ANALISA DATA SURVEILENS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Surveilens Epidemiologioleh
KELOMPOK 4
Widya Ratna Wulan
25010110120014
Hesti Meylia Pratiwi
25010110110015
Annisa Prayudya
25010110120016
Juwita Atiqah
25010110120017
Dian Fajriyah Pangestika
25010110120018
R-A 2010
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
KASUS I
Kepadatan
Vektor (MBR=
Man Bitting
Rate)
BULAN
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
Des
An.aconitus
0,06
0,09
0,3225
0,11
0,45833
0,23
0,275
0,18
0,1
0,015
0,04
0,09
An.maculatus
0,02
0,14
0,0525
0,02
0,06
0,045
0,245
0,095
0,11
0,045
0,08
0,1275
An.balabacencis
0
0,02
0,02
0,02
0,01333
0
0,015
0,03
0
0
0
0,01
KASUS
55
100
110
67
119
110
71
49
27
39
26
49
1. Buatlah analisis deskriptif dari data tersebut diatas !
2. Buatlah grafik, untuk membantu analisis data di atas, dan berilah kesimpulan !
3. Vektor manakah yang paling dominan berpengaruh terhadap penularan malaria di wilayah tersebut!
GRAFIK ANALISIS DATA KEPADATAN VEKTOR DAN KASUS MALARIA DI KECAMATAN “X” TAHUN 2011
Analisis deskriptif
Grafik diatas merupakan data kepadatan vektor dan kasus malaria di Kecamatan “X” tahun 2011 di atas, menunjukan keterkaitan antara kepadatan nyamuk sebagai vektor terjadinya penyakit malaria dengan jumlah kasus yang terjadi tiap bulan. Untuk data dalam grafik tersebut diambil sampel tiga vektor nyamuk Anopheles berbeda spesies, yaitu Anopheles aconitus, Anopheles maculatus,
Anopheles balabacencis. Dari grafik data di atas dapat dianalisis bahwa kecenderungan jumlah
kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan jumlah kasus malaria yang terjadi. Tiga vektor nyamuk berada dalam area penyebab terjadinya penyakit malaria.
Namun, dalam hal ini masih ditemukan kejanggalan dalam grafik yang meskipun secara umum antara jumlah kasus dengan presentase kepadatan vektor selaras. Dapat diamati pada bulan Juni, ketika angka kepadatan nyamuk berangsur menurun namun kecenderungan kasus yang ditemukan masih tinggi. Dan untuk bulan Oktober dimana ketika angka kepadatan nyamuk menurun jumlah kasus yang ditemukan justru meningkat dari bulan sebelumnya.
Dari kejanggalan tersebut dapat diindikasikan alasan pada bulan Juni dan Oktober jumlah kasus tidak dipengaruhi oleh jumlah nyamuk atau kepadatan nyamuk, namun lebih kepada jumlah nyamuk yang memiliki tingkat virulensi yang bisa menjadi vektor penularan malaria. Dimana intinya banyaknya nyamuk tidak menutup kemungkinan semuanya membawa virus malaria dalam tubuhnya ketika menggigit calon penderita. Dan ini bisa diindikasikan pula untuk data di bulan yang lain.
Dan nyamuk yang paling dominan berpengaruh terhadap penularan malaria di wilayah tersebut adalah dari species Anopheles aconitus.
55 100 110 67 119 110 71 49 27 39 26 49 0.06 0.09 0.3225 0.11 0.45833 0.23 0.275 0.18 0.1 0.015 0.04 0.09 0 20 40 60 80 100 120 140 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
KASUS An.aconitus An.maculatus An.balabacencis
KASUS II
Characteristics of Wild Polio Cases in Indonesia 2005
1. Bagaimanakah pendapat anda tentang grafik ini, terkait kasus polio dan pemberian imunisasi ? 2. Potensial masalah apa yang ada, berdasarkan grafik tersebut ?
Analisis Deskriptif
1. Jika dilihat dari diagram pertama yang menggambarkan proporsi penderita malaria yang dilihat dari segi jenis kelamin, hal yang mendasari kesalahan diagram data tersebut adalah penggunaan diagram pie chart. Seharusnya untuk data nominal kualitatif adalah menggunakan diagram batang. Untuk perbandingan penderita antara laki – laki perempuan perbedaannya pun tidak terlalu signifikan sehingga belum bisa menjadi dasar faktor determinan seseorang menderita malaria didasarkan oleh jenis kelamin.
2. Untuk diagram kedua yang menggambarkan data penderita dalam segi tingkatan usia dari 0 - > 60 bulan dimana mengindikasikan bahwa yang beresiko tinggi menderita polio disini adalah balita. Dapat dilihat pada diagram terdapat presentase penderita polio didominasi oleh kelompok usia 12-35 bulan sebanyak 56%. Hal ini dianalisis bahwa lebih dari setengah persen tepatnya 56% kasus polio ditemukan pada balita usia 12-35 bulan atau 1-3 tahun. Balita dalam rentang usia tersebut cenderung menjadi lebih rentan terhadap virus polio karena dipengaruhi oleh imunitas tubuh yang masih lemah.
0 dose 37% '1-2 dose 48% 3+ dose 15% Fem ale 47% Male 53% 0-11 Month 5% 12-35 Month 56% 36-60 Month 21% >60 Month 18%
Oral Polio Vaccine (OPV)
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan
pada dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang.
Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga 6 minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran
virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru di imunisasi harus menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.
Sehingga bila ada seorang kontak di rumah yang dalam keadaan kondisi tubuh sedang turun, seperti pengobatan, anak dengan mekanisme imunologik terganggu misalnya hipogamaglobulinemia dan penderita infeksi HIV atau AIDS, sebaiknya menghindar dari bayi atau anak yang divaksinasi polio paling tidak selama 6 minggu sesudahnya.
OPV diberikan pada BBL sebagai dosis awal, sesuai dengan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dan Program Eradiksi Polio (ERAPO) tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan 3 dosis terpisah berturut-turut dengan interval
waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3
bulan.
3. Diagram terakhir memberi informasi bahwa pemberian imunisasi harusnya diberikan secara berkala selama 4 kali (saat baru lahir, bulan ke 2, 4, dan 6) namun pada kenyataannya hanya 15% balita yang diberi imunisasi lengkap sementara 48% lainnya hanya diimunisasi maksimal 2 kali.
Mengapa kecenderungan balita usia 12-35 bulan lebih mendominasi??
Dari hasil imunisasi yang pertama diindikasikan v
irus polio ini dapat bertahan di tinja hingga 6 minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru di imunisasi harus menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi. Sehingga kerentanan imunitas balita lebih kepada saat pertama kali bayi tersebut diberi imunisasi sampai rentang waktu pemberian vaksin berikutnya.4. Potensial masalah yaitu ketidakdisiplinan para orangtua dalam memberi imunisasi anaknya. Data yang didapat bahwa hanya 15% orang tua yang memberikan imunisasi polio lengkap sehingga menyebabkan resiko tinggi terjangkit polio bagi anak yang tidak diimunisasi.