EKSISTENSI KUBRO SISWO, PENDIDIKAN SENI TARI TRADISIONAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL YANG POTENSIAL DI SEKOLAH DASAR
MAGELANG, JAWA TENGAH Intan Pratiwi
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA-Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Email : intan.pratiwi2016@student.uny.ac.id
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menelaah tentang pentingnya eksistensi kerifan lokal di salah satu Sekolah Dasar. Eksistensi kearifan lokal di salah satu daerah dengan pendidikan seni dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat nya baik dalam hal pengembangan pembelajaran berbasis budaya maupun potensi ekonomi yang dapat dijadikan suatu komoditi pariwisata bagi daerah tersebut. Peran kearifan lokal dan kekhasan daerah dapat menjadi nilai jual terutama dalam hal pendidikan dalam tingkat sekolah dasar. Selain dapat mengembangkan jiwa cinta budaya sendiri, melalui kearifan lokal dapat memajukan pendidikan berbasis kebudayaan bagi setiap sekolah dasar dalam wilayah tertentu
Kata kunci : pendidikan seni, kearifan lokal, pembelajaran berbasis kearifan lokal Abstract
This article aims to examine the importance of the existence of local wisdom in one of the primary schools. The existence of local wisdom in one area with the art education can be a special attraction for his community both in terms of development of cultural-based learning and economic potential that can be made a tourism commodity for the area. The role of local wisdom and regional peculiarities can be a selling point, especially in terms of education at the primary schoollevel. In addition to developing their own culture of love, through local wisdom can promoteculture-based education for every elementary school in a particular area Keywords: art education, local wisdom, local wisdom-based education
PENDAHULUAN
Menurut Ali Mustadi (2010:1) dalam kancah internasional, terutama pada era perdagangan bebas (AFTA, APEC, WTO) termasuk dalam dunia pendidikan dan kebudayaan, menjadikan Indonesia rentan akan dampak terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia seperti masuknya budaya asing yang kurang sesuai dengan budaya bangasa Indonesia, tentunya hal ini akan memicu tergerusnya budaya dan nilai
luhur negeri dan terdegradasinya nilai-nilai moral anak bangsa. Hal ini “menantang” masyarakat Indonesia untuk meningkatkan penguatan nilai-nilai budi luhur sejak dini dengan mengimplementasikan pendidikan karakter terutama yang berwawasan pada kultur-sosial yang luhur dan bermartabat di sekolah dasar. Selain itu, fenomena “kids jaman now” yang terkadang memprihatinkan karena anak anak zaman sekarang melupakan apa
yang sudah diajarkan nenek moyangnya dulu tentang kebudayaan. Alhasil, usaha untuk melestarikan budaya yang ada di masing masing daerah bukan menjadi suatu masalah yang temporer lagi, namun sudah menjadi masalah yang genting yang harus segera ditumbuhkan dalam setiap elemen baik pendidikan maupun dimasyarakat pada ummunya. Budaya dan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh adigdayanya era globalisasi dan westernisasi menyebabkan tergesernya potensi potensi daerah yang berbau kesenian tradisional seihingga harus tetap dijaga keberadaannya dan dapat menjadi warisan tersendiri bagi potensi suatu daerah yang dapat dijadikan sumber penghasilan atau komoditi bagi setiap daerah tempat kearifan lokal tersebut.
PEMBAHASAN
1. Pendidikan Seni dan pembudayaan pendidikan seni
Menurut Siswoyo, dkk (2008: 15), secara historis, pendidikan dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi ini. Adanya pendidikan adalah setua dengan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan perkembangan peradaban manusia, berkembang pula isi dan bentuk termasuk perkembangan penyelenggaraan pendidikan. Hal ini sejalan dengan kemajuan manusia dalam pemikiran dan ide-ide tentang pendidikan.
Pendidikan dapat
dipandang dalam arti luas dan arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam artinya yang luas pendidikan menunjuk
pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan
dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung seumur hidup. Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja menstranformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Kneller dalam Siswoyo, dkk, 2008: 17).
Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa pendidikan seni adalah suatu proses belajar seni dimana seseorang akan mengembangkan kemampuan, sikap, perilaku-perilaku positif dan potensi yang dimilikinya sehingga akan berguna pada kehidupan sosial di lingkungannya. Pendidikan juga berperan untuk mendewasakan seseorang untuk meningkatkan kemampuan bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dilakukan.
Seni dalam pendidikan di sekolah-sekolah umum seyogianya
menggunakan pendekatan
multidisiplin, multidimensional, dan multikultural (Pekerti, dkk, 2008: 1.25).
Pendidikan seni berperan dalam pembentukan pribadi yang harmonis dengan memperhatikan
kebutuhan perkembangan kemampuan dasar anak didik meliputi kemampuan: fisik, pikir, emosional, persepsi, kreativitas, sosial, dan estetika melalui pendekatan belajar seni, melalui seni, dan tentang seni sehingga anak didik memiliki kepekaan indrawi, rasa, intelektual, keterampilan dan kreativitas berkesenian sesuai minat dan potensi anal didik (Pekerti, dkk, 2008: 1.25).
Pekerti, dkk (2008: 1.25), mengemukakan bahwa pendidikan seni berperan mengaktifkan kemampuan dan fungsi otak kiri dan otak kanan secara seimbang agar anak didik mampu mengembangkan berbagai tipe kecerdasan: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan kreativitas (CQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan multi-intelegensi (MI).
Pembudayaan pendidikan
Berdasarkan pendapat diatas, pendidikan bukan hanya mengacu pada spek kecerdasan
semata tetapi, dalam
pelaksanaannya pendidikan juga dilakukan proses pembudayaan karakter luhur dan nilai yang berkaitan dengan wawasan kedaerahan dan nasional. Artinya, pendidikan tidak boleh lepas dari budaya dan kearifan lokal yang ada pada daerahnya masing-masing.
Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi, sedangkan adopsi budaya dikenal dengan proses akulturasi. Kedua proses ini
berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Pendidikan merupakan proses pembudayaan, proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan formal atau proses akulturasi; maka pada saat yang bersamaan pendidikan merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi budaya dan adopsi budaya serta pelestarian budaya.
Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. (Dirjen Dikti, 2004: 12).
2. Seni Tari yang mendidikBudaya berbasis Kearifan Lokal
Sejak awal tahun 1990, di Amerika dan Eropa 'gerakan' pemanfaatan seni sebagai bagian dari proses pembelajaran di sekolah formal sudah dimulai. Howard Gardner (1999:42-44) melalui teorinya Multiple Intellegences menawarkan adanya delapan jenis intelegensi, antara lain salah satunya adalah Bodily- Kinesthetic Intelligences, melibatkan fisik dalam setiap aktivitas dan
kemampuan dalam
memanipulasinya. Individu yang memiliki intelegensi ini dapat menangani objek-objek dan membuat gerakan-gerakan tubuh yang tepat dengan mudahnya, seperti menari, melompat, menyentuh, menciptakan, mencoba mensimulasikan, permainan,
merakit/membongkar, indera peraba.
Berdasarkan pada teori tersebut, pembelajaran Seni tari pada dasarnya ditujukan menumbuhkan kreativitas, mengarah kepekaan emosional dan sosial, menghaluskan budi, dan mencerdaskan penalaran. Selain itu, seni pun adalah daya dasar untuk membangkitkan kepekaan pancaindra manusia terhadap sekelilingnya.
Di dalam Seni tari terdapat simbol-simbol kehidupan yang memiliki makna mendalam dan nilai tentang hakikat hidup. Tari sebagai simbol adalah sesuatu yang diciptakan manusia dan secara konvensional digunakan bersama, teratur, benar-benar dipelajari, sehingga memberikan pengertian hakikat manusi, yaitu kerangka yng penuh arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, sekaligus sebagai produk dan ketergantungan dalam interaksi sosial. Tari sebagai simbol dapat juga sebagai sistem penandaan. Artinya, tari tidak terlepas dari beberapa aspek yang dapat dilihat secara terperinci, antara lain: geraknya, iringannya, tempat, pola lantai, waktu, rias busana, properti. Sistem penandaan semiotik ini menurut Sumandiyo (2005:22-24) "di dalamnya mengandung makna harfiah, bersifat primer, dan langsung ditunjukkan menurut kesepakatan atau konvensi yang dibentuk secara bersama oleh masyarakat atau budaya dimana simbol atau tanda itu berlaku".
3. Kearifan lokal a. Pengertian
Menurut Nuraini Asriati (2012: 111) berpandangan bahwa kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja). Hal senada disampaikan oleh Ni Wayan Sartini (2004: 111) yang mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Selanjutnya menurut Haidlor Ali Ahmad (2010: 5) mendefinisikan:
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulangulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Dari pendapat para ahli di atas, peneliti dapat mengambil benang merah bahwa kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul
dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat sangat lekat dengan karakter yang akan terbentuk. Tanpa disadari nilai budaya dan kearifan lokal hidup dalam masyarakat dan dapat dijadikan muatan pendidikan karakter. Walaupun nilai tradisi kearifan lokal berbeda namun memiliki kesamaan ketika nilai tradisional disinkronkan dengan proses psikologi atau sosiokultural. Seperti dikutip dari Jurnal Pendidikan Dr. Ali Mustadi, konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses sosialkulural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional quotion), Olah pikir (intellectual quotion), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic quotion), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity quotion) (Mustadi, 2010).
b. Bentuk kearifan lokal
Nuraini Asriati (2012: 111) mengatakan bahwa bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal ialah:
a) Cinta kepada Tuhan, alam semester beserta isinya. b) Tanggungjawab, disiplin, dan
mandiri.
c) Jujur
d) Hormat dan santun. e) Kasih sayang dan peduli. f) Percaya diri, kreatif, kerja
keras, dan pantang menyerah. g) Keadilan dan kepemimpinan. h) Baik dan rendah hati.
i) Toleransi dan cinta damai c. Kesenian Kubro berbasis
kearifan lokal
Salah satu kesenian lokal yang masih eksis hingga searang di wilayah Magelang pada umumnya adalah Kubro Siswo, Kubro adalah jenis kesenian tradisional berbentuk seni tari yang didalamnya terdapat olah Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa). Kesenian Kubro berasal dari proses islamisasi dengan cara akulturasi dan asimiliasi budaya apada zaman dahulu yang dilakukan oleh Ki Garang Serang di Wilayah Jawa Tengah dan berproses menjadi seni pertunjukan yang bernilai kearifan lokal da potensial bagi daerah setempat. Hingga kini, Kubrosiswo masih diminati dan masih dijadikan sebagai pengisi acara tertentu atau hajatan untuk masyarakat wilayah Magelang dan sekitarnya.
Berkaitan dengan
gerakannya di dalam Kubro siswo juga berkaitan dengan pendidikan seni tari yang pada hakikatnya melibatkan aktivitas fisik (Howard Gardner,1999). Selain gerakan, menurut Sumandiyo (2005) seni tari juga melibatkan berbagai elemen seperti kostum, iringan, pola lantai, waktu dan riasan. Hal ini juga dapat terlihat dalam
pementasan Kubro siswo yang pada umumnya dipentaskan malam hari dengan durasi waktui kurang lebih 5 jam dan biasanya ditampilkan secara massal, dengan diiringi oleh lagu-lagu yang bercirikan lagu perjuangan dan qasidah, akan tetapi liriknya telah diubah sesuai misi Islam. Alat musik yang digunakan pada umumnya adalah bende, 3 buah dodok sejenis kendang, dan jedor atau bedug, kecer atau kecrekan. Bende berfungsi sebagai pelengkap musik, dodok atau kendang berfungsi sebagai menambah suasana, bedug atau jedor berfungsi untuk mengiringi gerakan-gerakan dari para penari. Sedangkan cara Dandanan mereka seperti tentara pada jaman keraton, tapi dari pinggang ke bawah memakai dandanan ala pemain bola tak lupa ada “kapten” yang memakai peluit.
Tidak bisa lepas dari sejarahnya, Kubrosiswo lahi karena proses akulturasi dan asimilasi budaya dalam mengislamisasi kan ajaran islam, tidak jarang bahwa saat pementasannya pun melibatkan sesuatu yang mengintrepetasikan atau sebagai simbolisasi dari proses tersebut. misalnya perpaduan antara tari-tarian dan lagu serta musik tradisional, terdapat juga atraksi-atraksi yang menakjubkan. Diantaranya mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terdiri dari beberapa berang (istilah jawa bendho). Atraksi- atraksi ini di maksudkan
untuk menarik minat masa agar mereka masuk Islam.
4. Nilai pendididikan pada Kubro siswo
a) Nilai religius
Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional berlatar belakang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa, khusunya Borobudur. Kata Kubrosiswo berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata, yaitu Kubro yang berarti besar dan siswo yang berarti siswa atau murid, jadi kubrosiswo bisa diartikan sebagai murud-murid Tuhan yang diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan. Kubro sisiwo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), sarana untuk mengingatkan umat Islam dan manusia pada umumnya agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
b) Nilai gotong royong
Menurut Joko Sutarso (2012 : 507) kearifan lokal erat kaitannya dengan nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat tertentu, slah satu contohnya adalah gotong royong. Tidak bisa dipungkiri dalam pementasan Kubro Siswo secara tidak langsung
para pemain akan
mengutamakan sikap dan perilaku gotong royong demi
menghasilkan sebuah
meriah. Selain para pemain, para pendekorasi panggung dan juga para perias juga akan melakukan gotong royong untuk menyajikan pegelaran yang luwes, rancak, dan meriah.
Hal ini bisa juga diajarkan oleh peserta didik dalam menghayati hakikat dari kesenian kubro siswo. Jika anak anak dilatih untuk hidup bergotong royong, maka akan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
c) Nilai pendidikan moral
Pendidikan moral yang mencocok pada Kubro Siswo adalah pendidikan moral keagamaan hal itu terlihat dari syair syair lagu yang sering dinyanyikan adalah lagu bernuansa islami, qasidah dan kadang
kadang bernuansa
kehidupan kemasyarakatan.
Seperti pepeling
(pengingat), sindiran, dan tidak jarang juga mempopulerkan lagu masa kini.
Lagu yang sering dinyanyikan adalah bernuansa pesan moral.
Dalam lagu yang
dinyanyikan itu, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang
diharapkan mampu
mempengaruhi segi kognitif para penontonnya, terutama
dalam hal pengetahuan keagamaan.
Salah satu contoh syair lagu dalam Kubro Siswo adalah :
Kito Poro Menungso (Kita Semua Manusia) Kito poro menungso ayo podo ngaji
(Kita semua manusia ayo mengaji)
Islam ingkang
sampurno pepadanging bumi
(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi) Ayo konco-ayo konco ojo podo lali
(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa) Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni (Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)
Yo iku aran neroko bebenduning Gusti (Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan) d) Nilai wawasan budaya lokal
Wawasan budaya lokal daerah antara lain pada bahasa daerah yang digunakan saat menyanyikan lagu Kubro Siswo. Salah satu yang menjadi wawasan budaya setempat adalah keragaman bahasa yang digunakan dalam kesenian Kubro Siswo tersebut. Hal ini senada dengan pendapat dari Ni Wayan Sartini (2009: 28) yang mengatakan bahwa salah satu
kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat. Karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat (Farid Rusdi, 2012: 347). Bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu.
Selain itu, adanya kekhasan dalam menyajikan pertunjukan dengan menggunakan pakaian adat daerah yang seragam dengan riasan yang menarik tentunya akan dapat menambah wawasan budaya yang menjadikan ciri dari kekayaan budaya Indonesia itu sendiri.
Berkaitan dengan
pementasan, pertunjukan di iringi dengan gamelan jawa yang terdiri dari gong, bende, seruling, peluit, gambang, kendhang, kenong, saron, dan masih banyak lagi. Siapa saja yang melihat pertunjukan tersebut akan menambah wawasan pengetahuannya akan keragaman gamelan Jawa yang rancak dan selaras dengan harmoni dan melodi. Dapat juga menjadi sarana pembelajaran tentang bagaimana alat musik itu di
bunyikan dan bagaimana alat musik itu dibuat.
Semua yang ada pada
pementasan kesenian
tradisional baik itu berupa pertunjukkan maupun karya sastra mempunyai wawsan budaya lokal tersendiri.
e) Nilai jual yang potensial Francis Fukuyama, memandang kearifan lokal sebagai modal sosial yang dipandang sebagai bumbu vital
bagi perkembangan
pemberdayaan perekonomian masyarakat.
Modal sosial yang kuat dapat memicu pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang lebih luas yang tumbuh di kalangan masyarakat (dalam Puspa dan Siti Czafrani, 2010:10).
Tidak bisa dipungkiri dalam pementasan Kubro Siswo terkadang dapat menjadi komoditi bagi daerah tertentu dari hasil apresiasi atas pementasan Kubro Siswo tersebut. Sehingga hal itu juga dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan baik bagi para pemain, dan penyaji pertunjukkan.
Selain itu, dari segi peserta didik, nilai potensial yang menonjol dari adanya kearifan lokal dapat memberikan previlege tersendiri bagi
sekolah yang sudah
menjadi salah satu ekstrakulikulernya sehingga dapat lebih dikenal dalam daerah tersebut yang sekawasan dan lebih jauh lagi ditingkat nasional maupun internasional. Hal itu tentu akan menjadikan daerah tersebut destinasi wisata yang khas dengan kearifan lokal yang berupa Kubro Siswo.
Dan ditambah lagi, nilai potensial juga dapat terlihat dari pengrajin alat alat pertunjukan, dari mulai kostum, peralatan musik sampai dengan ubarampe (pelengkap) kesenian Kubro Siswo yang bernilai jual tinggi, disesuaikan juga dengan kebutuhan dan permintaan yang semakin meningkat karena kesenian Kubro yang mulai menarik hati segala kalangan baik muda, dewasa, sampai tua. 5. Implementasi Kubro Siswo dalams sekolah berbasis pendidikan kearifan lokal
Kubro siswo yang menjadi ikonik dapat dikembangkan dalam suatu sekolah yang notabene adalah sekolah di daerah setempat, atau lebih dikenal dengan sekolah berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah.
Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal menurut Zuhdan K. Prasetyo (2013:3) merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan
potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian,
pengetahuan dan sikap dalam upaya ikut sertamembangun bangsa dan negara.
a) Dasar hukum
Beberapa landasan hukum penyelenggaraan sekoah berbasis kearifan lokal antara lain :
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 BAB XIV Pasal 50 ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 34, bahwa “Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah
pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah”, b) Tujuan Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal
Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang bersifat positif bagi peserta didik, seperti dikatanakan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012: 41) yang menyebutkan beberapa tujuan pendidikan berbasis kearifan lokal yaitu:
1) Agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan kearifan lokal tersebut. 2) Mampu mengolah sumber
daya, terlibat dalam
pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan, sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah, serta mampu
bersaing secara nasional dan global.
c. Siswa diharapkan mencintai tanah kelahirannya, percaya dirimenghadapi masa depan,
dan bercita-cita
mengembangkan potensi lokal, sehingga daerahnya bias berkembang pesat seiring dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.
c) Langkah Implementasi Menurut Kemendiknas (2011) menguraikan hasil analisis tentang penentuan jenis
keunggulan lokal dalam
implementasinya di sekolah dalam pembelajaran, yang meliputi :
1) inventarisasi aspek potensi keunggulan lokal,
2) analisis kondisi internal sekolah,
3) analisis lingkungan eksternal sekolah, dan 4) strategi penyelenggaraan
sekolah berbasis kearifan lokal (Zuhdan K. Prasetyo, 2013: 4).
Sedangkan langkah implementasi diatas dapat menggunakan strategi sebagai berikut (Jamal Ma’mur Asmani, 2013: 62):
1) tahap inventarisasi keunggulan lokal, 2) tahap analisis kesiapan
satuan pendidikan,
3) tahap penentuan tema dan jenis keunggulan lokal, dan
4) tahap implementasi lapangan
PENUTUP
Dari hasil pembahasan yang dapat disimpulkan, bahwa pendidikan seni tari seperti Kubro Siswo merupakan salah satu contoh pendidikan seni tari yang berbasis kearifan lokal yang syarat akan makna. Eksistensi nya harus tetap dijaga dan dilestarikan karena biar bagaimanapun juga setiap kesenian memiliki nilai luhur tersendiri baik yang bersifat lokal dan nasional. pengimplementasian nilai nilai yang berbasis kearifan lokal dapat sedini mungkin diterapkan dalam sekolah dasar dengan memperhatikan berbagai keunggulan yang nantinya akan diangkat sebagai ikonik dari daerah tersebut, dan tentu saja harus sesuai dengan kebutuhan dari sekolah masing masing.hal tersebut adalah disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan berbudaya.
DAFTAR PUSTAKA
Echols, M John dan Hassan Shadily. 2014. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta Cornell University Press dan Gramedia Pustaka Utama.
Garnerd, Howard. (1999). Multiple Intellegences. Alih Bahasa
Alexander Sindoro. Batan Centere: Interaksara.
Jamal Ma’mur. (2012). Pendidikan berbasis keunggulan lokal. Yogyakarta: DIVA Press. Joko Sutarso. (2012). Menggagas
pariwisata berbasis Budaya dan Kearifan Lokal.
Siswoyo, D., dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Pekerti, W., dkk. 2008. Metode Pengembangan Seni. Jakarta: UniversitasTerbuka.
Sumandiyo, Hadi.(2005). Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka. Dedi Rosala. (2016) Pembelajaran Seni
Budaya Berbasis Kearifan Lokal Dalam Upaya Membangun Pendidikan Karakter Siswa Di Sekolah Dasar. Jurnal Ritme. 2 (I). Hlm 17-27
Farid Rusdi. (2012). Bahasa dan Industri Radio. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. 4(II). Hlm. 505-515.
Farid Rusdi. (2012). Bahasa dan Industri Radio. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. 4(II). Hlm. 347-356.
Haidlor Ali Ahmad. (2010). Kearifan Lokal sebagai Landasan
Pembangunan Bangsa. Harmoni Jurnal Multikultural &
Multireligius. 34(IX). Hlm. 5-8. Ni Wayan Sartini. (2004). Menggali Nilai
Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasan). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. V(1). Hlm. 28-37.
Nuraini Asriati. (2012). Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui
Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan
Humaniora. 2(III). Hlm. 106-119. Pedoman Penulisan Jurnal Standardisasi.
(2014).1 Hlm xvi-xvii. Puspa Rini & Siti Czafrani. (2010).
Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Kearifan Lokal oleh Pemuda dalam rangka Menjawab Tantangan Ekonomi. Jurnal UI untuk Bangsa Sosial dan Humaniora. 1(I). Hlm. 12-24. Ulfah Fajarini. (2014). Peranan Kearifan
Lokal dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Sosio Didaktika. 1 (II). Hlm 123-131.
Sejarah Kobro Siswo Sebagai Islamisasi di Borobudur (Khoirul Rokhman-Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran) Retrieved 19/10/2017 19:50
http://akhlaktas.blogspot.co.id/201 4/01/sejarah-kobro-siswo-sebagai-islamisasi.html
Mustadi, A. (2010). Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural ( Sociocultural Based Character Education) di Sekolah Dasar, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ali Mustadi. Dinamika Pendidikan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ penelitian/dr-ali-mustadi-mpd/7- artikel-pendidikan-karakter- berwawasan-sosio-kultural-terbit- majalah-dinamika-pendidikan-2011_2.pdf.
Wagiran. (2012). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana. Pendidikan Karakter, 1-18
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. dikases pada tanggal 9 Oktober 20.10 WIB Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010
tentang Pendidikan
BerbasisKearifan Lokald ikases pada tanggal 9 Oktober 20.20 WIB