• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERILAKU SEKSUALITAS LIMA TOKOH PEREMPUAN DALAM

III.1 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Oedipus

III.1.1 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh

Dewi Ayu dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Ia adalah putri dari pasangan inses (pernikahan sedarah). Ia mengetahui dengan baik cerita cinta neneknya Ma Iyang dengan Ma Gedik. Ia kemudian mencintai Ma Gedik meskipun tidak mengenalnya, meski hanya mendengar tentang lelaki itu melalui cerita.

Rasa cinta pada Ma Gedik ini merupakan oedipus kompleks. Ini merupakan rasa iri terhadap ibu yang direfleksikan pada tokoh Ma Iyang yang telah mendapatkan cinta yang begitu besar dari sang ayah yang direfleksikan pada tokoh Ma Gedik. Hambatan untuk mendapatkan cintanya ini hilang setelah kakek dan neneknya meninggal.

Dewi Ayu ingin mendapatkan cinta yang begitu besar seperti cinta Ma Gedik pada Ma Iyang. Hal ini membuatnya ingin menggantikan posisi Ma Iyang dengan menikahinya sacara paksa.

Dewi Ayu menemukan figur seorang ayah dalam diri Ma Gedik. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut:

“Lelaki yang malang,” kata Dewi Ayu. “Seharusnya ia kakekku seandainya Ted tak jadikan Ma Iyang gendiknya”. (Kurniawan 2004: 56)

Rasa cintanya pada lelaki ini membuatnya ingin menikahinya. Ia ingin memberikan cinta pada lelaki yang kehilangan cintanya karena kakeknya:

Dewi Ayu telah merasakan kepedihan yang begitu dalam, tak peduli ia tak mengenal lelaki itu. Ini membawanya pada cinta buta dan memaksanya untuk kawin dengannya. Ia ingin memberinya cinta, cinta yang tak ia peroleh dari Ma Iyang neneknya. Setelah itu dirampas oleh Ted Stemmler kakeknya, namun lelaki itu bahkan menolak untuk

Dari hasil pembacaan teks manifes, didapat bahwa Dewi Ayu menjadi pelacur bukan karena keinginannya, tapi karena sejarahlah ia menjadi seorang pelacur. Hal ini ia ungkapkan pada tokoh Rosinah dan ketiga anaknya.

Ia sendiri tak pernah mengaku bahwa ia menjadi pelacur karena keinginannya sendiri, sebaliknya, ia selalu mengatakan bahwa ia menjadi pelacur karena sejarah.

“Sebagaimana sejarah menciptakan seseorang jadi nabi atau kaisar,” yang ini ia katakan pada ketiga anaknya (Kurniawan 2004:117).

Namun setelah dilakukan pendekatan secara psikologi sastra dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud, peneliti menyimpulkan bahwa ungkapan Dewi Ayu di atas merupakan ideologi pengarang yang dimasukkan dalam tokoh Dewi Ayu. Hal ini mengingat ada empat model pendekatan secara psikologis, yaitu dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca (Ratna 2004:61).

Penelitian ini tidak mengaitkan psikologi sastra dengan pengarang. Oleh sebab itu peneliti tidak menganalisis lebih jauh ungkapan Dewi Ayu di atas.

Ketika Dewi Ayu menjadi pelacur, ia merasa dekat dengan figur ayah yang sangat ia rindukan.

Pelacur paling tidak tak membuat orang harus punya gundik, sebab setiap kau mengambil gundik, kau mungkin menyakiti hati seseorang yang adalah kekasih gundik itu (Kurniawan 2004: 395)

Karena hal itu pula yang mengantar Dewi Ayu untuk mencintai semua lelaki langganannya. Ia bahkan mengingat dengan baik jumlah lelaki yang pernah berhubungan badan dengannya ketika wanita-wanita tetangganya menghitung lelaki yang pernah berhubungan badan dengannya dengan salah.

“Seratus tujuh puluh dua laki-laki. Yang paling tua berumur sembilan puluh dua tahun , yang paling muda berumur dua belas tahun, seminggu setelah disunat. Aku mengingatnya dengan baik (Kurniawan 2004:3) Figur ayah yang sangat ia dambakan membuat Dewi Ayu menikahi Ma Gedik dengan paksa dan memutuskan untuk menjadi pelacur. Sementara itu Adinda menghentikan pencariannya atas figur ayah pada lelaki bernama Kliwon.

Adinda menemukan figur Ayah dalam diri Kamerad Kliwon. sejak lelaki itu mengejar Alamanda. Sesudah pernikahan Alamanda dengan Shodanco, Adinda menjadi dekat dengannya. Ia selalu ada di mana Kemaerad Kliwon bersama partainya menggelar acara. Adinda selalu menemani Kliwon saat susah maupun senang, bahkan ketika Kliwon babak belur dihajar tentara lalu ditinggalkan di pinggir jalan, Adinda yang menolongnya seorang diri.

“Nona ini menyeretmu sampai jalan raya sebelum membawanya ke sini dengan becak, dan kau tak sadarkan diri selama dua hari dua malam, dan nona ini menungguimu terus di sini selama itu”, kata dokter yang berdiri di sampingnya (Kurniawan 2004:378).

Adinda bukanlah pencemburu bahkan ketika mas kawin yang diberikan Kamerad Kliwon untuknya sesungguhnya direncanakan untuk Alamanda.

Sebagai mas kawin Kamerad Kliwon memberi Adinda sebuah cincin yang dulu dibelinya di Jakarta dari hasil kerja sebagai tukang foto keliling dan sesungguhnya direncanakan sebagai mas kawin jika ia kawin dengan Alamanda. Adinda mengetahui belaka asal-usul mas kawin itu, tapi ia bukanlah seorang gadis yang demikian pencemburu sebagaimana sering dituduhkan Alamanda dahulu kala. (Kurniawan 2004: 383).

Ketika Adinda menginginkan sesuatu sehubungan dengan kepentingannya yang sangat pribadi, ia cenderung mengungkapkannya secara langsung tanpa basa-basi, termasuk tentang pernikahan dan hal-hal seksualitas.

“Kau boleh membunuhku jika mau, sebagaimana kau boleh memperkosaku kapan pun dan aku tak akan memberikan perlakuaan sedikit pun”, kata Adinda tak tergoda oleh gurauannya. “Kau boleh jadikan aku budah, atau apapun”. Ia mengambil sapu tangan dari saku roknya, dan menghapus banjir air mata di pipinya. “Bahkan kau boleh mengawiniku”. (Kurniawan, 2004: 310)

Kemudian tokoh Maya Dewi menemukan figur ayah dalam diri Maman Gendeng ketika lelaki itu masih menjadi kekasih ibunya. Hal ini muncul karena Maman Gendeng sering bepergian bersama Dewi Ayu dan putri-putrinya. Ia menemukan kehangatan keluarga, bahkan kehadiran seorang ayah dalam diri Maman Gendeng.

Dewi Ayu melihat Maman Gendeng menggandeng tangan Maya Dewi ke sana-kemari, sambil menunjuk burung-burugn nenek, yang bersembunyi di belukar, dan melemparkan kacang polong pada monyet-monyet yang bergerombol. Dewi Ayu tak peduli pada kenyataan bahwa ia seolah mereka abaikan keberadaannya. Keduanya berlari ke pinggir tebing laut dan mencoba berhitung burung-burung camar yang beterbangan. (Kurniawan, 2004: 280).

Maya Dewi mencintai Maman Gendeng sudah sejak lama, meskipun hal ini tidak diungkapkan secara langsung oleh Maya Dewi. Pernyataan tersirat dari tokoh Dewi Ayu ketika Maman Gendeng ragu tentang kesediaan Maya Dewi untuk menjadi istrinya.

“Ia mendengarkan semua yang aku katakan, dan terutama aku percaya ia tidak keberatan kawin denganmu”. (Kurniawan, 2004: 282)

Maya Dewi adalah seorang istri yang baik. Sesudah menikah, ia memutuskan berhenti sekolah karena ia ingin mengurus rumah dan suaminya dengan lebih baik. Maksudnya mengurus dengan lebih baik di sini adalah dengan menjadi istri yang sebenarnya di atas tempat tidur, karena ini juga merupakan kewajiban.

“Sayang, aku adalah istrimu dan aku sudah cukup dewasa untuk menerima di atas tempat tidur,” katanya sebelum melanjutkan, “peluk dan bercintalah denganku malam ini, sebab ini malam terindah yang akan kita miliki, malam pertama setelah lima tahun terlambat” (Kurniawan, 2004: 364).

Bagi Maya Dewi, seksualitas merupakan kewajiban, namun juga memiliki kebebasan, tidak harus lelaki yang memulai terlebih dahulu, wanita juga berhak mengajak.

Figur ayah dalam diri Maman Gendeng membuat Maya Dewi menikah dengan lelaki itu pada usia dua belas tahun dan meninggalkan sekolahnya.

Lalu perilaku seksualitas yang didasari oleh figur ayah pada tokoh Cantik didominasi oleh sosok hantu Ma Gedik. Cantik menemukan sosok ayah dalam hantu Ma Gedik. Karena Ma Gediklah yang mendampinginya sejak kecil seperti seorang ayah yang menemani putrinya. Hantu Ma Gedik yang mengajarinya banyak hal. Cantik mendapatkan kepuasan seksual semasa kecil dari hantu Ma Gedik. Ketika ia merasakan hasrat untuk mempunyai ayah, hasrat untuk mencintai ayah, hasrat itu datang pada sosok hantu Ma Gedik.

Ia tidak pernah membutuhkan apapun lagi, tampaknya, sebab ia telah merasa begitu bahagia berteman dengannya, sebab ia buruk rupa. Tapi lelaki itu berteman dengannya, tak peduli ia buruk rupa. Orang-orang tak mau menemuinya. Mereka sering bermain bersama, dan Rosinah sering dibuat terkejut oleh kegembiraannya yang tiba-tiba dan tanpa sebab. (Kurniawan, 2004: 516).

Cantik belajar semuanya dari Hantu Ma Gedik sebagai figur ayahnya. Ia mempercayai semua ucapannya, bahkan janji Ma Gedik yang akan memberinya seorang pangeran. Ia mempercayainya meskipun sangat tidak masuk akal. Rasa

percaya atas kemustahilan ini sangat beralasan mengingat Cantik menemukan figur ayah dalam diri Ma Gedik yang selalu menjaganya.

Itu tak mungkin. Bahkan tak seorang pun pernah melihatnya, bahkan tak sorang pun mengenalnya, maka tak mungkin seseorang jatuh cinta kepadanya secara tiba-tiba.

“Apakah aku pernah berbohong kepadamu?” Tidak

Tapi ia percaya malaikatnya tak akan berbohong, maka ia menunggunya kembali di malam kedua. (Kurniawan, 2004: 519)

Figur ayah dalam diri Ma Gedik membuat Cantik memperoleh kepuasan seksual pada masa kanak-kanak, suatu hasrat yang timbul semasa anak berusia dibawah lima tahun. Hal ini pula yang membuat Cantik mempercayai hantu ini. III.1.2 Perilaku Seksualitas yang Didasari oleh Figur Ibu

Perilaku seksualitas yang didasari oleh figur ibu pada tokoh Dewi Ayu muncul ketika ibu Ola sakit.Dewi Ayu tidak mengenal ibunya. Figur ibu hanya ada pada neneknya. Dalam kondisi tak sadarnya, ia melakukan pencarian sosok ibu. Ia mendapatkannya ketika ibu Ola sakit dan membutuhkan dokter beserta obat.

Untuk menolong ibu Ola, Dewi Ayu rela berhubungan seksual dengan lelaki untuk pertama kalinya. Pada kenyataannya, ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.

Dewi Ayu memejamkan matanya, sebab bagaimanapun ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya. Ia agak sedikit menggigil namun bertahan melewati horor tersebut. (Kurniawan, 2004: 77)

Sementara itu, perilaku seksualitas yang didasari oleh figur ibu pada tokoh Alamanda membuatnya mempermainkan banyak lelaki.

Alamanda menempatkan ibu sebagai saingan. Pada pembahasan Bab II telah dijelaskan ini sebagai akibat dari oedipus kompleks karena dibesarkan tanpa mengetahui identitas ayahnya ditambah kepopuleran ibunya sebagai pelacur. Usaha untuk menyaingi ibunya terlihat dalam kutipan ketika Adinda membanggakan ibunya.

“Jika ada perempuan yang harus kucemburui, maka ibu adalah Mama yang telah tidur dengan ratusan lelaki,” kata Adinda.

“Kau pikir aku tak bisa tidur dengan lelaki?”

“Kau bisa tidur dengan semua lelaki sehebat Mama,” kata Adinda, “Tapi kau tak mungkin mencintai semua lelaki”.

(Kurniawan, 2004: 209)

Sosok ibu sebagai saingan ini memunculkan sikap volatile yang berasal dari sifat narsisme dalam dirinya.

Kemudian perilaku seksualitas yang didasari oleh figur ibu pada tokoh Cantik membuatnya benci pada ibunya. Serupa dengan tokoh Alamanda yang tidak menyukai ibunya Dewi Ayu, Cantik bahkan sangat membenci ibunya.

Cantik tidak mengenal ibunya. Ia hanya mengetahui cerita tentang kepopuleran ibunya sebagai pelacur paling cantik. Dari pembahasan Bab II didapat kebencian terhadap ibunya membuat Cantik mengabaikan kehamilannya. Bayi dalam kandungannya merupakan identifikasi dirinya dalam kandungan ibunya hingga ia abaikan. Rasa benci terhadap ibunya membuat Cantik terus-menerus melakukan hubungan seksual.

Bahkan ketika sudah mengetahui bahwa ia hamil, ia masih menunggu Sang Pangeran untuk bercinta, dan mereka bercinta. (Kurniawan, 2004: 525).

Dokumen terkait