• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEW EMERGING DISEASE DAN KEJADIAN LUAR BIASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NEW EMERGING DISEASE DAN KEJADIAN LUAR BIASA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

NEW EMERGING DISEASE DAN KEJADIAN

LUAR BIASA

Kelompok 5:

Nuansa Chalid (1102006192)

Ahmad Rifaii(1102007014)

Diah Kartika (1102008071)

Izza Ayudia Hakim (1102009150)

KEPANITERAAN KESEHATAN MASYARAKAT

KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

(2)

1) Sistem Pelaporan Kejadian Luar Biasa

Standar baku surveilence KLB bagi instansi pemerintah dalam bidang kesehatan

yaitu :

1. Laporan Kewaspadaan (Dilaporkan dalam waktu 24 jam)

Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita, atau tersangka

penderita penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Yang diharuskan

menyampaikan laporan kewaspadaan adalah :

a. Orang tua penderita atau tersangka penderita/orang dewasa yang

tinggal serumah dengan penderita tau tersangka penderita/ kepala

keluarga/ ketua RT/ RW/kepala dusun.

b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita/dokter hewan

yang memeriksa hewan tersangka penderita.

c. Kepala stasiun kereta api, kepala terminal kendaraan bermotor, kepala

asrama, kepala sekolah/ pimpinan perusahaan, kepala unit kesehatan

pemerintah atau swasta.

d. Nahkoda kendaraan air dan udara

Laporan kewaspadaan disampaikan kepada Kepala Lurah atau Kepala

Desa dan atau Unit Kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam

sejak mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita KLB/ baik

dengan cara lisan, maupun tertulis. Kemudian laporan kewaspadaan

tersebut harus diteruskan kepada laporan kepala Puskesmas setempat.

Isi laporan kewaspadaan tersebut adalah :

Nama penderita hidup atau telah meninggal

Golongan umur

Tempat dan alamat kejadian

Waktu kejadian

Jumlah yang sakit dan meninggal

ALUR LAPORAN KEWASPADAAN

2 | P a g e Rumah Sakit, Instansi lain (Stasiun, Perush) Dinas Kesehatan Camat Puskesmas pembantu/bidan desa PUSKESMAS Desa/keluraha n Dusun/RT/RW Penyelidikan epidemiologi dan Penyelidikan

(3)

Ket:

2. Laporan Kejadian Luar Biasa (W1) Dilaporkan Dalam Waktu 1 x 24

jam

Merupakan salah satu laporan kewaspadaan yang dibuat oleh unit

kesehatan, segera setelah mengetahui adanya KLB penyakit

tertentu/keracunan makanan. Laporan ini digunakan untuk melaporkan

KLB atau wabah, sebagai laporan peringatan dini kepada pihak-pihak

yang menerijma laporan akan adanya KLB penyakit tertentu di suatu

wilayah tertentu. Laporan KLB ini harus memperhatikan asas dini, cepat,

dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang dapat dilakukan dengan

lisan atau tertulis.

Laporan KLB (W1) ini harus diikuti dengan laporan Hasil Penyidikan

KLB dan Rencana Penanggulangannya.

Unit kesehatan yang membuat laporan KLB (W1) adalah Puskesmas,

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Propinsi, dengan berpedoman pada

format Laporan KLB (W1).

Formulir Laporan KLB (W1) adalah sama untuk Puskesmas, Kab/Kota

dan Propinsi, dengan Kode berbeda. Berisi nama daerah KLB (desa,

kecamatan, kabupaten/kota dan nama puskesmas), jumlah penderita dan

Bantuan Penyelidikan dan penanggulangan

(4)

meninggal pada saat laporan, nama penyakit, dan langkah-langkah yang

sedang dilakukan. Satu formulir W1 berlaku untuk 1 jenis penyakit saja.

ALUR LAPORAN KLB (W1)

Laporan KLB Puskesmas (W1PU) :

Laporan KLB Puskesmas (W1Pu) dibuat oleh Puskesmas kepada camat

dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Laporan KLB Rumah Sakit (KD/RS) :

Laporan adanya penyakit KLB di RS dibuat oleh Rumah sakit dikirim ke

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Menteri Kesehatan (Dirjen PPM&PL) Gubernu r Bupati/waliko ta Dinas Kesehatan Propinsi Dinas Kesehatan kab/kota Rumah sakit Puskesmas Camat

(5)

Laporan KLB Kabupaten/Kota (W1Ka) :

Laporan KLB Kabupaten/Kota (W1Ka) dibuat oleh dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota Kepada Bupati/Walikota dan Dinas Kesehatan Propinsi.

Laporan KLB Propinsi (W1Pr):

Laporan KLB Propinsi (W1Pr) dibuat oleh Dinas Kesehatan Propinsi

kepada Gubernur dan Departemen Kesehatan, ub. Direktorat Jenderal

yang menangani KLB Penyakit (Dirjen PPM&PL)

3. Laporan Penyelidikan Epidemiologi KLB dan Rencana

Penanggulangan KLB

Setelah diterbitkan laporan KLB (W1), maka pelapor segera melakukan

penyelidikan epidemiologi KLB yang dimaksud, dan segera membuat

laporan hasil penyelidikan KLB. Laporan penyelidikan epidemiologi

KLB berguna untuk memberikan pedoman pada berbagai pihak yang

menerima laporan untuk memberikan kewaspadaan yang tepat, dan

apabila diperlukan dapat memberikan dukungan yang efektif dan efisien.

Disamping itu, laporan penyelidikan epidemiologi KLB, dapat

dimanfaatkan oleh Bupati, Gubernur dan Departemen Kesehatan untuk

menjelaskan kepada masyarakat tentang adantya KLB penyakit dari

langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan, sekaligus mendorong

sikap tanggap masyarakat terhadap kejadian tersebut.

Laporan Penyelidikan Epidemiologi KLB dan Rencana Penangulangan

KLB berisi:

(6)

b. Daerah yang terserang, desa, kecamatan, kabupaten dan puskesmas

yang bertanggung jawab terhadap wilayah kejadian KLB.

c. Penjelasan diagnosis penyebab KLB dan sumber-sumber penularan

atau pencemaran yang sudah dapat diidentifikasi, termasuk

bukti-bukti laboratorium.

d. Waktu dimulainya kejadian KLB dan keadaan pada saat penyelidikan

epidemiologi KLB sedang dilakukan.

e. Kelompok penduduk terserang beserta jumlah kesakitan dan kematian

karena KLB (kurva epidemi, angka serangan dan angka kematian

karena penyakit/CFR).

f. Keadaan yang memperberat keadaan KLB, misalnya status Gizi,

musim kemarau, banjir dsb.

g. Upaya penanggulangan yang sedang dan akan dilakukan.

h. Apabila diperlukan adanya jenis dan jumlah bantuan yang dibutuhkan

i. Tim penyelidikan Epidmiologi KLB.

j. Tanggal penyelidikan Epidemiologi dilaksanakan.

Laporan penyelidikan Epidemiologi KLB dan rencana penggulangan

KLB diikuti dengan LAPORAN BERKALA PERKEMBANGAN KLB

dengan isi laporan yang sama tetapi disesuaikan dengan keadaan terakhir,

ditambah denagn perkembangan KLB.

4. Laporan Penaggulangan KLB

Berbeda dengan Laporan KLB (W1) dan Laporan Penyelidikan dan

Rencana Penanggulangan KLB yang dibuat pada awal kejadian KLB,

maka Laporan Penanggulangan KLB dibuat setelah KLB berakhir.

(7)

Laporan penanggulangan KLB berguna untuk menjelaskan data

epidemiologi KLB, sumber daya yang telah dimanfaatkan dan

kkemungkinan terjadinya KLB lanjutan atau KLB dimasa yang akan

datang, serta kemungkinan terjadinya peyebaran kedaerah lain.

Isi laporan Penanggulangan KLB hampir sama dengan laporan

penyelidikan epidemiologi dan rencana pemnanggulangan KLB, sebagai

berikut:

a. Kebenaran terjadinya KLB penyakit tertentu.

b. Daerah yang terserang, desa, kecamatan, kabupaten, dan puskesmas

yang bertanggung jawqab terhadap wilayah kejadian KLB.

c. Penjelasan diagnosis penyebab KLB dan sumber-sumber penularan

atau pencemaran yang sudah dapat diidentifikasi, termasuk

bukti-bukti laboratorium.

d. Waktu dimulainya KLB dan berakhirnya KLB (periode serangan

KLB).

e. Kelompok penduduk yang terserang beserta jumlah kesakitan dan

kematian karena KLB (kurva epidemi, angka serangan dan angka

kematian karena penyakit/CFR).

f. Keadaan yang memperberat keadaan KLB, misal, status gizi, musim

kemarau, banjir dsb.

g. Upaya penanggulangan yang telah dilakukan.

h. Upaya pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap KLB dimasa yang

akan datang.

i. Tim Penanggulangan KLB.

j. Tanggal Laporan dibuat

(8)

Laporan ini merupakan sumber data epidemiologi yang sangat

penting untuk merumuskan kebijakan dan rencana kerja program

penanggulangan KLB dimasa akan datang.

5. Laporan Mingguan Wabah (W2)

Laporan Mingguan Wabah (W2) merupakan bagian dari sistem

Kewaspadaan Dini KLB yang dilaksanakan oleh unit kesehatan terdepan

(Puskesmas).

Sumber data laporan mingguan Wabah (W2) adalah data rawat jalan dan

rawat inap dari puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling,

posyandu, masyarakat dan Rumah Sakit pemerintah maupun Swasta.

Setiap daerah Kabupaten/Kota atau Propinsi memiliki beberapa penyakit

potensial KLB yang perlu diwaspadai dan deteksi dini. Sikap waspada

terhadap penyakit potensial KLB ini juga diikuti dengan sikap tim

profesional, logistik dan tata cara penanggulangannya, termasuk sarana

administrasi, komunikasi dan transportasi.

Secara nasional penyakit yang wajib diwaspadai adalah diare dan

polio/AFP ditambah dengan penyakit potensial KLB spesifik lokal misal

DBD, Malaria dan lain-lain, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Penyakit ini yang dimasukkan dalam Laporan Mingguan Wabah (W2) ini,

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat kurva

Mingguan Wabah untuk setiap jenis penyakit potensial KLB, sebagai alat

deteksi respon dini KLB.

ALUR PELAPORAN MINGGUAN WABAJ (W2) dan

PEMANFAATANNYA

(9)

3. Membuat kurva mingguan

kab/kota dan tabel mingguan perPuskesmas setiap penyakit potensial KLB 4. Analisis deteksi dini KLB 1. Membuat kurva mingguan Puskesmas dan tabel mingguan per desa setiap

penyakit potensial KLB 2. Analisis deteksi dini

KLB Dinas Kesehatan kab/kota Rumah Sakit Puskesmas Praktek swasta Masyarak at Masyaraka t Bidan desa Puskesm as pembant u Poliklinik Puskesm as

(10)

2) Faktor yang mempengaruhi tingginya angka Zoonosis di Indonesia

Peningkatan  interaksi   antara  hewan  domestik,   satwa  liar   dan  manusia  adalah faktor kritis dan penting secara progresif dalam dinamika kemunculan penyakit dan   penularan   patogen   zoonosis.   Suatu   model   konvergensi   yang   disajikan dibawah ini membantu untuk mengkonseptualisasikan bagaimana faktor­faktor yang  mendorong  kemunculan  penyakit   baru  dan  penyakit   lama  yang  muncul kembali bergabung satu sama lain dan menyatu serta merubah keterkaitan antara hewan­manusia­mikroba,   sehingga   kemudian   mampu   memproduksi   dan menularkan penyakit. 

Faktor yang berpengaruh adalah :

a. Faktor   “manusia”   yang   berkontribusi   terhadap   kemunculan   zoonosis mencakup elemen seperti perilaku dan gaya hidup, mobilitas (perjalanan dan keimigrasian),   serta   kondisi   kehidupan   ekonomi   dan   teknologi.   Skala populasi   manusia   dan   kepadatan   habitat   juga   mempengaruhi   kemunculan zoonosis.

b. Faktor “hewan” meliputi keragaman geografis, perdagangan legal dan ilegal hewan   domestik   dan   satwa   liar,   biodiversitas,   keseimbangan predator/pemangsa hewan lain, habitat dan kesehatan hewan.

c. Faktor   “lingkungan”   beragam   mulai   dari   tanah   dan   vegetasi,   cuaca   dan musim,   perubahan   iklim   jangka   panjang,   serta   kondisi   lokal   seperti ketinggian   tempat,   temperatur,   kelembaban   yang   mempengaruhi   populasi hewan dan vektor.

(11)

Gambar   2:   Matriks   dan   interaksi   antara   faktor­faktor   pendorong   dengan patogen yang berkontribusi terhadap kemunculan zoonosis baru dan yang muncul kembali.

d. Globalisasi,   pertumbuhan   dan   pergerakan   populasi   orang   dan   hewan; urbanisasi   yang   cepat;   ekspansi   perdagangan   hewan   dan   produk   hewan; meningkatnya kecanggihan teknologi dan praktek budidaya ternak; interaksi yang   lebih   dekat   dan   lebih   intensif   antara   ternak   dan   satwa   liar; meningkatnya   perubahan   ekosistem,   perubahan   ekologi   vektor   dan ‘reservoir’; perubahan pemanfaatan lahan, termasuk perambahan hutan; dan perubahan pola perburuan dan konsumsi satwa liar. Tidak dapat dihindarkan bahwa orang, hewan, dan produk secara global bergerak lebih cepat dari masa inkubasi hampir setiap patogen yang pernah dikenal sampai saat ini. 3) Kelemahan Sistem Dalam Penanggulangan New Emerging Disease Faktor yang Berperan

Berbagai   faktor   dapat   berperan   dalam   timbulnya   penyakit   lingkungan   berbasis wilayah seperti water born diseases, air born diseases, vector born diseases, food born diseases,   antara   lain   dukungan   ekosistem   sebagai   habitat   dari  berbagai   vektor, peningkatan   iklim   global   (global   warming)   yang   meningkatkan   akselerasi perkembangbiakan nyamuk, peningkatan kepadatan populasi penduduk yang dijadikan

(12)

hamparan kultur biakan bagi berbagai macam penyakit serta dijadikan persemaian subur bagi virus sekaligus sarana eksperimen rekayasa genetika. Mobilisasi penduduk yang memungkinkan ’ekspor­import’ penyakit yang tidak lagi mengenal batas administrasi wilayah, Kemampuan mikroba patogen untuk mengubah sifat dirinya dari waktu ke waktu, misalnya mutasi yang menimbulkan perubahan sifat, resistensi terhadap obat obatan dan lain sebagainya, kurangnya kesadaran masyarakat dalam   membiasakan   perilaku   hidup   bersih   dan   sehat   atau   perubahan   perilaku   yang mendukung aksesbilitas agent menginfeksi host serta pencemaran lingkungan yang cukup intens   sebagai   konsekuensi   oleh   eksplorasi,   manipulasi,   dan   eksploitasi   terhadap lingkungan biologis, kimiawi, fisis dan sosial. Berbagai kegiatan pembangunan manusia yang dikerjakan secara sendiri­sendiri berkelompok maupun yang diprogramkan karena kepentingan negara, bahkan dunia sekalipun akan menimbulkan dampak, faktor­faktor ini bisa menyebabkan kerentanan terhadap kemampuan tubuh dalam menangkal penyakit sehingga melahirkan  berbagai penyakit menular berbasis lingkungan yang melengkapi koleksi penyakit di tanah air. Pada kejadian suatu penyakit, berbagai variabel lingkungan dan kependudukan termasuk   didalamnya   perilaku   hidup   sehat   adalah   dua   faktor   risiko   utama   penyakit. Penyehatan   lingkungan   dan   pemberdayaan   masyarakat   merupakan   upaya   utama pengendalian berbagai faktor risiko penyakit dalam satu wilayah. Manajemen penyakit lingkungan   berbasis   wilayah,   dapat   dilakukan   melalui   manajemen   kasus   (case management) dan manajemen kesehatan masyarakat (public health management). 1. Manajemen Kasus (case management) Merupakan bagian penting dari manajemen penyakit infeksi baru maupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali, penerapan teknik dan kemampuan diagnosis, pemeriksaan laboratorium, pengobatan, perawatan dan rehabilitasi serta pencegahan agar tidak menular kepada orang lain. Manajemen kasus yang berhasil, merupakan upaya pencegahan yang efektif agar penyakit tidak menyebar, dan tidak menjadi

(13)

sumber   penularan.   Surveilans   kasus,   yang   dilakukan   dengan   baik,   sampai menimbulkan   ”aksi’,   merupakan   salah   satu   item   penting   yang   perlu   dilakukan. Surveilans terpadu adalah kegiatan pengumpulan data, baik faktor risiko maupun kejadian   penyakit   yang   dilakukan   secara   simultan,   sistematik,   periodik, berkesinambungan dan terencana, yang diikuti oleh analisis data untuk mendapatkan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan (manajemen). 

2. Manajemen Kesehatan Masyarakat (Public Health Management) 

Manajemen penyakit  berbasis lingkungan  tidak bisa  dilaksanakan  secara  sendiri. Oleh sebab itu, kemitraan dan Networking adalah salah satu kunci utama. Global Networking dilakukan antarnegara, misalnya ASEAN, ASEAN + 3 negara (Japan, China, Korea). Dalam pola baru ini disamping digunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna, juga dipisahkan antara tatalaksana penyakit Pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorok.  National Networking  Di Indonesia networking antara Pusat dengan Dinas Kesehatan, dengan laboratorium baik di Rumah Sakit maupun Laboratorium Kesehatan Masyarakat seperti seperti Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Penyelidikan Penyakit Menular (BTKLP2M). Demikian pula dengan unit vertikal lainnya seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan serta dengan LSM yang bergerak di bidang kesehatan yang relevan. Networking juga harus dilakukan dengan semua pelaku kesehatan dan tentu saja masyarakat itu sendiri, melalui berbagai media. Kerja Sama Lintas Sektor  Sesuai dengan kasus yang berkembang, maka kerjasama dengan berbagai instansi lintas sektor diperlukan, koordinasi dengan Departemen Pertanian beserta UPT Dinasnya di daerah dalam menangani KLB Flu burung oleh Virus Influenza A subtype H5N1.  Kerja sama dengan Dinas Pariwisata ketika terjadi wabah SARS dan lain sebagainya.

(14)

Untuk keberhasilan program dalam skala massal dan berkesinambungan perlu diterapkan pendekatan kesehatan berbasis masyarakat. Pembentukan kemampuan diagnosis dini dan respon dini secara proaktif di level desa, dalam rangka pengendalian yang cepat dan tepat sasaran berdasarkan spesifik wilayah, yang memiliki potensi risiko yang berbeda.

Lembaga   pendidikan   kesehatan   sebagai   institusi   yang   memiliki   tugas   tridharma perguruan   tinggi   perlu   melakukan   rekonstruksi   kurikulum   pendidikan   kesehatan masyarakat yang berbasis kompetensi, boleh jadi diarahkan dari subject based knowledge ke   problem   based   learning   yang   antara   lain   didasari   oleh   SPICES   (Student   center, Problem   based,   Integrated   learning,   Community   oriented,   Early   clinical/exposure environmental   epidemiological   serta   Systematic)   tema   skenario   yang   diangkat berdasarkan  berbagai   masalah  penyakit   infeksi   baru  yang  memiliki   evidenced  based, penyebaran   (global   dan   local   epidemiologi),   teknik   penyelidikan   epidemiologi   serta manajemen penyakit infeksi baru tersebut.

Di   satu   sisi,   penanggulangan   eksposure   lingkungan   antara   lain   upaya   pencemaran lingkungan   merupakan   tanggung   jawab   semua   pelaku   pembangunan.   Departemen Kesehatan   tidak   mungkin   dapat   mewujudkan   kesehatan   masyarakat,   tanpa   komitmen pelaku   pembangunan,   mulai   dari   aspek   perundang­undangan   termasuk   PERDA, penerapan strategi, adanya perioritas kebijakan dan program pelaksanaan dan evaluasi di masing­masing instansi, untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih.

Kesimpulan

Masalah penyakit lingkungan berbasis wilayah  meliputi penyakit New Emerging Infectious   Disease   (NEID)   dan   Re   Emerging   Infectious   Disease   (REID) merupakan   ancaman   kesehatan   masyarakat   yang   harus   diantisipasi,   karena berpotensi   terjadinya   Kejadian   Luar   Biasa   (KLB),   menyebar   dalam   tempo singkat   dan   menimbulkan   dampak   luar   biasa   terhadap   kehidupan   masyarakat serta   merupakan   salah   satu   ancaman   serius   di   masa   mendatang.   Untuk   itu dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, lintas program maupun lintas negara dalam manajemen penanggulangannya, termasuk keterlibatan aktif  lembaga pendidikan kesehatan.

Weak Surveillance System; tidak bisa dipungkiri untuk negara berkembang

terutama di Indonesia sendiri sistem pencatatan dan pelaporannya pun

masih minim dan jauh dari nilai-nilai efektifitas misalnya dalam hal

(15)

surveilans epidemiologi pun masih sangat lemah dan banyak kekeliruan

ditambah lagi masih ada sebagian besar yang menggunakan sistem

manual.

DAFTAR PUSTAKA

1. Efendy. Nasrul.1998. Dasar-dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta; EGC.

2. Budiarto. Eko. Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta; EGC.

3. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan

Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Tahun 2006 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2006.

4. King L.J. (2004). Emerging and re-emerging zoonotic diseases: Challenges and opportunities.

OIE document 72 SG/9. 72nd OIE General Session, Paris, 23-28 May 2004.

(16)

5. Fineberg H.V. and Wilson M.E. (2010). Emerging Infectious Diseases. Paper accompanies the

International Risk Governance Council (IRGC) report “The Emergence of Risks: Contributing

Factors”.

Gambar

Gambar   2:   Matriks   dan   interaksi   antara   faktor­faktor   pendorong   dengan patogen yang berkontribusi terhadap kemunculan zoonosis baru dan yang muncul kembali.

Referensi

Dokumen terkait

• Realisasi Sistem dg adder minimal dan delay minimal • Mencari Respon Steady State. • Struktur :

Khusus untuk Atlet yang berprestasi dibawah binaan cabang olahraga yang bersangkutan yang terdaftar pada Pengurus Cabang tidak dikenakan pungutan baik biaya masuk maupun biaya

Dengan demikian bahwa faktor pendidikan, pengalaman, lahan, modal, penyuluhan, dan jumlah tanggungan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani

Bedasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran yang telah dilakukan keluarga adalah memberikan dukungan dan motivasi untuk

Dalam Exchange Act Rules 13a-15(f) dan 15d-15(f), Pengendalian Internal atas pelaporan keuangan didefinisi sebagai suatu proses yang dirancang oleh,

Serapan rata-rata karbon krasikarpa pada Gambar 2 menunjukkan bahwa sejalan dengan perkembangan umur tanaman, rata-rata serapan karbon terbesar terdapat pada tipe lahan

Belerang berwarna kuning pucat, padatan yang rapuh, yang tidak larut Belerang berwarna kuning pucat, padatan yang rapuh, yang tidak larut dalam air tapi mudah

“ Jika suatu potensi bahaya telah diidentifikasi pada suatu tahapan dimana pengendalian diperlukan untuk menjamin keamanan produk, dan tidak ada upaya pengendalian