• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian (field of study). Ethnomathematics bukanlah matematika dari kelompok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian (field of study). Ethnomathematics bukanlah matematika dari kelompok"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ethnomathematics

Menurut Barton (1996:196) ethnomathematics adalah sebuah bidang kajian penelitian (field of study). Ethnomathematics bukanlah matematika dari kelompok budaya tertentu, karena matematika bukanlah kumpulan bagian matematika yang terpisah, masing-masing disumbangkan oleh kelompok yang berbeda. Melainkan ethnomathematics adalah bidang kajian penelitian yang mempelajari ide-ide matematika dalam konteks suatu budaya, yaitu konteks kelompok manapun dimana ide-ide muncul. Ethnomathematics mencakup abstraksi atau konsepsi matematika. Ethnomathematics dilakukan dengan cara menginvestigasi aktivitas-aktivitas kelompok budaya tertentu yang dinilai bersifat matematis, yang kemudian menjadi gagasan dan konsep matematika kelompok budaya tersebut. Jadi, definisi ethnomathematics harus definisi dari bidang kajian penelitian, bukan definisi bagian dari matematika atau praktik matematika. Dari definisi ini, istilah ethnomathematics dapat digunakan untuk maksud yang dihasilkan dari pekerjaan dalam bidang ethnomathematics. Secara khusus ini akan menjelaskan asal usul budaya dari konsep-konsep dan praktik-praktik dalam matematika.

Ethnomathematics adalah suatu kajian yang mempelajari cara orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengartikulasi, serta menggunakan konsep-konsep dan praktik-praktik yang menggambarkan sesuatu yang matematis. Sebagaimana diungkapkan oleh Barton (1996:196) berdasarkan pemikiran

(2)

D’Ambrosio (1992), Gerdes (1994), dan Ascher’s (1991) definisi ethnomathematics sebagai berikut:

“Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describes as mathematical”.

Istilah field of study yang dimaksudkan dalam definisi tersebut dijelaskan Barton (1996:197) sebagai sebuah bidang kajian penelitian akademis. Sedangkan istilah mathematical digunakan untuk membedakan konsep tertentu dan praktik-praktik dari orang lain yang jelas bagian dari matematika. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua subjek penting dalam ethnomathematics, yaitu the researcher dan people from other culture. Menurut Barton (1996:199-200) the researches dalam ethnomathematics adalah seseorang yang memiliki pemahaman khusus tentang matematika. Mereka bisa jadi adalah seorang matematikawan atau seseorang yang telah mendapatkan pengalaman matematika dalam riwayat pendidikannya dan people from other culture dalam ethnomathematics adalah orang-orang yang tidak memahami matematika dengan cara yang sama seperti yang dialami oleh the researcher. Selain dua subjek tersebut, hal yang penting dalam ranah/bidang kajian penelitian ethnomathematics adalah practices dan concept. Istilah practices dan concept merujuk pada praktik-praktik dan konsep-konsep yang dimiliki oleh orang-orang dari kelompok budaya lain (people from another cultural group), meliputi berbagai aktivitas atau gagasan umum dari kelompok budaya tersebut yang dapat dikatakan bersifat matematis oleh peneliti (the researcher). Adapun practices tersebut merujuk pada sesuatu yang dilakukan oleh people from another culture dan menjadi kebiasaan, yakni aktivitas yang dilakukan secara berulang dan seragam oleh kelompok budaya yang bersangkutan .

(3)

Dalam hal ini, practices harus dapat dikenali secara umum dan dapat didiskusikan, baik di dalam maupun di luar kelompok (budaya).

Menurut Gerdes (1996:909) ethnomathematics yang dapat didefinisikan sebagai antropologi budaya matematika dan pendidikan matematika, merupakan sebuah bidang menarik yang relatif baru, yang terletak diantara pertemuan matematika dan antropologi budaya. Pandangan yang dominan terhadap matematika adalah bahwa matematika terbebas dari budaya (culture-free), dan sebuah fenomena yang universal. Ethnomathematics muncul paling lambat dibandingkan dengan ethnosciences yang lain. Diantara matematikawan, ahli etnografi, psikolog dan pendidik, yakni Wilder, White, Fettweis, Luquet, dan Raum tercatat sebagai pelopor utama ethnomathematics.

Dalam pidato berjudul “The Cultural Basis of Mathematics”, disampaikan pada tahun 1950 dalam sebuah kongres matematikawan internasional, Raymond L. Wilder menyatakan bahwa bukan hal baru untuk melihat matematikawan dari perspektif budaya, karena para antropolog telah melakukannya, tetapi pengetahuan matematika mereka umumnya sangat terbatas, reaksi mereka biasanya terdiri dari pernyataan mengenai jenis aritmatika yang ditemukan dalam budaya primitif (Gerdes, 1996:910).

White (Gerdes, 1996:910) memulai penyelidikannya dengan mengajukan sebuah pertanyaan “Apakah kebenaran matematika yang berada di dunia luar sana untuk ditemukan oleh manusia, atau merupakan penemuan yang dibuat manusia?”. Dalam mencari jawaban, ia menegaskan bahwa matematika secara keseluruhan adalah bagian dari kebudayaan manusia, dan disimpulkan dengan pernyataan bahwa kebenaran matematika ditemukan tetapi juga buatan manusia. Ia melanjutkan untuk menegaskan bahwa meskipun kebenaran matematika adalah

(4)

produk dari pikiran manusia, matematika ditemui atau ditemukan oleh setiap individu dalam budaya matematika dimana ia tumbuh. Bagi White (Gerdes, 1996:910) matematika tidak berasal dari Euclid dari Pythagoras atau bahkan dari Mesir kuno atau Mesopotamia, tetapi matematika merupakan sebuah pengembangan pemikiran yang berawal dari asal-usul manusia dan budaya jutaan tahun yang lalu atau lebih.

Wilder dan White (Gerdes, 1996:911) tampaknya tidak menyadari penelitian yang dilakukan oleh ahli matematika, seorang etnolog dan pendidik dari Jerman, yaitu Fettweis (1881-1967). Di dalam penelitiannya membahas pemikiran awal mengenai matematika dan budaya. Selain itu, terdapat juga penelitian yang tidak dikenal di kalangan ahli matematika dan antropolog waktu itu, yakni refleksi dari psikolog asal Prancis Luquet tentang asal-usul budaya matematika, dan isi buku Raum (1983) yang berjudul Arithmetic in Africa tentang pentingnya memahami dan mengaitkan latar belakang budaya peserta didik dalam pembelajaran di sekolah.

Gerdes (1996:911-912) mengatakan bahwa di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, muncul kesadaran dari para matematikawan terhadap aspek-aspek budaya dan sosial dari matematika dan pendidikan matematika. Bukti untuk mendukung pernyataan ini dapat ditemukan dalam ringkasan pertemuan di berbagai pertemuan matematikawan internasional, pendidik matematika, dan pembuat kebijakan pendidikan dimana tujuan sosial dari pendidikan matematika benar-benar dipertimbangkan. Misalnya, pada tahun 1976 diadakan International Congress on Mathematical Education (ICME3, Karlsruhe, Jerman), 1978 diadakan Conference on Developing Mathematics in Third World Countries (Khartoum, Sudan), 1978 diadakan Workshop on Mathematics and the Real World (Rosklide, Denmark),

(5)

pertemuan antara matematikawan dan masyarakat pada tahun 1978 dalam International Congress of Mathematicians (Helsinki, Finlandia), 1981 diadakan Symposium on Mathematics-in the-Community (HUaraz, Peru), dan 1982 diadakan Caribbean Conference on Mathematics for the Benefit of the Peoples (Paramaribo, Suriname).

Ubiratan D’Ambrosio (Gerdes, 1996:912) ahli matematika dan pendidik matematika asal Brazil, memainkan peran yang dinamis dalam semua inisiatif ini. Selama periode itu, ia meluncurkan “Program ethnomathematical”, dan di dalam Fourth International Congress of Mathematics Education pada tahun 1984 (ICME4, diselenggarakan di Adelaide, Australia), ia mempresentasikan dalam pembukaan kuliah pleno refleksinya pada “Basis Sosial-Budaya Pendidikan Matematika”. D’Ambrosio (Gerdes, 1996:912) mengusulkan sebuah program ethnomathematical sebagai metodologi untuk melacak dan menganalisis proses dari generasi, transmisi, difusi dan institusionalisasi pengetahuan (matematis) dalam sistem budaya yang beragam.

Menurut D’Ambrosio (Gerdes, 1996:913) kurikulum matematika di sekolah harus selaras dengan budaya, tetapi bukan berarti ethnomathematics menggantikan kurikulum. Artinya, kurikulum matematika di sekolah harus menggabungkan ethnomathematics sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah mendapatkan pengetahuan, mudah memahami dan menyelaraskan pengetahuan itu dengan praktik-praktik (budaya) yang sudah mereka kenal sebelumnya.

Konsep ethnomathematics lahir dari konsep-konsep yang ada sebelumnya. Kolonialis pendidikan menyajikan matematika sebagai sesuatu yang kebarat-baratan, European, atau sebagai sebuah karya eksklusif dari orang-orang kult putih. Pada konteks tersebut, banyak pihak yang menentang dengan menyajikan

(6)

konsep-konsep dalam penelitian-penelitiannya. Berbagai konsep-konsep diajukan untuk memberikan sebuah perbedaan antara ethnomathematics dan matematika sekolah yang ditransplantasikan ke dalam sistem sekolah negara berkembang. Beberapa istilah yang diajukan, diantaranya indigenous mathematics, socio-mathematics, informal mathematics, spontaneous mathematics, folk mathematics, people’s mathematics, dan lain-lain. Berbagai aspek yang dijelaskan oleh konsep sementara tersebut sedikit demi sedikit disatukan dalam sebuah sebutan yang lebih umum oleh D’Ambrosio, yaitu ethnomathematics. Proses penyatuan tersebut dideklarasikan dalam Internatinal Study Group on Mathematics (ISGEm) pada tahun 1985 (Gerdes, 1996: 913-915).

Konsep ethnomathematics dihubungkan dengan matematika dari (sub) budaya tertentu. Matematika akademik adalah contoh konkret dari ethnomathematics. Jika semua ethnomathematics adalah matematika, maka mengapa hal itu disebut ethnomathematics?. Gerdes (1996:915) menjawab pertanyaan tersebut agar memungkinkan istilah ethnomathematics didefinisikan pada level yang berbeda, yakni sebagai sebuah kajian penelitian yang menggambarkan sebuah dukungan dan kesadaran dari adanya banyak bentuk dari matematika, khususnya untuk (sub) budaya tertentu.

Sebagai sebuah kajian penelitian, ethnomathematics dapat didefinisikan sebagai antropologi budaya dari matematika dan pendidikan matematika. Bahkan lebih umumnya, konsep ethnosciences mungkin dikembangkan. D’Ambrosio menggambarkan konsep ini sebagai studi ilmiah yang oleh karenanya fenomena technological berkaitan langsung dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Dalam pengertian ini, ethnomathematics dianalogikan sebagai

(7)

studi tentang ide-ide matematika dari sekelompok orang dan tidak tercantum dalam literatur (Gerdes, 1996:915).

Jika ethnomathematics dianalogikan pada ethnolinguistics, dapat dianggap sebagai sebuah studi matematika atau ide-ide matematika dalam hubungannya dengan seluruh budaya (ide-ide matematika) dalam hubungannya dengan seluruh budaya dan kehidupan sosial. Menurut Favrod, ethnolinguistics adalah studi bahasa dalam hubungan dengan keseluruhan budaya dan kehidupan sosial (Gerdes, 1996:916).

Gerdes (1996:917-918) memaparkan perkembangan ethnomathematics yang dapat dicirikan sbagai berikut.

1. Para ethnomathematician (Bishop, 1997:1) mengadopsi konsep-konsep umum dari matematika, yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, dan explaining.

2. Para ethnomathematician menggaris bawahi dan memperinci pengaruh dari faktor-faktor sosial budaya ke dalam pengajaran, pembelajaran dan perkembangan matematika.

3. Para ethnomathematician berpendapat bahwa teknik dan hakekat matematika adalah sebuah produk budaya; serta menekankan bahwa semua orang (setiap budaya dan sub budaya) mengembangkan bentuk matematikanya sendiri. 4. Para ethnomathematician menggaris bawahi bahwa hal-hal yang

ditransplantasikan dan dimasukkan ke dalam kurikulum matematika sekolah saat ini berbeda dengan tradisi budaya yang terdapat di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.

5. Para ethnomathematician mencoba berkontribusi terhadap pengetahuan realisasi matematika dari orang-orang kolonialis terdahulu. Mereka mencoba

(8)

untuk merekonstruksi matematika original yang berkaitan dengan cara berpikir, konsep, dan prinsip.

6. Para ethnomathematician di negara-negara “Third World” mencari matematika yang terdapat dalam sebuah tradisi yang hidup lebih lama dari kolonialis, terutama matematika dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Mereka mencoba mengembangkan cara untuk menggabungkan tradisi dan aktivitas tersebut ke dalam kurikulum.

7. Para ethnomathematician juga mencari faktor-faktor budaya dan aktivitas-aktivitasnya yang berpotensi sebagai sebuah titik awal untu pembelajaran matematika di dalam kelas.

8. Pada konteks pendidikan, para ethnomathematician umumnya menyukai suatu pandangan sosial-kritikal dan penafsiran pendidikan matematika yang memungkinkan siswa untuk merefleksikannya ke dalam kenyataan dimana mereka tinggal, dan mendorong mereka untuk mengembangkan dan menggunakan matematika dalam sebuah cara yang bebas.

Gerdes (1996:918) memaparkan tokoh lain yang berpengaruh dalam perkembangan ethnomathematics adalah Paulo Freire. Ide-idenya, khususnya yang tercantum dalam dua buah bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed (1970) dan Education for Critical Consciousness (1973) memiliki pengaruh yang terbesar pada ethnomathematics. Kutipan kalimat Freire yang terkenal adalah “If knowledge is related to culture by the processes which constitute knowledge, this must have some implication for how we treat knowledge in the didactic processes of (mathematical) education”. Freire mengungkapkan bahwa jika pengetahuan terkait dengan budaya oleh proses yang membentuk pengetahuan, maka ini akan

(9)

memiliki implikasi kepada bagaimana kita memperlakukan pengetahuan dalam proses didaktik pada pendidikan (temasuk pendidikan matematika).

Selain itu, Frankenstein dan Powel (Gerdes, 1996:919) berpendapat bahwa gerakan diantara para pendidik, yakni untuk meninjau kembali apa makna yang diperoleh dari pengetahuan matematika, untuk mengenali pengaruh budaya pada pengetahuan matematika, serta untuk mengungkap sejarah yang menyimpang dan tersembunyi dari pengetahuan matematika merupakan kontribusi yang signifikan dari Freirean (pendukung pendapat Freire). Hal tersebut merupakan perspektif ethnomathematical menyerukan agar mengkonsep ulang disiplin ilmu matematika dan praktik-praktik pedagogik pendidikan matematika. Penggunaan perspektif ini dipandang penting dalam mengembangkan kurikulum dengan orang-orang dalam budaya tersebut dan dengan menggali ethnomathematics dari budaya lain untuk menciptakan kurikulum sehingga pengetahuan matematika masyarakat akan menjadi lebih kaya.

Tampaknya bahwa sejauh ini sebagian besar penelitian ethnomathematical telah diarahkan untuk mengidentifikasi dan mempelajari berbagai budaya bentuk-bentuk matematika yang berbeda dari yang dominan, standar akademis, dan matematika sekolah. Bishop (Gerdes, 1996:926-927) membedakan diantara tiga pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ethnomathematical sebagai berikut:

1. Menyelidiki pengetahuan matematika dalam budaya tradisional. Penelitian ini telah diinformasikan oleh pendekatan antropologis yang menekankan keunikan pengetahuan dan praktik-praktik tertentu. Pada akhirnya, faktor bahasa telah dianggap sangat penting untuk dipelajari dalam penelitian ini, karena memiliki nilai-nilai dan kebiasaan dari kelompok yang bersangkutan.

(10)

2. Menyelidiki pengetahuan matematika masyarakat non-Western. Pendekatan ini lebih bersifat historis, dengan penekanan utama adalah pada analisis dokumen-dokumen sejarah.

3. Menyelidiki pengetahuan matematika kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Penekanan dalam jenis penelitian adalah socio-psychological, dengan focus mengelaborasi bagaimana pengetahuan matematika tertentu yang terkait dengan praktik-praktik nyata dari kelompok yang diteliti telah terbentuk secara sosial.

Menurut Gerdes (1996:927) berdasarkan hasil penelitian ethnomathematical diperoleh temuan yang menunjukkan bahwa pendidik matematika perlu untuk merefleksikan diri dan mengambil tindakan nyata sehubungan dengan beberapa pertanyaan yang fundamental dalam pendidikan matematika, seperti: Mengapa mengajarkan matematika? Apa yang harus diajarkan dari matematika? Oleh siapa dan kepada siapa matematika diajarkan? Siapa yang berpartisipasi dalam pengetahuan kurikulum?

Tujuan penelitian ethnomathematical, secara umum adalah untuk mendapatkan perspektif lain terhadap matematika dan pelajaran matematika. Tujuan lain dari penelitian ethnomathematical adalah untuk mengeksplorasi sifat perbedaan budaya untuk tujuan sosial atau politik (Barton 1996:198).

Ide-ide matematika berkembang di mana-mana karena orang dapat hidup dalam budaya yang berbeda, tetapi melakukan hal yang hampir sama. Beberapa kegiatan yang dilakukan semua orang sangat penting dalam mengembangkan ide-ide matematika. Bishop (1997:1) berpendapat bahwa ada enam aspek utama yang perlu diperhatikan dalam suatu budaya untuk mengembangkan ide-ide matematika, yaitu:

(11)

1. Counting (Perhitungan)

Aspek ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak”. Hal itu dilakukan dengan cara menggambarkan angka, catatan mereka, dan menghitung bersama mereka. Beberapa objek yang digunakan sebagai alat hitungan adalah jari, anggota tubuh, batu, tongkat, benang.

2. Locating (Lokasi)

Aspek itu berkaitan dengan pertanyaan “dimana”. Aspek ini menyangkut penemuan jalan di sekitar, navigasi, orientasi diri sendiri, dan menjelaskan dimana hal-hal yang berkaitan satu sama lain. Secara matematis, penentuan suatu lokasi atau letak menggunakan sistem koordinat kartesius maupun koordinat polar atau aturan-aturan pengulangan.

3. Measuring (Pengukuran)

“Berapa banyak” adalah sebuah pertanyaan yang ditanyakan dan dijawab di mana-mana. Apakah itu adalah jumlah dari kain, makanan, tanah, atau uang yang dinyatakan. Mengukur merupakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam proses jual-beli/barter, rancang bangun, menentukan tinggi-panjang-keliling-luas-kedalaman, kecepatan, dan sebagainya. Bagian tubuh, pot, keranjang, tali, manik-manik, koin, semuanya telah digunakan sebagai unit, seperti yang telah ditulis dan digambar jumlah di atas kertas atau kain.

4. Designing (Merancang)

Bentuk sangat penting dalam geometri dan berasal dari merancang objek untuk menyajikan tujuan yang berbeda. Objeknya dapat kecil dan biasa, seperti sendok, atau bahkan simbolis penting seperti kuil. Secara matematis kita tertarik pada bentuk dan desain yang digunakan dengan sifat yang berbeda.

(12)

5. Playing (Permainan)

Setiap orang bermain dan setiap orang mengambil bermain sangat serius. Tidak semua permainan penting dari sudut pandang matematika, tetapi teka-teki, paradoks logis, aturan permainan, strategi untuk menang, menebak, kesemptan dan perjudian, semua menunjukkan bagaimana dengan bermain dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan pemikiran matematika. 6. Explaining (Menjelaskan)

Memahami mengapa sesuatu terjadi seperti yang mereka lakukan adalah sebuah pencarian manusia universal. Dalam matematika kita tertarik untuk mengetahui mengapa pola angka terjadi, mengapa bentuk geometris berpola sama, mengapa satu hasil mengarah ke hasil yang lain, mengapa beberapa dari alam tampaknya mengikuti hukum matematika.

2.2 Pengungkapan Aspek-Aspek Matematis dalam Aktivitas Budaya Melalui Ethnomatematics

Literatur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran pengungkapan aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui ethnomathematics adalah sebuah Tesis yang ditulis oleh William David Barton dari University of Auckland pada tahun 1996 dengan judul Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics. Pada bagian definisi ethnomathematics, disebutkan dua subjek penting untuk mengungkap aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui ethnomathematics. Dua subjek penting tersebut adalah researcher dan people from other cultures. Menurut Barton (1996:199-200) researcher dalam study ethnomatematics adalah seseorang yang secara khusus memahami matematika. Mereka bisa jadi adalah para matematikawan atau seorang lain yang telah

(13)

mendapatkan pengalaman tentang matematika dalam riwayat pendidikannya. People from other cultures dalam ethnomathematics adalah orang-orang yang tidak memahami matematika dengan cara yang sama yang dilakukan oleh researcher.

Dua istilah penting dalam pengungkapan aspek-aspek matematis menggunkan ethnomathematics adalah practices dan concepts. Istilah practices dan concepts merujuk kepada definisi yang diyakini oleh people from other cultures. Kedua istilah itu bermakna luas dan merepresentasikan berbagai aktivitas atau ide yang dimiliki oleh sekelompok people from other cultures tersebut yang bisa dianggap bersifat matematis oleh researcher (Barton, 1996:200).

Practices merujuk kepada sesuatu yang dilakukan oleh people from other cultures dan menjadi kebiasaan. Sesuatu tersebut membutuhkan pengulangan-pengulangan aktivitas, dilakukan pula secara seragam oleh sebagian besar kelompoknya. Practices harus dapat dikenali secara umum, dan bisa untuk didiskusikan, baik bagi kelompok budaya yang bersangkutan ataupun bagi orang-orang di luar kelompok tersebut. Ide matematis yang terdapat dalam practices atau concepts tersebut bergantung kepada level abstraksi dari researcher. Level abstraksi tersebut digunakan pula untuk memahami struktur practices yang sedang dikaji (Barton, 1996:201).

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk pula pada kajian ethnomathematics ini, banyak para ilmuwan juga para matematikawan yang mengkritik disertasi Barton bahkan berujung kepada pengkritikan terhadap metodologi penelitian yang digunakan pada domain ethnomathematics itu sendiri.

Kritik langsung terhadap hal tersebut pernah dikemukakan secara terbuka oleh Vithal dan Skovsmose (Alangui, 2010:26-30) yang mempertanyakan apakah bisa proses interpretasi aktivitas budaya menjadi konsep dan model-model

(14)

matematika yang didasarkan kepada kemampuan berpikir abstrak akan menghasilkan struktur matematika yang baru dan merombak apa yang sudah dipraktikkan (dalam struktur matematika) saat ini. Kritik lain dikemukakan pula oleh Rowlands dan Carson (Alangui, 2010:36) mereka berpendapat bahwa ada banyak aktivitas budaya yang bisa dengan mudah dideskripsikan secara matematis namun sebenarnya secara matematika pendeskripsian itu tidaklah terlalu penting.

Oleh karena itu, para pengkritik ethnomathematics mempertanyakan seberapa relevankah kemampuan mengabstraksi ide-ide matematika pada aktivitas budaya itu? Lalu, apakah kemampuan abstraksi tersebut sudah secara langsung menjamin bahwa ide-ide matematis tersebut memang benar-benar ada pada aktivitas budaya yang diteliti?

Di tahun 2002 hingga tahun 2010, kritikan-kritikan tersebut telah dijawab oleh para peneliti ethnomathematics. Wilfredo Vidal Alangui adalah salah satu peneliti ethnomathematics yang menjawab kritikan-kritikan tersebut yang berasal dari University of Auckland dan salah seorang mahasiswa bimbingan Bill Barton. Alangui menjawab kritikan-kritikan tersebut melalui disertasinya yang berjudul Stone Walls and Water Flows: Interrogating Culturak Practice and Mathematics.

Dalam disertasi Alangui (2010:11) diakui bahwa hasil disertai Barton (1996) telah mengakibatkan problematis di dalam metodologi penelitian ethnomathematics. Alangui (2010) menggaris bawahinya dengan istilah “dual danger” sebagai gambaran atas problematis tersebut. Dual danger yang dimaksud adalah penggunaan ideologi kolonialisme dan praktik dekontekstualisasi pengetahuan.

Menurut Alangui (2010) jika menggunakan secara utuh hasil disertasi Barton (1996) maka “…the unintentional perpetration of ideological colonialism

(15)

and knowledge decontextualisation ini ethnomathematical research”. Dengan kata lain bahwa penelitian-penelitian ethnomathematics justru akan secara tidak sengaja mempraktikkan ideologi kolonialisme, serta melakukan dekontekstualisasi pengetahuan. Padahal semangat awal lahirnya ethnomathematics adalah sebagai kritik terhadap ideologi kolonialisme dalam pendidikan matematika serta memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kontekstualisasi pengetahuan.

Alangui (2010:11) menjelaskan maksud dari ideologi kolonialisme atau kolonialisasi yang dilakukan secara tidak sengaja disini adalah suatu pemaksaan konsep-konsep dan struktur matematika ke dalam pengetahuan yang tertanam pada praktik kebudayaan. Sebagaimana diungkapkan dengan “…the imposition of concepts and structures of mathematics into the knowledge embedded in cultural practice”. Kemudian, maksud dari dekontekstualisasi pengetahuan adalah mencabut keluar pengetahuan serta praktiknya dari konteks kebudayaan dalam rangka menyoroti makna matematika yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diungkapkannya dengan “…the taking of knowledge and practice out of their cultural context in order to highlight their inherent mathematical value”.

Menyikapi kritikan yang muncul atas metodologi yang digunakan dalam penelitian ethnomathematics, Alangui (2010) mengajukan istilah baru yaitu “Mutual Interrogation”. Metodologi mutual interrogation dalam penelitian ethnomathematics sebenarnya adalah modifikasi dari Barton (1996). Di beberapa bagan, perspektif yang digunakan Alangui (2010) masih mengadopsi perspektif Barton (1996). Mutual interrogation boleh dipandang sebagai upaya untuk melakukan Critical Dialogues (dialog kritis) sehingga memungkinkan para peneliti (ethnomathematicians) mengemukakan alasan kultural perlunya ethnomathematics seklaigus menepis kemungkinan terjadinya dual danger.

(16)

Definisi mutual interrogation adalah suatu proses yang mengatur dua sistem pengetahuan yang berkedudukan sama (tidak menjadi bagian dari yang satu dengan yang lain) dalam rangka untuk menyoroti kesamaan dan perbedaan diantara keduanya, serta untuk menggali potensi demi meningkatkan bahkan mentransformasi bentuk keduanya. Sebagaimana diungkapkan bahwa mutual interrogation adalah “…the process of setting up two systems of knowledge in parallel to each other in order to illuminate their similiarities and differences, and explore the potential of enhancing and transforming each other” (Alangui, 2010:86).

Maksud dari dua sistem pengetahuan di atas merujuk kepada: (1) pengetahuan yang tertanam pada aktivitas budaya, dan (2) pengetahuan lazim dari matematika. Poin penegasannya ada pada matematika, ini karena dalam konteks pembicaraan ethnomathematics penegasan tersebut berarti menemukan atau mengungkap perbedaan cara-cara mengetahui hal-hal yang dianggap sebagai elemen-elemen matematika. Kemudian, proses interogasi (pemeriksaan, pengajuan pertanyaan) terhadap dua sistem pengetahuan diselenggarakan dengan cara melakukan dialog kritis antara pelaku budaya dan matematikawan melalui perantara peneliti ethnomathematics.

Alangui (2010) meyakini bahwa untuk menghindari dual danger maka sudah menjadi kebutuhan yang pokok untuk bersikap kritis dan melakukan dialog-dialog yang bersifat interogatif secara konstan. Prinsip mutual interrogation adalah mengakui posisi dan cara pandag dari para ahli di dua sistem pengetahuan (pelaku budaya dan matematikawan). Penyelenggaraan dialog menjadi semacam mimbar bagi pelaku budaya untuk menyuarakan opini dan pandangan mereka.

(17)

Dari literatur di atas, dapat dikaji bahwa melalui mutual interrogation, peran para peneliti ethnomathematics menjadi sangat krusial (penting). Ini dikarenakan melalui para penelitilah proses interogasi kepada dua ahli sistem pengetahuan dapat diselenggarakan. Selain memfasilitasi terselenggaranya dialog tersebut, para peneliti ethnomathematics juga diharapkan dapat melakukan refleksi secara kritis terhadap asumsi dan keyakinan mereka sendiri tentang matematika dan mampu menggali alternatif-alternatif konsep. Diharapkan melalui proses tersebut para peneliti ethnomathematics pada akhirnya mendapatkan “perceptual shift” (persepsi baru yang lebih tinggi) tentang matematika. Penggambaran mengenai perceptual shift dapat disimak dari pernyataan Alangui (2010:45-46) berikut ini:

“This shift or change in conception of mathematics, when it finally happens, is a critical moment in the ethnomathematical process, and is necessarily influenced by the perspective that the ethnomathematician uses ih her/his investigation and the way s/he conducts the investigation”.

2.3 Tata Upacara Adat Jambi

Beberapa jenis dan bentuk upacara tradisional biasanya dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu manusia memasuki suatu tingkatan atau tahapan di dalam daur (lingkaran) hidup, pada saat manusia akan memulai suatu kegiatan yang berkenaan dengan aktivitas hidup sehari-hari dan sebagainya. Waktu-waktu serupa itu dirasakan sebagai saat-saat yang "genting" atau berbahaya karena dianggap dapat menimbulkan malapetaka, membawa kesengsaraan dan penyakit kepada manusia. Oleh sebab itu, meskipun hampir seluruh masyarakat Jambi telah memeluk agama Islam, namun pada saat ini banyak diantara mereka masih melakukan upacara-upacara tersebut yang dianggap sebagai sisa warisan kepercayaan nenek moyang. Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:6) menyatakan bahwa ada beberapa upacara adat yang ada di Jambi

(18)

antara lain 1) upacara pengukuhan pemberian gelar; 2) upacara kelahiran anak; 3) upacara cukuran, pemberian nama, dan kekah; 4) upacara khitanan; 5) Upacara adat perkawinan. Mengenai upacara adat perkawinan masyarakat jambi akan dibahas lebih lanjut.

2.3.1 Upacara Adat Perkawinan

Upacara adat perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting bagi setiap anggota masyarakat. Upacara yang suci ini akan menentukan masa depan suatu keluarga baru dalam pergaulan antar warga dan antar keluarga, serta akan mengubah struktur warga masyarakat lingkungan atas kehadiran keluarga baru ini. Untuk itu perlu diawali dengan kehati-hatian dan perhatian yang penuh dari orang tua agar pergaulan putra-putrinya yang sudah akil baligh dan sudah siap untuk menjelang hidup berumah tangga. Pergaulan muda-mudi yang sudah siap berumah tangga ini agar tetap dalam tatanan adat istiadat yang berlaku. Menurut Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi (2001:9) ada beberapa tahapan dalam upacara adat perkawinan antara lain sebagai berikut.

a. Masa Perkenalan

Suatu pernikahan diawali oleh perkenalan ataupun pergaulan bujang gadis dengan waktu dan tempat yang bermacam-macam. Masa ini disebut juga masa berusik sirih bergurau pinang. Perkenalan bujang gadis diawali dengan pertemuan yang terjadi pada waktu gotong royong (berselang), merencam (menugal) padi lading, menuai padi sawah dan lading (panen), dalam kunjungan berkunjung waktu lebaran, berelek kawin perkenalan waktu bertandang dan sebagainya. Menurut Lembaga Adat Provinsi Jambi (1993:66) tata cara pergaulan bujang gadis dapat digolongkan dalam 5 cara, yaitu :

(19)

1) Berbalas pantun waktu bujang bertandang.

2) Bersimbat pantun waktu siang hari (dalam perjalanan berkayuh perahu, di lading dan di sawah).

3) Pelarian/ganti hari mengerjakan (menyiang padi ladang dan merumput padi sawah), mantau, karenok, dan bertale.

4) Berselang ketalang petang. 5) Perjodohan.

Menurut Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi (2001: 10-11) ada beberapa ketentuan yang perlu diingatkan oleh para orang tua agar pergaulan bujang gadis ini masih berada dalam batas-batas pergaulan yang sesuai dengan adat istiadat, antara lain sebagai berikut:

1) Dalam rangka semata-mata mencari jodoh, maka putra dan putri dibolehkan saling bertemu untuk berusik sirih bergurau pinang.

2) Pertemuan itu hanya sebatas sampai pada kesimpulan bahwa sang calon memang sudah jodoh masing-masing, selanjutnya kalau sudah setuju maka disampaikan kepada orang tua untuk ditindaklanjuti. Namun, bila kedua belah pihak keluarga sudah saling bersepakat, maka perkawinan dapat saja dilangsungkan tanpa adanya pertemuan.

3) Apabila anak ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, maka orang tua harus menjelaskan beberapa prinsip perkawinan yaitu:

a) Perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan bathin yang sakral (suci), yang kokoh mengikat kedua belah pihak suami istri dalam kehidupan berumah-tangga yang bahagia.

(20)

b) Perkawinan itu harus dilakukan dengan bersedikan syara’ supaya sah menurut agama dan jangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Perkawinan boleh dilakukan dalam satu suku atau dengan suku lain. 4) Tidak dilarang perkawinan sepupu.

5) Perkawinan melibatkan tanggung jawab orang tua, nenek-mamak, dan tuo-tengganai.

6) Bila terjadi lamaran di tolak, atau tidak mendapat restu dari salah satu pihak orang tua, boleh kawin lari dengan syarat:

a) Bujang gadis tersebut larinya ke rumah Hakim Agama atau Ketua Lembaga Adat.

b) Orang tua/wali bersedia menikahkan atau membayar denda.

c) Hakim/ketua lembaga adat bersedia menampung bujang gadis tersebut. d) Umur bujang gadis tersebut sudah mencapai akil-baligh yaitu gadis telah

kena haid/mentruasi lebih kurang berusia 15 tahun dan bujang telah mampu bekerja sebagaimana umumnya orang desa mencari nafkahnya.

b. Duduk Betanyo

Untuk melakukan pendekatan lebih lanjut hubungan muda mudi ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan, maka dari pihak laki-laki mengutus keluarga untuk menanyakan kepada pihak perempuan, mengenai keadaan apakah yang perempuan sudah ada yang punya atau belum dan sebagainya, yang dinamakan duduk betuik tegak betanyo. Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:12-13) urutan dalam melakukan duduk betanyo adalah sebagai berikut.

(21)

1) Mengirim utusan kepada pihak sigadis untuk menanyakan apakah sigadis sudah kundangan orang (tunangan orang) atau belum, sambil menjelaskan kepada pihak orang tua sigadis antara sibujang dan sigadis hatinya sudah terpaut satu sama lain. Kalau sudah ada kesesuaian maka utusan atau menti menyerahkan bungo nan berangkat, buah nan betampuk berupa tepak sirih kepada pihak orang tua sigadis

2) Bila ternyata sigadis sudah ditandai orang tidak boleh ditindaklanjuti dengan melamar. Kalau sigadis belum ada yang melamarnya, maka pihak sibujang boleh menindaklanjuti duduk betanyo dengan mengirim utusan resmi dengan membawa sirih tanyo pinang tanyo sebagai tanda pengikat berupa: (a) Pakaian perempuan sepelulusan (b) Sirih pinang senampan (c) Cincin emas belah rotan 3) Orang tua sigadis memusyawarahkannya terlebih dahulu kepada sanak- saudara, sanak-meman sigadis, suku serta nenek-mamak dan tengganai dalam keluarga.

4) Bila sudah duduk bertunangan, maka akan berlakulah ikat buik janji semayo, yaitu apabila pihak laki-laki mungkir janji dan memutuskan pertunangan secara sepihak, maka sirih tanyo pinang tanyo dinyatakan hilang atau disebut emas terlucir pulang mandi, apabila sigadis yang memutuskan pertunangan secara sepihak, maka sirih tanyo pinang tanyo dikembalikan dua kali lipat atau disebut so balik duo.

5) Tindak lanjut dari pertunangan, maka nenek-mamak kedua belah pihak akan mengadakan pertemuan selanjutnya untuk membicarakan dan menentukan a) Tingkat adat yang akan diisi dan lembago yang akan dituang.

b) Hari mengisi adat menuang lembago.

(22)

d) Menentukan mas kawin/mahar, sesuai permintaan calon pengantin.

e) Hari ulur, antar serah terima pengantin atau hari labuh lek atau disebut juga hari peresmian pernikahan.

c. Mengisi Adat Menuang Lembago

Pada hari telah ditetapkan bersama, maka dilaksanakan upacara mengisi adat menuang lembago, atau disebut juga hari ulur antar serah terima adat. Adapun adat dan lembago itu ado dua macam, yaitu adat lembago yang penuh dan adat lembago yang minimal.

Menurut Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi (2001:14) adat lembago yang penuh adalah sebagai berikut.

1) Yang berupa adat yaitu:

a) Emas murni seberat 3,5 tail.

b) Bedil selaras yang bermakna kecil kawan mencari, gedang kawan menjemput.

c) Tombak sebatang yang bermakna titian jalan kejenang, tango jalan ke rajo.

d) Timbangan emas bermakna rajo adil disembah, rajo zalim rajo sisanggah. 2) Yang berupo lembago yaitu :

a) Kerbau seekor, beras seratus, kelapa seratus tali (dua ratus butir) selemak semanis.

b) Seasam segaramnya.

c) Ayam tujuh ekor bermakna anak elang beranak tujuh. d) Sirih bergagang.

(23)

e) Pinang Bertandan. f) Uang tunai.

g) Pakaian perempuan dua pelulusan.

h) Isi kamar berupa: tempat tidur, almari pakaian, bupet bercermin.

Akan tetapi isi kamar tidak termasuk lembago, hanya berupa harta bawaan oleh pihak laki-laki, kalau terjadi perceraian harta bawaan dibawa kembali.

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:15) adat lembago yang minimal terdiri dari tiga tingkatan.

1) Tingkat pertama dinamakan tingkat adat penuh keatas (lek balik ke negeri). a) Adatnya berupa uang tunai dan pakaian perempuan sepelulusan.

b) Lembagonyo berupa kerbau seekor, beras seratus, kelapo seratus tali (dua ratus butir) selemak semanis seasam segaram.

2) Tingkat kedua dinamakan tingkat adat menengah (lek balik ke nenek-mamak). a) Adatnya sama dengan tingkat pertama.

b) Lembagonyo berupa kambing seekor, beras dua puluh, kelapa dua puluh tali (empat puluh butir) selemak semanis seasam segaramnyo.

3) Tingkat ketiga dinamakan tingkat adat penuh kebawah (lek balik ke tengganai).

a) Adatnya sama dengan tingkat pertama.

b) Lembagonyo adalah berupa ayam dua ekor (prinsipnya kaki empat), beras dua gantang, kelapa dua tali, selemak semanis seasam segaramnya.

d. Hari pernikahan/ijab kabul

Hari pernikahan (hari labuh lek) telah disepakati pada saat perundingan setelah lamaran diterima oleh nenek-mamak pihak perempuan. Ada yang

(24)

dilangsungkan pada hari mengisi adat menuang lembago, yaitu setelah upacara ulur antar serah terimo adat dan lembago, ada pula yang menetapkan pada hari yang lain.

Adakalanya hari pelaksanaan akad nikah atau ijab kabul ditangguhkan mendekati hari peresmian pernikahan atau hari labuh lek. Pada hari yang sudah disepakati bersama antara nenek-mamak pihak laki-laki dan perempuan, maka dilaksanakan upacara akad nikah atau ijab kabul antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang merupakan kewajiban hukum syara’.

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:17-18) persiapan dan urutan pelaksanaan akad nikah adalah sebagai berikut.

1) Calon pengantin harus mengambil surat izin nikah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah.

2) Surat-surat tersebut didaftarkan ke kantor urusan agama (KUA).

3) Yang menjadi wali nikah, terutama sekali ayah kandung pengantin perempuan, kalau tidak ada lagi maka urutannya akan ditentukan oleh kepala KUA.

4) Yang memimpin ijab kabul adalah wali nikah. Saksi ijab kabul, sebaiknya seorang dari pihak laki-laki dan seorang dari pihak perempuan.

5) Kepala KUA memberikan petunjuk-petunjuk, mencatat dan menuntun calon pengantin laki-laki mengucap syahadat, mengucap istigfar, mengajarkan pengantin laki-laki untuk menerima ijab kabul, dan membacakan khotbah nikah serta do’a khusus pengantin.

6) Nenek-mamak dari pihak pengantin perempuan menentukan dan mengatur: a) Pakaian yang dipakai calon pengantin untuk pelaksanaan akad nikah. b) Alas tempat duduk calon pengantin waktu pelaksanaan akad nikah.

(25)

c) Kehadiran calon pengantin perempuan untuk mendampingi pengantin laki-laki walau pelaksanaan akad nikah.

d) Masing-masing pengantin saling memasangkan cincin. e) Berjabat tangan dan sang istri mencium tangan suaminya.

f) Sujud kepada dua orang tua kedua belah pihak, menyalami para nenek-mamak, tua-tengganai, dan alim ulama serta ibu-ibu yang hadir.

g) Menentukan siapa-siapa nenek-mamak, tengganai, dan alim ulama yang harus hadir dalam pelaksanaan akad nikah.

7) Mahar/mas kawin boleh berupa emas, uang tunai, atau seperangkat alat sholat, sesuai permintaan dan persetujuan pengantin perempuan dan diserahkan langsung oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, atau melalui wali nikahnya segera setelah akad nikah.

8) Kain pelangkah, wujudnya berupa kain sarung perempuan yang kena langkah. 9) Setelah upacara akad nikah/ijab kabul, pengantin laki-laki serta arak dan

iringannya kembali ke rumah orang tuanya. Meskipun menurut syara’ kedua pengantin sudah sah sebagai suami-istri, namun kepada keduanya diminta untuk membatasi diri sampai pelaksanaan peresmian pernikahan atau labuh lek.

e. Ulur antar serah terima pengantin (Labuh lek)

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (1993:88) beberapa tradisi yang dilakukan oleh calon mempelai perempuan sebelum pelaksanaan perkawinan antara lain sebagai berikut.

1) Bertanggas dengan ramuan serai wangi, umbut pandan, daun jerut purut. 2) Minum air rebusan yang bahannya terdiri dari akar-akar dan daun-daun.

(26)

3) Memantangkan memakan nasi berkuah.

4) Diberi bedak dalam jangka waktu beberapa waktu.

5) Memakai bedak beras yang sudah direndam beberapa hari lamanya dan kemudian ditumbuk sampai halus bersama umbut pandan, umbut serai, pucuk nilam, dan mato kunyit.

6) Berinai pada jari tangan dan jari kaki, telapak kaki dan telapak tangan pada bagian tengah.

Adapun persiapan dan urutan pelaksanaan upacara ulur antar serah terima pengantin adalah sebagai berikut.

1) Acara menjemput pengantin laki-laki

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:19-20) acara menjemput pengantin laki-laki dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Nenek-mamak dan tuo-tengganai dari pihak pengantin perempuan datang menjemput pengantin laki-laki.

b) Sesampainya dirumah pengantin laki-laki, maka nenek-mamak dan tuo tengganai pengantin perempuan melalui juru bicaranya mengajukan maksud kedatangannya sambil menyerahkan tepak-sirih mengajak makan sirih

c) Nenek-mamak tuo-tengganai dari pengantin laki-laki setelah menerima tepak sirih dari nenek-mamak pengantin perempuan membalas memberikan tepak sirih kepada nenek-mamak pihak pengantin perempuan, sambil minta dicicipi pula sirihnya.

d) Selesai makan sirih, maka dimulai perundingan melalui juru bicara masing-masing pihak mengenai rencana penjemputan pengantin laki-laki, setelah terdapat kesepakatan kedua pihak, maka berangkatlah pengantin laki-laki

(27)

didampingi nenek-mamak penjemput dan nenek-mamak pengantar dengan segala arak dengan iringannya ke rumah pengantin perempuan.

e) Pengantin laki-laki diarak diatas burung garuda, dikawal oleh pasukan pencak silat dan diiringi oleh tabuhan kompangan. Setelah sampai di halaman rumah pengantin perempuan dilakukan pula acara menerima arakan pengantin oleh pihak perempuan.

2) Acara yang dilakukan di halaman

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:19-23) acara yang dilakukan di halaman di lakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut ini. a) Sesampainya arak dan iring pengantin laki-laki di halaman rumah pengantin

perempuan, maka disambut dengan pencak silat.

b) Kemudian dilakukan kato berjawab dan gayung bersambut antara juru bicara pihak pengantar dan juru bicara pihak penunggu.

c) Setelah selesai dilakukan kato berjawab gayung bersambut dan rombongan nenek-mamak tua-tengganai serta arak dan iringannya dipersilahkan masuk, maka dilakukan tabor beras kunyit oleh ibu-ibu dari pihak pengantin perempuan. Selanjutnya nenek-mamak dari pihak pengantar dipersilahkan naik ke pentas yang telah dipersiapkan yang disebut balairung sari.

3) Acara yang dilakukan di balairung sari

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:21) acara di balairung sari dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Nenek-mamak pengantar melalui juru bicaranya mengadakan kato berjawab gayung besambut lagi dengan nenek-mamak pihak penunggu.

b) Kemudian setelah selesai kedua pihak melaksanakan kato bejawab gayung besambut, maka perundingan diangkat kepada nenek-mamak penengah.

(28)

Nenek-mamak penengah mengadakan penelitian terhadap perundingan kedua belah pihak dan memberikan petuah-petuahnya. Setelah selesai petuah-petuah dari pihak nenek-mamak penengah, maka kedua belah pihak nenek-mamak pengantar dan penunggu berjabat tangan. Selanjutnya pengantin laki-laki dibawa oleh nenek-mamak pihak pengantin perempuan ke dalam rumah menuju bilik atau tempat pengantin perempuan. Sesampainya di depan bilik atau kamar pengantin perempuan diadakan acara buka lanse(buka pintu).

4) Acara buka lanse

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:21) acara buka lanse dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Sesampainya pengantin laki-laki di depan bilik atau kamar pengantin perempuan juru syair pengantin laki-laki melantunkan syairnya yang menyataan kedatangan pengantin laki-laki dan memohon dibukakan pintu (lanse).

b) Kemudian dijawab oleh juru syair pengantin perempuan, dengan mengemukakan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengantin laki-laki untuk membuka pintu atau lanse.

c) Setelah terdapat kesepakatan dari juru syair akan syarat untuk membuka lanse, barulah dapat dipertemukan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan. Setelah pengantin laki-laki masuk ke dalam bilik dan dipertemukan dengan pengantin perempuan, maka keduanya dibawa nenek-mamak ke tempat pertimbangan pengantin.

(29)

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara di tempat timbangan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Pertama pengantin perempuan dinaiki keatas timbangan dan ditimbang dengan anak timbangan berupa kebutuhan pangan, sebagai lambang kemakmuran. b) Kedua pengantin laki-laki ditimbangan dengan anak timbangan dari bahan

yang sama. Setelah itu dibawa ke tempat ayunan, sebagai pelambang bahwa kedua pengantin telah memasuki masa peralihan dari masa kanak-kanaknya, dan diayun sebagai terakhir kalinya selama masa kanak-kanaknya.

6) Acara di tempat ayunan

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara di tempat ayunan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Kedua pengantin diayun oleh nenek-mamak dengan dinyanyikan pantun seloko yang berisi peringatan, petunjuk, dan petuah bagi kebahagiaan hidup keduanya.

b) Setelah diayun keduanya dibawah ke rumah nan bergonjong, sesampainya di depan rumah nan begonjong kedua mempelai mengikuti acara menginjak kepala kerbau.

7) Acara menginjak kepala kerbau

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara menginjak kepala kerbau dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Dihalaman atau di depan rumah nan begonjong kedua pengantin menginjak kepala kerbau.

(30)

b) Setelah disiram dengan santan bemanis, lalu dibilas dengan air bersih dan dikeringkan oleh petugas yang ditunjuk oleh nenek-mamak pengantin perempuan. Selanjutnya kedua pengantin di bawa ke rumah nan begonjong. 8) Acara di rumah nan begonjong

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22-23) acara di rumah nan begonjong dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Bahwa mereka berdua mengikuti ketentuan adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.

b) Tunjuk ajar dari pemuka adat atau ketua lembaga adat setempat.

c) Rumah nan begonjong itu terdiri dari: halaman nan bersapu adat; bertangga tanduk, yaitu kepala kerbau.

d) Struktur rumah nan begonjong terdiri dari: bangunan bersegi delapan, perlambang undang nan delapan; beratap ijuk, perlambang adat tak luput dihujan dan tak lekang dipanas; puncak atapnya bersanggul (gonjong), perlambang perempuan yang sejati. Dari rumah nan bagonjong, kedua mempelai dibawa ke putro ratno untuk mengikuti acara berikutnya.

9) Acara di putro ratno

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:23) acara di putro ratno dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Setelah sampai di putro ratno kedua mempelai didudukkan dengan posisi pengantin laki-laki duduk di sebelah kanan dan pengantin perempuan duduk di sebelah kiri.

b) Setelah itu disuapkan nasi sapat yaitu nasi kunyit panggang ayam atau nasi senokono, oleh kedua belah pihak orang tua mempelai dan nenek-mamak kedua pengantin. Suapan nasi sapat adalah perlambangan bahwa telah

(31)

berakhirnya masa anak-anak, dan dimulai saat itu berarti sang anak telah menjadi dewasa

10) Pengumuman (Iwa)

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:23) Iwa dilakukan untuk mengumumkan bahwa telah terjadi persemendoan antara kedua pihak keluarga dan semakin lebarnya kekeluargaan dan kekerabatan, oleh petugas yang telah ditunjuk dan ahli dibidangnya.

11) Pembacaan doa

Seluruh rangkaian acara ditutup dengan doa sebagai ungkapan rasa syukur atas telah terselenggaranya perhelatan dengan selamat dan mohon keselamatan bagi kedua mempelai dan seluruh keluarga serta hadirin sekalian yang hadir.

2.4 Teori Belajar Konstruktivisme dan Kognitivisme Vygotsky 2.4.1 Teori Belajar Konstruktivisme

Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Taylor (Haryanti, 2012:2) mengemukakan bahwa pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi. Vygotsky menekankan pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan. Karena interaksi sosial merupakan faktor penting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan

(32)

lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.

Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara interpsikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological). Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara interpsikologi (antar orang) dan intrapsikologi (dalam diri individu) (Haryanti, 2012:2-3). Dalam pembelajaran matematika, konstruktivisme membantu siswa membangun konsep/prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (proses pemerolehan informasi) dan proses transformasi (proses pengolahan informasi) (Endang,2009:253).

Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide. Pertama, perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa. Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan (Slavin, 2005:44).

Vygotsky (Slavin, 2005:243-244) mengemukakan ada empat prinsip dalam pembelajaran yaitu:

(33)

Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.

2. ZPD (zone of proximal development).

Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.

3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).

Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.

4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning).

Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan

(34)

kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

Fornot (Haryanti, 2012:5-6) mengemukakan aspek-aspek konstruktivisme, yaitu adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of enviroment), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

1. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang. 2. Akomodasi

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan. Akibat

(35)

ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang. Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Konstruktivisme Vygotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivisme Vygotsky lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Haryanti, 2012:7).

Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu: 1. Mencari tahu dan mengahargai titik pandang/pendapat siswa. 2. Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa. 3. Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa.

4. Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa.

5. Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari.

6. Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengetahuan lama yang mereka miliki.

7. Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.

(36)

8. Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama.

9. Kontrol kecepatan, dan focus pembelajaran ada pada siswa.

10. Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa (Ayuni, 2014:7-8).

Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.

3. Murid aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.

5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.

6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. 7. Mencari dan menilai pendapat siswa.

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan

(37)

mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya (Ayuni, 2014:8).

Teori konstruktivisme memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:

1. Dalam aspek berfikir yakni pada proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, menggali ide, dan membuat keputusan. 2. Dalam aspek kepahaman seorang murid terlibat secara langsung dalm

membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya dalam senua situasi.

3. Dalam aspek mengingat yakni murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan mengingat lebih lama konsep melalui pendektan ini murid dapat meningkatkan kepahaman mereka.

4. Dalam aspek kemahiran sosial yakni kemahiran sosial diperoleh apabila seorang murid berinteraksi dengan teman, kelompok kerja maupun dengan guru dalam proses mendapatkan ilmu pengetahuan maupun wawasan baru (Ayuni, 2014:10).

Teori konstruktivisme memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan, yakni:

1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.

(38)

2. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.

3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

4. Meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalnnya proses belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan.

5. Dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung, siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya (Ayuni, 2014:10-11).

2.4.2 Teori Belajar Kognitivisme Vygotsky

Dalam prespektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku individu bukan semata-mata respon terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah prases mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan teori belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah

(39)

laku yang tampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar adalah aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks (Dewi, 2015:2).

Menurut Vygotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran, persepsi, dan kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Mekanisme yang mendasari kerja mental tingkat tinggi itu merupakan salinan dari interaksi sosial (Confrey, 1995:38). Dalam pandangan Vygotsky, semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial setiap individu dalam konteks budaya tertentu atau dengan meminjam istilah Wilson dkk. (1993:69), kognisi merupakan internalisasi dari interaksi sosial. Teori kognisi sosial dari Vygotsky ini mendorong perlunya landasan sosial yang baru untuk memahami proses pendidikan.

Vygotsky sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe- tipe manusia. Menurut Vygotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Konsep ini oleh Vygotsky dinamakan pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship). Pemagangan kognitif mengacu pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud di sini adalah orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari. Jadi, dapat berupa orang dewasa atau kawan sebaya (Slavin,2005:244).

(40)

Setiap anak akan melewati dua tingkat (level) dalam proses belajar, yaitu pertama pada level sosial, yaitu anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan kedua pada level individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi. Internalisasi merupakan proses transformasi tindakan eksternal (perilaku) menjadi kerja psikologis internal (proses) (Taylor, 1992:13).

Dari uraian di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru hendaknya mengorganisasi situasi kelas dan menerapkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa saling berinteraksi dengan temannya dan guru, serta menstimulus keterlibatan siswa melalui pemecahan masalah yang membutuhkan kehadiran orang lain (guru atau teman sebaya yang lebih memahami masalah) dan memberikan bantuan di saat mereka mengalami kesulitan.

Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada Daerah Perkembangan Terdekat (Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky (Taylor, 1992:9-10) mendefinisikan bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) is the distance between the actual developmental level as determined through independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers. Dari definisi ini Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan

(41)

memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.

Gambar 2.1 Zone of Development

ZPD adalah jarak antara taraf perkembangan aktual, seperti yang nampak dalam pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial, seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dengan bekerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dalam definisi di atas, taraf perkembangan aktual merupakan batas bawah ZPD, sedangkan taraf perkembangan potensial merupakan batas atasnya. Vygotsky juga mencatat bahwa dua anak yang mempunyai taraf perkembangan aktual sama, dapat berbeda taraf perkembangan potensialnya. Jadi ZPD mereka masing-masing berlainan meskipun berada dalam situasi belajar yang sejenis.

Interaksi sosial antara anak dan orang dewasa mempunyai peranan penting dalam ZPD. Menurut Brown & Ferera (Confrey, 1995:40) mengutip penjelasan interaksi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Mula-mula anak mengalami kegiatan pemecahan masalah secara aktif dengan kehadiran orang lain, tetapi kemudian secara berangsur-angsur dia mampu mengerjakannya secara mandiri. Proses internalisasi berlangsung secara bertahap: mula-mula orang dewasa mengatur dan memandu kegiatan anak itu, tetapi secara berangsur-angsur orang

Gambar

Gambar 2.1 Zone of Development
Gambar 2.2  Empat Tahap Perkembangan ZPD (Tharp & Gallimore, 1988:35 )  Vygotsky  menyatakan  bahwa  tingkatan  pengetahuan  atau  pengetahuan  berjenjang  ini  disebutnya  scaffolding

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penggunaan What if pada model CPM, apabila terjadi keterlambatan pada pekerjaan yang terkena jalur kritis, maka predecesor atau pekerjaan selanjutnya

Modul Pembuatan Keju 5 Kelas XII A/Sosial Hal ini tidak berlaku pada keju yang tidak melalui proses pematangan. Keju harus

Menurut beliau, ada beberapa tips yang dapat dilakukan agar luka perineum tidak menimbulkan infeksi serta waktu penyembuhan luka menjadi lebih cepat. Tips tersebut diantaranya

Seseorang penulis tidak berjaya menghasilkan sebuah karya yang baik. hanya mengadap komputer

The Code of Conduct of PT Bakrieland Development Tbk ’s Internal Audit Division refers to internal audit standards set by The Institute of Internal Auditors, Inc and refers to

Reduction in exercise increases the occurrence of lameness in meat-type chickens. Locomotor activity is dramatically reduced during the finishing period in chickens from

PROMOTING GREEN & HEALTHY LIFESTYLE: Pada tahun 2015, program edukasi kebersihan, pemilihan sampah, hidup sehat dan ramah lingkungan di seluruh kawasan proyek properti

Using the provisions of ISO 19111, any of the above-listed combinations forming a spatio-parametric CRS may be associated with a temporal CRS, as described in ISO 19108, to form