• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGGING MARS PADA PERAMALAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGGING MARS PADA PERAMALAN PRODUKSI PADI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAGGING MARS PADA PERAMALAN PRODUKSI PADI

DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Naily Kamaliah1, Bambang Widjanarko Otok 2, Sutikno 3 1

Mahasiswa S2 Jurusan Statistika FMIPA ITS (1308 201 012) 2,3

Dosen Jurusan Statistika FMIPA ITS

email:1naily_k@yahoo.com,2 bambang_wo@statistika.its.ac.id, 3 sutikno@statistika.its.ac.id ABSTRAK

Variasi iklim musiman merupakan salah satu penyebab utama beragamnya produksi tanaman pangan di Indonesia. Kemarau panjang dan kekeringan menyebabkan gagal panen dan kekurangan pangan sehingga dapat mempengaruhi produksi pertanian dan ketahanan pangan. Indikatornya terjadi penurunan luas panen dan produksi merosot tajam saat terjadi penyimpangan iklim. Besarnya dampak yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan iklim menyebabkan diperlukan suatu model yang menghubungkan antara luas panen dengan indikator iklim sehingga dapat dilakukan perencanaan yang tepat serta langkah-langkah antisipasi lebih dini guna menghindari risiko gagal panen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memodelkan Sea Surface Temperature (SST Nino 3.4) dan Dipole Mode Index terhadap anomali luas panen di Provinsi Kalimantan Barat pada tiap subround, yang selanjutnya digunakan untuk meramalkan Produksi Padi di Provinsi Kalimantan Barat. Adanya keterkaitan antar variabel prediktor merupakan masalah utama dalam penelitian ini, sehingga akan dibandingkan strategi mengatasi multicollinearity dalam MARS dengan meningkatkan order interaksi dalam model dan penggunaan analisis faktor untuk mendapatkan variabel baru yang tidak saling berkorelasi. Hasil dari penelitan menunjukkan bahwa penggunaan MARS skor faktor memberikan hasil yang lebih baik dengan error yang lebih kecil dibandingkan dengan Metode MARS. Selanjutnya hasil bagging menunjukan bahwa metode bagging lebih cocok diterapkan pada subround 2, yang terbukti dapat menurunkan MSE pada data insample dengan metode bagging MARS dan bagging MARS skor faktor.

Kata-kata kunci: Bagging MARS, Anomali Luas Panen Padi, Ramalan Produksi padi

1. Pendahuluan

Secara umum Indonesia mempunyai dua musim yaitu penghujan dan kemarau, dan masuk ke dalam pengaruh kawasan laut pasifik sehingga menjadi pertemuan sirkulasi meridional dan sirkulasi zonal. Variasi iklim musiman merupakan salah satu penyebab utama beragamnya produksi tanaman pangan di Indonesia. Kemarau panjang dan kekeringan menyebabkan gagal panen dan kekurangan pangan sehingga dapat mempengaruhi produksi pertanian dan ketahanan pangan. Indikatornya terjadi penurunan luas panen dan produksi merosot tajam saat terjadi penyimpangan iklim. Besarnya dampak yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan iklim menyebabkan diperlukan suatu model yang menghubungkan antara luas panen dengan indikator iklim sehingga dapat dilakukan perencanaan yang tepat serta langkah-langkah antisipasi lebih dini guna menghindari risiko gagal panen.

Berbagai model produksi padi telah dikembangkan di Indonesia, seperti model dengan menggunakan peubah indikator ENSO (Boer 2000; Naylor, dkk. 2001, 2002, 2007; Falcon, dkk, 2004). Model ini menghasilkan tingkat ketepatan yang tinggi pada wilayah yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO, khususnya wilayah dengan tipe hujan monsun. Untuk wilayah dengan tipe hujan ekuatorial pengaruh ENSO kecil dan tidak jelas untuk wilayah tipe hujan lokal (Boer, 2000). Disamping itu model dengan menggunakan indikator gabungan SST Nino 3.4 dan DMI, yang mengembangkan model ramalan padi dengan menggunakan indeks kekeringan Palmer bulanan (Palmer Drought Severity Index, PDSI). PDSI diduga menggunakan SST Nino 3.4 dan DMI (Arrigo dan Wilson, 2008). Adanya keterkaitan antara keragaman curah hujan dan fenomena ENSO di lautan Pasifik dalam hal ini adalah SST Nino 3.4 dan DMI di lautan Hindia, maka dikembangkan model ramalan produksi padi dengan menggunakan kedua peubah iklim tersebut.

Dalam penelitian ini pemodelan dilakukan dengan menggunakan metode MARS, yang diperkirkan dapat meningkatkan ketepatan ramalan produksi padi di Provinsi Kalmantan Barat. Adanya keterkaitan antar variabel prediktor merupakan masalah utama dalam penelitian ini, sehingga

(2)

2

akan dibandingkan strategi mengatasi multicollinearity dalam MARS dengan meningkatkan order interaksi dalam model dan penggunaan analisis faktor untuk mendapatkan variabel baru yang tidak saling berkorelasi. Selanjutnya akan diterapkan bagging MARS untuk mereduksi error pada data

insample.

2. Multivariate Adaptive Regression Splines (MARS)

MARS diperkenalkan pertama kali oleh Friedman (1990) untuk pendekatan model nonparametrik antara variabel respon dan beberapa variabel prediktor pada piecewise regresi. Piecewise regresi merupakan regresi yang memiliki sifat tersegmen (terpotong-potong). MARS merupakan pengembangan dari pendekatan Recursive Partition Regression (RPR) yang masih memiliki kelemahan dimana model yang dihasilkan tidak kontinu pada knots.

Model MARS dapat ditulis sebagai berikut.

(1) dengan adalah basis fungsi induk, adalah koefisien dari basis fungsi ke-m, M adalah Maksi-mum basis fungsi (nonconstant basis fungsi), adalah derajat interaksi, ± 1, adalah variabel independen, dan adalah nilai knots dari variabel independen .

3. Multicollinearity dalam MARS

MARS membangun seperangkat basis fungsi melalui seleksi forward, kemudian dilanjutkan dengan seleksi backward untuk mendapatkan model yang lebih sederhana. Metode seleksi forward, menyebabkan MARS mudah mengalami kondisi multicollinearity. Jika kedua variabel prediktor berkorelasi, dengan prosedur MARS forward akan menempatkan sebuah knot pada salah satu dari dua variabel tersebut, sehingga jika didasarkan pada GCV dan Penalized Residual Sum Of Square akan menghasilkan hasil yang kurang akurat (De Veaux, dkk, 1994 ).

Friedman (1991) menyadari masalah ini dan mengusulkan dua strategi mengatasi

multicollinearity. Pertama dengan meningkatkan order interaksi dalam model, kemudian

membandingkan nilai GCV yang paling minimum, selanjutnya memilih model dengan interaksi terendah. Strategi kedua adalah dengan melibatkan “penalty” saat memasukkan variabel pada model, sehingga mengurangi collinear saat memasukkan varabel. Sayangnya tak satupun strategi ini mengatsi permasalahan diantara dua varabel yang berkorelasi, hanya menghalangi agar salah satu tidak menghasilkan nilai yang optimum (De Veaux, dkk, 1994).

4. Bagging

Bagging (Bootstrap Agregating) diperkenalkan oleh Breiman(1994) dan telah dibuktikan

efektif untuk memperbaiki ketidakstabilan ramalan (Lee dan Yang, 2004). Bagging prediktor adalah metode untuk membangkitkan multiple version dari sebuah prediktor dan menggunakannya untuk

aggregate prediktor. Multiple versions dibentuk dengan membentuk replikasi bootstrap dari

sekelompok data dan menggunakannya sebagai sekelompok data baru. Pada beberapa kasus bagging pada data set real atau simulasi dapat meningkatkan akurasi. Jika perubahan dalam data set memyebabkan perubahan yang signifikan maka bagging dapat meningkatkan akurasi (Breiman, 1994).

Bagging efektif untuk mereduksi varian dari rata-rata prediktor dan paling efektif jika prediktor

sangat banyak.

5. Analisis Faktor

Analisis faktor adalah analisis statistik yang bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil faktor (komponen utama) yang memiliki sifat mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman data. Model analisis faktor ortogonal dapat dituliskan sebagai berikut (Johnson dan Wichern,1998).

(2) dengan, adalah variabel random dengan komponen, adalah mean. Model faktor mempostulatkan bahwa adalah linear dependen dengan variabel random yang tidak terobservasi

(3)

3

yang disebut common faktor, adalah error atau biasa disebut spesific faktor. Koefisien adalah loading faktor ke- pada faktor ke- sehingga matriks L adalah matriks loading faktor. , adalah variabel yang tidak terobservasi. Diasumsikan

dan independent, dengan dan

, dengan adalah matriks diagonal. Sehingga berdasarkan asumsi di atas, maka struktur kovarian untuk model analisis faktor ortogonal adalah

atau

dan (3) Dua metode estimasi parameter yang sangat populer untuk analisis faktor yaitu metode

principal component dan metode maksimum likelihood (Johnson dan Wichern,1998). Principal component merupakan pendekatan terbaik saat tujuan utama untuk mereduksi dimensi data, sehingga

difokuskan pada meminimumkan jumlah faktor yang dibutuhkan untuk memaksimumkan total varian (Hair, dkk, 2006). Salah satu prosedur yang digunakan untuk menentukan banyaknya faktor yaitu berdasarkan eigenvalue. Eigenvalue yang lebih besar sama dengan satu dipertahankan, sedangkan jika lebih kecil dari satu, faktornya tidak diikutsertakan dalam model (Kim dan Mueller, 1978; Weiss, 1976). Suatu eigenvalue menunjukkan besarnya sumbangan dari faktor terhadap varians seluruh variabel asli.

Asumsi yang dilakukan untuk menyelesakan masalah dengan menggunakan analisis faktor adalah dengan melihat korelasi matrik, dan memeriksa nilai KMO (Sharma, 1996). Tahap kedua ialah memeriksa kontrol korelasi parsial untuk keseluruhan variabel. Para peneliti biasanya mengukur signifkansi korelasi matriks dengan menggunakan Bartlett Test, dan mengukur kemampuan untuk melakukan analiasis faktor pada keseluruhan variabel dan masing-masing variabel menggunakan

Measure Of Samplng Adequacy (Hair, 2006).

6. Dipole Mode Index (DMI) dan Sea Surface Temperature Nino 3.4

Dipole Mode merupakan perilaku suhu permulaaan laut yang terjadi di Samudra Hindia.

Besarnya Dipole Mode dinyatakan dengan Dipole Mode Index (DMI). Indeks ini dihitung dengan membandingkan suhu permukaan laut (SST) yang terjadi di Samudra Hindia sebelah timur dan barat. El Nino merupakan peristiwa memanasnya Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature, SST) di Samudera Pasifik Ekuator bagian Timur dengan anomali lebih dari 0.5 ºC dan akan berdampak terhadap berkurangnya hujan di Indonesia bagian Tengah dan Timur. La Nina adalah istilah yang menunjukkan terjadinya penurunan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature) yang tidak biasa (di bawah normal) di Samudra Pasifik. La Nina yang terjadi di Pasifik Timur ini tentu saja mempengaruhi negara-negara di khatulistiwa yang terletak di sebelah barat Pasifik, termasuk Indonesia. Secara umum, La Nina akan mempengaruhi kondisi angin yang terbentuk di atas Pasifik. Angin tersebut bersifat basah karena membawa serta banyak uap air, akibat dari mendinginnya suhu permukaan laut di bawahnya (Yulihastin, 2009). Jika suhu laut di kawasan Nino 3.4 mengalami kenaikan maka Indonesia akan mengalami kekeringan yang cukup parah. Sebaliknya, jika suhu laut di kawasan tersebut berada di bawah normal, maka angin yang terjadi di Indonesia masih bersifat basah. Sehingga, kemungkinan hujan masih akan turun di Indonesia pada musim kemarau.

Kombinasi antara La Nina, Dipole Mode, akan membentuk pola musim kemarau. Terjadinya

Dipole Mode yang positif di Samudra Hindia mengakibatkan Indonesia di bagian barat lebih kering

daripada wilayah lainnya. Indonesia bagian timur akan sedikit lebih basah karena pengaruh La Nina. Sedangkan Indonesia bagian tengah akan mengalami musim kering yang normal.

7. Metodologi Penelitian

Data yang digunakan untuk penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), Departemen Pertanian dan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), periode Januari 1985 s.d. Desember 2008 meliputi luas panen (Ha), produktifitas padi (Kw/Ha), produksi padi (Ton). Data SST Nino 3.4 dan Data Dipole Mode Index (DMI) masing-masing diperoleh dari

(4)

4

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensost uff/ensoyears. shtml dan http://www.jamtec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/reynolds_montly_dmi.txt.

Lokasi penelitian adalah Provinsi Kalimantan Barat. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Variabel respon (y) adalah anomali luas panen padi untuk setiap subround, meliputi AnLP1 (anomali luas panen padi subround 1, yaitu bulan Januari – April), AnLP2 (anomali luas panen padi subround 2, yaitu bulan Mei - Agustus), AnLP3 (anomali luas panen padi subround 3, yaitu bulan September - Desember). AnLPp diperoleh dari selisih antara luas panen padi per periode dengan rata-rata luas panen padi per periode mulai tahun 1985 – 2008. Variabel prediktor terdiri dari DMI (Dipole Mode Index) dan SST Nino 3.4 (pada setiap bulan).

Tahapan analisis data dalam penelitian ini yaitu Membagi data menjadi dua bagian yaitu data

in-sample (pengamatan tahun 1985 s.d. 2004) untuk pembentukan model, dan data out-sample

(pengamatan tahun 2005 s.d 2008) untuk validasi. Selanjutnya melakukan identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum Produksi padi, melakukan pemodelan MARS, MARS skor faktor,

bagging MARS, bagging MARS skor faktor dengan replikasi 25, 50, 100, 150, dan 200, kemudian

membandingkannya dengan kriteria MSE untuk mengetahui pemodelan terbaik pada data in-sample . Selanjutnya mendapatkan ramalan luas panen, ramalan produksi padi dengan cara mengalikan antara Produktivitas dan Luas Panen. Karena masa penanaman padi membutuhkan waktu 3 s.d. 4 bulan maka luas panen dapat dihitung setelah masa tanam. Produktivitas diperoleh dari rata-rata produktivitas selama 5 tahun, dilanjutkan dengan mendapatkan ramalan produksi padi per tahun yang merupakan penjumlahan dari ramalan Produksi padi setiap subround, dan mendapatkan perhitungan kesalahan ramalan dengan kriteria MAPE, dan RMSE.

8. Gambaran Umum Produksi Padi di Kalimantan Barat

Tanaman Padi merupakan komoditas tanaman pangan unggulan provinsi Kalimantan Barat. Produksi padi di Kalimantan Barat pada Tahun 2008 berjumlah 1,3 juta ton Gabah kering giling atau setara dengan 1 juta ton beras, dengan produktivitas 3.11 ton/Ha atau setara dengan 27.27 Kw/Ha. Produksi ini menempatkan Kalimantan Barat pada posisi 14 di Indonesia. Sentra Produksi Padi di Kalimantan Barat berada di Kabupaten Landak, Pontianak, Sambas, dan Bengkayang. Meskipun produksi padi di Kalimantan Barat secara umum telah lebih dari kebutuhan penduduk Kalimantan Barat, namun secara produktivitas (hasil/luas) masih tergolong rendah. Produksi yang tinggi sebagian besar disebabkan karena luas tanam yang besar. Tahun 1985 hingga tahun 2004 rata-rata produktivitas padi Kalimantan Barat tidak lebih dari 2,23 ton/Ha atau setara dengan 22,313 Kw/Ha (Tabel 1). Secara umum deskriptif Produksi Padi, Produktivitas, dan Luas Panen di Provinsi Kalimantan Barat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Deskripif Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 1985 s.d. 2004

Keterangan Subround

Rata-rata

Simpangan

baku Minimum Maksimum

Luas Panen (Ha) 1 268.553 20.549 229.565 303.314

2 22.042 7.533 8.711 39.069 3 38.514 23.641 13.526 91.361 Produksi (Ton) 1 633.033 72.982 475.579 742.642 2 54.535 23.936 9.351 102.667 3 101.473 77.432 32.689 288.994 Produktivitas (Kw/Ha) 1 22,313 1,767 19,575 26,08 2 21,199 2,292 16,52 25,53 3 21,368 2,174 18,3 26,29

Tanaman padi di Provinsi Kalimantan Barat ditanam pada jenis lahan sawah dan bukan sawah (ladang/tegal/kebun). Produksi padi di Kalimantan Barat sebagian besar dihasilkan pada produksi padi

(5)

5

yang ditanam pada lahan sawah. Secara rata-rata pada tahun 1985 hingga tahun 2004, sebesar 92% produksi padi di hasilkan pada lahan pertanian sawah, sedangkan 8% dihasilkan ditanam pada lahan pertanian tegal/kebun. Hal ini disebabkan padi sawah mendapatkan pengairan yang lebih baik dan teratur dibandingkan padi ladang. Berikut ini adalah Gambaran Luas Panen dan Produksi Padi di Provinsi Kalimantan Barat.

(a) (b)

Gambar 1(a) Luas Panen Padi di Provinsi Kalimantan Barat per Subround Tahun 1985-2004

(b) Produksi padi di Provinsi Kalimantan Barat per Subround Tahun 1985-2004

Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 1985 hingga 2004 mampu menghasilkan rata-rata luas panen padi yang berbeda-beda untuk setiap periode (Gambar 1). Rata-rata luas panen padi Subround I (Januari-April) adalah 268.553 Ha, lebih tinggi dibandingkan pada Subround II (Mei-Agustus), yaitu 22.042 Ha dan Subround III (September-Desember) yaitu 38.514 Ha (Tabel 4.1). Luas panen

Subround I tinggi, sebab pada periode tersebut periode musim penghujan dimana tidak hanya lahan

sawah yang ditanami padi, tetapi lahan bukan sawah (ladang/tegal/kebun) juga ditanami padi ladang, sehingga merupakan periode tertinggi dengan luas panen terluas. Luas panen berbanding lurus dengan produksi padi yang dihasilkan.

Produksi padi di Kalimantan Barat dalam 20 tahun terakhir mencapai 633.033 ton (untuk

Subround 1), pada Subround 2 mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu 54.535 ton (kemudian

meningkat lagi pada Subround 3 sebesar 101.473 ton. Penurunan pada Subround 2 disebabkan karena pada periode ini lahan yang ditanami padi hanya lahan sawah dan sebagian lahan tegal/kebun yang mengandalkan air hujan.

9. Model Hubungan antara Anomali Luas Panen Padi dengan DMI, dan Nino 3.4

Dalam penelitian ini model MARS akan digunakan untuk memodelkan Anomali Luas Panen dan variabel prediktor yakni (Dipole Mode Index dan SST Nino 3.4). Gambaran awal bentuk hubungan antara variabel prediktor (SST Nino 3.4 dan DMI) dengan variabel respon (Anomali luas panen padi) digambarkan pada matriks plot (Gambar 2). Plot tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan pola antara masing-masing variabel prediktor terhadap variabel respon. Dengan adanya keterbatasan informasi mengenai bentuk fungsi, dan tidak jelasnya pola hubungan antara variabel respon dan prediktor merupakan pertimbangan digunakannya metode MARS dalam pemodelan.

(a) (b)

Gambar 2. Diagram Pencar Anomali Luas Panen padi tiap Subround 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 19851986198719881989199019911992199319941995199619971998199920002001200220032004 Lu a s P a ne n P a di ( H a ) Luas Panen 1 Luas Panen 2 Luas Panen 3 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 200120022003 2004 P rod uk s i P a di ( To n) 0.5 0.0 -0.5 10000 0 -10000 0.5 0.0 -0.5 -1 0 1 1 0 -1 27 28 29 26.5 27.5 28.5 10000 0 -10000 29.0 27.5 26.0 10000 0 -10000 29 27 25 DMI_5 A n o m a li Lu a s P a n e n S u b ro u n d 2 ( H a ) DM I_6 DMI_7 DMI_8 SST_5 SST_6 SST_7 SST_8 1 0 -1 30000 0 -30000 2 0 -2 0.0 1.2 2.4 0.6 0.0 -0.6 25 27 2924 26 28 30000 0 -30000 30.0 27.5 25.0 30000 0 -30000 28 26 24 DMI_9 A n o m a li Lu a s P a n e n S u b ro u n d 3 ( H a ) DMI_10 DMI_11 DM I_12 SST_9 SST_10 SST_11 SST_12 0.5 0.0 -0.5 40000 0 -40000 0.5 0.0 -0.5 -0.8 0.0 0.8 1 0 -1 24 26 28 25 27 29 40000 0 -40000 28.5 27.5 26.5 40000 0 -40000 29 28 27 DMI_1 A n o m a li Lu a s P a n e n S u b ro u n d 1 ( H a ) DM I_2 DMI_3 DMI_4 SST_1 SST_2 SST_3 SST_4

(6)

6

Tahap pembentukan model MARS dilakukan dengan trial dan error terhadap maximum Fungsi Basis atau Basis Function (BF), Maksimum Jumlah Interaksi (MI) dan minimal jumlah pengamatan diantara knot atau minimum observasi (MO) hingga diperoleh model optimal dengan GCV minimum. Pada penelitan ini, jumlah variabel prediktor yang digunakan pada masing-masing

Subround sebanyak 8 variabel prediktor, sehingga Maksimum Basis Fungsi adalah 16, 24, dan 32

Basis Fungsi, dengan Maksmum Interaksi 1, 2, dan 3, dikarenakan bahwa interaksi yang lebih dari 3 akan menghasilkan model yang makin kompleks (Friedman, 1991). Nilai Maksimum Observasi (MO) sebesar 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Dari masing-masing kombinasi akan menghasilkan nilai GCV dan banyaknya variabel yang masuk dalam model. Penentuan model yang terbaik didasarkan pada nilai GCV minimum. Hasil dari pemodelan MARS sepert yang ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pemodelan MARS

Keterangan Model Subround 1 BF=32 MI=2 MO=4 dengan Subround 2 BF=16 MI=1 MO=1 dengan Subround 3 BF=32 MI=1 MO=1 – dengan

(7)

7

Pada pemodelan MARS pada Subround 1, didapatkan hasil terbaik dengan kombinasi BF=32, MI=2, dan MO=4, dengan 6 variabel yang masuk dalam model dan GCV sebesar 386.729,538. Ke enam variabel tersebut adalah Dipole Mode Index pada bulan Januari dan Februari, dan Sea Surface

Temperature pada bulan Januari hingga April. Pada Subround 2 terdapat empat variabel yang masuk,

yakni Sea Surface Temperature Nino 3.4 pada bulan Juni hingga Agustus, dan Dipole Mode Index pada bulan Juli, yang merupakan hasil dari kombinasi BF=16, MI=1, dan MO=1. Pemodelan MARS pada Subround 3, menghasilkan kombinasi terbaik dengan nilai GCV minimum sebesar 205,258, dengan mengkombinasikan BF=32, MI=1, dan MO=1, dan dapat disimpulkan bahwa ke delapan variabel prediktor memberikan pengaruh dalam pemodelan anomali luas panen pada Subround 3

10. Bagging MARS

Selanjutnya dengan menggunakan Pemodelan MARS akan dilakukan Bagging (Bootstrap

Agregating). Variabel prediktor diperoleh dari hasil bootstrap dimodelkan kembali dengan

menggunakan nilai BF, MI, dan MO yang menghasilkan model MARS terbaik, pada setiap Subround. Pemodelan MARS akan menghasilkan parameter, dan knot yang berubah-ubah (tidak stabil). Sehingga

Bagging MARS tidak digunakan untuk peramalan dan hanya ditujukan untuk mereduksi varians error.

Dilakukan Bagging dengan replikasi sebanyak 25, 50, 100, 150, dan 200 kali.

Secara umum bagging MARS tidak dapat menurunkan nilai MSE model MARS. Nilai MSE pada model bagging MARS menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan nilai MSE pada model MARS. Bagging MARS lebih cocok diterapkan pada pemodelan anomali luas panen padi pada

Subround 2. Pada Subround 2, pada replikasi sebanyak 25, 50, 100, 150, dan 200 kali masing-masing

menghasilkan nilai MSE sebesar 7.294.041,3; 6.563.177,8; 7.713.845,3; 7.785.988,5; 8.555.929,5 dengan besar penurunan MSE sebesar 29,71%; 36,76%; 25,67%; 24,97%; dan 17,55%. Sehingga pada Subround 2, dengan replikasi sebanyak 50 kali menghasilkan nilai MSE yang paling kecil.

11.

Pemodelan MARS Skor Faktor dan Bagging MARS Skor Faktor

Adanya keterkaitan secara linear (korelasi) antara lag Sea Surface Temperature (SST Nino 3.4) dan Dipole Mode Index pada tiap Subround, merupakan masalah utama dalam penelitian ini, sehingga dalam penelitan ini akan dibandingkan strategi mengatasi multicollinearity dalam MARS dengan meningkatkan order interaksi dalam model dan penggunaan analisis faktor untuk mendapatkan variabel baru yang tidak saling berkorelasi. Pemilihan banyaknya faktor yang digunakan, didasarkan pada nilai eigenvalue pada Principal Componen Analysis yang lebih besar dari 1.

Hasil menunjukkan bahwa pada Subround 1, Subround 2 dan Subround 3, dengan menggunakan metode ekstraksi Principal Componen Analysis, ke-8 variabel prediktor akan difaktorkan menjadi 2 faktor dengan total masing-masing sebesar 71,18%, 77.82% dan 88.28 % variabilitas data dapat dijelaskan dengan menggunakan kedua faktor pada tiap-tiap Subround. Untuk memudahkan interpretasi terhadap variabel-variabel yang berpengaruh terhadap faktor, maka dilakukan rotasi faktor varimax pada subround 2 dan subround 3.

Dari harga mutlak nilai bobot tiap variabel pada tiap faktor, dapat diinterpretasikan bahwa variabel-variabel yang tergolong Faktor 1 pada subround 1 yang menjelaskan variabel asal sebesar 56,79% adalah Dipole Mode Index untuk bulan Maret dan April, dan Sea Surface Temperature Nino 3.4 Pada bulan Januari hingga April. Sedangkan faktor 2 sebesar 14,386% dijelaskan oleh variabel

Dipole Mode Index Pada bulan Januari dan Februari. Selanjutnya dengan menggunakan rotasi varimax

didapatkan hasil pengelompokan pada Faktor 1 subround 2 variabel yang memberi pengaruh terhadap Anomali luas panen adalah Sea Surface Temperature Nino 3.4 Pada bulan Mei hingga Agustus, yang menjelaskan variabel asal sebesar 43,185%, sedangkan faktor 2 yang terdiri dari Dipole Mode Index untuk bulan Mei hingga bulan Agustus menjelaskan variabel asal sebesar 34,63%. Pada Subround 3, setelah dilakukan rotasi varimax, variabel prediktor yang memberi pengaruh utama pada anomali luas panen adealah Sea Surface Temperature Nino 3.4 periode september hingga desember, dengan kontrbusi sebesar 54,196%, dan Dipole Mode Index pada bulan September hingga desember, memberi kontribusi pada faktor 2 sebesar sebesar 34,08%. Setelah diperoleh variabel prediktor yang tidak berkorelasi dengan variabel prediktor lainnya, maka selanjuntnya dilakukan pemodelan dengan

(8)

8

menggunakan model MARS Skor Faktor. P

emodelan MARS skor faktor pada setiap subround

seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pemodelan MARS skor faktor Pemodelan MARS dengan Skor Faktor

Keterangan Model Subround 1 BF=6 , MI=1, MO=1 dengan: Subround 2 BF=4, MI=1, MO=1 dengan Subround 3 BF=8, MI=1, MO=2 dengan:

Sejalan dengan bagging MARS, juga dilakukan Bagging (Bootstrap Aggregating) pada Pemodelan MARS skor faktor. Pemodelan pada Subround1 MSE terkecil dihasilkan melalui bagging dengan replikasi 200 kali dengan MSE 245.621.322,3. Penurunan MSE yang dihasilkan melalui

bagging MARS pada replikasi 25, 50, 100, 150, dan 200 kali adalah sebesar 12,9%; 19,5%, 20, 8%;

20,1%, dan 22,1%. Pada Subround 2, nilai MSE terkecil dihasilkan dengan replikasi bootstrap 200 kali yakni dengan MSE bagging sebesar 20.041.798,6, dengan penurunan MSE sebesar 18,65% dari MSE model MARS skor faktor sebesar 30.784.662,9. Penurunan MSE pada replikasi sebanyak 25, 50, 100, dan 150 kali adalah sebesar 14,5%; 13,2 %, 15, 6%; dan 18,4%. Nilai MSE bagging MARS skor faktor pada Subround 3 memberikan hasil yang berbeda. Tidak seperti halnya Nilai MSE

bagging MARS skor faktor pada Subround 1, dan 2, pada Subround 3, nilai MSE terkecil dihasilkan

oleh bagging dengan replikasi 50 kali. Pada Subround 3, nilai MSE yang dihasilkan pada bagging MARS skor faktor belum dapat mereduksi nilai MSE pada pemodelan MARS. Nilai MSE yang dihasilkan pada Pemodelan MARS Skor faktor jauh lebih kecil yakni sebesar 147.083.126.

12. Peramalan Produksi Padi dan Pemilihan Metode Terbaik

Untuk mengetahui tingkat kehandalan model dan menentukan metode yang paling sesuai dalam menghasilkan model terbaik, akan dilakukan perbandingan nilai ramalan pada data insample dan outsample. Pada data insample akan dilakukan perbandingan yang didasarkan pada nilai MSE terkecil pada ke-empat metode yakni MARS, bagging MARS, MARS Skor Faktor, dan Bagging MARS Skor Faktor. Pada pemodelan anomali luas panen padi pada setiap Subround, Pemodelan MARS pada data insample menghasilkan nilai MSE yang lebih kecil dibandingkan ketiga model lainnya. Berikut adalah hasil perhitungan MSE pada data insample.

Tabel 4 Perbandingan nilai MSE pada data insample

Metode MSE

Subround 1 Subround 2 Subround 3

MARS 11.120,278 10.377.704,1 3,58

Bagging MARS 61.084.159,7 6.563.177,8 53.342.868,4

MARS skor faktor 315.439.376 30.784.662,9 147.083,126

(9)

9

Selanjutnya akan dilakukan ramalan luas panen padi dan produksi padi di Kalimantan Barat. Metode yang digunakan dengan menggunakan metode MARS dan MARS Skor Faktor. Untuk mengetahui tingkat kehandalan model dan menentukan metode yang paling sesuai dalam menghasilkan ramalan terbaik, akan dilakukan perbandingan nilai ramalan pada data outsample, menggunakan kriteria MAPE dan RMSE. Pemodelan MARS dengan metode yang menghasilkan nilai ramalan dengan MAPE dan RMSE terkecil, adalah metode yang lebih sesuai untuk meramalkan produksi padi di Kalimantan Barat.

Tabel 5 Ramalan Luas Panen (Tahun 2005 sd. 2008)

RAMALAN LUAS PANEN Tahun

Subround 1 Subround 2 Subround 3 1 Tahun

MARS MARS Skor

Faktor MARS MARS Skor Faktor MARS MARS Skor Faktor MARS MARS Skor Faktor 2005 174.624,77 235.190,26 15.473,51 18.312,05 58.834,82 27.583,22 248.933,10 281.085,52 2006 138.457,75 242.310,96 13.433,14 19.688,51 52.181,93 36.601,81 204.072,82 298.601,27 2007 287.728,77 276.383,93 13.691,52 24.690,73 57.209,14 35.896,19 358.629,44 336.970,86 2008 304.920,43 270.854,06 27.192,27 25.126,07 137.250,18 21.146,91 469.362,87 317.127,04

Selanjutnya akan didapatkan hasil ramalan produksi padi pada setiap subround. Produksi padi pada tiap subround merupakan hasil perkalian antara Produktivitas dengan Luas Panen pada subround tersebut. Ramalan model MARS dan MARS skor faktor adalah sebagai berikut.

Tabel 6 Ramalan Produksi Padi (Tahun 2005 sd. 2008)

RAMALAN PRODUKSI PADI Tahun

Subround 1 Subround 2 Subround 3 1 Tahun

MARS MARS Skor

Faktor MARS MARS Skor Faktor MARS MARS Skor Faktor MARS MARS Skor Faktor 2005 429.349,93 578.262,28 37.097,73 43.903,13 144.733,66 107.413,44 611.181,33 729.578,85 2006 353.441,09 618.547,18 33.132,85 48.561,70 132.129,87 101.180,18 518.703,81 768.289,06 2007 754.108,34 724.374,65 34.261,67 61.786,09 148.566,42 109.477,51 936.936,43 895.638,26 2008 805.843,71 715.813,10 70.177,80 64.845,36 363.342,39 175.182,43 1.239.363,91 955.840,89

Berikut ini adalah hasil dari perhitungan MAPE dan RMSE pada Ramalan Luas Panen dan Produksi Padi dengan menggunakan metode MARS dan MARS Skor Faktor.

Tabel 7 Perhitungan MAPE dan RMSE pada Ramalan Luas Panen dan Produksi Padi (Tahun 2005 sd. 2008)

LUAS PANEN PRODUKSI PADI

Ramalan

MARS MARS Skor Faktor MARS MARS Skor Faktor

MAPE RMSE MAPE RMSE MAPE RMSE MAPE RMSE

Subround 1 24,66 97.226,7 13,31 41.461,8 31,97 315.922,0 22,83 195.567,8

Subround 2 56,98 27.096,3 45,22 22.963,8 67,94 107.138,9 59,36 96.672,0

Subround 3 52,11 37.609,7 32,03 24.168,7 15,52 66.197,4 25,61 42.873,7

1 Tahun 23,58 104.375,4 19,98 79.734,8 30,32 383.547,0 28,00 325.893,6

Berdasarkan Tabel 7, pemodelan MARS skor faktor memberikan tingkat kesalahan yang lebih kecil dibandingkan dengan Model MARS pada hasil Ramalan Luas Panen dan Ramalan Produksi padi. Sehingga dapat dikatakan model MARS skor faktor merupakan metode terbaik untuk meramalkan Produksi padi di Kalimantan Barat dengan indikator iklim Sea Surface Temperature Nino 3.4 dan Dipole Mode Index.

13. Kesimpulan

Pada pemodelan anomali luas panen padi pada Subround 1 dan 3, Pemodelan MARS pada data insample menghasilkan nilai MSE yang lebih kecil dibandingkan model Bagging MARS, MARS Skor Faktor, maupun Bagging MARS skor faktor. Penggunaan metode bagging MARS dan bagging

(10)

10

MARS skor faktor tidak cocok diterapkan pada Subround 3, disebabkan varians pada prediktor yang tinggi pada Subround 3, sehingga mempengaruhi nilai MSE yang dihasilkan. Metode bagging MARS dan bagging MARS skor faktor lebih cocok diterapkan pada Subround 2, yang terbukti dapat menurunkan MSE baik pada pemodelan MARS, maupun pemodelan MARS skor faktor. Hasil Ramalan Luas Panen dan Produksi padi, menunjukan bahwa model MARS skor faktor menghasilkan Nilai MAPE dan RMSE yang lebih kecil jauh lebih kecil dibandingkan dengan pemodelan MARS, sehingga dapat dikatakan model MARS skor faktor merupakan metode terbaik untuk meramalkan Produksi padi di Kalimantan Barat dengan indikator iklim Sea Surface Temperature Nino 3.4 dan

Dipole Mode Index.

14. Daftar Pustaka

Arrigo R.D., Wilson R. (2008). El Nino and Indian Ocean influences on Indonesian drought: implications for forecasting rainfall and crop productivity. Int. J. Climatology.

[http:www.interscience.wiley.com]

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2009). Jakarta.

Boer, R. (2000). Perkiraan Kondisi Iklim dan Produksi Beras Nasional 2001. Paper disajikan dalam Pertemuan Prospek Ketersediaan Pangan 2001. Badan Urusan Ketahanan Pangan. Kampus Departemen Pertanian Jakarta.30 Agustus 2000.

BPS dan Deptan] Departemen Pertanian and Badan Pusat Statistik.(2003). Buku Pedoman Petugas

Kabupaten/Kota dan Provinsi, Pengumpulan Data Tanaman Pangan dan Holtikultura. Jakarta:

BPS dan Departemen Pertanian.

Breiman, L. 1994. Bagging Prediktor. Technical report No.421. Department of statistics Universityof California

Buhlmann, P. and B. Yu (2002), “Analyzing Bagging”, Annals of Statistics, 30(4), 927-961. De Veaux RD, Hungar LH, (1994) Multicollinearity: a tale of two nonparametric regressions. In

Cheeseman P, Oldford RW (eds) Selecting models from data: AI and statistics VI

Falcon, W.P., Naylor, R.L., Wada, N., Smith, W.L., Burke, M.B., McCullough, E.B., (2004). Using Climate Models To Improve Indonesian Food Securaty. Bulletin of Indonesian Economic Studies 40: 355-377.

Friedman, J.H. (1990). Mulivariate Adaptive Regression Splines, Tech Report 102 Rev, Departemen of Statistics Stanford University Stanford, California.

Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C. (2006). Multivariate Data Analysis, Sixth edition, Prenctice Hall International:UK.

Johnson, N. and Wichern, D. (1998). Applied Multivariate Statistical Analysis, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J.

Kim, J.O. & Mueller, C.W. (1978). Factor analysis: Statistical methods and practical issues (Sage University Paper Series on Quantitative Applications in the Social Sciences). Beverly Hills, CA, and London, England: Sage Publications.

Lee, T.H. & Yang, Y. (2004). Bagging Binary Predictors for Time series. Department of Economics University of California, Riverside

Naylor RL, Falcon WP, Daniel Rochberg D, Nikolaswada. (2001). Using El Niño/Southern Oscillation Climate Data To Predict Rice Production In Indonesia. Climatic Change 50: 255–265. Naylor RL, Falcon WP, Wada N, Rochberg D. (2002). Using El Niño-Southern Oscillation Climate

Data To Improve Food Policy Planning In Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 38: 75–91.

Naylor RL, Falcon WP, Wada N, Battisti D, Vimont DJ, Burke MB. 2007. Assessing risk of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS 104: 7752–7757.

Sharma, S. (1996). Applied Multivariate Techniques, New-York: John Wiley&Sons,Inc

Weiss, D. (1976). Multivariate procedures. In Dunnette, M.D. (Ed.), Handbook of industrial/organizational psychology. Chicago, IL: Rand McNally.

Yulihastin, E (2009). “Tahun 2008 Tidak Ada Kekeringan. [http: //www.cpc.-ncep.noaa.gov], didownload tanggal 6 Mei 2009, jam 20.30

Gambar

Tabel 1 Deskripif Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Provinsi Kalimantan Barat  Tahun 1985 s.d
Gambar 2. Diagram Pencar Anomali Luas Panen padi tiap Subround
Tabel 2. Pemodelan MARS
Tabel 3. Pemodelan MARS skor faktor  Pemodelan MARS dengan Skor Faktor
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk bisa lolos seleksi penerimaan peserta didik di SMA Negeri 2 Semarang, siswa harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh sekolah, diantaranya nilai Bahasa

undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat 11).. Penegakan hukum idealnya selaras berjalan baik terhadap penguakan kasus–kasus tindak pidana khususnya di bidang kepabeanan

Perlu pemerataan distribusi SDM dengan pemetaan kebutuhan SDM dokter, dokter spesialis dan nakes di seluruh kota/kabupaten dengan perhitungan sesuai rasio jumlah penduduk

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jumlah tanggungan signifikan pengaruhnya terhadap tingkat partisipasi anggota pada α = 5%. Koefisien regresi sebesar -1,418

Menurut UU No 5 Tahun 1986, sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara

Udang merupakan komoditas perikanan ekonomis penting dengan alat tangkap yang paling efektif yakni pukat udang.Salah satu upaya untuk memaksimalkan jumlah tangkapan

Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk memutuskan keefektifan ventilasi atau

Berdasarkan informasi dan analisis yang dilakukan kesiapan guru fisika kota mataram dalam kegiatan laboratorium dikategorikan cukup siap, yang dapat dilihat dari: