• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA EPIDEMIOLOGI GENETIK PENDERITA TULI BISU PADA MASYARAKAT KOLOK DI DESA BENGKALA, BALI UTARA TAHUN 2012 ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA EPIDEMIOLOGI GENETIK PENDERITA TULI BISU PADA MASYARAKAT KOLOK DI DESA BENGKALA, BALI UTARA TAHUN 2012 ABSTRACT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

EPIDEMIOLOGI GENETIK PENDERITA TULI BISU PADA MASYARAKAT KOLOK DI DESA BENGKALA, BALI UTARA TAHUN 2012

ABSTRACT

Name : Agus Riyadi

Major : Public Health Science (Epidemiology Department)

Title : Genetic Epidemiology Deaf And Mute Of Patient In Kolok

Society At Bengkala Village, North Bali In 2012

Congenital hearing loss is deafnees that occurs in an infant due to factors that affect pregnancy or at birth. The prevalence of congenital hearing loss in Indonesia is estimated to 0.1%. Bengkala have population of 2280 person, there are 2% or about 47 person had deaf mute, deaf mute while the indicator should be the default for 1 case of 1000 births, or about 0.1%, the high number, it makes a serious problem.

This study aims to reveal the genetic epidemiology deaf mute in Kolok society at Bengkala village, North Bali in 2012.. The design study is a descriptive study using cross-sectional study design. The research was conducted in the village of Bengkala,. Occurred during the study period of three months starting from September until November 2012. The population in this study were all villagers at Bengkala in2012 and samples taken in this study is a deaf mute Bengkala village in 2012.

The results obtained by the prevalence of deafness in the Bengkala village, incidence by 43 (1.9%). Based on the information that cases where deaf mute was the largest genetic Dusun Tihing (5.1%). The numbers the proportion of males (0.7%) and women (0.8%). Based on age, the study provides information that the prevalence of cases of genetic deafness in the village mute highest Bengkala early adult age range (26-35 years) with a prevalence of 2.3% with a prevalence of 1.6%. The results of the X2 test value pair Bengkala type of marriage in the village is at 7.1 with a degree of freedom is 1 and p value (p <0.05). Opportunities for the marriage as above is 0.01 or 1%.

Should be done premarital counseling and genetic program in the village Bengkala. screening from birth to newborns, , the development of appropriate educational facilities for children with special educational and DNA testing squence and not isolated individuals.

(2)

ABSTRAK

Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi saat kehamilan maupun pada saat lahir. Bengkala ada terdapat 2%, indikator tuli bisu bawaan sebesar 1 kasus dari 1000 kelahiran atau sekitar 0,1%, tingginya angka tersebut menjadikan masalah yang cukup serius.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi genetik penderita

tuli bisu pada masyarakat kolok di Desa Bengkala tahun 2012.. Desain penelitian

menggunakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional. Penelitian ini

dilakukan dari bulan September sampai dengan bulan November 2012. Populasi penelitian ini adalah semua masyarakat Desa Bengkala tahun 2012 dan sampel yang diambil adalah penderita tuli bisu di Desa Bengkala tahun 2012.

Hasil penelitian diperoleh angka prevalensi kejadian tuli di Desa Bengkala sebesar 43 (1,9%). Berdasarkan tempat kasus tuli bisu genetik terbesar pada Dusun Tihing (5,1%). Angka proporsi laki-laki (0,7%) dan perempuan (0,8%). Berdasarkan usia, angka prevalensi kasus tuli bisu genetik di Desa Bengkala tertinggi pada rentang umur dewasa awal (26-35 tahun) dengan prevalensi 2,3%. Hasil nilai uji X2 pada pasangan tipe perkawinan di Desa Bengkala adalah sebesar 7,1 dengan degree of freedom bernilai 1, dan nilai p value (p<0,05). Peluang untuk terjadinya perkawinan seperti di atas adalah 0,01 atau 1%.

Sebaiknya dilakukan program konseling pranikah dan genetik di desa Bengkala, skrining sejak lahir pada bayi yang baru lahir, dikembangkannya fasilitas pendidikan yang tepat, dan tes DNA squence dan tidak mengisolasi individu.

(3)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan

faktor-faktor yang mempengaruhi

kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian kongenital merupakan kehilangan pendengaran yang diyakini sudah terjadi sejak lahir. Kelainan ini merupakan masalah yang ada sejak lahir namun memburuk dengan sejalannya waktu. Onset yang lambat bermanifestasi setelah kelahiran tanpa terkena penyebab eksogen. Anak lahir tuli oleh karena kegagalan dari perkembangan sistem pendengaran, akibat faktor genetik (keturunan), kerusakan dan

mekanisme pendengaran semasa

embrional, kehidupan janin di dalam kandungan atau selama proses kelahiran. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan

masyarakat yang utama karena

mempengaruhi 6 sampai 8% dari populasi di negara-negara maju dan berkembang. (Petit at al, 2001)

Pelaksanaan Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) ditemukan gangguan pendengaran yang lebih banyak daripada yang diperkirakan sebelumnya. Sekitar dari 1000 bayi baru lahir di dapatkan dalam keadaan tuli, satu dari 300 anak mengalami gangguan pendengaran bawaan pada tingkat rendah, dan satu dari 1000 anak menjadi sangat tuna rungu

sebelum menginjak dewasa. (Mason

Herrman, 1998 ; Parving A, 1999).

Data dari Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) menunjukan bahwa

Indonesia mempunyai tingkat prevalensi gangguan pendengaran sekitar 4,6 % dari setiap 1000 bayi yang lahir, angka yang

termasuk tinggi di Asia Tenggara.

Prevalensi tuli kongenital atau bawaan di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan bertambah setiap tahunnya dengan 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat faktor risiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa

kehamilan dan kelahiran masih tinggi. (Profil Kesahatan, 2010)

Kota Medan, dari 4 ribu bayi yang lahir per bulannya, 8 bayi dalam kondisi tuli dan bisu. Bengkala adalah suatu desa yang berlokasi di Bali utara yang berumur lebih dari 700 tahun. Saat ini, 2% dari 2280 orang di desa telah ditemukan keadaan gangguan pendengaran. Tuli bisu di Desa Bengkala disebabkan oleh genetik (pembawaan lahir), saraf sensorik, non-syndroma, dan diakibatkan oleh Penetrant autosomal recessive. ((J Med Genet, 1995;32:336-343). Orang-orang di desa Bengkala ini dilaporkan mengelompok

pada keluarga-keluarga tertentu dan

sebagian besar dari mereka memilih pasangan hidup yang sama tulinya. Oleh karena itu kemungkinan berperannya faktor genetik pada kelainan ini sangatlah besar. Hal yang menjadikan alasan dasar penelitian adalah di desa Bengkala penduduk yang berjumlah 2280 jiwa, ada

terdapat 2% atau sekitar 47 jiwa

mengalami tuli bisu, sedangkan

seharusnya indikator tuli bisu bawaan sebesar 1 kasus dari 1000 kelahiran atau sekitar 0,1%, tingginya angka tersebut menjadikan masalah yang cukup serius. Hal ini tentu saja berdampak pada proses komunikasi di masyarakat yang akan berakibat menurunnya kualitas hidup mereka sebagai sumber daya manusia yang potensial di masa mendatang.

Terkait masalah diatas, gangguan

pendengaran yang tidak terdiagnosis

secara dini dapat mengalami keterlambatan dalam diagnosis dan akan menimbulkan dampak yang besar pada kemampuan

berbahasa, komunikasi, kognitif dan

perkembangan psikososial. (Yoshinaga at al, 1998). Hal tersebut dapat menyebabkan

penarikan diri penderita dari

lingkungannya di kemudian hari. (Baroch, 2003)

Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya pada tahun 1993 dan 2011, namun penelitian tidak dikhususkan pada

subyek masyarakat Desa Bengkala.

(4)

epidemiologi genetik penderita tuli bisu di Desa Bengkala dengan menggunakan

analisis sederhana menggunakan pedigree

analysis.

1.2 Rumusan Masalah

Bengkala memiliki penduduk yang berjumlah 2280 jiwa, ada terdapat 2% atau sekitar 47 jiwa mengalami tuli bisu, sedangkan seharusnya indikator tuli bisu bawaan sebesar 1 kasus dari 1000 kelahiran atau sekitar 0,1%, tingginya angka tersebut menjadikan masalah yang cukup serius. Hal ini tentu saja berdampak pada proses komunikasi di masyarakat yang akan berakibat menurunnya kualitas hidup mereka sebagai sumber daya

manusia yang potensial di masa

mendatang. Terkait masalah diatas,

gangguan akan menimbulkan dampak yang besar pada kemampuan berbahasa, komunikasi, kognitif dan perkembangan psikososial. (Yoshinaga at al, 1998). Hal tersebut dapat menyebabkan penarikan diri penderita dari lingkungannya di kemudian hari. (Baroch, 2003)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran epidemiologi genetik penderita tuli bisu genetik pada masyarakat kolok di Desa Bengkala, Bali Utara tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian, adalah :

1. Mengetahui besar prevalensi kasus tuli

bisu genetik pada masyarakat kolok di Desa Bengkala dan distribusi (umur, jenis kelamin dan tempat tinggal).

2. Mengetahui mekanisme dan pola

penurunan sifat tuli bisu genetik pada masyarakat kolok di Desa Bengkala.

3. Mengetahui perkiraan jumlah kasus

yang akan timbul pada penurunan sifat tuli bisu genetik pada masyarakat kolok di Desa Bengkala.

2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Desain Penelitian

Desain penelitian menggunakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional. Penggunaan desain studi

ini dimaksudkan untuk memperoleh

besarnya kejadian tuli bisu dan mengetahui epidemiologi genetik penderita tuli bisu pada masyarakat kolok di Desa Bengkala, Bali Utara Tahun 2012.

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa

Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali

Utara. Waktu penelitian berlansung selama tiga bulan mulai dari bulan September sampai dengan bulan November 2012. Persiapan penelitian dilakukan selama satu bulan, pengambilan data dan sampel dilakukan selama satu bulan di Desa

Bengkala dan proses analisis data

dilakukan di Jakarta sampai waktu

penelitian berakhir sampai bulan

Desember 2012.

2.2 Populasi dan Sampel 2.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini

adalah semua masyarakat Desa Bengkala tahun 2012.

2.2.2 Sampel

Sampel yang diambil dalam

penelitian ini adalah penderita tuli bisu di Desa Bengkala tahun 2012. Kriteria inklusi penderita tuli bisu akibat genetik setelah pemeriksaan gen.

Hasil perhitungan di dapatkan besar sampel minimal yang akan diteliti sekitar 30 orang dengan nilai proporsi 2% dan presisi 5%. Untuk mengantisipasi missing data, maka terkait juga dengan jumlah kasus yang sedikit, sehingga diambil semua kasus dengan metode

pengambilan saturated sample (sample

jenuh).

2.2.3 Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil adalah

sampel kasus, merupakan jumlah sampel yang merupakan kasus. Jumlah kasus

(5)

pasien tuli bisu sebesar 40 orang. Memiliki kriteria inklusi dengan kasus tuli bisu hasil pemeriksaan genetik, bukan karena sebab kongenital lain.

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Gambaran umum Desa Bengkala

Desa Bengkala terletak di

Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Dengan ketinggian 200 m diatas permukaan laut, desa Bengkala relatif sejuk dibanding Kota Singaraja. Desa Bengkala sangat mudah dijangkau dari Singaraja berjarak sekitar 30 km dari Ibu Kota Kapbupaten Buleleng, dekat dengan pelabuhan kuno di Bali, yaitu pelabuhan Sangsit, yang sarat akan sejarah karena merupakan tempat mendaratnya tentara

Belanda saat masuk Bali, bahkan

merupakan pelabuhan yang memiliki nilai

histori karena merupakan tempat

mendaratnya para pelarian bangsa Cina yang akhirnya meneruskan menetap di wilayah Penulisan (sekitar 50 km dari Bengkala) dan para pelarian Mongol yang selanjutnya menjadi suatu bagian sejarah dari perkembangan Desa Bengkala sampai dengan waktu sekarang. (Marsaja, 2008).

Desa Bengkala memiliki jumlah penduduk sebesar 2749 jiwa, dengan sebagian besar memiliki profesi sebagai petani dan berkebun, dan jumlah sisanya adalah berdagang serta penjual jasa. (Data Sekunder Desa, 2012)

Desa Bengkala menjadi sebuah daya tarik untuk dilakukannya sebuah penelitian disebabkan tingginya angka kejadian bisu tuli, atau dalam bahasa Bali

sering disebut kolok. Hal adanya dan

kejadian bisu tuli memang tidak hanya

terdapat di Desa Bengkala, namun

spesifikasi genotype nya tidak memiliki

kesamaan dengan bisu tuli lain di wilayah Indonesia.

3.2 Prevalensi Kasus Tuli Bisu di Desa Bengkala

Jumlah penduduk desa Bengkala pada tahun 2012 adalah sebesar 2749

orang diantaranya 469 orang pendatang, 2237 orang masyarakat asli Bengkala yang dapat mendengar dan 43 orang tuli. Angka prevalensi kejadian tuli di desa Bengkala sebesar 43 orang sebagai kasus dibagi jumlah total penduduk masyarakat asli Bengkala. Sehingga angka yang dihasilkan

sebesar 1,9%. Angka ini bukan

menunjukan angka prevalensi tuli di Desa Bengkala menurun dari 2% hingga 1,9%, tetapi hal ini disebabkan pada tahun 2012 ada 4 orang yang tuli meninggal dunia.

Tabel 3.1 Frekuensi penderita tuli bisu genetik berdasarkan Dadia (Dusun) di

Desa Bengkala N o Dusun Mendeng ar Tuli Tota l Tuli Gen etik Total Tuli Keselur uhan % Tuli Akib at Gen etik L P L P 1 Tihing/Pul asari 15 2 16 2 1 0 7 17 18 5,1 2 Asem 70 74 1 0 1 1 0,6 3 Abing/Bas ta 14 0 13 7 1 3 4 5 1,4 4 Ceblong/G elgel 12 7 13 2 2 5 7 9 2,6 5 Kanginan 12 6 14 0 1 0 1 1 0,3 6 Kutuh 68 73 1 1 2 2 1,4 7 Kemuning/ Santun 74 68 0 1 1 1 0,6 8 Punduh Jero 13 5 14 0 1 2 3 3 1 9 Kinditan 76 73 0 1 1 1 0,6 1 0 Kelod Kauh 13 0 13 5 1 0 1 1 0,3 1 1 Bondalem * 4 1 0 0 0 1 0 Total 11 02 11 35 1 8 2 0 38 43 1,6 Maks 15 2 16 2 1 0 7 17 18 5,1 Min 1 1 0 0 0 1 0 Mean 10 0 10 3 2 2 3 4 1,2 N (Total popoulasi) = 2280 orang

(*) warga dadia lain di luar dadia Desa Bengkala, tetapi berstatus penduduk di Desa Bengkala Data sekunder Dinas Kesehatan 2012

Tabel 3.1 memberikan informasi bahwa kasus tuli bisu genetik terbesar ada pada Dusun Tihing (5,1%) dan yang terendah adalah Dusun Bondalem (0%). Dengan angka kejadian keseluruhan 1,6% dan rata-rata 1,2%.

(6)

Selanjutnya penelitian memberikan hasil frekuensi kejadian tuli bisu genetik

yang terdistribusi berdasarkan jenis

kelamin, yang bertujuan untuk melihat pada jenis kelamin apa yang memiliki

kasus tertinggi. Berikut Tabel 3.2

mengenai proporsi penderita tuli bisu genetik berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 3.2 Frekuensi penderita tuli bisu genetik berdasarkan jenis kelamin di

Desa Bengkala No Dusun Tuli Genetik Total Penduduk % Tuli Genetik L P L P 1 Tihing/Pulasari 10 7 332 3 2,1 2 Asem 1 0 145 0,6 0 3 Abing/Basta 1 3 282 0,3 1,0 4 Ceblong/Gelgel 2 5 268 0,7 1,8 5 Kanginan 1 0 267 0,3 0 6 Kutuh 1 1 143 0,3 0,3 7 Kemuning/Santun 0 1 143 0 0,3 8 Punduh Jero 1 2 278 0,3 0,7 9 Kinditan 0 1 150 0 0,6 10 Kelod Kauh 1 0 266 0 0 11 Bondalem* 0 0 6 0 0 Total 18 20 2280 0,7 0,8 Maks 10 7 332 3 2,1 Min 0 0 6 0 0 Mean 2 2 207 0,5 0,6

Tabel 3.2 memberikan informasi bahwa frekuensi antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang signifikan, dapat dilihat angka proporsi laki-laki (0,7%) dan perempuan (0,8%) dengan nilai rata-rata untuk laki-laki 0,5% dan perempuan 0,6%.

Gambaran epidemiologi kasus tuli bisu tidak hanya dapat terdistribusi berdasarkan jenis kelamin dan tempat saja,

melainkan dapat di interpretasikan

distribusi berdasarkan umur. Distribusi umur dapat mempermudah untuk sebagai sasaran intervensi di kemudian hari.

Berikut merupakan Tabel mengenai

frekuensi penderita tuli bisu berdasarkan umur.

Tabel 3.3 Frekuensi kejadian tuli bisu akibat genetik berdasarkan umur di

Desa Bengkala Katag ori Umur Menden gar % Menden gar Tuli umu m % Tu li Tuli akiba t genet ik % Tuli akiba t genet ik Balita (<5 tahun) 210 98,1 2 0,9 2 0,9 Masa anak-anak (6-11 tahun) 234 98,7 0 0 3 1,2 Remaja awal (12-16 tahun) 343 98,8 0 0 5 1,4 Remaja akhir (17-25 tahun) 231 98,2 1 0,4 3 1,2 Dewas a awal (26-35tahu n) 210 97,6 0 0 5 2,3 Dewas a akhir (36-45 tahun) 324 97,8 0 0 7 2,1 Lansia awal (46-55 tahun) 205 98 0 0 4 1,9 Lansia akhir (56-65 tahun) 215 97,2 1 0,4 5 2,2 Manula (≥65 tahun) 265 98,1 1 0,3 4 1,4 Total 2237 98,1 43 0,2 38 1,6 Maks 343 98,8 7 0,9 7 2,3 Min 205 97,2 3 0 2 0,9 Mean 248 98,8 5 0,2 4 1,6 Data Sekunder Dinas Kesehatan 2012

Tabel 3.3 memberikan informasi bahwa angka prevalensi kasus tuli bisu genetik di Desa Bengkala tertinggi pada rentang umur dewasa awal (26-35 tahun) dengan prevalensi 2,3% dan terendah pada balita (0,9%) dengan nilai rata-rata prevalensi 1,6%.

3.3 Mekanisme Penurunan Sifat Tuli Bisu di Desa Bengkala

Terkait dengan tujuan penelitian untuk mengetahui mekanisme penurunan sifat tuli bisu di Desa Bengkala, maka

(7)

peneliti mengambil beberapa cara untuk menggambarkan perbedaan dari masing-masing kasus dalam menurunkan sifat tuli bisu tersebut. Oleh karena itu dibuatlah analisis data dari data sekunder dengan

membagi kategori berdasarkan tipe

perkawinan. Tipe perkawinan sebelumnya diketahui dari penelitian terdahulu.

Tabel 3.4 Frekuensi tuli bisu berdasarkan tipe perkawinan di Desa

Bengkala

Tipe Perkawinan

Tuli Normal Jumlah anak

Normal-Tuli 12 5 17

Tuli-Tuli 21 0 21

Total 33 5 38

Data Primer

Data memberikan informasi jumlah yang dihasilkan dari tipe perkawinan normal dengan tuli adalah sebanyak 12 orang tuli dan 5 orang normal dengan total 17 orang. Sedangkan pada tipe perkawinan tuli dengan tuli adalah sebanyak 21 orang yang mengalami tuli seluruhnya.

4. PEMBAHASAN

4.1 Prevalensi Tuli Bisu Berdasarkan Jenis Kelamin dan Dusun

Data menunjukan bahwa pada tipe penurunan sifat di Desa Bengkala dengan

cara autosom resesif berdasarkan

penelitian sebelumnya dan terlihat pada hasil distribusi saat ini. Artinya, penurunan sifat lebih kuat diturunkan oleh jenis kelamin apapun, karena antara laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama besar untuk mengalami ketulian pada tipe pewarisan sifat tersebut, walaupun secara fenotip normal, tetapi kemungkinan akan menjadi seorang pembawa sifat. Oleh karena itu, jumlah kejadian tuli bisu banyak diderita oleh perempuan maupun laki-laki. Hanya saja pada kasus ini di desa Bengkala angka kejadian tuli bisu lebih

besar dialami perempuan dibandingkan laki-laki.

Frekuensi kasus tuli bisu terbanyak terjadi di Dusun Tihing atau Pulasari sebesar 5,4% tuli secara umum, artinya di desa tersebut jumlah kejadian tuli bisu

sangat tinggi dibandingkan dengan

kejadian tuli bisu di dusun lainnya. Hal yang menyebabkan desa tersebut bernilai tinggi adalah karena, desa tersebut memiliki banyak jumlah penduduk, selain itu pada dusun tersebut banyak masyarakat yang masih menikah dengan sesama

kawitannya. Kawitan adalah suatu

sekumpulan masyarakat yang tinggal pada satu tempat dan masih memiliki satu ikatan keluarga dan nenek moyang (Gede Marsaja, 2007). Secara umum masyarakat mengenal kata Kawitan dengan arti asal mula atau leluhur seseorang yang menjadi cikal bakal keberadaan keluarganya di masa kini atau bisa dikatakan bahwa Kawitan adalah asal mula sebuah soroh atau clan yang ada di Bali. Dusun Tihing memiliki angka kejadian yang cukup tinggi, karena dicurigai ada sebagian masyarakat masih menikah dengan sesama keluarganya. Kemudian dusun ini pun banyak menikah dengan tipe perkawinan

homosigot resesif, kedua pasangan

mengalami ketulian sehingga

anak-anaknya akan mengalami hal yang sama, untuk melihat distribusi tuli bisu karena akibat genetik data tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 menunjukan ada salah seorang yang berasal dari dusun yang bernama Bondalem dengan kasus tuli bisu hanya 1 orang. Kasus tuli bisu ini masih diprediksi lebih lanjut, karena dusun Bondalem ini tidak termasuk kedalam wilayah Desa Bengkala. Sehingga kejadian tuli bisu tersebut masih belum jelas faktor penyebabnya. Menurut diagnosa sementara dr.Prabowo P.B, Mht (2012) kasus tersebut dicurigai mengalami kejadian tuli bisu akibat Otitis media kronis, bukan akibat dari penurunan secara genetik. Ada beberapa hal yang menjadikan dasar diagnosa sementara pada kasus seorang

(8)

yang berasal dari dusun Bondalem antara lain:

1. Masih terdeteksinya desible,

kemampuan mendengar sedikit

2. Keluarnya cairan bewarna kuning dari

kedua telinga

3. Adanya kehilangan pendengaran secara

progresif

4. Adanya peradangan di mukosa telinga

bagian tengah

Dari tanda-tanda yang dicurigai

dapat disimpulkan sementara bahwa

kejadian tuli bisu tersebut bukan akibat penurunan genetik, melainkan akibat adanya infeksi. Infeksi tersebut akibat dari bakteri piogenik semasa kecil. Untuk menghilangkan bias dari kejadian kasus tuli bisu di desa Bengkala maka diperlukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik dengan pengaruh genetik dan memisahkan yang kasus berasal dari masyrakat desa Bengkala dan bukan masyarakat desa Bengkala.

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan hingga menemukan kasus tuli

bisu genetik adalah dengan cara

memperoleh data sekunder dari hasil penelitian sebelumnya oleh Friedman dengan hasil pemeriksaan gen, kasus yang dicurigai memiliki gangguan pendengaran

di cek besar desibel atau derajat

dengarnya, apabila tuli bisu total dan sudah dibawah batas normal ditemukan jumlahnya, selanjutnya di tes secara genetik jumlah kasus yang ditemukan, dan

hasil akhirnya apabila hasil gen

menunjukan bahwa ada mutasi gen (DFNB3) maka disimpulkan bahwa kasus tuli bisu merupakan kasus yang benar-benar tuli genetik. Setelah diperoleh data

maka peneliti mengkategorikan tipe

perkawinan dan disebar secara pertanyaan terstruktur tipe perkawinan mereka dengan jumlah anak yang tuli, maka diperolehlah 38 kasus yang terbagi dari beberapa tipe perkawinan.

4.2 Prevalensi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Dusun

Prevalensi tuli bisu genetik di Desa Bengkala terdistribusi berdasarkan dadia

atau dusun. Data yang dihasilkan

menggambarkan banyaknya persentase kasus yang mengalami tuli bisu secara genetik. Berikut grafik 2 mengenai prevalensi kasus tersebut.

Gambar 4.1 Grafik Distribusi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Dadia Gambar 4.1 Grafik Distribusi Tuli Bisu

Genetik Berdasarkan Dusun

Hasil penelitian menunjukan data tertinggi terdistribusi pada Dusun Tihing atau Pulasari yang menyumbang kasus tuli bisu akibat genetik sebanyak 17 orang (5,1%), sedangkan 1 kasus bukan akibat genetik. Sedangkan dusun yang tidak memiliki tuli bisu genetiknya adalah Dusun Bondalem, karena kasus yang terjadi sebelumnya sudah dijelaskan akibat OMSK (Otitis Media Kronis). Penelitian oleh I Gede Marsaja (2008) menyatakan bahwa dadia atau dusun Tihing memiliki angka tuli bisu yang cukup tinggi, dikarenakan masyarakat dengan dadia tersebut masih banyak yang menikah sesama dadia ataupun kawitanya dan mereka lebih memilih menikah dengan sesama tuli bisu (kolok) dan membawa sifat genetik DFNB3 terus menurus secara stabil. Terkait penjelasan diatas, bearti penelitian ini telah didukung oleh hasil data penelitian sebelumnya tanpa adanya perbedaan.

Tingginya angka tersebut dapat dinyatakan bahwa intervensi atau program penurunan sifat tuli bisu masih belum tercapai, sehingga dapat dilihat masih tidak

(9)

meratanya dan tidak adanya penurunan angka kejadian. Meskipun di Desa

Bengkala sudah diterapkan sekolah

inklusi, yang mana sekolah tersebut

bertujuan untuk menghindarkan

diskriminasi antara yang tuli bisu dan normal dan nantinya diharapkan anggota dari mereka tidak akan berkelompok

dengan sesamanya, tetapi dapat

bersosialisasi bahkan membentuk

hubungan pernikahan yang membuat peluang terjadinya tuli bisu kecil yang dihasilkan antara perkawinan yang normal dengan tuli. Tetapi hal ini belum sepenuhnya berjalan, karena masih belum

adanya tenaga penyuluh terhadap

konseling pernikahan, sehingga

masyarakat masih belum paham mengenai penurunan sifat yang akan terjadi. Hal ini bearti di Desa Bengkala masih diperlukan

intervensi yang lebih lanjut dan

berkesinambungan.

4.3 Prevalensi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Jenis Kelamin

Prevalensi tuli bisu genetik di Desa Bengkala terdistribusi berdasarkan jenis

kelamin. Data yang dihasilkan

menggambarkan banyaknya persentase kasus yang mengalami tuli bisu secara genetik. Berikut grafik 6.2 mengenai prevalensi kasus tersebut.

Gambar 4.2 Grafik Distribusi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Jenis Kelamin

Grafik memberikan informasi

distribusi kasus tuli bisu akibat genetik berdasarkan jenis kelamin. Hasil data menunjukan sebanyak 38 orang yang mengalami tuli bisu akibat genetik,

sehingga besar kontribusi kasus dari tuli bisu keseluruhan (43 orang) sebesar 1,9%. Jenis kelamin terdistribusi antara laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan

yang signifikan. Hasil penelitian

menunjukan hampir adanya keseimbangan peluang proporsi antara laki-laki dan perempuan dengan jumlah 18 orang (0,7%) laki-laki dan 20 orang perempuan (0,8%).

Menurut penelitian Prof Wayan Suardana, angka prevalensi tuli bisu genetik di Desa Bengkala juga terdistribusi seimbang antara laki-laki dan perempuan, sebesar 11 orang (45,8%) laki-laki dan 13 orang (54%) perempuan, penelitian ini bearti telah didukung oleh penelitian

terdahulu dengan hasil yang tidak

memiliki perbedaan, hanya saja jumlah total kasus yang berbeda.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Prof. Wayan Suardana bahwa jenis

kelamin tidak menjadikan adanya

perbedaan pada kasus tuli bisu secara

genetik, karena di Desa Bengkala

penurunan sifat tuli bisu diwariskan secara autosomal resesif. Ciri khas dari pewarisan sifat ini adalah tidak adanya perbedaan

signifikan antara laki-laki dengan

perempuan. Hal tersebut didukung oleh pustaka yang mengatakan bahwa peluang yang terjadi pada pewarisan autosomal resesif antara laki-laki dan perempuan

sama kuat.

4.4 Prevalensi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Umur

Prevalensi tuli bisu genetik di Desa Bengkala terdistribusi berdasarkan jenis kelamin dan dusun saja, tetapi berdasarkan

umur. Data yang dihasilkan

menggambarkan banyaknya persentase kasus yang mengalami tuli bisu secara

genetik. Berikut grafik mengenai

prevalensi kasus tersebut.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 L P

% tuli gen % tuli gen

Tihing/Pulas ari Asem Abing/Basta Ceblong/Ge lgel Kanginan

(10)

Gambar 4.3 Grafik Distribusi Tuli Bisu Genetik Berdasarkan Umur

Grafik menginformasikan bahwa proporsi angka kejadian tuli bisu genetik di Desa Bengkala terdistribusi dari beberapa rentang umur. Data kasus yang tertinggi tersebar pada dewasa awal (26-35 tahun) sebesar 2,3% dan terendah pada

balita (≤5 tahun) sebesar 0,9%. Hal

tersebut disebabkan struktur demografi di Desa Bengkala lebih banyak pada dewasa

akhir dibandingkan usia anak-anak

maupun produktif. Menurut penelitian Prof Wayan Suardana, angka prevalensi tuli bisu genetik di Desa Bengkala juga terdistribusi tinggi pada usia >20-45 tahun atau usia dewasa (41,6%), penelitian ini bearti telah didukung oleh penelitian

terdahulu dengan hasil yang tidak

memiliki perbedaan.

Usia dewasa awal juga dapat dijadikan indikator Desa Bengkala bahwa tingkat ketulian dapat dilihat dari usia yang

semakin dewasa, ketulian di Desa

Bengkala baru dapat dilihat ketika usia terus bertambah, karena di desa Bengkala belum keseluruhan bayi di skrining dan deteksi dini sejak lahir, sehingga belum tercatat bayi yang benar-benar mengalami tuli bisu.

Penelitian memberikan informasi bahwa nilai dari prevalensi tuli bisu genetik keseluruhan di Desa Bengkala berdasarkan umur sebesar 1,6%, hal ini memiliki arti bahwa nilai tersebut adalah

nilai yang cukup tinggi dibandingkan nilai rekomendasi tuli bisu genetik menurut

standar Komnas Penanggulangan

Gangguan Pendengaran dan Ketulian yang sebesar 0,1%. Tingginya angka tersebut akan menjadikan generasi penerus dan usia

produktif di Desa Bengkala akan

mengalami hambatan dalam

berkomunikasi dan bekerja sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang akan berdampak kepada taraf hidup yang rendah.

4.5 Mekanisme Penurunan Sifat Tuli Bisu di Desa Bengkala

Mekanisme penurunan di Desa bengkala terdapat tiga tipe perkawinan, yaitu tipe perkawinan antara normal dengan normal, normal dengan tuli dan tuli dengan tuli. Hasil penelitian menemukan hanya ada dua tipe perkawinan saat ini yaitu normal dengan tuli dan tuli dengan tuli. Berikut Tabel frekuensi 2 x 2 kasus tuli bisu genetik.

Tabel 4.1 Frekuensi tuli bisu berdasarkan tipe perkawinan di Desa

Bengkala

Tipe Perkawinan

Tuli Normal Jumlah anak

Normal-Tuli 12 (31,5%) 5 (13,3%) 17 (44,8 %)

Tuli-Tuli 21 (55,2%) 0 (0%) 21 (55,2%)

Total 33 (86,7%) 5 (13,3%) 38 (100%)

Hasil nilai uji X2 pada pasangan tipe perkawinan di Desa Bengkala adalah

sebesar 7,1 dengan degree of freedom

bernilai 1. Ini artinya secara statistik antara tipe perkawinan normal dengan tuli dan tuli dengan tuli memiliki perbedaan yang signifikan dan bermakna dengan nilai p value (p<0,05) (Tabel distribusi kai kuadrat).

Hasil tersebut menjelaskan bahwa di Desa Bengkala memiliki keadaan kondisi yang stabil, karena populasinya besar memungkinkan terjadinya kawin acak. Artinya setiap individu memiliki

0,9 1,21,41,2 2,32,11,92,2 1,4 0 0,5 1 1,5 2 2,5

% Tuli akibat genetik

% Tuli akibat genetik

(11)

peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotip yang sama maupun berbeda. Penjelasan tersebut didukung oleh adanya perbedaan yang

terlihat dari masing-masing tipe

perkawinan.

Penelitian ini di dukung dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Prof. Wayan Suardana, bahwa antara masing-masing tipe perkawinan di Desa Bengkala memiliki perbedaan jumlah frekuensi gen dengan ditunjukan besar nilai X2 sebesar

3,84, degree of freedom 1 dan nilai (p

value < 0,05). Hasil tersebut juga menyatakan bahwa di Desa Bengkala memiliki tipe perkawinan campur, yang di dalam pupulasinya memiliki jenis tipe gen yang berbeda.

4.6 Perkiraan Jumlah Kasus Tuli Bisu di Desa Bengkala

Frekuensi orang dengan keadaan tuli bisu genetik di Desa Bengkala sebesar

1,6%, bearti nilai 1,6%=q2 (homosigot

resesif, dd), sehingga nilai q= √0,016 = 0,12. Frekuensi gen normal di Bengkala bernilai = p = 1- q = 0,88.

Menurut hukum Hardy-Weinberg maka frekuensi heterosigot = 2 pq = 2 x 0,88 x 0,12 =0,21 atau 21%. Ini berarti sekitar satu diantara lima orang penduduk adalah heterosigot. Nilai perkiraan jumlah orang yang membawa gen tuli ialah 0,21 x 2280 = 478 orang. Peluang bahwa dua orang heterosigot akan bertemu sebagai suami istri adalah 0,212 = 0,04 dan karena di desa bengkala merupakan pewarisan

sifat dengan cara autosomal resesif maka

nilai peluang akan melahirkan seorang anak dengan tuli adalah ¼ x 0,04 = 0,01. Ini berati setiap pasangan yang secara fenotip normal, tetapi bersifat carier akan memiliki peluang melahirkan anak dengan tuli sebesar 1% dan sisanya merupakan peluang pewarisan sifat cara lain. Bearti apabila pada penduduk yang berjumlah populasi 2280 maka akan diperkirakan 0,01 x 2280 = 23 orang yang akan bersifat carier. Hasil analisis data penelitian menggangap bahwa di desa Bengkala

memiliki tipe penurunan sifat secara autosomal resesif adalah karena beberapa faktor antara lain: perkawinan yang terjadi dapat dilihat dari tipe perkawinan normal dengan tuli yang menghasilkan anak dengan perbandingan 1:4, perkawinan tuli dengan tuli telah menghasilkan 100% anak yang tuli, peluang laki-laki dan perempuan untuk menjadi pembawa sifat sama besar,

dan gen dari masyarakat bersifat

heterosigot.

Tentu saja bahaya yang cukup potensial ini dapat meningkatkan jumlah

kasus yang semakin tinggi dan

mengakibatkan kesulitan berkomunikasi yang pada akhirnya akan mempersulit dalam penyediaan sarana pendidikan dan pekerjaan. Keterbatasan penyediaan sarana pendidikan dan pekerjaaan tentu saja akan mempengaruhi kualitas hidup, sehingga

masyarakat desa Bengkala akan

kehilangan potensi untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Seperti halnya yang

diungkapkan oleh Yoshinaga (1998)

terkait masalah gangguan akan

menimbulkan dampak yang besar pada

kemampuan berbahasa, komunikasi,

kognitif dan perkembangan psikososial. Hal tersebut dapat menyebabkan penarikan diri penderita dari lingkungannya di kemudian hari. (Baroch, 2003)

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari beberapa hasil penelitian dapat dsimpulkan beberapa butir penbting, antara lain :

1. Penelitian memberikan informasi

bahwa nilai dari prevalensi tuli bisu genetik keseluruhan di Desa Bengkala berdasarkan umur sebesar 1,6%, hal ini memiliki arti bahwa nilai tersebut

adalah nilai yang cukup tinggi

dibandingkan nilai rekomendasi tuli bisu genetik menurut standar Komnas

Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan Ketulian yang sebesar 0,1%

(12)

2. Masyarakat desa Bengkala yang sudah

dianggap tuli bisu sejak lahir,

sedangkan tidak ada skrining yang tepat dari sejak lahir, maka menjadikan mereka tidak mampu untuk berbicara dan selalu diterapkan menggunakan bahasa isyarat. Hal ini jelas akan menurunkan potensi mereka sebagai sumber daya manusia.

3. Hasil menunjukan bahwa pada tipe

penurunan sifat di Desa Bengkala dengan cara autosom resesif.

4. Menurut hukum Hardy-Weinberg maka

frekuensi heterosigot sebesar 0,21 atau 21%. Ini berarti sekitar satu diantara 4 orang penduduk adalah heterosigot. Nilai perkiraan jumlah orang yang

membawa gen tuli ialah 478 orang.

Apabila individu yang heterosigot ini menikah dengan sesama heterosigot, maka 24% dari anak mereka akan menderita tuli bisu kongenital. Peluang untuk terjadinya perkawinan seperti di atas adalah 0,01 atau 1%.

5.2 Saran

Dari kesimpulan yang diperoleh maka peneliti dapat memberikan saran untuk penelitian selanjutnya, antara lain:

1. Sebaiknya dilakukan program konseling

pranikah dan genetik di desa Bengkala.

2. Sebaiknya dilakukan skrining sejak

lahir pada bayi yang baru lahir, apabila derajat ketulian masih secara progresif dan dapat di antisipasi dengan diberikan terapi wicara secara kontinyu, agar tidak terbiasa dengan bahasa isyarat.

3. Dikembangkannya fasilitas pendidikan

yang tepat untuk anak yang berkeadaan khusus pendidikan secara meningkatkan kecerdasan visual, baik pada kasus yang dapat diantisipasi atau tuli bisu total.

4. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan

penelitian uji pendengaran dan tes DNA squence pada kasus untuk membuktikan dari hasil pedigree analisis sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson C, Van der Gaag A. Speech

and Language Therapy : Issue in Professional Practice. London : Whurr Publisher, 2005.

2. Davis A, Yoshinaga-Itano C, Hind S.

Commentary Universal Newborn

Hearing Screening Implication For Cordinating and Developing Service for Deaf and Hearing Impaired Children. BMJ, 2001.

3. Desa Bengkala. Statistik Desa Bengkala.

Singaraja : Pemerintahan Desa

Bengkala, Bali : 2011.

4. Ditjen Yanmedik Spesialistik Depkes

RI. Skrining Pendengaran Pada Bayi

Baru Lahir. Jakarta, 2010

5.Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta : 2007.

6. Friedman, TB, Liang, Y, Weber, JL, Hinnant, JT, Barber TD, Winata, S, Arhya, I N and Asher, J, Jr. A Gene for Congenital Recessive Deafness DFNB3 Maps to the Pericentromeric Region of Chromosome 17. Nature Genetics, 9: 86-91.

7.Harliani A. Pedigree Analysis.

www.google.com. 12 September 2012.

8. Marsaja, G. Desa Kolok- A Deaf Village and its Sign Language in Bali,

Indonesia. Universitas Pendidikan

Ganisha Singaraja. Bali : 2008.

9. Pearce E. Anatomi dan Fisiologi untuk

Paramedis. Gramedia, Jakarta : 2002.

10.Purnami Nyilo, Setyo P. Jurnal.

Pemetaan Gen Pada Penderita

Gangguan Pendengaran Bawaan Non Sindromik di Surabaya. 2011.

11.Rawool Vishakha. Hearing

Conservation in Occupational,

Recreational, Educational, and Home Setting. New York, 2011.

12.Suardana W. Laporan Penelitian.

Penelitian Penderita Bisu Tuli di Desa Bengkala. Bali : 1999

(13)

13.Sumantri A. Metodologi Penelitian Kesehatan. Prenada Media, Jakarta : 2011.

14.Thompson DC, Mc Phillips H, Davis RL, Lieu TA, Homer CJ, Helfand M. Universal Newborn Hearing Screening : Summary of Evidance. JAMA 2001.

Gambar

Tabel 3.1 Frekuensi penderita tuli bisu  genetik berdasarkan Dadia (Dusun) di
Tabel 3.2 Frekuensi penderita tuli bisu  genetik berdasarkan jenis kelamin di

Referensi

Dokumen terkait

http::/www.oedoramail..com/mail3.html., hal.. yang menjadi haknya, dan yang lebih parah lagi jika masyarakat tidak sadar mereka mempunyai hak atas informasi tentang air yang

menunjukkan perbandingan nilai Coefficient pressure (Cp) dan Skin friction coefficient (Cf) didaerah Bottom wall untuk variasi 1 pada beberapa model turbulensi

Seperti pada DSM-III-R, halusinasi maupun waham tidak diperlukan untuk diagnosis skizofrenia, karena pasien dapat memenuhi diagnosis jika mereka mempunyai dua gejala

Hasil dari variabel on the job training adalah bahwa penyampaian program pelatihan di PT Kereta Api Indonesia (Persero) Kantor Pusat Bandung mampu meningkatkan

Bangunan SMPN 2 Bandung merupakan benda cagar budaya yang memiliki nilai historis. Bangunan didirikan pada tahun 1913 sehingga dikategorikan dalam masa transisi.

Kerjakan dengan mengikuti urutan yang telah ditentu- kan; Suara Paru-paru (musim gugur), Suara Ginjal (musim dingin), Suara Hati (musim panas), Suara Jantung (musim.. Enam

Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive yaitu secara sengaja, berdasarkan pra survey yang dilakukan dengan tujuan-tujuan penelitian, daerah

Dari hasil analisis persentase tingkat kesukaran, dapat diketahui bahwa kualitas butir soal UAMBN mata pelajaran Bahasa Arab Tahun Ajaran 2013/2014 dari segi tingkat