• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM. Oleh : IMAM ASARI DIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM. Oleh : IMAM ASARI DIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH

KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

Oleh : IMAM ASARI DIA 008 241

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2012

(2)

Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah

KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

Oleh : IMAM ASARI DIA 008 241 Menyetujui Mataram, 2012 Pembimbing Utama Sugiyarno, SH.,MH NIP. 19531225 1984 03 1 003

(3)

Abstrak

KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

Oleh: Imam Asari

Hukum kewarisan nasional yang dicita-citakan dan yang sedang direncanakan dewasa ini bersumber pada Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara penetapan,kedudukan dan akibat hukum dari orang hilang. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam pendekatan ini metode yang digunakan yaitu Perundang-undangan dan konsep, jenis bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier, teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen, sedangkan analisa yang digunakan adalah analisa kualitatif.

Penetapan orang hilang dalam perspektif Kewarisan KUHPerdata yaitu mereka sebagai ahli waris yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengetahui penetapkan apakah orang hilang tersebut sudah meninggal atau masih hidup, sedangkan dalam perspektif Kewarisan Islam harus menunggu sampai umur orang hilang tersebut di anggap benar-benar meninggal sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama’.

Kesimpulan dari penelitian ini dapat penulis simpulkan menurut Kewarisan KUHPerdata harus mendapat keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan menurut Kewarisan Islam mash dianggap hidup tetapi harus ditunggu sampai batas-batas umur yang telah ditetukan oleh para ulama’

(4)

Abstrak

POSITION OF PEOPLE LOST IN PERSPECTIVE INHERITANCE CIVIL CODE (BW) AND ISLAMIC INHERITANCE LAW

By: Imam Asari

National inheritance law aspired and planned today are rooted in Islamic Law, Customary Law and Civil Law. The purpose of this study was to determine how the establishment, status and legal consequences of missing persons. The method used is a type of research is a normative legal research, which is a scientific procedure to find the truth by logic of the normative legal scholarship. In this approach, the method used and the draft legislation, the type of material used is a matter of law the law of primary, secondary and tertiary, technical collection of legal materials using the technique of document study, while the analysis used was a qualitative analysis.

Determination of missing persons in the perspective of the Civil Code Inheritance them as heirs concerned must apply to a judge to determine whether setting the missing person is dead or alive, whereas in the perspective of Islamic Inheritance should wait until the age of the missing person is considered a really died as set by the scholars'. The conclusions of this study can be concluded according to the authors Inheritance Civil Code should be the judge's decision legally binding, while according to Islamic Inheritance mash considered life but must wait until age limits have ditetukan by the scholars'

(5)

KEDUDUKAN ORANG HILANG DALAM PERSPEKTIF KEWARISAN KUHPERDATA (BW) DAN HUKUM WARIS ISLAM

Oleh : Imam Asasri Pendahuluan A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia sampai dewasa ini masih menganut

receptie theorie yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda dahulu. Recepti theorie yang tidak mengakui berlakunya Hukum Islam dalam

kalangan masyarakat Islam sendiri, sepanjang Hukum Islam itu belum merupakan adat bagi masyarakatnya. Usaha-usaha dan pembaharuan hukum harus segera di sesuai kan dengan kebutuhan msyarakat dan lebih dapat memahami dan menghayati hak dan kewajiban dalam hukum kewarisan yang bersifat nasional. Hukum kewarisan nasional yang sedang direncanakan dewasa ini bersumber pada Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata yang masih hidup dan ditaati dalam masyarakat. Indonesia sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam, unsur-unsur yang menjadi sumber pembentukan hukum kewarisan nasiaonal itu diduga dapat hidup subur.

Di Indonesia terdapat pluralisme hukum kewarisan yaitu Hukum Kewarisan KUH Perdata, Hukum Kewarisan Islam, dan Hukum Kewarisan Adat:

1. Sistem Hukum Kewarisan Perdata Barat, yang tertuang dalam Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang berdasarkan

(6)

ketentuan Pasal 131 I.S. jo. Staatsblad 1917 Nomor 129 jo. Staatsblad 1924 Nomor 557, jo. Staatsblad 1917 Nomor 12 tentang Penundukan Diri Terhadap Hukum Eropa, maka BW tersebut berlaku bagi:

a) Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa.

b) Orang-orang Timur Asing Tionghoa.

c) Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukan diri kepada hukum Eropa.

2. Sistem Hukum Kewarisan Adat beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etis di berbagai daerah lingkungan hukum adat yang diberlakukan pada orang-orang Indonesia yang masih erat hubunganya dengan masyarakat hukum yang bersankutan.

3. Sistem Hukum Kewarisan Islam yang juga terdiri dari pluralisma ajaran, seperti ajaran Ahlus Sunnah Waljama’ah,Ajaran Syi’ah, ajaran

Hajarin yang paling dominan di anut di Indonesia ialah ajaran Ahlus

Sunnah Waljama’ah (Mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki),

tetapi yang paling dominan pula diantara ajaran 4 (empat) mazhab

tersebut di Indonesia di anut Syafi’i.

Semua hukum baik Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Perdata (KUH Perdata) menjamin setiap hak-hah orang yang mengatakan bahwa warisan terbuka apabila ada orang yang meninggal dunia.

(7)

B. Rumusan Masalah

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kedudukan orang hilang menurut hukum kewarisan Perdata dan hukum kewarisan Islam, maka penulis merumuskan permasalahan ini adalah sebagai berikut: 1). Bagaimanakah tata cara penetapan orang yang hilang sabagai pewaris menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan menurut Hukum Kewarisan Islam. 2). Bagaimanakah kedudukan orang hilang setelah ditetapkan barangkali meninggal dunia menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Hukum Kewarisan Islam dalam posisinya sebagai pewaris dan ahli waris. 3). Apakah akibat hukum dengan adanya penetapan barangkali meninggal dunia menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Hukum Kewarisan Islam.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari uraian dalam latar belakang dan perumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan : a). Untuk mengetahui tata cara penetapan orang hilang sebagai pewaris menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan menurut Hukum Kewarisan Islam. b). Untuk mengetahui kedudukan orang hilang setelah ditetapkan barangkali meninggal dunia menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dalam posisinya sebagai pewaris dan ahli waris. c). Untuk mengetahui apakah akibat hukum dengan adanya penetapan barangkali meninggal dunia menurut Hukum Kewarisan

(8)

KUHPerdata dan Hukum Kewarisan Islam dalam posisinya sebagai pewaris dan ahli waris.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: a). Manfaat Teoritis: Untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kewarisan. b). Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, pemerintah dan legislatif dalam pembentukan unifikasi hukum kewarisan di Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup yang menjadi fokus pembahasannya dibatasi pada: 1). Tata cara penetapan orang hilang menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan menurut Hukum Kewarisan Islam, 2). Kedudukan orang hilang menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Hukum Kewarisan Islam dalam posisinya sebagai pewari dan ahli waris. E. Metode pendekatan

Dalam penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam penulisan proposal ini agar memenuhi kriteria ilmiah dan mendekati kebenaran guna memperoleh bahan hukum mengenai kedudukan orang hilang dalam perspektif kewarisan KUHPerdata (BW) dan Kewarisan Hukum Islam. Dalam pendekatan ini metode yang digunakan adalah: 1).

(9)

Perundang-undangan (Statute Approach), Bahwa sahnya penulisan penelitian ini mengenai pengkatagorian dan penyelesaian kasus kedudukan orang hilang dalam Perspektif Kewarisan KUHPerdata (BW) dah Kewarisan Hukum Islam yang dikaji dari sudut pandang hukum normatif yaitu berdasarkan peraturan perundang-undanggan yang berlaku. 2). Konsep (Conseptual Approach), Yaitu pendekatan yang mengkaji asas hukum, konsep hukum, prinsip hukum, dan pendapat para pakar mengenai isu hukum.

E. Sumber dan Jenis Bahan Hukum 1. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum kepustakaan yang diperoleh dari analisis berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian yang berkaitan dengan orang hilang (mafqud).

Adapun jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a). Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (hukum positif Indonesia), Seperti KUH Perdata, Al-Qur’an, Hadis, dan Kompilasi Hukum Islam

(KHI).b). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberilan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian karya ilmiah buku-buku referensi dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan objek penelitian. c). bahan hukum tersier, yaitu bahan bahan hukum penunjang yang memeberikan petunjuk dan

(10)

pengertian terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, dan ensiklopedi.

2. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan dan penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari perundang-undangan, literatur-literatur dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah yang diangkat dalam penulisan ini.

F. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan bahan hukum diperlukan atau dipergunakan tekhnik studi dokumen. Tekhnik studi dokumen yaitu dengan membaca bahan-bahan tulisan ilmiah, buku-buku literatur, perundang-undangan yang dapat menjelaskan permasalahan dan pembahasan yang ada dalam penelitian.

D. Analisis Bahan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini tekhnik analisa bahan hukum yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu memberikan pembahasan atau suatu penjelasan tentang bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsep-konsep dan berbagai bahan hukum lainnya. Hasil penelitian dari bahan hukum yang diperoleh secara tertulis dibahas untuk digunakan didalam penelitian ini.

(11)

Pembahasan

A. Tata Cara Penetapan Orang Hilang Sebagai Pewaris Menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata (BW) dan Menurut Hukum Kewarisan Islam.

1. Penetapan Orang Hilang sebagai Pewaris Menurut Kewarisan KUHPerdata (BW)

Menurut Subekti Jikalau seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak memeberikan kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan-kepentingan, sedangkan kepentingan-kepentingan itu harus diurus atau orang itu harus diwakili, maka atas orang yang berkepentingan ataupun atas permintaan Jaksa, Hakim untuk sementara dapat memerintah Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) untuk mengurus kepentinggan- kepentingan orang yang berpergian itu dan perlu mewakili orang itu. Jika kekayaan orang yang berpergian itu tidak begitu besar, maka pengurusannya cukup diserahkan pada anggota-onggota keluarga yang ditunjuk oleh Hakim.1

Jika sudah lima tahun lewat terhitung sejak hari keberangkatan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama itu tak ada kabar yang menunjukan ia masih hidup, maka orang-orang yang berkepentingan, dapat meminta kepada Hakim supaya dikeluarkan suatu pernyataan yang menerangkan, bahwa orang yang meninggalkan tempat

tinggalnya itu “dianggap telah meninggal” sebelum hakim mengeluarkan

suatu pernyataan yang demikian itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain memuat penggilan itu dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali lamanya. Hakim juga mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu untuk mengetahui kedudukan perkaranya mengenai orang yang meningglkan tempat tinggalnya itu dan jika dianggapnya perlu ia dapat menunda pengambilan keputusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum.2

1 R. Soebekti, Pokok-Pokok HukumPerdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), hlm. 57-58. 2 Ibid.

(12)

2. Penetapan Orang Hilang sebagai Pewaris Menurut Kewarisan Islam

Kata “Al-Mafqud” dalam bahasa Arab berarti “Adl-Dlaa-i’u” berarti lenyap. Orang mengatakan: “Farqadatis Syai-u idzaa adamathu”

adalah suatu yang dikatakan orang hilang apabila ia tidak ada. Menurut istilah ialah orang yang tidak ada, yang terputus beritanya dan tersembunyi kabarnya. Maka tidak diketahui apakah ia hidup atau sudah mati.

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan masa yang dapat ditetapkan matinya orang hilang ada beberapa pendapat:3

a. Golongan Hanafiah

Golongan Hanafiah adalah mereka memperhatikan kematian teman sebayanya yang ada di daerahnya. Apabaila teman-temannya sudah tidak ada lagi, maka ditetapkan matinya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa masa yang ditetapkan mati adalah 90 tahun. b. Golongan Malikiyah

Imam Malik berpendapat adalah bahwa masanya adalah 70

tahun , berdasarkan pada riwayan dalam hadis Mansyur: “Usia umatku adalah antara 60 dan 70 tahun”. Diriwayatkan dari padanya bahwa orang yang hilang didaerah (darul) Islam dan terputus beritanya, maka istrinya berhak mengajukan perkaranya kepada hakim. Lalu hakim menyelidikinya ditempat-tempat yang diduga ai berada, dengan menggunakan sarana yang memungkinkan untuk mangetahui keadaannya. Apabila tidak diketahui maka hakim menetapkan tempo bagi istrinya 4 tahun. Apabila tempo telah habis, maka istri beriddah dengan iddah wafat. Sesudah itu baru istri halal kawin dengan orang lain.

c. Golongan Syafi’iyah

Imam Syafi’i berpendapat bahwa masanya adalah 90 tahun. Ia

merupakan matinya teman-teman sebayanya yang berada di daerahnya. Pendapat yang benar menurut beliau bahwa lama masa kematian itu tidak bisa ditetapkan dengan suatu masa tertentu. Tetapi apabila hakim bermaksud menetapkan kematiannya sesudah habisnya masa dimana

3Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1995), hlm. 249-252.

(13)

pada umumunya sudah tidak ada lagi orang yang hidup pada masa tersebut.

d. Golongan Hanabilah

Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila seseorang itu hilang dalam suatu keadaan, dimana dalam keadaan itu terjadi kebinasaan, yang memebinasakan, seperti orang hilang diantara barisan tentara yang saling berperang ketika berkecamuk peperangan dan sangat sengit pertempuran itu, atau tenggelam kapal yang ia naiki, dimana sebagian penumpangnya selamat dan sebagiannya tenggelam, maka harus diselidiki selama empat tahun, apabila tidak ditemukan satu berita baginya, maka hartanya dibagikan kepada ahli warisnya, sesudah masa itu. Tetapi apabila ia orang hilang dalam suatu keadaan yang tidak terjadi kebinasaan, seperti orang yang pergi untuk berdagang, atau melancong, atau menuntut ilmu dan sebagainya maka dalam keadaan demikian ada dua pendapat:

1) Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan. 2) Diserahkan ijtihat hakim

Pendapat dari golonhgan Hanafiyah, dan pendapat yang disetujui oleh mayoritas ulama, yakni menyerahkan mengenai batas waktu ini kepada Hakim, karena hal itu berbeda-beda menurut perbedaab negara (daerah) dan peribadi seseorang. Oleh karenanya serahkan saja masalah ini pada ijtihad hakim, agar ia menetapkan berdasarkan indikasi yang tampak, yang menunjukan atas kematian atau kebinasaannya. Pendapat inilah yang sesuai pemahaman dan lebih berguna bagi kemaslahatan.

B. Kedudukan Orang Hilang Setelah di Tetapkan Barangkali Meninggal Dunia Menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata (BW) dan Hukum Kewarisan Islam Dalam Posisinya Sebagai Pewaris dan Ahli Waris 1. Kedudukan Setelah di Tetapkan Barangkali Meninggal Dunia Menurut

(14)

Ketentuan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tidak hadir temuat dalam BW Buku I. Undang-undang ini mengatur tentang keadaan tidak ditempat terdapat tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan, masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia dan masa pewarisan secara difinitif.

Adapun Pasal yang membahas tentang pewaris tedapat dalam Kitad Undang-Undang Hukum Perdata Buku I tentang Orang, Bab XVIII (tentang Keadaan Tak Hadir Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Lain Dari Pada Tionghoa). Bagian Keempat (Pasal 489,490,492), tentang hak-hak yang jatuh pada seseorang tak hadir yang hidup atau tiadanya disangsikan.

Sedangkan pasal yang membahas tentang ahli waris terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku I tentang Orang, Bab XVIII (tantang Keadaan Tak Hadir, Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Lain Dari Pada Tionghoa dan Golongan Tionghoa), bagian keempat (pasal 476-477,480-482,484,486-487). Tentang hak-hak dan kewajiban para ahli waris dan mereka lain yang berkepentingan setelah adanya pernyataan tentang barangkali meninggal.

(15)

2. Kedudukan Setelah di Tetapkan Barangkali Meninggal Dunia Menurut Kewarisan Islam Dalam Posisinya Sebagai Pewaris dan Ahli Waris

Dalam kedudukan sebagai pewaris, para ulama sepakat bahwa orang hilang tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris dan juga isterinya tetap berstatus sebagai isteri, tentang sampai kapan orang hilang dinyatakan dalam status orang hidup itu, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat untuk dapat menyatakan kematian orang mafqud, ia harus ditunggu sampai batas waktu tertentu yang ia tidak mungkin hidup lebih dari masa itu. Kepastian waktunya diserahkan kepada ijtihad imam.

C. Akibat Hukum Dengan Adanya Penetapan Meninggal Dunia Menurut Hukum Kewarisan KUHPerdata (BW) Dan Hukum Kewarisan Islam

1. Akibat Hukum Menurut Kewarisan KUHPerdata (BW)

Dalam hal orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu meninggalkan suatu penguasaan untuk mengurus kepentingan-kepentinggannya, maka harus ditunggu selam sepuluh tahun lewat sejak diterimanya kabar terakhir dari orang itu barulah dapat diajukan permintaan untuk mengeluarkan suatu pernyataan bahwa si tak hadir telah dinyatakan barangkali meninggal dunia. Setelah dilakukan pernyataan itu oleh Hakim, maka para ahli waris baik yang menurut undang-undang maupun ditunjuk dalam surat wasiat berhak mengoper kekuasaan atas

(16)

segala harta kekayaan, asal saja dengam memeberikan jaminan bahwa mereka tidak akan menjual benda-benda itu.

Apabila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya (hilang) dengan tak memberikan kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, maka keluarga yang berkepentingan bisa saja mengajukan langsung permohonan kepada pengadilan setempat untuk dapat diputuskan pembagian harta warisan dan kepastian meninggalnya orang yang hilang tersebut oleh hakim atau melapor kepada yang berwajib (polisi) bahwa salah seorang keluarganya telah hilang untuk melakukan penyidikan dan melakukan panggilan-panggilan di media masa serta media elektronik. Berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan, atas permintaan jaksa, hakim PN untuk sementara memerintahkan BHP untuk mengurus kepentingan orang yang hialang tersebut, jika kekayaan orang tersebut hanya sedikit cukup diserahkan kepada anggota-anggota keluarganya saja yang ditunjuk oleh hakim.

2. Akibat Hukum Menurut Kewarisan Islam

Ahmad bin Hambal memisahkan kondisi waktu hilang: bila ia hilang dalam kondisi yang sangat mudah menimbulkan kematian seperti dalam peperangan atau kecelakaan yang menyebabkan tewasnya sebagian besar korban dan dalam kondisi biasa yang kecil kemungkinan timbul kematian seperti dalam perjalanan bisnis atau menuntut ilmu. Dalam kondisi pertama, seseorang yang hilang ditunggu selama 4 tahun; kalau tidak kembali dalam waktu itu harta dapat dibagikan dan isterinya masuk dalam iddah wafat. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Abu Bakar.

(17)

Tetapi, dalam keadaan kedua maka ia harus ditunggu sebagaimana yang ditetapkan oleh jumhur ulama.4

(18)

Penutup

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kedudukan orang hilang menurut Hukum Kewarisan Perdata dan menurut Hukum Kewarisan Islam adalah:

1. Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Islam: a). Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata, untuk memutuskan orang hilang, harus mendapatkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum, dan jika orang tersebut kembali maka hak-hak dalam warisan harus dikembalikan pada orang yang hilang yang telah kembali tersebut. Tetapi dalam praktek memang belum pernah terjadi tetapi kalaupun terjadi para hakim di Penagdilan Negeri akan mengacu sesuai dalam KUH Perdata. b). Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Islam, para ulama sepakat bahwa orang hilang tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris dan juga isterinya tetap status sebagai isteri. Tentang sampaikapan orang hilang dinyatakan dalam status orang hidup itu, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama dan bila ia hilang dalam kondisi yang sangat mudah menimbulkan kematian seperti dalam peperangan atau kecelakaan yang menyebabkan tewasnya sebagian besar korban dan dalam kondisi biasa yang kecil kemungkinan timbul kematian seperti dalam perjalanan bisnis atau menuntut ilmu. Dalam kondisi

(19)

pertama, seseorang yang hilang ditunggu selama 40 tahun; kalau tidak kembali dalam waktu itu harta dapat dibagikan dan isterinya masuk dalam

iddah wafat. Tetapi dalam keadaan kedua, maka ia harus ditunggu

sebagaimana yang ditetapkan oleh jumhur ulama.

B. Saran-saran

Setelah menyimpulkan jawaban permasalahan di atas, maka penyusun memeberikan saran sebagai berikut: 1). mengingat kedudukan orang dalam KUH Perdata dan Hukum Kewarisan Islam sudah cukup jelas ditetapkan, sehingga peraturan yang telah ditetapkan tersebut dapat menjadi acuan bagi hakim-hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. 2). diharapkan bagi masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang mempunyai masalah untuk menetapkan hak waris terhadap orang hilang maka harus melalui keputusan hakim untuk mendapatkan kekuatan hukum.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Sahabuniy, Munammad Ali. 1995, Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Ikhlas

Soebekti R. 1982, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Cet. 16, Intermasa Syarifuddin, Amir. 2004, Hukum Kewarisan Islam, jakarta: Pranada Media

Peraturan-Peraturan

Soebekti R, Tjitrosudibio. 1992, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek), Jakarta: Cet. 25, Edisi Revisi, Pradya

Referensi

Dokumen terkait

Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan orang yang mempunyai kelamin ganda (khunsa) dalam hukum kewarisan Islam dan bagaimana cara

Yefrizawati : Kedudukan Mamak Kepala Waris Dalam Sistem Kewarisan Minangkabau Dalam Perspektif…, 2001 USU Repository © 2008... Yefrizawati : Kedudukan Mamak Kepala Waris Dalam

Fajrul Wadi : Kedudukan Anak Dalam Kewarisan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat Di Kabupaten Agam, 2002 USU Repository © 2008... Fajrul Wadi : Kedudukan Anak Dalam Kewarisan

Hasil penelitian yang dapat di simpulkan adalah pembagian waris menurut hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat berbeda baik itu secara prinsip maupun

Cara Anak Tiri Mendapatkan Harta Warisan Menurut Hukum Waris Islam dan KUHPerdata

Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan orang yang mempunyai kelamin ganda (khunsa) dalam hukum kewarisan Islam dan bagaimana cara

KEDUDUKAN AHLI WARIS PEREMPUAN DAN WASIAT DALAM HUKUM KEWARISAN

Kedudukan Taklik Talak Dalam Pernikahan Menurut Perspektif Hukum Islam Berdasarkan Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian perkawinan adalah perjanjian