• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serta Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam Kegiatan Gereja: Kajian Teologi Disabilitas dalam Pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Serta Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam Kegiatan Gereja: Kajian Teologi Disabilitas dalam Pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Serta Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam Kegiatan Gereja: Kajian Teologi Disabilitas dalam Pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD)

di GMIM Sion Tomohon

Oleh:

Evi Livenia Porayouw 712014106

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,

Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S. Si. Teol)

Program Studi Teologi

Fakultas Teologi

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Ucapan Terimakasih

Puji syukur penulis ungkapkan kepada Tuhan yang selalu hadir dan menyertai penulis dalam proses penulisan tugas akhir ini sehingga boleh terselesaikan dengan baik. Dalam proses penulisan tugas akhir ini, banyak pengalaman yang penulis alami baik suka maupun duka. Penulis percaya setiap proses yang terjadi dapat penulis lalui berkat pertolongan dan kekuatan dari Tuhan Yesus Kristus. Penulis menyadari hanya dengan berkat campur tangan Tuhan penulis dapat menyelesaikan proses pembelajaran di Fakultas Teologi. Keberhasil ini juga tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari orang-orang terkasih, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Mama, kakak Eva, dan adik William yang selalu mendoakan, memberi dukungan dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas akhir.

2. Fakultas Teologi yang didalamnya seluruh dosen, staf/pegawai yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman kepada penulis selama proses perkuliahan. 3. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D, sebagai pembimbing tunggal yang selalu mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Penulis berterimaakasih kepada beliau yang senantiasa memberikan kritikan, saran, motivasi, dan semagat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

4. Pdt. Dr. Tony Robert Tampake, selaku dosen wali yang senantiasa memberikan dukungan, semagat, dan motivasi kepada penulis.

5. GMIM Sion Tomohon didalamnya pendeta, pelayan khusus, dan warga jemaat yang telah mengijiankan penulis untuk melakukan penelitian.

6. Pdt. Altje Muaja, Pdt. Aneke Masinambow-Kaawoan, Christy Managtare, Danni Patinama, Bpk. Samson Mamudi dan Ibu Joice Lolowang yang telah menjadi informan dalam penulisan tugas akhir ini.

7. Rekan-rekan seperjuangan Teologi angkatan 2014. Penulis bersyukur kepada Tuhan yang telah mepertemukan kita semua dan bersyukur juga atas kebersamaan dan kekeluargaan yang boleh tercipta.

8. Anggrek Porajow sebagai keluarga terdekat di Salatiga yang selalu memberikan dukungan dan selalu bersama-sama dengan penulis.

(7)

vii

9. Rekan-rekan seperjuagan dalam penulisan tugas akhir, Dania Kamuntuan, Vina Inik, dan Josua Siregar yang saling memberikan semangat hingga akhir penulisan tugas akhir.

10.Teman-teman PPL 10 yang selalu memberikan dukungan.

11.Claudia Losu dan Regina Magiantang yang telah bersama-sama dengan penulis sejak awal perkuliahan, menjadi teman sekaligus sahabat.

12.Gloria Saraun yang telah menjadi teman sekaligus sahabat yang selalu menemani dan memberikan dukungan kepada penulis.

13.Easter Olivia yang telah menjadi teman yang selalu mendukung dan membantu penulis.

Salatiga, 9 September 2019

(8)

viii Abstrak

Penelitian ini akan mengkaji pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam kegiatan gereja di GMIM Sion Tomohon dengan kajian teologi disabilitas. Teologi disabilitas hadir untuk merekonstruksi kembali pemahaman yang selama ini keliru terhadap IDD berdasarkan pengalaman manusia berkaitan dengan disabilitas. Upaya ini dilakukan untuk memerangi diskriminasi, marjinalisasi, dan ignorisasi terhadap IDD. Gereja memiliki peran penting dalam mewujudkan upaya-upaya tersebut bersama dengan warga jemaatnya. Gereja merupakan salah satu tempat bagi seseorang untuk bertumbuh dan mengalami kasih Allah. Dalam persekutuan gereja, masih ada warga jemaat yang kurang terlibat aktif dalam pelayanan di antaranya IDD karena mereka dipandang sebagai yang lemah dan tak berdaya. Sebagai komunitas inklusif yang gereja harus bersikap terbuka dan menerima setiap keberagaman yang ada. Berdasarkan hal tersebut gereja harus memberikan kesempatan bagi IDD untuk mengembangkan talenta-talenta yang dimiliki dengan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan gereja. Keterlibatan IDD dalam kegiatan gereja merupakan salah satu bentuk pengakuan gereja atas keberadaan IDD di tengah-tengah persekutuannya. Disabilitas yang dimiliki tidaklah menjadi penghalang bagi IDD untuk melayani Tuhan.

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman judul ... i

Lembar Pengesahan... ii

Pernyataan Tidak Plagiat... iii

Pernyataan Persetujuan Akses ... iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v

Ucapan Terimakasih ... vi

Abstrak... viii

Daftar isi ... ix

1. Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan ... 4

1.3. Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Metode Penelitian ... 4

1.5. Sistematika Penulisan ... 5

2. Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja Menurut Teologi Disabilitas ... 5

2.1. Disabilitas ... 5

2.2. Insan dengan Disabilitas di Indonesia... 7

2.3. Teologi Disabilitas ... 8

2.4. Gereja dan Disabilitas ... 9

2.5. Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja ... 12

2.5.1. IDD merupakan Bagian dari Rencana Allah ... 12

2.5.2. Gereja Sebagai Tubuh Kristus ... 13

2.6. Bentuk Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja ... 14

2.7. Kesimpulan ... 15

3. Hasil Penelitian Terhadap Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja di GMIM Sion Tomohon ... 16

3.1. Gambaran Umum GMIM Sion Tomohon... 16

3.2. IDD di GMIM Sion Tomohon ... 16

3.3. Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja ... 18

3.3.1. Pelayanan Firman... 18

3.3.2. Pelayanan Musik ... 19

3.3.3. Kegiatan Kepanitiaan ... 20

3.4.Upaya IDD dalam Pelibatan Diri di Berbagai Kegiatan Gereja ... 21

3.5.Kesimpulan ... 21

4. Kajian Teologi Disabilitas Terhadap Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja di GMIM Sion Tomohon ... 22

4.1. Gereja sebagai Tubuh Kristus bagi IDD ... 22

(10)

x

4.3. Teologi Disabilitas sebagai Jalan Menuju Kehidupan yang Inklusif... 25

4.4. Kesimpulan ... 26

5. Kesimpulan dan Saran ... 26

5.1. Kesimpulan ... 26

5.2. Saran ... 27

(11)

1

Peran Serta Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam Kegiatan Gereja: Kajian Teologi Disabilitas dalam Pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD)

di GMIM Sion Tomohon

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Gereja saat ini tertantang untuk melakukan bentuk-bentuk pelayanan yang kreatif dan berkualitas sesuai dengan perkembangan zaman. Pelayanan gereja sendiri bergerak dalam wilayah antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia, tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain, karisma dan kompetensi, konservasi dan transformasi.1 Gereja bertugas untuk melayani dan menjadi teladan bagi warga jemaatnya. Dalam pelayanannya gereja harus memperhatikan pembangunan jemaat. Pembangunan jemaat tidak lepas dari pemikiran teologi masa kini yang menciptakan ruang bagi orang beriman untuk aktif dalam Gereja dan menjadi tepat di mana orang beriman dapat belajar.2 Namun dalam gereja masih ada warga jemaat yang kurang terlibat aktif dalam pelayanan disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya Insan dengan Disabilitas (IDD)3 yang belum dapat memberi diri dalam pelayanan karena mengalami kendala-kendala baik secara internal maupun eksternal.

Di Indonesia terdapat kurang lebih 22 juta Insan dengan Disabilitas.4 Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas yang layak bagi IDD dan menjadi tugas dari gereja dalam hal pertumbuhan iman. Disabilitas bukan merupakan isu yang baru untuk diperbincangkan. Persoalan disabilitas sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat walaupun dengan istilah yang berbeda. Istilah yang

1 Irene Ludji, “Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik”, dalam Theologia Vol. IV, No. 1, Agustus

2009.

2

Dr. P. G. van Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 24-25.

3

Untuk selanjutnya penulis akan menggunakan singkatan IDD yang menunjuk pada Insan dengan Disabilitas. Mengacu juga pada kesepakatan internasional, maka penulis menggunakan istilah ini untuk

menterjemakan Person with Disabilities (PWD). Sebagimana yang digunakan Setyawan dalam Teologi Disabilitas Hand-Out.

4 Tabita K. Christiani, “Person with Disabilities in Indonesia,” dalam Doing Theology from Disability

(12)

2

digunakan dalam masyarakat yaitu “cacat”. Pada umumnya, masyarakat mengenal disabilitas dengan mereka yang mengalami disabilitas secara fisik dan psikis misalnya, tuli, bisu, buta, debil, dan autis. Pengunaan istilah disabilitas baru dipakai sebagai penganti dari istilah “cacat” dan “difabel”. Istilah disablitas digunakan karena pada dasarnya setiap orang berbeda dan mempunyai kemampuan yang berbeda. Dalam perkembangan studi disabilitas terdapat tiga model untuk menjelaskan defisini disabilitas. Tiga model tersebut yaitu, model medis, model sosial, dan model limitasi.5

Ketika gereja menjadi komunitas yang ramah dan menerima semua warga jemaat maka kesinambungan dalam pelayananpun akan. Gereja harus menyadari bahwa setiap orang dikaruniai talenta yang berbeda-beda yang perlu dihargai. Sebagi satu kesatuan, orang beriman hanya dibedakan menurut karisma yang dibagi-bagi oleh roh dan menurut jabatan serta pelayanan kepemimpinan yang dibagikan kepada mereka.6 Namun realitas kehidupan gereja nyatanya belum menunjukan sikap penerimaan total kepada seluruh warga gereja termasuk terhadap kehadiran IDD. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diberikannya kesempatan yang sama kepada setiap warga jemaat dan kurangnya perhatian gereja dalam hal pelayanan terhadap IDD. Salah satu contohnya ialah hal akses untuk masuk kedalam gedung gereja yang tidak ramah terhadap IDD yang menggunakan kursi roda. Dalam gereja khususnya di Indonesia masih sering terjadi ignorisasi, marjinalisasi, dan diskriminasi yang dilakukan terhadap IDD. Sebagai gereja yang aktif dan hidup, gereja secara khusus diminta Tuhan untuk merangkul semua orang termasuk insan dengan disabilitas.7 Artinya, bahwa siapapun yang ada di dalam gereja harus diperlakukan dengan sama tanpa ada batasa-batasan yang memisahkan antara warga jemaat yang satu dengan yang lainnya. Selain itu juga, gereja harus melakukan pelayanan yang menjangkau semua warga jemaat.

Gereja menjadi salah satu tempat bagi seseorang untuk bertumbuh termasuk IDD. Setiap orang diberikan kesempatan untuk mengembangkan talenta-talenta yang dimiliki. Nyatanya IDD belum terlibat secara aktif dalam pelayanan gereja. Hal ini disebabkan IDD masih dipandang sebagai mereka yang lemah sehingga dijadikan sebagai objek pengasihan/diakonia. IDD jarang

5 Yusak B. Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya

Wacana, 2017), 21-25.

6 Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, 32.

7 Melchorita S. Valdez, “Disability: Church and Advocacy,” dalam Doing Theology from Disability

(13)

3

dilibatkan dalam kegiatan gereja, bahkan dalam pengambilan keputusan, pendapat IDD tidak dipertimbangkan.8 Melalui hal tersebut gereja belum mampu menunjukan sikap penerimaan dan penghargaan terhadap IDD di tengah-tengah persekutuan. Dengan demikian penulis menyadari bahwa pentingnya pelibatan IDD dalam kegiatan gereja.

Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan kajian terhadap keterlibatan IDD dengan menggunakan kajian Teologi Disabilitas. Teologi disabilitas merupakan ilmu yang meliputi sejarah disabilitas, metafisik atau teologi yang berusaha untuk menempatkan tubuh yang dianggap “menyimpang” dalam tatanan kosmis, konstrusksi sosial terhadap IDD oleh non-IDD, dan pengalaman kehidupan dari IDD dalam bingkai ilmu teologi. Teologi disabilitas yang ditawarkan adalah sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh orang Kristen disable atau non-disabel untuk memahami dan menafsirkan Injil Yesus Kristus, Allah dan kemanusiaan terhadap latar belakang historis dan pengalaman manusia pada masa kini terhadap disabilitas, yang menunjuk juga pada prespektif dan metode yang didesain untuk memberi suara pada makna teologi yang kaya dan beragam tentang pengalaman manusia berkaitan dengan disabilitas. Teologi disabilitas memulai dengan pengakuan bahwa insan dengan disabilitas telah mengalami pengalaman-pengalaman sebagai suara minoritas dalam perkembagan teologi dan prakteknya, atau bahkan lebih buruk sebagai yang telah terdiam (silenced) dalam diskursus teologi.9 Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menuliskan judul “Peran Serta Insan dengan Disabilitas (IDD) dalam Kegiatan Gereja: Kajian Teologi Disabilitas dalam Pelibatan Insan dengan Disabilitas (IDD) di GMIM Sion Tomohon.”

GMIM Sion Tomohon dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan gereja ini sudah mulai menunjukan sikap inklusi terhadap kehadiran IDD dengan melibatkan IDD dalam berbagai kegiatan gereja, seperti memainkan alat musik, memimpin ibadah, dan lain sebagainya. Berkaitan denga topik yang penulis tulis, sampai sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan dalam topik yang sama.

8

Isabella Novisma Sinulingga, “Disabilitas sebagai Objek Ilmu Pengetahuan: Retradasi Mental dalam Perziarahan Normalisme,” dalam Dari Disabilitas ke Penebusan – Potret Pemikiran Teolog-Teolog Muda Indonesia, ed. Ronald Arulangi, dkk, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 23.

9

(14)

4 1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan

Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana pelibatan IDD dalam kegiatan gereja di GMIM Sion Tomohon ditinjau dari kajian Teologi Disabilitas. Berdasarkan rumusan masalah tersebut yang menjadi tujuan penelitian adalah melakukan kajian teologi disabilitas terhadap pelibatan IDD dalam berbagai kegiatan gereja di GMIM Sion Tomohon.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ialah yang pertama, untuk mengubah pemahaman yang selama ini keliruh terhadap IDD. Kedua, mendorong gereja untuk menjadi gereja yang inklusif dengan menerima setiap perbedaan yang ada agar diskriminasi, marjinalisasi, dan ignorisasi tidak terjadi lagi baik dalam lingkungan gereja maupun masyarakat. Ketiga, untuk mendorong gereja dalam hal pelibatkan IDD dalam berbagai kegiatan gereja. Dengan demikian IDD mendapat kesempatan yang sama dengan anggota jemaat yang lain dalam pelayanan.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian yang dipilih ini yaitu kualitatif. Penelitian kualitatif mengeksplorasi sikap, prilaku, dan pengalaman melalui metode wawancara. Metode ini mencoba untuk mendapatkan pendapat yang mendalam (in-depth opinion) para partisipan.10 Dalam penelitian kualitatif mencoba mengerti makna suatu kejadian atau peristiwa dengan mencoba beriteraksi dengan orang-orang dalam situasi/fenomena tersebut.11 Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah data primer. Data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara).12 Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi dan wawancara. Dalam pengumpulan data ini informan yang akan diwawancarai adalah pendeta dan anggota jemaat termasuk insan dengan disabilitas di gereja GMIM Sion Tomohon. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada 2 pendeta yakni, Pdt. Altje Muaja (Ketua Jemaat GMIM Sion Tomohon), Pdt. Aneke Masinambow-Kaawoan (Pendeta pelayan Jemaat GMIM Sion Tomohon) dan pada 4 anggota jemaat yakni

10

Dr. Catherine Dawson, Metode Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 15-16.

11 Yusuf Muri, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Kencana,

2014), 328.

(15)

5

Christy Mangantare, Bpk. Samson Mamudi (IDD), ibu Joice Lolowang (IDD), dan Danni Pattinama (IDD).

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tugas akhir ini dibagi dalam 5 bagian yaitu bagian pertama pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian; bagian kedua berisikan teori yang mendukung penulisan ini yang berkaitan dengan Teologi Disabilitas; bagian ketiga berisikan deskripsi hasil penelitian terhadap pelibatan IDD di GMIM Sion Tomohon; bagian keempat berisikan kajian Teologi Disabilitas terhadap hasil penelitian; dan bagian kelima berisikan kesimpulan dan saran.

2. Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja Menurut Teologi Disabilitas

Sebagai Tubuh Kristus, gereja terdiri dari banyak anggota. Gereja ditugaskan untuk merangkul semua anggota jemaat termasuk di dalamnya IDD. Namun pada kenyataannya, masih ada gereja yang belum mampu untuk membawa masuk IDD dalam kehidupan bergereja. Dengan demikian IDD tidak dapat memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan gereja. IDD dianggap sebagai obyek pengasihan atau yang lemah dan tak berdaya. Penerimaan dan pengakuan akan keberadaan IDD menjadi hal yang penting sebagai pintu masuk menjadi gereja yang inklusi. Pelibatan IDD dalam kegiatan gereja sangat penting agar IDD merasa bahwa kehadiran dan kontribusinya dihargai dan tidak ada batasan-batasan antara IDD dan non-IDD. Berkaitan dengan hal tersebut, pada bagian 2 ini penulis akan menulis bagimana pelibatan IDD dalam berbagai kegiatan gereja menurut teologi disabilitas yang akan dijelaskan melalui sub-sub bab.

2.1 Disabilitas

Di kalangan pengkaji disabilitas, termasuk penggagas dan pengembang Teologi Disabilitas, terdapat perbedaan pendapat tentang istilah disabilitas.13 Di antaranya cacat, difable, impairment, handicap, disabilitas, dan istilah-istilah lainnya. Diantara istilah tersebut, istilah

difabel sudah lama ditingalkan dalam studi-studi disabilitas walaupun di Indonesia istilah tersebut masih sering digunakan. Istilah difabel hanya sekedar menunjukan pada kenyataan

(16)

6

bahwa orang-orang dengan “kecacatan” adalah orang yang dianggap mempunyai ability yang berbeda dengan orang-orang yang dianggap “normal”.14 Istilah difabel tidak dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya dialami oleh IDD karena pada kenyataannya setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.

The New Zealand Disability Strategy membedakan antara impairement dan disability.

Impairement berkaitan dengan ranah individual (fisik, sensori, neurologis, intelektual, atau bentuk impairement yang lain). Sedangkan disabilitas adalah proses ketika sekelompok orang mendesain dunia semata-mata bertujuan untuk cara hidupnya dan tidak memperhitungkan

impairement dari orang lain dan karenanya menciptakan penghalang di antara mereka.15 Dengan demikian IDD bukan hanya berkaitan dengan persoalaan tubuh meainkan persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Masyarakat dimana kita tinggal sangat menjunjung tinggi kenormalan. Segala sesuatu yang dibuat ditujukan untuk kepentingan orang “normal”. Hal ini berdampak pada kurangnya layanan kepada IDD dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, pendidikan yang kurang memadai, fasilitas public yang tidak ramah terhadap IDD, dan kurangnya parisipasi IDD dan kehidupan social dan politik.

Dalam perkembangan studi-studi disabilitas sangat penting untuk membuat kategori definisi ke dalam tiga kategori utama. Pertama, definisi medis. Menurut definisi ini, disabilitas dipahami dalam kaitannya dengan hilangnya (sebagian) fungsi pada tubuh manusia termasuk organ-organnya.16 Disabilitas, dengan demikian dianggap sebagai satu penyakit yang dapat disembuhkan. IDD merupakan objek dari penyembuhan. Perawatan medis dan penyembuhan dibutuhkan agar tubuh mereka dapat berfungsi sebagaimana orang “normal”. Kedua, definisi model sosial. Dalam model ini, disabilitas dipahami sebagai konstuksi sosial. IDD dianggap “lebih buruk” atau “tidak ideal” bukan karena pada dirinya sendiri adalah buruk, melainkan karena diciptakan atau “direkonstruksikan” oleh masyarakat.17

Hal ini menjadi penghalang bagi IDD untuk berinteraksi dan mengembangkan setiap kemampuannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ada perbedaan antara IDD dan non-IDD, sehingga mereka dianggap tidak mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. IDD sering

14 Yusak B. Setyawan, Membaca Alkitab dalam Perspektif Disabilitas: Menuju Hermeneutik Disabilitas,

prosiding UKSW 2013, 2.

15 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 20. 16 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 21. 17 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 23.

(17)

7

termarjinakan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, model limitasi: open minority. Pada model ini Creamer mengusulkan disabilitas sebagai rekostruksi masyarakat namun dengan menekankan pada konsep bahwa tubuh manusia bersifat terbatas (embodied limits).18 Ini berarti setiap orang memiliki keterbatasan tubuh. Mereka yang sekarang ini dianggap sebagai non-IDD, satu saat nanti akan masuk dalam kategori IDD. Usia lanjut, penyakit, kecelakaan dan faktor-faktor lainnya dapat menjadikan non-IDD menjadi IDD. Dengan demikian disabilitas merupakan satu “open minority”.

2.2 Insan dengan Disabilitas di Indonesia

Di Indonesia kebanyakan orang lebih mengenal IDD dengan istilah “cacat” atau penyandang disabilitas.19 Masyarakat Indonesia juga menggunakan sebutan khusus bagi orang yang memiliki jenis disabilitas tertentu.20 Misalnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, insan yang mengalami cacat tubuh disebut tunadaksa, insan yang mengalami cacat pikiran disebut tunagrahita, dan insan yang tidak dapat melihat disebut tunanetra.21 Penggunaan kata ini justru menjadikan IDD lebih rendah kualitasnya dengan yang insan lainnya. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat Indonesia melihat mereka yang hidup dengan disabilitas sebagai satu yang menyimpang. Stigma negatif muncul dan IDD dianggap sebagai satu kelainan, keanehan yang secara tidak langsung menunjuk pada ketidaknormalan.

Budaya Indonesia menganggap bahwa IDD merupakan aib, kutukan, dan dosa. Kelahiran seorang anak dengan disabilitas merupakan sebuah aib keluarga sehingga kecenderung menyembunyikan anak dari lingkungan sosial sering terjadi. Pemberlakukan seperti inilah yang membatasi IDD untuk berinteraksi dengan lingkungan di mana IDD itu berada. Masalah lain pun muncul berkaitan dengan pemenuhan hak terhadap IDD, ketika sebagian besar IDD di Indonesia kurang mendapatkan pendidikan, pekerjaan, serta partisipasi sosial, ekonomi, dan politik.22

Persoalan yang ada tidak hanya datang komunitas sosial di mana IDD berada tetapi juga datang dari komunitas keagamaan. Agama termasuk Kristen Protestan seolah-olah tidak

18 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 25. 19

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

20

Sinulingga, Disabilitas sebagai Objek Ilmu Pengetahuan, 3.

21 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata tuna dalam bentuk terkait luka, rusak, kurang, tidak

memiliki.

(18)

8

memberi perhatian terhadap IDD. Ignorisasi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap IDD masih terjadi dalam gereja. Disabilitas sering dihubungkan dengan ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini berdampak bersar terhadap IDD, sehingga IDD membatasi diri dalam kehidupan bergereja kurang. Masalah lain pun muncul ketika gereja tidak menyediakan fasilitas yang memadai, akses masuk dalam gedung gereja yang tidak ramah terhadap IDD dan persoalaan-persoalan lainnya. Dengan demikian persoalan-persoaln ini menjadi tantangan dalam berteologi dari prespektif disabilitas.

2.3 Teologi Disabilitas

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Sebagai ciptaan Allah, manusia diciptakan dengan berbagai keunikan. Terhadap keunikan tersebut manusia memiliki kelebihan dan keterbatasan. Namun pada kenyataannya manusia belum mampu untuk menghargai ciptaan Allah tersebut. Dalam realitas kehidupan setiap hari masih sering terjadi pemisahan antara “normal” dan “tidak normal”. Hal tersebut menunjukan kurangnya penghargaan terhadap ciptaan Allah yang diciptakan dengan segala keindahan. Allah melihat bahwa semua yang diciptakan sungguh amat baik.23 Manusialah yang kurang memberi perhatian kepada keindahan yang ada. Untuk itu berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan komunitas yang saling menghargai, saling mengasihi, dan menjunjung kesetaraan.24

Teologi disabilitas hadir sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh orang Kristen disabel atau non-disabel untuk memahami dan menafsirkan Injil Yesus Kristus, Allah dan kemanusiaan terhadap latar belakang historis dan pengalaman manusia pada masa kini terhadap disabilitas, yang menunjuk pada perspektif dan metode yang didisain untuk memberi suara pada makna teologis yang kaya dan beragam tentang pengalaman manusia bekaitan dengan disabilitas.25 Teologi disabilitas hadir untuk menjawab persoalan-persolan yang dialami oleh IDD berdasarkan pengalam-pengalaman IDD itu sendiri. Sebagai kaum minoritas, selama IDD kurang mendapatkan perhatian baik dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan gereja. Hal ini berdampak pada kurangnya keterlibatan IDD diberbagai kegiatan baik dalam masyarakat maupun gereja.

23 Issabella N. Sinulingga, “Keindahan Dalam Disabilitas,” dalam Indonesian Journal of Theology (July

2015), 40.

24 Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, 402. 25 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 27.

(19)

9

Adapun upaya yang perlu dilakukan gereja untuk menjadi komunitas yang inklusi.

Pertama, melakukan upaya rekonstruksi atas teks-teks Alkitab yang meminggirkan orang-orang

disable.Kedua, mengkritisi symbol-simbol gereja yang diskriminatif. Ketiga, memikirkan desain gedung gereja yang ramah bagi semua orang. Keempat, merancang liturgy yang memberi ruang kepada semua orang. Kelima, melibatkan secara penuh orang-orang disable dalam berbagai kegiatan gerejawi. Keenam, mengritisi dan merancang kurikulum yang memberdayakan semua orang.26 Dalam kehidupanya gereja harus menjadi wadah bagi IDD untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan gereja. Dengan demikian, marjinalisasi, ignorisasi, dan diskriminasi tidak terjadi lagi terhadap IDD.

2.4 Gereja dan Disabilitas

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang keluar dari hubungan yang normal dengan dunia untuk menjadi umat Allah yang istimewa. Panggilan tersebut disertai janji-janji yang khusus dan dipenuhi oleh iman, penyembahan, kasih, dan ketaatan dari orang-orang yang menjadi tujuan panggilan itu.27 Selain itu juga, gereja merupakan satu persekutuan orang kudus, yaitu mereka yang sungguh-sungguh tahu dan beribadah dengan benar dan melayani Allah yang benar dalam Yesus Kristus Juruselamat, melalui Firman Roh Kudus, dan mereka oleh iman sama-sama menjadi pemilik semua anugerah yang baik yang secara cuma-cuma ditawarkan melalui Kristus.28 Dalam hubungan dengan sesama di tengah-tengah persekutuan, gereja menjadi tempat bagi setiap orang untuk bertumbuh melalui pengalaman-pengalaman iman dengan Tuhan maupun sesama. Gereja harus menjadi tempat dimana kasih Allah dapat dinyatakan dengan tetap melihat kebutuhan-kebutuhan dari setiap warga jemaatnya.

Dewasa ini gereja ditantang untuk menjadi gereja yang inklusif ditengah-tengah berbagai problematika kehidupan. Menjadi gereja yang inklusif berarti menjadi gereja yang ramah dan menerima setiap keberagaman dengan mengikutsertakan semua warga jemaat tanpa memandang latar belakang, kemampuan, budaya, etnik dan kondisi yang dialami oleh seseorang. Gereja yang inklusif ditandai dengan penerimaan dan penghargaan terhadap IDD, memberi ruang bagi IDD untuk berpartisipasi dan melibatkan diri, dan gereja yang memperjuangkan hak-hak IDD baik

26 Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, 402-403.

27 James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya: Momentum, 2011), 656. 28 Louis Berkhof, Teologi Sitematika Volum 5, (Surabaya: Momentum, 2012), 23.

(20)

10

dalam lingkungan keagamaan maupun sosial. Gereja yang inklusif mampu untuk menciptakan situasi aman dan nyaman, meniadakan hambatan atau batasan-batasan bagi seseorang untuk berpartisipasi dalam pelayanan gereja, dan yang terpenting saling menghargai dan merangkul dalam setiap perbedaan. Gereja yang inklusif memastikan adanya kesetaraan, tidak terjadi diskriminasi, memanusiakan manusia, menerima keberagaman dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga jemaat termasuk IDD. Perlu adanya kerjasama yang baik dari seluruh warga gereja dalam mewujudkan gereja yang inklusi.

Gereja menjadi wadah untuk seseorang berkembang termasuk di dalamnya IDD. Selain itu gereja menjadi tempat bagi seseorang untuk mengekspresikan imannya dalam berbagai bentuk. Keterlibatan seseorang dalam kehidupan gereja sangat penting dan diperlukan demi berlangsungnya setiap pelayanan. Pelayanan dalam gereja ditujukan kepada setiap warja jemaat berdasarkan kebutuhan tiap-tiap anggotanya. Namun nyatanya gereja belum secara maksimal menjalankan tugas pelayanannya. Hal ini terbukti dari kurangnya perhatian gereja terhadap IDD yang mengakibatkan terabaikannya IDD dari persekutuan gereja. Objek pengasihan dan diakonia menjadi hal yang sangat melekat dalam diri IDD. Ada banyak gereja yang kurang melibatkan IDD dalam berbagai pelayanan. Khotbah-khotbah dalam setiap ibadah masih jarang menyinggung tentang persoalan IDD dan bahkan teks-teks alkitab sering memarjinalkan IDD ketika disabilitas dihubungkan dengan persoalan iman.

Liturgi, pelayanan, program, kepemimpinan yang dipraktekkan dalam gereja hampir tidak peduli dengan keberadaan IDD.29 Gereja hanya sibuk memenuhi kebutukan dari mereka yang “normal”. Ini dikarenakan ada anggapan yang muncul bahwa mereka yang “normal” dapat memberikan kontribusi yang lebih dibandingkan dengan IDD. IDD dianggap sebagai yang lemah, tak berdaya dan patut dikasihani, sehingga kehadiran IDD kurang dibutuhkan. Budaya dimana gereja hidup sangat menjunjung tinggi kenormalan. Untuk menjadi pelayan khusus, seseorang harus memenuhi standart dan syarat yang telah ditentukan. Dalam tradisi Kristen syarat-syarat pemimpin adalah orang yang tak “bercacat”. Sampai pada masa kini, syarat pendeta adalah sehat jasmani dan rohani yang implisit orang yang tidak menyandang “kecacatan”.30 Berdasarkan syarat tersebut tidak memunkinkan bagi IDD untuk menjadi seorang pelayan.

29 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 36. 30

(21)

11

Sebagai tubuh Kristus yang didalamnya terdiri dari banyak anggota, gereja mestinya menjadi komunitas inklusi dan menyambut semua orang termasuk IDD.31 Dengan demikian gereja harus menerima keberadaan setiap warga jemaat dan memberi ruang agar dapat berkontribusi tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar IDD dapat mengembangkan setiap potensi yang ada dalam dirinya.

Dalam menunjang partisipasi IDD dalam berbagai kegiatan gereja, perbaikan aksesibilitas bagi IDD sangat dibutuhkan. Gereja perlu memfasilitasi IDD agar mereka dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan bergereja. Selama ini IDD mengalami kesulitan dalam beraktifitas karena kurang tersedianya sarana dan prasarana penunjang. Masalah yang dihadapi IDD antara lain akses masuk dalam gedung gereja yang belum ramah terhadap IDD. Selain itu juga tidak tersedianya penerjemah dalam bahasa isyarat bagi IDD yang mengalami gangguan pendengaran dan masih banyak lagi. Gereja yang inklusif memperlakukan semua warga jemaat secara sungguh-sungguh yakni dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan keunikan masing-masing. IDD tidak menuntut diperlakukan secara khusus dan istimewa, melainkan diperlakukan sebagaimana warga jemaat pada umumnya.32 Gereja juga harus melakukan upaya-upaya untuk memperjuankan hak-hak IDD. Ketika hal tersebut terjadi maka gereja menjadi tepat dimana kasih Allah terpancar melalui anggotanya. Gereja harus berupaya untuk menjadi gereja yang inklusif di tengah-tengah diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh IDD dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada akhir penjelasan tentang gereja dan disabilitas, baik juga dicatat sebuah program yang dibentuk dan dirancang WCC pada tahun 1998, yaitu Ecumenical Disability Advocates Network (EDAN). Ini bertujuan untuk mendukung karya setiap pribadi, gereja, dan organisasi gerejawi yang memerhatikan isu disabilitas secara global. EDAN dibentuk dalam rangka mewujudkan gereja yang inklusif dan berpartisipasi penuh bagi pribadi dengan disabilitas.33 Dalam mengimplementasikan program-programnya, anggota EDAN percaya bahwa semua pribadi, baik dengan maupun tanpa disabilitas, diciptakan menurut gambar Allah, dan karenanya perlu dibentuk komunitas inklusi yang menghargai dan memberdayakan berbagai karunia yang dimiliki setiap pribadi. Walaupun demikian, sangat disayangkan dalam tingkat gereja lokal, IDD

31 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 95. 32 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 102. 33 Aritonang, Mereka Juga Citra Allah, 206.

(22)

12

masih dipandang sebagai objek pengasihan. Mereka jarang dilibatkan dalam bebagai kegiatan , bahkan dalam mengambil keputusan, pendapat mereka tidak diperhitungkan.34

2.5 Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja

Masih jarang gereja yang memberi perhatian terhadap IDD bahkan melibatkan IDD dalam berbagai kegiatan gereja. Berbagai anggapan pun muncul ketika berbicara soal IDD. Stigma negative yang telah melekat dalam diri IDD membuat adanya batasan antara IDD dan non-IDD. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam aktivitas setiap hari baik dalam lingkungan gereja maupun sosial. Nampaknya, kebanyakan gereja belum bisa menjadi komunitas yang inklusi dengan menerima setiap perbedaan yang ada. Melihat hal tersebut perlu adanya upaya penyadaran terhadap gereja dan memberikan pemahan-pemahan yang baru berkaitan dengan IDD agar IDD dapat dilibatkan dalam kegiatan gereja. Ada dua hal yang hendak penulis kemukakan dalam tulisan ini berkaitan dengan pentingnya melibatkan IDD dalam berbagai kegiatan gereja.

2.5.1 IDD merupakan Bagian dari Rencana Allah

Setiap manusia diciptakan menurut rencana dan kehendak dari Allah. Allah merancangkan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan kepada setiap manusia ciptaanNya. Atas anugerah Allah, manusia dimampukan untuk melakukan segala sesuatu yang telah dirancangkan. Setiap manusia dikaruniai talenta-talenta yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam perbedaan tersebut, Allah menginginkan setiap manusia untuk saling menghargai.

Perbedaan yang ada bukanlah menjadi penghalang bagi seseorang dalam menjalani kehidupan. Namun pada kenyataannya, manusia belum bisa menerima dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari ketika manusia menjumpai sesuatu yang dianggap menyimpang contohnya, orang yang terlahir dengan disabilitas. Ada kecenderungan yang terjadi yaitu IDD dilihat sebagai mereka yang aneh, lemah, dan tak berdaya. Tanpa disadari bahwa setiap manusia diciptakan memiliki kekurangan dan kelebihan. Selain itu, manusia belum bisa menerima ketika apa yang diciptakan Allah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, misalnya hardirnya IDD di tengah-tengah keluarga yang dianggap sebagai aib.

(23)

13

Bahkan saat ini, mayoritas orang Kristen percaya hal itu merupakan konsekuensi dosa, hukuman dari Tuhan dan kutukan bagi keluarga.35

Yesus menolak ketika IDD selalu dihubungkan dengan hal-hal negatif. Diskusi tentang disabilitas dalam Perjanjian Baru, khususnya berkaitan dengan Yesus, selalu dikaitkan dengan mujizat yang dilakukan Yesus.36 Kesembuhan selalu dihubungkan dengan persoalan iman. Ada hal yang perlu diperhatikan dalam membaca kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan Yesus, yaitu kisah-kisah penyembuhan Yesus seringkali terabaikan sebab orang Yahudi percaya disabilitas berhubugan dengan dosa, kenajisan dan penyakit. Pemahaman ini kemudian ditolak Yesus seperti yang ada dalam Yohanes 9:3 “Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”37 Dengan demikian IDD bukanlah dosa, aib, ataupun kutukan melainkan IDD merupakan bagaian dari rencana Allah. Dalam rencana itu ada pekerjaan-pekerjaan Allah yang akan dinyatakan dalam diri IDD. IDD harus mampu mengembangkan setiap karunia-karunia yang dimiliki dengan ikut terlibat dalam persekutuan gereja.

2.5.2 Gereja sebagai Tubuh Kristus

Sebagai tubuh Kristus gereja terdiri dari banyak anggota yang tentunya berbeda satu dengan yang lain. Gereja adalah satu kesatuan, yang para anggotanya benar-benar saling kait-mengait secara harmonis.38 Dalam kesatuannya, setiap anggota harus bekerja sama dan saling menghargai satu dengan yang lain agar kesatuan tubuh Kristus tetap terpelihara. Sebagai tubuh Kristus, gereja memiliki banyak anggota dan setiap anggota mempunyai fungsi yang berbeda. Setiap anggota harus menjadi kawan sekerja Allah dalam pelayanan dan menjadikan Kristus sebagai kepalanya. Dalam Kolose 1:18 Kristuslah yang menjadi Kepala jemaat, yang adalah tubuhNya itu. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga tubuh itu menjadi tanda dari keterikatan dan persatuan yang mendalam sekali. 39 Maka dari itu hal yang terpenting berkaitan dengan gereja sebagai tubuh Kristus ialah kesatuan.

35 Wati Longchar, “Culture, Sin, Suffering and Disability in Society,” dalam Doing Theology from

Disability Perspectiv, ed. Wati Longchar & Gordon Cowans (Manilia: ATESEA, 2011), 216.

36Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 43. 37 Aritonang, Mereka Juga Citra Allah, 193-194

38 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 370. 39 Hadiwijono, Iman Kristen, 371.

(24)

14

Gereja harus menjadi komunitas yang menerima setiap perbedaan yang ada. Gereja terdiri dari banyak anggota, baik non-IDD melainkan juga IDD. Banyak gereja yang masih memiliki sikap tertutup dan belum bisa menerima kehadiran IDD di tengah-tengah persekutuan. Hal ini disebabkan karna budaya di mana gereja berada masih menjunjung tinggi kenormalan. IDD dianggap sebagai yang lemah, tak berdaya dan mereka yang patut dikasihani. Hal-hal tersebutlah yang membatasi IDD untuk memberikan kontribusi dalam kehidupan bergereja. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ungkapan gereja sebagai Tubuh Kristus yang sangat menjunjung tinggi kesatuan dari setiap anggota tanpa adanya perbedaan. Tidak adanya kesatuan dalam kehidupan gereja sering terjadi disebabkan oleh adanya batasan-batasan yang membatasi warga jemaat didalamnya IDD. Gereja mestinya adalah komunitas inklusi yang menyambut semua warga jemaat termasuk IDD.40 Gereja harus merangkul setiap warga jemaat agar dapat melibatkan diri dalam berbagai kegiatan gereja. Melalui hal tersebut, setiap warga jemaat dapat memberikan kontribusi dan keberadaan IDD pun dihargai. IDD tidak dipandang lagi sebagai mereka yang lemah dan tak berdaya. Setiap anggota dalam gereja memiliki hak yang sama sehingga tidak ada perlakukan yang berbeda antara non-IDD dan IDD. Dengan demikian melalui pengalamannya dalam persekutuan gereja IDD dapat belajar tentang makna menjadi tubuh Kristus.

2.6 Bentuk Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja

Pelayanan adalah sebuah anugerah yang Tuhan percayakan kepada umat-Nya. Sama halnya dengan warga gereja lainnya, IDD mendapatkan kesempatan yang sama dalam pelayanan gereja. Namun, harus diingat bahwa dalam gereja setiap warga jemaat dibedakan menurut jabatan dan tugasnya masing-masing. Ada syarat-syarat yang membatasi IDD dalam melibatkan diri dalam berbagai bentuk pelayanan yang ada di gereja. Untuk menjadi penilik jemaat, seseorang harus memenuhi standart dan syarat yang telah ditentukan. Seorang penatua harus tidak bercacat atau tidak dicela.41 Dalam 1 Timotius 3:2 dan Titus 1:6-7 menjelaskan tentaang syarat bagi penatua dan penilik jemaat. Artinya, seorang penilik jemaat harus memiliki prilaku yang baik dan menjadi seorang yang bisa memberi teladan dalam segala hal. Dalam ayat

40 Setyawan, Teologi Disabilitas Hand-Out, 95. 41 Boice, Dasar-dasar Iman Kristen, 739.

(25)

15

tersebut, “cacat” yang dimaksud bukalah “cacat” secara fisik melainkan berkaitan dengan moral dan spiritual seseorang.42

Berdasarkan uraian diatas, sangat mungkin bagi IDD untuk menjadi penilik jemaat. Disabilitas bukanlah suatu penghalang bagi IDD untuk menjadi seorang pelayan. Dalam gereja setiap orang memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing baik penilik jemaat maupun kaum awam. Peran sebagai pelayan awan bukanlah sesuatu yang bernilai rendah. Apapun kontribusi yang diberikan dalam pertumbuhan gereja harus diterima dan dihargai. Adapun bentuk pelayanan yang melibatkan IDD yaitu, pemberitaan firman Tuhan, melayani dalam kebaktian (misalnya: ambil bagian dalam pelayanan musik), dan berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya. Pelayanan yang diberikan IDD merupakan bentuk kontribusi bagi pertumbuhan Gereja juga sebagai wujud bersaksi dan melayani di dalam dunia. Dengan demikian, setiap anggota dalam gereja harus saling bekerja sama dan menghargai satu dengan yang lain menurut tugasnya masing-masing. Tidak tepat untuk memandang warga jemaat sebagai yang lebih rendah dari pada pejabat gereja.43 Perjuangan dari IDD dalam melibatkan diri dalam pelayanan gereja perlu dihargai.

2.7 Kesimpulan

Setiap manusia diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Sempurna atau tidaknya seseorang merupakan bagian dari konstruksi dalam kehidupan masyarakat. Akibat konstuksi tersebut, IDD mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas di tengah-tengah komunitas masyarakat di mana IDD itu berada. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat memandang disabilitas sebagai hal yang menyimpang dari kondisi “normal”. Teologi disabilitas hadir sebagai usaha yang dilakukan baik IDD maupun non-IDD untuk menjawab permasalahan yang selama ini dialami oleh IDD baik dalam komunitas masyarakat maupun komunitas keagamaan termasuk di dalamnya gereja. Masyarakat sering menghubungkan IDD dengan dosa, kutukan, aib, dan lain sebaginya. Dalam berbagi aspek kehidupan, IDD tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang “normal” lainnya. Penderitaan dan ketertindasanpun sering dialami oleh IDD. Sebagai komunitas yang inklusi, gereja harus membuka diri dan menerima IDD di tengah-tengah

42J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Timotius & Titus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1996), 102-105. 43 Ebenhaizer I Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015),

(26)

16

persekutuannya. Gereja harus menjadi wadah bagi setiap orang untuk mengembangkan talenta yang dimiliki sehingga dapat berkontribusi untuk menunjang setiap pelayanan yang ada. Berbicara soal disabilitas, ada tiga gagasan yang hendak dikemukakan. Pertama, disabilitas merupakan bagian dari rencana Allah. Kedua, orang-orang disabled didorong untuk memiliki pengharapan dan percaya pada rencana Allah atas kehidupan mereka. Ketiga, Gereja (dan masyarakat) harus menerima dan memberi tempat bagi mereka untuk melayani dan berkarya bersama dengan umat lainnya.44

3. Hasil Penelitian Terhadap Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja di GMIM Sion Tomohon

3.1 Gambaran Umum GMIM Sion Tomohon

GMIM Sion Tomohon merupakan salah satu gereja yang terletak di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Jemaat Sion Tomohon ditetapkan berdiri sejak baptisan pertama yang dilakukan oleh Adam Mattern pada bulan Desamber 1839 dan saat Rapat Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM Sion Tomohon pada 10 November 2008, diputuskan dan ditetapkan Hari Ulang Tahun Jemaat Sion Tomohon jatuh pada tanggal 28 Desember.45 GMIM Sion memiliki peran penting lahirnya organisasi GMIM. Hal tersebut dikarenakan, di Gereja inilah dilaksanakannya Sidang Sinode GMIM pertama, yang menetapkan dan memutuskan, GMIM sebagai gereja yang mandiri dari Gereja Protestan Indonesia (GPI), pada tahun 30 september tahun 1934. 46

3.2 IDD di GMIM Sion Tomohon

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat IDD di GMIM Sion Tomohon. Terdapat kurang lebih 9 IDD di GMIM Sion Tomohon. Di GMIM Sion Tomohon, IDD mengalami disabilitas secara fisik. Tidak semua IDD di GMIM Sion mengalami disabilitas sejak lahir melainkan dikarenakan oleh faktor-faktor lainnya. Di antaranya karena kecelakan, usia lanjut, penyakit, dan sebagainya. Bukanlah hal yang baru bagi jemaat GMIM Sion ketika

44 Aritonang, Mereka Juga Citra Allah, 195. 45

Tim Penyusun, Sejarah Jemaat GMIM Sion Tomohon (Tomohon: Gereja GMIM Sion, 2014), 1.

46 Melihat Lebih Dekat Gereja Sion Tomohon, Lokasi Pertama SMS GMIM 1934,

https://manadopostonline.com/m/berita/30899/Melihat-Lebih-Dekat-Gereja-Sion-Tomohon-Lokasi-Pertama-SMS-GMIM-1934 diunduh pada 15 Maret 2019 pukul 21.49 WIB.

(27)

17

berbicara tentang IDD. Walaupun sebagian besar jemaat lebih menganal disabilitas dengan istilah cacat. Tanggapan positif muncul dari informan ketika ditanyakan soal IDD. Informan berpendapat bahwa bahwa IDD harus diperhatikan, dilayani, dirangkul. Hal ini dikarenakan karena sebagai ciptaan Tuhan setiap manusia diciptakan dengan memiliki kelebihihan dan kekurangan.47 Dalam setiap kelebihan dan kekurang yang dimiliki tidaklah menjadi penghalang bagi seseorang untuk berkontribusi dalam kehidupan gereja maupun masyarakat. Muncul rasa kagum dalam diri salah seorang informan ketika melihat IDD hadir dan melibatkan diri dalam persekutuan.

Tidak ada perbedaan pandangan antara non-IDD dan IDD di dalam gereja.48 Hal ini berdampak pada tidak adanya batasan yang memisahkan antara IDD dan warga jemaat lainnya sehingga tercipta satu hubungan yang baik diantara keduanya. Kehadiran IDD dalam gereja mendapat respon yang baik karena keterbatasan yang dimiliki bukanlah menjadi penghalang bagi IDD untuk hadir dalam persekutuan ibadah bahkan ada diantara mereka yang memberikan diri pelayanan gereja.49 Sikap baikpun ditunjukan GMIM Sion Tomohon terhadap kehadiran IDD dalam persekutuannya. Gereja sangat mengapresiasi kehadiran IDD melalui setiap kontribusinya dan keterlibatan IDD sangat membantu gereja dalam melakukan pelayanan.

Beberapa informan yang adalah IDD mengatakan bahwa penerimaan gereja selama ini terhadap IDD sangat baik dan tidak ada diskriminasi.50 Harus diakui bahwa gereja mulai menunjukan sikap terbuka dan penerimaan mereka terhadap kehadiran IDD. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang informan, tidak diketahui pasti sejak kapan GMIM Sion Tomohon memiliki sikap terbuka dan penerimaan terhadap kehadiaran IDD melainkan sudah sejak lama. GMIM Sion Tomohon melihat IDD sebagi mereka yang perlu diperhatikan, dilayani, dan dirangkul karena setiap manusia diciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini berdampak baik karena membuat IDD lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan gereja.51 IDD tidak merasa dihalangi atau dibatasi kesempatanya untuk mengambil bagian dalam persekutuan bersama dengan warga jemaat yang lainnya. Dari apa yang penulis amati selama

47

Hasil wawancara dengan Pdt. Aneke Masinambow-Kaawoan 18 September 2018 pukul 13.00 WITA.

48 Hasil wawancara dengan Pdt. Aneke Masinambow-Kaawoan 18 September 2018 pukul 13.00 WITA. 49 Hasil Wawancara dengan Pdt. Altje Muaja dan Christy Mangantare 17 September 2018 pukul 11.00

WITA & 25 September 2018 pukul 15.00 WITA.

50 Hasil wawancara dengan IDD Danni Pattinama 26 September 2018 pukul 16.00 WITA.

51 Hasil wawancara dengan dua IDD Bpk. Samson Mamudi dan Ibu Joice Lolowang 4 September 2018

(28)

18

melakukan penelitian di GMIM Sion Tomohon, secara umum warga jemaat dapat berbaur dengan IDD. Tidak ada perasaan aneh dari diri warga jemaat ketika melihat IDD dalam gereja ataupun ketika IDD hadir dalam ibadah-ibadah yang diselenggarakan, contohnya ibadah kolom, ibadah minggu, BIPRA dan sebagainya. Yang penulis lihat, adanya inisiatif dari warga jemaat dalam membantu IDD untuk menjalankan aktivitasnya di lingkungan gereja. Menurut dua informan yang adalah IDD, mereka tidak pernah mendapatkan perlakukan yang tidak baik dari gereja ataupun dari warga jemaat lainnya.52

Selama ini gereja tidak pernah merasa terbebani dengan kehadiran IDD di tengah-tengah persekutuannya. Pelayanan gereja dilakukan kepada seluruh warga jemaat tanpa terkecuali.53 Adapun bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan gereja terhadap IDD. Seperti program dari setiap kolom yang dilakukan penatua dan syamas, program dari kelompok fungsional lansia yaitu Perawatan di Rumah Penderita, perkunjungan hari ulang tahun, aksi berbagi kasih, pelayanan sidi bagi IDD dan lain sebagainya.54 Dengan demikian dapat dapat disimpulkan bahwa GMIM Sion Tomohon menerima baik kehadiran IDD dalam persekutuan gereja dan tidak ada pandangan negatif terhadap kehadiran mereka.

3.3 Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja 3.3.1 Pelayanan Firman

Tidak ada batasan bagi IDD untuk terlibat dalam kegiatan gereja di GMIM Sion Tomohon. Misalnya, IDD yang mengalami keterbatasan dalam penglihatan. Disabilitas bukanlah suatu penghalang bagi seseorang untuk memberikan dirinya sebagai alat kesaksian di dalam dunia ini. GMIM Sion Tomohon memberikan kesempatan bagi IDD untuk terlibat dalam pelayanan firman55. Berdasarkan informasi dari informan yang adalah IDD, ia menyampaikan bahwa Gereja begitu menghargai kehadirannya dan memberikan kesempatan baginya untuk melakukan orientasi-pra-vikaris. Dalam menjalankan tugas pelayanan, salah satu bentuk

52

Hasil wawancara dengan IDD Bpk. Samson Mamudi dan Ibu Joice Lolowang 4 September 2018 pukul 19.00 WITA.

53 Hasil wawancara dengan Pdt. Altje Muaja 17 September 2018 pukul 11.00 WITA. 54

Hasil Wawancara dengan Pdt. Aneke Masinambow-Kaawoan 18 September 2018 pukul 13.00 WITA, Pdt. Altje Muaja 17 September 2018 pukul11.00 WITA dan Christy Mangantare 25 September 2018 pukul 15.00 WITA.

(29)

19

pelayanan yang dilakukan yaitu pelayanan firman.56 GMIM Sion Tomohon begitu menghargai kehadiran IDD dan tidak mempersoalkan disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai suatu masalah yang dapat membatasi IDD untuk melibatkan diri dalam pelayanan.

Warga jemaat tidak merasa terbebani dengan hadirnya seorang orientator yang adalah IDD di dalam persekutuan gereja. Dukungan dari warga jemaat yang selalu menjadi semangat bagi IDD untuk melakukan pelayanan. Tidak ada perasaan aneh dari warga jemaat ketika yang memimpin ibadah adalah IDD. Adapun yang menjadi motivasi IDD dalam melakukan pelayanannya, yaitu pertama, menyenangkan hati Tuhan, menyenangkan diri sendiri, dan menyenangkan orang lain dengan segala talenta yang dimiliki; kedua, ada kerinduan untuk melayani sesama baik IDD maupun non-IDD.57 Disabilitas yang dimiliki bukanlah menjadi satu penghalang untuk melayani Tuhan.

3.3.2 Pelayanan Musik

Banyak hal yang dapat IDD dilakukan dalam mengembangkan talenta-talenta yang dimiliki, salah satunya bermain alat musik. Di GMIM Sion Tomohon IDD diberi kesempatan untuk melakukan pelayanan dalam bentuk keterlibatan dalam pelayanan musik. Sesuai dengan apa yang peneliti amati, IDD mengambil bagian dalam pelayanan musik baik di ibadah Minggu maupun ibadah Kolom. Keterlibatan IDD dalam pelayanan musik disetiap ibadah Minggu telah terjadwalkan.58 IDD yang mengambil bagian dalam pelayanan musik adalah IDD yang mengalami disabilitas secara fisik yaitu ganguan penglihatan. Dalam melakukan pelayanan musik, IDD tidak pernah mengalami kendala karena adanya kerjasama yang baik antara IDD dan warga jemaat lainnya. Warga jemaat tidak merasa terganggu dan keberatan dengan pelayanan yang dilakukan IDD yang memang sudah dijadwalkan oleh GMIM Sion Tomohon.

Kelihaian dari IDD dalam memainkan alat musik membuat kagum warga jemaat yang mengikuti ibadah. GMIM Sion Tomohon, memberikan peluang dan kesempatan bagi IDD dalam mengembangkan talenta yang dimiliki. Apa yang dilakukan IDD ini sangat membantu gereja

56

Hasil wawancara dengan IDD Danni Patinama 26 September 2018 16.00 WITA.

57 Hasil wawancara dengan IDD Danni Patinama 26 September 2018 pukul 16.00 WITA, Bpk. Samson

Mamudi dan Ibu Joice Lolowang 4 September 2018 pukul 19.00 WITA.

(30)

20

dalam pelayanannya. Selain itu juga, dapat memotivasi orang lain untuk mengembangkan talenta yang dimiliki dan ikut memberikan kontribusi bagi gereja dalam pelayanan.

3.3.3 Kegiatan Kepanitiaan

Sama halnya dengan warga jemaat yang lain, IDD juga diberikan kesempatan untuk ikut terlibat dalam kegiatan kepanitiaan. Kegiatan kepanitiaan yang dilakukan di GMIM Sion Tomohon tidak hanya ditujuakan bagi non-IDD melainkan kepada semua warga jemaat. Hal ini dilakukan agar IDD tidak merasakan adanya batasan dan perbedaan dengan warga jemaat lainnya.59 Selain itu, untuk mendorong mereka agar bersama-sama dengan jemaat yang lain dalam persekutuan. Berdasarkan hasil wawancara, seorang informan yang adalah IDD mengatakan, selama mengikuti kegiataan kepanitiaan tidak pernah mereka mendapatkan perlakukan yang tidak baik dari warga jemaat lainnya. Sikap terbuka dan penerimaan yang ditunjukan oleh warga jemaat membuat IDD merasa nyaman dan tidak minder dengan disabilitas yang dimilikinya. Melalui sikap tersebut ada semangat dalam diri IDD untuk berkontribusi bersama-sama dengan warga jemaat lainnya. Gereja memberikan ruang bagi IDD dalam setiap kegiatan kepanitiaan yang dilaksanakan. Apa yang dilakukan oleh GMIM Sion Tomohon, nampaknya merupakan sesuatu yang mungkin bagi gereja lain sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan banyak anggapan negatif yang diberikan kepada IDD. Contohnya, IDD adalah mereka yang lemah dan tak berdaya. Maka dari itu, IDD dianggap tidak dapat memberikan kontribusi terhadap gereja.

Dalam kepanitiaan tersebut, IDD yang terlibat yaitu IDD yang mengalami ganguan dalam pendengaran. Tugas yang diberikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Misalnya, mereka mendapatkan tugas dalam bagian perlengkapan dan dekorasi. Gereja tidak memaksakan IDD untuk melakukan tugasnya sama halnya dengan warga jemaat lainnya. Setiap orang ditugaskan menurut kemampuannya masing-masing. Yang terpernting dari semuanya itu ialah antara non-IDD dan non-IDD tetap menjaga keharmonisan dan kesatuan dalam mejalankan tugas pelayanan. Sikap yang ditunjukan GMIM Sion Tomohon merupakan wujud dari gereja sebagi tubuh Kristus, dimana setiap anggotanya saling kait-mengait satu dengan yang lain. Selain itu juga menghargai setiap perbedaan yang ada.

(31)

21

3.4 Upaya IDD dalam Pelibatan Diri di Berbagai Kegiatan Gereja

Tidak mudah bagi IDD untuk membuka diri baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan gereja. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti, respon negatif dari masyarakat, keluarga yang belum bisa menerima jika anggota keluarganya yang adalah IDD, dan IDD yang selalu dihubungkan dengan dosa dan kutukan. Walaupun demikian ada juga IDD yang dapat membuka diri dan berinteraksi dengan orang-orang di mana IDD itu berada. Sama halnya yang dilakukan oleh IDD di GMIM Sion Tomohon yang berusaha untuk membuka diri dalam persekutuan gereja.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan IDD dalam pelibatan diri di berbagai kegiatan gereja. Pertama, membuka diri terhadap lingkungan di dalamnya gereja sehingga mampu untuk terlibat dalam persekutuan gereja.60 Dengan membuka diri IDD dapat berbaur dengan warga jemaat lainnya tanpa ada rasa malu atau minder atas disabilitas yang mereka miliki. Kedua,

membuka hati untuk Tuhan merupakan hal yang utama.61 Ketika bisa membuka hati untuk Tuhan maka IDD dapat memberikan dirinya untuk melayani Tuhan dan mampu menerima keberadaannya sebagai IDD. Seorang informan yang adalah IDD mengatakan bahwa ia menerima setiap tawaran yang diberikan oleh gereja untuk pelayanan, misalnya pelayanan firman dan pelayanan musik dalam ibadah-ibadah. Ketiga, tidak menjadikan disabilitas yang dimiliki sebagai penghalang bagi IDD untuk melibatkan diri dalam pelayanan gereja. Karena sejatinya setiap orang di dunia ini tidaklah sempurna. Orang yang “normal” secara fisikpun mempunyai kekurangan yang lain. Menurut penulis hal-hal seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap pribadi IDD agar mereka dapat membuka diri dengan lingkungan di mana ia berada.

3.5 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keterlibatakan warga jemaat sangat penting demi berlangsungnya suatu pelayanan. Warga jemaat yang ada di GMIM Sion Tomohon tidak hanya terdiri dari non-IDD melainkan terdiri juga dari warga jemaat yang adalah IDD. Sebagai gereja yang di dalamnya terdiri dari banyak anggota, GMIM Sion sudah mulai menunjukan sikap terbuka terhadap keberagaman yang ada. Gereja menerima baik kehadiran

60 Hasil wawancara dengan IDD Bpk. Samson Dan Ibu Joice Lolowang 4 September 2018 pukul 19.00

WITA.

(32)

22

IDD di tengah-tengah persekutuannya. Tidak ada pemberlakukan khusus yang dilakukan gereja terhadap non-IDD dan IDD. Keberadaan IDD di GMIM Sion Tomohon sangat dihargai, terbukti dari diberikannya kesempatan yang sama bagi IDD untuk mengambil bagian dalam kegiatan gereja. Melalui hal tersebut, IDD mendapatkan ruang untuk mengembangkan setiap talenta yang dimiliki. Sikap yang ditunjukkan gereja disambut baik oleh IDD karena dengan demikian IDD merasa bahwa kehadirannya sangat diperhitungkan dan tidak ada anggapan negatif yang muncul terhadap IDD. IDD tidak dianggap sebagai mereka yang lemah dan tidak dijadikan sebagai objek pengasihan. Kehadiran IDD tidaklah menjadi suatu beban bagi gereja melainkan melalui keterlibatan IDD gereja merasa terbantu dalam melaksanakan pelayanannya. Relasi yang baikpun tercipta antara IDD dengan warga jemaat lainnya. Setiap pelayanan yang dilakukan di GMIM Sion Tomohon tidak hanya berpusat pada non-IDD melainkan kepada semua warga jemaat tanpa terkecuali. Maka dari itu, apa yang dilakukan GMIM Sion Tomohon merupakan langkah yang baik menuju gereja yang inklusif di tengah-tengah keberagaman yang ada.

4. Kajian Teologi Disabilitas Terhadap Pelibatan IDD dalam Kegiatan Gereja di GMIM Sion Tomohon

Pada bagian ini penulis akan melakukan kajian kritis terhadap hasil penelitian berkaitan dengan pelibatan IDD dalam kegiatan gereja di GMIM Sion Tomohon seperti yang telah penulis paparkan dalam bagian 3 dengan kajian teologi disabilitas seperti yang telah penulis paparkan dalam bagian 2 tulisan ini.

4.1 Gereja sebagai Tubuh Kristus bagi IDD

Sebagai tubuh Kristus, gereja terdiri dari banyak anggota yang saling kait-mengait satu dengan yang lain. Sebagai tubuh Kristus gereja harus menjunjung tinggi kesatuan tanpa memandang setiap perbedaan. Menghilangkan pandangan bahwa IDD merupakan mereka yang lemah dan tak berdaya. Hal ini menjadikan setiap anggota dalam gereja memiliki hak yang sama sehingga tidak ada perlakuan khusus antara IDD dan non-IDD. GMIM Sion Tomohon tidak pernah merasa terbebani dengan kehadiran IDD. Pelayan-pelayanan yang dilakukan ditujukan kepada semua anggota jemaat tanpa terkecuali. Dalam gereja, setiap anggota memiliki fungsi yang berbeda-beda. Gereja menjadi tempat bagi setiap orang untuk mengembangkan talenta yang

(33)

23

dimiliki termasuk IDD. Gereja sebagai tubuh Kristus memberi harapan bagi IDD untuk memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan gereja.

Sikap yang ditunjukan GMIM Sion Tomohon merupakan wujud kesatuan gereja sebagai tubuh Kristus. Dalam keberagamannya, baik IDD dan non-IDD mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan gereja. GMIM Sion Tomohon begitu menyambut kehadiran IDD di tengah-tengah persekutuannya. Tidak ada pandangan negatif yang ditunjukan oleh warga jemaat lainnya terhadap IDD. Kesatuan sebagai tubuh Kristus tetap dijaga dan dipelihara karena gereja menyadari memiliki banyak angota yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian IDD mengalami banyak pengalaman dalam pelibatan diri dalam pelayanan gereja.

4.2 Menjadi Gereja yang Inklusif

Gereja yang hadir di tengah-tengah dunia yang beranekaragam. Dalam keberagaman yang ada, gereja tertantang untuk melakukan upaya-upaya untuk menjadi gereja yang inklusif. Dalam mewujudkannya, GMIM Sion Tomohon sudah mulai menunjukan kepedulian dan penerimaan terhadap kehadiran IDD dalam persekutuannya. Gereja melihat bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap orang yang ada di dalam gereja harus merangkul satu dengan yang lain dan tidak membuat batasa-batasan yang mengakibatkan IDD merasa terdiskriminasikan dari lingkungan gereja. Melalui hal seperti ini IDD merasa dihargai keberadaannya di tengah-tengah persekutuan gereja. Informan yang adalah IDD mengakui bahwa GMIM Sion Tomohon menerima mereka dengan baik dan tidak ada diskriminasi yang mereka alami selama ini. IDD dengan bebas mengembangkan talenta-talenta yang mereka miliki untuk melayani Tuhan.

Menjadi gereja yang inklusif berarti juga menjadi gereja yang menerapkan perlakuan yang penuh cinta kasih terhadap semua anggota gereja dengan menerima setiap keberagaman yang ada. Dengan kata lain, gereja yang tidak memberlakukan diskriminasi, segresi, marjinalisasi, dan eksklusi terhadap sebagian anggota jemaat termasuk IDD.62 Gereja harus menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap IDD sehingga dapat membantu IDD

(34)

24

untuk melakukan aktifitasnya dalam kehidupan bergereja. Dalam menjadi gereja yang inklusi, gereja harus memperhatikan IDD sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain dalam hal sarana dan prasara, perubahan pola pikir terhadap IDD sangat penting. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang belum bisa memangdang IDD layaknya orang “normal”. Gereja sangat memiliki peran yang penting karena IDD merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Gereja harus mampu memperjuangkan hak-hak dari IDD agar supaya pemberlakukan yang tidak baik terhadap IDD dapat diatasi baik dalam ranah gereja maupun sosial. Tidak dapat dipungkiri selama ini IDD belum mendapatkan perlakukan yang baik oleh lingkungan di mana IDD itu berada.

Dalam mewujudkan gereja yang inklusif, adapun upaya-upaya yang dilakukan GMIM Sion Tomohon dalam menjadi gereja yang inklusif. Pertama, melalui khotbah-khotbah dalam ibadah yang mengangkat tema tentang isu disabilitas; kedua, memberi ruang kepada IDD untuk mengembangkan setiap talenta-talenta yang mereka miliki; ketiga, ikut ambil bagian dalam kepanitiaan yang diselenggarakan; keempat, memberi kesempatan bagi IDD untuk mengambil bagian dalam pelayanan firman; kelima, program dari kolom-kolom dan Kelompok Fungsional Lansia yaitu pelawatan di rumah-rumah penderita; dan keenam, menerima orientator/pra-vikaris yang adalah IDD.

Melalui sikap yang ditunjukan oleh GMIM Sion Tomohon dalam upaya menjadi gereja yang inklusif, penulis melihat bahwa hal ini dapat berdampak baik dalam kehidupan bergereja masa kini. GMIM Sion Tomohon dapat menjadi contoh bagi gereja-gereja lain yang mungkin belum bisa menerima keberadaan IDD ditengah persekutuannya. Gereja saat ini dituntut untuk menjadi gereja yang ramah dan menerima semua anggota jemaat tanpa memandang perbedaan yang ada. Gereja harus melayani semua anggota jemaat dengan kasih sebagai wujud kesatuan sebagai Tubuh Kristus. Penulis juga menyadari bahwa setiap kita manusia yang mengaggap dirinya “normal”, pada kondisi atau keadaan tertentu akan membawa seseorang ke arah disabiltas yang disebabkan oleh beberapa faktor. Disabilitas merupakan suatu open minority.

Dengan demikian, sangat penting bagi kita yang hidup di zaman ini untuk memberikan pemahan yang baru bagi orang lain, yang masih terperangkap dalam budaya-budaya yang menjunjung tinggi kenormalan. Merubah stigma negatif terhadap IDD, mampu melihhat IDD sebagai sesama, dan tidak memandang disabilitas sebagai dosa, aib, ataupun kutukan. Ketika

(35)

25

gereja dan masyarakat mampu untuk menerima dan memperlakukan IDD seperti orang “normal” lainnya, maka dapat dipastikan marjinalisasi, ignorisasi, dan diskriminasi perlahan-lahan dapat teratasi. Maka dari itu sesuatu yang dibuat atau diputuskan tidak hanya untuk kepentingan orang “normal” melainkan semua orang tanpa terkecuali. Selain itu juga hak-hak IDD dapat terpenuhi.

4.3 Teologi Disabilitas sebagai Jalan Menuju Kehidupan yang Inklusif

Teologi disabilitas hadir untuk merekonstruksi kembali pemahaman yang selama ini keliru terhadap IDD berdasarkan pengalaman manusia berkaitan dengan disabilitas. Selain itu juga untuk menciptakan terbentuknya suatu masyarakat yang inklusif yang ramah terhadap IDD. Selama ini sebagai kaum minoritas IDD sering mangalami diskriminasi, marjinalisasi, dan ignorisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, gereja harus menjadi wadah bagi IDD untuk mengembangkan setiap talenta yang mereka miliki. Stigma negatif pun harus diubah agar IDD dapat diterima dengan baik dalam lingkungan gereja. IDD bukanlah mereka yang lemah dan tak berdaya.

GMIM Sion Tomohon tidak melihat disabilitas sebagai penghalang bagi seseorang untuk mengembangkan talenta-talentanya dengan ikut berkontribusi dalam pelayanan gereja. Tidak ada pandangan negatif dari gereja terhadap IDD. Hal ini juga dapat kita lihat dalam diri Yesus ketika Ia menolak IDD yang selalu dihubungkan dengan hal negatif. Seperti dalam Yohanes 3:9, Yesus secara jelas menolak ketika disabilitas dihubungkan dengan dosa karena IDD merupakan bagian dari rencana Allah. Dalam rencana itu ada pekerjaan-pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam diri IDD. Maka dari itu dapat memberi pemahaman yang baru bagi orang-orang yang selama ini keliru terhadap IDD. Contohnya kelahiran seorang anak dengan disabilitas yang selalu dihubungankan dengan dosa, aib, ataupun kutukan.

Penulis sangat mengapresiasi IDD yang berada di GMIM Sion Tomohon, karena mampu membuka diri dan melibatkan dirinya dalam kegiatan gereja. IDD tidak merasa minder dengan keadaan yang mereka alami, melainkan ada semangat dalam diri IDD untuk memotivasi warga jemaat yang lain untuk ikut terlibat dalam berbagi kegiatan gereja. Disabilitas bukanlah suatu penghalang bagi IDD untuk mengembangkan talentanya. Sebagai gambar dan rupa Allah manusia diciptakan dengan ciri-ciri yang sama namun dari semuanya itu ada perbedaan yang dimiliki. Kecenderungan orang pada saat ini ialah menyalah-gunakan gambar Allah untuk

Referensi

Dokumen terkait

Menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa timbulan, komposisi sampah, karakteristik dan potensi daur ulang sampah yang dihasilkan di Kawasan

Dari Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa te- gakan yang mendominansi pada lokasi penelitian dengan INP di atas 15% dalam habitat akar kuning untuk tingkat pohon, yaitu keruing

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari pemberian layanan bimbingan

Berdasarkan informasi yang dijelaskan pada metodologi penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa data yang akan digunakan pada proses pengolahan data,

Secara umum perpustakaan merupakan suatu lembaga atau tempat atau kumpulan bahan-bahan pustaka yang bentuknya dapat berupa buku dan non buku yang diatur

Kepala Bidang menyiapkan bahan perumusan, penyusunan, koordinasi, pelaksanaan, pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan kebijakan dibidang kesehatan masyarakat veterinerc.

• Item-2 kegiatan dalam jadwal harus sesuai dengan aktivitas dan langkah-2 yang diuraikan pada Metode Pelaksanaan. Penyusunan

Disajikan gambar sistem pencernaan pada manusia, peserta didik dapat menjelaskan fungsi enzim yang dihasilkan oleh bagian organ pencernaan yang ditunjuk.