PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN AMPEL SURABAYA TERHADAP PENDAPAT MADZHAB HANAFI TENTANG PEREMPUAN MENIKAH
TANPA WALI
SKRIPSI
Oleh : Moh Muhibudin NIM. C01211093
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Al-Syakhsiyah) SURABAYA
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali”. Dua hal yang akan menjadi fokus penelitian, Pertama; Pandangan Perkawinan Tanpa Wali Menurut Madzhab Hanafi, Kedua; Pandangan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Tentang Hukum Nikah Tanpa Wali Menurut Madzhab Hanafi.
Jenis data dalam penelitian ini merupakn hasil penelitian kualitatif yaitu mengemukakan, menggambarkan dan menguraikan seluruh permasalahan-pemasalahan yang ada bersifat penjelasan dalam kaitannya pandangan dosen fakultas Syariah dan Hukum terhadap pendapat madzhab Hanafi tentang perempuan menikah tanpa wali. Sumber data yang diambil dalam penelitian ini diantaranya data sekunder, data primer, wawancara terhadap responden, maupun data pendukung lainnya yang bertujuan sebagai pelengkap dalam penelitian ini.
Madzhab hanafi menyatakan bahwa dalam melaksanakan perkawinan tidak perlu memakai wali, perkawinan dianggap sah. Menurut madzhab Hanafi, seorang perempuan yang merdeka, dewasa, dan berakal ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki maka perkawinan perempuan tersebut diperbolehkan. Dan menurut madzhab Hanafi, keterangan-keterangan yang mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, artinya tiap-tiap perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITASI ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8
C.Rumusan Masalah ... 8
D.Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G.Definisi Operasional ... 13
H.Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : TEORI KETENTUAN WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DAN MASLAH}AH MURSALAH ... 19
A. ketentuan Umum Wali Nikah ... 19
1. Pengertian Wali Nikah ... 19
2. Macam-Macam Wali Nikah ... 24
3. Syarat dan Rukun Wali Nikah ... 29
B.Teori Maslahah dalam Hukum Islam ... 36
BAB III: PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARI’AH UIN SURABAYA TERHADAP PENDAPAT MADZHAB HANAFI TENTANG NIKAH TANPAWALI ... 39
A.Perempuan Menikah tanpa Wali Menurut Madhzab Hanafi ... 39
B.Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Nikah tanpa Wali Menurut Madhzab Hanafi ... 39
1. Pandangan Madzhab Hanafi... 39
2. Pandangan Dosen Fakultas Syariah Tentang Nikah Tanpa Wali Menurut Madhzab Hanafi ... 42
a) Dr. H. Abdul Kholiq Syafaat, MA ... 42
b) M. Hasan Ubaidillah, SHI, M.Si ... 43
c) Nabiela Naily, S.Si.,M.H.I ... 44
d) Drs. H.Sam’un, M.Ag ... 46
e) Dr. Makinuddin, S.H M.Ag ... 47
f) Nurul Asiya Nadhifa, M.H.I ... 48
g) H. Abd Rouf, M.Pd.I ... 49
BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN AMPEL SURABAYA TERHADAP PENDAPAT MADZHAB HANAFI TENTANG PEREMPUAN MENIKAH TANPA WALI ... 51
A. Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali ... ... 51
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali ... 55
BAB V PENUTUP ... 58
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran-saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna dari seluruh
ciptaan Allah SWT di muka bumi ini. Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh
Allah SWT sebagai mahluk sosial, yaitu keberadaannya dalam kehidupan di
dunia ini tidaklah mungkin untuk bisa sendiri tanpa bantuan dan peran dari orang
lain. Hal ini juga dikarenakan Allah SWT telah menjadikan
makhluk-makhluk-Nya diciptakan secara berpasangan agar mereka saling mengenal dan melengkapi
antara yang satu dengan yang lainnya. Ini semua dapat dilihat dalam firman
Allah SWT yang berbunyi :
و
ﯿﺟوزﺎ ﻘ ﺧءﻲﺷ
ﱠ
ﺬﺗ
نوﺮﱠ
.
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat (kebesaran Allah). (Q.S. Adz – Dza>riyat 49).1
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Perkawinan minimalnya memiliki lima tujuan umum yakni; membentuk
keluarga, tujuan reproduksi (penerusan generasi), pemenuhan kebutuhan biologis
(seks), menjaga kehormatan, dan ibadah.3
1
Departemen Agama RI.,Al-Qur’an dan Terjemah Al-Hikmah, (Bandung : Diponegoro, t.t.), 415
2
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 174 Tentang Pernikahan..
3
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan1 Dilengkapi UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 38.
2
Memandang begitu pentingnya perkawinan maka para ulama terdahulu
merasa perlu untuk memperhatikan secara cermat lembaga perwalian. Menurut
mereka, keberadaan wali dalam perkawinan merupakan hal penting, khususnya
bagi perempuan dan anak-anak, untuk memelihara kemaslahatan dan menjaga
hak-hak mereka yang sering diabaikan oleh kaum laki-laki, baik sebelum atau
sesudah akad nikah. Keberadaan wali dipandang lebih berpengalaman dapat
memilihkan pasangan yang sesuai dan paling baik bagi perempuan4, karena
pentingnya masalah perwalian ini, para ulama membahasnya secara rinci
pengertian wali, macam-macam wali, sampai dengan urutan para wali secara
hirarkis.
Dalam suatu pernikahan, konsep perwalian ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan, sebab hal ini merupakan salah satu dari syarat legal dalam
pernikahan Islam yang harus dipenuhi. Dalam pandangan empat madzhab fikih
terdapat kesepakatan (pendapat para ulama) bahwa sebuah perkawinan
dipandang sah menurut agama apabila disertai wali, akan tetapi di kalangan
ulama terdapat pandangan yang berbeda terhadap wali, mengenai perbedaan
tentang apakah wali nikah tersebut merupakan syarat atau rukun perkawinan.5
Dalam buku tentang Hukum Perkawinan 1, Khoirudin Nasution mengutip
dari catatan Sahnun yang bersumber dari Ibnu Wahab disebutkan, bahwa
pendapat imam Malik terkait wali nikah masih dualisme yang cukup sulit untuk
4
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu>, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 187.
5
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1975), 53.
3
dijelaskan. Pada satu sisi imam Malik menyuruh menceraikan perkawinan tanpa
wali, namun membolehkan kalau ada izin wali atau pemerintah.6
Di sisi lain ketika menjelaskan izin wali atau pemerintahan dalam
pandangan imam Malik, Sahnun mengungkapkan, “perkawinan menjadi
sempurna dengan persetujuan wali”. Tetapi imam Malik menolak dengan tegas
perempuan yang menikahkan dirinya sendiri.7 Sebaliknya, juga disebutkan ada
suatu riwayat yang mewajibkan hadirnya wali ketika akan nikah namun itu hadis
mauqu>f. Oleh karenanya Khoirudin Nasution menyimpulkan bahwa, imam Malik
mewajibkan hadirnya wali pada waktu akan nikah, sekaligus menikahkan
putrinya, tetapi dalam kondisi tertentu cukup dengan izin.8
Menurut imam As Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah,
yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak
sah. Bersamaan dengan kewajiban wali dalam perkawinan, wali juga dilarang
mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang
wanita mendapat pasangan sekufu.9 Adapun perkawinan seorang janda harus ada
izin secara tegas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus
perkawinan yang ditolak Nabi karena dikawinkan oleh wali dengan seorang yang
disenangi dan tidak diminta persetujuan terlebih dahulu. Demikian juga beliau
menulis hadis yang menyatakan seorang janda lebih berhak pada dirinya dari
pada walinya.10
6
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 70.
7
Ibid., 71.
8
Ibid., 73.
9
Ibid., 83-84.
10
Ibid., 89.
4
Ibnu Quda>mah, berdasarkan Hadis nabi, dalam perkawinan harus ada wali,
selanjutnya beliau menyebutkan, bahwa wali merupakan rukun nikah dan dalam
prosesi pelaksanaan akad, wali diharuskan hadir. Keharusan ini menurut Ibnu
Quda>mah, berdasarkan hadis nabi, bahwa dalam perkawinan harus ada wali.
11
.
لﺪ
يﺪھﺎﺷو
ﻲ ﻮﺑ
ﱠﻻإ
حﺎ
ﻻ
hadis yang dipegang sejumlah ilmuan, bahwa yang dipentingkan dalam
perkawinan adalah izin wali, bukan kehadirannya, oleh Ibnu Quda>mah ditepis
dengan mengatakan, hadis yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang
berarti berlaku untuk semua, sementara hadits yang menyebut hanya butuh izin
adalah hadis yang bersifat khusus. Dalil umum harus didahulukan daripada dalil
khusus.12
Berbeda dengan pendapat ulama-ulama di atas, imam Abu Hanifah, al-
Sha’bi’, dan al-Zuhri berpendapat, bahwa perempuan dapat menikahkan dirinya
sendiri tanpa campur tangan wali. Sedangkan Da>wud Az-Za|>hiri membedakan
antara janda dan gadis, janda dapat menikahkan dirinya sendiri sedangkan gadis
harus disertai wali. Menurut Abu Saur, sesungguhnya yang dipersyaratkan adalah
bukan adanya wali yang menikahkan, namun izin dari wali tersebut. Apabila
perempuan telah mendapatkan izin dari wali untuk menikah, maka ia dapat
menikahkan dirinya sendiri.13
11
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab An-Nikah,(Damaskus: Dar Al-Fikr, t.t.), 229
12
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 89-90.
13
Muhammad Ib Isma’il As-San’ani,Subulas-Salam Syarh Bulugal – Maram Min‘Abdillahal - Ahkam, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t.), 17.
5
Adanya wali bagi perempuan pada awalnya memang dimaksudkan untuk
memberikan hak-hak mereka, pada kenyataanya perlindungan tersebut berubah
menjadi lembaga yang mendominasi dan membatasi kebebasan yang seharusnya
dimiliki oleh perempuan. Hal ini terbukti oleh pandangan mayoritas ulama yang
menyatakan bahwa perempuan yang hendak menikah harus melalui perantara
wali. Bahkan menurut sebagian mereka terdapat konsep yang disebut wali
mujbir, yaitu wali yang mempunyai hak untuk menikahkan anak perempuannya
dengan siapa saja yang ia kehendaki tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan
dari anak perempuan tersebut.14
Apabila untuk menikah seorang perempuan harus menggunakan wali, maka
mungkinkah perempuan menjadi wali dalam akad nikah? Sebagaimana perbedaan
pendapat dalam hal keberadaan wali, ulama juga berbeda pendapat mengenai
perempuan dapat menjadi wali atau tidak. Menurut jumhur ulama termasuk
ulama Sha>fi’iyah, perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri dan
menikahkan orang lain, baik dengan cara menjadi wali atau menjadi wakil orang
lain. Sedang Ulama H{ana>fiyah berpendapat bahwa perempuan dapat menikahkan
dirinya sendiri dan dapat menjadi wali bagi anaknya yang masih kecil serta
menjadi wakil dari orang lain untuk menikahkan.15
Di Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
diterangkan secara terperinci siapa yang berhak menjadi wali nikah, hanya
disebutkan dalam pasal 6 ayat 215 ayat 316 dan ayat 417 UU perkawinan yang
14
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu>, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 188 dan 191.
15
Ibid., 196 dan 200.
6
menggap bahwa wali adalah izin dari orang tua itupun bila calon mempelai baik
laki-laki maupun perempuan yang belum dewasa (di bawah 21 tahun) bila dewasa
21 (dua puluh satu) tahun ke atas tidak diperlukan izin dari orang tua.16
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan
pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23. Wali
merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Namun akhir-
akhir ini, muatan yang ada dalam KHI mendapat respon dari kalangan
masyarakat, terutama yang bersifat mengkritisi. Respon kebanyakan datang dari
para pejuang gender dan para feminis. Salah satu di antaranya adalah Siti
Musdah Mulia. Siti Musdah Mulia menyebut, bahwa pada dasarnya harus ada
pembaharuan ditubuh KHI.
Dengan latar belakang perbedaan pendapat di antara ulama madzhab fiqih
tentang wali nikah perempuan, yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan
pemahaman dalil-dalil mengenai wali nikah, disamping juga dipengaruhi oleh
perbedaan wilayah sosial dan kondisi kultural, maka akan sangat menarik apabila
dibawa kepada wilayah kenyataan pada dewasa ini.
Dengan melihat latar belakang dosen Fakultas Syari'ah UIN Sunan Ampel
Surabaya yang notabene berbeda dan berasal dari berbagai pesantren dan
perguruan tinggi di Indonesia,. Hal ini tentu akan bisa melahirkan persepsi dan
cara pandang yang menarik untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal tersebut,
mendorong penyusun ingin melakukan sebuah penelitian tentang Pandangan
16
Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta: Ind- Hillco, 1985), 184 -185.
7
dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap
pendapat madzhab Hanafi tentang perempuan menikah tanpa wali.
Dalam penelitian ini penyusun mengangkat pandangan Dosen Fakultas
Syari'ah UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi
Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali, karena di Fakultas Syari'ah terfokus
mengkaji Hukum Islam yang di dalamnya termasuk hukum keperdataan di antara
lain membahas hukum seputar pokok-pokok pernikahan dan hal-hal yang
berkaitan dengan pernikahan termasuk wali nikah baik menurut hukum Islam
maupun hukum positif.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis di atas terdapat
beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pendapat Madzhab Hanifah tentang wali nikah bagi perempuan.
b. Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
tentang pendapat madzhab Hanafi terhadap wali nikah bagi perempuan.
c. Tinjauan Hukum Islam terhadap pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya tentang pendapat madzhab Hanifah
terhadap wali nikah bagi perempuan.
8
Batasan masalah disini bertujuan untuk menetapkan batasan-batasan
masalah yang akan diteliti dan objek mana yang tidak termasuk dalam
pembahasan, sehingga pembahasan menjadi lebih terarah dan tidak
menyimpang dari fokus penelitian, maka dari itu penulis memfokuskan
dengan batasan masalah sebagai berikut:
a. Pendapat dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya Tentang Pendapat Madzhab Hanafi terhadap Wali Nikah Bagi
Perempuan.
b. Tinjauan hukum Islam terhadap pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel tentang pendapat madzhab Hanafi Terhadap
Wali Nikah Bagi Perempuan.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya terhadap pendapat madzhab hanafi tentang wali nikah bagi perempuan?
2. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap pandangan dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat
madzhab Hanafi tentang wali nikah bagi perempuan?
D. Kajian Pustaka
Pembahasan yang spesifik mengenai Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Tentang Pendapat Ulama Madzhab Hanafi
9
penelitian pustaka yang sedikit berhubungan dengan pembahasan karya tulis ini
adalah sebagai berikut:
Pertama, skripsi karya Yuni Hasrishul Umamah pada tahun 2000 dengan
judul, Status Wali Nikah Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i Serta
Relevansinya Dengan Kompilasi Hukum Islam, skripsi ini berisi pendapat
Madzhab Ha>nifah bahwa wali nikah bukan merupakn rukun perkawinan bagi
wanita yang sudah dewasa, artinya jika perkawinan tersebut tidak ada wali maka
nikahnya tetap sah, sedangkan menurut Imam Sha>fi’i wali nikah merupakan
rukun daripada perkawinan dan hukumnya wajib. Menurut KHI wali nikah
merupakan rukun dari perkawinan, hal itu tercantum dalam pasal 14 dan 19 serta
dalam pasal 71 pada huruf e antara ketiga pendapat tersebut terdapat relevansi
yakni dari sudut bahwa wali mempunyai peran yang sangat urgen, terutama pada
waktu akad, wali nikah dibutuhkan kehadiranya untuk mewakili pihak
perempuan melakukan ijab kepada mempelai pria.17
Kedua, skripsi karya Muhammad Zubaidillah Fahmi pada tahun 2003
dengan judul Perwalian Dalam Nikah (Studi Komparatif Pemikiran imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i), skripsi ini berisi tentang kesamaan imam Abu
Hanifah dan imam Syafi’’i dalam perwalian nikah dalam tataran lain mereka
berbeda pendapat yaitu menurut Imam Abu Ha>nifah wanita yang berakal boleh
melakukan akad nikah nikah sendiri, baik gadis atau janda. Sementara imam
syafi’i berbeda dan membedakan antara janda dan gadis, wewenangnya untuk
17
Yuni Hasrishul Umamah, “Status Walinikah Menurut Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i Serta Relevansinya Dengan Kompilasi Hukum Islam” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2000)
10
memilih dan menentukan pasanganya ada pada walinya, sedangkan janda ada
pada keduanya.18
Ketiga, skripsi karya Mashudianto Fakultas Syari’ah pada tahun 2009
dengan judul, Nikah Tanpa Wali Dan Saksi (Studi Analisis Terhadap Pemikiran
Mazhab Az-Za>hiri), skripsi ini berisi tentang pendapat mazhab az-Za>hiri tentang
nikah tanpa wali dan saksi, yaitu pendapat pertama membolehkan dan pendapat
kedua tidak membolehkan. Masing-masing dari dua pendapat yang berbeda yang
berbeda tersebut didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan hadis yang mereka
gunakan secara tekstual, tanpa menggunakan tafsiran akal, juga menggunakan
qiyas dan ijma’. Metode tekstual pada madzhab az-Za>hiri ini memiliki kekuatan,
yaitu terjaganya fatwa mereka dari aturan-aturan syariah. Namun kelemahanya,
sulit sekali memecahkan masalah baru yang tidak ada teksnya di dalam al-Quran
dan Hadis.19
Keempat, skripsi karya Chalimatus Sya’diyah Nailul Afkar pada tahun
2011 dengan judul, Studi Komparatif Antara Persepsi Dosen Hukum Perkawinan
Islam Laki-Laki Dan Perempuan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tentang Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidup. Skripsi berisi tentang
presepsi dosen hukum perkawinan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya bahwa
perempuan mempunyai kebebasan dalam memilih pasangan hidup, akan tetapi
kebebasan itu harus bersyarat, dimana anak perempuan harus berunding terlebih
18
Muhammad Zubaidillah Fahmi, “Perwalian Dalam Nikah (Studi Komparatif Pemikiran Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i)” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2003)
19
Mashudianto, “Nikah Tanpa Wali dan Saksi (Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab Az-Zahiri)”(Skripsi - IAIN Sunan Ampel,Surabaya, 2009)
11
dahulu kepada ayahnya. Sedangkan untuk ayah atau wali hendaknya tidak
memaksa keinginanya kepada anak perempuan untuk menikah.20
Dari hasil kajian pustaka di atas pendapat madzhab Hanifah tentang wali
nikah memang sudah sering dibahas tapi terdapat perbedaan yang jelas, hal ini
disebabkan penulis meneliti pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat madzhab Hanafi tentang
perempuan yang menikah tanpa wali.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang Wali Nikah Bagi
Perempuan.
2. Mengetahui tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Tentang Pendapat Madzhab
Hanafi Terhadap Wali Nikah Bagi Perempuan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik
20
Chalimatus Sya’diyah Nailul Afkar “Studi Komparatif Antara Persepsi Dosen Hukum Perkawinan Islam Laki-Laki Dan Perempuan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya Tentang Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidup” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011)
12
dalam aspek keilmuan (teoritis) maupun dalam aspek terapan praktis.
1. Aspek Teoritis
a. Untuk memperkaya khazanah keilmuan terutama yang berkaitan dengan
pendapat Ulama Madhzab Hanafi tentang wali bagi perempuan.
b. Menambah ilmu pengetahuan, serta dapat dijadikan acuan bagi
peneliti-peneliti lain atau kalangan yang ingin mengkaji masalah ini pada suatu
saat nanti.
2. Aspek Praktis
a. Memberikan kontribusi intelektual dalam rangka turut berpartisipasi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan seputar
wali nikah.
b. Memberikan pemahaman serta wacana terhadap masyarakat tentang
pendapat yang membolehkan nikah tanpa wali di samping pendapat yang
melarangnya dan memberikan indikasi pemahaman tentang hukum Islam
yang selalu memiliki sifat fleksibel sehingga cocok dengan konteks
sekarang.
G.Definisi Operasional
Adapun yang dimaksud dalam definisi operasional dalam penelitian ini
13
1. Pandangan Dosen : yaitu pendapat dari dosen yang mengajar di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengampu mata
kuliah Hukum Perkawinan, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir dan Hukum Peribadatan.
2. Pendapat Madzhab Hanafi : pemikiran pengikut madzhab Hanafiah tentang
permasalahan dalam hukum Islam yakni mengenai perkawinan. Madzhab
Hanafi adalah salah satu madzhab Fiqh dalam Islam Sunni yang didirikan oleh
Imam Abu Hanafih yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu’man bin
Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai Madzhab yang paling terbuka
kepada ide modern.
3. Wali Nikah : Wali nikah adalah, orang laki-laki yang dalam suatu akad
pernikahan berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam pengambilan
sampel dan data-datanya, hal ini bertujuan agar penulisan sistematis dapat
menjelaskan tujuan sesuai judul penulis.
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan di atas, data pokok yang dikumpulkan
dalam penelitian adalah data mengenai pandangan dosen Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap Pendapat Madzhab Hanafi
tentang perempuan menikah tanpa wali.
14
b. Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya terhadap pendapat Madzhab Hanafi tentang wali nikah bagi
perempuan.
2. Sumber data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan yang menggunakan
data-data yang langsung didapatkan dari sumber aslinya, maka dalam
pengambilan sumber data, penulis menggunakan pengumpulan bahan rujukan
data yang di bagi dalam dua bentuk yaitu: sumber primer dan sekunder.
a. Sumber primer, yaitu hasil wawancara dengan dosen yang
mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
b. Sumber Sekunder, yaitu data yang diambil dan diperoleh dari
bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda
tertulis seperti buku-buku, artikel, hard copy, dan artikel dari internet.21
Adapun data skunder yang digunakan adalah :
1) Fiqih Lima mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah.
2) Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq.
3) Fiqih Islam Lengkap karangan, Sulaiman Rasjid.
4) Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam karya Siti Musdah
Mulia dan Marzani Anwar.
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian adalah hasil dari sebuah penemuan ilmiah, sehingga teknik
dalam pengumpulan data sangat diperhatikan guna mendapatkan hasil yang
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 115.
15
maksimal. Pengumpulan data dalam penelitan ini menggunakan dua bentuk
teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Wawancara
Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi antara peneliti dan
responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam
hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupan pola
media yang melengkapi kata-kata verbal, sehingga dapat menangkap
perasaan, pengalaman, emosional, motif yang dimiliki responden tersebut
yang disebut dengan in depth interview.22 dalam pengambilan responden
penulis menerapkan metode Porposive Sampling.
b. Dokumentasi
Dokumen adalah catatan tertulis berbagai kegiatan atau peristiwa
pada waktu lalu seperti: jurnal penilitan terdahulu, literatur-literatur yang
membahas penelitian penulis dan berbagai bahan tulisan yang menjadi
acuan bagi peneliti dalam memahami objek penelitian.23
c. Responden
Responden yang dipilih oleh penulis yaitu para dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengampu dalam
mata kuliah Hukum Perkawinan, Fiqih, Usul fiqih, Hukum Keluarga Islam
dan Hukum Peribadatan.
22
Gulo, W. Metodelogi Penelitian, ( t.tp: Grafindo, t.t), 119.
23
Ibid., 123.
16
Data yang ada dipilih dari responden dengan bidang atau konsentrasi
tertentu, sehingga pernyataanya dapat dipertanggungjawabkan.24 Dalam
wawancara terhadap dosen, penulis memilih dosen yang khususnya
mengajar di Prodi Hukum Keluarga Islam, Usul Fikih, Tafsir, dan dosen
lain yang dianggap memahami permasalahan ini.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis
menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data:
a. Editing, yaitu dalam hal ini penulis akan melakukan pengeditan,
pengecekan atau pengoreksian pendapat responden yang telah dikumpulkan
serta meneliti kesempurnaannya, sehingga jelas kebenaran, kejelasan dan
konsistensi jawaban atau informasi yang didapatkan oleh penulis.25 Penulis
memeriksa data-data yang berasal dari kitab-kitab Islam dan dan hukum
positif.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun bagian (orang dan sebagainya)
sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang teratur.26 Setelah data
diteliti kemudian penulis menyusun bahan dalam bagian-bagian yang
sistematis.
Apabila pengolahan data tersebut telah terselesaikan, maka penulis akan
melakukan analisis terhadap data dengan menggunakan:
a. Metode Diskriptif
24
J. Supranto, Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global, edisi 2, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), 76.
25
Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustka, 2013), 253.
26
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 803.
17
Analisis dengan metode penelitian ini bermaksud untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya guna mempertegas permasalahan guna memperkuat teori-teori yang
lama atau dalam rangka menyusun teori-teori baru.27 dalam penelitian ini
penulis menggunakan pola pikir Induktif (mempelajari sesuatu yang
bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang
umum) dari data – data yang diperoleh dari para dosen.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam
penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan penelitian, maka
penulis membuat sistematika sebagai berikut:
BAB Pertama : berisi pendahuluan, bab ini mencakup latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaannya, definisi operasional dan metodologi penelitian, dari
data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik
analisa data.
BAB Kedua : Berisi pembahasan mengenai wali nikah secara umum, yang
meliputi pengertian wali Nikah, macam-macam wali nikah, syarat dan rukun wali
nikah serta kedudukan wali dalam pernikahan, dan juga teori tentang maslahah
dalam hukum Islam.
27
Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum..., 49.
18
BAB Ketiga : Pandangan dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah Tentang perempuan
menikah tanpa wali.
BAB Keempat : adalah Analisis Hukum Islam terhadap pandangan dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat
Imam Abu Hanifah tentang perempuan menikah tanpa wali.
BAB II
TEORI KETENTUAN WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
DAN MASLAHAH MURSALAH
A.Ketentuan Umum Tentang Wali Nikah
1) Pengertian Wali Nikah
Adapun yang dimaksud dengan perwalian secara terminologi para fuqaha
(pakar hukum Islam) seperti diformulasikan Wahbah al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.28 Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud
dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.29
Kata wali berasal dari (ﺎﯾ و -ﻰ ﯾ -ﻰ و)
yang
secara harfiah berarti yangmencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh
dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang.30 Atas dasar pengertian
kata wali tersebut, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayah, barulah hak perwaliannya diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku-buku fiqih.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian
ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-wala>ya ala an-nafs),
28
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011, 178.
29
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia,Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007, 69. 30
Ibid., 69.
19
perwalian terhadap harta (al-walay>ah ala al-mal), serta perwalian terhadap jiwa
dan harta sekaligus (al-wala>yah ala an-nafsi wa al-ma>li ma”an).31
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-wala>yah ala an-nafs, yaitu
perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyarat) terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang
hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para
wali yang lain.32
Perwalian terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan dengan ihwal
pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharaan
(pengawasan), pembelanjaan. Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah
perwalian yang meliputi unsur-unsur pribadi dan harta kekayaan, dan hanya
berada di tangan ayah dan kakek.33
Wali nikah adalah: “orang laki-laki yang dalam suatu akad pernikahan
berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan”.34Adanya wali
nikah merupakan rukun dalam akad pernikahan. Dalam Ensiklopedia Islam di
Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Wali Hakim ialah wali dalam
suatu perkawinan bagi wanita yang tidak ada walinya, maka hakim setempat
yang menjadi walinya.35Kemudian Sayid Sabiq dalam karangannya Fiqih Sunnah
31 Ibid.,
32
Ibid.,
33
Ibid., 135-136. 34
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1992/1993, 1285.
35 Ibid
20
7, disebutkan, wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut syara’ yang
bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa.36
Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan wali nikah, sebagai berikut:
ا
ﻮ
ﻰ
ﻲ
حﺎ ا
ﻮھ
ىﺪ ا
ﻮ
ﮫ
ﺔ
ﺪ ا
ﮫ وﺪ
ﻮھو
ب ا
ﺔ وا
ﺮ او
ﺎ ا
او
نﺎﻄ او
ﺎ او
.
Artinya:“Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncakkebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah
atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik, sulthan dan penguasa
yang berwenang”.37
Dengan melihat beberapa ketentuan tentang pengertian wali di atas dapat
kita ketahui bahwa wali yang dimaksud di sini adalah orang yang mengasuh
orang yang berada di bawah perwaliannya, dan dalam hal ini cenderung pada
wali dalam suatu pernikahan. Wali adalah orang/pihak yang memberikan izin
berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.Wali nikah hanya
ditetapkan bagi pihak perempuan.38 Hal ini disebabkan karena tidak sah
perempuan melakukan pernikahan (akad nikah) baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain, dengan dasar beberapa nash Al-Qur’an, sebagai
berikut:
ﱠ ﮭ و
ﺜ
يﺬﱠ ا
ﱠ ﮭ
فوﺮ ﺎ
لﺎ ﺮ و
ﱠ ﮭ
ٌﺔ رد
ﷲو
ٌ ٌﺰ ﺰ
.
Artinya:“Dan paraperempuan mempunyai hak yang seimbang dengankewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya,
dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. (QS. Al-Baqa>rah:
228).39
36
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 7,( Jakarta: Kalam Mulia), 1990, 1.
37
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Figh ala> Al-Madzhabi al Arba’ah, Juz IV,( Beirut, Darl Al-Kutub Al- Alamiyah,t.th),
38
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1994, 235).
39
21
Serta firman Allah SWT:
ﻰ ﺎ ااﻮ او
ﺎﱠ او
دﺎ
ﺎ او
ﺋ
.
Artinya: “maka nikahlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang lanyak (untuk menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan”. (QS. An-Nu>r: 32).40
Firman Allah SWT:
ﱠ ھﻮ
نا
ﮭ اوزا
ﱠ
.
Artinya: “maka janganlah kamu menghalangi mereka, kawin lagi dengan
bakal suaminya”. (QS. Al-Baqa>rah: 232).41
Kemudian Ahmad Musthofa Al-Maraghi menafsirkan ayat:
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, jika kalian menjatuhkan talak karena isteri-isteri kalian hingga habis masa Iddah nya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak menikahi mereka dan mereka juga menghendaki demikian, maka jangankah kalian (wali-wali mereka) mencegah melakukan pernikahan jika keduanya sudah suka sama
suka”.42
Dalam hal ini Al-Maraghi menjelaskan dalam firman Allah:
"
مﮭﻧﯾ
ﺑ
"
menunjukan bahwasanya tidak ada halangan bagi laki-laki untuk melamar
perempuan atau janda tersebut langsung kepada dirinya untuk melakukan
pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan
menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.43
Dalam “Nail Al-Autha>r”, karangan Abu Dawud, disebutkan hadis yang
berkenaan dengan wali nikah, yaitu:
نﺎ
سﻮ
ىﺮھﺰ ا
ةوﺮ
ﺔ ﺋﺎ
نا
ﻲ ا
ص
.
م
.
لﺎ
:
ةاﺮ اﺎ ا
ﺮ
نذا
ﺎﮭ و
ﺎﮭ ﺎ
طﺎ
ﺎ
ﺎﮭ
طﺎ
ﺎﮭ ﺎ
40 Ibid., 282. 41 Ibid., 29. 42Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi,Bahru Abu Bakar. (Semarang: Toha Putra, Cet. 1), 311-312.
43
Ibid., 312
22
طﺎ
نﺎ
د
ﺎﮭ ﺎﮭ
ﺮﮭ ا
ﺎ
ا
ﺎﮭ ﺮ
ﺎ
اوﺮ ا
نﺎﻄ ﺎ
ﻲ و
ﻲ و
ﮫ
)
هاور
ﺎ ھ
ﺔ
ا
ﻰﺋﺎ ا ا
(
Artinya: “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah; Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “barang siapa diantara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan sebab dihalalkannya fajrinya.Demikian pula apabila terjadi pertentangan (tenang walinya) maka Sulthan adalah wali bagi seorang yang
tidak mempunyai wali”.44
Selanjutnya Sayid Sabiq menyertakan sebuah hadist yang dikutipnya,
sebagaimana disebutkan dalam karyanya Fiqih As-Sunah, yang berbunyi sebagai
berikut:
ا
سﻮ
لﻮ ر
ﷲ
ص
.
م
لﺎ
:
حﺎ
ﻲ ﻮ ا
)
هاور
ﺪ ا
ﻲ او
ىﺬ ﺮ اودواد
او
نﺎ
ﺎ او
ﺎ ﮭ
و
(
Artinya: “Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “tidak
sah nikah tanpa wali”.45
Dengan melihat beberapa dasar hukum yang tersebut tadi dapat
disimpulkan bahwa peranan wali dalam suatu pernikahan sangatlah penting
karena akan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
2) Macam-Macam Wali Nikah
Menurut Sayyid Sabiq, dalam fiqih sunah disebutkan bahwa wali nikah itu
ada dua macam, yaitu: wali secara umum dan wali secara khusus yang dimaksud
wali secara khusus yaitu mengenai perwalian jiwa atau nyawa dan harta. dan
yang dimaksud dalam bahasan ini ialah perwalian mengenai jiwa atau nyawa
dalam perkawinan.46
44
Abu> Dawud, sunan Abu> Dawud, Juz II, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, tt), 95.
45
Sayyid sabiq,Fiqih sunah,., 12.
46
Ibid., 11.
23
Sayuti Thalib dalam Hukum Keluarga Indonesia Bagi Umat Islam,
menyatakan bahwa wali itu bermacam-macam. Ada wali terhadap harta anak
yatim, ada wali untuk orang yang tidak kuat mengendalikan hartanya dan ada
yang pula bagi seorang perempuan dalam perkawinan.Yang dibicarakan di sini
adalah wali perkawinan.Wali dalam perkawinan ini disebut wali nikah.47
Menurut ajaran patrilinial, hanya pengantin perempuan saja yang
memerlukan wali nikah. Dan wali nikah itu selalu laki-laki orangnya. Wali nikah
ini pun menurut ajaran hukum perkawinan patrilinial terdiri pula atas
bermacam-macam:
a) Wali Nasab
.Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin
perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon anggota
pengantin itu. Wali nasab berhak memaksa menentukan perkawinan dan
dengan siapa seorang perempuan mesti kawin, yang kemudian wali nasab ini
disebut dengan wali mujbr.
b) Wali Hakim
Wali hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen
Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada
halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang
calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim baik
47
Sayuti thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku bagi Umat Islam, (jakarta: Penerbit Universitas Indonesia), 1981,
24
melalui pengadilan Agama atau tidak tergantung pada prosedur yang dapat
ditempuh.
c) Wali Hakam
Dapat juga bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga
si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai
hubungan darah dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian
keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan. Dalam bilateral,
wali itu dapat saja dari keluarga bapa si calon pengantin dan dapat pula dari
keluarga pihak ibunya. Bahkan dalam pemikiran yang lebih jauh lagi dari
lingkungan penganut ajaran bilateral dalam hukum kekeluargaan Islam,
bahkan wanita pun dapat jadi wali nikah.
d) Wali Muhakam
Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan dan
bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan
yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan. Dalam hal sama sekali
tidak dapat lagi dicari wali dari pihak pemerintah, untuk kesempurna
perkawinan, seyogyanyalah, dipilih seseorang lain untuk menjadi wali dalam
arti Muhakam ini bagi golongan yang mensyaratkan adanya wali nikah.48
Berbeda dengan Sudarsono, ia menyatakan bahwa dalam pernikahan terdapat
tiga macam wali, yaitu: wali mujbir, wali nasab, wali hakim.
Adapun wali mujbir (wali dengan hak memaksa) yaitu wali nikah yang
mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam
48
25
batas yang wajar. Wali mujbir ialah mereka yang mempunyai garis keturunan ke
atas dengan perempuan yang akan menikah. Yang termasuk wali mujbir ialah
mereka yang masuk dalam garis keturunan garis patrilinial sampai seterusnya ke
atas.Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya
jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kemudian wali nasab, yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga
dengan calon pengantin perempuan.Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung,
bapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilinial (laki-laki).
Dan wali hakim yaitu wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak
(calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan
qadhi. Pengertian wali hakim ini termasuk qadhi di pengadilan.49
Menurut Beni Ahmad Soebani, dalam bukunya Fiqh Munakahat ia membagi
wali nikah menjadi lima macam, yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab itu sendiri terbagi menjadi
dua yaitu: wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh). Dalam urutan tertera
tersebut, yang termasuk wali aqrab adalah wali ayah, sedangkan wali jauh
adalah kakak atau adik ayah.yang berikutnya terus kebawah menjadi wali
jauh.
b. Wali Hakim
49
26
Wali hakim adalah wali nikah yang diambil dari hakim (pejabat pengadilan
atau aparat KUA atau PPN) atau penguasa dari pemerintah.
c. Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon
istri.
d. Wali Maula
Wali maula yaitu wali yangmenikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri.
e. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali bagi orang yang kehilangan kemampuannya,
seperti orang gila, belum mencapai umur, mumayiz termasuk yang di
dalamnya perempuan yang masih gadis maka boleh dilakukan wali mujbir
atas dirinya.50
Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa jika dilihat dari
seginya, wali nikah menurut macamnya dibagi menjadi dua, yaitu: wali
mujbir dan wali ghairu mujbir;
ﻲ اﻮ ا
ﻰ ا
ﻲ و
ﮫ ﺮ
وﺰ
ﮫ
ﮫ
ﺔ ﻮ ا
نوﺪ
ﮫ ذا
هﺎﮭ رو
ﻲ وو
ﺮ ﺮ
ﮫ
ذ
ﮫ ﺪ
و
ﮫ
نا
جوﺰ
نوﺬ
نذا
ﮫ
ﮫ
ﺔ ﻮ ا
هﺎ رو
.
Artinya:“wali dibagi menjadi dua yaitu wali mujbir yang baginya berhak untuk menjodohkan seseorang yang berada dalam perwaliannya meski tanpa seizing dan seridho orang yang diwakilkannya; kedua yaitu wali ghoiru mujbir, baginya tidak ada hak di dalam wali mujbir melainkan sebaliknya, dan tidaklah sah baginya
50
27
menjodohkan dengan tanpa seizin orang yang ada hak wali dan
ridhonya.51
Kemudian masih dengan hal yang sama ia menyatakan:
ﺔ
ا
لﺎ
:
ﻲ و
ا
ﺮ
ا
ﻰ
ﺔ ﻮ ا
ﺬ
لﻮ ا
ﻰ
ﻲ رءاﻮ ﺮ ا
وا
ضﺮ
ھﺪ
ﻲ و
ﺮ ﺮ
ﻮ
ﺎﮭ
ﺪ
و
ﻲ ﻮ ا
نﻮ
اوﺎ ﻄ ةﺮ
اوﺮ
ارﺎ ﺎ ﺮ
ا
رﺎ اﺔ ﻮ
او
.
Artinya: “Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada wali kecuali
mujbir, karena arti dari perwalian disini adalah memutuskan pendapat atas orang lain baik ia rela atau tidak, maka tidak ada wali bagi mereka kecuali wali mujbir yang dapat memutuskan pada akadnya, dan dikhususkan bagi wali mujbir untuk memaksa anak kecil perempuan secara mutlak (demikian pula orang (kewalian) yang majnun laki-laki ataupun perempuan meskipun telah
dewasa”.52
Dalam KHI wali nikah terdiri dari:
1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
2. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan,53
3) Syarat dan Rukun Wali Nikah
51
Abdurrahman al-Jaziri, al- fiqh ala> madzhabi al arba;ah.(tt,t,th), 31
52
Ibid., 31 53
28
Para ulama mazdhab sepakat bahwa orang-orang yang telah mendapat
wasiat untuk menjadi wali harus memenuhi kriteria yang telah disepakati oleh
para fuqoha>. Mengenai syarat syahnya wali, Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
mengatur pada Pasal 20 ayat 1 tentang wali nikah yaitu:
“yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh”.54
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa syarat-syarat wali
nikah adalah sebagai berikut:
1. Orang merdeka
2. Telah sampai umur atau sudah baligh, baik yang walinyaorang islam maupun
orang non-islam. Oleh sebab itu, maka budak belian tidak boleh menjadi wali
nikah dalam perkawinan.
3. Berakal.
4. Beragama Islam, jika yang dinikahkan itu seorang muslim maka yang menjadi
wali harus muslim.55
Ahmad Rofiq dalam Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa syarat
wali adalah laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat
halangan perwalian.56Dalam terjemahan khulasah kifayatul akhyar, disebutkan
bahwa syarat wali atau saksi dalam pernikahan harus mempunyai 6 syarat
sebagaimana tersebut di atas. Selain syarat-syarat tersebut dicantumkan pula
beberapa catatan bagi wali atau saksi yaitu sebagai berikut:
54 Ibid.,7 55
Sayyid sabiq,Fiqih Sunnah, (tt,t.th,), 12 56
29
1. Orang yang rusak akalnya karena tua atau sakit tidak boleh menjadi wali.
Kewaliannya harus dipindah. Demikian juga menurut suatu pendapat bahwa
orang yang sangat bodoh tidak boleh menjadi wali; sebab tidak mengerti
kebaikan untuk dirinya apa lagi kebaikan untuk orang lain; seperti anak kecil.
2. Budak tidak boleh menjadi wali. Sebab tidak menguasai wali dan tidak
menguasai orang lain.
3. Perempuan tidak boleh menjadi wali, sebagai mana keterangan di atas.
4. Dalam hal wali; harus orang Islam yang baik (tidak fasik). Dalam ini ia
menyatakan bahwa kebanyakan orang sekarang (selain orang-orang khurasan)
berfatwa dengan: “orang fasik boleh menjadi wali” Ketika Imam Ghazali
ditanya tentang kewalian orang fasik, beliau menjawab, kalau kita
memberinya (orang fasik) kewalian, terlebih dahulu diadukan pada hakim,
bagaimana hakim menilainya. Kalau tidak diterima oleh hakim, maka tidak
dipergunakan.
5. Orang yang buta boleh menikahkan (menjadi wali), tidak ada perbedaan
pendapat sedang orang yang bisu, kalau bisa menikahkan dengan tulisan atau
isyarat yang bisa difahami, boleh; kalau tidak, ia tidak berhak menjadi wali.
6. Syarat-syarat yang harus ada pada wali sebagaimana tersebut harus ada pada
kedua saksi. Pernikahan yang tidak ada 2 orang saksi, tidak sah. Saksi harus
bisa mendengar, mengetahui dan melihat.57
Kemudian Ibnu Rusyd dalam kitab Bida>yatu’l-Mujtahid Jilid 2, mengenai
sifat-sifat negatif bagi seorang wali, maka fuqaha telah sependapat bahwa
sifat-57
30
sifat positif tersebut adalah: Islam, dewasa, dan lelaki; sedang sifat-sifat negatif
adalah kebalikan dari sifat-sifat tersebut, yaitu; Kufur, belum dewasa dan wanita.
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang tiga orang, yaitu: hamba
sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Mengenai kecerdikan (ar-rusyd), maka
menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki, yakni menurut pendapat
kebanyakan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam
perwalian. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Malik. Asyhab dan
Abu Mush’ab juga mengemukakan pendapat yang sama dengan Imam Syafi’i.
Sedang pendapat ini disebabkan kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan
kekuasaan (perwalian) dalam urusan harta benda.
Mengenai keadilan, maka pendapat mengenai fuqaha berselisih pendapat
mengenai segi kaitannya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, dimana apabila
tidak terdapat keadilan, maka tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan
memilihkan calon suami yang seimbang bagi wanita yang berada di bawah
perwaliannya.
Oleh sebab tidak sempurnanya hamba sahaya, maka ia diperselisihkan
tentang keadilannya.58
4) Kedudukan Wali Dalam Pernikahan
Pada madzhab Syafi’i’ kedudukan wali dalam perkawinan dinyatakan
bahwa wali merupakan salah satu syarat yang sah untuk sahnya nikah.
58
31
Pernikahan tanpa adanya wali adalah tidak sah. Adapun alasan-alasan tentang
diwajibkan adanya wali dalam suatu pernikahan adalah:
ا
ﺔ
ا
و
ﺔ ﺎ ا
ﺔ ﺎ او
ﻰ
ةروﺮ
ﻲ ﻮ ادﻮ و
ﻰ
حﺎ ا
نوﺪ
ﻲ ﻮ ا
وا
بﻮ
ﮫ ﺎ
طﺎ
لﺎ ﺎﮭ اوزﺪ ﺮ ﺎ ةأﺮ
لاﻮ ا
ﺎ ءاﻮ
ةﺮ
ﺔ ﺎ ةﺮ
وا
ﺎ ﺎﮭ ا اﺔ ﻮ وا
ﺔ
ا
نوﺬ ﺎﮭ اوز
ﺎﮭ روﺎﮭ ذإ
.
Artinya:“Telah sepakat golongan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah atas pentingnya keberadaan wali dalam suatu pernikahan, maka setiap nikah yang didapati tanpa adanya wali atau tanpa adanya pengganti atas kedudukannya (wali) adalah batal hukumnya. Dari itu, tidak ada seorang perempuan pun yang dapat melakukan atau melangsungkan akad nikahnya, baik gadis yang telah dewasa, kecil, berakal maupun majnunah, kecuali ia telah dewasa dan menjadi janda, maka disini seorang wali dianggap kurang baik bila dengan kemauannya menikahkan lagi tanpa seizin anaknya yang
janda tersebut dan atas ridhonya”.59
Akan tetapi, lain halnya dengan Abu Hanifah, dalam madzhab Hanafiyah,
seorang perempuan yang sudah dewasa dan berakal sehat, berhakmengawinkan
dirinya atau mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan atau
anaknya yang majnu>nah, atau boleh pula mengawinkan dirinya atau
mengawinkan dengan mewakilkan kepada orang lain dan juga anaknya yang
masih kecil atau anaknya yang majnu>nah tadi. Hal ini disebabkan karena
menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu ada tiga, yakni: ijab, kabul, dan
perpautan antara keduanya (ijab dan qabul).
Jadi dengan demikian, apabila walinya menyanggah pernikahan anaknya,
maka hal ini tidak dibenarkan, terkecuali kalau perempuan tersebut menikah
dengan lelaki yang tidak se-kufu. Hal yang senada juga dikatakan oleh Abu
59
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala Al-Madzhab al Arba’ah, Juz IV, (Beirut, Darl Al Kutub Al- Alamiyah),.tt, 50-51.
32
Yusuf dan Abu Tsaur, mereka berpendapat bahwa sah perempuan menikah, asal
sudah diizinkan oleh walinya. Tetapi jika ia menikah dengan tidak diizinkan oleh
walinya, lalu keduanya mengadukan pernikahan itu kepada hakim dan hakim pun
menetapkan sah pernikahan itu, maka tidak boleh hakim itu membatalkan.60
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
حﺎ
ﺎ
ﻲ
ﱠ ﮭ ا
فوﺮ ﺎ
.
Artunya:“maka tidak ada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut”. (Qs. Al-Baqarah:
234)61
Dengan ayat tersebut menjadi dalil tentang kebolehan seorang
perempuan bertindak untuk mengawinkan dirinya sendiri. Oleh karena itu,
pandangan golongan Hanafiyah dikenal sebagai golongan yang sangat rasional,
karena wali hanya diperlukan bagi anak perempuan yang masih kecil atau bagi
mereka yang telah dewasa, namun secara hukum tidak dapat dianggap mampu
untuk berbuat hukum (karena kurang akal atau gila) atau dengan istilah lain,
mereka yang telah dewasa berhak menikahkan dirinya dengan syarat orang yang
dinikahi se-kufu. Dalam hal ini wali pun masih berhak membatalkan akadnya.
Demikian pula madzhab Hanabilah, adanya wali menjadi syarat sah
nikah, namun kedudukannya sebagai rukun dalam nikah sebagaimana dijelaskan
dalam fiqh madzhab arba’ah yaitu:
ﺔ ﺎ ا
:
حﺎ
طوﺮ ﺔ را
:
طﺮ ا
ﺚ ﺎﺜ ا
:
ﻰ ﻮ ا
.
Artinya:“golongan Hanabilah berpendapat: untuk dijadikan sahnya nikah
terdapat empat syarat: syarat yang ketiga yaitu adanya wali”.62
60
Hasby Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam; Tinjaun Antar Mazdhab, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 222.
61
33
Kemudian dalam fiqh lima madzhab bahwa mayoritas ulama Imamiyah
berpendapat bahwa seorang wanita baliq dan berakal sehat, disebabkan oleh
kebaliqhan dan kematangannya itu, berhak bertindak melakukan segala bentuk
transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan perkawinan, baik dia
masih perawan maupun janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga
lainnya, maupun tidak, direstui ayahnya maupun tidak, baik dari kalangan
bangsawan maupun rakyat jelata, kawin dengan orang yang memiliki kelas sosial
tinggi maupun rendah, tanpa ada seorang pun betapapun tinggi kedudukannya
yang berhak melarangnya. Ia mempunyai hak yang sama persis kaum lelaki.63
Hal senada juga disampaikan Abdurrahman IDoi dalam Inilah Syari‟at
Islam bahwa para ulama mazhab dan Maliki telah menganggap persetujuan untuk
menikahkan seseorang tertentu dengan anak asuhnya, sebagai salah satu unsur
bagi sahnya perkawinan dalam islam, sedang mazhab Hanafi dan Hanbali
menganggap izin wali hanya sebagai suatu syarat saja. Kedua mazhab terakhir ini
justru lebih menekankan pentingnya ijab dan qabul.64
Dari uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa kedudukan wali masih
merupakan suatu yang diperdebatkan, karena di salah satu golongan wali nikah
merupakan salah satu rukun nikah dan di satu golongan wali nikah merupakan
salah satu syarat sah pernikahan.
A.Teori Maslahah Dalam Hukum Islam
62
Abdurrahman al jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhabil Arba’ah, Juz IV,( Beirut, Da>r Al Kutub Al- Alamiyah,t.th), 20-21.
63
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2013), 346. 64
Abdur Rahman I Doi, Inilah Syari‟ah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, t.th), 202-203
34
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan kebaikan sedangkan
mursalah berarti terlepas. Menurut istilah maslahah mursalah berarti
kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’dalam penetapan hukum dan
tidak ada dalil yang melarang atau menyuruhnya. Pada hakektnya maslahah
mempunyai dua sisi positif (ijabi) dan sisi negatif (salabi) sisi positif berupa
merealisasikan kebaikan (ijad al-manfa’ah). Sedangkan sisi negatif berupa
menolak kerusakan atau bahaya (daf’ almafsadah).
2. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
a. Maslahah tersebut harus yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang
diduga atau di asumsikan.
b. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan
pribadi atau khusus.
c. Kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan maqasid al-syari’ah.
d. Kemaslahatan tersebut harus sesuai pengambialan tersebu dan sejalan
dengan akal sehat.
e. Pengambilan kemaslahatan tersebut harus untuk merealisasikan
kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hajiyah atau tahsiniyah.
3. Pembagian maslahah
Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga,
35
a. Maslahah mu’tabaroh, yaitu maslahah yang di dukung oleh syari’ (Allah
SWT) dan dijadikan dasar dalam penetaopan hukum.
b. Maslahah mulghoh, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ (Allah
SWT) dan syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain itu
c. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang belum diakomondir dalam
nash dan ijma’, serta tidak di temukan nash dan ijma’ yang melarang
atau menolaknya.
Berdasarkan tingkatanya maslahah dapat dibagi kedalam tiga
tingkatan, yaitu:
1. Maslahah Dhoru>riyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka.65
Pengabaian terhadap maslahah dhoruriyah dapat berakibat pada
terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan dan turunya
adzab di akhirat. Maslahat dhoruriyah disyari’atkan untuk menjamin
dan melindungi kelestarian agama(hifz al-di>n), melindungi jiwa (hifz
nafs), melindungi akal (hifz aql), melindungi keturunan (hifz
al-nasl), dan melindungi harta (hifz al-ma>l)
2. Maslahah Haji>yah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala
halangan. Pengabaian terhadap maslahah hajiyah tidak menimbulkan
ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan
65
Alaidin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh (jakarta: Raja Grafindo Perseda, 2004), 122.
36
menimbulkkan kesulitan dan kesempitan. Oleh karenanya dari ini
dirumuskan kaidah fiqih :
د
ر
ع
ا
ﺎ
ﺪ
مﺪ
ﻲ
ﺎ
ا
“Menolak kemudkaratan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”
3. Maslahah Tahsi>niyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada
prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara
BAB III
PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA TENTANG PEREMPUAN
MENIKAH TANPA WALI MENURUT MADZHAB HANAFI
A.Pandangan Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi ialah salah satu madzhab fiqih dalam Islam Sunni.
Madzhab ini didirikan oleh imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu
Hanifah bin Nu’man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai madzhab
yang paling terbuka kepada ide moderen. Madzhab ini diamalkan terutama di
kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan
sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat
pendapatnya mengenai amalan Islam, akan tetapi merupakan madzhab terbesar
dengan 30% pengikut.66
Definisi nikah menurut Madzhab Hanafi adalah sebagai akad yang
berakibat pada “pemilihan” seks secara sengaja. Yang dimaksud pemilihan seks
itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh tubuh perempuan
untuk dinikmati. Sedangkan hukum nikah menurut madzhab ini yakni :
1. Wajib : Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu
:
a. Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah
66
38
b. Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa
menolak terjadinya zina
c. Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari
isteri.
d. Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
2. Sunnah Muakkadah : hukum nikah akan menjadi sunnah muakkadah
apabilan terpenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ada keinginan menikah
b. Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah
c. Mampu untuk ijma’ (kesepakatan).
3. Haram : hukum nikah menjadi haram apabila berkeyaninan kalau setelah
menikah ada kekhawatoran akan mencari nafkah dengan jalan haram.
4. Makruh Tahrim : hukum menikah menjadi makruh tahrim apabilan
setelah menikah ada kekhawatiran akan mencari nafkah dengan jalan
harama.
5. Mubah : hukum nikah menjadi mubah apabilan tujuan menikah hanya
ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena khawatir akan
melakukan zina.67
Adapun rukun dan syarat nikah menurut Madzhab Hanafi yaitu sesuatu yang
harus ada, dan juga merupakan bagian integral dari suatu ibadah ataupun
mu’amalah. Berikut ini adalah rukun dan syarat nikah menurut Madzhab Hanafi.
a. Shigat (ijab dan qobul)
67
39
b. Wali
c. Pihak Laki-laki
d. Pihak Perempuan
e. Dua Saksi
Imam Abu Hanifah dalam kitabnya mencantumkan beberapa hadits sebagai
berikut yang artinya :
“Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : wanita yang tidak bersuami itu
lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya”.68
Yang di maksud disini adalah seorang perempuan yang tidak mempunyai
pasangan hidup, baik perawan maupun janda. Oleh karenanya hadits ini
menunjukkan bahwa seorang perempuan memiliki hak untuk melaksanakan
sendiri akad nikahnya. Kemudian juga diperkuat lagi dengan dalil lain yang
artinya :
“seorang perempuan yang sudah sampai umurnya atau akalnya dan merdeka
bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri dalam pernikahan”69
Madzhab Hanafi berpendapat akad nikah boleh dilakukan dengan segala
redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafaz
al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay (penjualan), al-‘atha’
(pemberian), al-ibahah (pembolehan), sepanjang akad tersebut disertai dengan
qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad nikah tidak sah
jika dilakukan dengan lafal al-ijarah (upah) atau al’ariyah (pinjaman), sebab
kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
68
Skripsi Dari Siti Ninik Purnawati, Istinbath Hukum Mazdhab Hanafi Tentang Nikah Tanpa Wali Dalam kitab Bada’i As-Sana’i (Semarang: Penerbit Skripsi UNI Walisongo, 2015)
69
40
Sedangkan menurut Imam Hanafi, Zufar asy-Sya’bi dan Azzuhri
berpendapat bahwa apabila seoran perempuan melakukan akad nikahnya tanpa
wali boleh.70 Menurutnya, perempuan yang telah dewasa boleh mengakad
nikahkan dirinya tanpa wali. Perempuan / wanita yang pandai boleh menikahkan
dirinya sendiri tanpa wali akan tetapi jika perempuan tersebut bodoh maka harus
dinikahkan oleh wali. Jadi yang menjadi landasan adalah pandai disini tidak
membedakan antara perawan atau janda.
B.Pandangan Dosen Fakultas Syariah Tentang Pendapat Madzhab Hanafi.
Pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang di maksud disini
adalah padangan atau pendapat dari dosen yang mengajar di Fakultas Syari’ah
dan Hukum khususnya dalam mata kuliah Hukum Perkawinan, Ilmu Fiqih,
maupun mata kuliah lain yang mengetahui tentang wali nikah menurut
Madzhab Hanifah.
Berikut Pandangan dosen Fakultas Syariah tentang pendapat madzhab
Hanafi tentang perempuan menikah tanpa wali:
a). Dr. H. Abdul Kholiq Syafaat, MA
Beliau adalah salah satu dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Ampel Surabaya yang memiliki konsentrasi dalam bidang Ushul Fiqih,
beliau menyelesaikan Starta satu, dua dan tiga di Universitas Sadam Bagdad
Irak. Menjadi dosen dalam kajian Ushul Fiqih di Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya.
70
Ibid., 409
41
H. Abdul Kholiq Syafaat bahwa berdasarkan dasar hukum yang
digunakan oleh Madzhab Hanafi yaitu
ﺎﮭ
ﻟو
ﻦ ﺎﮭﺴﻔﻨﺑ
ﻖﺣا
ﯾﻻا
makaperempuan yang sudah dewasa maupun yang sudah menikah lebih berhak atas
dirinya sendiri daripada walimya, dengan syarat harus sudah baliqh, berakal,
dan merdeka karena perempuan yang sudah baligh, berakal dan merdeka bisa
mentasyarufkan harta bendanya sehingga dapat diqiyaskan dengan mereka
dapat mengakad sendiri harta benda miliknya. Sementara dalam pernikahan
juga seperti ituP5F
71
P
.
Kalau di lihat dari konteks keindonesiaan, Kholiq Syafaat kurang sepakat
dengan Madzhab Hanafi karena nantinya akan timbul dampak-dampak yang
kurang baik. pertama, dengan tidak adanya wali,maka seorang yang berperan
penting dalam kehidupan perempuan tidak dilibatkan dalam pemilihan calon
suami, yang kedua apabila perempuan boleh menikah tanpa seizin wali maka
nantinya tidak akan ada pertanggung jawabanlain dari calon suami karena wali
tidak dilibatkan, dan yang ketiga apabila perempuan boleh menikah tanpa wali
maka nilai kesakralan dari sebuah pernikahan tadi akan hilang. H. Abdul Kholiq
Syafaat tidak mendukung apabila pernikan tanpa wali ini diterapkan di
Indonesia karena terlalu liberal dan dampak negatifnya terlalu besar.72
b). M. Hasan Ubaidillah, SHI, M.Si
Beliau adalah dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memiliki peran
71
Khaliq Syafaat, Wawancara. Surabaya, 23 desember 2016,
72
Ibid.,
42
besar dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) UIN Sunan Ampel Surabaya.
Beliau menyelesaikan starta satu di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, lalu melanjutkan di pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya dan
menjadi wakil sekertaris PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa
Timur.
Hasan Ubaidillah mengatakan bahwasanya wanita yang sudah baligh,
berakal, dan bisa menentukan baik dan buruk untuk dirinya itu menurut Imam
Abu Hanifah diperbolehkan menikah tanpa seizin maupun tanpa wali.Pendapat
ini mengacu pada hadist Nabi. menurut Hasan Ubaidilla, Pendapat dari
Madzhab Hanafi ini memang dapat digunakan terutama pada kondisi-kondisi
yang memang mengharuskan seorang wanita menikah tanpa seizing wali.
Seperti contoh seorang perempuan yang kedua orang tuanya non-muslim maka
ia dapat menikah tanpa wali.tapi di negara Indonesia yang kebanyakan
menganut madzhab syafi’i dan undang-undang hukum positif maka pernikahan
tidak sah tanpa adanya wali, maka apabila wali tidak menyetujui perempuan
menikah dengan calon pasanganya maka perempuan dapat mengajukan wali
adhaldengan syarat-syarat tertentu73.
Hasan Ubaidillah setuju apabila pendapat dari Madzhab Hanafi ini
digunakan di Indonesia.tapi apabila memang disepakati oleh para ulama’ di
Indonesia dan disetujui oleh DPR yang mempunyai kewenangan mengatur
undang-undang. Maka pendapat dari Madzhab Hanafi ini bukan tidak mungkin
73