawan longsor perlu diperhatikan dan diupayakan dengan melakukan penanaman vegetasi dan penutup tanah pada daerah lereng atau yang memiliki perbedaan kontur tinggi untuk mengurangi pengikisan tanah oleh air hujan (Gambar 38).

(7)

78

 

Kecepatan Angin

Kecepatan angin yang melewati GTJ, berdasarkan pengamatan Subdivisi Bendungan Perum Jasa Tirta II Tahun 2005-2009 berkisar 4.5 km/jam pada siang hari, tergolong pada kecepatan angin yang sedang. Kecepatan angin relatif stabil dan cukup menciptakan kenyamanan bagi manusia. Namun, keberadaan pabrik tekstil, PT. INDORAMA yang terletak di sebelah Selatan kawasan wisata ini berpotensi mengalirkan polusi udaranya masuk ke dalam kawasan wisata. Meskipun letaknya agak jauh dari kawasan, perlu diperhatikan dalam pengembangan ke depan dilakukan penanaman vegetasi pereduksi polutan di area yang berbatasan langsung dengan pabrik tersebut. Vegetasi penyerap polutan akan menyebabkan polutan dalam udara yang terbawa angin akan terserap oleh permukaan daun atau batang atau tanaman sehingga udara yang melewatinya menjadi bersih. Selain itu, penanaman vegetasi pereduksi pereduksi polutan juga hendaknya ditanam di daerah perbatasan GTJ dengan lingkungan sekitar agar dampak polutan dari kendaraan bermotor yang terbawa udara dapat direduksi. Menurut Robinette (1983) vegetasi dapat mengontrol angin dengan cara: (1)

obstruction atau mematahkan aliran angin, (2) filtrasi atau menyerap serta melemahkan kecepatan angin, (3) membelokkan arah angin, dan (4) mengarahkan angin dengan membentuk koridor (Gambar 39). Vegetasi yang berfungsi sebagai penyerap polutan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersifat evergreen, mempunyai tajuk yang rimbun dan rapat, kerapatan stomata yang tinggi, dan mempunyai trikoma (Agustini, 1994).

(8)

Geologi dan Tanah

Berdasarkan Studi Andal Pengembangan Kawasan Pariwisata Jatiluhur (Perum Otorita Jatiluhur, 1994) menyimpulkan bahwa sebagian besar kawasan tersusun atas formasi batu lempung, batu gamping, napal, batu pasir kuarsa, dan shosonit. Kawasan di sebelah Utara tersusun atas formasi batu pasir kuarsa, dimana lahan tidak sesuai untuk pertanian dan harus dibiarkan alami dikarenakan jenis tanah tersebut memiliki kapasitas menahan air yang rendah, salitnitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan memiliki peluang erosi yang sangat berat. Kawasan di sebelah Selatan tersusun atas batu lempung, dimana lahan sesuai untuk segala jenis penggunaan, drainase baik, solumnya dalam, dan mudah diolah. Kawasan di sebelah Barat tersusun atas batu gamping, campuran napal dan batu pasir kuarsa. Sedangkan, di sebelah Timur dan sebagian Selatan kawasan tersusun atas formasi shosonit.

Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, kawasan tersusun atas tanah aluvial kelabu di sebelah Utara dan Barat, asosiasi latosol merah kekuningan dan litosol di sebelah Timur, serta asosiasi grumosol kelabu kekuningan regosol kelabu dan mediteran kuning. Tanah aluvial tergolong tanah muda yang belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beraneka ragam, konsistensi dalam keadaan basah lekat, pH beragam, kesuburan sedang hingga tinggi, dan tidak peka terhadap erosi. Sedangkan, tanah latosol merupakan tanah yang telah berkembang atau terjadi diferensiasi horizon, kedalaman dalam, tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat merah hingga kuning, dan agak peka terhadap erosi.

Tanah grumosol merupakan tanah mineral yang mempunyai perkembangan profil, agak tebal, tekstur lempung berat, struktur kersai (granular) di lapisan atas dan gumpal hingga pejal di lapisan bawah, konsistensi bila basah sangat lekat dan plastis, bila kering sangat keras dan tanah retak-retak, umumnya bersifat alkalis, kejenuhan basa, dan kapasitas absorpsi tinggi, permeabilitas lambat dan peka terhadap erosi. Tanah grumosol ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan konservasi dan wisata yang semi intensif. Untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat ditingkatkan dengan melakukan pemupukan. Tanah

(9)

80

 

mediteran kuning mempunyai perkembangan profil, solum sedang hingga dangkal, warna coklat hingga merah, mempunyai horizon B argilik, tekstur geluh hingga lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorpsi sedang, permeabilitas sedang dan kurang peka terhadap erosi, berasal dari batuan kapur keras (limestone) dan tuf vulkanis bersifat basa. Kawasan yang tersusun atas tanah ini memiliki hara yang baik dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pertanian dengan tingkat penggunaan yang intensif. Tanah regosol dengan bahan induk abu volkan dan bahan sedimen, memiliki solum dangkal hingga dalam, horizon A-C, tekstur pasir dan debu (lebih dari 60 %), konsistensi gembur hingga lepas, permeabilitas baik, peka terhadap erosi. Kawasan dengan struktur tanah regosol dengan kemiringan sedang cukup stabil dan dapat digunakan sebagai daerah wisata.

Hidrologi

GTJ terletak berdekatan dengan Sungai Citarum yang mengalirkan air yang bersumber dari Waduk Ir. H Djuanda. Sungai Citarum merupakan sumber air baku bagi kawasan wisata. Sungai Citarum mempunyai maksimal kapasitas 12,3 M m3/tahun, sehingga kawasan ini mempunyai sumber air baku yang melimpah. Selain untuk menyuplai air irigasi pertanian, Sungai Citarum juga merupakan sumber bahan baku atau penunjang bagi industri strategis di daerah hilir. Air yang berasal dari Sungai Citarum kemudian diolah di WTP Biki Baru agar memenuhi kriteria kualitas air yang ditetapkan. Setelah itu air dipompa ke reservoir, kemudian dialirkan ke kawasan wisata dan konsumen. Pembuangan air limbah domestik dari kawasan wisata masuk ke pengolahan limbah di hilir Waduk dan selanjutnya dialirkan ke Sungai Citarum. Aliran hidrologi dari dan menuju Sungai Citarum tidak mengganggu aktivitas wisata dikarenakan memiliki jaringan perpipaan dan instalasi yang baik sehingga tidak ditemukan kebocoran yang dapat menyebabkan bau tidak sedap.

Keberadaan Waduk Ir. H. Djuanda di kawasan wisata ini memberikan nilai utama bagi pengembangan wisata Jatiluhur. Waduk Ir. H. Djuanda yang dilengkapi dengan barisan perbukitan di sekelilingnya memberikan nilai estetika

(10)

bagi kawasan wisata ini dan menjadikannya sebagai objek wisata utama. Namun, diperlukan pembatasan wilayah perairan yang khusus digunakan untuk berwisata agar tidak mengganggu ekosistem yang ada di bawahnya.

Vegetasi dan Satwa

Saat ini keberadaan vegetasi di GTJ sudah cukup baik dan tertata di sepanjang jalur hijau. Di welcome area ditanami oleh pohon-pohon peneduh, yaitu angsana (Pterocarpus indicus), mangga (Mangifera indica), mahoni (Swietenia mahogani), kerai payung (Filicium decipiens). Selain itu, terdapat pula vegetasi yang ditanam di daerah sempadan waduk dan Sungai Citarum, yaitu akasia (Acacia auriculiformis), ketapang (Terminalia catappa), sengon (Albizia falcataria), ki hujan (Samanea saman), angsana (Pterocarpus indicus, mahoni (Swietenia mahogani), kerai payung (Filicium decipiens). Namun, ada beberapa tempat di dalam kawasan yang jarang ditanami pohon peneduh seperti di area hotel, restoran, dan pelelangan ikan. Hal ini dikarenakan adanya pembersihan lahan untuk persiapan pembangunan, sehingga vegetasi yang pada mulanya terdapat di lahan tersebut juga dibersihkan. Saat ini lahan tersebut didominasi oleh permukaan keras, seperti bangunan, aspal, paving, dan bebatuan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di dalam kawasan.

Setelah melewati gerbang utama terdapat jalur hijau yang cukup memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan, namun tidak bagi pejalan kaki karena belum terdapat trotoar, Untuk itu perlu dibangun trotoar dengan vegetasi peneduh di sepanjang jalurnya agar dapat mengakomodasi jalur bagi pejalan kaki yang nyaman. Vegetasi peneduh tersebut merupakan RTH penghubung antara

welcome area dan service area yang perlu diperhatikan penataan serta pemilihan jenis tanamannya dengan gradasi ketinggian bervariasi mulai dari penutup tanah, semak, dan pohon agar memberikan nilai estetik dan fungsional. Keadaan lalu lintas di pintu masuk ini tidak selalu ramai dan tidak ditemukan spot-spot pengguna kawasan membentuk pola keramaian. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya ruang terbuka dimana manusia dapat berkumpul, seperti plaza, selasar, site furniture yang dibangun oleh pengelola. Aktivitas sosial dibentuk dari ruang yang ada, untuk itu perlu dibangun fasilitas seperti plaza, lawn atau ruang

(11)

82

 

transisi antara welcome area dan service area. Selain itu, letak kantor pengelola yang terdapat sebelum pintu gerbang ini kurang membentuk kesatuan dari ruang lingkup kepariwisataan. Hal ini menyulitkan pengelola mengontrol kegiatan wisata yang sedang berlangsung dan pengunjung dalam menggali informasi mengenai kepariwisataan. Sebaiknya setelah memasuki kawasan pengunjung mendapatkan informasi lengkap mengenai jenis wisata yang diminati dalam bentuk information centre yang sekaligus difungsikan sebagai kantor pengelola.

Ruang terbuka hijau (RTH) di GTJ terdapat di sepanjang jalur jalan arteri dan kolektor di dalam kawasan membentuk jalur hijau. Sepanjang tepi jalan di kawasan ditanami pohon angsana (Pterocarpus indicus), kerai payung (Filicium decipiens), palem raja (Roystonea regia). Keberadaan vegetasi ini memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan dan mengantisipasi masalah lingkungan (polusi udara, debu, kebisingan, bau tidak sedap, estetika). Hal yang perlu ditambahkan adalah trotoar dan jenis vegetasi peneduh di sepanjang jalur agar memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan, baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan.

Di beberapa tempat di dalam kawasan terdapat kelompok pepohonan yang ditanam rapat dan tidak rapat. Kelompok pepohonan yang ditanam rapat ini membentuk kawasan hutan yang relatif alami terdapat di beberapa daerah penyangga yang membatasi kawasan dengan lingkungan sekitar. Pohon-pohon yang terdapat di dalamnya antara lain Tectona grandis, Swietenia mahogani, Albizia falcataria, Filicium decipiens, Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis.

Hutan alami di daerah penyangga ini berfungsi sebagai RTH penyangga yang akan memberikan dampak positif terhadap perbaikan lingkungan kawasan. Di antaranya, dalam hal meningkatkan produksi oksigen, mengurangi pencemaran udara, meningkatkan kualitas iklim mikro dan juga dapat bermanfaat bagi tempat kehidupan manusia dan satwa. Jenis pohon yang biasa digunakan untuk habitat satwa khususnya burung adalah yang menghasilkan bunga, buah, dan mengundang serangga. Sedangkan untuk burung-burung pemakan biji-bijian, sumber biji-bijian didapat dari berbagai jenis varietas rumput-rumputan. Pohon yang bertekstur daun halus (Pelthoporom pterocarpum), berbuah (Ficus benjamina), dan berbunga (Bauhinia acuminata) banyak mengundang serangga.

(12)

Kualitas Visual

Kawasan Wisata GTJ memiliki topografi yang bervariasi dan terletak di antara perbukitan, wilayah aliran Sungai Citarum dan Cikao. Dua titik elevasi tertinggi (271 m) terletak di bagian tengah kawasan dan (222 m) terletak di bagian Selatan kawasan. Kedua titik tersebut merupakan vantage point yang memiliki kualitas visual yang baik (good view), dicirikan dengan pandangan bebas ke arah Waduk Ir. H. Djuanda dan barisan perbukitan yang terdapat di seberangnya. Good view ini berpotensi untuk dikembangkan atraksi wisata alam yang menjadi nilai utama bagi Kawasan Wisata GTJ.

Selain itu, good view dapat pula ditemukan di titik-titik sepanjang sempadan Waduk Ir. H. Djuanda dan Sungai Citarum. Terkait dengan aspek teknis yang membatasi penggunaan area terbangun dan aktivitas di area sempadan sungai dan waduk, area tersebut lebih diutamakan untuk RTH dan jumlah wisatawan yang berkunjung dibatasi dengan penggunaan jalur sirkulasi deck. Area yang berbatasan langsung dengan hutan wisata berpotensi memberikan visual lanskap bagi wisatawan, sehingga view ke arah hutan sebaiknya tidak diblok oleh warung-warung makan. Oleh karena itu, diperlukan relokasi warung-warung-warung-warung makan ke lahan yang relatif datar dan dilakukan penataan struktur bangunan yang sesuai dengan budaya setempat. Good view ke arah lahan pertanian penduduk berpotensi dijadikan sebagai atraksi wisata, sehingga view tersebut lebih dibuka dan diarahkan dengan penanaman vegetasi pengarah dari arah jalan kawasan wisata menuju area tersebut. Selain itu, good view ditemukan pula pada bagian Selatan kawasan dimana terdapat aktivitas budidaya ikan jaring terapung, ini dapat dikembangkan sebagai atraksi yang cukup menarik karena selain memberikan nilai rekreatif bagi wisatawan, serta menambahkan nilai edukatif dari pengalaman yang didapatkan. Agar pengunjung dapat mudah mengakses area ini dapat diarahkan jalan masuknya yaitu melalui jalan kawasan dengan penanaman vegetasi pengarah.

Kualitas visual yang buruk ke arah Utara kawasan yaitu pabrik benang dan tekstil yang sudah tidak berfungsi lagi dipandang sebagai kendala dalam pengembangan kawasan. Untuk mengaktifkan aktivitas di area tersebut, pemanfaatan bangunan sebagai objek dan atraksi wisata yang lebih tertata dan

(13)

84

 

didasarkan pada kesesuaian lahan kawasan dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas visual area tersebut. Selain itu, bad view ke arah permukiman penduduk sebaiknya ditata ulang yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta No. 8 Tahun 1991, salah satu di antaranya yaitu permukiman penduduk berlokasi pada kemiringan lahan 0-8%. Area pelelangan ikan sebagai salah satu objek dan atraksi yang cukup potensial terletak di tengah-tengah pasar dan permukiman penduduk yang merupakan area yang padat bangunan dan kendaraan, tidak terdapat penutupan canopy, sehingga menurunkan kualitas visual yang ada. Oleh karena itu, sebaiknya area ditata ulang dengan menampilkan area pelelangan ikan sebagai vocal point dengan penyediaan area parkir yang nyaman dan penanaman pohon-pohon peneduh agar dapat mengurangi kepadatan aktivitas kendaraan yang melintas dan meningkatkan kenyamanan di area tersebut.

(14)
(15)

86

 

Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk melihat potensi sumberdaya lanskap, tata guna lahan, dan penutupan lahan kawasan. Hal ini bertujuan untuk menentukan zona potensial, yaitu zona yang sesuai dengan standar penilaian untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata.

Kemiringan Lahan

Penilaian terhadap kemiringan lahan guna melihat kesesuaian kawasan tersebut sebagai ruang beraktivitas bagi wisatawan secara intensif maupun semi-intensif, kawasan lindung, ataupun kawasan pertanian. Penilaian ini meliputi kemiringan lahan yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 7. Penilaian potensi kemiringan lahan

Peubah Kategori Nilai Kelas

Kemiringan Lahan • 0-8 %, tidak berpotensi longsor 3 S1 • 8-15%, sedikit berpotensi longsor

2 S2

• >15%, berpotensi longsor 1 S3 Keterangan: Kelas (S1=sangat sesuai, S2=sesuai, S3=kurang sesuai)

Sumber: USDA (1968); modifikasi.

Tanah

Penilaian terhadap topografi guna melihat kesesuaian kawasan tersebut terkait dengan daya dukung tanah terhadap beban di atasnya, baik bangunan, manusia, maupun kendaraan. Selain itu, kesesuaian lahan untuk pertumbuhan tanaman pun perlu dipertimbangkan.

Penilaian ini meliputi sifat-sifat tanah (drainase tanah, tekstur, bahaya banjir, dan permeabilitas) yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 8. Penilaian potensi tanah

Peubah Kategori Nilai Kelas

Tanah • Lempung, air tanah >75 cm, drainase baik, permeabilitas sedang-cepat, tanpa bahaya banjir • Pasir, air tanah >50 cm, drainase agak baik,

permeabilitas agak lambat-lambat, tanpa bahaya banjir dalam musim kemah

• Liat berdebu, air tanah <50 cm, drainase buruk-sangat buruk, permeabilitas buruk-sangat lambat, banjir dalam musim kemah

3 S1

2 S2

1 S3

Keterangan: Kelas (S1=sangat sesuai, S2=sesuai, S3=kurang sesuai) Sumber: USDA (1968); modifikasi.

(16)

Vegetasi

Penilaian terhadap vegetasi sebagai salah satu sumberdaya wisata yang dapat dikembangkan menjadi objek baru. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan terhadap jenis tanaman yang dapdat dikembangkan sebagai objek wisata, misalnya kebun bunga, salak pondoh, dan sebagainya. Penilaian ini meliputi kondisi, heterogenitas, dan nilai kualitas visual yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 9. Penilaian potensi vegetasi

Peubah Kategori Nilai Kelas

Vegetasi • Tegakan pohon alami, kondisi dan kualitas visual vegetasi baik, beragam

• Persawahan, kondisi vegetasi cukup baik, kualitas visual baik, cukup beragam

• Tegakan pohon perkebunan dan ladang, kondisi vegetasi baik, kualitas visual kurang baik, cukup beragam

3 S1

2 S2

1 S3

Keterangan: Kelas (S1=sangat sesuai, S2=sesuai, S3=kurang sesuai) Sumber: USDA (1968); modifikasi.

Penutupan Lahan (Landcover)

Penilaian terhadap penutupan lahan dilakukan untuk dapat mengetahui alokasi RTH yang dapat dipertahankan, dibangun, serta diketahui dimana seharusnya area terbangun dikembangkan. Penilaian ini berdasarkan keberadaan eksisting RTH yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 10. Penilaian potensi penutupan lahan

Peubah Kategori Nilai Kelas

Penutupan Lahan • Seluruh area tertutup RTH 3 S1 • Sebagian area tertutup RTH dan

bangunan

2 S2

• Hampir seluruh area tertutup bangunan

1 S3

(17)

88

 

Tata Guna Lahan (Landuse)

Penilaian terhadap tata guna lahan untuk mengetahui kombinasi penggunaan terbaik dari suatu lahan untuk pengembangan kawasan wisata. Penilaian ini berdasarkan pengelokasian kawasan budidaya yang diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 11. Penilaian potensi tata guna lahan

Peubah Kategori Nilai Kelas

Tata Guna Lahan • Lahan pertanian sawah irigasi dan hutan produktif

(penggunaan maksimal)

3 S1

• Lahan perkebunan dan ladang

(penggunaan cukup maksimal)

2 S2

• Permukiman penduduk (penggunaan tidak maksimal)

1 S3

Keterangan: Kelas (S1=sangat sesuai, S2=sesuai, S3=kurang sesuai) Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (1968), modifikasi.

Penghitungan klasifikasi potensi topografi, tanah, vegetasi, penutupan lahan, dan tata guna lahan dihitung dengan menggunakan persamaan berdasarkan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dalam Mulyati (2007):

Keterangan:

S = selang dalam penetapan klasifikasi penilaian Smaks = nilai tertinggi

Smin = nilai terendah

K = banyaknya klasifikasi penilaian

Tingkat kualitas tata guna lahan dalam kawasan wisata terbagi dalam S1 = sangat sesuai, nilai 11.67 - 15

S2 = sesuai, nilai 8.34 – 11.66 S3 = kurang sesuai, nilai 5 - 8.33 Penilaian Kelayakan Objek dan Atraksi Wisata

Penilaian potensi objek dan atraksi wisata dilakukan untuk menilai kelayakan potensi objek dan atraksi wisata di setiap lokasi. Penilaian ini diklasifikasikan menggunakan lima kriteria berdasarkan Inskeep (1991). Penilaian dilakukan berdasarkan nilai suatu objek dan atraksi wisata, aksesibilitas yang

(18)

tersedia untuk mencapai objek dan atraksi, letak objek dan atraksi dari jalan utama, fasilitas wisata yang tersedia, dan dampak terhadap lingkungan (Tabel 12). Hasil penilaian yang ditunjukkan pada Tabel 13, memperlihatkan 9 objek dan atraksi wisata yang sangat potensial (SP) sebagai sumberdaya wisata alam dan satu objek cukup berpotensi (S). Gambar 42 adalah zonasi pengembangan kawasan wisata berdasarkan hasil penilaian kelayakan objek dan atraksi wisata.

Perhitungan penilaian kelayakan objek dan atraksi wisata sebagai berikut: Klasifikasi kondisi kelayakan objek dan atraksi wisata adalah

Keterangan:

Faks = faktor aksesibilitas

Ffoa = faktor obyek dan atraksi wisata Fjl = faktor letak dari jalan utama

Ffas = faktor fasilitas wisata yang tersedia Fdl = faktor dampak terhadap lingkungan

= lokasi objek ke-1 sampai 10

Tabel 12. Penilaian kelayakan objek dan atraksi wisata eksisting

Peubah Bobot Kategori Nilai

Aksesibilitas 20 % • Jalan primer dekat, mudah dicapai, kondisi baik

• Jalan sekunder, kondisi sedang • Jalan tersier, kondisi sedang • Tidak ada akses

4 3 2 1 Objek dan Atraksi Wisata 30% • Semua atraksi bernilai tinggi

• Atraksi sedang-tinggi • Atraksi sedang-rendah

• Tidak terdapat objek dan atraksi

4 3 2 1 Letak dari Jalan Utama 10 % • Dekat (<1 km)

• Sedang (1-3 km) • Cukup jauh (3-5 km) • Jauh (>5 km) 4 3 2 1 Fasilitas Wisata yang

Tersedia

10 % • Tersedia, lengkap, kualitas baik, terawat • Ada beberapa, cukup terawat

• Ada beberapa, kurang terawat • Tidak tersedia 4 3 2 1 Dampak Kerusakan terhadap Lingkungan

30 % • Keberadaan objek dan atraksi sangat selaras

• Keberadaan objek dan atraksi cukup selaras

• Keberadaan objek dan atraksi kurang selaras

• Keberadaan objek dan atraksi tidak selaras

4

3 2 1 Sumber: Inskeep (1991); Rosmalia (2008); modifikasi.

(19)

90

 

Hasil penilaian kelayakan objek dan atraksi wisata diklasifikasikan dalam tingkatan sebagai berikut :

SP : Sangat Potensial, dengan nilai 300-400

Objek dan atraksi wisata sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumberdaya wisata

P : Potensial, dengan nilai 200-299

Objek dan atraksi wisata cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumberdaya wisata. Perlu perlakuan untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial.

TP : Tidak Potensial, dengan nilai 100-199

Objek dan atraksi wisata yang tersedia tidak potensial dikembangkan sebagai sumberdaya wisata. Perlu perlakuan yang khusus dan mahal untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial.

Tabel 13. Tingkat kelayakan objek dan atraksi wisata Objek Potensi Wisata Parameter Kelayakan N K I S II S III S IV S V S 1.Dermaga Apung Wisata Air Panorama Waduk 80 S1 120 S1 40 S1 20 S3 90 S2 350 SP 2. Dermaga Kampung Air Panorama Waduk Aktivitas Rekreasi 80 S1 120 S1 30 S2 30 S2 60 S3 320 SP 3. JWW Aktivitas Rekreasi 80 S1 120 S1 40 S1 40 S1 90 S2 370 S2 4. Panggung Terbuka Festival Budaya Area Bermain 80 S1 90 S2 40 S1 40 S1 60 S3 310 SP 5. Pelelangan Ikan Wisata Belanja 60 S2 90 S2 30 S2 20 S3 60 S3 260 p 6. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Wisata Pendidikan 80 S1 90 S2 30 S2 40 S1 60 S3 300 SP 7. Pemancingan dan Rumah Makan Aktivitas Rekreasi Arsitektur Sunda 60 S2 90 S2 30 S2 30 S2 90 S2 300 SP 8. Bangunan Operasional Aktivitas Pengelolaan Wisata Teknologi 80 S1 90 S2 40 S1 30 S2 60 S3 300 SP

(20)

9. Sawah dan Hutan Panorama Alam Wisata Pertanian Budidaya Tanaman 40 S3 120 S1 40 S1 10 S4 120 S1 330 SP 10. Budidaya Ikan Wisata Pertanian Panorama Waduk 60 S2 120 S1 30 S2 30 S2 90 S2 330 SP

Keterangan: Parameter kelayakan (I = aksesibilitas, II = potensi objek dan atraksi wisata, III = jarak dari jalan utama, IV = fasilitas wisata, V = dampak terhadap kerusakan lingkungan)

S = skor ( S1 = sangat baik, S2 = baik, S3 = buruk, S4 = sangat buruk) N = nilai (maks. = 400, min = 100)

K = klasifikasi ( SP = sangat potensial, P = potensial, TP = tidak potensial

Zona Potensial Pengembangan Kawasan Wisata

Tahap ini merupakan tahap sintesis, lanjutan dari tahap analisis, dimana peta komposit hasil analisis potensi sumberdaya lanskap, dan tata guna lahan diintegrasikan dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Setelah peta-peta tematik tersebut digabungkan dengan cara tumpang susun (overlay), hasilnya berupa zona potensial kawasan untuk pengembangan wisata. Proses sintesis ditunjukkan pada Gambar 41.

Gambar 41. Teknik tumpang susun (overlay) peta tematik Topografi Tanah Vegetasi Penutupan Lahan Potensi Sumberdaya Lanskap Tata Guna Lahan

Potensi Objek dan Atraksi Wisata

Peta Komposit Zonasi Potensial Perencanaan Penataan Lanskap

Kawasan Wisata

Objek dan Atraksi Wisata

(21)

92

 

Proses tumpang susun (overlay) peta-peta komposit potensi sumberdaya lanskap dan potensi pengembangan lahan dengan peubah, yaitu topografi, tanah, vegetasi, penutupan lahan, dan tata guna lahan menghasilkan tiga zona potensial untuk pengembangan wisata, yaitu:

T : Zona berpotensi tinggi, sangat sesuai untuk pengembangan wisata. Seluruh aspek bernilai sangat sesuai atau paling tidak terdapat beberapa peubah yang termasuk dalam klasifikasi cukup sesuai, dan terdapat minimal satu peubah yang termasuk kategori kurang sesuai. Lahan sesuai untuk digunakan sebagai daerah piknik, tempat berkemah, jalan setapak bersyarat dan konstruksi. Sebagai ruang aktivitas wisata, lahan dapat dijadikan sebagai area aktivitas aktif (berjalan, berpetualang, dsb.) dan pasif (rekreasi, photo hunting, viewing, dsb). Adapun untuk fungsi penggunaan ruang, perlu dilakukan pembatasan jumlah pengunjung karena kondisi topografi yang beragam mulai dari 3-45% dan vegetasi alami yang perlu dijaga kelestariannya sebagai sumberdaya utama. Untuk fasilitas wisata dapat disediakan shelter dan menara pandang.

S : Zona berpotensi sedang, cukup potensial untuk pengembangan wisata. Meskipun didominasi oleh peubah yang termasuk dalam kategori cukup sesuai, terdapat beberapa peubah yang merupakan kombinasi peubah sangat sesuai dan kurang sesuai. Lahan sesuai untuk digunakan sebagai area pertanian, perkebunan, dan konstruksi bersyarat. Adapun untuk fungsi konstruksi, perlu dilakukan pemadatan tanah karena kondisi tanah liat berpasir dengan permeabilitas yang buruk. Sebagai ruang aktivitas wisata, lahan dapat dijadikan sebagai area aktivitas aktif (beragam aktivitas pertanian, belanja di pelelangan ikan, outbond) dan pasif (rekreasi, pengamatan bendungan, viewing, photo hunting,

penelitian, memancing dsb). Adapun fungsi penggunaan ruang dibedakan menjadi dua, yaitu semi intensif dan intensif. Area sempadan waduk dan sungai merupakan ruang wisata semi intensif karena terkait upaya konservasi area sempadan dimana tingkat penggunaan perlu dibatasi. Sedangkan untuk ruang wisata intensif berjarak sekitar 200 m

(22)

dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Untuk fasilitas utama disediakan dermaga dan shelter.

R : Zona berpotensi rendah, tidak potensial untuk pengembangan wisata. Hampir seluruh peubah termasuk dalam kategori kurang sesuai dan sebagian kecil yang merupakan kombinasi peubah sangat sesuai dan kurang sesuai. Lahan digunakan sebagai area konservasi dan konstruksi bersyarat. Adapun untuk fungsi konstruksi, perlu pemadatan tanah karena kondisi tanah liat dengan permeabilitas yang buruk serta rekayasa retaining wall (lereng>15%). Ruang ini diarahkan pada ruang aktivitas sosial terkait dengan pelayanan wisatawan dimana ruang ini dapat dijadikan sebagai area aktivitas aktif dan pasif (rekreasi, bungalow, hotel, viewing, photo hunting, dsb). Untuk fasilitas disediakan bungalow, vantage point, dan fasilitas publik lainnya.

Tujuan klasifikasi zona potensial untuk pengembangan wisata, yaitu untuk menentukan pusat pengembangan kawasan wisata yang disesuaikan dengan karakter lanskapnya. Dari hasil klasifikasi yang diperlihatkan Gambar 43, menunjukkan bahwa sebagian besar zona kesesuaian lahan kawasan wisata merupakan zona berpotensi sedang seluas 206.89 ha (36.24%), diikuti dengan zona berpotensi rendah seluas 187.9 ha (32.92%), dan zona berpotensi tinggi seluas 176.06 ha (30.84%). Selanjutnya, berdasarkan kesesuaian lahan yang telah dianalisis, zonasi dikembangkan ke dalam pembagian ruang yang berbentuk rencana blok sesuai dengan konsep wisata alam (Gambar 44).

(23)

94

(24)
(25)

96

(26)

Analisis Nilai Ekologis Hasil Analisis

Manfaat ekologis dan distribusi penutupan lahan Kawasan Eksisting GTJ pada Tahun 2007 (Google Earth Plus Tahun 2007) dapat diketahui dan dianalisis. Berdasarkan data kemiringan lahan dan tanah, kawasan dibagi ke dalam tiga poligon. Poligon 1 memiliki kemiringan lahan 28.13% dengan hydrologic soil group B, sedangkan poligon 2 dan 3 memiliki kemiringan lahan yang sama sebesar 23.6% dengan hydrologic soil group masing-masing A dan C. Dari data spasial dan data atribut yang dianalisis dengan metode GIS menggunakan ArcView 3.2 dengan ekstensi CITYgreen 5.4 didapat hasil sebagai berikut:

A. Statistik Tapak

• Area analisis : Grama Tirta Jatiluhur 2

• Skenario : kondisi tertentu

• Area : 0.64mil2 = 409.85acre = 165.86ha Distribusi Penutupan Lahan :

• Tanaman pangan atau pertanian : 0 % (0 ha)

• Lahan kedap air : 16 % (26.54 ha)

• Ruang terbuka atau padang rumput : 0% (0 ha)

• Semak : 0 % (0 ha)

• Kanopi pohon : 50 % (82.93 ha)

• Lahan perkotaan : 84 % (139.32 ha)

• Badan air : 0 % (0 ha)

B. Manfaat Ekologi

1. Polusi udara yang dapat diserap :

Ozone : 2.908,88 kg atau senilai $19,679 setara dengan Rp 177.111.000,-

Sulfur Dioxide : 808,85 kg atau senilai $1,340 setara dengan Rp

12.060.000,-• Nitrogen Dioxide : 1.808,02 kg atau senilai $12,238 setara dengan Rp 110.142.000,-

(27)

98

 

Particulate Matter : 2211,71 kg atau senilai $9,990 setara dengan Rp 89.910.000,-

Carbon Monoxide : 276,24 kg atau senilai $265 setara dengan Rp

2.385.000,-• Total : 8.012,7 kg atau senilai $43,511 setara dengan Rp 391.599.000,- 2. Kapasitas karbon dan penyerapannya

• Distribusi umur pohon : hampir merata

• Kapasitas penyimpanan karbon : 10.980ton

• Penyerapan karbon : 31 ton/tahun 3. Kontrol aliran permukaan

• Rata-rata 2 tahun, curah hujan per 24 jam : 0.8 inchi

• Koefisien runoff : 82,3 (RTH) dan 92,00 (tidak ada RTH)

• Aliran permukaan : 0,083in (RTH) dan 0,27 in (tidak ada RTH)

• Volume penyimpanan yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan aliran puncak 276.189,32(cu.ft)

Asumsi biaya : $ 2.00 per cu.ft

• Total $ 552,378.64

4. Efek dari penggunaan AC perumahan : tidak tersedia

C. Rangkuman Manfaat Ekonomi

• Penghematan dari penyerapan polusi udara tahunan : $ 43,511 setara dengan Rp 391.599.000,-

• Penghematan energi tahunan : $ 0

• Penghematan dari aliran permukaan tahunan : $ 48,159 setara dengan Rp 433.431.000,-

• Total penghematan tahunan : $ 91,670 setara dengan Rp 825.030.000,-  • (1 $ = Rp 9.000,-)

(28)
(29)

100

 

Selain itu, manfaat ekologis dan penutupan lahan Kawasan Perencanaan GTJ pada Tahun 2007 (Google Earth Plus Tahun 2007) dapat diketahui dan dianalisis. Berdasarkan data kemiringan lahan dan tanah, kawasan dibagi ke dalam tiga poligon. Poligon 1 memiliki kemiringan lahan 22.9% dengan

hydrologic soil group B, sedangkan poligon 2 dan 3 memiliki kemiringan lahan yang sama sebesar 20% dengan hydrologic soil group masing-masing A dan C. Dari data spasial dan data atribut yang dianalisis dengan metode GIS menggunakan ArcView 3.2 dengan ekstensi CITYgreen 5.4 didapat hasil sebagai berikut:

A. Statistik Tapak

• Area analisis : Grama Tirta Jatiluhur 1

• Skenario : kondisi tertentu

• Area : 2.20 mil2 = 1,410.56 acre = 570.85 ha Distribusi Penutupan Lahan :

• Tanaman pangan atau pertanian : 0 % (0 ha)

• Lahan kedap air : 7 % (39.95 ha)

• Ruang terbuka atau padang rumput : 0% (0 ha)

• Semak : 0 % (0 ha)

• Kanopi pohon : 57 % (325.38 ha)

• Lahan perkotaan : 53 % (530.90 ha)

• Badan air : 0 % (0 ha)

B. Manfaat Ekologi

1. Polusi udara yang dapat diserap :

Ozone : 11.500,82 kg atau senilai $77,804 setara dengan Rp 700.236.000,-

Sulfur Dioxide : 3.194,65 kg atau senilai $5,296 setara dengan Rp

47.664.000,-• Nitrogen Dioxide :7.148,61 kgatau senilai$48,384 setara dengan Rp

435.456.000,-• Particulate Matter : 8.744,34 kg atau senilai $39,498 setara dengan Rp

(30)

355.482.000,-• Carbon Monoxide : 1.091,8 kg atau senilai $1,046 setara dengan Rp

9.414.000,-• Total : 31.680,22 kg atau senilai $172,029 setara dengan Rp

1.548.261.000,-2. Kapasitas karbon dan penyerapannya

• Distribusi umur pohon : hampir merata

• Kapasitas penyimpanan = karbon : 43.410 ton

• Penyerapan karbon : 123 ton/tahun 3. Kontrol aliran permukaan

• Rata-rata 2 tahun, curah hujan per 24 jam : 0.8 inchi

• Koefisien runoff : 80,3 (RTH) dan 92,00 (tidak ada RTH)

• Aliran permukaan : 0,06in (RTH) dan 0,26 in (tidak ada RTH)

• Volume penyimpanan yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan aliran puncak 878,012.11(cu.ft)

Asumsi biaya : $ 2.00 per cu.ft

• Total $ 2,030,024.22

4. Efek dari penggunaan AC perumahan : tidak tersedia

C. Rangkuman Manfaat Ekonomi

• Penghematan dari penyerapan polusi udara tahunan : $172,029 setara dengan Rp

1.548.261.000,-• Penghematan energi tahunan : $ 0

• Penghematan dari aliran permukaan tahunan : $ 176,987 setara dengan Rp 1.592.883.000,-

• Total penghematan tahunan : $ 349,016 setara dengan Rp 3.141.144.000,-   • (1 $ = Rp 9.000,-)

(31)

102

(32)

Pembahasan

Menghitung Manfaat RTH Kawasan Wisata Grama Tirta Jatiluhur dengan Metode GIS

Pada penelitian ini manfaat ekologis RTH Kawasan Wisata GTJ yang menjadi bahan perhitungan adalah kapasitas penyimpanan karbon, daya serap karbon dan kualitas udara, dan kontrol aliran permukaan melalui pendekatan daya serap RTH terhadap polutan di udara seperti NO2, SO2, O3, CO serta partikel-partikel lainnya (Pb, As, Cd dan Hg) dan daya reduksi RTH terhadap kedalaman aliran permukaan.

Kapasitas Penyimpanan Karbon dan Daya Serap Karbon

Berdasarkan analisis GIS dengan menggunakan perangkat lunak Arcview 3.2 ekstensi CITYgreen 5.4 didapat kapasitas penyimpanan karbon RTH kawasan wisata eksisting adalah sebesar 10.980 ton, sedangkan kawasan perencanaan adalah sebesar 43.410 ton. Luas RTH yang didapatkan dari hasil analisis sebesar 82.93 ha (kawasan eksisting) dan 325.38 ha (kawasan perencanaan), maka kapasitas penampungan RTH GTJ untuk karbon sebesar 132.4 ton/ha (kawasan eksisting) dan 133.41 ton/ha. Daya serap RTH berdasarkan hasil analisis sebesar 31 ton/tahun (kawasan eksisting) dan 123 ton/tahun (kawasan perencanaan).

Daya Serap RTH terhadap Polutan di Udara

Berdasarkan analisis GIS dengan menggunakan perangkat lunak Arcview 3.2 ekstensi CITYgreen 5.4 didapat hasil polusi udara yang dapat diserap untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem kawasan wisata adalah sebagai berikut:

Kawasan wisata eksisting

Ozone : 2.908,88 kg atau senilai $19,679 setara dengan Rp 177.111.000,-

Sulfur Dioxide : 808,85 kg atau senilai $1,340 setara dengan Rp

12.060.000,-• Nitrogen Dioxide : 1.808,02 kg atau senilai $12,238 setara dengan Rp 110.142.000,-

(33)

104

 

Particulate Matter : 2211,71 kg atau senilai $9,990 setara dengan Rp 89.910.000,-

Carbon Monoxide : 276,24 kg atau senilai $265 setara dengan Rp

2.385.000,-• Total : 8.012,7 kg atau senilai $43,511 setara dengan Rp 391.599.000,- Kawasan Perencanaan

Ozone : 11.500,82 kg atau senilai $77,804 setara dengan Rp 700.236.000,-

Sulfur Dioxide : 3.194,65 kg atau senilai $5,296 setara dengan Rp

47.664.000,-• Nitrogen Dioxide :7.148,61 kgatau senilai$48,384 setara dengan Rp

435.456.000,-• Particulate Matter : 8.744,34 kg atau senilai $39,498 setara dengan Rp

355.482.000,-• Carbon Monoxide : 1.091,8 kg atau senilai $1,046 setara dengan Rp

9.414.000,-• Total : 31.680,22 kg atau senilai $172,029 setara dengan Rp 1.548.261.000,-

Jika rata-rata jumlah pengunjung kawasan wisata perencanaan sejumlah 214.466 orang, maka manfaat ekonomi yang diterima wisatawan secara tidak langsung sebesar Rp 7.219/orang/tahun. Manfaat ekonomi yang diterima oleh wisatawan ini menunjukan bahwa kawasan wisata dengan luas RTH sebesar 325.38 ha (57 % dari luas keseluruhan kawasan) memberikan kenyamanan berupa gas oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis dan penyerapan beragam polutan di udara. Melalui pendekatan fisiologis, yaitu pada proses translokasi, tranportasi air, dan transpirasi dimana pada saat proses ini banyak gas dan partikel padat kurang 10 mikron yang berupa polutan diserap dan digunakan untuk kebutuhan fisiologis, di antaranya yaitu NO2, SO2, CO, dan O3, serta partikel lainnya seperti Pb, As, Hg, debu. Oleh karena itu, kemampuan RTH dalam menyerap polutan memiliki peranan penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem suatu kawasan wisata agar dapat berkelanjutan.

(34)

Kontrol Aliran Permukaan

Dari hasil analisis GIS, kemampuan RTH mengontrol aliran permukaan adalah sebagai berikut:

Kawasan Eksisting

• Rata-rata 2 tahun, curah hujan per 24 jam : 0.8 inchi

• Koefisien runoff : 82,3 (RTH) dan 92,00 (tidak ada RTH)

• Aliran permukaan : 0,083in (RTH) dan 0,27 in (tidak ada RTH)

• Volume penyimpanan yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan aliran puncak 276.189,32(cu.ft)

Asumsi biaya : $ 2.00 per cu.ft

• Total $ 552,378.64 Kawasan Perencanaan

• Rata-rata 2 tahun, curah hujan per 24 jam : 0.8 inchi

• Koefisien runoff : 80,3 (RTH) dan 92,00 (tidak ada RTH)

• Aliran permukaan : 0,06in (RTH) dan 0,26 in (tidak ada RTH)

• Volume penyimpanan yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan aliran puncak 878,012.11(cu.ft)

Asumsi biaya : $ 2.00 per cu.ft

• Total $ 2,030,024.22

Jika ditinjau dari kondisi kemiringan lahan, kawasan eksisting memiliki kemiringan lahan rata-rata sebesar 25,12 % dan kawasan perencanaan sebesar 20,97 %. Adapun perbandingan aliran permukaan pada kondisi real dan tanpa kanopi pohon pada kawasan perencanaan yaitu sebesar 0,06 inchi dan 0,26 inchi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kanopi pohon pada kawasan perencanaan sanggup mereduksi 70.92 % kedalaman aliran permukaan. Namun, pada kawasan eksisting kanopi pohon hanya mampu mereduksi 69.26 % kedalaman aliran permukaan. Keberadaan RTH dalam kawasan wisata ini khususnya, pada kawasan perencanaan sebagai areal yang akan dikembangkan memiliki manfaat ekologis yang cukup tinggi. RTH seluas 57 % (325.28 ha) dari luas keseluruhan yang terdapat di kawasan wisata ini perlu dipertahankan dan dijaga agar dapat berkelanjutan.

(35)

106

 

Analisis Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Wisatawan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, wisatawan domestik yang berkunjung ke kawasan wisata sebagian besar berasal dari daerah Jabodetabek dan Bandung, sedangkan wisatawan mancanegara banyak berasal dari Jepang, Korea, Belanda, Amerika, dan Autralia. Perbedaan karakter wisatawan (budaya, adat, kebiasaan, agama, dan sebagainya) dimana berasal dari tempat yang berbeda memiliki motivasi, keinginan, dan attitude berbeda pula. Oleh karena itu, pengenalan terhadap objek dan atraksi wisata diperlukan sebelum wisatawan memasuki lokasi objek dan atraksi wisata. Hal ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran objek wisata secara umum dan peraturan yang berlaku di kawasan wisata.

Hasil pengumpulan kuesioner pada wisatawan domestik yang berkunjung di GTJ (100 responden) terdapat pada lampiran, menggambarkan secara garis besar karakteristik, persepsi, dan preferensi wisatawan mengenai perencanaan penataan lanskap. Sebagian besar wisatawan adalah pegawai, baik pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta (51 responden). Hasil pengumpulan kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan berusia 20-30 tahun (46 responden). Kelompok wisatawan tersebut mengunjungi kawasan wisata untuk

refreshing. Secara umum, mereka melepas lelah mereka dari rutinitas sehari-hari dengan melakukan kegiatan rekreasi pasif, seperti duduk-duduk dan menikmati alam di sekitar waduk. Objek wisata yang paling sering dikunjungi adalah Jatiluhur Water World yaitu sebanyak 32 responden dengan lama berkunjung 1-6 jam.  

Lama kunjungan wisatawan sangat berpengaruh dalam peningkatan pengalaman dan pendidikan dalam menginterpretasikan tapak. Keragaman lama berkunjung wisatawan dapat disebabkan oleh motivasi wisatawan seperti wisatawan yang menginginkan hiburan, mereka memilih objek dan atraksi wisata dengan tantangan yang rendah hingga sedang dengan lama waktu berwisata hanya satu hari. Wisatawan yang menginginkan sesuatu yang baru cenderung memilih objek dengan tingkat tantangan tinggi ataupun mengikuti serangkaian wisata selama dua hari untuk mendapatkan pengalaman yang lebih. Wisatawan merupakan objek pelaku dari industri kepariwisataan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karakteristik wisatawan perencanaan perjalanan wisata

(36)

dengan paket-paket wisata yang mengakomodasi keinginan wisatawan diperlukan untuk merencanakan sebuah kawasan wisata. Persepsi mereka terhadap lanskap adalah cukup baik (62 responden) dan merasa nyaman terhadap lanskap (71 responden). Mereka menilai bahwa kondisi taman dan jalur hijau di dalam kawasan sudah cukup baik.

Adapun mengenai preferensi wisatawan terhadap penataan lanskap yang akan direncanakan, hampir sebagian besar mereka menginginkan aktivitas wisata di ruang terbuka (98 responden) yang didukung fasilitas-fasilitas penunjang wisata seperti toilet, tempat ibadah, toilet, shelter, kios cinderamata, sistem transportasi internal, dan sarana pendidikan. Selain itu, sebagian besar dari responden menyetujui dibangunnya sarana olahraga (83 responden) dengan fasilitas olahraga yang beragam, seperti futsal, bulu tangkis, sepak bola, basket, dan tenis. Mereka juga menyetujui dibangunnya trotoar untuk jalur pedestrian (96 responden) dan jalur sepeda (57 responden). Mengingat akan kebutuhan ruang terhadap elemen lunak (softscape) memiliki peranan penting yaitu untuk memberikan iklim mikro yang nyaman, indah, aman, dan fungsional bagi user, wisatawan menginginkan pemilihan tanaman dengan tajuk rindang yang dapat menaungi dan memberi keteduhan di saat mereka melakukan aktivitas di bawahnya.

Konsep Perencanaan Lanskap Konsep Dasar Perencanaan Lanskap

Penataan lanskap sebuah kawasan wisata menjadi kawasan wisata alam diperlukan konsep sebagai dasar perencanaan. Konsep perencanaan yang dikembangkan pada Kawasan Wisata GTJ ini adalah kawasan wisata alam yang terintegrasi dengan wisata penunjangnya di Timur Waduk Ir. H. Djuanda yang berkelanjutan. Penerapan konsep pada lanskap berupa model rencana pengembangan yang disesuaikan dengan karakter lanskap dan potensi wisata di kawasan tersebut. Dari hasil analisis penilaian potensi sumberdaya dan sumberdaya wisata, didapatkan zona potensi tinggi, sedang, dan rendah dimana dua zona di antaranya merupakan pusat pengembangan ruang wisata alam dengan model rencana pengembangan berikut ini.

(37)

108

 

1. Zona Wisata Utama (Wisata Alami)

Adapun kawasan yang termasuk zona potensi tinggi ditetapkan sebagai zona wisata utama dimana terdapat atraksi wisata yang memiliki nilai tinggi. Ruang ini berada pada kawasan lanskap dengan vegetasi dominan hutan atau lanskap karakter alami, sehingga pengembangan menjadi kawasan wisata alami. Ruang wisata ini tergolong wisata semi intensif dikarenakan terdapat lereng yang relatif bervariasi mulai dari sedang hingga curam 8-45% sehingga perlu pembatasan terhadap aktivitas wisata dan struktur bangunan yang bersyarat.

2. Zona Wisata Penunjang (Wisata Semi Alami)

Kawasan yang termasuk zona potensi sedang ditetapkan sebagai zona wisata penunjang yang berada pada kawasan lanskap dengan kombinasi karakter alami dan buatan (man made), sehingga pengembangan menjadi wisata semi alami. Ruang ini merupakan ruang yang mampu mengakomodasikan pengunjung ketika daya tampung pengunjung di zona wisata utama telah penuh. Ruang wisata ini tergolong wisata intensif dan semi intensif, namun tetap ada pembatasan aktivitas, terutama di sempadan waduk Ir. H. Djuanda dan Sungai Citarum. Aktivitas yang diizinkan adalah aktivitas yang tidak merusak alam.

3. Zona Pendukung Wisata

Kawasan yang termasuk zona potensi rendah ditetapkan sebagai zona pendukung wisata. Ruang ini terletak pada area yang memiliki nilai sumberdaya wisata yang rendah dan memerlukan perlakuan untuk fungsi konstruksi dengan pemadatan tanah karena permeabilitas yang kurang baik. Selain itu, untuk lereng yang lebih dari 15% diperlukan rekayasa dengan retaining wall dan lereng yang lebih dari 40% diarahkan untuk fungsi konservasi. Fasilitas pendukung wisata pada ruang ini, yaitu information centre, hotel, bungalow, atm centre, kolam renang, restoran, taman bermain, kios souvenir, dan fasilitas lainnya.

(38)

Konsep Ruang Fungsional

Konsep ruang dibuat dengan tujuan untuk menata dan mengalokasikan fungsi-fungsi yang akan dikembangkan pada tapak, yaitu sebagai kawasan wisata alam. Pembagian ruang dibagi menjadi enam ruang utama, yaitu (1) ruang penerimaan, (2) ruang pelayanan dan penunjang wisata, (3) ruang wisata inti, dimana ruang ini terbagi menjadi satu sub ruang, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan tinggi, (4) ruang wisata penunjang, dimana ruang ini terbagi menjadi dua sub ruang, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan sedang dan rendah, (5) ruang penyangga, dan (6) ruang konservasi (Gambar 47).

1 Ruang Penerimaan

Ruang penerimaan ini merupakan pintu masuk utama bagi para wisatawan untuk memasuki Kawasan Wisata GTJ. Pemilihan pintu masuk ke dalam kawasan wisata berdasarkan potensi kawasan sebagai kawasan wisata alam yang ditunjang oleh aksesibilitas yang mudah dan fasilitas berupa gerbang utama, pos jaga,

signage, dan fasilitas lainnya.

2 Ruang Pelayanan dan Penunjang Wisata

Ruang pelayanan merupakan ruang pengenalan sebelum memasuki ruang inti. Ruang ini direncanakan agar para wisatawan mendapatkan informasi sekilas mengenai GTJ. Wisatawan dapat memilih paket wisata touring circuit atau

longer stay. Untuk mendukung konsep ini direncanakan fasilitas berupa

information centre, hotel, convention centre, restoran, kios, souvenir shop, kolam renang, atm centre, fitness centre, travel agency, money changer, laundry, mess karyawan, pemadam kebakaran, pos, klinik, children playground, dan fasilitas lainnya.

3. Ruang Wisata Inti

Ruang inti merupakan ruang yang mengakomodasi aktivitas wisata alam. Berdasarkan potensi sumberdaya lanskap, khususnya kemiringan lahan dan vegetasi, terdapat sub ruang inti berdasarkan intensitas dan tingkat tantangannya, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan yang tinggi. Ruang wisata dengan tingkat tantangan tinggi (wisata alam) merupakan ruang yang dikembangkan

(39)

110

 

sebagai ruang wisata semi intensif. Di ruang ini, wisatawan dapat melakukan

hiking, tracking, camping, dan rekreasi pasif seperti photo hunting, dan

birdwatching.

4. Ruang Wisata Penunjang

Ruang ini merupakan ruang yang dapat mengkomodasikan wisatawan apabila daya dukung di ruang wisata inti telah penuh. Terdapat sub ruang berdasarkan intensitas dan tingkat tantangannya, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan yang sedang dan rendah. Ruang wisata dengan tingkat tantangan sedang (wisata air) terdapat di area sempadan waduk (sekitar 70 m dari garis waduk) dan waduk yang dikembangkan sebagai wisata intensif dan semi intensif. Ruang wisata ini terdiri dari objek dan atraksi wisata, yaitu dermaga apung, dermaga kampung air, JWW, dan kolam pemancingan. Di ruang ini wisatawan dapat melakukan aktivitas ski air, berkano, polo air, water sliding, dan outbond. Wisata semi intensifnya digolongkan sebagai wisata teknologi, yaitu mengunjungi bendungan utama dan bangunan-bangunan operasional, dan museum teknologi.

Ruang wisata dengan tingkat tantangan rendah (agrowisata) merupakan ruang budidaya ikan dengan jaring terapung dimana wisatawan dapat berkeliling area tersebut dengan perahu, belajar mengenai budidaya ikan, dan mengemas ikan untuk didistribusikan di pelelangan ikan. Selain itu wisatawan dapat turun ke sawah dan kebun milik penduduk sekitar, serta ke pembibitan tanaman hias (nursery) dimana wisatawan dapat mempraktikkan sendiri mengolah tanah, menanam benih, dan melakukan pengamatan terhadap tanaman yang terdapat di kebun, ladang, maupun rumah kaca.

5. Ruang Penyangga

Ruang penyangga merupakan ruang yang berfungsi menyangga ruang-ruang wisata di dalam Kawasan Wisata GTJ dari gangguan yang berasal dari luar kawasan maupun aktivitas berlebih dari pengunjung. Ruang ini ditujukan untuk menjaga keberlanjutan wisata dan melindungi keseimbangan ekosistem di dalamnya. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti duduk-duduk, memancing, berfoto, dan belanja ikan di pasar pelelangan ikan.

(40)

6. Ruang Konservasi

Ruang konservasi merupakan ruang yang berfungsi melindungi kawasan wisata dari kerusakan. Ruang ini memiliki sumberdaya lanskap yang cukup rentan dengan kemiringan lahan 25-45% dan keberadaan vegetasi yang perlu dipertahankan untuk menjaga kestabilan tanah dan cadangan air tanah. Pada ruang ini aktivitas yang dapat dilakukan seperti berjalan, melakukan pengamatan, dan aktivitas lainnya yang bersifat konservasi.

Gambar 47. Diagram konsep pembagian ruang

Konsep Tata Hijau

Konsep tata hijau yang akan dikembangkan adalah penataan vegetasi sebagai sumberdaya lanskap yang disesuaikan dengan fungsi ruang dan jenis atraksi wisata yang dikembangkan. Konsep tata hijau ini dibagi menjadi empat zona yaitu (1) zona inti, sebagai pusat aktivitas wisata, (2) zona pengembangan, dimana terdapat fasilitas-fasilitas wisata, (3) zona penyangga, sebagai inviolate belt, (4) zona konservasi, sebagai pelindung kawasan dari kerusakan dimana sebagian besar terdiri atas tegakan pohon alami. Konsep vegetasi yang direncanakan di zona inti adalah zona tanaman kayu, zona tanaman perkebunan, dan zona tanaman pangan. Dalam zona pengembangan konsep vegetasi diarahkan pada fungsi arsitektural dan artistik, sedangkan dalam zona konservasi dan

Ruang Pelayanan  dan Penunjang  Wisata            Ruang Penyangga  Ruang  Wisata Inti  Ruang  Wisata  Penunjang  Ruang  Penerimaan  Ruang Konservasi  Ruang Konservasi

(41)

112

 

penyangga konsep vegetasi diarahkan pada fungsi ekologis yang dapat merekayasa iklim serta mengontrol erosi tanah dan air.

Konsep Sirkulasi

Konsep sirkulasi di kawasan wisata terbagi menjadi tiga, yaitu jalur sirkulasi primer, sekunder, dan tersier (Gambar 48). Jalur sirkulasi primer di kawasan wisata ini yaitu berupa jalan aspal yang biasa dilalui kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, mobil wara-wiri, dan pejalan kaki yang berfungsi menghubungkan ruang-ruang utama. Selanjutya, jalur sirkulasi sekunder yang berfungsi menghubungkan kelompok-kelompok atraksi wisata dalam satu ruang wisata utama atau wisata penunjang berupa jalan yang dapat diakses oleh pejalan kaki, kendaraan roda dua, dan kendaraan roda empat. Jalur sirkulasi tersier berupa jalur pedestrian yang menghubungkan antara fasilitas satu dengan fasilitas lainnya dalam masing-masing kelompok atraksi tersebut.

Keterangan : Sirkulasi Primer Sirkulasi Sekunder Sirkulasi Tersier

Gambar 48. Diagram konsep sirkulasi Ruang Pelayanan  dan Penunjang  Wisata            Ruang Penyangga      Ruang  Penerimaan  Ruang Konservasi  Ruang Konservasi  Ruang  Wisata Inti    Wisata  Penunjang 

(42)

Konsep Aktivitas Wisata dan Pengembangannya

Konsep aktivitas wisata yang akan dikembangkan adalah pengembangan aktivitas wisata yang melestarikan nilai alam sesuai dengan sumberdaya lanskap yang terdapat di Kawasan Wisata GTJ (vegetasi hutan, air, persawahan, ladang). Diharapkan sumberdaya yang terdapat di kawasan tetap terjaga dan wisata yang terdapat di dalamnya dapat berkelanjutan. Pemilihan bentuk wisata direncanakan beragam, mulai dari bentuk wisata dengan tingkat tantangan tinggi (wisata alam), wisata dengan tingkat tantangan sedang (wisata air), dan wisata dengan tingkat tantangan rendah (agrowisata). Bentuk wisata ini diklasifikasikan ke dalam paket-paket wisata, yaitu paket-paket wisata perorangan dan berkelompok, sehingga dapat dipilih touring circuit sesuai dengan rute perjalanan yang diinginkan ataupun

longer stay dengan pelayanan yang ingin didapatkan sebelum atau sesudah melakukan aktivitas wisata. Hal ini didasarkan pada segmentasi pasar wisata dengan pendekatan identitas, persepsi, preferensi wisatawan melalui kuesioner, yang dipengaruhi oleh tiga indikator yaitu geografis (asal wisatawan), sosio-profesional (umur, jenis kelamin, jumlah pendapatan, dan pekerjaan) dan motivasi wisata (menikmati alam, pendidikan).

Konsep Fasilitas Wisata dan Pengembangannya

Fasilitas yang direncanakan sesuai dengan kondisi lingkungan dan budaya lokal. Penataan tata letak fasilitas yang mendukung kegiatan wisata alam, wisata air, wisata teknologi, dan agrowisata, terutama dalam menginterpretasikan nilai-nilai alam dan teknologi yang terdapat pada kawasan wisata ini. Adapun fasilitas dibagi menjadi dua yaitu fasilitas utama dan fasilitas pelengkap. Fasilitas utama adalah fasilitas yang diperuntukkan bagi pariwisata alam, sedangkan fasilitas pelengkap adalah fasilitas umum, sign system, maupun site furniture.

Daya Dukung Kawasan

Daya dukung merupakan kemampuan kawasan untuk menerima sejumlah pengunjung dengan intensitas penggunaan maksimal terhadap sumber daya yang berlangsung terus-menerus tanpa merusak lingkungan. Daya dukung tersebut sangat menentukan keberlanjutan kawasan wisata. Dengan adanya daya dukung kawasan wisata alam tersebut dapat dilakukan pengendalian terhadap jumlah wisatawan yang

(43)

114

 

berkunjung. Daya dukung dapat dihitung dengan cara membagi luas area suatu kawasan dengan standar kebutuhan ruang per orang (Tabel 13 ).

Tabel 14. Daya dukung kawasan

Aktivitas Luas atau

Panjang Area (m2 atau m) Standar Kebutuhan Ruang (m2 atau m/orang) Daya Dukung (orang) Wisata Alam Hiking Picnicking Camping Flying fox Bungee Jumping Canopy Trail 7.000 7.500 10.900 300 200 700 25 16.6 20 8 8 25 280 451 545 37 25 28 Subtotal 1.366 Wisata Air dan Sempadan

Waduk Fishing Speed boating Canoeing Photo hunting* • Outbond Waterskiing Swimming (JWW) • Panggung Terbuka • Kolam Pemancingan 19.300 557.640 743.520 7.300 2.800 557.640 1.100 2.050 1.000 10 5.000 5.000 2 8 2.500 3 10 10 1.930 111 1.487 3.650 350 223 366 205 100 Subtotal 8.422 Wisata Teknologi • Melihat dan mencari informasi 17.500 7 2500 Wisata Pertanian • Aktivitas tani • Photo hunting* • Aktivitas budidaya ikan • Aktivitas perbanyakan tanaman • Aktivitas belanja di pelelangan 225.850 15.300 1.743.500 21.700 12.900 8 2 600 8 1.5 2831 7.650 2.905 2.712 8.600 Subtotal 17.093 Akomodasi dan Pelayanan

• Menginap • Pelayanan 36.400 42.100 20 2 1.820 21.050 Subtotal 22.870

Keterangan: * Kapasitas photo hunting untuk satu orang dengan tripod

(44)

Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap ini didasarkan pada konsep wisata alam di Timur Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu meningkatkan potensi alam sebagai wisata yang berkelanjutan yang harus memiliki prinsip (1) nilai edukatif, (2) nilai rekreatif, (3) memberikan keuntungan kepada komunitas lokal, pengelola, wisatawan, dan pemerintah, (4) meningkatkan peran serta komunitas lokal, dan (5) berorientasi pada kepentingan konservasi kawasan.

Pendekatan yang dilakukan dalam perencanaan ini adalah pendekatan sumberdaya dan aktivitas pengunjung sehingga diperoleh kebutuhan ruang dan

touring plan yang menghubungkan ruang-ruang wisata dengan tingkat penggunaan tertentu dan tipe kelompok pengunjung yang berbeda.

Rencana Ruang (Lanskap)

Berdasarkan konsep perencanaan lanskap kawasan wisata GTJ dan data yang telah dianalisis secara spasial maupun dilihat dari potensi dan kendalanya diperoleh kawasan wisata alam dengan luas 3580.25 Ha, termasuk di dalamnya sebagian kecil waduk Ir. H. Djuanda dengan luas 3009.4 Ha yang dapat digunakan untuk wisata, yang dibagi menjadi lima ruang utama. Lima ruang tersebut meliputi (1) ruang penerimaan, (2) ruang pelayanan dan penunjang wisata, (3) ruang wisata inti, (4) ruang wisata penunjang, (5) ruang penyangga, dan (6) ruang konservasi.

1. Ruang penerimaan memiliki luas 3 Ha (0.084% dari luas keseluruhan). Ruang penerimaan ini merupakan pintu masuk utama bagi para wisatawan untuk memasuki Kawasan Wisata GTJ. Penetapan ruang ini berdasarkan letaknya yang strategis dan aksesibilitas yang memadai. Ruang ini ditujukan untuk memberikan kesan dan identitas awal dari suatu kawasan wisata. Selain itu, ruang ini memberikan kemudahan bagi pengelola kawasan dalam mengidentifikasi jumlah dan identitas pengunjung yang datang ke kawasan. 2. Ruang pelayanan dan penunjang wisata memiliki luas 50.97 Ha (1.42% dari

luas keseluruhan). Ruang pelayanan merupakan ruang pengenalan sebelum memasuki ruang inti. Ruang ini direncanakan agar para wisatawan

(45)

116

 

mendapatkan informasi sekilas mengenai GTJ dan pelayanan yang disediakan pihak pengelola. Ruang ini memiliki sub ruang pelayanan yang di dalamnya terdapat akomodasi (hotel, bungalow, mess karyawan), restoran, jasa-jasa lain (kantor pos, fitness centre, souvenir shop, money changer, atm center klinik, travel agency, pemadam kebakaran, indosat) dan fasilitas-fasilitas lainnya (lapangan olahraga, kolam renang, sarana peribadatan). 

3. Ruang wisata inti memiliki luas 111.31 Ha (3.11% dari luas keseluruhan). Berdasarkan potensi lanskap, khususnya topografi dan vegetasi, terdapat sub ruang inti berdasarkan intensitas dan tingkat tantangannya, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan yang tinggi. Ruang wisata dengan tingkat tantangan tinggi (wisata petualangan) merupakan ruang wisata utama yang dikembangkan sebagai ruang wisata semi intensif. Pada ruang ini terdapat objek wisata utama yaitu hutan wisata dengan atraksi beragam, yaitu trails

(Gambar 56), flying fox (Gambar 55), camping ground, picnic lawn

(Gambar 57), rumah pohon, dan menara pandang. Di ruang ini, wisatawan dapat melakukan hiking, tracking, camping, picnicking dan rekreasi pasif seperti fotografi, dan birdwatching.

4. Ruang wisata penunjang terbagi atas bagian daratan dengan luas 133.8 Ha (3.74% dari luas keseluruhan) dan perairan dengan luas 3009.4 Ha (84.06% dari luas keseluruhan). Berdasarkan potensi lanskap, khususnya topografi dan vegetasi, terdapat dua sub ruang berdasarkan intensitas dan tingkat tantangannya, yaitu ruang wisata dengan tingkat tantangan yang sedang dan rendah. Subruang wisata dengan tingkat tantangan sedang terdapat di area sempadan waduk (sekitar 70 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat) sebagai wisata semi intensif dan waduk yang dikembangkan sebagai wisata intensif. Subruang wisata ini terdiri atas objek wisata air, yaitu waduk Ir. H. Djuanda yang dilengkapi dengan atraksi wisata, yaitu dermaga apung (Gambar 52), dermaga kampung air, dan kolam pemancingan. Di ruang ini wisatawan dapat melakukan aktivitas ski air, berkano, polo air, giant bubble, water sliding, dan outbond. Selain itu, di dalam subruang wisata dengan tingkat tantangan sedang terdapat bendungan utama sebagai objek

(46)

wisata utama dilengkapi dengan atraksi wisata, yaitu Museum Teknologi (Gambar 51). Subruang wisata ini digolongkan sebagai wisata semi-intensif karena terkait dengan pengendalian daya dukung terhadap fungsi sempadan sungai. Subruang wisata dengan tingkat tantangan rendah (agrowisata) terbagi menjadi (1) ruang budidaya ikan dengan jaring terapung, dimana wisatawan dapat berkeliling area tersebut dengan perahu, belajar mengenai budidaya ikan, dan mengemas ikan untuk didistribusikan di pelelangan ikan (Gambar 53), (2) ruang budidaya pertanian yang terdiri dari sawah, kebun milik penduduk sekitar (Gambar 54), serta ke pembibitan tanaman hias (nursery) dimana wisatawan dapat mempraktikkan sendiri mengolah tanah, menanam benih, dan melakukan pengamatan terhadap tanaman yang terdapat di kebun, ladang, maupun rumah kaca (Gambar 50).

5. Ruang penyangga memiliki luas 129.01 Ha (22.60% dari luas daratan dan 3.60% dari luas keseluruhan). Ruang penyangga merupakan ruang yang berfungsi menyangga ruang-ruang wisata di dalam Kawasan Wisata GTJ dari gangguan yang berasal dari luar kawasan. Ruang ini direncanakan sebagai RTH (jalur hijau, koridor, dan taman) untuk memodifikasi iklim mikro sehingga lebih nyaman bagi pengunjung dan menjaga keberlanjutan wisata dan melindungi keseimbangan ekosistem di dalamnya.

6. Ruang konservasi memiliki luas 142.67 Ha (24.99% dari luas daratan dan 3.98 % dari luas keseluruhan). Ruang konservasi merupakan ruang yang berfungsi melindungi kawasan wisata dari kerusakan, mengkonservasi tanah dan ketersediaan cadangan air tanah. Ruang ini direncanakan sebagai area vegetasi dengan tegakan pohon alami. Jenis kegiatan yang dapat dilakukan merupakan kegiatan yang bersifat konservasi seperti pengamatan, pengelolaan, dan pendidikan. 

Gambar

Gambar 36. Cara vegetasi mengontrol radiasi matahari: (a) 4 mekanisme vegetasi;
Gambar  38. Cara vegetasi mengontrol pengikisan tanah oleh air hujan
Gambar 39. Cara vegetasi mengontrol angin
Tabel 12. Penilaian kelayakan objek dan atraksi wisata eksisting
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

5.7.3 Evaluasi Uji Coba Waktu Pengambilan Data Berdasarkan hasil uji coba sistem pada dataset CCTV dengan mengimplementasikan panjang frame dan overlapping frame

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian dengan judul ―Pengaruh Terapi Emotional

Sebagai penyair indonesia yang memiliki intensitas penghayatan keilahian (ketauhidan) dan religiositas tinggi. Rasa marah yang menyesak di dada dengan berbagai variasinya,

Hasil uji f.hitung = 5.742 lebih besar daripada nilai f.tabel = 2.70 dengan sig, 0.001 &lt;0.05 dari hasil tersebut didapat kesimpulan bahwa Ha diterima hal ini menunjukkan

Abstrak: Setiap organisasi, baik yang melayani kepentingan publik organisasi milik negara maupun swasta, menginginkan adanya pencapaian maksimal yang terkait dengan

Penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta selama satu minggu dengan Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa dari segi usia

Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

Penelitian dalam penelitian ini memfokuskan kajian pada 4 pembahasan yaitu definisi arah menghadap kiblat dalam istilah fiqh, aplikasi teori mana yang sesuai