• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subjektivitas Eka Kurniawan melalui Novel Lelaki Harimau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Subjektivitas Eka Kurniawan melalui Novel Lelaki Harimau"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

83

Subjektivitas Eka Kurniawan melalui Novel Lelaki Harimau

Siti Hardiyanti Amri

STKIP Muhammadiyah Barru/Gowa, Sulawesi Selatan, 92113 Email: sitihardiyanti0791@gmail.com

Abstrak

Paradigma humanis dalam kajian sastra memposisikan manusia sebagai pusat. Penelitian ini mengkaji subjektivitas tokoh dan pengarang dalam semesta novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan menggunakan teori subjektivitas Slavoj Zizek. Zizek memfokuskan pemikirannya pada tatanan riil dan simbolik dalam kehidupan manusia. Menurutnya, manusia mampu meraih kebebasan dan keotentikan dirinya selama ia bertindak melampaui norma-norma simbolik dan bergerak menuju dimensi riil dalam kehidupannya. Sebaliknya, manusia akan tetap terpenjara dalam dimensi simbolik, selama ia membiarkan dirinya tetap hanyut dalam kesadaran palsu ideologi. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada upaya radikal yang dilakukan oleh tokoh utama untuk mencapai kondisi riil melalui tindakan sadis dan tak berkeprimanusiaan yang melanggar aspek normatif dalam lingkaran simbolik. Akan tetapi, peristiwa yang dihadapi oleh tokoh tersebut berlawanan dengan diri pengarang sebagai subjek. Pengarang justru tidak menunjukkan adanya upaya radikal dalam kehidupannya sehingga ia tetap berada dalam fantasi ideologis.

Kata Kunci: Subjektivitas, Slavoj Zizek, Eka Kurniawan, Tindakan Radikal, Fantasi ideologis.

The Subjectivity of Eka Kurniawan through the Novel Lelaki Harimau Abstract

The humanist paradigm in literature study assigns human as the center. This research examines the subjectivity of the characters and the author in Lelaki Harimau novel by Eka Kurniawan using Slavoj Zizek theory of subjectivity. Zizek focused his thoughts on the real and symbolic order in human life. According to him, humans are able to achieve freedom and authenticity as long as they act beyond the symbolic norms and move towards the real dimension in their life. On the contrary, humans will remain imprisoned in symbolic dimension as long as they allowed themselves drifted away on a false consciousness of ideology. This research indicates that there are radical efforts made by the main characters to achieve the real conditions through sadistic and inhumane actions which violate the normative aspects in symbolic circle. However, the events faced by these characters is opposite to the author as the subject. In fact, the author does not performed any radical efforts in his life so that he remains in ideological fantasies.

Keywords: subjectivity, Slavoj Zizek, Eka Kurniawan, radical act, ideological fantasy

PENDAHULUAN

Nama Eka Kurniawan tak asing lagi dalam lingkungan sastra Indonesia. Ia merupakan penulis kelahiran Tasikmalaya, 1975 dan sejak usia 10 tahun menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, Jawa Barat. Setelah menyelesaikan pendidikannya dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1999, ia merilis buku pertamanya yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis yang berasal dari tugas akhir kuliahnya. Kurniawan termasuk sastrawan yang produktif, hal ini dapat terlihat dari sejumlah karya sastra yang telah dihasilkannnya

seperti cerita pendek, novel, dan esai. Beberapa novelnya juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk Bahasa Inggris seperti Lelaki Harimau (Man Tiger), Cantik Itu Luka (Beauty Is a Wound) dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar (Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash). Karya-karya telah banyak menuai pujian baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah penghargaan telah diraih seperti Foreign Policy’s Global Thinkers of 2015, Financial Times/Oppenheimer Funds Emerging Voices 2016 Fiction Award for Man Tiger, IKAPI’s Book of the Year 2015 for Man

(2)

84

Tiger, World Readers’ Award 2016 for Beauty Is a Wound(Kurniawan, 2017).

Salah satu novelnya yang berjudul Lelaki Harimau (Man Tiger) telah sukses membawanya menjadi novelis Indonesia pertama yang dinominasikan Man Booker International Prize bersanding dengan Orhan Pamuk dan Kenzaburo Oe. Penelitian terhadap novel Lelaki Harimau dengan pendekatan subjektivitas Slavoj Zizek belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya lebih memfokuskan kajiannya pada struktur novel, sehingga penelitian ini bertujuan mengeksplorasi subjek yang merujuk pada tokoh-tokoh dan penulisnya. Dalam kajian sastra, penelitian ini diharap dapat memberi kontribusi teoretik, khususnya penelitian novel Lelaki Harimau dalam paradigma humanis.

Berdasarkan teori psikoanalisis historis Slavoj Zizek, Pembunuhan keji yang dilakukan oleh tokoh utama dalam novel. Lelaki Harimau dipahami sebagai tindakan radikal subjek.Tindakan yang bersumber dari momen kekosongan.Tindakan murni berasal dari dalamdirisubjek yang merupakan ledakandari rasa muak dan ilusi simbolik. Slavoj Zizek yang pemikirannya dipengaruhi oleh Lacandan Hegel menjelaskan bahwa identitas subjek terbentuk dalam tatanan simbolik.Ruang ketika subjek bergerak atas hasrat sang lain (the Other). Subjek senantia- sa merasa kurang (lack) dan bergerak untuk memenuhinya.Namun, menurut Zizek, subjek juga dapat keluar dari ilusi the Other dan tidak terjebak dalam enjoyment melalui tindakan radikal yang dilakukannya dengan melampaui yang simbolik.

Tokoh-tokoh dengan tindakan radikalnya tentu tidak luput dari kesadaran penulis sebagai subjek. Novel Lelaki Ha-rimau secara implisit mengkritik sistem patriarki sebagai dampak kolonialisme. Pandangan yang memposisikan pria sebagai pihak yang mendominasi perempuan dan anak-anak dalam keluarga sampai lingkup kemasyarakatan lainnya.Sebenarnya, isu patriarki juga diangkat Kurniawan dalam novel sebelumnya yang berjudul Cantik Itu

Luka yang bercerita tentang penindasan dan diskriminasi terhadap tokoh perempuan. Meskipun di era yang terbilang demokratis, pola-pola dan kecenderungan patriarkat masih sering ditemukan. Inilah yang mendorong penulis-penulis Indonesia maupun luar untuk mengangkat isu tersebut melalui karyanya. Hal ini melahirkan kecenderungan penulis mengangkat isu tertentu sebagai bahan tulisan, termasuk Eka Kurniawan. Dengan kata lain, kritik yang dituangkan melalui karyanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan otentik untuk melawan suatu sistem melainkan ada dorongan dari the Other dibaliknya yakni legitimasi simbolik dan apresiasisastra dalam skala nasional dan internasional. Realitasnya, Kurniawan tidak melakukan tindakan radikal apapun seperti tokoh dalam karyanya yang mencoba untuk memberontak terhadap sistem. Posisinya sebagai penulis pria juga masih diragukan apakah benar-benar menyuarakan kaum perempuan yang seringkali tertindas dalam lingkungan patriarkat.

Tokoh dalam karyanya tidak hadir dalam diri Kurniawan. Terdapat kontradiksi antara tindakan radikal tokoh dan kehidupan pengarang. Pengarang tidak menghadapi peristiwa serupa sebagaimana yang dialami tokoh-tokoh dalam karyanya. Sejauh ini tak ada sumber yang menjelaskan bahwa Eka Kurniawan besar dalam lingkungan patriarki dimana dia turut mengalami secara personal dan akhirnya turut memperjuangkan nasib kaum perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Kurniawan menghabiskan masa mudanya membaca fiksi picisan dan karya-karyanya banyak terinspirasi dari itu. Kurniawan menegaskan dalam sebuah pernyataan bahwa “There is a parallelism between me and Margio…In Indonesia we keep our anger, we repress our anger, but in the end…the tiger comes out, and we don’t know how to handle this tiger.”(Wilson, 2016).

Jadi, tokoh-tokoh yang memberontak terhadap sistem dalam karyanya hanyalah hasil imajinasi dan penulis tidak melakukan hal yang sama dalam kehidupan nyata

(3)

85 meskipun ia menyadari bahwa selalu ada

hasrat untuk memberontak dan keluar dari tatanan simbolik. Selalu ada momen kekosongan yang dihadapi subjek yang membawanya kepada sebuah tindakan radikal. Kurniawan mengakui bahwa ada kemiripan antara dirinya dan sosok Margio dalam novelnya, namun kebenaran dapat dilihat dari apa yang sebenarnya dilakukan penulis dalam realitasnya. Kurniawan hanya bersikap sinis terhadap kenyataan bahwa di era modern saat ini, pandangan patriarkat masih ada dan mempengaruhi posisi perempuan. Namun, sebagai subjek yang sadar terhadap hal itu, ia tidak melakukan hal yang bisa dipandang cukup radikal untuk membela kaum yang terpinggirkan ini.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah utama yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah; 1. Bagaimana tindakan radikal tokoh yang tergambarkan dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan? 2. Bagaimana subjektivitas Eka Kurniawan dalam skema fantasi ideologis? TEORI

Pemikiran Slavoj Zizek dipengaruhi oleh Marx, dan Lacan. Zizek merumuskan kembali pandangan mayoritas Marxis mengenai ideologi sebagai kesadaran palsu. Sesuatu yang hadir pada realitas adalah sebuah ilusi yang menipu subjek. Hal ini dijelaskan Marx secara singkat melalui ungkapan they do not know it, but they are doing it. Masyarakat dihadapkan pada ilusi yang menghalangi kesadaran mereka untuk menjangkau kenyataan yang sebenarnya. Namun, Zizek memandang bahwa saat ini, ideologi berkerja dengan cara yang lain. Ia kemudian menawarkan premis baru they know it, but they are doing it yang berarti bahwa masyarakat bersikap sinis. Mereka mengetahui realitas yang sebenarnya, namun mereka bertindak seolah-olah tidak mengetahuinya atau menutupi pengetahuan terhadap kebenaran (Setiawan, 2016: 9). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi pergeseran pandangan dari kesadaran palsu menjadi kesadaran sinis. Sinis dalam hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat

telah sadar dan mengetahui kebenaran yang tersembunyi dibalikilusi, namun mereka memilih untuk tetap berada dalam ilusi itu.

Subjek sinis membawa Zizek pada pemikiran Lacan untuk menjelaskan subjek yang tunduk dan patuh dalam tatanan sosial (yang Simbolik). Lacan menjelaskan subjek melalui triadik The Real, The Symbolic, The Imaginary. The Real merupakan tataran yang belum dipengaruhi oleh bahasa. Lacan menyebutnya sebagai kondisi kepenuhan atau keutuhan. Pada tingkatan ini, anak belum mampu membedakan dirinya dari yang lain (liyan). Selanjutnya, The Imaginary sebagai tahapan cermin (mirror stage) dimana ego terbentuk. Pada tahap ini, subjek beralih dari kebutuhan primer (need) ke tuntutan (demand). Kebutuhan selalu dapat dipenuhi namun tuntutan tidak pernah terpuaskan sehingga manusia bergerak ke kondisi kekurangan (lackness). Ego senantiasa mengalami keretakan yakni antara dirinya dan citra mengenai dirinya sehingga selalu ada upaya untuk menyatukan kepingan diri yang retak atau menginginkan keutuhan. Terakhir adalah The Symbolic (yang Simbolik), sebuah arena dimana subjek terbentuk melalui sejumlah identitas yang dilekatkan kepadanya. Ranah ini terkait dengan hasrat (desire)(Ali, 2010). Dengan berpindahnya subjek dari tatanan imajiner menuju tatanan simbolik, subjek berada dalam kondisi terbelah dimana subjek selalu berusaha untuk memenuhi panggilan the Other dan jouissance hadir untuk memenuhi kehilangan traumatis atas the Other yang tidak dapat dijangkau subjek.

Subjek selalu bergerak dalam pemenuhan hasrat the Other sehingga hasrat subjek adalah hasrat sang Lain. Kekurangan adalah sebuah keniscayaan dalam diri subjek sehingga the Other hadir untuk mengatasi kehilangan atau kekurangan itu yang mustahil kembali dalam kepenuhannya atau dimensi riil. Zizek menegaskan bahwa hanya subjek radikal yang dapat menjangkau kondisi Real, tidak terinterpelasi oleh hal-hal eksternal. Sebuah momen ex nihilo (dalam istilah Zizek), momen kekosongan, murni dan otentik tanpa pengaruh ideologi apapun.

(4)

86

Subjek radikal Zizek adalah subjek yang berusaha keluar dari tatanan sosial atau yang simbolik untuk mencapai yang riil.

Untuk menjelaskan subjek dan tin-dakannya, Zizek banyak mengkaji budaya populer seperti film sebagai contoh untuk memudahkan pemahaman mengenai tinda-kan radikal subjek. Zizek mengangkat tokoh anak laki-laki bernama Edmund dalam film Germania Anno Zero (1948). Edmund tinggal bersama kakak perempuan dan ayahnya yang menderita karena sakit. Ia terngiang oleh ajaran gurunya bahwa butuh perjuangan yang sangat keras untuk bertahan hidup, oleh karenanya rasa belas kasih seharusnya ditekan karena akan membebani diri. Ia kemudian menerapkan ajaran tersebut dalam situasi yang dihadapinya dimana ayahnya sulit untuk sembuh dan terus menerus mengeluhkan sakitnya. Ayahnya mulai mencemaskan keluarganya dan ingin mati saja untuk meringankan beban keluarga. Nahasnya, Edmund benar-benar mengakhiri hidup ayahnya. Ia akhirnya menerima sanksi sosial dengan ditolak dan dijauhi masyarakat. Karena rasa bersalah dan tidak tahan dengan perlakuan masyarakat, ia memutuskan untuk bunuh diri. Zizek melihat tindakan Edmund sebagai tindakan otentik atau sebuah kebebasan mutlak (absolute freedom). Dalam tatanan simbolik atau sebuah sistem kemasyarakatan dengan sejumlah aturan dan norma, tindakan Edmund tentu sebuah tindakan kejam atau sebuah kejahatan. Tapi disisi lain, keputusan Edmund untuk membunuh ayahnya adalah simbol cinta yang sebenarnya. Ia melampaui batas simbolik dan bertindak ekstrim karena mencintai ayahnya. Inilah momen ex nihilo yang dihadapi Edmund. Dalam momen kekosongan inilah Edmund hadir sebagai subjek murni dan otentik. Demi meraih kebebasan mutlak, subjek harus melepaskan diri dari objek-objek yang dimiliki dan dicintai. Subjektivitas terbentuk saat yang berharga dilepaskan (Robet, 2010). Jadi, Tindakan radikal hadir dalam momen kekosongan sebagai ledakan dalam diri subjek atas tatanan simbolik yang

membelenggunya. Tindakan subjek ini dijelaskan sebagai berikut.

Zizek mengadopsi pemikiran Kant untuk menjelaskan keotentikan tindakan. Kant memisahkannya menjadi tindakan yang dilakukan berdasarkan kepentingan tertentu dan tindakan yang dilakukan atas dasar tindakan itu sendiri atau dorongan dari dalam diri sendiri. Dengan kata lain, tindakan radikal adalah tindakan tanpa tujuan atau maksud tertentu dan subjek juga tidak berada di bawah pengaruh apapun (Žižek, 1992).

Zizek menjelaskan bahwa interpelasi ideologi (istilah Althusser) terhadap subjek berlangsung dalam tataran simbolik sehingga subjek bergerak berdasarkan eksterioritas. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi saat ini bekerja dengan cara sinisme dimana subjek bersikap sinis terhadap realitas yang sebenarnya. Mereka tahu tapi tetap saja mereka melakukannya. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa subjek tidak sanggup menghadapi kehilangan traumatis sehingga mereka tetap tunduk dan patuh terhadap yang simbolik.

Dengan kata lain, sinisme adalah suatu sikap mempertahankan topeng dan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Sinisme akhirnya hadir sebagi moralitas yang dijejalkan dalam amoralitas. Sinisme hadir seolah suatu kejujuran atau sikap murni, dengan menggunakan kebenaran sebagai suatu bentuk kebohongan (Setiawan, 2016). Singkatnya, sinisme merupakan pemalsuan realitas. Subjek menutupi kebenaran yang diketahuinya dan terbenam dalam fantasi yang membentuk hasratnya. Fantasi hadir sebagai jawaban atas panggilan the Other.

Fantasi membangun hasrat subjek tapi tidak memenuhinya. Lacan mengemukakan istilah death drive atau dorongan kematian untuk menjelaskan bahwa dorongan membawa subjek pada destruksi atau kehilangan traumatis sehingga fantasi menjadi jawaban atau jalan keluar atas kekosongan dan kehilangan yang dialami subjek dan membawanya pada objek

(5)

87 yang memberi kenikmatan sementara

kepada subjek. Fantasi ideologis bekerja dengan cara menutupi pengetahuan subjek atas realitas yang sebenarnya karena the Real terlalu menakutkan bagi subjek. Namun, karena hasrat subjek adalah hasrat akan sesuatu yang hilang, subjek akan senantiasa berada dalam pencarian dan object petit a mengisi kekurangan subjek (Žižek, 1989).

Zizek tidak hanya mengaplikasikan teorinya melalui film, namun juga karya sastra. Menurutnya, baik sastra dan film menghadirkan tokoh atau karakter yang melakukan tindakan. Tindakan tokoh berada dalam jangkauan dan kontrol pengarang sehingga peran pengarang tidak dapat dinafikan dalam penciptaan karya dan semua elemen yang terdapat di dalamnya. Jika

pengarang sebagai subjek

merepresentasikan kehidupannya dalam narasi, ia mencoba menjawab panggilan the Other yang tidak pernah utuh dalam prosesnya karena akan selalu ada motivasi tak sadar dari subjek. Seberapa besarpun upaya subjek untuk mencapai the Real, ia akan selalu terantai dalam tatanan simbolik. Hal ini dijelaskan Zizek dalam konsepnya mengenai Gaze (sudut pandang/tatapan). Gaze terletak pada the other, tatapan disini mengandung pengertian bahwa subjek ditatap secara terus menerus oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Dalam hal ini, subjektifitas pengarang hadir dalam narasinya yang mengindikasikan bahwa narasi tersebut berada dalam kuasa sudut pandang pengarang. Jadi, sudut pandang pengarang ditentukan oleh bagaimana pengarang menjawab panggilan dari Gaze yang berada di luar dirinya (Setiawan, 2016). Jadi, dalam konteks sastra, keberadaan subjek pengarang tidak dapat diabaikan karena tokoh-tokoh beserta tindakan dan peristiwa yang melingkupinya berada dalam kendali pengarang. Sudut pandang begitu signifikan untuk melihat apakah subjektivitas simbolik atau otentis yang dihadirkan melalui narasi.

Sehubungan dengan penelitian ini, ditemukan beberapa penelitian terdahulu

dengan objek material dan objek formal yang serupa.(Noviyanti & Dermawan, 2018) memfokuskan kajiannya terhadap unsur-unsur intrinsik karya seperti alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, serta identifikasi konflik batin dan penyebabnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deksriptif kualitatif. Meskipun peneliti menyebutkan pendekatan psikologi sastra, teori yang digunakan tidak cukup jelas dalam pemaparannya. Hasil penelitian ini menunjukkan alur campuran novel, tokoh utama dan sejumlah karakterisasi yang melekat padanya, beberapa latar tempat, serta penentuan wujud konflik batin yang dialami tokoh dan faktor-faktor penyebabnya tanpa dilandasi oleh teori apapun.

Selanjutnya, terdapat tiga penelitian yang mengkaji novel dengan perspektif subjektivitas Slavoj Zizek. (Amri, 2018) dalam tesisnya menganalisis subjektivitas tokoh dan pengarang. Dua tokoh utama dalam novel The Scarlet Letter melakukan tindakan radikal dalam sejumlah momen kekosongan dengan membebaskan diri dari pengaruh ideologi dan kuasa eksternal apapun.Prynne dan Dimmisdale melanggar aturan Puritan melalui hubungan seks pranikah ketika Prynne masih berstatus isteri dan Dimmisdale sebagai pendeta. Tindakan merekatergolong radikal karena meruntuhkan tatanan simbolik Puritanisme. Subjek dan tindakan radikal tokoh tak luput dari peran penulis yang menghadirkan persitiwa tersebut sebagai kritik atas institusi agama. Akan tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek tokoh tidak dapat sepenuhnya lepas dari jeratan simbolik. Begitu pula subjek penulis yang melalui konsep tatapan (gaze) Zizek berada dalam fantasi ideologis melalui aktivitas kepenulisan yang membentuk subjektivitas simboliknya. Dalam hal ini, tindakan penulis dipengaruhi oleh beberapa ideologi seperti transendentalisme, romantisisme dan kapitalisme yang membuat tindakannya tidak otentik.

Selanjutnya, (Akmal, 2012) dalam penelitiannya memfokuskan analisisnya

(6)

88

tehadap subjektivitas Pramoedya selaku penulis. Ada upaya radikal yang ditunjukkan penulis untuk membebaskan diri dari jeratan simbolik yakni melalui tindakan penulisan novelsebagai pemberontakan atau perlawanan terhadap sistem. Penelitian ini menelusuri pergerakan sudut pandang dalam novel menggunakan pendekatan sudut pandang Todorov. Selain itu, peneliti juga mengamati korelasi antara struktur karya dan struktur sosial pengarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akhirnya Pramoedya masuk kembali ke dalam sistem simbolik yang baru yang menandakan kegagalan subjek menjadi subjek otentik.

Penelitian terakhir yang juga menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah tesis (Setiawan, 2015) yang mengkaji fantasi ideologis pengarang melalui identifikasi tindakan radikal tokoh dalam novel. Melalui konsep Gaze Zizek, terdapat relasi paradoks antara kritik penulis melalui novelnya dan fakta historis penulis. Meskipun tokoh melakukan tindakan radikal, hal tersebut tidak ditemukan dalam kehidupan penulis. Dengan kata lain, penulis hanya menikmati kritik sosial yang dihadirkan melalui karyanya untukmelanggengkan posisi dan legitimasinya dalam tatanan simbolik.

Berdasarkan uraian beberapa penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peneltian subjektivitas dalam skema fantasi ideologis terhadap novel Lelaki Ha-rimau karya Eka Kurniawan belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberi kebaruan terhadap kritik sastra Indonesia terkait pemikiran subjektivitas Slavoj Zizek. METODE

Metode Penelitian merupakan langkah-langkah atau cara kerja penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan terdiri atas metode pengumpulan data dan metode analisis data.

Proses pengumpulan data dilakukan secara tekstual berupa satuan-satuan teks baik narasi maupun dialog dalam novel Lelaki Harimau yang menunjukkan tindakan radikal yang dilakukan oleh tokoh utama.

Selain itu, data mengenai fantasi ideologis dihimpun dari berbagai sumber baik teks novel, artikel, buku, maupun online yang menyajikan fakta-fakta mengenai kondisi sosial historis Eka Kurniawan selaku penulis yang berada dalam

lingkungan simbolik tertentu.

Analisis data dilakukan dengan mengaitkan data-data yang telah ditemukan guna menarik sebuah kesimpulan. Penelitian ini terdiri dari dua tahap analisis yakni antara lain; (1) analisis tindakan radikal subjek tokoh dilakukan dengan mengidentifikasi momen kekosongan (kondisi ex-nihilo) sebagai prasyarat menuju tatanan riil. Dalam hal ini, subjek bebas dari pengaruh ideologi apapun sebelum melakukan suatu tindakan yang melampaui norma-norma simbolik(2) analisis subjektivitas penulis dilakukan dengan pendekatan sudut pandang (gaze) Zizek guna mengidentifikasi posisisubjek penulis dan motif tindakannya menulis novel. Gaze menjelaskan bahwa penulis dalam hal ini senantiasa menjadi subjek yang ditatap atau diawasi oleh hal-hal eksternal yang membuatnya melakukan suatu tindakan tertentu sehingga tindakan tersebut tidak murni dorongan dari dalam dirinya sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tindakan Radikal dalam Novel Lelaki Harimau

Momen Kekosongan

Zizek menjelaskan momen kekosongan atau ex nihilo sebagai situasi dimana subjek membebaskan dirinya dari jeratan simbolik. Subjek tidak selalu tunduk dan patuh terhadap hukum dan aturan yang mengikatnya dan akan selalu berupaya untuk keluar dan melepaskan diri dari aspek-aspek eksternal yangmempengaruhinya.

Ruang kosong yang didiami subjek ini bersifat temporal layaknya sesuatu yang meledak dari diri subjek yang tak dapat dikendalikannya. Kondisi ex-nihilo yang dihadapi subjek dapat dilihat melalui tokoh Margio dalam novel Lelaki Harimau. Dorongan untuk membunuh telah lama ada, semenjak dia merasa bahwa ada harimau

(7)

89 yang berdiam dalam dirinya yang tak sabar

untuk keluar. Hasrat Margio ini dipicu oleh kemuakan atas sistem yang telah menjeratnya semenjak dirinya menjadi subjek dalam tatanan simbolik. Sebagai seorang anak yang menerima kekerasan dalam keluarga sekaligus menyaksikan ibunya menjadi korban kebejatan laki-laki dalam budaya patriarkat, kemarahan dan dendam telah menumpuk dalam dirinya dan tak terbendung lagi. Berikut beberapa kutipan yang memperlihatkan bahwa jiwa Margio bukan lagi miliknya melainkan ada harimau yang berusaha menggerakkan tin-dakannya.

Pikiran itu datang sekonyong-konyong, semacam wahyu cemerlang yang meletup di otaknya. Ia bilang ada sisi di dalam tubuhnya, sesuatu yang tak sekedar jeroan usus, yang menggelosor keluar dan menggerakkan seluruh raganya, mengen-dalikannya dan mengajak dirinya membunuh Anwar Sadat. Sesuatu itu sangatlah kuat, ia berkata pada polisi, sehingga ia memang tak butuh senjata macam mana pun (Kurniawan, 2004: 32). […] Dirasakannya tubuh yang menggigil hebat, dan jemari tangan yang mencengkeram. Tak pernah ia sendiri merasakan suatu amarah semacam itu, begitu kejam dan penuh dendam, tapi ia tak bisa mengelak dari itu, disebabkan nilai rasa sakit yang mesti ditanggungnya. Harimau itu telah membuatnya jatuh cinta, puncak dari hasrat bertahun-tahun, dan ia tak akan sudi ditinggalkan demikian rupa (Kur-niawan, 2004: 47).

[…] Ia tak pergi meninggalkanku, pikirnya. Harimau itu masih disana, di dalam dirinya, dan mereka tak akan terpisahkan lagi, hingga kelak ketika kematian datang kepadanya sebagaimana itu selalu terjadi. Ia bersandar ke dinding, meraba pusarnya, merasakannya bersemayam. Ia tidak jinak bagaimanapun (Kurniawan, 2004: 48).

Kehadiran harimau dalam diri Margio tentu merupakan sebuah simbol yang penuh makna. Binatang ini menjadi representasi kekuatan dan keberanian yang mengungkapkan sikap liar manusia. Sang harimau menjadi sisi lain dari dirinya yang

memberinya jawaban atas apa yang seha-rusnya dilakukannya. Kebengisan dan kekejaman mucul akibat akumulasi dendam dan amarah yang selama ini dikendalikannya hingga sampai pada puncaknya saat dia tak dapat lagi menahan kejenuhan dan kepalsuan. Dirinya dan harimau bukan dua hal yang terpisah karena Margio meyakini bahwa harimau itulah dirinya yang sebenarnya dan hanya kematian yang akan memisahkannya sekaligus menjadi awal perjumpaan Margio dengan yang Real yang tak terbahasakan dan menjadi kebebasan mutlak baginya sebagai subjek. Margio pada awalnya menyimpan kebencian yang besar kepada ayahnya. Namun kuatnya ikatan simbolik dan pertimbangan norma serta moralitas membuatnya mengurungkan niat dan menahan diri untuk tidak melakukan pembunuhan terhadapnya. Sampai akhirnya, bisikan harimau telah menguasai dirinya disuatu momen pertemuannya dengan Anwar Sadat, lelaki yang hanya mempermainkan ibunya tak jauh beda dari tabiat ayahnya. Di momen itulah kesadaran Margio hilang, sehingga ia merasa harimau dalam dirinya lah yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Harimau telah menguasai jiwanya sehingga tak ada yang menyangka ia melakukan hal itu karena reputasinya sebagai anak yang manis dan santun di tengah masyarakat. Zizek menjelaskan se-bagai momen sesaat yang menandakan pelepasan diri subjek dari eksterioritas untuk menuju subjek yang otentik.

Tindakan Radikal

Tindakan radikal terjadi dalam momen kekosongan. Ketika subjek melepaskan diri dari kontrol simbolik menuju yang Real. Zizek menjelaskan tindakan ini sebagai tindakan murni tanpa tujuan atau kepentingan dan tidak berada di bawah pengaruh apapun. Pembunuhan keji dan brutal tentu dipandang sebagai sebuah ke-jahatan dan kebiadaban di tengah masyarakat yang hidup dengan hukum dan aturan serta nilai-nilai yang dianutnya. Namun Zizek melihat ini dengan sudut pandang yang berbeda bahwa moralitas

(8)

90

hanyalah konstruksi. Justru subjek menjadi dirinya yang murni dan bebas ketika dia berhasil keluar dari belenggu moralitas dan norma. Tindakan Margio merupakan sebuah tindakan radikal sebagai ledakan kemarahan dan kejenuhan atas topeng ilusi. Dia bertindak di luar batas kewajaran dan tidak manusiawi. Ia tidak memperhitungkan lagi akibat dari perbuatannya selama hasratnya terpenuhi. Kebrutalan Margio tampak jelas melalui beberapa kutipan berikut.

Ia mendekap erat Anwar Sadat, yang terkejut dan berusaha meronta, namun dekapan itu kuat di bawah lengannya, tangan Margio menjuntai ke atas me-renggut rambut Anwar Sadat bikin kepalanya tak banyak kutik. Saat itulah Margio menancapkan gigi-giginya di leher kiri Anwar Sadat, seperti ciuman kekasih yang membara ke permukaan kulit di bawah telinga. Mendengus dan hangat penuh nafsu, dan lelaki itu masih terpana untuk tahu apa yang diperbuat Margio. Meski begitu, rasa sakit yang sejenak, menusuk menyentak dadanya, membuat Anwar Sadat menggeliat dengan kaki gaduh menendang kursi, menggulingkannya. Suara kursi menghantam lantai dan pekikan kecil Anwar Sadat membangunkan Maesa Dewi yang terbangun dan bertanya dari kamar, “Papa, apa itu?” (Kurniawan, 2004:32).

Anwar Sadat tak ada daya untuk men-jawabnya, kecuali lolongan kasar mangsa yang hampir binasa. Margio membalasnya dengan satu gigitan mematikan, mencengkeram dan me-renggut segumpal daging, yang mem-buat rompal lehernya. Segumpal daging itu tercerabut dari sana, dengan serat-serat koyak segar menjulur tipis, dan darah menyembur tak ada kendali. Sepotong daging tanpa rasa, kini tertinggal di mulut Margio yang segera menyepahkannya ke lantai dan bergu-ling-gulinglah itu disana. Anwar Sadat mulai terbang, kerongkongannya bunyi sendiri, wajah Margio mandi darah memancur dari sana.

[…] Demi mendengar suara Maesa Dewi, nada tinggi dan penuh

kecema-san, serta berbunyi selimut yang di-hentakkan dan ranjang berderak serta kaki menjejak ke lantai, Margio kembali menyarangkan giginya ke rekahan merah gelap dan basah itu, ciuman kedua yang lebih mematikan dan dikuasai nafsu mengatupkan rahang kuat, memperoleh segumpal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia melakukannya kembali, perulangan yang jadi monoton tanpa irama, hingga rekahan itu semakin dalam dan compang camping, bagai didorong rasa lapar yang tak kepalang dan kerasukan memaharaja, mening-galkan jejak letupan-letupan serta gelembung darah terjun bebas tumpah ke bumi

Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading sebelum banjir oleh merah […] (Kurniawan, 2004: 33). […] Margio memandangnya, men-jelajahinya hingga cukup yakin lelaki itu mati sempurna. […] (Kurniawan, 2004: 35).

Gambaran peristiwa di atas menunjukkan bahwa Margio tidak lagi bertindak layaknya manusia namun serupa harimau. Ia membunuh dengan cara yang tidak biasa. Menggigit dan mengoyak leher Anwar seperti harimau yang sedang mencengkeram mangsanya. Hal ini menunjukkan bahwa Margio membawa sifat dan karakteristik harimau dalam dirinya secara tidak sadar. Banalitas dan keliaran ini justru semakin menegaskan bahwa identitasnya sebagai manusia telah benar-benar dilepaskan saat menjadi subjek yang radikal. Sesaat Margio disadarkan oleh suara Maesa Dewi, anak Anwar membuatnya kembali ke kesadaran simbolik sehingga ia benar-benar memastikan kematian Anwar dengan mengoyak terus daging lehernya hingga nyaris putus. Ia terlihat seperti harimau sungguhan yang sedang menikmati makanannya. Sejenak dia larut dalam momen itu dan menjadi subjek yang esensial dan tidak ada yang menginterupsinya. Sehingga apa yang dilakukan Margio merupakan tindakan yang muncul dari

(9)

91 dirinya sendiri. Margio membunuh Anwar

Sadat karena cintanya yang besar kepada ibunya sehingga segala sesuatu yang dilakukan hanyalah demi membahagiakan ibunya.

Tindakan radikal tidak hanya dilakukan oleh satu tokoh dalam cerita namun juga ditemukan dalam tokoh-tokoh lainnya. Aktivitas seksual yang dilakukan Anwar dan Nuraeni di luar pernikahan merupakan pemberontakan norma dan nilai-nilai moral dalam dunia simbolik.

Momen itu demikian menakjubkan bagi mereka, sesuatu yang nyaris tak terenungkan. Berbaring sama telanjang mereka tak berkata-kata, sebab tak banyak mereka berbincang, sebab berahi tampaknya tak membutuhkan kata. Dengan tubuh dan jiwa yang lelah, keduanya berbaring berdampingan, mata setengah redup menatap langit-langit dengan lampu mati dan satu-satunya cahaya dating dari tirai tipis yang menghalangi jendela, sinar matahari yang beranjak siang. Nuraeni sendiri masih takjub dengan keberanian tubuhnya sendiri, namun tak terperi ia demikian bahagia, dan tak perlu bertanya pada lelaki itu apa yang dirasakannya. Hingga tanpa ragu, perempuan itu berbalik menimpakan pahanya ke tubuh Anwar Sadat, dan memejakan mata. Ada garis lurus dibibirnya (Kurniawan, 2004: 141). Anwar yang telah beristri bahkan telah diketahui tabiat buruknya oleh istrinya. Tapi istrinya memilih untuk tidak peduli selama ia tidak menghasilkan anak dari gundiknya atau perempuan lain. Karena anak menjadi simbol dari perilaku seksual yang dipandang asusila dan amoral dalam tatanan sosial. Sehingga selama Anwar tidak membawa masalah dan membuat malu keluarganya, istrinya membiarkannya untuk bersikap bebas seperti yang diinginkannya. Hal ini menunjukkkan bahwa baik Anwar dan istrinya, sama-sama telah sadar atas topeng ilusi dan melakukan tindakan murni yang berasal dari dirinya sendiri. Selain itu, Nuraeni juga berstatus suami orang. Tapi, karena kemuakannya terhadap sikap suaminya membuatnya bertindak radikal

untuk melawan jeratan moralitas dalam sistem patriarkat. Nuraeni bahkan tidak menyangka keberanian seketika muncul dari dalam dirinya sehingga ia tidak mem-perhitungkan lagi konsekuensi dari tinda-kannya. Hasrat riil yang ditahan sejak lama yang akhirnya meledak.

Subjektivitas Eka Kurniawan dalam Skema Fantasi Ideologis

Eka Kurniawan bertindak sebagai narator yang memasuki dan menjelajahi pikiran setiap tokoh dalam novel. Namun, pembaca juga dibiarkan untuk memahami sendiri alur cerita sehingga narator juga bersikap terbatas dalam berkomentar. Sim-bol harimau inilah yang digunakan penulis untuk mengkritik sistem atau ideologi patriarki serta merongrong nilai-nilai kemanusiaan, terutama penghargaan terhadap perempuan. Harimau sebagai penanda keberanian dan kekuatan yang menuntun subjek untuk kembali kepada kesejatian dirinya. Diri subjek yang utuh dan tak terdefenisi. Beberapa kutipan berikut menunjukkan bagaimana sistem patriarki telah memposisikan anak dan perempuan sebagai objek yang tersubordinasi.

[…] sebelum Komar bin Syueb nyeretnya ke pojok rumah dan me-marahinya di sana, mengatainya sebagai anak badung tak tahu adat, dan Margio hanya diam, dan Komar Bin Syueb menyuruhnya buka mulut, dan ketika Margio hendak buka mulut itu dikira Komar bin Syueb sebagai pembantahan, maka melayanglah tamparan pedas ke wajah Margio. Romannya jadi merah, matanya berkaca-kaca tapi Margio tak pernah menigizinkan dirinya menangis, maka ia hanya diam saja, dan sebab Margio terus membisu, Komar bin Syueb mengambil rotan penggebuk kasur, dan membantingkan itu ke betis anak lelakinya, bikin Margio oleng dan bersandar ke dinding mengangkat sebelah kakinya. Bagaimanapun Margio ikut serta pindah (Kurniawan, 2004: 82). Masa-masa bercinta selalu merupakan saat yang sulit bagi mereka, sebab

(10)

92

Nuraeni selalu menampilkan keengganan tertentu, dan Komar hampir selalu memaksanya jika nafsu telah naik ke tenggorokan, dan kerap kali itu hapir serupa pemerkosaan bengis dimana Nuraeni akan ditarik dan dilemparkan ke atas kasur, dan disetubuhi bahkan tanpa ditanggalkan pakaiannya, lain waktu disuruhnya mengangkang di atas meja, kali lain disuruhnya nungging di kamar mandi, adakalanya untuk mengulangi keengganan Nuraeni yang makin menjadi-jadi, Komar mesti memukul-nya, menampar pipinya bukanlah hal yang jarang, malahan sering pula menempeleng betis indahnya dengan kaki ganasnya, membuatnya roboh dan tak berdaya, dan saat tak ada tenaga itulah Koar bisa merampok selangkangannya (Kurniawan, 2004: 112).

Sepanjang hidupnya, ia telah sering melihat Komar memukul Nuraeni di depan matanya sendiri, menghajarnya hingga babak belur. Margio terlampau kecil untuk melerai, dan ia sendiri sering dapat bagiannya pula. Ia hanya berdiri menyandar ke pintu, dengan Mameh disampingnya menggigit ujung baju, sementara Nuraeni meringkuk di pojok rumah dengan Komar berdiri di depannya, tangan menggenggam rotan penggebuk kasur. Komar selalu punya alasan apa pun untuk mengayunkannya (Kurniawan, 2004: 115).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah budaya yang menjunjung tinggi sistem patriarki, anak dan perempuan kerapkali menjadi korban kekerasan. Margio mengalami penyiksaan baik fisik dan mental oleh ayahnya. Margio tidak hanya merasa sakit atas penderitaannya sendiri tapi juga merasa senasib dengan ibunya. Komar Bin Syueb adalah lelaki berpenghasilan rendah, berprofesi sebagai tukang cukur. Kehidupan pernikahannya tidak membawa kebahagiaan kepada Nuraeni, kekerasan rumah tangga kerap diterima dari suaminya. Margio menyaksikan sendiri betapa ayahnya telah bertindak di luar batas kemanusiaan kepada ibunya. Pengalaman Nuraeni menjadi isu dihadapi perempuan dulu dan di era saat ini. Perempuan yang terbatas dalam ruang

domestik dan menerima kekerasan dalam rumah tangga. Inilah yang membuat Margio mempertanyakan kembali budaya dan sistem masyarakat dimana dia hidup. Sikap pasif berubah menjadi sebuah kemurkaan luar biasa yang akhirnya membawanya pada sebuah tindakan radikal. Pandangan Kurniawan terhadap sistem patriarkat juga semakin dipertegas melalui kutipan berikut.

Ia mengawininya saat Nuraeni enam belas tahun, dirinya sediri mendekati tiga puluh. Sebagaimana banyak gadis dikampung mereka, nasib perkawinan Nuraeni telah ditetukan sejak empat tahun sebelumnya saat dadanya sendiri belum tumbuh dan belukar kemaluannya belum menyemak, kala Syueb datang dengan sebaskom beras dan mie dan selendang biru tua melamarnya untuk Komar (Kurniawan, 2004: 96).

Tapi perempuan itu telah menjadi milikku, pikirnya, sejak perkawinan tersebut, maka ia seharusnya ada untuk dirinya. Maka jika ia menginginkannya dan perempuan itu tak ada untuk dirinya, izinkanlah ia memiliki amarah, dan kemarahan itu tak tertangguhkan, menimpa perempuan tersebut dalam kepingan pukulan (Kurniawan, 2004:146).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sejak perempuan terlahir ke dunia dari tatanan riil menuju imajiner dan simbolik, dia tidak menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Masyarakat patriarkat telah mengatur jalan kehidupannya melalui mekanisme perjodohan. Di usianya yang masih belia, Nuraeni belum mneyadari topeng ideologis yang mencoba untuk merenggut kebebasan mutlak dirinya sebagai subjek, sehingga ia masih berpikir bahwa pernikahan yang diatur untuknya adalah jalan yang terbaik. Selain itu, kutipan kedua menjelaskan pandangan Komar yang menganggap Nuraeni seolah properti atau barang yang telah dibelinya sehingga ia merasa memiliki hak penuh terhadap jiwa dan tubuh Nuraeni, istrinya. Pandangan Komar ini tentu dilahirkan dari sebuah sistem dan budaya patriarki yang telah mengakar, dimana perempuan berada dalam kuasa dan

(11)

93 dominasi pria. Inilah yang menumbuhkan

bibit amarah dan dendam Margio. Puncak dari kemurkaannya dijelaskan dalam kutipan berikut.

Di depannya, tanpa membuang tempo sebab dirinya sadar waktu bisa melenyapkan seluruh nyali, ia berkata kepada lelaki itu, “Aku tahu kau meniduri ibuku dan Marian anak kalian,” katanya. Kalimat itu mengapung di antara mereka, Anwar Sadat pasi menatap wajahnya. Margio melanjutkan, “Kawinlah dengan ibuku, ia akan bahagia.”

Tergagap Anwar Sadat menggeleng, dan dengan kata terpatah ia bergumam. “Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak.”

Tatapan itu jelas mencela gagasan konyol Margio. Dan kalimat selanjutnya memberi penjelasan melimpah, “Lagi pula aku tak mencintai ibumu.”

Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa. (Kurniawan, 2004:190).

Jadi, melalui novelnya Lelaki Ha-rimau, Kurniawan ingin menunjukkan bahwa subjek tidak melulu bersikap pasif terhadap keadaan, tindakan radikal dapat terjadi ketika subjek tak mampu lagi mem-bendung rasa muak dan bosannya tehadap yang simbolik. Penulis memperlihatkan sisi harimau Margio dan hubungan terlarang yang dilakukan Nuraeni untuk melawan norma sosial. Tapi, paradoks muncul karena baik Margio dan Nuraeni masuk dalam tatanan simbolik yang baru. Margio mengakui kesalahannya di depan polisi dan tuduk pada hukum. Nuraeni memang lepas dari kuasa suaminya, namun dengan melakukan hubungan dengan Anwar, dirinya tidak sepenuhnya bebas. Nuraeni berupaya keluar dari jerat simbolik, dari wilayah domestik untuk meraih kemerdekaannya dengan bekerja di rumah Anwar Sadat bahkan menjalin hubungan terlarang (perselingkuhan), sebuah tindakan amoral bagi pasangan yang telah menikah. Namun, sikap Anwar tidak jauh berbeda dengan Komar, meskipun tidak melakukan kekerasan fisik, Anwar hanya menganggap

Nuraeni sebagai pemuas birahinya dan tidak mencintainya. Seperti yang ditunjukkan melalui kutipan di atas yang menjadi titik dimana Margio akhirnya melepaskan harimau dari dalam dirinya.

Paradoks juga ditemukan antara subjek dalam karya sastra dan subjek penulis. Meskipun Eka Kurniawan mengkritik sistem patriarki melalui banalitas dan tindakan radikal tokoh-tokoh dalam karya, realitasnya Eka Kurniawan tidak mengalami kondisi yang serupa seperti yang dialami oleh Margio dan Nuraeni sehingga kemurnian dan keotentikan Kurniawan dalam mengkritisi sebuah ideologi menjadi diragukan. Kurniawan tenggelam dalam kenikmatan mengkritik melalui karyanya namun dalam kehidupan nyata, dirinya tidak melakukan aksi nyata untuk melawan sistem dan keluar dari tatanan sosial. Penciptaan karya menjadi tindakan menghadirkan realitas melalui yang simbolik sehingga apa yang dicita-citakan oleh penulis tak akan terwujud dan hanya sebatas fantasi.

Jadi, subjek-subjek radikal dalam karyanya tidak hadir dalam diri Kurniawan sehingga ada kontradiksi antara kritik pengarang melalui karyanya dan motif pribadi pengarang guna mencapai legiti-masi.Legitimasi dalam ranah sastra menjadi sasaran para penulis tak terkecuali Eka Kurniawan. Lelaki Harimau yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris masuk dalam Man Booker Prize yang dapat disebut penghargaan prestisius terhadap karya sastra yang posisinya satu tingkat di bawah penghargaan Nobel sastra. Dalam penghargaan bergengsi ini, penulis dan penerjemah akan berbagi hadiah sebesar US $ 71.000, sementara semua finalis menerima sekitar US $ 1.400. Dengan menjadi pemenang, tentu saja semakin mengukuhkan legitimasi penulis di dunia kesusastraan

nasional dan internasional. Penulis

Indonesia memang telah lama berjuang untuk mendapatkan pengakuan baik di negeri sendiri maupun di level internasional. Sehingga mengalihbahasakan karya ke dalam bahasa asing menjadi strategi untuk menarik pembaca luar. Terlebih sejak

(12)

94

pemerintahan Suharto digulingkan, Indonesia telah menjadi bangsa yang demokratis dan terbuka sehingga memberi pengaruh besar terhadap evolusi sastra Indonesia. Dalam suatu kesempatan, Kurniawan menyampaikan “I feel Indonesia is more open,” Kurniawan explains. “We can speak practically about many things, including politics, religion and other taboos like sex (Rondonuwu, 2016).

Selain itu, Kurniawan menghabiskan masa mudanya membaca fiksi picisan yang dipenuhi seks dan kekerasan, dan karya-karyanya banyak terinspirasi dari itu.

Meskipun melalui sebuah pernyataan

Kurniawan menyampaikan bahwa “There is

a parallelism between me and Margio…In Indonesia we keep our anger, we repress our anger, but in the end…the tiger comes out, and we don’t know how to handle this tiger.”(Wilson, 2016), realitasnya Kurniawan hanya terbenam dalam aktivitas mengkritik melalui karyanya. Karena, sisi liar dan banal dari dirinya tidak dapat dia salurkan dalam kehidupan nyata yang penuh ilusi, ia menjadikan sastra sebagai sarana meluapkan kemuakannya atas sistem norma dan moralitas.

Kurniawan tidak besar dalam ling-kungan patriarki dimana dia turut mengalami secara personal dan akhirnya turut memperjuangkan nasib kaum perempuan dan anak-anak yang menjadi korban sehingga tindakan Kurniawan hanyalah sebuah sinisme. Ia menyadari bahwa sistem patriarki masih berlangsung di tengah masyarakat modern, tapi kritiknya yang hadir melalui karyanya justru terlihat semakin melanggengkan pandangan patriarkat, ketika tokoh Margio dan Nuraeni yang hanya berpindah dari satu tatanan simbolik menuju sebuah sistem simbolik yang baru sehingga mengindikasikan bahwa kelompok marginal ini akan selamanya tersubordinasi dan terpinggirkan dalam dunia simbolik.

PENUTUP

Novel Lelaki Harimau menunjukkan sisi lain dari manusia sebagai subjek.

Kurniawan menghadirkan tokoh-tokoh yang menyadari dirinya berada dalam ilusi simbolik. Dalam momen kekosongan, subjek-subjek ini berupaya untuk keluar dari jeratan dan kungkungan nilai-nilai norma dan moralitas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Zizek bahwa selalu ada momen kosong yang dialami subjek yang membawanya kepada sebuah tindakan radikal. Kurniawan mengkritik sistem patriarkat melalui tokoh Margio dan Nuraeni. Margio melakukan pembunuhan keji dan sadis kepada tokoh Anwar sebagai wujud kemuakannya atas

sistem yang menjeratnya. Sementara

Nuraeni bertindak berani dengan melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan Anwar. Sebuah ledakan dari dalam dirinya yang telah lama dipendam.

Meskipun kedua tokoh seolah meraih kebebasan melalui tindakan dan upaya mereka untuk keluar dari tatanan simbolik, pada akhirnya mereka tetap terperangkap dalam dunia simbolik yang baru. Selain itu, ditemukan kontradiksi dalam perjumpaan tokoh-tokoh dalam karya sebagai subjek dan

subjek penulis. Pada kenyataannya,

Kurniawan hanya bersikap sinis yakni meskipun ia menyadari ilusi di era modern saat ini dan ia tidak menampik bahwa pandangan patriarkat masih ada dan mempengaruhi posisi perempuan, ia tidak melakukan hal yang bisa dipandang cukup radikal untuk membela kaum yang ter-pinggirkan ini. Meskipun Eka Kurniawan menghadirkan kritik terhadap sistem patriarki melalui banalitas dan tindakan radikal tokoh-tokoh dalam karya, kenyataannya Eka Kurniawan tidak mengalami kondisi itu dan tidak memiliki elemen historis seperti yang dialami oleh Margio dan Nuraeni sehingga kemurnian dan keotentikan Kurniawan dalam mengkritisi sebuah ideologi menjadi dira-gukan. Oleh karena itu, penelitian ini melihat adanya fantasi ideologis pengarang yang mengkritik melalui karyanya namun dalam kehidupan nyata, dirinya tidak melakukan aksi nyata untuk melawan sistem dan keluar dari tatanan sosial tertentu. Penciptaan karya menjadi tindakan simbolik

(13)

95 sehingga tindakan penulis hanya sebatas

fantasi.

Bagaimanapun juga, penelitian ini tentunya belum komprehensif karena hanya meneliti novel dalam paradigma humanis. Selain itu, penelitian ini fokus pada subjek individual sehingga peneliti yang tertarik untuk mengkaji novel ini dapat menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk mengeksplorasi lebih dalam subjek sosial dan struktur sosial novel.

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, R. (2012). Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dengan Novel

Perburuan: Pendekatan Psikoanalisis-Historis Slavoj Zizek. Universitas Gadjah Mada.

Ali, M. (2010). Psikologi Film: Membaca Film lewat Psikoanalisis Lacan-Zizek. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta. Amri, S. H. (2018). Subjek dan Fantasi

Ideologis dalam The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne. Universitas Gadjah Mada.

Kurniawan, E. (2004). Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia.

Kurniawan, E. (2017). Eka Kurniawan. Retrieved from

http://ekakurniawan.com/ Noviyanti, P. B., & Dermawan, R. N.

(2018). Konflik Batin Tokoh Utama pada Novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan: Pendekatan Psikologi Sastra. CARAKA, 5(Desember 2018), 174–196. Retrieved from

http://jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/c araka

Robet, R. (2010). Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global menurut Slavoj Zizek. Tangerang: Marjin Kiri. Rondonuwu, O. (2016). High Hopes for

Indonesian Author Vying for Man Booker Glory. Retrieved from

http://www.taipeitimes.com/News/feat /archives/2016/04/14/2003643902 Setiawan, R. (2015). Fantasi Ideologis

dalam Novel The White Tiger Karya Aravind Adiga: Perjumpaan Subjek-Subjek Sastra melalui Perspektif Slavoj Zizek. Universitas Gadjah Mada. Setiawan, R. (2016). Membaca Kritik

Slavoj Zizek. Surabaya: Negasi Kritika.

Wilson, J. (2016). Burning Bright. Retrieved from https://www.economist.com/news/boo ks-and-arts/21688833-brash-worldly- and-wickedly-funny-eka-kurniawan- may-be-south-east-asias-most-ambitious

Žižek, S. (1989). The Sublime Object of Ideology. In Verso.

https://doi.org/10.1093/med/97801995 83959.001.0001

Žižek, S. (1992). Everything You Always Wanted To Know about Lacan (But Were Afraid to Ask Hitchcock). New York: Verso.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengkaji perilaku seksualitas lima tokoh perempuan Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan.. Tujuan

SKRIPSI PSIKOLOGIS TOKOH MARGIO MEGA SURYA GEMILANG ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA. SKRIPSI PSIKOLOGIS TOKOH MARGIO MEGA

Pada analisis data yang telah dilakukan pada penggalan kalimat dalam narasi maupun dialog antartokoh beserta konteksnya dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan ditemukan

Dekonstruksi femininitas dalam novel-novel karya Eka Kurniawan terdapat pada tujuh wujud femininitas, yaitu: pekerjaan feminin, citra femi- nin, kebiasaan feminin, simbol feminin,

Hasil penelitian mengenai libido dalam kumpulan cerpen Gelak Sedih karya Eka Kurniawan meliputi (1) libido yang mendominasi alam bawah sadar tokoh utama, (2)

Semua penjelasan tentang ragam gaya bahasa di atas tidak semuanya terdapat pada novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Maka penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dilakukan pembahasan terhadap analisis semiotik dalam novel O karya Eka Kurniawan dapat ditemukan pembahasannya

“Ayahmu Anwar Sadat meniduri ibuku Nuraeni, dan lahirlah si gadis kecil yang mati di hari ketujuh bernama Marian, sebab ayahku mengetahuinya dan memukuli ibuku hingga Marian lahir