• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA PERKEBUNAN TEMBAKAU WEDI-BIRIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI TEMBAKAU PADA PERKEBUNAN TEMBAKAU WEDI-BIRIT"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

35

Pada musim-musim tertentu, apabila kondisi alam yang kurang mendukung mutu dari tembakau Vorstenlands mengalami penurunan. Ada beberapa penyebab terjadinya penurunan tersebut yaitu sempitnya lahan pertanian, rendahnya sumber daya petani, dan kurangnya pengalaman pada petani penggarap lahan perkebunan, yang mengakibatkan penggarapan menjadi kurang baik sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil tembakau, dan kurang memadahinya teknologi pertanian yang diterapkan, yaitu kurang terpenuhinya aspek teknis-agronomis baik saat tahap pra-panen maupun pasca-panen yang telah direkomendasikan oleh penyuluh lapangan.1

Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi timbulnya beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengoptimalkan sektor pertanian. Kebijakan dikeluarkan guna menangani permasalahan yang timbul dalam permasalahan lahan dan hubungan antara petani dan perkebunan, kemudian menghasilkan sebuah program intensifikasi. Program ini digunakan untuk meningkatkan hasil pertanian dan mempererat kerjasama antara petani dan perkebunan dalam pengusahaan tanaman tembakau.

1

(2)

A. Latar Belakang Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL) Telah dikemukakan oleh Soegijanto Padmo bahwa budidaya tembakau untuk pasaran ekspor, telah dilakukan oleh orang-orang Belanda di pulau Jawa sejak abad XIX. Sekitar tahun 1858 di desa Jetis onderdistrik Gondang, merupakan daerah yang pertama kali ditanami tembakau. Percobaan penanaman tersebut berhasil dan kemudian diperluas ke daerah-daerah sekitarnya seperti Kebonarum, Wedi-Birit dan Manjung.2

Tembakau merupakan salah satu komoditi yang memiliki peranan cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari segi perdagangan tembakau di luar negeri dan dampak sosial-ekonomi untuk negara. Dalam usaha perkebunan rakyat di Indonesia melibatkan petani dalam jumlah yang banyak, oleh karena itu sub sektor Perkebunan rakyat merupakan lapangan kerja bagi penduduk pedesaan serta menjadi sumber utama pendapatan penduduk.

Perkebunan rakyat sebagai usaha tani keluarga mencakup berbagai tanaman perdagangan seperti karet, kopi, lada, tembakau, dan cengkeh.3 Jenis-jenis komoditi tersebut telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi perekonomian Indonesia, begitu juga pada kehidupan petani. Di Kecamatan Wedi ini banyak petani yang menggantungkan kehidupannya dari hasil pertanian.

Dengan diandalkannya perkebunan bagi keberlangsungan kehidupan petani, perkebunan merupakan satu hal yang penting dalam perekonomian petani sekitar perkebunan. naik turunnya pendapatan petani tergantung dari keadaan perkebunan itu

2

Soegijanto Padmo, op.cit, hlm. 34.

3

(3)

sendiri. Kondisi perkebunan mulai mengalami penurunan produksi pasca penasionalisasian perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di Indonesia. Begitu juga pada perkebunan tembakau di Kecamatan Wedi, pasca diadakan nasionalisasi tersebut, produksi tembakau mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh masih adanya pengaruh pendudukan Jepang sebelum itu, hampir seluruh perkebunan di wilayah Wedi dialihfungsikan untuk menanam tanaman bahan pangan serta tanaman rosella, dan terjadinya perang kemerdekaan (1945-1949) telah mengakibatkan kehancuran bagi perekonomian Indonesia, serta kondisi politik yang tidak stabil setelah adanya proses nasionalisasi.4

Tembakau merupakan tanaman rakyat yang memiliki faktor-faktor kelemahan dalam pengusahaannya yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, untuk meningkatkan hasil kualitas dan produktivitas. Pada masa Orde Baru muncul kebijakan Revolusi Hijau, sebuah kebijakan dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah yang berupa benih unggul baru dari berbagai varietas komoditi yang mengakibatkan meningkatnya hasil panennya.5

Adapun tujuan dari Revolusi Hijau ini sendiri adalah mengubah pola pertanian tradisional menuju ke pola pertanian yang moderen, dengan kata lain memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi kebutuhan ekonomi nasional. Hal ini disebabkan,

4

Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia Menguatnya Peran Ekonomi Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 12.

5

Loekminto Soertrisno, Pertanian Pada Abad Ke 21, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan Dan Kebudayaan, 1998), hlm. 13.

(4)

saat pemerintahan Orde Baru memiliki tekad untuk memperbaiki seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk didalamnya kehidupan ekonomi. Setelah diadakannya stabilisasi dan rehabilitasi, kemudian dilaksanakan pembangunan nasional yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi dengan penekanan pada sektor pertanian. Sasaran utamanya adalah peningkatan pangan dan penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.6 Pada masa pemerintahan Orde Baru ini, pemerintah berupaya untuk membangun perkebunan dengan sasaran untuk meningkatkan taraf hidup petani. Berbagai cara dilakukan mulai dari mengadakan program UPP (Unit Pelaksanaan Proyek), lalu PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang kesemuanya kurang terlaksana dengan baik, hal ini diakibatkan oleh penanganan yang kurang matang.7

Guna meningkatkan sub sektor perkebunan pemerintah membuat sebuah kebijakan dengan menggunakan tiga cara yaitu diversifikasi, perluasan area, dan intensifikasi. Untuk komoditi tembakau program Intensifikasi baru dimulai sejak tahun 1983. Selain pada tanaman tembakau program intensifikasi ini dilakukan pula pada beberapa tanaman pertanian seperti tanaman pangan (padi) dan tanaman perkebunan yaitu tebu (Intensifikasi Tebu Rakyat), serta tembakau yaitu intensifikasi tembakau Vorstenlands (ITVL) dan intensifikasi tembakau virginia (ITV).8

6

Tubagus Hafids, “Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat Di Kecamatan Teras Boyolali Dalam Industri Pengolahan Tembakau Tahun 1984-998”, Skripsi, Sarjana Strata Satu Jurusan Ilmu Sejarah, FIB Universitas Sebelas Maret, hlm. 5.

7

Mubyarto., op.cit, hlm. 125.

8

(5)

Tujuan dari diadakannya intensifikasi tembaku ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi tembakau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun meningkatkan jumlah ekspor, dan meningkatkan penerimaan negara melalui peningkatan bea cukai dan peningkatan devisa hasil ekspor. Program ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan hubungan antara pihak perkebunan dengan petani sebagai pemilik sawah yang di sewa tanahnya dan menjadi mitra kerja bagi perkebunan dan saling menguntungkan.

B. Implementasi Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL) Program intensifikasi diterapkan di beberapa daerah yang mengusahakan tanaman-tanaman komoditi. Salah satu daerah yang menerapkan program intensifikasi ini adalah perkebunan tembakau di Kecamatan Wedi. Jenis intensifikasi yang diterapkan pada perkebunan tembakau Wedi-Birit di Kecamatan Wedi ini adalah intensifikasi tembakau Vorstenlands (ITVL). Hal ini dikarenakan jenis tanaman tembakau yang dibudidayakan di kecamatan Wedi merupakan jenis tembakau Vorstenlands. Jenis tembakau Vorstenlands merupaka jenis tembakau yang dulunya hanya ditanam dan dibudidayakan di daerah Vorstenlanden (tanah Kerajaan) yaitu sekitar wilayah Yogyakarta dan Surakarta, salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Klaten.

Adapun program intensifikasi yang diterapkan di Kecamatan Wedi ini terjalin antara dua pihak yaitu pihak perkebunan yang diwakili oleh PNP XIX dan pihak petani. Program ini berlangsung dari tahun 1983, yaitu sejak diberlakukannya program ITVL oleh pemerintah. Peserta dari program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands ini adalah para petani pemilik tanah yang mengusahakan tanaman tembakau pada tanah miliknya

(6)

sendiri, pemegang bengkok yang mengusahakan tanaman tembakau di atas tanah mereka, dan penggarap yang diberikan kuasa oleh pemilik tanah yang diusahakannya dengan ketentuan luas tanah garapannya termasuk tanah miliknya sendiri tidak lebih dari dua hektar.9 Adapun tanah yang dimanfaatkan untuk program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands ini terdiri dari tanah sanggan, lungguh, pituas, kas desa/tanah bengkok.

Kerjasama yang terjalin antara peserta atau kelompok tani dan pengelola dituangkan dalam sebuah surat perjanjian yang menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, yang diketahui oleh Kepala Desa. Adapun kewajiban pengelola adalah menyelenggarakan bimbingan tehnis operasional pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pengolahan hasil tembakau. sedangkan kewajiban petani sebagai pihak pelaksana dalam pengusahaan tanaman sejak dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan panenan/pengolahan hasil yang dikelompokkan dalam satu wadah kegiatan kerjasama kelompok tani. Program ITVL yang berada di kecamatan Wedi berjalan sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Klaten yang dikeluarkan pada setiap tahunnya sebelum musim tanam tembakau berlangsung. Program ITVL selain berdasarkan SK Bupati, juga dijalankan dengan pengarahan dan diawasi dalam pelaksanaannya oleh PNP XIX selaku pihak perkebunan.10

Program ITVL yang diterapkan di Kecamatan Wedi ini memiliki dua pola yaitu yang pertama petani melaksanakan usaha tani sendiri, sejak penanaman hingga

9

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: KB.420/148/Kpts/3/1984 tanggal 27 Maret 1984, tentang Program Intensifikasi Tembakau Musim Tanam Tahun 1984/1985, hlm. 14.

10

(7)

pengolahan hasil, kemudian kredit dari pemerintah dikelola langsung oleh petani (kelompok tani) dengan mendapat pengarahan dan bimbingan dari PNP XIX. Pola yang kedua yaitu pola kerjasama, dimana petani mengusahakan pengelolaan kredit yang diterima dari pemerintah kepada pengelola, petani tetap dibina agar pada akhirnya mampu melaksanakan usaha tani sendiri. Dari kedua pola tersebut sistem sewa tanah yang berlaku adalah petani hanya sekedar menyewakan tanahnya, sedangkan untuk usaha tani dilaksanakan oleh pihak perkebunan, dalam hal ini petani bersifat pasif, sedangkan untuk hasil produksi merupakan milik dari petani, kemudian dibeli oleh pihak perkebunan selaku pihak pengelola dengan harga yang telah ditetapkan secara musyawarah antara kedua belah pihak dalam koordinasi Satpel Bimas (Satuan Pelaksana Binaan Masal), dengan ketentuan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak.11 Dalam aplikasi pelakasanaannya pola yang dipakai untuk di daerah, sebagian besar masih mempergunakan pola yang kedua, begitu juga untuk pelaksanaan ITVL di Kecamatan Wedi juga menggunakan pola yang kedua.

1. Lahan Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Semenjak diterapkannya sistem kerjasama melalui program ITVL tahun 1983, lahan yang digunakan untuk pengusahaan tanaman tembakau berada pada 6 desa di Kecamatan Wedi. Adapun desa-desa yang lahannya digunakan tersebut adalah Kalitengah, Canan, Gadungan, Pandes, Birit, dan Sukorejo. Penurunan atas permintaan tembakau dipasaran mempengaruhi penggunaan lahan disekitar perkebunan. Selain itu

11

PTPN X(Persero), Makalah Dalam Rangka Rapat Kerja Pelaksanaan Program (ITVL) MT. 1989/1990.

(8)

alasan lain yang mendasari hanya beberapa desa yang digunakan untuk menanam tembakau ini adalah alasan tingkat kesuburan tanah dari tiap desa, adanya serangan penyakit tanaman tembakau di beberapa desa-desa.12

Di perkebunan Wedi-Birit penanaman tembakau dilakukan pada lahan persawahan yang pada umumnya digunakan pula untuk menanam tanaman pangan yaitu tanaman padi. Maka untuk mencegah hilangnya kesuburan tanah dilakukan berbagai cara untuk menanganinya, salah satunya yaitu dengan cara penggiliran penanaman tanaman pangan dengan penanaman tanaman tembakau. Pergantian tanaman yang terjadi di daerah Wedi dilakukan seperti berikut:

Tabel 3.

Siklus Alokasi Sawah di Kecamatan Wedi

Tahun Bulan Keterangan

I

Januari – Maret Tanaman padi

April – Agustus Garapan tanah untuk tembakau Agustus – Desember Tanaman tembakau

II

Januari – April Tanaman padi

Mei – Oktober Tanaman padi, gadung, atau palawija

November – Maret Tanaman padi III

April – Agustus Garapan tanah untuk tembakau Agustus – Desember Tanaman tembakau

Sumber: R.Sodo Adisewojo, Bertjotjok Tanam tembakau (Nicotiana tabacum), hlm. 12.

12

(9)

Adanya penggiliran penanaman tersebut memiliki tujuan untuk menjaga kualitas tanah akan kesuburannya. Hal ini karena tanah yang digunakan secara terus menerus dengan tanaman yang sama, maka tingkat kesuburan yang dimiliki akan mengalami penurunan. Lahan persawahan milik petani ini, tembakau bukan merupakan tanaman pokok mereka, sehingga memang harus dilakukan penggiliran penanaman guna memenuhi kebutuhan hidup petani dengan menanam tanaman pokok (padi) dan palawija (kacang-kacangan, singkong dan ubi). Dengan adanya penggiliran penanaman tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi petani, sebab tanah yang setelah ditanami tembakau, akan memberikan hasil tanam padi yang lebih bagus.13

Menurut Mubyarto dalam buku Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi, tanah merupakan faktor produksi utama dalam usaha perkebunan. Tanah diperlukan sebagai tempat tumbuh komoditi-komoditi yang diusahakan. Wedi merupakan sebuah daerah memiliki tanah subur yang sangat mendukung bagi berkembangnya usaha perkebunan maupun pertanian pada umumnya. Untuk mengatasi keterbatasan tanah yang dibutuhkan oleh perkebunan, jalan keluar yang digunakan adalah dengan cara menyewa tanah pada masyarakat di sekitar perkebunan.

Penanaman tembakau di perkebunan Wedi-Birit telah berlangsung sejak Kolonial Belanda berkuasa di Indonesia. Sejak Belanda hingga perkebunan dikuasai dan dikelola oleh bangsa Indonesia, berbagai macam sistem penanaman telah diterapkan pada perkebunan tembakau Wedi-Birit guna meningkatkan hasil produktivitas dan mutu

13

(10)

tembakau. Dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan untuk penanaman tanaman tembakau, salah satunya adalah sistem sewa atau bagi hasil.

Adapun pola kerjasama yang dipakai dalam hubungan antara petani dan perkebunan adalah sistem bagi hasil. Dalam hubungan kerjasama yang menggunakan sistem bagi hasil biasanya terdapat pada masyarakat yang masih bercorak feodal, kapitalis dan sosialis, serta mengedepankan pertanian sebagai basis utama perekonomiannya. Pada masyarakat yang masih memegang sistem seperti ini biasanya masyarakat yang erat kaitannya dengan pertanian, seperti yang diungkapkan Scheltema,

Bagi hasil pada hakekatnya dilihat sebagai pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah dan penggarap dalam suatu hubungan tertentu. Hubuangan tersebut tidak terutama bersifat hukum, lagi pula apabila hubungan tersebut dicirikan oleh suatu transaksi atau perjanjian yang melibatkan uang, maka tidak dikatakan adanya hubungan bagi hasil. Hubungan-hubungan antara pemilik dan penggarap tanah yang bersifat ekonomis dan memakai uang sebagai imbalan dan bukan nyata-nyata membagi hasil, tidak tercakup di dalam definisi bagi hasil.14

Dalam pelaksanaannya kerjasama yang terjalin dalam program ITVL ini adalah semua pembiayaan mengenai penanaman tembakau berasal dari PNP XIX sebagai pihak pengelola program, petani hanya menyewakan lahan dan menggarap lahan. PNP XIX menanggung semua biaya mulai dari awal penanaman hingga panen, seperti penyediaan bibit, pupuk bagi tanaman dan segala kebutuhan kebun. Pembiayaan diberikan oleh PNP tersebut bersifat pinjaman, jadi petani meminjam uang dari PNP untuk pembiayaan penanaman tembakau. Petani mengembalikan uang pinjaman tersebut setelah panen

14

Scheltema, Bagi Hasil Di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 6.

(11)

berlangsung dengan memotong hasil penjualan daun tembakau kering yang disetorkan ke PNP XIX.15

Pada masa sistem sewa atau bagi hasil ini berlangsung, areal tanah dibagi menjadi dua blok yaitu blok A dan blok B. Penanaman tembakau dilakukan secara bergantian pada tiap blok tiap tahunnya.16 Sistem sewa atau bagi hasil ini berbeda dengan sistem penanaman yang di pakai dalam perkebunan tembakau sebelumnya yaitu sistem koletif, yang berlangsung pada tahun 1962 hingga 1969. Pada sistem ini petani diwajibkan untuk menyerahkan lahan pertanian kepada PNP XIX sesuai SK Bupati yang telah dikeluarkan. Bedanya dengan sistem sewa, dalam sistem koletif ini meski lahannya diserahkan, namun petani masih aktif dalam pengusahaan penanaman tembakau, yang meliputi pembukaan area pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan, petik atau panen, pengeringan, dan penyerahan tembakau kepada PNP XIX.17 Kerjasama yang terjalin antara pihak perkebunan dengan petani merupakan kombinasi antara bagi hasil dan kontrak sewa. Pada masa diberlakukannya sistem sewa ini kemudian muncul program kerjasama antara perkebunan dengan petani yang bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi tembakau melalui program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL).

Kerjasama yang terjalin antara petani dengan PNP XIX dalam penyewaan tanah pada sistem ITVL setiap tahunnya diawali dengan adanya Surat Keputusan Bupati yang

15

Wawancara Dengan Bapak Sukino, Tanggal 02 Mei 2016.

16

Faturochman dan Bimo Walgito, “Ketidak Berdayaan Pemilik Lahan Sawah Dan Ketidakadilan Terhadap Mereka: Kasus Penanaman Tembakau di Klaten”, Jurnal Populasi, Volume. 1 No. 13, 1999, hlm. 71.

17

(12)

mengharuskan pemilik menyerahkan sawahnya untuk ditanami tembakau. Setelah turunnya Sk tersebut kemudian petani diharuskan mempersiapkan lahan yang dimiliki, dalam artian tanah harus segera dikosongkan dari berbagai jenis tanaman lain hingga pada akhirnya diserahkan kepada pihak perkebunan dan kemudian diolah lalu ditanami tembakau.18

Dalam perjalanannya program ITVL ini tidak berjalan semulus yang direncanakan. Terjadi naik turun hasil dalam program ini yang disebabkan oleh berbagai faktor. Masa tanam tahun pada tahun 1988/1989 hingga 1989/1990 panen dari daun tembakau berada pada hasil yang tinggi berkisar 1.156.643 sampai 1.655.408, dengan harga jual 915/Kg sampai 950/Kg. Hal ini cukup mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak pada musim-musim tertentu, saat panen mengalami kenaikan. Akan tetapi, pada tahun-tahun tersebut pula telah terjadi pengurangan lahan areal penanaman tembakau pada program ITVL, yang semula luas areal yang digunakan adalah 1.400 Ha kemudian dipangkas atau dikurangi sehingga menjadi 1.000 Ha, total luas lahan yang digunakan disemua daerah yang menerapkan ITVL. Hal ini disebabkan adanya penurunan kualitas dari daun tembakau yang tidak sesuai dengan permintaan pasar. Dengan dikuranginya lahan sebagai areal penanaman tembakau ini mempengaruhi pula pengurangan kerjasama antara perkebunan dengan petani.19

18

Wawancara dengan Bapak Yadi, pada 02 Mei 2016.

19

Koleksi Arsip PTPN X (Persero) Unit Klaten, tentang Sambutan Direksi PN. Perkebunan XIX dalam Rapat dengan Kelompok Tani Peserta Program ITVL dan Pemerintah Daerah ingkat II Kabupaten Klaten Tanggal 4 Maret 1989.

(13)

Dengan masuknya sistem perkebunan tembakau pada masyarakat Klaten, masyarakat mulai mengenal sistem sewa tanah. Kebanyakan perusahaan menyewa areal tanah untuk penanaman tiap musim tanam dari masyarakat desa atau dari pemilik tanah pribadi. Dalam sistem penggarapan tanah tersebut diatur sejak awal penyerahan tanah. Tanah yang disewa untuk penanaman tembakau harus diserahkan kira-kira antara bulan Juni dan pada bulan Agustus mulai dikerjakan. Namun penyerahan lahan tersebut sering mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan.

Adanya keterlambatan penyerahan lahan dari petani kepada pihak perkebunan pada tiap musim masa tanam tembakau, dapat mempengaruhi keberlangsungan produktivitas perkebunan. Keterlambatan penyerahan lahan tersebut diakibatkan oleh lahan yang sebelumnya ditanami tanaman pangan dan palawija. Munculnya permasalahan tersebut mengharuskan pihak perkebunan untuk mencari cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Guna mencegah semakin menurunnya produktivitas perkebunan, maka pihak perkebunan memberlakukan sistem ajon-ajon.

Sistem ajon-ajon merupakan pemberian uang guna ganti rugi oleh pihak perkebunan kepada petani. Dikatakan sebagai uang ganti rugi karena tanah yang sudah diberikan uang ajon-ajon, petani tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah menjadi hak perkebunan sampai tanah itu selesai digunakan untuk menanam tembakau. Jangka waktu persewaan tanah selama satu musim tanam tembakau, selama kurun waktu tersebut petani tidak berhak untuk mengolah tanahnya, dan hak pengelolaan atas tanah menjadi hak PNP XIX. Adapun besarnya ajon-ajon yang diberikan kepada petani pada setiap bulanya sebesar 1/7 (satu per tujuh) dari sewa pokok yang telah ditentukan. Besarnya

(14)

ajon-ajon bisa berbeda-beda tergantung cepat tidaknya waktu penyerahan, semakin cepat penyerahan lahan semakin besa jumlah ajon-ajon.20 Dengan sistem ajon-ajon ini pihak perkebunan memiliki keuntungan yaitu dapat memperoleh kepastian tanah untuk proses penanaman tembakau, berbeda dengan petani yang mendapat kerugian yaitu kehilangan haknya atas tanah-tanah yang dimilikinya, selain itu masa tanam padi juga menjadi tidak sesuai jadwalnya.21 Sistem ajon-ajon ini muncul pada saat sistem koletif berlangsung hingga sistem sewa dan saat program ITVL ini berlangsung sistem ajon-ajon ini masih digunakan.

Dalam urusan penyewaan lahan dari petani oleh pihak perkebunan pemerintah selalu memiliki andil didalamnya. Hal ini dikarenakan oleh dasar dari adanya kerjasama antara petani dan pihak perkebunan dalam sistem ITVL setiap tahunnya diawali dengan adanya Surat Keputusan Bupati yang isinya mengharuskan pemilik menyerahkan sawahnya untuk ditanami tembakau. Peran Surat Keputusan pada pihak petani merupakan sebuah tanda bahwa petani harus segera menyerahkan sawahnya atau tidak. Sebelum diserahkan kepada pihak perkebunan sawah harus dipersiapkan terlebuh dahulu, yaitu sawah harus dikosongkan dari segala jenis tanaman pangan dan sejenisnya yang sengaja ditanam.

20

Normalia Puspitasari, Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Klaten Tahun 1970-1983, Skripsi, Sarjana strata Satu Jrusan Pendidikan IPS, FISIP Universitas Sebelas Maret, 2007, hlm. 28.

21

(15)

a. Luas Areal Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Luas areal yang digunakan untuk menanam tembakau di perkebunan tembakau Wedi-Birit tergantung dari jumlah permintaan pasar terhadap tembakau pada tiap tahunnya, sehingga luas areal tiap tahunnya bisa berbeda-beda. hal ini disebabkan lahan pada perkebunan tembakau Wedi-Birit bukan merupakan milik perusahaan perkebunan, melainkan milik dari petani sekitar yang disewa dengan sistem kerjasama untuk digunakan menanam tembakau. Rata-rata petani di Kecamatan Wedi memiliki lahan dengan luas 0,20 hektar, dengan 1 patoknya ada yang dimiliki hampir 8 sampai 10 orang.22

Saat pelaksanaan program ITVL penyediaan areal pada masing-masing kabupaten ditentukan oleh Kepala Daerah Tingkat I setempat. Luas areal yang dipergunakan untuk Program intensifikasi tembakau pada tiap daerah dan tiap jenis tembakau berbeda-beda, untuk program ITVL areal yang digunakan seluas 1.400 Ha, meliputi beberapa daerah yang menerapkan program ITVL dan Kecamatan Wedi menjadi salah satu daerah didalamnya. Luas areal yang digunakan untuk Kecamatan Wedi pada tiap musim tanamnya berkisar antara 173-221 Ha. Luas lahan yang digunakan tergantung dari permintaan tembakau di pasaran. Pihak perkebunan yang diwakili oleh PNP sebagai pengelola memberikan uang muka kepada petani peserta program ITVL sebesar Rp 300.000,-/Ha, untuk setiap lahan yang digunakan.23

22

Surat Direksi PNP XIX Nomor: 13/RHS/1987, tentang pelaksanaan ITVL.

23

Surat Administratur PN Perkebunan XIX Kebun Wedi-Birit Nomor: 14/D.7/350/1989, Tentang Uang Muka ITVL.

(16)

Tabel 4.

Luas Areal, Produksi Kering Los dan Harga tembakau Vorstendlands pada Tahun 1988-1997

Musim Tanam

Luas Areal (Ha)

Produksi Rerata (Kg/Ha) Harga (Rp/Kg)

1988 1.402,17 1.655.408 1.181 915 1989 946,93 1.156.643 1.221 960 1990 460,18 570.242 1.239 1. 205 1991 572,31 702.154 1.227 1. 302 1992 461,44 520.515 1.128 1. 405 1993 486,82 573.642 1.178 1. 505 1994 492,85 633.374 1.282 1. 650 1995 519,26 605.313 1.166 1. 800 1996 495,37 711.646 1.437 1.850 1997 513,64 768.024 1.495 4.100

Sumber: PT Perkebunan XXVII.

Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa hasil produksi dari tembakau pada setiap tahunnya tidak selalu sama, juga tidak mengalami kenaikan yang stabil. Dalam tabel tersebut hasil produksi mengalami fluktuasi atau naik turun pada hasil panen. Naik turun yang terjadi pada hasil produksi dan harga daun tembakau kering ini setiap tahunnya tidak selalu sama. Untuk harga tembakau sendiri mengalami kenaikan setiap musim tanam namun kenaikan tersebut tidak sesuai dengan harapan petani. Kenaikan harga jual tembakau tersebut mengalami puncaknya pada tahun 1997 mencapai Rp 4.100/Kg daun tembakau kering.

Naik turunnya permintaan tembakau di pasaran atau produksi tembakau mempengaruhi luas lahan yang dipergunakan untuk menanam tembakau. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tersebut yaitu saat permintaan tembakau naik maka

(17)

lahan yang digunakan akan ikut meluas, begitu juga sebaliknya jika permintaan terhadap tembakau menurun maka lahan yang digunakan pun akan ikut dikurangi.24 Selain faktor tersebut ada alasan lain yaitu adanya persaingan antara tanaman perkebunan dan tanaman pangan yang semakin menguntungkan. Berbeda dengan tanaman tembakau yang pada tahun-tahun tersebut tengah mengalami penurunan kualitas, sehingga hasilnya tidak mampu bersaing dengan tembakau lain di pasaran. Pada masa Orde Baru tengah gencar dilakukan peningkatan terhadap pertanian tanaman pangan, sehingga tidak heran apabila tanaman selain tanaman pangan kedudukannya tergeser.

Mulai tahun 1990-an terjadi penurunan permintaan sekaligus juga penurunan harga tembakau. Hal ini disebabkan pasaran tembakau dunia didominasi oleh tembakau yang berasal dari Amerika Selatan, sehingga permintaan akan tembakau Indonesia mengalami penurunan, kemudian mempengaruhi terhadap harga jual tembakau yang menurun pula.

Perkebunan tembakau Wedi-Birit mulai mengalami gejolak pada tahun 1998, dimana terjadi kemerosotan pada hasil panenan, yang diakibatkan oleh penurunan kualitas dan kuantitas dari hasil panen daun tembakau, pada tiap tahunnya yang dihasilkan oleh perkebunan tembakau Wedi-Birit ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Walaupun telah diterapkan program ITVL yang digadang sebagai Program yang mengubah sistem penanaman dari tradisional ke moderen, tidak bisa dihindari pula penurunan mutu pada daun tembakau pada tiap musim panen. Hal ini disebabkan oleh

24

Wawancara dengan Kepala Gudang Pengolahan kebun Wedi-Birit, Pada Tanggal 02 Mei 2016.

(18)

beberapa faktor yang salah satunya merupakan faktor alam, yaitu terjadinya peningkatan curah hujan yang turun pada kecamatan Wedi mengakibatkan menurunnya mutu (kualitas dan kuantitas) dari daun tembakau yang dihasilkan, selain itu kurangnya ketelitian dalam pengolahan seperti adanya penggantian bibit tembakau yang ditanam hingga sebab penggantian pupuk. Alasannya karena petani tidak mampu membeli pupuk impor, harga pupuk impor mengalami kenaikan yang disebabkan oleh krisis dari tahun 1997-1998. Hal ini lah yang kemudian mempengaruhi penurunan kualitas dan kuantitas daun tembakau yang dihasilkan pada tiap panen, yang berimbas kepada merosotnya hasil panen.

Pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 11% pada ke tiga perkebunan tembakau andalan Indonesia yaitu Besuki, Deli dan Surakarta (Klaten). Penurunan yang terjadi dari tembakaku yang dihasilkan pada tahun sebelumnya sebesar 17.624 ton merosot hanya menjadi 15.626 ton saja. Disisi lain harga jual tembakau mengalami kenaikan dari harga yang sebelumnya hanya US$ 6.245 per ton naik menjadi US$ 10.449 per ton. Harga jual tembakau dari tahun 1997 ke tahun 1998 mengalami kenaikan sebesar 67%.25

b. Hasil Perkebunan Tembakau Wedi-Birit

Pada periode tahun 1983-1988, perkembangan produksi tembakau di Indonesia menunjukkan adanya perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Budidaya tanaman tembakau di wilayah Klaten terutama Kecamatan Wedi merupakan jenis tembakau cerutu. Tembakau ini umumnya untuk diekspor ke luar negeri. Semua tembakau yang diekspor dari perkebunan tembakau Indonesia adalah tembakau cerutu,

25

(19)

dengan pasaran di Breman. Produsen tembakau Deli khusus daun pembungkus halus, sedangkan untuk tembakau Vorstenlands diklasifikasikan sebagai bladtabak dan krosok.26

Pada perkebunan tembakau yang berada di wilayah Kabupaten Klaten ini menanam dua jenis tembakau yaitu jenis tembakau Virginia untuk perkebunan Kebonarum dan Gayamprit, untuk jenis tembakau Vorstenlands ditanam pada perkebunan Wedi-Birit. Untuk jenis tembakau Vortenlanden ditanam dengan menggunakan dua sistem penanaman yaitu tembakau bawah naungan (TBN) namun sering juga disebut VBN (Vorstenlands Bawah Naungan) yang ditanam mulai bulan Maret hingga September dan tembakau NO (Na-Oogst) yaitu tembaku yang ditanam antara bulan Juni sampai Desember.27

Adapun hasil produksi dari perkebunan tembakau ini berupa daun tembakau yang telah dikeringkan. Daun yang telah dikeringkan dibagi menjadi tiga tipe yaitu untuk bahan isi cerutu (Filler), pembungkus (omblad), dan bahan pembungkus (deckblad). Dari ketiga jenis daun tersebut memiliki harga yang berbeda-beda pula. Pengusahan tembakau cerutu, selama dikelola oleh PNP XIX memiliki manajemen yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil produktivitasnya yang cukup tinggi dan memiliki mutu yang relatif baik, untuk setiap tahunnya tembakau cerutu Vorstenlands ini menghasilkan 1.500

26

Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko, op.cit, hlm. 40.

27

(20)

kg per hektar. Untuk hasil tembakau dari perkebunan tembakau Vorstenlands ini merupakan yang paling banyak dibandingkan perkebunan tembakau lainnya.28

Banyak sedikitnya hasil produksi daun tembakau pada perkebunan tembakau Wedi-Birit sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan cara pengolahan. Apabila saat penanaman berlangsung curah hujan cukup tinggi dan keadaan berkabut maka daun tembakau yang dihasilkan akan kurang bagus, bahkan bisa mengakibatkan kebusukan pada daun tembakau. Selain itu perawatan yang dilakukan saat penanamn tembakau berlangsung juga mempengaruhi terhadap hasil daun, sebab jika perawatan yang dilakukan tidak sesuai maka akan menimbulkan beberapa penyakit dan serangan hama pada daun tembakau.

Produksi tembakau periode tahun 1980-an, yang dihasilkan oleh perkebunan di Kecamatan Wedi ini mengalami peningkatan hasil atau peningkatan produksi. Pada awal tahun 1983, produksi mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dibandingkan pada tahun sebelum-sebelumnya. Namun saat periode 1980-1985 produksi tanaman komoditi tengah mengalami fluktuasi, yaitu sebuah keadaan ketidakstabilan pada hasil produksi daun tembakau.29

Adanya tembakau yang di produksi oleh negara lain di pasaran dunia serta adanya daun tembakau sintetis dan munculnya kelapa sawit sebagai primadona ekspor komoditi pada awal tahun 1980-an, merupakan faktor terjadinya fuktuasi pada hasil produksi daun

28

PT Perkebunan X, Pedoman Manajemen Operasional Budidaya Tembakau Vorstenlands.

29

(21)

tembakau, selain faktor menurunnya kualitas dan kuantitas daun tembakau. adanya ketidak stabilan hasil produksi dapat dilihat pada tabel nilai ekspor berikut:

Tabel 5.

Berat dan Nilai Ekspor Tembakau Indonesia Tahun 1983-1987

Tahun Berat (000 Ton) Nilai (000 US$) 1983 25,7 47.556 1984 23,0 44.629 1985 21,1 45.079 1986 24,9 72.320 1987 7,4 29.910 Sumber: P3PK UGM (1989).

Menurut kesepakatan dalam program ITVL, petani peserta program ITVL wajib menjual hasil panen mereka kepada PNP XIX selaku pihak pengelola, yang membina petani peserta program. Penjualan yang dilakukan meliputi daun tembakau yang telah dikeringkan terlebih dahulu di los-los pengeringan. Untuk setiap kilogram daun tembakau kering dengan panjang sekurang-kurangnya 20 cm petani menerima harga senilai dengan dua kali harga dasar gabah kering giling menurut ketentuan yang berlaku. Petani menerima pembayaran daun tembakau secara keseluruhan (total) senilai dengan harga sepuluh kwintal tembakau kering, pembayaran uang hasil panen ini sudah termasuk dengan uang muka yang telah diberikan sebelumnya. Petani menerima uang pembayaran

(22)

hasil panen secara tunai setelah uang dikurangi uang pinjaman yang telah sebelumnya dipinjam oleh petani selama masa tanam berlangsung.30

PNP XIX selaku pihak perkebunan membeli daun tembakau kering dari petani dengan harga Rp 1.850/Kg. harga beli dari PNP XIX ini tergantung dari nilai jual tembakau di pasaran dunia, apabila harga tembakau di pasaran ekspor mengalami kenaikan maka harga beli juga akan naik begitu sebaliknya jika pasar ekspor menurun maka harga beli juga ikut turun. Untuk harga beli daun tembakau dari petani oleh pihak perkebunan sempat juga mengalami kenaikan yaitu dari tahun 1996 harga jual hanya mencapai Rp 1.850/Kg pada tahun 1998 mampu menembus harga beli sebesar Rp 4.100/Kg.31

c. Kendala yang Terjadi Selama Pelaksanaan Program ITVL

Pelaksanaan program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands atau ITVL tidak lepas dari masalah keterbatasan atau kendala. Baik kendala yang dialami oleh pihak perkebunan maupun dari pihak petani. Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam program ini yang pertama yaitu sempitnya lahan yang dimiliki oleh petani yang mengikuti program ITVL ini, bagi perkebunan kepemilikan lahan yang sempit yaitu 0,20

30

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: KB.420/148/Kpts/3/1984 tanggal 27 Maret 1984, tentang Program Intensifikasi Tembakau Musim Tanam Tahun 1984/1985, hlm. 17.

31

http://www.academia.edu/28332898/Objektivitas_Media_dalam_Gerakan_Sosia l_Mengurai_Keterlibatan_Media_dalam_Jejaring_Gerakan_Petani_Vorstenlands,

(23)

hektar ini lebih menguntungkan pihak petani, dengan sempitnya lahan yang diserahkan kepada pihak perkebunan dirasa tidak bisa memberikan keuntungan bagi perkebunan. 32

Disisi lain pengharusan penyerahan lahan lebih dini, dirasa merugikan bagi petani. Hal ini dikarenakan apabila sudah masuk bulan penyerahan lahan untuk penanaman tembakau, maka petani harus segera mengosongkan lahan mereka dari tanaman-tanaman yang ada. Selain itu, petani mengharapkan selama lahan digunakan untuk menanam tembakau menghasilkan sejumlah uang yang sama ketika lahan ditanami tanaman pangan atau padi. Petani menginginkan harga jual tembakau, berpatokan pada harga jual gabah. Perhitungan antara dua jenis tanaman yang diusahakan petani akan sesuai bila menggunakan patokan perbandingan produktivitas padi dibandingkan dengan tanaman tembakau 4:1. Maksud dari perbandingan 4:1 tersebut yaitu harga satu kilogram tembakau sama dengan harga empat kilogram gabah.33 Pada tahun 1990-an harga gabah sekitar Rp 1.000/Kg, sehingga bila dihitung sesuai keinginan petani yaitu 4:1 tersebut harga tembakau menjadi Rp 4.000/Kg.

Kendala selanjutnya adalah kurangnya tenaga kerja di daerah dilaksanakannya program ITVL yaitu wilayah kecamatan Wedi, yang menyebabkan petani pemilik lahan ragu apakah mampu mengatasi kekurangan tenaga kerja ini, ditambah dengan tingginya mobilitas tenaga kerja di daerah yang sebagian besar merupakan buruh tani/petani penggarap artinya bahwa pemilik lahan pertanian sebagian besar sudah mempunyai

32

Koleksi Arsip PTPN X (PERSERO) Unit Klaten, Surat Direksi PN PERKEBUNAN XIX Nomor: 13/RHS/1987, hlm. 1

33

Faturochman, “Krisis Dan Nasib Buruh Di Perdesaan”, Jurnal Populasi, Volume 1, Universitas Gajah Mada 1999, hlm. 78.

(24)

profesi diluar sektor pertanian. Biasanya petani memiliki pekerjaan lain selain bertani di rumah mereka memiliki pekerjaan diluar daerah selain menjadi petani. Sehingga memungkinkan mereka meninggalkan daerah asal dalam jangka waktu yang cukup lama.34

Kendala lainnya yaitu tempat tinggal dari pemilik lahan tidak sama dengan tempat/lokasi lahan, banyak sekali petani yang memiliki lahan pertanian/sawah di luar desa mereka sehingga lokasi sawah dan rumah mereka cukup jauh, hal ini menyulitkan pendataan oleh pihak perkebunan. Serta kendala mengenai persyaratan baku tehnis yang terlalu tinggi dalam persiapan dan pengolahan lahan, serta rumitnya ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi pada waktu tanam, pemeliharaan tanaman, petik, angkut dan proses di los pengeringan serta ketentuan dalam proses lainnya membuat petani merasa takut dan tidak yakin akan pelaksanaan progran ITVL ini.35

34

Ibid.

35

Referensi

Dokumen terkait

8 Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: (1) bagi peneliti sendiri, penelitian ini memberikan banyak tambahan ilmu dan pemahaman

Berhubung daerah yang akan di eksplorasi berada pada daerah tropis sehingga ketersediaan energi matahari cukup memadai untuk menghasilkan listrik, maka perancang

Standar piperine dilarutkan dalam etilena diklorida, dimasukkan dalam labu ukur untuk membuat larutan standar piperine dengan konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm

Dengan demikian belum ada yang meneliti akan pentingnya karakterisasi lima isolat cendawan endofit tanaman padi sebagai agen antagonis Pyricularia oryzae, oleh

Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan

Dengan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa basalt adalah salah satu bahan alam yang dapat dipergunakan sebagai pengganti asbes pada kampas rem kendaraan bermotor..

Ini juga saya kira harus jadi perhatian kita bahwa, tidak selalu pendidikan profesi yang dilaksanakan oleh universitas itu selalu terkait dengan kementerian teknis atau mungkin

antiguo régimen estaba gravado el estanco del tabaco y, como el Estado no se hacía cargo de la deuda navarra, “la cantidad necesaria para el pago de réditos de su deuda y