PERILAKU SEKSUALITAS LIMA TOKOH PEREMPUAN
DALAM
CANTIK ITU LUKA
KARYA EKA KURNIAWAN
( SEBUAH PENDEKATAN PSIKOANALISIS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Indra Yeni Sugiarto NIM : 034114041
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERILAKU SEKSUALITAS LIMA TOKOH PEREMPUAN
DALAM
CANTIK ITU LUKA
KARYA EKA KURNIAWAN
( SEBUAH PENDEKATAN PSIKOANALISIS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Indra Yeni Sugiarto NIM : 034114041
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tuhan
telah
menciptakan
sejuta titik dalam diriku
Namun
aku
hanya
mampu
menggunakan satu di antaranya.
Bantu
aku
menerjemahkan
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan laporan penelitian yang ditulis sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia. Penelitian ini mengkaji
perilaku seksualitas lima tokoh perempuan dalam Cantik itu Luka karya Eka
Kurniawan dengan pendekatan psikologi sastra. Ada pun peneliti
menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud karena adanya alam bawah
sadar yang mempengaruhi perilaku manusia, dalam hal ini perilaku seksualitas
lima tokoh perempuan dalam Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan.
Pemilihan teori ini sebagai landasan teori karena penelitian ini diharapkan
mampu menggali perilaku seksualitas sacara menyeluruh, tidak hanya melihat
seksualitas yang berkaitan dengan naluri biologi manusia, tetapi sebagai
penyaluran sejumlah libido dalam diri manusia.
Dalam penulisan laporan ini, banyak pihak yang telah membantu
memberikan dukungan, baik secara langsung maupun tak langsung. Ada pun
orang-orang tanpa tanda jasa itu adalah sebagai berikut:
1. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I : Terima
kasih telah mengenalkan aku pada keindahan psikoanalisis. Karena
Ibu, aku benar-benar menikmati skripsiku, terimakasih atas diskusinya.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II : Terima
kasih atas saran dan diskusi yang lebih menyempurnakan skripsi ini.
3. Ibuku tercinta dan bapakku tersayang. Gempa tak merobohkan niatku
4. Adik-adikku: Si kecil Tian yang menghiburku saat aku capek
menyelesaikan skripsi, Bebek dan Neneng yang selalu membantuku.
5. Kakakku Safrudin yang menjadi motivasi untukku berkembang.
6. Wahyu Anggono Jati : Terima kasih atas kesabaranmu untuk
menghadapiku serta selalu mendengarkan ceritaku.
7. Mas Anto yang menjadi teman diskusi tentang tokoh Alamanda yang
awalnya sulit sekali untuk ku pahami. Thank you…
8. Cacing yang menjadi cambukku untuk menyelesaikan skripsi dengan
kilat, dan Nenek : “Cepat susul Kami!”
9. Teman-teman Sastra Indonesia 2003 : Kita lulus, guys!
10.Dosen-dosen Sasindo USD: Bp. Hery Antono yang sudah mendorong
skripsi sejak semester 4, Pak Yapi sebagai dosen tamu pengujiku:
terimakasih atas saran serta masukan yang sangat membangun,Bu
Candra, Pak Ari, Pak Praptomo, pak Santosa, dan seluruh staf
sekertariat sastra dan perpustakaan USD.
11.PH JG-MMA: Manager dan Asistennya, Pak Santoso dan Pak
Sugi,teman-teman PH JG-MMa yang tak mungkin kusebut satu per
satu. Kenyot, Endang, Estri, Endah, Pak Arif, Mbak Umi, Mbak Mulia,
Mbak Murni, dkk.
12.Seluruh pihak yang telah mendukung penulisan skripsi ini yang
mungkin aku lewatkan: Maafkan aku, namun tanpa secuil jasa kalian,
Laporan ini telah dipersiapkan dan disusun dengan sebaik-baiknya dengan
urutan metode penelitian yang telah ditentukan. Namun, tak sesuatu pun
sempurna di dunia ini kecuali Allah SWT. Oleh sebab itu termasuk pula di
dalamnya skripsi ini yang mungkin jauh dari sempurna. Maka peneliti
bersikap terbuka terhadap segala saran dan kritik yang bersifat membangun
guna perbaikan laporan ini karena kesalahan yang ada pada skripsi ini
semata-mata merupakan tanggung jawab pribadi penulis.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang Saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 20 September 2007
ABSTRAK
Sugiarto, Indra Yeni. 2007. Perilaku Seksualitas Lima Tokoh Perempuan Dalam Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi Strata Satu (S1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji perilaku seksualitas lima tokoh perempuan Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Tujuan penelitian ini yaitu pertama, melakukan analisis dan mendeskripsikan dinamika dan struktur kepribadian lima tokoh perempuan dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Kedua, menemukan dan mendeskripsikan perilaku seksualitas lima tokoh perempuan dalam Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud sebagai landasan teori serta ditambahkan teori tentang seksualitas. Pendekatan dari sudut psikologi memberikan gambaran adanya alam ketaksadaran yang sangat mempengaruhi perilaku seksualitas lima tokoh perempuan ini serta memberikan gambaran tentang perilaku seksualitas mereka. Sementara pendekatan dari sudut sastra menggunakan teks sastra yang berupa novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan sebagai bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan hukum-hukum psikologi untuk menggali teks laten novel Cantik itu Luka dari teks manifes yang ada dalam novel ini.
ABSTRACT
Sugiarto, Indra Yeni. 2007. Sexuality Behaviour of Five Women Figure in
Cantik itu Luka Eka Kurniawan’s Work a Literature Psychology
Approach. Thesis S-1 Degree. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Indonesian Literature, Sanata Dharma University.
This research examine sexuality behavior of five women figure Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, and Cantik in a novel titled Cantik itu Luka written by Eka Kurniawan. The aim of this research firstly, doing analysis and describe dynamics and stucture of five women figure personality in a novel titled Cantik itu Luka Eka Kurniawan’s work. Secondly, finding and describing sexuality of five women figure in this novel.
The approach used in this research Sigmund Freud’s psychoanaysis theory as main theory and theory about sexuality. As an additional theory, psychology approach gives a description that there is unconscious world, which strongly influence sexuality behaviour of these five women figure, and gives description about their sexuality behaviour. Meanwhile, literature approach used literature text in the form of a novel titled Cantik itu Luka Eka Kurniawan’s work as a research material. This research used psychology law to delve latent text of novel Cantik itu Luka from manifest text that lay in this novel.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
ABSTRAK ... ix
I.6.1 Psikologi Sastra... 10
I.6.2 Psikoanalisis... 12
I.6.2.1 Dinamika Kepribadian ... 13
I.6.2.2 Struktur Kepribadian... 15
I.6.2 Seksualitas... 16
I.7 Metodologi Penelitian... 18
I.7.1 Pendekatan Psikologi Sastra ... 18
I.7.2 Metode Penelitian ... 19
I.7.3 Sumber Data... 20
BAB II DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN LIMA TOKOH PEREMPUAN DALAM CANTIK ITU LUKA
KARYA EKA KURNIAWAN... 21
II.1 Dinamika dan Struktur Kepribadian Dewi Ayu ... 22
II.2 Dinamika dan Struktur Kepribadian Alamanda ... 28
II.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian Adinda... 32
II.4 Dinamika dan Struktur Kepribadian Maya Dewi... 35
II.5 Dinamika dan Struktur Kepribadian Cantik ... 38
BAB III PERILAKU SEKSUALITAS LIMA TOKOH PEREMPUAN DALAM CANTIK ITU LUKA KARYA EKA KURNIAWAN ... 44
III.1 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Oedipus Kompleks ... 45
III.1.1 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Figur Ayah ... 46
III.1.2 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Figur Ibu ... 51
III.2 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Narsisme... 53
III.3 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Kastrasi... 55
III.4 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Mimpi... 56
III.5 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Fantasme ... 56
III.6 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Mitologi... 57
BAB IV PENUTUP ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 63
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan sebuah ekspresi kejiwaan seorang pengarang
yang memiliki struktur kejiwaan dan pemikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini
muncul melalui tokoh-tokoh dalam karyanya, dalam hal ini prosa beserta
strukturnya, terutama perwatakan tokoh-tokohnya. Hal inilah yang menjadi
asumsi dasar penelitian psikologi sastra. Psikologi sastra melihat karya sastra
sebagai ekspresi kejiwaan dan pemikiran seorang pengarang. Ini menjadi sebuah
pemahaman untuk melihat karya sastra melalui kondisi kejiwaan tokoh-tokohnya.
Adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu
kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau
subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar
(conscious) (Endraswara 2004: 96). Ditambahkan lagi oleh Schellenberg
(1997:18), semua gejala yang bersifat mental bersifat tak sadar tertutup oleh alam
kesadaran.
Melalui psikologis, sastra mampu menggali sistem berpikir, logika,
organ-organ dan cita-cita hidup yang ekspresif dan tidak sekadar sebuah
rasionalisasi hidup. Adanya perasaan takut, phobi, was-was, histeris, aman, dan
sebagainya menjadi objek kajian psikologi sastra yang amat pelik (Endraswara
bahwa tiga landasan psikoanalisis adalah histeri, manic (cinta yang berlebihan),
dan schizophrenic (menderita) (Fananie 2001: 181).
Berbagai hal di atas merupakan objek garap psikoanalisis yang akan
terungkap dalam teks sastra. Dari sini peneliti dituntut untuk mengungkap apakah
teks sastra melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur di atas atau tidak.
Dari situ pula akan muncul hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan
dalam sebuah teks sastra (Endraswara 2004: 98).
Pendapat Freud tentang psikoanalisis yang dikutip oleh Hartono, yaitu
adanya kehidupan tak sadar manusia. Ketaksadaran ini adalah segi pengalaman
yang tak pernah disadari (karena terjadi pada tahap perkembangan ketika
seseorang belum berbahasa atau berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar
pusat perhatian kita) atau ditekan secara tidak sadar, tidak ingin disadari karena
dianggap mengganggu. Bagi Freud ketidaksadaran merupakan salah satu inti
pokok atau tiang pasak teorinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru
ditentukan alam tidak sadarnya. Ia membayangkan kesadaran manusia sebagai
gunung es; hanya sebagian kecil saja yaitu puncak teratasnya yang tampak
terapung di laut. Sebagian besar badan gunung es tersebut terendam di bawah
permukaan laut. Bagian yang terendam ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: bagian
pra-sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke kesadaran dan bagian tak sadar
yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tak sengaja, fantasi, khayalan,
mimpi, mitos, dongeng, dan sebagainya. Cara membagi psike secara ini disebut
Dalam Cantik Itu Luka ( selanjutnya disingkat CIL) kelima tokoh
wanitanya Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik memiliki
perilaku tentang seksualitas yang beragam karena memiliki beragam dinamika
kepribadian yang dipengaruhi oleh pola pemikiran, lingkup pergaulan, dan latar
belakang kehidupan mereka. Dinamika kepribadian yang berbeda membentuk
struktur kepribadian yang berbeda pula.
Kelima tokoh perempuan memiliki struktur kepribadian yang unik
karena dibentuk oleh struktur masyarakat dan lingkungan yang unik pula. Latar
belakang keluarga pun turut berperan dalam pembentukan kepribadian ini.
Hal ini terlihat pada tokoh Cantik. Ia mengabaikan perihal
kehamilannya. Ia terus melakukan hubungan badan dengan lelaki yang asing
baginya. Tindakan ini ia lakukan karena Cantik mengalami gejala narsisme pada
dirinya. Ia merefleksikan bayi yang ada dalam kandungannya sebagai dirinya
yang ingin dibunuh oleh ibunya sendiri sejak dalam kandungan. Sikap ini
membuatnya mengabaikan kehamilannya. Dari sikapnya ini terbentuklah struktur
kepribadian Cantik. Ia mengabaikan superegonya yang melarang wanita hamil di
luar nikah dan mengikuti idnya yang merupakan dorongan paling primitif dalam
dirinya.
Dinamika dan struktur kepribadian inilah yang sangat mencerminkan
perilaku mereka tentang seksualitas. Mereka terlahir pada masa yang berbeda
namun terikat oleh hubungan darah dan tinggal pada kondisi sosial yang hampir
sama. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh tentang
seksualitas yang dilihat dengan pendekatan psikologi sastra, kemudian penelitian
dipersempit menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Perilaku tokoh Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik
tentang seksualitas yang dilihat dari segi psikoanalisis ini sangat menarik.
Pandangan kelima tokoh perempuan ini terbentuk oleh dinamika dan struktur
kepribadian mereka yang sangat unik karena jalan hidupnya yang beragam. Untuk
mendapatkan pandangan ini, peneliti melihat teks yang ada dalam Novel CIL
sebagai teks manifes, sedangkan teks yang tersembunyi di balik teks manifes yang
ada sebagai teks laten.
Menurut Djokosujatno ( 2003: 112) , untuk mengkaji karya sastra secara
psikologis, hal yang dianalisis adalah teks tokoh sebagai teks manifes untuk
menemukan teks yang tersembunyi di baliknya, menuju hasrat atau dorongan tak
sadarnya yang paling dalam atau paling primitif. Sementara Semiun (2006:131)
menambahkan, beberapa hasrat adalah jelas dan diungkapkan dengan isi manifes
dan isi laten merupakan dorongan-dorongan yang disamarkan. Isi manifes adalah
arti permukaan atau gambaran sadar yang diberikan oleh tokoh. Ditambahkan oleh
Freud seperti yang dikutip oleh Semiun, isi manifes adalah kedok, sedangkan
dorongan-dorongan yang disamarkan seperti penjahat berkedok sangat tepat kalau
diistilahkan sebagai isi laten.
Kemudian isi laten sebuah teks dapat berbentuk sikap volatile,
narsisme, kastrasi, refleksi diri terhadap dinamika kepribadian, mimpi, id,ego,dan
superego pada diri tokoh. Ketika dilakukan pembacaan teks manifes terhadap
setelah dilakukan pembacaan terhadap teks laten didapati banyak hal mengenai
kondisi kejiwaan mereka.
Berdasarkan pembacaan terhadap teks manifes, ditemukan banyak sikap
aneh yang dilakukan oleh lima tokoh perempuan ini. dewi Ayu menikahi lelaki
tua Ma Gedik pada usianya yang masih belia dengan paksa, kemudian ia
memutuskan tetap tinggal di Indonesia ketika Jepang datang ketika seluruh
keluarganya memutuskan untuk pindah ke Eropa. Ia melakukan ini agar ketika
kakeknya pulang mengetahui rumah yang dituju. Ia bahkan menikahkan putrinya
Maya Dewi pada usia 12 tahun dengan kekasihnya sendiri. Pada tokoh Alamanda,
sikap aneh muncul ketika ia meninggalkan kekasih yang dicintainya dan menikahi
Shodancho yang telah memerkosanya padahal kekasihnya rela menerima
keadaannya apa adanya. Tokoh Adinda menerima dengan baik perselingkuhan
suami dengan kakak perempuannya tanpa menunjukkan kemarahan sedikit pun.
Maya Dewi bersikap aneh ketika ia kehilangan dua orang yang sangat berarti
dalam hidupnya, suami dan putrinya. Ia bersikap seolah-olah mereka masih hidup.
Ia bahkan menyiapkan makanan untuk keduanya. Tokoh Cantik memberikan
seluruh tubuhnya pada lelaki asing yang hadir dalam hidupnya. Kehamilannya
pun tak membuatnya ingin dinikahi oleh lelaki yang dicintainya bahkan ia terus
melakukan hubungan seksual dengan lelaki itu.
Sikap-sikap aneh yang ditunjukkan oleh lima tokoh perempuan di atas
merupakan gejala utama yang dapat menjadi akses yang berharga menuju
kandungan laten novel CIL yang akan dikupas dengan teori psikoanalisis
penelitian ini bukan hanya sekedar revisi sekunder novel ini, tapi mengungkap
perilaku seksualitas yang menjadi milik subteks yang mampu menembus revisi
sekunder menuju sebuah produk tekstual CIL.
Sikap narcisme muncul pada tokoh Dewi Ayu dan Alamanda. Menurut
Freud, ada kaitan yang erat antara narcisme, pemujaan pada diri, dengan citra ego
seseorang. Pelukisan yang selalu baik tentang dirinya merupakan usaha untuk
mempertahankan citra Egonya (Kramadibrata 2003: 76 ).
Sementara itu, pada tokoh Cantik, keadaan fisiknya sangat
mempengaruhi perilaku seksualitasnya karena ini sangat berpengaruh pada
dinamika dan struktur kepribadiannya.
Dengan demikian, dari pembacaan terhadap CIL sebagai teks manifes
akan dilanjutkan dengan pembacaan CIL sebagai teks laten. Dalam pembacaan
terhadap teks laten akan tergambarlah dinamika dan struktur kepribadian yang
terbentuk oleh dunia ketaksadaran. Oleh karena itu, skripsi ini menggunakan teori
psikoanalisis Sigmund Freud. Diasumsikan, jika kepribadian tokoh dalam CIL ini
digali lebih dalam lagi akan terungkaplah perilaku seksualitas para tokoh
perempuan dalam CIL.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dinamika kepribadian dan struktur kepribadian tokoh Dewi
Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik dalam CIL karya Eka
Kurniawan?
2. Bagaimana perilaku seksualitas tokoh Dewi Ayu, Alamanda, Adinda,
I.3 Tujuan Penelitian
1. Melakukan analisis dan mendeskripsikan dinamika kepribadian dan
struktur kepribadian tokoh Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi,
dan Cantik dalam CIL karya Eka Kurniawan.
2. Menemukan dan mendeskripsikan perilaku seksualitas tokoh Dewi Ayu,
Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik dalam CIL karya Eka
Kurniawan.
I.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk menambah perbendaharaan kritik sastra
yang meninjau karya sastra secara psikologi sastra yang menggunakan teori
psikoanalisis Sigmund Freud. Kemudian penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan bagi peneliti lainnya.
I.5 Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan peneliti, belum ada peneliti lain yang meneliti CIL
karya Eka Kurniawan dengan melihat dinamika dan struktur kepribadian tokoh
Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik untuk menggali perilaku
kelima tokoh ini tentang seksualitas.
Novel ini merupakan sebuah karya yang menarik perhatian banyak
orang karena imajinasi Eka Kurniawan yang sangat luar biasa sehingga
memunculkan pandangan-pandangan dan penelitian seputar tokoh perempuan
dalam Novel CIL. Ada pun beberapa pandangan dan penelitian tersebut adalah
Bandel (2006:60-62 ) memberikan pandangannya mengenai penokohan,
penggolongan novel, dan gaya penceritaan Novel CIL. Bandel menyebutkan
penokohan dalam Novel CIL membuat karya ini tidak realis. Semua tokoh penting
tampak aneh, perilakunya sering tidak meyakinkan secara psikologis, logika
berpikir yang mereka gunakan menyerupai logika berpikir orang gila.
Orang-orang aneh semacam itu menurut Bandel menjadi tokoh penting dalam sejarah
Halimunda.
Menurut pendapat Bandel, Novel CIL mengisahkan sejarah Indonesia,
tetapi sangat tidak jelas sebagai sebuah novel historis yang berdasarkan riset
tentang sejarah tempat tertentu. Dia juga menyebutkan novel ini menggunakan
gaya penceritaan realisme magis. Maksudnya, CIL merupakan produk fantasi
karena ini merupakan karya fiksi dalam masyarakat pascakolonial.
Mahayana ( 2003: 5 ) dalam esainya yang bertajuk “Air bah dalam
Novel Cantik itu Luka” mengatakan bahwa novel ini adalah jenis novel yang
ngawur. Menurutnya, Eka melakukan sesuatu yang tabu, yaitu tentang sejarah
yang hanya pantas menjadi tema sebuah karya realis, dan pengarang harus
melakukan riset tentang fakta sejarah yang ada. Menurutnya, dalam novel ini
ditemukan kejadian yang tidak masuk akal, penyimpangan fakta sejarah,
tokoh-tokoh aneh dan kelakuan yang tidak logis menurut ilmu psikologi.
Rahmanto (2004:42-43) menilai Novel CIL sebagai perlawanan
perempuan terhadap kesewenang-wenangan lelaki yang berkuasa. Menurutnya hal
ini tampak ketika Dewi Ayu melawan perlakuan buruk serdadu Jepang dengan
perlawanan sejenis terhadap Shodanco bahkan menikmati kelakuan Maman
Gendeng. Rahmanto melihat satu lagi perlawanan yang dilakukan tokoh
Alamanda terhadap Shodanco. Namun, menurutnya perlawanan ini terbatas
perlawanan perlakuan buruk di bidang seks, yang bagi Rahmanto kadang agak
naif, ditambah ketika Alamanda mengenakan celana dalam besi sehingga
Shodanco tak bisa menyalurkan hasrat seksnya yang menggebu-gebu.
Berdasarkan data-data di atas dapat ditarik sutu kesimpulan bahwa
belum ada penelitian yang dilakukan secara serius terhadap perilaku lima tokoh
perempuan tentang seksualitas yang mengkajinya dari segi psikoanalisis.
I.6 Landasan Teori
Peneliti mengkaji perilaku seksualitas Dewi Ayu, Alamanda, Adinda,
Maya Dewi, dan Cantik karya Eka Kurniawan menggunakan pendekatan
psikologi sastra. Bertolak dari luasnya cakupan psikologi sastra, peneliti
membatasi penerapannya dengan hukum-hukum psikologi pada karya sastra
(Wellek, Renne dan Austin Warren 1989:90).
1.6.1 Psikologi Sastra
Penelitian ini mengungkap perilaku seksualitas lima tokoh perempuan
melalui dinamika dan struktur kepribadiannya. Zaimar (2004:33) menyebutkan
seniman dan penulis nampaknya meninggalkan prinsip realitas, namun dengan
kreasi realealitas yang berupa hasil karyanya, mereka cenderung memasukkan
dalam kenyataan proyeksi fantasme yang berkaitan dengan dengan karya seni.
Ditambahkan oleh Nurhadi (2004:23), karya seni mempertemukan dua prinsip
Dalam pembacaannya terhadap novel CIL, peneliti berusaha menangkap
teks yang terkandung di dalamnya dan menemukan bagian tak sadar dari
kesadaran lima tokoh perempuan dalam novel ini.
Eagleton (2006:264) menyebut karya sastra serupa dengan mimpi yang
dapat dianalisis, diuraikan, didekomposisi melalui cara-cara yang menunjukkan
sebagian proses produksinya.
Eagleton (2006:262) mengungkap kebanyakan teori sastra yang ada
hanya semacam revisi sekunder atas teks sastra. Teori sastra yang ada hanya
mengisi lubang-lubangnya dan menghaluskan kontradiksinya, mengatur ulang
elemennya yang kacau menjadi sebuah tabel yang koheren. Ia menambahkan ini
sebagai pengejaran yang obsesif akan harmoni, koherensi, struktur mendalam,
atau makna esensial. Eagleton menyebut ini hanya teori sastra yang mengisi
lubang-lubang dalam teks sastra dan menghaluskan kontradiksi di dalamnya,
menjinakkan aspek-aspeknya yang berbeda jauh dan hanya mematikan konflik.
Menurutnya, ini dilakukan agar teks lebih mudah dikonsumsi, yang tidak akan
terusik oleh ketidakteraturan yang tak terjelaskan.
Sejalan dengan pendapat Eagleton, peneliti berusaha membaca
ketidakteraturan yang ada dalam novel CIL dan mencapai produk tekstual
(meminjam istilah Eagleton untuk menyebut analisis teks sastra secara
mendalam). Bertolak dari hal ini pula, penelitian ini difokuskan pada psikologi
dalam atau yang lebih dikenal dengan psikoanalisis.
Eagleton (2006:264) menjabarkan psikoanalisis sebagai hermeneutik
menyingkap prosesnya, yang memproduksi teks. Untuk melakukan ini,
psikoanalisis terfokus pada tempat yang mengandung gejala dalam teks sastra,
seperti ambiguitas, ketidakhadiran, dan penghilangan yang mungkin dapat
memberikan cara akses yang khusus dan berharga ke kandungan laten, atau
dorongan tak sadar. Teori seperti ini dapat menembus lapisan-lapisan revisi
sekunder dan mengungkap sesuatu milik subteks seperti sebuah kehendak tak
sadar, disembunyikan sekaligus diungkapkan oleh karya. Kritik ini dapat memberi
perhatian bukan hanya pada apa yang dikatakan teks, tetapi cara kerjanya.
Penelitian ini dilakukan untuk menggali produk tekstual novel CIL,
terutama berkaitan dengan lima tokoh perempuannya, tidak hanya sebatas mencari
revisi sekunder atas teks CIL, tetapi menggali produk tekstual yang ada dalam
novel CIL. Untuk itu, peneliti menganalisis terlebih dahulu dinamika kepribadian
dan struktur kepribadian lima tokoh ini. Oleh karena itu, teori-teori yang
dipaparkan berkaitan erat dengan hal ini. Demikian pula ditambahkan pengertian
seksualitas yang merupakan dasar pemahaman bagi pembicaraan mengenai
perilaku seksualitas kelima tokoh ini.
I.6.2 Psikoanalisis
Psikoanalisis merupakan salah satu teori pendekatan psikologi yang
memusatkan perhatian pada pentingnya pengalaman masa kanak-kanak awal.
Dalam pandangan ini benih-benih dari gangguan psikologis sudah ditanamkan
pada tahun-tahun awal pertumbuhan (Semiun 2006:11).
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
psikoanalisis Freud sebagai berikut. Pertama, kehidupan mental individu bisa
dipahami dan pemahaman terhadap sifat mental manusia bisa berfungsi untuk
meredakan penderitaan manusia. Kedua, tingkah laku yang diketahui sering
ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar. Ketiga, perkembangan masa kanak-kanak
awal sangat berpengaruh terhadap kepribadian pada masa dewasa. Keempat, teori
psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami
cara-cara yang digunakan individu dalam mengatasi kecemasan. Kelima, pendekatan
psikonalitik memberi cara untuk mengetahui ketidaksadaran melalui asosiasi
bebas, analisis mimpi, resistensi dan transferensi (Semiun, 2006: 44).
I.6.2.1 Dinamika Kepribadian
Bagi Freud, berbagai kebutuhan badaniah manusia menimbulkan
berbagai ketegangan atau kegairahan dan akan terungkap melalui sejumlah
perwakilan mental dalam bentuk dorongan atau keinginan yang dinamakan
naluri/instinct (Hartono, 2003: 5).
Freud berpendapat bahwa pada saat lahir sebagai bayi, manusia telah
memiliki sejumlah energi seksual (libido) tertentu yang kemudian terus
dikembangkan melalui sejumlah tahapan psikoseksual secara naluriah karena
telah “terprogram” secara genetis. Pada tiap perkembangan libido harus
tersalurkan lewat erogen tertentu. Pengalaman masing-masing manusia pada tiap
tahap perkembangan dapat berupa frustasi (kurang mendapatkan kesempatan
penyaluran libido secara wajar) atau pemuasan berlebih yang diberikan oleh orang
tua sehingga anak tidak terdorong untuk menguasai dirinya sendiri, suatu hal akan
(inkompetensi). Baik frustasi atau pemuasan berlebih selalu akan menimbulkan
kateksis berlebih pada daerah erogen bersangkutan dan akan muncul pada
berbagai bentuk perilaku pada masa dewasa (Hartono, 2003: 6-7).
Pengalaman hidup yang didapat anak pada usia sampai 5 tahun sangat
berpengaruh pada kepribadiannya ketika dewasa. Freud berpendapat bahwa
kepribadian dewasa pada umumnya ditentukan oleh pengalaman masa
kanak-kanak yang telah meninggalkan sisanya dalam alam tak sadar (Semiun 2006: 115).
Menurut Freud seperti yang dikutip oleh Semiun (105-108), pada usia 3
atau 4 tahun, anak mengalami suatu tahapan yang ia namakan sebagai tahap
phalik. Tahap ini ditempuh oleh anak perempuan lebih rumit dibanding anak
lelaki. Anak perempuan mengalami kompleks electra , yaitu kompleks oedipus
perempuan . Ini merupakan hasrat untuk melakukan hubungan seksual dengan
ayah disertai perasaan bermusuhan dengan ibu. Untuk memahami ini, harus
diketahui terlebih dahulu bahwa untuk anak perempuan kompleks kastrasi yang
mengambil bentuk iri terhadap penis ( penis envy ) mendahului kompleks oedipus.
Kompleks kastrasi ini berawal dari asumsi anak perempuan bahwa
semua anak lain memiliki alat kelamin yang sama dengan miliknya. Akan tetapi,
ia segera menemukan bahwa anak lelaki tidak hanya memiliki alat kelamin yang
berbeda tetapi ada suatu tambahan. Anak perempuan lalu mulai merasa ditipu dan
ia ingin memiliki penis. Pengalaman iri terhadap penis ini sangat berpengaruh
dalam pembentukan kepribadian anak perempuan. Rasa iri terhadap penis ini
kemungkinan akan berlangsung bertahun-tahun dalam bentuk yang beragam.
atau hasrat untuk memiliki bayi dan pada akhirnya mungkin menemukan
ungkapannya dalam melahirkan seorang bayi, terutama bayi laki-laki.
Sikap volatile merupakan perpindahan lelaki atau perempuan satu ke
lelaki atau perempuan yang lain tanpa menghiraukan kelanjutan hubungannya.
Sikap ini merupakan pantulan narsisme dari sifat pemujaan terhadap dirinya
sendiri (C.F Kramadibrata 2003:77).
Kemudian narsisme merupakan keadaan ketika tubuh atau ego
seseorang secara keseluruhan dimasuki energi libido atau dijadikan objek hasrat
(Eagleton 2006: 223).
Mimpi merupakan jalan menuju keadaan bawah sadar. Mimpi
memungkinkan untuk melihat sekilas cara kerja bawah sadar. Bagi Freud seperti
yang dikutip oleh Eagleton (2006:228-229), esensi mimpi adalah pemenuhan
simbolis dari keinginan tak sadar dan mimpi dijadikan bentuk simbolis karena jika
materi ini diekspresikan secara langsung, kemungkinan hasilnya sangat
mengejutkan dan mengusik.
I.6.1.2 Struktur Kepribadian
Freud membagi kepribadian menjadi 3 bagian yang tumbuh secara
kronologis, yaitu id, ego, dan superego. Id berisikan segala sesuatu yang secara
psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir. Menurut Freud, id adalah bagian
yang sangat primitif dari jiwa. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan
(pleasure principle) (Semiun, 2006: 44).
Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus
pereda kesenjangan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
Ego menjalankan kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan
masalah terbaik. Sementara superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai
dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu hidup (Hartono 2003:
4-5).
I.6.2 Seksualitas
Freud seperti yang dikutip oleh Hartono (2003:5-6) menyebutkan dua
naluri utama manusia, yaitu naluri hidup (eros) dan naluri mati (thanatos). Naluri
hidup meliputi naluri untuk mempertahankan hidup dan naluti untuk berkembang
biak. Energi yang mendasari hidup adalah libido. Libido bukan hanya dorongan
seksual tapi merupakan dasar bagi seluruh dorongan untuk hidup. Istilah seks dan
seksualitas bagi Freud tidak selalu diasosiasikan dengan senggama, tapi setiap
kenikmatan badaniah yang dirasakan. Daerah badaniah yang bila dirangsang
menimbulkan kenikmatan disebut daerah erogen ( errogeneous zone ). Libido
harus disalurkan sesuai dengan tahapan manusia, bila tidak akan menimbulkan
kecemasan yang akan muncul dalam berbagai perilaku. Kecemasan adalah fungsi
ego yang memberi peringatan akan datangnya bahaya dan harus dihadapi dengan
cara melawan atau menghindar.
Eagleton (2006:222) menyebutkan awal terbitnya seksualitas dalam diri
manusia ketika masih bayi dan menetek pada ibunya untuk mendapatkan susu.
Ketika melakukan itu, si bayi menemukan bahwa kegiatan yang penting secara
biologis ini nikmat. Mulut bayi bukan hanya menjadi organ untuk survival
anak beberapa tahun kemudian dengan mencium. Hubungan dengan ibu telah
mengalami dimensi baru yang bersifat libido. Seksualitas telah lahir, sebagai
semacam dorongan yang pertama-tama tidak dapat dipisahkan dari insting
biologis tetapi kini telah memisahkan diri darinya dan memperoleh sebuah
otonomi tertentu.
Seksualitas bagi Freud seperti yang dikutip oleh Eagleton merupakan
penyelewengan sebuah pembelokan dari insting mempertahankan diri yang alami
menuju tujuan lain (Eagleton, 2006: 222).
Freud menyebutkan libido sebagai energi yang mendasari naluri hidup.
Libido tidak hanya merupakan dorongan seksual tapi merupakan dasar bagi
seluruh untuk hidup. Istilah seks dan cinta merupakan perwujudan naluri hidup.
(Hartono, 2003: 5-6).
Untuk lebih memahami perilaku seksualitas kelima tokoh dalam Cantik
Itu Luka peneliti membatasi pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kejiwaan Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik.
Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai kehidupan
ke dalamnya khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan
inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata dalam
diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan
diinvestasikan (Ratna, 2004: 343).
Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik memiliki
perilaku yang sangat berlainan mengenai seksualitas. Perilaku mereka unik karena
Kelima tokoh terikat oleh ikatan darah, namun melalui perkembangan
kepribadian yang belainan menjadikan perbedaan perilaku tentang seksualitas.
Dewi Ayu yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda,
penjajahan Jepang, hingga pascakemerdekaan RI tentulah memiliki perilaku yang
berbeda dengan Cantik yang hidup terisolasi dari masyarakat karena keadaan
fisiknya.
Teori-teori psikoanalis Sigmund Freud akan diterapkan dalam
menganalisis perilaku kelima tokoh mengenai seksualitas karena seperti yang
diyakini oleh Freud sejak lahir manusia telah memiliki libido (dorongan seksual)
yang harus dipenuhi. Lebih lanjut peneliti yakin kehidupan lima tahun terutama
para tokoh ini sangat mempengaruhi pandangan mereka tentang seksualitas.
I.7 Metodologi Penelitian
I.7.1 Pendekatan Psikologi Sastra
Dalam kajian yang menekankan pada karya sastra ini, penelaah sastra
mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologi yang tercermin
dalam perwatakan tokoh-tokoh dalam karya sastra tanpa memperhatikan biografi
pengarangnya penelaah dapat menganalisis psikologi tokoh melalui dialog dan
perilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran kajian aliran psikologi
tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan penelaah sastra dalam kajian ini
merupakan upaya untuk mencari kesejajaran aspek-aspek psikologis dalam
perwatakan tokoh-tokoh suatu karya sastra dengan pandangannya tentang manusia
Rene Wellek dan Austin Warren (1989:91) menyebutkan istilah
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu studi psikologi
sastra sebagai tipe atau pribadi pengarang, studi psikologi sastra sebagai proses
kreatif, studi psikologi sastra sebagai penerapan tipe dan hukum-hukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra, dan studi psikologi sastra yang mempelajari
dampak karya sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
Dalam hal ini, peneliti melakukan analisis studi psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Peneliti menerapkan teori psikoanalisis Sigmund
Freud pada novel CIL kemudian mendeskrepsikan perilaku seksualitas mereka.
I.7.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian pustaka
dengan cara mencari sumber-sumber tertulis yang digunakan, dipilih, dan ditulis
sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan menggunakan teknik
pencatatan kartu guna memudahkan pendefmisian pandangan masing-masing
tokoh setelah melakukan penyimakan dan pencermatan Novel Cantik Itu Luka
karya Eka Kurniawan.
Data yang telah dikumpulkan lalu dianalisis secara deskriptif, yaitu
metode analisis data yang bertujuan menggambarkan secara tepat sitat-sifat
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu untuk menentukan adanya
firekuensi penyebaran suatu gejala dalam masyarakat yang tergambar melalui teks
Peneliti melihat teks yang ada dalam karya sastra sebagai teks manifes,
kemudian ideologi pengarang yang disamarkan dalam karya sastra disebut
sebagai teks laten. Langkah yang dilakukan peneliti adalah membuat deskripsi
penokohan Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik secara terpisah
satu sama lain yang kemudian disebut sebagai teks manifes. Langkah kedua
adalah menggali teks laten dari teks manifes yang ada dengan menggunakan teori
psikoanalisis Sigmund Freud.
Peneliti melihat lima tokoh perempuan dalam novel ini sebagai pasien
yang mengalami gangguan psikis dan harus diungkapkan simptom-somptom
neurologis di alam tak sadarnya yang terwujud dalam teks CIL.
Simptom-simptom neurologis ini merupakan bentuk penyamaran insting seksual yang
terungkap dalam karya sastra dalam bentuk simbol-simbol. Dalam hal ini
merupakan tugas peneliti untuk menerjemahkan simbol-simbol yang berada dalam
teks laten CIL untuk mengungkap kinerja alam bawah sadar lima tokoh ini.
I.7.3 Sumber Data
a. Judul Buku : Cantik itu Luka
b. Pengarang : Eka Kurniawan
c. Tahun terbit : 2004
d. Tebal halaman : 537
I.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini dimulai dengan Bab 1 Pendahuluan.
Bagian ini memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian dan penelitian yang
dilakukan.
Pada Bab II Dinamika dan Struktur Kepribadian Lima Tokoh
Perempuan Dalam CIL karya Eka K dipaparkan dinamika kepribadian berikut
struktur kepribadian tokoh Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan
Cantik.
Bab III Perilaku Seksualitas Lima Tokoh Perempuan Dalam CIL karya
Eka K dipaparkan perilaku seksualitas tokoh Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya
Dewi dan Cantik dilengkapi hal-hal yang mendukung pendapat peneliti.
Bab IV Kesimpulan, berisi uraian kesimpulan dan saran yang ditarik
peneliti dari kelima perilaku tokoh perempuan tentang seksualitas yang telah
BAB II
DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN LIMA TOKOH PEREMPUAN DALAM CANTIK ITU LUKA
KARYA EKA KURNIAWAN
Untuk mengungkapkan perilaku lima tokoh perempuan tentang
seksualitas dalam novel CIL karya Eka Kurniawan, peneliti menganalisis terlebih
dahulu teks tokoh kelima perempuan sebagai teks manifes untuk menemukan teks
yang tersembunyi di baliknya, mengenai hasrat atau dorongan tak sadarnya yang
paling dalam atau paling primitif.
Dalam asumsi peneliti, untuk mengetahui perilaku kelima tokoh
perempuan ini tentang seksualitas, peneliti menganalisis terlebih dahulu dinamika
dan struktur kepribadian tokoh-tokoh yang terdapat dalam teks manifes. Dalam
hal ini, peneliti mengolah teks manifes dan mencoba mengungkapkan teks yang
tersembunyi di baliknya untuk mengungkap perilaku mereka tentang seksualitas.
Psikoanalisis membuka tabir bahwa manusia memiliki alam
ketaksadaran yang terjadi pada tahap perkembangan manusia ketika belum
mengenal bahasa atau berlangsung sangat cepat dan terjadi di luar pusat perhatian.
Pengalaman ini kemudian ditekan atau direpres secara tidak sadar karena
dianggap mengganggu.
Bagi Freud seperti yang dikutip oleh Hartono (2003:3), ketaksadaran
merupakan salah satu inti pokok teorinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia
justru ditentukan oleh alam tak sadarnya. Bagian tak sadar yang hanya muncul
Struktur kepribadian manusia mencakup tiga daerah pikiran, yakni id,
ego, dan superego. Id berada pada alam ketaksadaran, sementara ego dan
superego meliputi ketiga tingkat kesadaran manusia. Id merupakan bagian dari
pemikiran manusia yang amat primitif. Pada Novel CIL ini, id harus bisa
menyesuaikan ego dan superego karena tuntutan aturan yang berlaku dalam
masyarakat di mana kelima tokoh perempuannya tinggal.
Kelima tokoh perempuan dalam Novel CIL ini memiliki hubungan
darah dan pernah tinggal pada suatu tatanan masyarakat yang sama. Kesohoran
nama Dewi Ayu sebagai pelacur sangat berpengaruh pada dinamika dan struktur
kepribadian empat tokoh perempuan lainnya.
II.1 Dinamika dan Struktur Kepribadian Dewi Ayu
Dewi Ayu dibesarkan oleh kakek dan neneknya setelah kedua orang
tuanya meninggalkannya di muka pintu rumah. Cerita cinta tentang kedua orang
tuanya diketahuinya dengan baik. Ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya
memiliki hubungan saudara, mereka memiliki ayah yang sama, yaitu kakek Dewi
Ayu. Ia juga mengetahui dengan baik kisah cinta neneknya Ma Iyang dengan
kekasihnya Ma Gedik yang dipisahkan oleh kakeknya sendiri. Ia bahkan
mengagumi kedua orang tuanya dengan mengatakan bahwa mereka
petualang-petualang sejati.
Ia tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, bahkan pada kehidupan
sekolahnya. Ketika Jepang datang, seluruh keluarganya memutuskan untuk
meninggalkan Indonesia, tetapi Dewi Ayu memutuskan untuk tetap tinggal di
mengetahui tempat yang ditujunya untuk pulang. Dewi Ayu bersahabat dengan
Ola dalam penjara Blodenkamp. Ia bahkan menggantikan posisi Ola untuk tidur
dengan komandan Jepang demi mendapatkan obat bagi ibu Ola. Dewi Ayu
bersama perempuan-perempuan Belanda terpilih lainnya dijadikan pelacur bagi
para perwira Jepang. Ketika itu hanya Dewi Ayu yang tidak melakukan pemijatan
penghambat kehamilan hingga Alamanda lahir.
Ketika Dewi Ayu berhasil lepas dari semuanya, ia kembali ke rumahnya
yang sudah dimiliki seorang pribumi. Ia bahkan rela menjadi pelacur untuk
merebut kembali rumahnya demi mengumpulkan uang. Dewi Ayu memberikan
pendidikan yang baik bagi anak-anaknya termasuk pendidikan agama. Dewi Ayu
merupakan ibu yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Ia bahkan menikahkan
Maya Dewi pada usia 12 tahun untuk menghindarkannya dari nasib buruk seperti
kedua kakaknya dengan kekasihnya sendiri, Dewi Ayu bahkan bersedia mati dan
bangkit kembali setelah dua puluh satu tahun kematiannya untuk menyelamatkan
kehidupan putri-putrinya. Dewi Ayu memiliki dua orang anak perempuan lagi
yang kesemuanya berwajah cantik, yaitu Adinda dan Maya Dewi. Namun, pada
kehamilannya yang keempat ia mengharapkan anak yang jelek pada putri
bungsunya agar nasibnya tidak seperti kakak-kakaknya. Harapannya terkabul, ia
memiliki putri yang sangat buruk rupa yang ia beri nama Cantik.
Rasa keakuan yang menonjol hampir di seluruh kisah cukup memberi
gambaran bahwa segala peristiwa dilihat dari sudut pandang tokoh Dewi Ayu.
Tokoh Dewi Ayu mengatakan bahwa setelah perang selesai, ia menjadi pelacur bukan semata-mata membayar hutangnya pada Mama Kalong, tapi karena ia tak mau apa yang terjadi atas Ma Iyang dan Ma Gedik terulang pada pasangan-pasangan penuh cinta yang lain (Kurniawan 2004:395).
Alasan yang diungkapkan Dewi Ayu di atas hanyalah pembenaran atas
tindakannya karena saat perang usai, ia tak mempunyai pilihan lain selain menjadi
pelacur untuk melunasi hutangnya. Hal ini merupakan sikap narsisme dalam diri
Dewi Ayu untuk mempertahankan citra egonya. Ia menjadi pelacur agar dekat
dengan figur ayah.
Berdasarkan pembacaan terhadap teks manifes, Dewi Ayu terlihat
baik-baik saja dan menguasai diri, namun ketika dilakukan pembacaan terhadap teks
laten, ia memiliki sedikit masalah gangguan psikis ringan. Dewi Ayu mengalami
masa kecil tanpa didampingi ayah-ibu, mengalami masa perang ketika Jepang
datang dan ia merupakan salah satu korban perang yang pernah dipenjara.
Mengenai orang yang baru mengalami trauma perang, Freud seperti yang dikutip
oleh Djokosujatno (2003:112) sendiri pernah menulis dan menyebutnya sebagai
nevrose de guerre, orang yang menderita perubahan psikis akibat tekanan realita
yang berlebihan yaitu ketakutan dan ketegangan yang terus-menerus atau dalam
waktu yang lama.
Dewi Ayu bukan seorang penderita neurosis yang parah. Dia tidak
bermimpi seperti orang gila. Dia terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat sangat
menguasai diri ketika menjadi orang yang pertama kali menyadari bahwa ia dan
psikis pada Dewi Ayu terlihat dari sikap-sikapnya yang sangat spontan, bahkan
terkadang tak masuk akal.
Dewi Ayu berpikir untuk mengawinkan Maya Dewi secepatnya, sebelum ia tumbuh dewasa dan menjadi binal. Selama bertahun-tahun ia memecahkan masalah-masalahnya dengan pikiran cepat, dan gagasan yang muncul di otaknya selalu merupakan hal yang kemudian ia lakukan (Kurniawan 2004:280).
Dewi Ayu mengalami kompleks elektra, yaitu kompleks oedipus anak
perempuan, seluruh hasrat perasaan cinta dan benci anak terhadap orang tua,yang
dialaminya pada tahap phalik ketika anak berusia tiga atau empat tahun.
Kompleks elektra membuat Dewi Ayu tetap tinggal di Indonesia. Ia bahkan
menikahi lelaki tua Ma Gedik hingga memutuskan menjadi pelacur. Karena hasrat
cinta pada orang tua pula ia kemudian berhubungan seksual yang pertama kali
dengan seorang Komandan Jepang untuk mendapatkan obat dan dokter bagi ibu
sahabatnya, Ola. Kompleks elektra pula yang memunculkan narsisme dalam
dirinya.
Dewi Ayu mencintai dan mengagumi kedua orang tuanya. Ia sama
sekali tak membenci keduanya meskipun mereka membuangnya di depan pintu
rumah kakek dan neneknya.
Sejak awal ia memang telah dibuat heran kenapa ia tak punya orang tua, dan hanya punya Opa dan Oma dan Tante. Tapi ketika ia mengetahui bahwa suatu pagi ayah dan ibunya kabur di suatu pagi, bukannya marah, sebaliknya ia sedikit mengagumi keduanya.
“Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Ted Stammler. “Kau terlalu banyak membaca buku cerita, Nak,” kata kakeknya.
“Mereka orang-orang religius,” katanya lagi.”Di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke Sungai Nil.”
“Itu berbeda.”
Dewi Ayu terlihat sangat mencintai rumah tempat tinggalnya. Ia bahkan
rela berpisah dengan keluarganya ketika Jepang datang untuk tetap tinggal di
rumah itu. Setelah ia terbebas dari Jepang, ia bahkan rela menjadi pelacur untuk
menembus kembali rumahnya.
Rumah itu merupakan sebuah simbol perjalanan hidupnya dari kecil. Ia
ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di muka pintu rumah itu. Makna rumah
yang sedemikian besar bagi hidupnya itu diperlihatkan ketika ia kembali ke rumah
itu bersama si kecil Alamanda dan Adinda. Dewi Ayu menceritakan detail
foto-foto yang tergantung di dinding kepada putri-putrinya. Rumah sebagai simbol
keberadaan orang tuanya. Suatu tempat yang mendekatkannya dengan mereka.
Dewi Ayu menikahi seorang pria tua yang tinggal di sebuah rawa. Hal
ini dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya mengingat saat itu usia Dewi
Ayu masih sangat belia dan mempesona. Keputusannya ini dikatakannya untuk
memberikan cinta pada lelaki tua Ma Gedik, kekasih neneknya yang direnggut
oleh kakeknya. Alasan ini hanyalah pembenaran atas gangguan psikisnya.
Dewi Ayu tidak mengenal orang tuanya. Ia dibesarkan oleh kakeknya.
Menurut Apsanti (2003:115), kehilangan orang tua merupakan peristiwa besar
dimasa kecilnya yang menyebabkan trauma padanya yang mudah sekali dipicu
oleh peristiwa yang lebih baru yang sama traumatisnya. Hal inilah yang menjadi
dorongan bagi Dewi Ayu untuk membina keluarga yang utuh. Dewi Ayu sangat
mendambakan figur sosok ayah dalam hidupnya. Hal inilah yang ia lihat dalam
diri Ma Gedik. Ini merupakan oedipus kompleks dalam dirinya, yaitu rasa cinta
Rasa cinta terhadap orang tua juga terlihat saat ibu Ola sakit, dan untuk
mendapatkan obat, ia rela tidur dengan lelaki untuk pertama kalinya. Sikapnya
yang spontan untuk membantu orang tua Ola itu merupakan refleksi bahwa ibu
Ola merupakan figur ibunya yang sangat ingin ia tolong,yang tak ia kenal sama
sekali. Sikapnya ini sangat berlebihan mengingat peristiwa ini pertama kalinya ia
berhubungan seksual dengan lelaki.
…”Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan. Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!” (Kurniawan 2004:76).
Dalam peristiwa ini ia mengikuti idnya yaitu harus menolong seorang
ibu yang sedang sekarat dan ia mengabaikan superegonya yang mengharuskan
untuk melakukan hubungan badan dengan lelaki yang telah dinikahinya.
Ada semacam gejala narsisme primer pada diri Dewi Ayu yang terlihat
dari awal ia menjadi pelacur di rumah tahanan. Ketika semua wanita melakukan
pemijatan untuk mencegah kehamilan, hanya dia seorang diri yang tidak
melakukannya dengan alasan seorang hamil karena disetubuhi, bukan karena tidak
dipijat. Bayi dalam kandungannya merupakan identifikasi dirinya sendiri yang
dapat ditafsirkan sebagai perwujudan hasrat untuk bersatu dengan ibu yang sudah
disesuaikan dengan tuntutan realita. Suatu hasrat yang masuk ke masa prenatal,
suatu hasrat ketika masih di dalam kandungan.
Dewi Ayu bahkan menyerahkan rumahnya yang menyimpan memori
masa kecilnya kepada Maya Dewi sesudah menikah. Pemujaan orang tua pada
anaknya merupakan narsisme primer mereka sendiri yang telah ditinggalkan.
adalah narsisme mereka sendiri yang muncul kembali, dan tidak kehilangan sifat
aslinya meskipun disamarkan menjadi cinta terhadap objek.
Sikap ini juga terlihat pada perhatiannya yang begitu besar pada
anak-anaknya. Ia memberikan pendidikan yang baik pada mereka. Ia bahkan
memikirkan benar-benar tentang masa depan anak-anaknya. Dewi Ayu bahkan
menikahkan Maya Dewi dengan orang yang sangat ia percaya, kekasihnya sendiri
Maman Gendeng.
Dewi Ayu menyuruh kekasihnya, Maman Gendeng untuk menikahi
putrinya Maya Dewi yang masih berusia dua belas tahun. Ia berpikir dengan
melakukan ini nasib Maya Dewi tak seperti kakaknya, Alamanda yang menikah
tanpa cinta.
Dalam peristiwa ini ia mengabaikan superegonya yaitu aturan untuk
menikahkan gadis dengan orang yang dicintainya ketika usianya telah matang dan
siap untuk menikah. Dewi Ayu mengikuti idnya untuk menyerahkan putrinya
pada orang yang sangat ia percaya dan dekat dengannya.
Ia tak ingin melihat Maya Dewi tumbuh menjadi dewasa dan menerima nasibnya yang tragis sebagaimana dialami Alamanda, dan mungkin akan dialami pula oleh Adinda. Tapi ia tak tahu dengan siapa ia akan mengawinkan gadis dua belas tahun itu, sebab ia pun tak ingin memberikan si bungsu pada sembarangan orang (Kurniawan 2004:280).
Dewi Ayu terlihat sangat mencintai putri-putrinya. Ia bahkan bersedia
mati dan bangkit kembali setelah dua puluh satu tahun kematiannya untuk
menyelamatkan kehidupan mereka. Ungkapan yang bersifat mistis ini merupakan
pada psikologi yang dikaitkan dengan karya sastra. Oleh karena itu peneliti tidak
menganalisis lebih jauh peristiwa mistis di atas.
Dewi Ayu melahirkan tiga orang gadis yang kesemuanya cantik,
mewarisi semua kecantikannya. Ketika ia hamil putrinya yang ke empat, ia berdoa
agar anaknya yang terakhir ini buruk rupa, dan doanya ini terkabulkan.
Dewi Ayu sangat membenci kecantikannya. Kecantikan membuatnya
menderita, ia kemudian membenci perempuan cantik. Baginya, perempuan cantik
hanya akan menjadi sasaran lelaki di dunia ini. Hal ini dapat terungkap dalam
kutipan teks berikut.
“Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki mesum seperti anjing di musim kawin.” (Kurniawan 2004:5).
Dewi Ayu berpendapat bahwa wanita cantik itu menggoda para lelaki,
baik hal itu diinginkan atau tidak.
Maka ia berkata pada Rosinah,”Aku bosan punya anak cantik” “Kalau begitu berdoalah minta bayi buruk rupa,”
Ia harus berterimakasih pada perempuan bisu itu, sebab doanya terkabul dan untuk pertamakalinya ia memiliki perempuan buruk rupa. Lebih buruk rupa dari perempuan manapun yang kau temui, meski sacara ironik, ia memberinya nama Si Cantik. Dengan wajah dan tibuh seperti itu, tak akan ada siapa pun yang mencintainya, lelaki maupun perempuan. Ia akan terbebas dari kutukan roh jahat tersebut. Ia harus berterima kasih pada Rosinah (Kurniawan 2004:512).
Kebencian Dewi Ayu terhadap perempuan cantik sedemikian besar
hingga ia menganggap memiliki wajah buruk rupa itu merupakan anugerah dan
memiliki wajah cantik merupakan sebuah malapetaka.
“Gadis yang malang,” kata ibunya malam itu, malam pertama mereka berjumpa.
“Kau seharusnya menari dengan riang karena anugerah tersebut. Masuklah” (Kurniawan 2004:24).
“Yah, bayi yang malang,” kata Dewi Ayu sambil menggeliat di atas tempat tidur. “Segala telah kulakukan untuk membunuhnya. Seharusnya kutelan sebutir granat dan meledakkannya di dalam perut. Si kecil yang malang, seperti para penjahat, orang-orang malang juga susah mati.” (Kurniawan 2004:4)
II.2 Dinamika dan Struktur Kepribadian Alamanda
Alamanda merupakan putri pertama Dewi Ayu yang berdarah Jepang
yang mewarisi kecantikan ibunya. Wajah cantiknya ini membuatnya mudah untuk
menarik hati lelaki. Ia gemar sekali membuat lelaki patah hati. Ia mengatakan
mencintai lelaki, tapi lebih mencintai lelaki yang patah hati karena cinta.
Perjalanan cintanya yang seperti ini berakhir ketika ia bertemu Kliwon. Pertama
mengenal Kliwon, lelaki ini bersikap acuh. Alamanda terus berusaha mendekati
Kliwon hingga ia mendapatkan apa yang ia inginkan dan mereka berpacaran.
Suatu hari, Kliwon bersekolah ke Jakarta, Alamanda pun ditinggalkan
seorang diri. Saat itu Shodanco muncul. Kejenuhan Alamanda menanti Kliwon
memacunya untuk kembali pada sifatnya yang dulu, mempermainkan hati lelaki.
Demikianlah kemudian dilakukannya. Namun kali ini ia kalah. Shodanco
memperkosanya. Alamanda memutuskan menikahi Shodanco tanpa cinta. Maka
berakhirlah cintanya pada Kliwon.
Kehidupan rumah tangganya tidak membuat bahagia. Ia tidak mau tidur
benar-benar menyerahkan dirinya pada Shodanco untuk membebaskan Kliwon
dari kematian. Akhirnya Nurul Aini lahir. Kematian Nurul Aini dan Shodanco
cukup membuatnya sedih namun ia tetap tegar.
Alamanda merupakan putri pertama dari pelacur paling cantik dari
Halimanda. Hal inilah yang melatarbelakangi gangguan psikisnya, yaitu
mempermainkan hati lelaki. Ia suka membuat lelaki jatuh cinta padanya,
memberikan harapan-harapan pada mereka lalu mencampakkannya ketika mereka
menyatakan cinta.
“Aku menyukai laki-laki,” Kata Alamanda suatu ketika, “tapi aku lebih suka melihat mereka menangis karena cinta.”
(Kurniawan 2004:211).
Alamanda mengikuti idnya karena ia memperoleh kepuasan setelah
menyakiti hati laki-laki dan ia mengabaikan superegonya, yaitu rasa bersalah
karena perbuatannya tersebut.
Sikap Alamanda yang suka menyakiti hati banyak lelaki ini merupakan
sikap volatile yang merupakan pantulan narcisme dari sifatnya.
Ia telah melakukan permainan tersebut berkali-kali, selalu menyenangkan dari satu permainan ke permainan yang lain meskipun akhirnya selalu sama bahwa ia akan menjadi pemenang dan mereka akan menjadi pecundang. Ia akan tertawa lebar sementara kekasih baru menggantikan kekasih lama ( Kurniawan 2004:211 ).
Sikap narcisme muncul pada tokoh perempuan ini. Menurut Freud
seperti yang dikutip oleh Kramadibrata, ada kaitan yang erat antara narcisme,
pemujaan pada diri, dengan citra ego seseorang. Pelukisan yang selalu baik
tentang dirinya merupakan usaha untuk mempertahankan citra egonya
Alamanda merupakan sebuah pribadi yang tidak mempedulikan
keluarganya. Sikap ini ditunjukkan dalam kutipan berikut:
Kadang-kadang ia baru pulang ke rumah larut malam menjelang pagi. Meskipun kedua adiknya telah menunggu di depan pintu dengan wajah cemas. Ia akan berlalu ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun kecuali menyanyikan sepotong lagu cengeng yang sedang populer di masa itu. (Kurniawan, 2004: 209)
Alamanda sering membuat perbandingan antara dia dan ibunya. Ia
sering merasa bahwa ia lebih dari ibunya. Secara tidak sadar, melalui ucapannya,
ia menempatkan ibunya sebagai saingan. Dalam hal ini sikapnya tidaklah aneh
mengingat kepopuleran ibunya sehingga mengganggap ibunya sebagai saingan.
“Kini mama lihat apa yang dilakukan perempuan di masa damai” Jawab Alamanda.
“Apa maksudmu, Nak?”
“Di masa damai, Mama telah bikin lelaki itu mengantri dan membayar untuk meniduri mama, dan aku membuat banyak lelaki menangis karena patah hati”.
(Kurniawan, 2004 : 212)
Dari pernyataannya di atas dapat disimpulkan bahwa ia mengalami
kompleks oedipus, yaitu bahwa hubungan seorang perempuan (Alamanda) dengan
banyak lelaki ditafsirkan sebagai hubungan dengan ayahnya dan usahanya untuk
menyaingi orang lain (Dewi Ayu) karena adanya keinginan di bawah sadarnya
untuk mengalahkan ibunya. Rasa takut atau ancaman akan kehilangan cinta yang
sebenarnya khayal itu datang dari ibunya. Sikapnya ini dapat lebih dipahami
mengingat ia sama sekali tak mengenal figur seorang ayah dan dibesarkan oleh
Sementara itu, keputusannya untuk menikahi Shodanco tanpa rasa cinta,
karena lelaki itu telah menidurinya dilatarbelakangi oleh ketakutannya pada
mimpinya. Hal ini dapat dirunut dari teks sebelumnya yang mengatakan bahwa ia
tak akan berkhianat dari Kliwon.
… bercerita mengenai Sang Shodancho, tentang kedunguannya, dan berbicara sejujurnya bahwa Sang Shodancho tampaknya tertarik pada dirinya. Ia meyakinkan kekasihnya bahwa ia sama sekali tak tertarik kepada Sang Shodancho, ia masih sama seperti sebelum ini bahwa cintanya hanya untuk kekasihnya seorang dan tak punya keinginan sedikit pun untuk berkhianat (Kurniawan 2004:228-229).
Suatu malam ketika ia baru memulai permainan cintanya dengan
Shodanco yang membuat lelaki itu tergila-gila padanya sementara Kliwon di
Jakarta ia bermimpi.
Sampai ketika malam ia bermimpi Kliwon mengetahui hal itu dan laki-laki tersebut menjadi marah sehingga berniat untuk membunuhnya, membuat ia terbangun dalam selimut keringat dingin dan napas putus-putus. Ia memaki pada mimpi buruk tersebut dan meyakinkan diri bahwa ia sama sekali tak mengkhianati kekasihnya dan cintanya tak berubah sedikit pun juga.
(Kurniawan, 2004 : 226)
Dalam teorinya, Freud seperti yang dikutip oleh Semiun (2006:113)
berpendapat bahwa isi laten dari mimpi lebih penting dari pada isi manifes. Isi
laten dari mimpi adalah arti permukaan atau gambaran sadar yang diberikan oleh
orang yang bermimpi. Isi manifes pada umumnya mudah diingat oleh orang yang
bermimpi, sedangkan isi laten dapat dicapai hanya dengan interpretasi yang teliti
mengenai isi manifes.
Hal ini pula yang dialami oleh Alamanda. Isi manifes mimpi Alamanda
Shodanco. Sedangkan isi laten dari mimpi tersebut adalah bahwa karena rasa
ketakutan Alamanda kehilangan lelaki yang amat dicintainya dan rasa bersalah
karena telah mengkhianati kekasihnya. Namun yang diingat Alamanda hanyalah
isi manifes mimpinya tanpa menyadari isi latennya.
II.3 Dinamika dan Struktur Kepribadian Adinda
Adinda adalah putri kedua Dewi Ayu yang berdarah Indonesia. Setelah
Dewi Ayu diperkosa oleh serdadu Indonesia kisah percintaan Alamanda dan
Kliwon sangat berpengaruh pada hidupnya. Adinda mengetahui dengan jelas
kecintaan Kliwon terhadap Alamanda sejak kakaknya berusia delapan tahun.
Belasan tahun kemudian, ia juga tahu sifat Alamanda yang suka mempermainkan
hati lelaki. Adinda tidak rela jika lelaki yang sedemikian itu dicampakkan seperti
sampah. Adinda mulai memburu Kliwon semenjak pernikahan Alamanda.
Pertemuannya kembali dengan lelaki itu adalah ketidaksengajaan saat Kliwon
menolong Adinda yang sedang dikejar anjing. Kedekatan mereka terus berlanjut
hingga Kliwon mengatakan perut bunting Alamanda hanya panci kosong, bukan
seorang bayi. Adinda memohon melepaskan kutukan lelaki itu. Ia bahkan rela
dinikahinya.
Adinda selalu ada pada saat Kliwon bersama partai komunisnya
menggelar acara. Adinda setia menemani Kliwon bahkan ketika lelaki itu
kesepian selama bermingu-minggu menunggu kedatangan korannya. Hingga
lelaki itu dipenjara, ia rajin mengirimi makanan. Bahkan, ketika Kliwon sekarat
yang menyeretnya sampai ke rumah sakit. Pengorbanan yang demikian itu
terbalas, Kliwon melamarnya dan mereka berbahagia sampai Kliwon dikirim ke
Pulau Buru karena berusaha mempengaruhi para nelayan. Bertahun-tahun
kemudian, ia dibebaskan dan kembali berkumpul dengan Adinda. Ia tidak marah
ketika mengetahui perselingkungan suaminya dengan Alamanda lalu suaminya
bunuh diri. Peristiwa ini membuatnya menjadi janda dan menghidupi anaknya
seorang diri.
Rasa cinta Adinda terhadap Kliwon berawal dari rasa kagum ketika
Kliwon mengejar Alamanda yang berusia 8 tahun. Rasa cinta ini timbul kembali
saat ia dikejar anjing dan berlindung pada Kliwon. Sosok lelaki sebagai tempat
berlindung ini sangat dirindukannya, mengingat ia tak pernah mengenal sosok
ayahnya. Rasa cinta terhadap ayah yang tak dikenalnya lalu direfleksikan pada
tokoh Kliwon. Tokoh Kliwon inilah lelaki pertama yang benar-benar ia cintai.
Kliwon merupakan tokoh penting dalam hidup Adinda. Sosoknya yang
penting bagi partai komunis mempengaruhi pandangannya tentang Kliwon.
Kliwon dianggap sebagai pemimpin partai komunis di Halimunda,inilah yang
membuat Adinda percaya bahwa lelaki inilah yang bisa memimpin hidupnya.
Kemudian ini direfleksikan tokoh ayah sebagai pemimpin keluarga. Hal ini
tampak ketika pemerintah mengadakan pembersihan partai ini, Adinda
menganggap Kliwonlah yang dapat memimpin partai itu.
“Lupakanlah koran-koran sialan itu, Kamerad”, kata Adinda mulai kehilangan kesabaran. “Partaimu dalam masalah besar, dan ia membutuhkan seorang pemimpin yang waras”.
Seperti saudara perempuannya, Alamanda, Adinda juga mengalami
kompleks oedipus. Ia juga tidak mempunyai seorang lelaki sebagai figur ayah
dalam hidupnya. Ia mendapatkan figur ini dari sosok Kliwon. Lelaki yang
berperan sebagai pimpinan Partai Komunis ini diyakini sebagai sosok yang
mampu memimpin hidupnya.
Adinda adalah pribadi yang menerima apa adanya dan dapat melihat
realitas. Sikap ini dapat terlihat ketika ia mengetahui perselingkuhan suaminya
dengan mantan kekasihnya, sekaligus kakak perempuannya. Ia hanya menunggu
kepulangan suaminya di pintu rumah tanpa menunjukkan kemarahan sedikit pun.
Ketika itu usai, mereka tak pernah menyesalinya sedikit pun.
Namun ketika pulang, Kamerad Kliwon telah ditunggui istrinya di pintu rumah. Ia mencoba menyembunyikan ekspresi kebahagiaan yang memancar dari roman mukanya, dan menampakkan kembali wajah murungnya. Tapi Adinda sama sekali tak bisa dibohongi.
“Hantu-hantu itu memberitahuku, maka aku tahu apa yang kau lakukan di rimah Shodancho,” kata Adinda, “ tapi tak apa jika itu membuatmu bahagia.”
(Kurniawan 2004:415).
Pada tokoh Adinda muncul gejala kastrasi ketika ia mengetahui
perselingkuhan suaminya dengan kakak perempunnya, sekaligus mantan kekasih
suaminya, Alamanda. Adinda tidak menunjukkan kemarahan tapi hanya
membiarkannya. Ini merupakan sikap ketakutannya terhadap kehilangan cinta dari
objek, yang merupakan gejala kastrasi.
Sikap Adinda merupakan refleksi dari tahap anal perkembangan
kepribadiannya pada usia 2-3 tahun dimana seorang anak belajar bahwa
kelangsungan hidup dan kepuasan kebutuhan tergantung pada cinta dan perhatian
Adinda mengabaikan idnya untuk merasa cemburu dan marah
mengetahui perselingkuhan suaminya. Ia mengikuti superegonya untuk menerima
suaminya tanpa kemarahan karena sudah kewajiban istri untuk memaafkan
kesalahan suami.
II.4 Dinamika dan Struktur Kepribadian Maya Dewi
Maya Dewi adalah putri bungsu Dewi Ayu. Di antara kedua kakaknya,
tangannya yang paling terlatih mengurus rumah. Ia lebih banyak di rumah
daripada di luar rumah untuk bermain. Ia seorang gadis yang penurut. Ketika ia
berusia 12 tahun, Dewi Ayu menyuruhnya menikah dengan kekasih ibunya. Ia
menurut tanpa ada pertentangan sedikit pun. Ia menikah dengan Maman Gendeng
dan mengalami malam pertama lima tahun sesudahnya.
Maya Dewi dan Maman Gendeng dianugerahi putri Rengganis si
Cantik. Ketika putrinya hamil tanpa pernikahan, ia yang paling tegar dan bersabar
menanyakan perihal kehamilannya. Namun ketegarannya mulai runtuh saat
putrinya meninggal. Ia dan suaminya berfantasi anaknya masih hidup dan
menyiapkan makanan untuk tiga orang. Hingga suaminya juga meninggal, ia tetap
melakukan ritual tersebut seorang diri hingga suaminya yang maksa kembali tiga
hari setelah kematiannya.
Bagi Maya Dewi, sosok Maman Gendeng merupakan figur seorang
ayah. Hal ini dapat dilihat ketika di malam pertamanya setelah pernikahan
mereka, ia meminta Maman Gendeng untuk mendongenginya. Dan itu terus
sebagai kerinduan Maya Dewi terhadap sosok ayah yang ia dapatkan dari Maman
Gendeng.
Demikianlah setiap malam berlalu dengan cara yang sama. Maya Dewi akan berbaring terlebih dahulu dengan pakaian tidurnya, kemudian Maman Gendeng muncul dengan tatapan kebingungan yang sama. Ia menarik kursi dan menatap pengantinnya dalam wajah sendu yang terulang dan Maya Dewi kemudian memintanya mendongeng. Bahkan dongeng yang ia ceriterakan selalu sama pula, tentang Putri Rengganis yang kawin dengan anjing. Nyaris sama persis kalimat per kalimat. Tapi tampaknya keduanya melewati malam-malam seperti itu sebahagia banyak pengantin, dan meskipun mereka mengulang terus kekonyolan yang sama tersebut, tidak tampak kebosanan sedikit pun di wajah mereka. Sebelum dongeng selesai, biasanya Maya Dewi telah jatuh tertidur dengan pulas. Maman Gendeng kemudian akan menyelimutinya, menutup kelambu nyamuk, mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur. (Kurniawan, 2004 : 285-286)
Gangguan psikis dalam diri Maya Dewi terjadi karena ia dibesarkan
tanpa didampingi seorang ayah. Sosok Maman Gendeng dalam dirinya menjadi
seorang ayah karena Maman Gendeng merupakan kekasih ibunya. Mereka sering
bepergian bertiga. Saat itu ia menemukan sosok ayah yang tak pernah ia dapatkan.
Keberadaan Maman Gendeng sebagai kekasih ibunya menjadikan keluarga
mereka utuh. Seorang ayah, ibu dan anak-anak. Dalam hal ini, Maya Dewi
mengalami oedipus kompleks. Ia merasa cinta terhadap sosok ayah (Maman
Gendeng) dan menempatkan ibu sebagai saingan untuk mendapatkan cinta itu.
Hambatan itu hilang saat ia dinikahkan dengan Maman Gendeng sehingga ia tidak
menentang sedikitpun. Padahal untuk menikah, ia harus berhenti sekolah.
Tokoh Maya Dewi cenderung mengikuti idnya. Hal ini tampak sesudah
ia kehilangan putrinya. Ia bersama suaminya menyiapkan makanan untuk tiga