• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUMPULAN CERITA Wali Songo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUMPULAN CERITA Wali Songo"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM) Biografi

Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.

Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

Penyebaran Agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.

Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.

(3)

Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.

Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah.

Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.

Legenda Rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

(4)

Wafat

Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Legenda Lain tentang Sunan Gresik

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh. Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin.

Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk. ''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin. Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana.

Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya. Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur. Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut. Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam. Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir. Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus.

Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam. Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).

Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi. Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.

(5)

Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar. Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah.

Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid. Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''. Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis. Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia. Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya. Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda.

Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu. Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim. Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total. Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik. Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.

(6)

SUNAN AMPEL (RADEN RAHMAT)

Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya1.

Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh. Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu. Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Sekilas Sejarah Sunan Ampel

Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits sahih.

Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim Murtolo.

Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran

(7)

kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik dengan Dewi Sari.

Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia.

Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.

Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.

“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.” “Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.

“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”

“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”

“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.

“Betulkah ?” tanya sang Prabu.

“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”

“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.

Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.

Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.

Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

(8)

“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”

“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.” “Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.

Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit. Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.

Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.

Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.

Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan isterinya.

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.

Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.

Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak.

(9)

Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel :

“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?” Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra di antaranya :

1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. 2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.

3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan. 4. Siti Mutmainah

5. Siti Alwiyah

6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.

Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu : 1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.

2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.

Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.

Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.

Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin dan meridhai segala amal beliau.

(10)

SUNAN GIRI Biografi

Sunan Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka). dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa wabah penyakit di kerajaan Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan untuk menghanyutkannya ke laut.

Berita itupun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi yang barusaja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadupun meninggal dalam pencariannya.

Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga ke tengah laut. Peti itu bercahaya berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Tak ayal cahaya itu terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut) yang hendak berdagang ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membukanya peti yang bersinar itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah bayi laki-laki yang molek dan bercahaya. Awak kapalpun memutar haluan kembali pulang ke Gresik untuk memberikan temuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih seorang saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih keheranan dan sangat menyukai bayi itu dan mengangkanya sebagai anak dengan memberikan nama Joko Samudra.

Saat mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran islam di tanah Jawa. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk dari Allah SWT. maka petunjuk itupun datang dengan adanya bukit yang bercahaya. Maka didatangilah bukit itu dan di lihat kesamaanya dan ternyata memang benar-benar sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahnya. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir (1403 Saka). Pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

(11)

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. Karena pengaruhnya yang luas saat itu Raden Paku mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri. Pengaruh pesantren Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan yang disebut Giri. Kerajaan Giri Kedaton menguasai daerah Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisonal. Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, di antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-gantiLir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Perjalanan Sunan Giri

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya. Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung. Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri.

Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter. Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA. Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul. Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya.

Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

(12)

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri. Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi. Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya. Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu.

Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya. Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak. Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti. Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali.

Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam. Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah.

Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya.

Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga

Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari

(13)

pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton ( Kerajaan Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.

Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.

Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.

Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

Sebagai Pemimpin Kaum Putihan

Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus pada jurang kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih. Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau di bidang ilmu fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak menyesatkan ummat dibelakang hari.

Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini artinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad.

Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria. Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :

1. Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.

2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.

3. Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.

4. Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya

5. Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.

Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan kedua pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama-sama-sama menyadari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau

(14)

syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka saja. Peresmian Masjid Demak

Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini. Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.

Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata. Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang Sunan Kalijaga.

Prabu Satmata Dan Giri Kedaton

Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat bagian politik Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.

“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan Ampel. “Apa kata orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan. Kita tak usah ikut-ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama yang kita anut.”

Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang Sunan Giri dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik kenegaraan. Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan demikian

(15)

ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah, melainkan justru merebut tahta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri dianggap salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri. Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang Sunan Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.

“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan Mintasemeru menguji Sunan Giri.

“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya. Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.

“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan Giri.

Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu. Legenda tentang adu tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan angsa.

Jasa-Jasa Sunan Giri

Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan keluar pulau. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi generasi Islam berikutnya.

Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintanya ialah sebagai berikut :

Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, dolanane na ing latar,

ngalap padhang gilar-gilar, nundhung begog hangetikar.”

(16)

Artinya adalah sebagai berikut :

“Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”

Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman. Beliau pernah meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.

Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa saja. Guru semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai masyarakat rela mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.

Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :

1. Sunan Dalem 2. Sunan Sedomargi 3. Sunan Giri Prapen 4. Sunan Kawis Guwa 5. Panembahan Ageng Giri

6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri ) 8. Pangeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.

Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri. Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan Giri

(17)

SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo. Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa ,tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin . Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar , maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin . Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri . Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.

Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah : “Tamba ati iku sak warnane,

Maca Qur’an angen-angen sak maknane, Kaping pindho shalat sunah lakonona, Kaping telu wong kang saleh kancanana, Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe, Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,

Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani. Artinya :

Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya. Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya, Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ), Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ), Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),

Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,

(18)

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk .Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda .

(Nederland )

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi.

Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap. Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.

“Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.

“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”

“Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya. “Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang. “Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.” “Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”

(19)

“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”

Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang Brahmana. “Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu . “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan ,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .” Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.

“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana “Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki itu .Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.

Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang .Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia. Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.

Adalagi legenda aneh tentang Sunan Bonang .

Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami ’Tuban.

Referensi

Dokumen terkait

Karena hanya dengan menggunakan brosur sebagai sarana publikasi belum maksimal dan belum tepat sasaran, maka peneliti menyarankan untuk membuatkan sebuah animasi promosi iklan

Software biasa disebut dengan perangkat lunak. Sifatnya pun berbeda dengan hardware atau perangkat keras. Jika perangkat keras adalah komponen yang nyata yang dapat dilihat

Sesuai dengan rumusan masalah, hasil penelitian ini menemukan 74 bentuk tindak tutur ekspresif dengan 16 jenis tindak tutur ekspesif yang terdiri dari 15 tuturan ekspresif

Operator logika dapat digunakan dalam pembuatan program dengan variabel / operand yang didefinisikan sebagai operasi aritmatika atau operasi relasional..

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: 1) Pemahaman guru tentang pendidikan moral pada siswa kelas IV SD Muhammadiyah 14 Surakarta, 2) Implementasi

Untuk menunjang kegiatan penelitian tersebut pusat riset perikanan memiliki perpustakaan sebagai media untuk menyediakan bahan literasi dan referensi serta sebagai tempat