• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN

PANGAN ASAL HEWAN

ETTY WURYANINGSIH

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan – Departemen Pertanian

PENDAHULUAN

Dalam era globalisasi, kemudahan arus informasi menjadi sesuatu yang sangat mutlak, tidak hanya antar daerah atau negara, akan tetapi juga antar benua. Hal ini telah berakibat terhadap munculnya beragam isu globalisasi yang sangat berpengaruh terhadap perdagangan internasional. Isu global penting yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian, termasuk produk hewan, adalah isu keamanan pangan, ekuivalensi sistem pengawasan keamanan pangan, lingkungan, dan kesejahteraan hewan. Isu tersebut telah menjadi komoditi penting dalam pemberitaan media massa yang berpengaruh cukup besar terhadap kesadaran dan perhatian masyarakat di dalam negeri. Sebagai contoh, kasus-kasus yang berkaitan dengan keamanan pangan, terutama yang berkaitan dengan pangan asal hewan, menjadi kian sering diberitakan di media massa dan acapkali menimbulkan kepanikan dan phobia masyarakat. Beberapa isu aktual yang berdampak luas terhadap kesehatan dan ketentraman bathin masyarakat adalah kasus anthraks, pemalsuan daging, pemasukan illegal daging sapi dan paha ayam (chicken leg quarter), keracunan susu, kasus Avian Influenza, dan lain-lain.

Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) merupakan bagian penting dari aktivitas masyarakat karena merupakan rantai penghubung antara bidang pertanian dan kesehatan manusia berkaitan dengan pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyakit zoonosa (zoonosis) serta penyakit yang ditularkan melalui makanan (food borne diseases). Menurut WHO (1946) Kesmavet adalah suatu bidang penerapan kemampuan professional, pengetahuan dan sumber daya kedokteran hewan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan manusia.

Pada tahun 1999, WHO membuat definisi kesmavet yang baru yaitu kontribusi terhadap kesejahteraan fisik, mental dan sosial melalui pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan. Di Indonesia Kesmavet didefinisikan sebagai segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia (PP 11/1983).

Pembinaan dan pengawasan kesmavet telah diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan serta dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dengan ruang lingkup pengawasan antara lain meliputi: 1) pengawasan kesehatan pangan asal hewan (daging, susu dan telur serta hasil olahannya) dan produk hewan lainnya (kulit, bulu, tulang dan lain-lain), 2) persyaratan higiene–sanitasi sarana produksi pangan asal hewan, 3) pengawasan zoonosis, dan 4) persyaratan kesehatan personil yang menangani pangan asal hewan. Dengan dibentuknya Direktorat Kesmavet, sasaran pembinaan dan pengawasan bidang Kesmavet di Indonesia difokuskan kepada: 1) pengediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), 2) pengawasan pemasukan pangan asal hewan dan produk hewan lainnya dari luar negeri, 3) pengendalian kesehatan lingkungan produksi pangan asal hewan sebagai upaya pengendalian penyakit zoonosa, cemaran mikroba, residu dan kontaminan lainnya pada pangan asal hewan, 4) peningkatan daya saing pangan asal hewan dan produk hewan lainnya di pasar domestik maupun pasar internasional, dan 5) kesejahteraan hewan.

Visi Direktorat Kesmavet adalah: Terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif melalui perlindungan dan jaminan keamanan produk hewan yang Aman, Sehat,

(2)

Dalam upaya mewujudkan visi tersebut di atas, diterapkan misi yang harus diemban oleh Direktorat Kesmavet, meliputi:

a. Menyediakan produk pangan hewani yang ASUH dan produk hewan yang sehat dan berkualitas melalui pengawasan hygiene dan sanitasi serta pengendalian residu dan cemaran mikroba;

b. Melindungi sumber daya hewan dan masyarakat konsumen di dalam negeri melalui pengawasan peredaran dan analisa resiko terhadap pemasukan produk pangan hewani;

c. Melindungi dan meningkatkan kualitas sumber daya hewani melalui pengawasan pemasukan produk hewan non pangan;

d. Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kesejahteraan hewan

TANTANGAN DAN PELUANG PRODUK PETERNAKAN DI ERA GLOBALISASI

Sejalan dengan perkembangan isu global dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional, peningkatan pendapatan, perubahan pola konsumsi serta meningkatnya pendidikan dan kesadaran konsumen akan mutu, maka meningkat pula tuntutan konsumen untuk memperoleh produk pangan hewani yang aman dan sehat. Dalam era pasar bebas yang ditandai dengan kemudahan akses pasar bagi produk impor, maka produk peternakan Indonesia akan menghadapi tantangan yang cukup berat. Hanya dengan daya saing yang tangguh menyangkut jaminan keamanan maupun kualitas serta harga yang bersaing maka produk domestik akan mampu bertahan. Di lain pihak, untuk dapat bersaing di pasar global dituntut adanya efisiensi dan produktifitas yang tinggi selain adanya jaminan mutu yang baik.

Secara tradisional atau konvensional sistem pengawasan produk akhir melalui pengambilan dan pengujian contoh produk (end product testing) dinilai masih belum memadai terutama dalam kaitannya dengan upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pencemaran mengingat pencemaran dapat terjadi di setiap mata rantai pengadaan pangan sejak produksi

bahan baku, penyiapan, pengolahan, penanganan, penyimpanan, pengangkutan, pemasaran hingga penyiapan di tangan konsumen. Untuk mengantisipasi kemungkinan pencemaran tersebut diperlukan suatu system pengawasan keamanan dan mutu produk pangan hewani, sejak pra produksi hingga siap dihidangkan kepada konsumen (safe from farm to table consept), yang memenuhi prinsip-prinsip dasar pengawasan yaitu: 1) tindakan pencegahan dini (preventive measures), 2) pengawasan proses produksi mulai tahap awal sampai distribusi produk akhir (in-process inspection), 3) dokumentasi prosedur dan hasil pengawasan dengan baik dan benar (record keeping), dan 4) pengujian laboratorium (laboratory testing).

Pada tahun 1993 Codex Almentarius Commission (CAC) dari Badan Dunia FAO/WHO telah menetapkan sistem Hazard Analisis Critical Control Point (HACCP) sebagai suatu metode standar untuk pengawasan keamanan pangan (food safety management tool). Amerika Serikat bahkan telah memformulasikan HACCP sebagai suatu peraturan baru mulai tahun 1995 yang berarti setahun setelah diundangkan akan mulai berlaku secara penuh dengan segala konsekuensi hukum bagi yang melanggarnya. Negara-Negara Uni Eropa bahkan beberapa negara berkembang di ASEAN telah pula mensyaratkan penerapan HACCP inti untuk keamanan produk domestik maupun impor.

Di Indonesia penerapan sistem HACCP khususnya di industri peternakan masih bersifat sukarela/belum wajib (voluntary) mengingat beragamnya permasalahan yang ada baik dari aspek sarana-prasarana, aspek kesisteman, dan aspek SDM. Namun untuk memberi jaminan dan perlindungan kepada masyarakat bahwa pangan asal hewan yang dibeli/dikonsumsi berasal dari sarana usaha yang telah memenuhi persyaratan hygiene- sanitasi atau yang biasa dikenal dengan Good Hygienic Practice (GHP), maka pemerintah mengeluarkan Nomor Kontrol veteriner (NKV) yang bersifat wajib. Penerapan praktek hygiene-sanitasi merupakan pondasi yang mutlak dimiliki suatu unit usaha apabila akan menerapkan sistem HACCP. Beragamnya permasalahan dapat dijabarkan sebagai berikut:

(3)

Aspek sarana prasarana

a. Masih terbatasnya sarana pelayanan yang memenuhi persyaratan hygiene-sanitasi (RPH, RPU, TPH, TPS, dan lain-lain) b. Terbatasnya sarana laboratorium untuk

melakukan pengujian mutu produk peternakan

c. Sarana-sarana yang dihasilkan oleh industri dalam negeri belum memenuhi tuntutan kualitas yang diharapkan, misalnya sarana RPH

Aspek kesisteman

a. Banyaknya peraturan perundangan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan saat ini dan saat mendatang sehingga merupakan masalah yang sangat mendesak dalam rangka meningkatkan pengawasan dan pembinaan kesmavet

b. Masih lemahnya standarisasi mutu produk peternakan, termasuk juga lemahnya pengaturan mengenai masalah residu, kontaminan, bahan tambahan makanan dan obat hewan, serta pengaturan labelisasi dan kemasan produk pangan asaal hewan c. Masih lemahnya mekanisme koordinasi

yang tercipta antara beberapa instansi terkait seperti Departemen Pertanian, departemen Kesehatan, Departemen Koperasi, departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Agama, Badan POM, dan lain-lain

d. Masih terjadinya tumpang tindih kewenangan antar beberapa intansi, baik di tingkat pusat dan daerah

Aspek sumber daya manusia

a. Terbatasnya jumlah tenaga dokter hewan (pengawasan kesmavet) dan profesi penunjang lainnya yang telah mendapat pendidikan cukup dalam perencanaan dan pelaksanaan program kesmavet

b. Beragamnya tingkat social-ekonomi sebagian besar masyarakat konsumen berpengaruh terhadap kesadaran dan perhatian dalam mendapatkan produk pangan asal hewan yang ASUH

c. Sebagian besar produsen pangan asal hewan di Indonesia tergolong dalam skala usaha kecil, termasuk usaha rumah tangga, hingga skala usaha menengah dengan tingkat kesadaran dan komitmen yang rendah untuk menghasilkan produk yang aman dan berkualitas tinggi

SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Untuk dapat meletakkan landasan yang kokoh dalam penanganan kesmavet perlu dilakukan pendekatan pembinaan secara kesisteman yaitu pembinaan yang komprehensif yang menyatukan berbagai bagian (komponen kesmavet) untuk saling berhubungan secara teratur dan sinergitik. Sistem pembinaan tersebut disebut dengan Sistem Kesehatan Masyarakat Veteriner (SISKESMAVET) yang merupakan salah satu komponen Sistem Kesehatan Hewan nasional (SISKESWANNAS). SISKESMAVET yaitu sistem pembinaan kesehatan hewan melalui pendekatan kesehatan hewan berdimensi baru, dimana wawasan kesehatan hewan dirubah dan dikembangkan menjadi kesehatan hewan yang harus dipandang sebagai bagian dari kesehatan masyarakat (public health), bagian dari penyediaan pangan asal ternak (food of animal origin) dan bagian dari pembangunan pertanian (agricultural development). Untuk mewujudkan wawasan tersebut, pendekatan kesehatan hewan dirubah dari pendekatan penyakit hewan (animal disease approach) menjadi pendekatan kesehatan hewan secara utuh (animal health approach).

Sistem Kesmavet Nasional akan dikembangkan menjadi 4 (empat) sub–sistem yaitu: 1) Pengawasan Keamanan pangan Asal Hewan, 2) Surveilans, Pencegahan dan Pengawasan Zoonosis, 3) Pengamanan Lingkungan Produksi Pangan Asal Hewan, dan 4) Pembinaan Kesejahteraan Hewan.

Tugas Sistem Kesmavet Nasional meliputi: a. Meningkatkan peran kesmavet dalam

pengawasan keamanan pangan nasional terutama dalam melindungi kesehatan dan ketentraman bathin masyarakat konsumen melalui penyediaan produk pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)

(4)

b. Mendorong produk domestik agar dapat memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar bebas

c. Mencegah terjadinya penyalahgunaan hak, baik dalam hal penyediaan,

pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran pangan

asal hewan

d. Melindungi sumberdaya hewani dan masyarakat konsumen melalui pengawasan pemasukan produk hewan dari luar negeri yang berpotensi sebagai media pembawa penyakit hewan menular utama

Dari keempat sub sistem di atas yang erat kaitannya dengan penyediaan produk pangan asal hewan yang ASUH adalah sub sistem pengawasan keamanan pangan asal hewan.

Sub sistem ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari ancaman bahaya biologis, kimia, fisik dan produk yang tidak halal melalui penerapan jaminan keamanan pangan asal hewan baik bagi produk yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Sasaran sub sistem pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah seluruh produk pangan asal hewan (daging/susu/telur serta hasil olahannya) yang beredar di Indonesia adalah ASUH serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

Arah dari sub sistem ini adalah mengamankan produk pangan asal hewan dengan piranti Rumah Pomotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU), Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), Balai Pengujian dan Pemeriksaan Veteriner (BPPV), laboratorium Kesmavet, Petugas Pengawas Kesmavet dan Petugas Pengambil Contoh.

Kebijakan yang ditempuh meliputi:

1. Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sarana produksi pangan asal hewan (RPH, RPU, usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar produk asal hewan serta hasil olahannya). NKV merupakan registrasi kelayakan usaha dengan dasar penilaian telah dipenuhinya persyaratan teknis yang berdasarkan kepada penerapan cara berproduksi yang baik (Good manufacturing Practices (GMP)/Good

Hygienic Practices (GHP) dan standar prosedur operasi sanitasi (sanitation Standar Operating Procedures (SSOP) NKV merupakan sertifikasi dipenuhinya persyaratan teknis Kesmavet dalam aspek hygiene-sanitasi sarana dan cara berproduksi yang baik (GHP) pada unit usaha produk pangan asal hewan. GHP merupakan salah satu persyaratan dasar (pre-requisite) dalam penerapan system HACCP, sehingga unit usaha yang telah mendapatkan NKV akan lebih mudah dalam menerapkan sistem HACCP.

NKV diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang Kesehatan masyarakat Veteriner yaitu Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Tujuan pemerintah mewajibkan NKV sebagai unit usaha pangan asal hewan adalah:

a. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat bahwa pangan asal hewan yang dibeli/dikonsumsi berasal dari sarana usaha yang telah memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat veteriner yang diawasi pemerintah

b. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pengelolaan usaha pemotongan hewan/unggas, usaha peingimpor/pengedar dan industri pengolahan produk pangan asal hewan c. Mempermudah dan memperlancar

pelaksanaan sistem pengawasan unit usaha di bidang produk pangan asal hewan

2. Penerapan labelisasi produk peternakan baik produk lokal maupun produk eks-impor yang beredar. Labelisasi merupakan tanda bahwa keamanan dan kesehatan suatu produk telah diperiksa oleh petugas pengawas kesmavet berwenang setempat sebelum produk diedarkan kepada konsumen dan produk berasal dari unti sarana produksi yang telah memenuhi persyaratan kesmavet dan dicerminkan melalui NKV yang tercantum pada label.

3. Penerapan Sistem Jaminan Keamanan Pangan Asal Hewan berdasarkan sistem HACCP. Dalam upaya menerapkan sistem jaminan keamanan pangan, akan selalu dipedomani prinsip-prinsip manajemen mutu secara terpadu sejak dari praproduksi, produksi hingga

(5)

pascaproduksi. Sistem tersebut baru dapat diterapkan bila suatu sarana produksi telah memenuhi persyaratan dasar (NKV) dengan nilai baik.

4. Pengembangan sistem jaringan kerja pengawasan kesmavet. Pengawasan kesmavet adalah dokter hewan yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kesehatan masyarakat veteriner. Pengawasan kesmavet dapat terdiri dari Dokter Hewan berwenang, Dokter Hewan Pengawas Kesmavet, atau Dokter Hewan Sawsta di unit sarana produksi pangan asal hewan yang bekerja di bawah supervisi Dokter Hewan Berwenang di unit sarana produksi tersebut.

LANDASAN HUKUM

Landasan hukum yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pengawasan kesmavet yang berkaitan dengan penyediaan produk pangan asal hewan yang ASUH adalah:

1) Undang-Undang Nomor 6/1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan

2) Undang-Undang Nomor 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

3) Undang-Undang Nomor 7/1996 tentang Pangan

4) Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen

5) Undang-Undang Nomor 22/1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner

6) Peraturan Pemerintah Nomor 22/1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner

Peraturan di Bidang Usaha Pemotongan Hewan/Unggas:

1. Keputusan Menteri Pertanian No. 555/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan

2. Keputusan Menteri Pertanian No. 555/1987 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas

3. Keputusan Menteri Pertanian No. 295/1989 tentang Pemotongan Babi dan

Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya

4. Keputusan Menteri Pertanian No. 413/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya

5. Keputusan Menteri Pertanian No. 306/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya

6. Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 254/1995 tentang Pedoman Pemberian Nomor kontrol Veteriner (NKV) Rumah Pemotongan Hewan/ Unggas (RPH/RPU) dan Tempat Pemrosesan Daging (TPD)

Peraturan di Bidang Usaha Pembinaan Persusuan Dalam Negeri:

Keputuan Direktur Jenderal Peternakan No. 17/1983 tanteng Syarat-syarat, Tata Cara Pengawasan dan Pemeriksaan Kualitas Susu Produksi Dalam Negeri.

Peraturan di Bidang Pengawasan Cemaran Mikroba dan Residu Dalam Bahan Pangan Asal Hewan:

1) Keputusan Menteri Pertanian No. 110/1993 tentang Penunjukan Laboratorium Pengujian Cemaran Mikroba dan Residu di dalam Bahan Makanan Asal Hewan

2) SNI 01–6366–2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Produk Pangan Asal Hewan

Peraturan di Bidang Sistem Mutu:

1) SNI 01–4852–1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya

2) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 303/Kpts/OT.210/4/94 tentang Standarisasi, Sertifikasi dan Akreditasi di lingkungan Departemen Pertanian a. Pedoman BSN 1004–1999, tentang

Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP)

b. Pedoman Mutu No. 5 Revisi I–2000, tentang Pedoman Umum Penyusunan Rencana Kerja Jaminan Mutu (RKJM) berdasarkan HACCP.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kombinasi laju injeksi & surfaktan yang baik (dalam artian tidak terlalu banyak surfaktan yang digunakan, dan RF yang tinggi berarti perolehan minyak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi peran orang tua dan guru dalam pembentukan karakter Islami siswa PAUD Sekato dengan mengajarkan menerapkan

Potensial yang dihasilkan pada pH di bawah 4,5 relatif lebih rendah, hal ini disebabkan karena kemungkinan terjadinya protonasi membentuk ion hidronium pada gugus

[r]

Penelitian adalah satu hal yang tidak terpisahkan dalam satu rangkaian kegiatan akademik untuk dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Ilmu Kimia pada

When viewed from the average learning outcomes of mathematics in the group of students with high self efficacy taught with STAD learning model is higher than the

Teknik stek adalah memanfaatkan bahan vegetatif dari tumbuhan dan menumbuhkannya menjadi individu tumbuhan baru.Oleh sebab itu, teknik stek memerlukan pohon induk sebagai

Pembangunan di bidang ekonomi dalam rangka pencapaian swasembada pangan untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Grobogan pada Pelita V merupakan kelanjutan dan