• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Badan Hukum Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebagai Penguatan Hukum Ekonomi Kerakyatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Badan Hukum Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebagai Penguatan Hukum Ekonomi Kerakyatan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

JIUBJ

ISSN 1411-8939 (Online) | ISSN 2549-4236 (Print) Erisa Ardika Prasada, Joni Emirzon, K.N. Sofyan Hasan

233

Konsep Badan Hukum Perhimpunan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebagai Penguatan

Hukum Ekonomi Kerakyatan

Erisa Ardika Prasada1, Joni Emirzon2, K.N. Sofyan Hasan3 1Faculty of Law, Islamic University of Ogan Komering Ilir

2,3Faculty of Law, Sriwijaya University Correspondence email: ardika.prasada@gmail.com

Abstract. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) was established and developed with a gradual process of legal legality, namely BMT in

which its legal entity was not yet known, BMT that had not had a legal entity, and BMT that had a diverse legal entity. This writing aimed at analyzing the concept of legal strengthening of BMT in Indonesia. This type of legal research was normative legal research on legal principles and legal systematics. Based on the discussion, it was concluded that BMT could be a legal entity because it had fulfilled the requirements requested by legislation, namely the general rule of Article 1653 of the Civil Code which stated that in addition to genuine civil fellowship, the law also recognized assembly of people as legal entity, both held or recognized by the government, or the assembly was accepted as permitted, or had been established for a specific purpose that was not contrary to law or good morality. Juridical considerations for BMT institutions were legal legality for every sharia economic activity and the variety and partial legal norms of BMT.

Keywords: Assembly, BMT, Legal entity

PENDAHULUAN

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah salah satu model sistem ekonomi kerakyatan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Menurut Mubyarto, sebagaimana dikutip Bernhard Limbong (Limbong, 2013), sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi, dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik di antara sentra dan pelaku usaha masyarakat.

Sistem ekonomi kerakyatan mampu memperkuat struktur perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997. Menurut Asykuri Ibn Chamim (Asykuri Ibn Chamim, 2003), beberapa alasan ketahanan ekonomi kerakyatan di tengah krisis yang melanda Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Terkait dengan struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang lebih banyak disumbang oleh besarnya pengeluaran konsumsi yang pada umumnya memiliki pola permintaan inelastik terhadap pendapatan. Barang-barang tersebut dihasilkan oleh sektor ekonomi rakyat.

2. Sektor ekonomi rakyat tidak banyak mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga, sehingga meskipun sektor keuangan dilanda krisis, hal ini tidak banyak berpengaruh terhadap usaha ekonomi rakyat.

3. Sektor ekonomi rakyat fleksibel untuk keluar masuk pasar, menyesuaikan dengan situasi permintaan yang ada, sehingga sektor ini dapat tetap bertahan di pasar dalam kondisi apapun.

Keberadaan BMT sebagai salah satu perintis lembaga keuangan syariah sangat diperlukan untuk menjangkau dan mendukung para pengusaha mikro dan kecil di seluruh pelosok Indonesia yang belum dilayani

oleh perbankan yang ada pada saat ini, namun BMT didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap. Dasar pemikiran mengenai pembentukan badan hukum untuk BMT adalah pada permasalahan status hukum dan badan hukum yang beragam dari lembaga keuangan BMT. Status hukum BMT terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. BMT yang Belum Diketahui Badan

Hukumnya/BMT Berbasis Masjid

BMT yang badan hukumnya belum diketahui disebabkan karena awal pendiriannya dimulai dari kegiatan di masjid dan belum didaftarkan kepada notaris. Fenomena di sejumlah kota di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian masjid telah berfungsi selain sebagai tempat ibadah (shalat), juga sebagai tempat pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, dan kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, keberadaan masjid memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat lingkungannya (Nurul Huda, 2016).

2. BMT yang Belum Berbadan Hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Pada awal pendirian BMT, aset yang dimiliki adalah Rp 5.000.000,00-Rp20.000.000,00, biasanya lebih kecil dari Rp100.000.000,00. Pada umumnya menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan mendapat Surat Keterangan Operasional dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).

3. BMT yang memiliki badan hukum beragam yaitu Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992), Yayasan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004), Perseroan Terbatas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) melalui tahap-tahap transformasi BMT.

Dari beragam badan hukum BMT yang ada, tidak ada yang sesuai dengan manajemen BMT. Koperasi adalah badan hukum yang paling mendekati karakteristik BMT, namun tidak semua terpenuhi

(2)

234 manajemen BMT dalam Koperasi Simpan Pinjam dan

Pembiayaan Syariah (KSPPS). Demi kepastian hukum keberadaan BMT sebagai subjek hukum dalam melakukan perbuatan hukum, penulis memandang perlu dilakukan penguatan hukum BMT, dengan konsep membentuk badan hukum perhimpunan BMT beserta perangkat hukumnya. Badan hukum perhimpunan BMT tersebut dapat memenuhi karakteristik BMT yang meliputi manajemen keuangan baitul maal yaitu pengumpulan dan penyaluran dana ZIS (Zakat, Infaq, dan Sedekah) dari masyarakat, dan baitul tamwil yang melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha mikro melalui kegiatan pembiayaan dan menabung yang berasaskan sistem ekonomi kerakyatan yang melaksanakan kegiatan manajemennya sesuai dengan prinsip Islam.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum dan sistematika hukum. Penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin yang berlaku (Ali Z. , 2011), yaitu untuk menemukan dan menganalisis konsep penguatan hukum terhadap lembaga BMT sebagai ekonomi kerakyatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Penguatan Hukum Lembaga Ekonomi Kerakyatan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Indonesia

Konsep penguatan hukum lembaga ekonomi kerakyatan BMT di Indonesia, sesuai dengan fungsi hukum terhadap pembangunan ekonomi, yaitu: (Mardani, 2015)

1. Pembangunan hukum yang merupakan bagian dari pembangunan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan tidak terlepas dari hubungan dengan permasalahan hukum. Hukum dan ekonomi merupakan salah satu ikatan klasik antara hukum dan kehidupan sosial. Dipandang dari sudut ekonomi, kebutuhan untuk menggunakan hukum sebagai suatu lembaga di masyarakat, turut menentukan kebijakan ekonomi yang akan diambil.

2. Hukum berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam pembangunan ekonomi.

3. Ketentuan-ketentuan hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi berbagai kegiatan ekonomi dengan harapan pembangunan ekonomi tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Untuk melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat yang umumnya dituangkan dalam bentuk hukum formal, bertujuan untuk mewujudkan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan ekonomi.

Konsep penulis mengenai penguatan hukum lembaga ekonomi kerakyatan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Indonesia adalah (1) dibentuknya badan hukum

Perhimpunan BMT dan (2) dibentuk perundang-undangan khusus pengelolaan BMT karena badan hukum yang telah terbentuk memerlukan perundang-undangan sebagai norma hukumnya. Badan Hukum Perhimpunan BMT

Dasar Hukum BMT sebagai Badan Hukum

Ada syarat-syarat agar suatu perkumpulan, badan atau badan usaha itu dapat dikatakan mempunyai kedudukan sebagai suatu badan hukum. Hal ini berhubungan dengan sumber hukum. Adanya badan hukum tergantung pada syarat mana yang telah dipenuhi oleh perkumpulan, badan, atau badan usaha tersebut dan ini dapat dikaji dari sumber hukum yang formal, yaitu ada kemungkinan bahwa telah dipenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan, atau telah dipenuhi syarat yang diminta oleh hukum kebiasaan, atau oleh yurisprudensi, atau oleh doktrin, yang akan dijelaskan sebagai berikut, (Ali C. , 2014):

Syarat- Syarat yang Diminta Oleh Perundang-Undangan

Persyaratan badan hukum sebagaimana diminta oleh peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Oleh hukum dengan dua jalan suatu badan atau organisasi dapat dijadikan badan hukum dengan berpedoman pada pasal 1653 KUHPerdata, yaitu: a. Dinyatakan dengan tegas, bahwa suatu badan

hukum atau organisasi adalah badan hukum, seperti BIN adalah suatu badan hukum, Bank Rakyat Indonesia adalah suatu badan hukum, b. Tidak secara tegas dinyatakan, tetapi dengan

peraturan sedemikian rupa, bahwa badan itu adalah badan hukum. Hingga dari peraturan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa badan itu adalah badan hukum, seperti Bank Tabungan Pos merupakan badan hukum.

Selain dari itu, terdapat pula ketentuan-ketentuan/aturan-aturan umum dan khusus yang tercantum dalam titel IX, buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu: a. Aturan Umum.

Dalam pasal 1653 KUHPerdata, ditentukan bahwa selain persekutuan perdata yang sejati, undang-undang juga mengakui perhimpunan dari orang-orang sebagai badan hukum, baik yang diadakan atau yang diakui oleh pemerintah, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai yang diperkenankan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik. Di sini terdapat tiga jenis badan hukum, yaitu:

1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah; 2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah; 3. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan. b. Aturan Khusus.

Dalam Pasal 1660 KUHPerdata yang menentukan hak-hak dan kewajiban anggota suatu perhimpunan, diatur menurut aturan-aturan yang

(3)

235 diadakan oleh yang berwajib/pemerintah. Apabila

aturan yang akan diberlakukan oleh pemerintah itu tidak ada, maka yang digunakan ialah apa yang ditentukan dalam Bab IX Buku III KUHPerdata.

2. Perkumpulan

Dalam KUHPerdata Buku III Bab IX, badan hukum tidak diatur secara khusus dan lengkap, sebagian dari isinya memuat peraturan-peraturan umum dan sebagian dari salah satu jenis badan hukum, yaitu perkumpulan. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan yang diatur dalam pasal 1653 KUHPerdata itu meliputi semua perkumpulan swasta yang menurut Stb. 1870-64 dianggap sebagai badan hukum dan untuk ini diperlukan pengakuan yang berupa pengesahan statutennya (anggaran dasarnya) dengan meninjau tujuan, asas, dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan tersebut. Pengesahan itu merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh perkumpulan yang berbadan hukum. Syarat-Syarat yang Diminta Oleh Kebiasaan dan Yurisprudensi

Kebiasaan dan yurisprudensi itu merupakan sumber hukum yang formal, sehingga apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan doktrin, orang berusaha mencarinya dalam kebiasaan dan yurisprudensi. Pada saat yayasan belum diatur secara khusus dalam perundang-undangan, sumber hukum formal yang digunakan saat itu adalah hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang telah memperkokoh eksistensi yayasan dalam pergaulan hukum, sebagai suatu badan hukum.

Syarat-Syarat yang Diminta Oleh Doktrin

Doktrin atau anggapan dari kalangan hukum, baik pendapat seseorang atau beberapa sarjana/ahli hukum yang lazimnya namanya terkenal. Anggapan atau tafsiran yang dibuat oleh ahli hukum itu mengenai peraturan hukum yang digunakan ataupun yang hendak diselesaikan. Dalam ilmu hukum, doktrin digunakan sebagai salah satu sumber hukum yang formal. Seperti misalnya dengan masalah badan hukum, anggapan atau pendapat ahli hukum sering digunakan untuk dasar memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang penulis maupun dasar keputusan hakim.

Mengenai syarat-syarat yang menentukan suatu organisasi, badan, atau perkumpulan itu badan hukum, kalangan hukum telah mengemukakan seperti berikut:

1. Sri Soedewi Masjchun Sofwan

Sri Soedewi Masjchun Sofwan menjelaskan pertama-tama yang merupakan badan pribadi (persoon) itu ialah manusia tunggal dan di samping itu oleh hukum dapat diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada sesuatu wujud yang disebut badan hukum. Status bagi badan hukum ini dapat diberikan kepada wujud-wujud tertentu, yaitu:

a. Kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan; yaitu berwujud perhimpunan.

b. Kumpulan harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan-tujuan tertentu, dalam masyarakat berwujud yayasan.

Baik perhimpunan maupun yayasan itu lalu mempunyai status sebagai badan hukum, jadi merupakan persoon, pendukung hak dan kewajiban.

2. Wirjono Projodikoro

Wirjono Projodikoro menjelaskan tentang ukuran atau kriteria badan hukum, yakni, (1) berdasarkan kebutuhan masyarakat, (2) berdasarkan ketentuan undang-undang. Dalam ilmu pengetahuan hukum, belum ada kata sepakat mengenai kriteria suatu perkumpulan atau yayasan untuk dapat dikatakan sebagai suatu badan hukum. Bila diperhatikan mengenai kebutuhan masyarakat tentang adanya pengertian badan hukum, maka ukuran ini dapat diletakkan pada dua hal, yaitu (1) adanya benda kekayaan yang terpisah dari kekayaan orang-perseorangan yang bertindak, dan (2) adanya kepentingan kumpulan orang-orang, bukan perseorangan. Namun bila hanya ukuran ini saja yang digunakan, maka semua perkumpulan orang dengan peraturan yang sederhana, dapat dikatakan sebagai badan hukum, dan segala benda kekayaan yang berupa uang dikumpulkan oleh suatu panitia untuk suatu keperluan misalnya untuk menolong korban banjir besar dan sebagainya, harus dapat dikatakan sebagai badan hukum yayasan. Akan tetapi, nyatalah dirasakan bahwa di antara perkumpulan-perkumpulan orang dan pengumpulan-pengumpulan uang, harus ada batas, yang menyatakan mana dari badan-badan itu dapat dianggap sebagai badan hukum, mana yang tidak. Sepanjang pengetahuan saja dalam ilmu hukum, belum terdapat suatu batas ukuran yang prinsip. Apabila ukuran yang dapat dipakai adalah mengenai sifat tetap atau sementara dari berdirinya badan-badan tersebut, maka untuk badan-badan yang nampak sementara saja, tidak layak untuk dikatakan sebagai badan hukum. Ada hal yang menambahkan sebagai ukuran adanya badan hukum, yaitu pada tidak bertanggung jawabnya pengurus dan anggota dengan benda kekayaannya sendiri (prive).

3. Ali Rido

Ali Rido mengemukakan, syarat-syarat atau unsur-unsur yang dimintakan doktrin yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum, yaitu: a. adanya harta kekayaan yang terpisah; b. mempunyai tujuan tertentu;

c. mempunyai kepentingan sendiri; d. adanya organisasi yang teratur.

Berdasarkan penjelasan mengenai syarat-syarat agar suatu perkumpulan, badan, atau badan usaha itu dapat dikatakan mempunyai kedudukan sebagai suatu badan hukum, yaitu ada kemungkinan bahwa telah dipenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan, atau telah dipenuhi syarat yang diminta oleh hukum kebiasaan, atau oleh yurisprudensi, atau oleh doktrin,

(4)

236 maka dari ketiga syarat tersebut, BMT dapat menjadi

badan hukum karena telah memenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan, yaitu aturan umum Pasal 1653 KUHPerdata yang menyatakan bahwa selain persekutuan perdata yang sejati, undang-undang juga mengakui perhimpunan dari orang-orang sebagai badan hukum, baik yang diadakan atau yang diakui oleh pemerintah, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai yang diperkenankan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik. Di sini terdapat tiga jenis badan hukum, yaitu:

1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah; 2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah; 3. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan.

BMT sebagai badan hukum dibangun dengan konstruksi keperdataan, untuk ini diperlukan pengakuan yang berupa anggaran dasarnya dengan meninjau tujuan, asas, dan aturan lainnya dari BMT tersebut. Diperlukan juga pemenuhan syarat materil dan formil dari BMT, yaitu:

1. Syarat materil:

a. perkumpulan mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari anggotanya;

b. adanya perumusan secara jelas mengenai tujuan dibentuknya perkumpulan;

c. adanya organ yang jelas dalam perkumpulan tersebut;

d. bahwa untuk mencapai tujuan itu ada kehendak, tidak sekedar menyerahkan pengurusannya itu kepada suatu badan hukum yang telah ada, melainkan untuk mewujudkan suatu badan hukum baru guna keperluan tersebut.

2. Syarat formil:

Pendirian suatu badan hukum harus dengan akta autentik. Dalam mencapai tujuannya, pengurusan BMT tidak dapat diserahakan kepada suatu badan hukum yang telah ada, diperlukan suatu badan hukum baru guna keperluan tersebut. penulis mengonsep badan hukum baru, yaitu BMT itu sendiri, sehingga operasional BMT yang khas dapat terlaksana, tanpa harus menggunakan badan hukum lain yang prinsip operasionalnya berbeda.

Pemilihan Bentuk Badan Hukum

Penulis menggolongkan BMT ke dalam badan hukum perhimpunan/perkumpulan, sehingga BMT dapat didefinisikan sebagai suatu perhimpunan/perkumpulan yang berbadan hukum yang dibentuk dengan sengaja dan dengan sukarela oleh orang yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomi mereka (memenuhi tujuan dari baitut tamwil), memelihara kebudayaan (BMT sebagai ekonomi kerakyatan), dan mengurus soal-soal sosial (memenuhi tujuan baitul maal), sesuai dengan BMT yang memiliki karakteristik ekonomi kerakyatan berlandaskan prinsip syariah.

Menurut E. Utrecht/Moh. Saleh Djidang, dalam pergaulan hukum ada berbagai macam-macam badan hukum, badan hukum menurut jenisnya dapat dibagi

dalam dua jenis golongan, yaitu koorporasi dan yayasan (Soeroso, 1995):

1. Korporasi adalah suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak sebagai satu subyek hukum tersendiri. Korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak/kewajiban sendiri, ada beberapa macam korporasi:

a. Perhimpunan (vereniging) yang dibentuk dengan sengaja dan dengan sukarela oleh orang yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomis mereka, memelihara kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan sebagainya. Badan hukum semacam itu berupa-rupa, misalnya Perseroan Terbatas (PT), perusahaan negara, joint venture; b. Persekutuan orang (gemmenschap van mensen)

yang terbentuk karena faktor-faktor kemasyarakatan dan politik dalam sejarah, misalnya negara, propinsi, kabupaten, dan desa; c. Organisasi orang, yang didirikan berdasarkan

undang-undang tetapi bukan perhimpunan yang termasuk sub (1) di atas ini;

2. Yayasan, yaitu tiap kekayaan yang tidak merupakan kekayaan orang, kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu. Yayasan adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban sendiri, dan didirikan oleh para pendiri/anggota dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan.

Dibentuk Perundang-Undangan Khusus Pengelolaan BMT

Legislasi menurut Anis Ibrahim adalah proses pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum

positif (dalam arti hukum

perundang-undangan/peraturan perundang-undangan). Legislasi ini dimulai dari tahap perencanaan pembuatan hukum, penyusunan, formulasi, pembahasan, pengesahan, pengundangan, hingga sosialisasi produk hukum. (Salim, 2016) Pembaruan hukum, juga termasuk dalam proses legislasi. Pembaruan hukum dapat diartikan sebagai seleksi terhadap produk hukum yang lama untuk mengambil nilai-nilai yang sesuai dengan idealita dan realita negara Indonesia atau karena sifatnya yang universal. (Mahfud, 2010)

Badan hukum yang telah terbentuk memerlukan perundang-undangan sebagai pengaturan hukumnya. Diperlukan perundang-undangan yang khusus dan menyeluruh tentang pengelolaan BMT yang mengutamakan ekonomi kerakyatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pertimbangan Yuridis terhadap Lembaga BMT Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut

(5)

237 persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau

materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Pertimbangan yuridis terhadap lembaga BMT adalah: Legalitas Hukum Bagi Setiap Aktivitas Ekonomi yang Sesuai dengan Prinsip Syariah

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia khususnya BMT, tidak diikuti dengan peraturan hukum yang sesuai dengan karakteristik yang khas dengan BMT. Perkembangan BMT sebagai lembaga keuangan syariah adalah penerapan dari aktivitas ekonomi yang tidak dapat dilepaskan dari nilai dan prinsip Islam.

Ragam dan Parsial Norma Hukum BMT yang Tidak Sesuai dengan Manajemen BMT

Badan hukum yang telah terbentuk memerlukan perundang-undangan sebagai norma hukumnya. Dibuatnya perundang-undangan yang khusus dan menyeluruh tentang pengelolaan BMT yang berlandaskan syariah Islam, yang mengutamakan ekonomi kerakyatan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan karena perundang-undangan yang mengatur tentang BMT beragam dan parsial. Parsial karena, masing-masing undang-undang tersebut berkaitan dengan manajemen operasional BMT, namun tidak ada harmonisasi di antara perundang-undangan tersebut. Perundang-undangan yang berhubungan dengan BMT diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat;

3. Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009, Nomor: 900-639A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, Nomor: 11/43A/Kep.GBI/2009 Tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Lembaga Keuangan Mikro;

5. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan;

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah;

8. Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan

Menengah Republik Indonesia Nomor:

11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi

Ruang Lingkup Peraturan Dasar BMT

Muhammad Amin Aziz sebagai pelopor berdirinya BMT menyatakan sudah waktunya BMT memiliki jati diri dan cita-cita yang khusus sebagaimana layaknya institusi atau lembaga ekonomi lainnya. Memiliki aturan-aturan yang khas sejak pendirian, sasaran dan cara kerja, sampai kepada sistem kontrol dan pelaporan usaha. Dalam hal ini Muhammad Amin Aziz bersama PINBUK menerbitkan buku ”Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT” yang diharapkan dapat menyeragamkan persepsi tentang apa, mengapa, dan bagaimana BMT itu serta menjadi pedoman dalam pendirian dan batasan kerja di lapangan bagi BMT (Aziz, TT).

Berikut ini merupakan peraturan dasar BMT yang disusun oleh Muhammad Amin Aziz dan PINBUK dengan beberapa tambahan yang diberikan oleh penulis, untuk dapat dijadikan ruang lingkup dalam norma hukum BMT:

BAB I : Ketentuan Umum BAB II : Asas dan Landasan BAB III : Visi, Misi, dan Tujuan BAB IV : Sifat, Fungsi, dan Prinsip BAB V : Pendirian BMT

BAB VI : Kedudukan dan Daerah Kerja BAB VII : Status dan Legalitas Hukum BAB VIII : Anggaran Dasar BMT BAB IX : Peraturan Pelaksanaan BAB X : Kerja Sama Antar BMT BAB XI : Penggabungan

BAB XII : Keanggotaan

BAB XIII : Kelompok Usaha Muamalat (Pokusma) BAB XIV : Kegiatan dan Usaha BMT

BAB XV : Perangkat Organisasi BAB XVI : Rapat Anggota BAB XVII : Anggota Pendiri BAB XVIII : Pengurus BAB XIX : Pengelola BAB XX : Modal BAB XXI : Simpanan BAB XXII : Pembiayaan

BAB XXIII : Sisa Hasil Usaha (SHU) BAB XXIV : Pembinaan dan Pengawasan BAB XXV : YINBUK dan PINBUK

BAB XXVI : BMT Desa dan BMT Sekunder BAB XXVII : Pembubaran BMT

BAB XXVIII : Sanksi Administratif BAB XXIX : Ketentuan Pidana

BAB XXX : Ketentuan Peralihan BAB XXXI : Ketentuan Penutup SIMPULAN

Dasar hukum dari upaya menjadikan BMT sebagai badan hukum adalah karena telah memenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan, yaitu aturan umum Pasal 1653 KUHPerdata yang menyatakan bahwa selain persekutuan perdata yang sejati, undang-undang juga mengakui perhimpunan dari orang-orang sebagai badan hukum, baik yang diadakan atau yang diakui oleh pemerintah, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai yang

(6)

238 diperkenankan, atau telah didirikan untuk suatu maksud

tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik. BMT sebagai badan hukum dibangun dengan konstruksi keperdataan, untuk ini diperlukan pengakuan yang berupa anggaran dasarnya dengan meninjau tujuan, asas, dan aturan lainnya dari BMT tersebut. Dalam mencapai tujuannya, pengurusan BMT tidak dapat diserhakan kepada suatu badan hukum yang telah ada, diperlukan suatu badan hukum baru guna keperluan tersebut. Badan hukum yang telah terbentuk memerlukan perundang-undangan sebagai norma hukumnya. Pertimbangan yuridis terhadap lembaga BMT adalah legalitas hukum bagi setiap aktivitas ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah serta ragam dan parsial norma hukum BMT yang tidak sesuai dengan manajemen BMT.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, C. (2014). Badan Hukum. Bandung: PT. Alumni. Ali, Z. (2011). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar

Grafika.

Asykuri Ibn Chamim, e. (2003). Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan, edisi revisi.

Yogyakarta: Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan The Asia Foundation.

Aziz, M. A. (TT). Peraturan Dasar dan Contoh AD-ART BMT (Baitul Maal wat-Tamwil, Balai-usaha Mandiri Terpadu). Jakarta: PINBUK.

Limbong, B. (2013). Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. Jakarta: Margaretha Pustaka.

Mahfud, M. (2010). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Mardani. (2015). Hukum Sistem Ekonomi Islam.

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Nurul Huda, e. a. (2016). Baitul Mal Wa Tamwil: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jakarta: Amzah. Salim. (2016). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian

Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Soeroso, R. (1995). Perbandingan Hukum Perdata.

Jakarta: Sinar Grafika.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Tindakan , pada tahap ini guru menerapkan langkah ilmiah/pendekatan saintifik dan langkah discovery learning , yaitu: (1) guru membuka pelajaran dengan salam,

Dalam suatu survei yang meneliti anak-anak yang diasuh oleh ibu tiri, Zill (Dalam Dagun,2002), menemukan bahwa anak-anak yang hidup bersama ayah kandung dan ibu tiri

Berdasarkan pengamatan lang- sung di lapangan, pada lokasi ini tanah terdiri dari 3 lapisan, lapisan tanah/batuan di permukaan lereng merupakan tanah lapuk dan gembur, tanah

Dari data hasil pengukuran diameter dengan kecepatan naik gelembung udara secara keseluruhan (gambar 4) terlihat kecepatan cenderung konstan pada ketinggian 1.5 m dan 2 m

larva pada tanaman yang disemprot dengan konsentrasi jamur yang lebih tinggi juga dapat.. dilihat dari besarnya

Hasil yang tidak signifikan dari variabel ukuran perusahaan terhadap audit delay dalam penelitian ini, disebabkan adanya penggunaan sampel dalam penelitian ini