• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG ASEUPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG ASEUPAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BLHD Propinsi Banten V. 1

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG ASEUPAN

A.

Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia

Kehadiran satwaliar khususnya mamalia merupakan bio-indikator suatu kawasan hutan dapat dikatakan baik atau terganggu. Keseimbangan ekosistem suatu kawasan hutan akan terganggu apabila pada kawasan hutan telah mengalami banyak perubahan terutama perubahan fungsi lahan. Kekayaan jenis satwaliar saat ini terancam akibat adanya perubahan fungsi lahan dan kerusakan habitat (Hadi S. Alikodra, 2010). Perubahan fungsi kawasan tersebut menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu yang meliputi perubahan lingkungan dan kehilangan sumberdaya pakan (Anderson, 1985). Keanekaragaman mamalia di Indonesia saat ini terancam kepunahan. Ancaman tersebut datang bersamaan dengan meningkatnya kegiatan/aktivitas manusia seperti perubahan land use untuk berbagai tujuan.

Pengamatan satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan sangat penting dilakukan mengingat kawasan tersebut merupakan salah satu kawasan yang masih berhutan. Beberapa satwaliar kelompok mamalia berhasil diidentifikasi pada lokasi penelitian. Pada Tabel V.1 berikut menyajikan hasil penelitian satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan.

Tabel V-1. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Aseupan.

No Nama Jenis Famili Pengamatan Metode Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae Pengamatan

2 Kijang muntjak Muntiacus muntjak Cervidae Jejak

3 Pelanduk Tragulus sp Tragulidae Jejak

4 Babi hutan Sus barbatus Suidae Jejak, Sarang

5 Tenggalung malaya Viverra tangalunga Viverridae Pengamatan

6 Musang akar Arctogalidia trivirgata Viverridae Pengamatan

7 Tupai Tupaia sp Tupaidae Pengamatan

(2)

BLHD Propinsi Banten V. 2 Berdasarkan data pada tabel V.1 menunjukkan bahwa terdapat 8 jenis satwaliar kelompok mamalia yang berhasil teridentifikasi melalui beberapa metode pengamatan seperti pengamatan jejak, pengamatan langsung dan pengamatan sarang. Kawasan Gunung Aseupan memiliki ketinggian puncak ± 1.120 mdpl dan diduga pada kawasan tersebut menyimpan potensi keanekaragamanhayati (KEHATI) yang tinggi, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran satwa kelompok mamalia di kawasan tersebut relatif sedikit. Apabila dilihat dari jumlah famili (suku) hanya terdapat 7 famili yang dapat dilihat pada Gambar V.1 berikut.

Gambar V.1. Keragaman satwaliar kelompok mamalia berdasarkan famili di kawasan Gunung Aseupan.

Data pada Gambar V.1 menunjukkan bahwa kehadiran mamalia berdasarkan famili berjumlah 7 famili. Kehadiran satwaliar khususnya kelompok mamalia yang relatif sedikit disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan. Pada saat penelitian dilakukan, pembukaan lahan telah mencapai ketinggian ± 820 mdpl sehingga hanya satwa-satwa tertentu yang dapat bertahan hidup pada kondisi kawasan habitat yang terdegradasi misalnya satwa-satwa generalis atau satwa yang memiliki kemampuan berdaptasi lebih baik dari pada

0 1 2 3 4 5 Juml ah Jeni s Famili

(3)

BLHD Propinsi Banten V. 3 satwa-satwa lainnya serta memiliki pola pakan yang beragam (Rayadin dkk, 2014).

Berdasarkan data yang dimiliki, kawasan Gunung Aseupan memiliki luas mencapai 8.093 ha, namun kawasan yang tersisa dengan status hutan lindung hanya 366 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan selain sebagai habitat satwaliar juga sebagai sumber air bagi masyarakat yang berada di sekitar gunung tersebut. Kawasan yang telah dibuka untuk kegiatan perkebunan mencapai ± 4.700 ha. Pada saat melakukan pengamatan satwaliar, di sekitar areal perkebunan ditemukan jejak satwa jenis sus barbatus.

Gambar V.2. Penemuan jejak satwa jenis Sus barbatus di kawasan Gunung Aseupan.

Penemuan jejak satwa jenis Sus barbatus merupakan salah satu bio-indikator kualitas habitat pada kawasan hutan Gunung Aseupan telah terganggu sehingga memaksa jenis Sus barbatus mencari sumber pakan di perkebunan. Kondisi tersebut yang membuat jenis Sus barbatus dianggap hama karena sering merusak tanaman masyarakat. Sumber pakan jenis Sus barbatus meliputi biji-bijian, akar, dan material tumbuhan lainnya serta cacing tanah dan binatang kecil lainnya

(4)

BLHD Propinsi Banten V. 4 (Francis, 2008). Sehingga cukup beralasan satwa tersebut dapat bbertahan hidup pada habitat yang terdegradasi (Rayadin dkk, 2014).

Secara umum, satwaliar memiliki berbagai perilaku yang beragam dan menarik. Beberapa perilaku satwaliar khususnya kelompok mamalia yang umum diamati adalah perilaku makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. Pada Tabel V.2 berikut dapat dilihat secara lengkap perilaku satwa yang ditemukan di Gunung Aseupan.

Tabel V-2. Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi.

No Nama Ilmiah Family Kelas Makan Waktu aktif Stratifikasi Car Her Omn Diu Noc Met Arb Ter

1 Macaca fascicularis Cercopithecidae √ √ √

2 Muntiacus muntjak Cervidae √ √ √

3 Tragulus sp Tragulidae √ √ √

4 Sus barbatus Suidae √ √ √

5 Viverra tangalunga Viverridae √ √ √

6 Arctogalidia trivirgata Viverridae √ √ √

7 Tupaia sp Tupaidae √ √ √ √

8 Rattus sp Muridae √ √ √ √

*keterangan : Car = Carnivora, Her = Herbivora, Omn = Omnivora, Diu = Diurnal, Noc = Nocturnal, Met = Metaturnal, Arb = Arboreal, Ter = Terresterial

Berdasarkan data pada Tabel V.2 menunjukkan bahwa perilaku adanya keragaman mamalia berdasarkan perilaku ekologi. Kondisi ini dapat dijadikan indikator positif penilaian kondisi habitat dalam suatu ekositem. Kehadiran mamalia dari berbagai perilaku ekologi memungkinkan terbentuknya fungsi rantai makanan secara alami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi keragaman jenis pohon maka jenis mamalia yang hadir juga semakin beragam (Rayadin dkk, 2011). Kondisi ini menunjukkan bahwa komposisi vegetasi mempunyai peranan yang penting terhadap pergerakan dan penyebaran satwaliar. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan adanya beberapa satwa dengan perilaku kelas makan herbivora. Pada Gambar V.3 berikut dapat dilihat jumlah jenis perilaku satwaliar kelompok mamalia.

(5)

BLHD Propinsi Banten V. 5 Gambar V.3. (a) Kehadiran satwa berdasarkan kelas makan, (b) Kehadiran satwa berdasarkan waktu aktif, dan (c) Kehadiran satwa berdasarkan stratifikasi ekologi.

(a)

(c) (b)

(6)

BLHD Propinsi Banten V. 6 Berdasarkan Gambar V.3 (a), hadirnya mamalia di kelas makan herbivora menunjukkan masih tersedianya sumber pakan berupa material tumbuhan baik dedaunan, buah-buahan maupun bagian-bagian tumbuhan lainnya. Jenis herbivora yang hadir yaitu Muntiacus muntjac dan Tupaia sp (Rayadin dkk, 2013). Muntiacus muntjac umunya lebih banyak memakan daun-daunan, kemudian buah-buahan tertentu dan hanya memilih bagian tertentu dari tumbuhan, serta mampu bertahan sepanjang tahun hanya dengan memakan satu atau beberapa jenis vegetasi saja (Meijaard dkk., 2006).

Gambar V.4. Jejak mamalia jenis Muntiacus muntjac ditemukan di kawasan hutan Gunung Aseupan.

Hadirnya mamalia herbivora pada kawasan Gunung Aseupan nampaknya menarik perhatian bagi jenis mamalia omnivora (pemakan tumbuhan dan satwa) jenis Viverra tangalunga yang berperan sebagai pemangsa tingkat II. Jenis tersebut umumnya memakan binatang kecil baik invertebrata maupun vertebrata (Francis, 2000).

(7)

BLHD Propinsi Banten V. 7 Berdasarkan data pada Gambar V.3 (b), hanya terdapat 2 jenis satwaliar kelompok mamalia yang merupakan satwa diurnal. Sedangkan satwaliar kelompok mamalia yang aktif pada malam dan siang hari sebanyak 6 jenis mamalia. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan yang diduga berkurang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian sehingga membuat satwa-satwa tertentu harus bergerak lebih lebih luas untuk mendapatkan sumber pakan. Selanjutnya, kondisi tersebut dapat merubah perilaku aktif satwa-satwa tersebut. Saat penelitian dilakukan pohon pakan didominansi oleh jenis Ficus (buah ara).

Berdasarkan data pada Gambar V.3 (c), terdapat kehadiran mamalia pada kelas stratifikasi ekologi. Kehadiran mamalia pada kelas stratifikasi ekologi dapat dijadikan bio-indikator terhadap kondisi tutupan vegetasi dan kerapatan tajuk pada sebuah kawasan hutan. Berdasarkan Tabel V.2 satwa arboreal yang berhasil diidentifikasi adalah jenis Macaca fascicularis. Jenis tersebut merupakan satwa yang bergerak diantara pepohonan meskipun terkadang ditemukan pada lantai hutan (Rayadin dkk, 2013). Meskipun demikian, kondisi hutan di kawasan Gunung Aseupan sangat memprihatinkan dikarenakan kualitas habitat semakin hari semakin memburuk dengan adanya pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol.

(8)

BLHD Propinsi Banten V. 8

B.

Kehadiran Satwaliar Kelompok Burung

Hutan hujan tropis merupakan habitat penting bagi burung dan satwa liar lainnya, karena di daerah ini banyak ditumbuhi tanaman sebagai sumber pakan dan tempat perlindungan. Burung mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat antara lain membantu mengendalikan serangga hama, membantu proses penyerbukan bunga, mempunyai nilai ekonomi. Burung dapat digunakan untuk berbagai atraksi rekreasi, sebagai sumber plasma nutfah, dan sebagai objek penelitian dan pendidikan (Hernowo dan Prasetyo, 1989).

Tingginya pertambahan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan serta maraknya kegiatan konversi lahan menjadi perkebunan dan pemukiman menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem hutan semakin meningkat. Perubahan kondisi vegetasi yang berbeda dengan hutan alam mengakibatkan perubahan komunitas dan penurunan jenis burung di dalamnya (Utari, 2000).

Pada dasarnya, pengamatan burung dilakukan seharian penuh untuk masing-masing hari kerja. Namun dari kegiatan pengamatan terkonsentrasi pada dua waktu, pagi dan sore hari. Dua periode waktu tersebut merupakan waktu dimana kelompok burung aktif dalam melakukan aktifitasnya. Dari total jenis burung selama waktu pengamatan tercatat sekitar 34 jenis burung. Dengan jumlah jenis burung sebanyak itu dirasakan sebagai satu jumlah yang cukup tinggi, mengingat cakupan daerah studi yang tidak begitu luas dan waktu pengamatan yang relatif singkat. Peluang menemukan jenis baru tentu akan selalu terbuka jika luasan areal ditambah dan waktu pengamatan diperpanjang.

Daftar jenis berikut (Tabel V-3) memperlihatkan jenis-jenis yang berhasil diidentifikasi dengan menggunakan ketiga kombinasi metode yang dilakukan lengkap dengan famili, nama lokal dan latin serta kelas makannya.

(9)

BLHD Propinsi Banten V. 9 Tabel V-3. Kehadiran satwaliar kelompok burung di kawasan Gunung

Aseupan.

No Nama Jenis Famili Makan Kelas Nasional Status Lokal Latin

1 Raja Udang Kalung Biru Alcedo euryzona Alcedinidae Insec/Pisc D

2 Raja Udang Meninting Alcedo meninting Alcedinidae Insec/Pisc D

3 Udang Api Ceyx erithacus Alcedinidae Insec/Pisc D

4 Layang-layang Rumah Delichon dasypus Alaudidae

5 Delimukan Zamrud Chalcophaps indica Columbidae AF TD

6 Tekukur Biasa Streptopelia chinensis Columbidae AFGI

7 Perkutut Jawa Geopelia striata Columbidae AFGI

8 Cica daun kecil Chloropsis cyanopogon Chloropseidae AFGI

9 Gagak Hutan Corvus enca Corvidae AFGI

10 Bubut Alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae AFGI

11 Bentet kelabu Lanius schach Laniidae

12 Burung madu gunung Aethopyga eximia Nectariniidae NIF D

13 Burung madu belukar Anthreptes singalensis Nectariniidae NIF D

14 Burung madu kelapa Anthreptes malacensis Nectariniidae NIF D

15 Pijantung Kecil Arachnothera longirostra Nectariniidae NI D

16 Pjantung Besar Arachnothera robusta Nectariniidae NI

17 Kepudang kuduk hitam Oriolus chinensis Oriolidae AFGI/F TD

18 Gelatik jawa Padda oryzivora Ploceidae TF TD

19 Bondol Rawa Lonchura malacca Ploceidae TF TD

20 Empuloh Irang Alophoixus phaeocephalus Pycnonotidae AFGI/F

21 Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae AFGI/F

22 Cucak kuning Pycnonotus melanicterus Pycnonotidae AFGI/F TD

23 Merbah Kaca Mata Pycnonotus erythrophthalmos Pycnonotidae AFGI/F TD

24 Cucak Kuricang Pycnonotus atriceps Pycnonotidae AFGI/F

25 Empuloh janggut Alophoixus bres Pycnonotidae AFGI/F

26 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goavier Pycnonotidae AFGI/F

27 Paok Pancawarna Pitta guajana Pittidae

28 Cinenen Pisang Orthotomus sutonus Silviidae AFGI

29 Cinenen Jawa Orthotomus sepium Silviidae AFGI

30 Cinenen Kelabu Orthotomus ruficeps Silviidae AFGI TD

31 Cinenen Merah Orthotomus sericeus Silviidae AFGI TD

32 Pelanduk Semak Malacocinla sepiarium Timaliidae TI

33 Kacamata Gunung Zosterops montanus Zosteropidae

(10)

BLHD Propinsi Banten V. 10 Sebanyak 34 jenis dari 15 famili berhasil teridentifikasi selama studi berlangsung. Burung-burung dari suku Alcedinidae (burung raja udang), dan Nectariniidae (burung madu) merupakan kelompok-kelompok burung yang dilindungi. Secara ekologis tentu sangat menarik melihat kehadiran dari jenis-jenis burung yang ada kaitannya dengan keberadaan jenis-jenis makanan yang tersedia di dalam kawasan tersebut. Beberapa jenis burung yang hadir di areal reklamasi/rehabilitasi umumnya adalah jenis-jenis yang termasuk ke dalam kelompok pemakan serangga (Insectivore) dan atau campuran antara serangga dan buah-buahan. Jenis-jenis yang memiliki variasi makanan yang cukup luas (generalist) umumnya adalah jenis yang mampu bertahan hidup lebih baik terhadap perubahan lingkungan dibandingkan jenis-jenis yang terspesialisasi kepada satu jenis makanan tertentu saja.

Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), pada pengamatan pertama ditemukan empat individu dan pengamatan kedua ditemukan 15 individu. Saat melakukan pengamatan yang terdengar hanya suaranya saja. Kacamata biasa memiliki karakteristik Burung yang bertubuh kecil, sehingga menyebabkannya menjadi lincah, ukuran panjang tubuh dari ujung paruh dari ujung paruh hingga ujung ekor sekitar 10–11 cm. Sisi atas tubuh kacamata biasa tertutup bulu-bulu berwarna kehijauan atau hijau kekuningan (hijau zaitun), sedangkan sisi bawahnya sedikit bervariasi bergantung rasnya, kecuali leher dan dadanya yang berwarna kuning terang. Sayapnya membundar dan kaki-kakinya kuat. Disebut “kacamata”, white-eye karena terdapat lingkaran bulu-bulu kecil berwarna putih di sekeliling matanya. Gemar berkelompok, burung ini kerap membentuk gerombolan besar yang bergerak bersama di antara tajuk pepohonan; bahkan sering juga bercampur dengan spesies lain seperti burung sepah (Pericrocotus). Meskipun utamanya burung kacamata bersifat pemakan serangga, namun ia pun memakan nektar dan aneka jenis buah. Sembari mencari mangsanya di sela-sela dedaunan, burung ini terus bergerak dari satu ranting ke lain ranting, dan kemudian berpindah ke lain pohon yang berdekatan, sambil terus mengeluarkan suara berkeciap tinggi setiap beberapa saat sekali untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok yang lainnya.

(11)

BLHD Propinsi Banten V. 11 Gambar V.5. Jenis Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) yang berhasil

teridentifikasi dengan menggunakan kamera jarak jauh.

Kacamata biasa sering ditemukan di pulau Jawa, burung ini bertelur mulai dari Januari hingga Oktober. Telur berjumlah kurang lebih tiga (2–5) butir yang berwarna biru pucat,dan diletakkan pada sarang berbentuk seperti cawan kecil yang khas bentuknya. Sarang ini terbuat dari akar-akaran, tangkai dan tulang daun, dan bahan-bahan tumbuhan lainnya, serta dihiasi dengan lumut. Sarang diletakkan di percabangan ranting atau rumpun bambu, sekitar 2–4 m di atas tanah.

Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), pada pengamatan pertama ditemukan sembilan individu dan pengamatan kedua ditemukan tujuh individu. Saat melakukan pengamatan terlihat Cinenen pisang yang sedang terbang. Cinenen pisang memiliki karakteristik tubuh yang berukuran kecil dan ramping. Terlihat bulu-bulu halus di dahi dan mahkota (di atas kepala) yang berwarna merah karat, kekang,sisi kepala keputihan, dan alis kekuningan. Cinenen pisang memiliki tengkuk yang berwarna keabu-abuan, serta punggung, sayap dan ekor

(12)

BLHD Propinsi Banten V. 12 berwarna hijau zaitun. Tubuh cinenen pisang jantan dan betina sedikit sama yaitu sisinya berwarna abu-abu, namun pada saat musim berbiak bulu tengah pada ekor cinenen jantan tumbuh menanjang. Cinenen pisang sering bergerak dengan lincah di antara ranting-ranting dan dari pohon ke pohon,cinenen pisang merupakan burung yang setia dengan pasangannya karena selalu bersama dengan pasangannya. Burung ini memburu aneka serangga kecil-kecil, ulat dan laba-laba dari antara dedaunan.

Gambar V.6. Jenis Cinenen pisang (Orthotomus sutorius) yang teramati.

Cinenen pisang biasa ditemukan di pekarangan, kebun, hutan sekunder dan hutan-hutan lain yang terbuka. Biasanya cinenen pisang membuat sarang di semak dan belukar, cara burung ini membuat sarang sedikit unik, dengan menjahit tepian satu atau beberapa helai daun lebar yang berdekatan, dengan serat tumbuhan atau jaring laba-laba. Sehingga terbangun semacam kantung, di mana di tengahnya di anyam sarang berbentuk bola dari rumput, ranting yang lembut dan serat tumbuhan umumnya. Oleh sebab itu burung ini dikenal sebagai tailorbird (burung penjahit). Cinenen pisang meletakkan sekitar 2-3 butir telur yang berwarna putih kehijauan dengan bercak merah jambu.

Jenis Cingcoang coklat (Brachypteryx leucophrys), terlihat sedang beraktivitas seperti makan, berjalan, dan bersuara saja. Karakteristik Cingcoang Coklat yaitu tubuhnya berukuran sangat kecil (11 cm). Memiliki ekor yang pendek,kaki yang panjang,alis mata pucat samar-samar,lingkar mata kuning tua dan paruh

(13)

BLHD Propinsi Banten V. 13 besar,untuk ukuran Cingcoang dewasa tubuh bagian atas berwarna coklat merah,tubuh bagian bawah keputihan,sisi tubuh coklat kuning tua dan dada berbintik - bintik. pada tubuh bagian bawah Cingcoang cokelat berwarna kuning tua. Cingcoang remaja memiliki tubuh yang bercorak garis-garis dan berbintik-bintik. Serta memiliki iris yang berwarna coklat muda, paruh hitam kecokelatan, kaki ungu kemerah jambuan. Cingcoang cokelat mempunyai sifat sedikit pemalu, sering terlihat berdiam di semak bawah dan lantai hutan. Makanan cingcoang coklat yaitu siput, keong, tempayak, pupa kumbang. Bentuk sarang cingcoang Cokelat seperti kantung yang terbuat dari tangkai daun, akar halus, atau bahan lain, terdapat pada tebing tanah berlumut, pohon atau semak dekat tanah. Telur dari Cingcoang cokelat berwarna abu-abu hijau berkilau, jumlah 1-2 butir. Waktu untuk berkembang biak yaitu bulan Oktober-April. Habitat cingcoang coklat yaitu di hutan perbukitan atau pegunungan, yang tersebar pada ketinggian 900-1.900 m dpl. Penyebarannya di Himalaya, Cina selatan, Asia tenggara, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Sunda Kecil.

Gambar V.7. Jenis Cingcoang cokelat (Brachypteryx leucophrys) yang teridentifikasi dengan menggunakan jala kabut.

Gambar

Tabel V-1.   Kehadiran  satwaliar  kelompok  mamalia  di  kawasan  Gunung  Aseupan.
Gambar V.1.   Keragaman  satwaliar  kelompok  mamalia  berdasarkan  famili  di  kawasan Gunung Aseupan
Gambar V.2.   Penemuan  jejak  satwa  jenis  Sus  barbatus  di  kawasan  Gunung  Aseupan
Tabel V-2.   Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan  stratifikasi ekologi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa

Kegiatan Action Learning terdiri atas Laporan pelaksanaan coaching/mentoring/counseling plan (30%) dan 1 (satu) buah video praktik coaching/mentoring/conseling (40%)

BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap pada terbitan nomor 3 tahun 2016 menampilkan 7 (tujuh) artikel hasil penelitian diantaranya: Kepadatan stok dan biologi lobster pasir (

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada Pemerintah dalam menentukan apakah keluarga yang sudah menerima bantuan masih layak atau

Untuk kelompok Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih, wilayah Kalimantan Utara mayoritas berada pada Kelas Tinggi sebesar 79% dengan total

Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi/Pembanding dalam gugatan rekonvensi tersebut menuntut pula agar Tergugat Rekonvensi/ Terbanding diperintahkan melaksanakan

Laporan akuntabilitas kinerja Kementerian Kesehatan tahun 2013 merupakan sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kinerja kepada Presiden RI, dan seluruh pemangku kepentingan

Kesesuaian wisata berdasarkan hasil pengukuran parameter perairan yang ada di perairan Ajibata masih terdapat kegiatan yang tidak sesuai atau kurang sesuai