• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.1

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi Mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

1

(2)

Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digologkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku.

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang yang dinilai serta mendapat reaksi yang yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat begitu juga dengan kejahatan mutilasi.

Tindak pidana mutilasi (human cutting body) merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan bagian tubuh tertentu. Dalam hal lain mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi yaitu, pemotongan bagian tubuh tertentu dalam hal kepentingan medis.

Berdasarkan tinjauan sejarah, mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan

(3)

tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan female genital mutilation (FGM), merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

Maraknya modus mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor di samping untuk menghilangkan jejak, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku

Dalam hal telah terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan Mutilasi sangatlah di perlukan peran dan tugas pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal

(4)

dalam Pengungkapannya sebab penbunuhan yang dilakukan secara mutilasi atau dengan memotong-motong korbanya sangat susah untuk di lakukan pengungkapan di karenakan kondisi korban yang rusak dan banyaknya anggota tubuh yang hilang, ini membutuhkan kerja keras dari pihak kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal, jadi dengan Keberadaan institusi Kepolisian dalam kehidupan masyarakat harus dapat mewujudkan hukum dalam kenyataan, menjamin kepastian hukum, dan keadilan, sehingga memegang peranan penting dalam mewujudkan Negara hukum.2

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya Baik buruknya citra suatu Negara hukum sebahagian turut ditentukan oleh kinerja Kepolisian negaranya. Kebutuhan pokok setiap manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga Negara adalah terjaminnya kesejahteraan dan keamanan hidupnya. Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama yang mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradad berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada dasarnya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 sebagai berikut :

2

Hasil Wawancara dengan IPTU M. Idris Harahap Di Polresta Medan tanggal 2 September 2010

(5)

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

Fungsi kepolisian merupakan bagian dari suatu fungsi pemerintahan Negara dibidang penegaka hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum, kepolisian sebagai integral fungsi pemerintah negara, ternyata fungsi tesebut memiliki takaran yang begitu luas, tidak sekedar aspek refresif, dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana saja, tapi juga mencakup aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang begitu melekat pada fungsi utama hukum administratif dan bukan kopetensi pengadilan.3

Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pihak Polri khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mencari dan menemukan para pelaku kejahatan, serta memberikan rasa aman bagi setiap warga negara dan mencegah agar tidak terjadi Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat sudah seharusnya pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal mewujudkan rasa aman tersebut. Dalam hal mengungkap tindak pidana pembunuhan diperlukan kerja keras dari pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mengidentifikasi korban agar menemukan siapa yang menjadi otak pelaku pembunuhan tersebut dan segera untuk menghukum para pelaku pembunuhan tersebut.

3

(6)

lagi kejahatan ini sesuai dengan apa yang menjadi cita – cita Pihak kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dan sudah diatur dalam Undang – undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

melatar belakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai motif tindak pidana mutilasi dari segi penyimpangan perilaku seksual apakah antara satu sama lain memiliki keterkaitan yang erat, dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal dalam meneliti aspek-aspek kejiwaan pelaku serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelaku, serta bagaimana peranan pemeriksaan psikologis sebagai pembuktian unsur bersalah sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa

Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul : PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA MUTILASI (STUDI LAPANGAN DI POLRESTA MEDAN)

B. Perumusan Masalah

Dari judul skripsi di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Peranan Tugas Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak pidana Mutilasi.

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi.

3. Upaya – upaya satuan Reserse Kriminal dalam Menanggulangi tindak pidana Mutilasi.

(7)

C. Tujuan Penulisan

Yang menjadi tujuan Penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Peranan dan Tugas Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menjadi Penyebab Tindak Pidana Mutilasi di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui Upaya-upaya dari Satuan Reserse Kriminal untuk Menanggulangi Tindak Pidana Mutilasi.

D. Manfaat Penelitian

Penulisan Skripsi ini kiranya dapat memberi manfaat kepada pembaca baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis, yaitu untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis, diharapkan datar memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat pada umumnya. Tentang peranan Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul Peranan Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Lapangan di Poltabes Medan), yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan, dan dari media

(8)

masa baik cetak maupun elektronika. Selanjutnya dari penelusuran ke perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi.

Apabila dikemudian hari ternyata ada skripsi yang sama baik judul maupun isi keseluruhan maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.4

Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni Straf, baar dan feit, Straf diterjemahkan dengan hukum dan pidana. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Maka secara sederhana, strafbaar feit dapat diartikan sebagai suatu tindakan, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan yang dapat dihukum atau dipidana.5

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari hukum

4

Drs. Adami Chazawi, SH, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta : PT, Raja Grafindo Psersada, 2002), hal 67.

5

(9)

istilah strafbaar feit adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan pidana.6

Menurut Wirjono Prodjodikoro, indak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.7

Menurut Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakukan orang

(menselijke gendraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.8

Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefenisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.9

1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakukan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

Adapun yang menjadi alasan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana adalah :

2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena

6

Ibid hal 67-68 7

Ibid, hal. 75 8

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Reneka Cipta, 1993), hal, 56.

9

Drs. Adami Chazawi, SH, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta : PT, Raja Grafindo Psersada, 2002), hal 71.

(10)

itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbukan orang tadi, melanggar larangan ) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

2. Pengertian Tindak Pidana Mutilasi

Dalam membahas mengenai terminologi kata atau istilah mutilasi hal ini memiliki pengertian atau penafsiran makna dengan kata amputasi sebagaimana yang sering dipergunakan dalam istilah medis kedokteran. Menurut beberapa sarjana peristilahan kata mutilasi dapat diartikan dalam terminologi sebagai berikut :

a. Zax Specter10

b. Ruth Winfred

Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

11

c. Definisi Black Law Dictionary

Mutilasi atau amputasi atau disebut juga dengan flagelasi adalah pembedahan dengan membuang bagian tubuh

12

10

Gilin Grosth, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, (Yogyakarta : Prima Aksara,2004), hlm. 73 11

(11)

Memberikan definisi mengenai mutilasi atau (mutilation) sebagai “the act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self-defenseBerdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa mutilasi atau amputasi adalah suatu keadaan, kegiatan yang secara sengaja memisahkan, memotong, membedah atau membuang satu atau beberapa bagian dari tubuh yang menyebabkan berkurang atau tidak berfungsinya organ tubuh.

Definisi terhadap mutilasi atau amputasi itu sendiri memiliki perbedaan dengan kategori tindak pidana mutilasi, selain dikarenakan kepentingan medis terhadap keselamatan jiwa individu juga terdapat beberapa ciri atau karakteristik mendasar yang membedakannya dengan tindak pidana mutilasi yaitu adanya indikasi bedah amputasi berupa :13

12

Bryan Garner, Black Law Dictionary, (Oxford University,1999) hlm. 127 13

Supardi Ramlan, Op.Cit, hlm. 41

a. Iskemia karena penyakit rekularisasi perifer, biasanya pada orang tua seperti orang yang terkena artheroklerosis dan diabetes mellitus

b. Trauma amputasi, bisa diakibatkan karena perang, kecelakaan, thermal injury seperti terbakar, tumor, infeksi, gangguan metabolisme seperti pagets disease dan kelainan congenital.

(12)

Disamping itu didalam bedah mutilasi itu sendiri memperguanakan metode secara tersistematis sehingga berbeda dengan tindak pidana mutilasi, yaitu sebagai berikut :14

Mutilasi memiliki beberapa dimensi, seperti dimensi perencanaan (direncanakan-tidak direncanakan), dimensi pelaku (individu-kolektif), dan dimensi ritual atau inisiasi, serta dimensi kesehatan atau medis. Dengan demikian, perbuatan memutilasi tidak dapat dipukul rata sebagai tindakan kriminal yang a. Metode terbuka (guillotine amputasi)

Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi

b. Metode tertutup (flap amputasi)

Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat ditarik suatu pemahaman jelas mengenai definisi mutilasi dalam kepentingan medis.

Dalam sejarah peradaban manusia, sebenarnya terdapat tindakan mutilasi yang secara budaya dapat diterima atau dibenarkan. Atas dasar ini mutilasi tidak hanya terbatas pada tindakan memotong-motong tubuh manusia yang satu oleh manusia yang lain, tetapi juga mencakup tindakan yang menyebabkan luka tubuh, dan biasanya tidak menyebabkan kematian.

3. Jenis-Jenis Mutilasi

14

(13)

dapat dikenakan sanksi pidana. Darimutilasi memiliki beberapa dimensi, seperti dimensi perencanaan (direncanakan-tidak direncanakan), dimensi pelaku (individu-kolektif), dan dimensi ritual atau inisiasi, serta dimensi kesehatan atau medis. Dengan demikian, perbuatan memutilasi tidak dapat dipukul rata sebagai tindakan kriminal yang dapat dikenakan sanksi pidana. Dariberbagai macam jenis mutilasi, secara umum setidaknya tindak pidana mutilasi dibagi menjadi dua bagian yaitu:15

Untuk dapat mengkategorikan mutilasi sebagai tindak pidana dipergunakan kategori bahwa sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formil atau materil. pembagian tindakan yang terlarang secara formil atau materil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum pidana nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan (misdrijven) dan a. Mutilasi defensif (defensive mutilation), atau disebut juga sebagai pemotongan

atau pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti atau untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh korban.

b. Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”. Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban.

15

(14)

pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang.

Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti.

4. Pengertian Penyelidikan

Polisi dalam menjalankan tugasnya dapat dibedakan antara tugas yang bersifat preventive dan tugas yang bersifat refresif. Tugas yang bersifat preventive

tersebut menghendaki kehadiran dan eksistensi Polisi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dimaksudkan sebagai “upaya prevensi”. Dengan demikian kehadiran dan keberadaan polisian dianggap mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah anggota masyarakat melakukan tindak kriminal. Sedangkan tugas yang bersefat refrensif dilakukan dengan mengadakan penyidikan atas suatu kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Tindak Pidana Khusus yang diatur di luar KUHP.16

16

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 90.

Berbicara mengenai penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan menurut KUHAP berarti mengemukakan Penyelidikan dan Penyidikan serta berebagai kewenangan Kepolisian di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

Pengertian Penyelidik

Pasal 1 butir 4 KUHAP merumuskan sebagai berikut :

“Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan Penyelidikan”.

(15)

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat Polisi Republik Indonesia. Tegasnya, Penyelidik adalah setiap pejabat POLRI. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan . Penyelidikan “monopoli tunggal” POLRI.17

1. Mendahului guna mempersiapkan tindakan-tindakan Penyelidikan yang akan dilakukan.

Sementara itu yang dimaksud dengan Penyelidikan menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP adalah sebagai berikut :

“penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Umdang-Undang ini”

Maka pengertian Penyelidikan menurut KUHAP lebih cenderung dilakukan mendahului tindakan-tindakan lain. Pada hakekatnya Penyelidikan menurut KUHAP bertujuan untuk :

2. Mencegah terjadinya pelanggaran hak warga negara. 3. Mengatasi penggunaan upaya paksa secara dini.

4. Menghindarkan penyidik kemungkinan timbulnya resiko tuntutan hukum karena tindakan penyidikan yang dilakukan.

5. Membatasi dan mengawasi pelaksanaan penyelidikan agar dilakukan secara terbuka (pasal 104 KUHAP).18

17

. Ibid, hal. 103. 18

ABRI MABES Kepolisian Negara Republik Indonesia, Himpunan JUKLAK dan JUKNIS Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, (Jakarta, 1987), hal, 3.

(16)

Penyelidikan dapat dilakukan dengan adanya laporan atau pengaduan, ataupun adanya tersangka tertangkap tangan, maupun pengatahuan petugas pelaksana huku m sendiri, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 102 KUHAP yang menyatakan :

1. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

2. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b. 3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayati (1) dan ayat (2)

penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik sedaerah hukum.

Dengan adanya sumber tindakan ini dilakukanlah Penyelidikan untuk menentukan apakah dapat dilakukan Penyidikan atau tidak. Adapun hasil dari usaha Penyelidikan ini akan berjalan pada dua saluran, yaitu :

a. Saluran tindakan penyidikan.

b. Saluran pembelaan diri bagi tersangka/terdakwa.

Dengan kedua saluran ini, pada akhirnya bermuara pada terwujudnya keadilan, bebas, jujur dan tidak memihak.19

19

Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Bedasarkan KUHAP, (Bandung :

(17)

Jadi jelaslah bahwa lembaga Penyelidikan di sini mempunyai fungsi sebagai penyaring apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak, sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.20

Seperti kita ketahui bahwa setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana merupakan tindak pidana. maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekwensi digunakannya upaya paksa maka berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan. Jadi di sini kita lihat bahwa penyelidikan memegang perana penting, penyelidikan merupakan tindakan awal, dan tindakan-tindakan dalam rangka proses penyelesaian perkara itu tergantung pada penyelidikan yang mengawalinya.21

1. Terang, penyidikan artinya membuat terang atau jelas.

Pasal 1 butir jo. Pasal 6 ayat 1 KUHAP merumuskan sebagai berikut : “Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khsusu oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Sementara itu penyidikan berasal dari kata “sidik” yang berarti :

20

Ibid, hal. 37. 21

Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Pnyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal, 43.

(18)

2. Berkas (sidik jari), menyidik berarti mencari berkas-berkas dalam hal ini berkas-berkas kejahatan yang berati setelah berkas-berkas terdapat dan terkumpul kejahatan menjadi terang.22

Bertolak dari kedua kata “terang” dan “bekas” dari arti kata sidik itu maka penyidikan artinya membuat terang kejahatan, sehingga dapat diketahui peristiwa pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya.

Mengenai penyidikan ini dalam Pasal 1 ayat 2 KUHAP dikatakan :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dari rumusan tersebut diatas kita dapat melihagt unsur-unsur dari tindakan penyidikan, yaitu :

1. Merupakan serangkaian tindakan. 2. Dilakukan oleh penyidik.

3. Dalam hal yang diatur dalam KUHAP. 4. Menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

5. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan guna membuat terang suatu tindak pidana dan siapa tersangkanya.23

5. Pengertian Penyidikan

Pasal 1 butir jo. Pasal 6 ayat 1 KUHAP merumuskan sebagai berikut :

22

R. Sosilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Pekara Kriminal, (Bogor : Politea, 1989),

hal, 17.

23

D.P.M. Sitompul, Edwar Syahperenong, Hukum Kepolisian di Indonesia suatu Bunga Rampai, (Bandung :Transito, 1985), hal, 65.

(19)

“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khsusu oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Sementara itu penyidikan berasal dari kata “sidik” yang berarti : a. Terang, penyidikan artinya membuat terang atau jelas.

b. Berkas (sidik jari), menyidik berarti mencari berkas-berkas dalam hal ini berkas-berkas kejahatan yang berati setelah berkas-berkas terdapat dan terkumpul kejahatan menjadi terang.24

Bertolak dari kedua kata “terang” dan “bekas” dari arti kata sidik itu maka penyidikan artinya membuat terang kejahatan, sehingga dapat diketahui peristiwa pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya.

Mengenai penyidikan ini dalam Pasal 1 ayat 2 KUHAP dikatakan :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dari rumusan tersebut diatas kita dapat melihagt unsur-unsur dari tindakan penyidikan, yaitu :

1. Merupakan serangkaian tindakan. 2. Dilakukan oleh penyidik.

3. Dalam hal yang diatur dalam KUHAP. 4. Menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

24

R. Sosilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Pekara Kriminal, (Bogor : Politea, 1989),

(20)

5. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan guna membuat terang suatu tindak pidana dan siapa tersangkanya.25

Berbicara tentang kejahatan kita harus terlebih dahulu melihat dari sudut mana pengertian kejahatan itu di tinjau, secara umum pada dasarnya kejahatan ini diberikan pada suatu jenis atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat, oleh karena itu perbuatan jahat bertolak ukur pada alam nilai tentunya penafsiran yang diberikan peda perbuatan atau tingkah laku itu sangat relatif singkat, kerelatifannya terletak kepada penilaian yang diberikan oleh masyarakat diman perbuatan tersebut terwujud.

6. Pengertian Satuan Reserse Kriminal

26

Sedangkan nilai-nilai yang diberikan kepada kebudayaan masyarakat yang sangat bervariasi tersebut yang bertebar dia alam ini menyebabkan pengertian kejahatan maupun sifat maupun jenis kejahatan sangat terbantung kepada penilaian dan jenis reaksi yang diberikan oelh masyarakat diman terjadinya perbuatan itu oleh karena itu tidaklah heran pengertian kejahatan itu sangat tergantung dari mana kita melihat.27

Radcliff Brown mendefenisikan kejahatan sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu kebiasaan yang mendorong dilaksanakannya sanksi pidana. Thomas mendefenisikan kejahatan dari sudut psikologi sosial sebagai suatu

25

D.P.M. Sitompul, Edwar Syahperenong, Hukum Kepolisian di Indonesia suatu Bunga Rampai, (Bandung :Transito, 1985), hal, 65.

26

PROF, Chainur Arrasjid, SH, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hal 39.

27 Ibid

(21)

tindakan yang bertentangan dengan rasa solidaritas kelompok, individu dianggap sebagai anggota kelompoknya sendiri.28

W.A. Bonger kejahatan merupakan perbuatan yang immoil dan anti sosial yang tidak dikenhendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.

Paul Mudikdo Muliono kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma-norma yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.

29 Kejahatan ditinjau dari segi Juridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah difinitif maksudnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan undang-udang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap suatu perbuatan jahat.30

Seiring dengan banyaknya kejahatan yang terjadi maka diharapkan kepada Polisi yang memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam menanggulagi dan mengungkap kejahatan di kota-kota besar, keterlibatan Polri dalam penggulangan kejahatan dalam ruang lingkup sistem peradilan pidan dapat

Jika disoalkan tentang sifat hekekat dari perbuatan immoral terlihat bahwa ada dua sudut pandangan, subyektif dan obyektif. Subyektif jika dipandang dari sudut orangnya, adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, obyektif jika dipandang dari sudut masyarakat adalah merugikan masyarakat.

28

Dra. Ninik Widiyanti dan Drs. Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya ditinjau dari segi Kriminologi dan sosial,(Jakarta : PT. Pradnya Paramita), hal 12.

29

Chainur Arrasjid, Pengantar Psikologi Kriminal, (Medan : Yani Corporation, 1988), hal 60

30

(22)

menentukan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Sehingga dalam memberantas kejahatan tersebut tidak lepas dari peranan yang dijalankan oleh pihak Kepolisian khususnya untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, pihak Kepolisian telah membentuk satuan yang bertugas dalam memberantas kejahatan satuan tersebut diberi nama Reserse Kriminal (RESKRIM) .

maka yang dikatakan Reserse Kriminal adalah :

“satuan yang bertugas dalam mengungkap tindak pidana, mancari pelaku kejahatan, mengumpulkan bukti-bukti dan nantinya akan diproses secara hukum” 31

Tugas dari satuan Reserse Kriminal ini refresif yang dilakukannya dengan cara rahasia dengan menggunakan teknik Reserse seperti pengamanan /observasi, ini juga disebut “ la Police en civile” karena dalam tugasnya selalu menggunakan pakaian preman dan berbeda dengan Polisi yang lainya yang selalu menggunakan pakaian seragam dinas Kepolisian.

Dengan adanya satuan Reserse Kriminal ini akan membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat, contohnya dalam kasus pemukulan apakah betul telah terjadi tindak pidana pemukulan maka akan di cari kebenarannya dan akan di usut tuntas oleh satuan Resrse Kriminal.

32

31

Hasil Wawancara Dengan IPTU. M. Idris Harahap Di Poltabes Medan, tanggal 19 Juni 2010.

32

M.Faal, SH, M.H.Dilp Es, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1991) hal 44.

(23)

Berbeda dengan tugas Polisi administratif, Polisi Yudisial ini tindakannya selalu berdasarkan pada Undang-undang, seperti ketentuan Hukum Pidana (KUHP atau KUHAP) serta peraturan perundang-undangan lainnya, karena tugasnya banyak menyinggung hak-hak asasi yang bersifat refresif.

Dengan adanya satuan Reserse Kriminal ini setiap kejahatan yang terjadi di masyarakat akan di usut tuntas sampai pelakuanya di tangkap dan di jatuhi hukuman yang sesuai dengan perbuatannya sehingga memberikan efek jera bagi sipelaku.

G. Metode Penulisan 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Polresta Medan. Ditetapkan kota Medan sebagai tempat penelitian berdasarkan bahwa kota Medan merupakan salah satu kota Besar di Indonesia, tidak terlepas dari maraknya terjadi berbagai macam tindak pidana kejahatan seperti pencurian, penodongan, pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain, yang hal tersebut jelas-jelas dapat mengakibatkan terganggunya ketentraman kepentingan umum.

(24)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini digunakan pengumpulan data sebagai berikut : a. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

Penelitian di perputakaan (library research), yaitu melakukan penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan dengan masalah yang dihadapi, guna memperoleh data yang diperlukan yang bertsifat teori-teori ilmiah baik berupa buku-buku bacaan, ketentuan perundang-undangan, karya-karya ilmiah, brosur-brosur dan harian-harian umum yang penulis lakukan dengan jalan membaca dan mengutipnya.

b. Field research (Penelitian Lapangan)

Penelitian yang dilapangan (field research), yaitu melakukan penelitian dengan cara mendatangi objek-objek permasalahan, mengadakan wawancara dan tanya jawab berkaitan dengan pihak/instansi yang oleh kerena tugas dan bidangnya/kedudukannya berkaitan dengan penulisan ini. Hal mana penulis lakukan guna untuk mendapatkan ataupun mengetahui keadaan yang sebenarnya dari apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Dalam penulisan ini analisis data yang dugunakan adalah dengan cara kualitatif, karena dalam melakukan analisis data ini berpedoman pada tipe dan tujuan dari penulisan yang dilakukan dalam penelitian deskriptif maka data yang terkumpul diperoleh dari hasil penelitian langsung kelapangan, sehingga analisis data ini merupakan penjelasan terhadap penemuan dilapangan.

(25)

Dari penelitian data-data tersebut diatas, penulisan dapat memenuhi pembahasan skripsi secara metode deduksi yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang bersifat universal kepada fakta yang bersifat reprentatif (dari umum ke yang khusus). Selain itu dapat pula dilakukan secara metode induksi yaitu kesimpulan data yang bersifat refresentatif kepada data yang bersifat universal.

H. Sistimatika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiaannya maka penulis membagi skripsi ini dalam 5 bab.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan. Pada bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan juga diuraikan dalam bab ini.

Bab II : Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Peranan dan tugas satuan Reserese Kriminal sebagai Polisi Republik Indonesia dan Peranan Satuan Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.

Bab III : Disini penulis akan menjelaskan dan menguraikan tentang Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi.

Bab IV : Disini penulis akan menjelaskan dan menguraikan tentang Upaya-upaya dan Kendala-kendala Satuan Reserse Kriminal dalam Menanggulangi dan Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.

(26)

Bab V : Penutup, Kesimpulan dan saran

Pada Bab ini merupakan bab terakhir pada skripsi ini yang merupakan kesimpulan atas hal yang dibahas dan diuraikan atau merupakan jawaban atas anggapan dasar atau hipotesa dari skripsi yang berdasarkan penelitian perpustakaan serta penelitian lapangan. Dan selanjutnya dari kesimpulan yang telah diambil maka penulis mengajukan saran yang dianggap bermanfaat baik bagi kepentingan masyarakat maupun pemerintah khususnya penyidik POLRI serta kepada seluruh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Likuiditas Dan Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak Dengan Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Empiris Pada Perusahaan

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang diperoleh penulis dari penelitian yaitu mengenai ketentuan asuransi atas benda sebagai objek jaminan fidusia

3) mengidentifikasi data terkait jenis mekanisme perbaikan yang muncul dalam interaksi percakapan staf FO dengan pasien pada pelayanan administrasi rekam medik

Menjadi bahan informasi khususnya bagi pemerintah daerah dan pihak kepolisian dalam lingkup kota Surabaya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian

3.3 Menyimpulkan hasil pelaksanaan Peraturan Perundang- Undangan, Sistem Manajemen Mutu (SMM), dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Lingkungan

Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral (batang otak, serebelum atau otak) atau di perifer (telinga – dalam, atau saraf vestibular).. Fisiologik : ketinggian,

Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul PENGARUH PROFITABILITAS, GROWTH,

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan