Pihak Masyarakat (Serikat Tani Padang Halaban) 1. Bapak Slamet selaku Sekretaris STPHL
a. Bagaimana sejauh ini peran pemerintah yang diwakilkan oleh Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu terhadap proses penyelesaian konflik di Desa Padang Halaban?
Jawab :
Orang BPN dari rantau prapat pernah datang ke desa ini terus menjumpai saya pas saya lagi di secret. Terus mereka menanyakan kronologis kasus konflik agraria dengan PT. SMART. Mereka minta dokumen tentang putusan pengadilan, organisasi kami, dan sama bukti kepemilikan tanah yang berkonflik. Mereka datang sekitar bulan Maret 2015. Tapi bukti kepemilikan tanah gak saya kasih, karena ini dokumen penting sama kami
2. Bapak Suratmin selaku Ketua STPHL
a. Bagaimana tanggapan saudara terkait dengan konflik masyarakat di Desa Padang Halaban yang diwakilkan oleh STPHL dengan PT. Smart?
Jawab :
KAKANWIL bilang tidak boleh ngukur di atas 10 Ha, tapi dia kok ngukurnya sampai 3000 Ha.Kan sudah jelas itu ada yang tidak benar dalam pengurusan HGU ini. Kepala Kantor BPN Kabupaten Labura seharusnya sudah tahu ini kok malah dikeluarkan HGU ini, Kan dia tidak ada hak nya mengukur tanah itu. Lagipula saya lihat Sertifikat HGU No. 92/2001 itu, berdasarkan kapan diukur dan saksinya kan tidak ada.
b. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh STPHL terhadap penyelesaian konflik yang terjadi?
Jawab :
Jawab :
Hasil dari mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah sekitar tahun 2015 lalu yaitu disepakati program kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Jadi masyarakat sebgai objek mitra dari PT. SMART dan PT. SMART sebagai guru yang bermitra. Akan tetapi, masyarakat tetap menolak dengan alasan itu karena dirasa hanya membodoh-bodohi dan menipu masyarakat. Karena program dari bermitra yang diusulkan PT.SMART dirasa hanya merugikan masyarakat, yang ujung-ujungnya juga terus menyerobot lahan masyarakat.
Pihak PT. SMART
1. Bapak Syahnal selaku Humas PT. Smart
a. Bagaimana tanggapan Bapak terkait konflik agraria yang terjadi antara PT. Smart dengan masyarakat?
Jawab :
Sejak berdirinya PT. Sinar Mas Agro Resourcse and technology dengan Surat Keputusan Kehakiman No. J.A.5/115/3 tanggal 29 Agustus 1963. Sebelum mendapatkan ijin PT. SMART sudah melakukan survey terlebih dahulu ke kabupaten-kabupaten yang berpotensi sebagai penyuplai bahan baku. Sebenarnya PT. SMART tidak melihatadanya konflik pada waktu meminta izin pada kementrian dari hasil rekomendasi dari Bupati Labuhan Batu Utara.Pada prinsipnya semua perizinan dan rekomendasi didukung.
b. Bagaimana upaya perusahaan terhadap penyelesaian konflik agraria yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat di Desa Padang Halaban?
Jawab :
akan tetap miskin tetapi dibalik itu semua mereka ada investor besar dibelakangnya agar mereka bias bergerak. Oleh karena itu petani akan selalu tetap termarginalkan. Dan siklus ini akan terus begitu terus.
c. Bagaimana tanggapan Bapak terkait upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini yang diwakilkan oleh Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu terhadap penyelesaian konflik agrarian yang terjadi di Desa Padang Halaban?
Jawab :
tindakan dari petani yang melakukan peracunan terhadap pohon-pohon sawit yang sudah siap 81 panen,dan berdirinya bangunan-bangunan liar di tengah-tengah perkebunan sawit yang notabene masih termasuk lahan P.T Smart Cooporation.
Pihak Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu
1. Bapak Drs. Aminuddin Siregar selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu
a. Bagaimana upaya lembaga BPN Labuhan Batu terhadap penyelesaian konflik yang terjadi antara PT. Smart dengan masyarakat petani Desa Padang Halaban?
Jawab :
berlangsung tersebut
Pihak Elemen Organisasi
1. Bapak Ali Paganum selaku Sekjend Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), sebuah aliansi organisasi kaum tani.
a. Bagaimana pendapat bapak terkait kebijakan Jokowi – JK terhadap pembangunan Agraria?
Jawab :
Persoalan penyelesaian kasus pertanahan yang dicanangkan melalui kementerian agraria dan tata ruang bukanlah cara yang tepat untuk penyelsaian konflik agraria. Penyelesaian kasus pertanahan berakar dari tetap eksisnya kasus monopoli tanah yang terjadi di pedesaan. Salah satunya seperti yang terjadi di Desa Padang Halaban. Tanah yang merupakan bagian dari hal terpenting dari kehidupan kaum tani ternyata masih termonopoli oleh para tuan tanah seperti yang dilakukan oleh PT. SMART. Percuma saja jika dilahirkan kebijakan penyelesaian konflik agraria jika pelaksanaan reforma agraria sejati tidak pernah dilaksanakan. UU Pokok Agraria yang menjadi basis hukum bagi kaum tani untuk berdaulat atas tanahnya tidak pernah dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Bahkan hal terbaru ditahun 2016 ini, pemerintahan Jokowi mencoba untuk menstimulus kepercayaan masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan “reforma agraria palsu”. Persoalan kaum tani bukan hanya persoalan tanah sebenarnya, persoalan sarana dan prasarana produksi, harga jual hasil pertanian, subsidi pupuk, dan sistem tengkulak dipedesaan juga menjadi hal yang menghambat kegiatan produksi pertanian kaum tani. Akan tetapi pemerintahan Jokowi tidak berbicara soal ini dan artinya juga tidak ada niatan serius untuk menyelesaiakan persoalan kaum tani.
b. Bagaimana pendapat bapak terkait kebijakan Jokowi – JK yang tertuang dalam permen agraria dan tata ruang no.11 tahun 2016?
Jawab :
mengeksploitasi tanah di Indonesia.
2. Bapak Harry Sandy AME selaku Kadep Organisasi Asian Peasant Coalation(APC) sebuah aliansi organisasi buruh tani di wilayah asia.
a. Bagaimana pendapat bapak terkait Kebijakan Jokowi – JK tentang Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah?
Jawab :
Kebijakan tentang Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum adalah skema culas yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK untuk semakin memperluas tanah tuan-tuan tanah internasional. Tentu saja ini akan semakin mempertinggi angka buruh tani di Indonesia. Hasil investigasi APC bahwa satu keluarga kaum tani itu hanya memiliki rata-rata 0,5 Ha. Mengatasnamakan kepentingan umum maka tanah-tanah akan diberikan kepada pihak swasta, keadaan ini akan segaris lurus dengan perampasan tanah kaum tani di pedesaan dan semakin mempertinggi angka buruh tani dan pengangguran di perkotaan. Maka dengan tegas APC perwakilan Indonesia mengecam dengan tegas kebijakan Perpres No 71 Tahun 2012 adalah kebijakan anti terhadap kaum tani.
3. Bapak Rudi Harto Habedaman selaku koordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR), sebuah aliansi masyarakat yang tergabung dalam beberapa organisasi seperti elemen Mahasiswa, Buruh, Tani, Lembaga Hukum dan Masyarakat Adat.
a. Bagaimana pendapat bapak terkait kebijakan Jokowi – JK tentang PP No. 104 Tahun 2015 tentang tata cara perubahan fungsi dan kawasan hutan?
Jawab :
Lampiran 2
Permen ATR No. 11 Tahun 2016
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG
PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA DAN KONFLIK Bagian Kesatu
Dasar Penyelesaian Paragraf 1
Umum Pasal 4
Penyelesaian Sengketa dan Konflik dilakukan berdasarkan: a. Inisiatif dari Kementerian; atau
b. Pengaduan masyarakat.
Paragraf 2
Inisiatif dari Kementerian
Pasal 5
dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Kantor Wilayah BPN setiap 4 (empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada Menteri.
(4) Dalam hal hasil pemantauan perlu ditindaklanjuti, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan kegiatan penyelesaian Sengketa dan Konflik.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa dan Konflik Yang Merupakan Kewenangan Kementerian
Paragraf 1 Umum
Pasal 13
(1) Setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan hasil pengumpulan data dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah BPN, dalam hal keputusan pemberian hak,
konversi/penegasan/pengakuan, pembatalan hak atas tanah yang menjadi objek Sengketa dan Konflik diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
b. Menteri, dalam hal:
1) keputusan pemberian hak, konversi/penegasan/ pengakuan, pembatalan hak atas tanah atau penetapan tanah terlantar yang menjadi objek sengketa dan konflik diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri; dan/atau
2) Sengketa dan Konflik termasuk dalam karakteristik tertentu. (2) Penyampaian hasil pengumpulan data dan analisis kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah BPN.
(3) Sengketa dan Konflik dengan karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2), meliputi:
Pasal 14
(1) Setelah menerima hasil pengumpulan data dan hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri memerintahkan pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara untuk menindaklanjuti proses penyelesaiannya.
(2) Dalam hal terdapat Sengketa atau Konflik yang perlu ditangani oleh Tim, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri dapat membentuk Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil pengumpulan data dan hasil analisis dari Kantor Pertanahan.
(3) Dalam hal Kepala Kantor Wilayah BPN membentuk Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik pada Kantor Wilayah BPN, terdiri dari:
a. Kepala Kantor Wilayah BPN, sebagai ketua merangkap anggota; b. Kepala Bidang, sebagai anggota;
c. Kepala Bidang teknis terkait, sebagai anggota; d. Kepala Kantor Pertanahan, sebagai anggota; e. Kepala Seksi, sebagai anggota;
f. Kepala Seksi teknis terkait, sebagai anggota; dan
g. Staf yang menangani Sengketa dan Konflik, sebagai anggota.
(4) Dalam hal Menteri membentuk Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik pada Kementerian, terdiri dari: a. Dirjen yang menangani Sengketa, Konflik dan Perkara, sebagai ketua merangkap anggota;
b. Direktur yang menangani Sengketa, Konflik dan Perkara, sebagai anggota; c. Direktur teknis terkait, sebagai anggota;
d. Kepala Biro Hukum dan Humas, sebagai anggota; e. Kepala Kantor Wilayah BPN, sebagai anggota;
(5) Pembentukan Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dibuat dengan Keputusan Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN.
(6) Keputusan Pembentukan Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4)
mempunyai tugas:
a. melakukan pengkajian dan pemeriksaan lapangan; b. melakukan paparan, apabila diperlukan; dan
Ttd. FERRY MURSYIDAN BALDAN
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 April 2016 DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
Budiman, Arief. 1996. Fungsi Tanah dalam Kapitalisme. Dalam jurnal e-book Aanalisis Sosial: Penerbit Yayasan Akatiga, Edisi 3/Juli.
Budiman, Elfachri. 2004. Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan Asset Negara Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh PT
Perkebuana Nusantara II. Medan. Hal. 1.
Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Dalam buku.
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ediwarman. 2003. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan.
Medan: Pustaka Bangsa Press.
Fauzi, Noer. 1997. Penghargaan Populisme dan Pembangunan Kapitalisme,
Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial (Dalam Reforma Agraria). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Faisal, Sanafiah. 1995. Format Penulisan Sosial Dasa-Dasar Aplikasi. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga.
J, Salindeho. 1987. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika.
Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind.
Hill.Co.
Muhaimin, Yahya dan Mc Andrews, Colin.1995.Masalah-masalah Pembangunan
Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Prasetyo, Bambang dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rudianto, Doddy. 1996. Pembangunan Ekonomi dan Perkembangan Bisnis di
Indonesia. Jakarta : PT. Golden Trayon Press.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Suhendar, Endang dan Winarni Budi, Yohana. 1998. Petani dan Konflik Agraria.
Bandung : Penerbit Akatiga.
Sukarna.1990. Pembangunan Politik. Bandung: mandar maju. Sudarsono,
Juwono. 1982. Pembangunan Politik dan Perubahan. Jakarta.
Yayasan Obor.
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta:
Kencana, 2009).
Tambunan, Tulus. 2006. perekonomian indo sejak orde lama sampai pasca krisis.
jakarta. PT Pustaka Quantum.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jogjakarta: Media
Presindo.
Sumber Internet
Diakses dari http://mantumbahgoogle.blogspot.co.id/2013/10/peta-kabupaten labuhanbatu-utara.html. pada tanggal 25 agustus 2016. Pukul. 19.30.WIB
Diakases dari https://labuhanbatu utara kab. bps. go.id / frontend / Subjek / view / id / 28 # subjek View Tab3 | accordion – daftar – subjek 1
http://dokumen.tips/documents/sejarah-an-hukum-agraria-di-indonesia.html.Di akses tanggal 3 mei 2016 pukul 16:28 wib.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, http:// pusat bahasa. kemdiknas. go. Id / kbbi.
Sumber Lain
Data Investigasi Team Serve the People (Pelayanan Rakyat) Anggota Front Mahasiswa Nasional Cabang Medan.
DPP-AGRA. Tentang Sejarah Pendirian AGRA Nasional. Hal 16.
DPD-AGRA Sumut. 2014. Sejarah AGRA Sumatera Utara. Hal 7.
Harian Kompas. Pergolakan Konflik Agraria di Sumatera Utara. Tanggal 28 mei 2013. Hal 12 .
Majalah Burta. 2012. Semangat Perjuangan Buruh dan Tani, Bom waktu Konflik Lahan. ( Edisi 1 Tahun-I/2012). Lentera Rakyat. Hal. 4.
Pernyataan Sikap AGRA Sumatera Utara dalam peringatan Hari Tani Nasional 2016.
STPHL-AGRA. 2014. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. Hal 3. Dalam
bentuk e-book.
STPHL-AGRA. 2012. Kronologis Konflik Agraria Padang Halaban. Dalam
bentuk ebook. Hal 2.
Dokumen Pemerintahan
Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo,
Desa Padang Halaban. 2015. Rencana Kegiatan Pembangunan Desa
Padang Halaban Tahun Anggaran 2015-2019. Hal 11
Pemerintahan Desa Padang Halaban. Sejarah Desa Padang Halaban. 2015. Hal
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
PP_Nomor_104_Tahun_2015 ttg tata cara perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan. PDF
Permen 11 2016_Kasus Pertanahan. PDF
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 2.
Sumber Wawancara
Wawancara bersama Ali Paganum selaku pimpinan ormas tani Aliansi Gerakan Reforma Agraria ( AGRA)
Wawancara bersama Harry Sandy AME selaku Kadep Organisasi Asian Peasant Coalation (APC)
Wawancara bersama Rudi Harto Habedaman selaku Kordinator Front Perjuangan
Rakyat (FPR)
Wawancara bersama Bapak Slamet selaku sekretaris Serikat Tani Padang Halaban (STPHL)
Wawancara bersama Bapak Drs. Aminuddin Siregar selaku Kepala BPN Labuhan Batu
Wawancara bersama Bapak Syahnal selaku Humas PT. Smart
Wawancara bersama Bapak Suratmin selaku koordinator Serikat Tani Padang
Halaban (STPHL)
BAB III
ANALISIS IMPLEMENTASI PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA
DI DESA PADANG HALABAN
Pada bab III ini, penulis akan memaparkan hasil analisis dari pelaksanaan konflik agraria di desa Padang Halaban dalam kerangka pembangunan agraria atas Nawa Cita Jokowi JK. Dalam pemaparannya, penulis terlebih dahulu memaparkan tentang beberapa kebijakan di masa pemerintahan Jokowi-JK yang berkaitan dengan pembangunan agraria. Pemaparan ini bertujuan untuk menguraikan terlebih dahulu tentang sederetan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang berkenaan dengan pembangunan agraria, sebelum nantinya akan difokuskan kepada kebijakan terhadap penyelesaian konflik agraria. Sehingga nantinya melalui penelitian ini kita dapat memiliki paradigma dasar tentang aturan penyelesaian konflik yang dilegitimasi oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Setelah pemaparan beberapa kebijakan yang berkenaan dengan pembangunan agraris, selanjutnya paparan analisis akan dilanjutkan dengan beberapa usaha penyelesaian konflik agraria di Desa Padang Halaban yang dilakukan oleh intansi maupun lembaga yang mewakili pemerintahan Jokowi-JK.
antara masyarakat petani Padang Halaban dan PT. SMART terhadap pelaksanaan penyelesaian konflik yang diperankan oleh pemerintah.
3.1. Kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK Terhadap Pembangunan Agraria
Dalam sub bab pembahasan ini, akan diuraikan 3 peraturan atau kebijakan
pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi-JK yang berkenaan dengan
pembangunan agraria. Terdapat 3 kebijakan yang telah dilahirkan selama
kepemimpinan Jokowi sampai saat ini. Adapun ketiga peraturan tersebut yaitu
Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Kepentingan Umum, selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 104
Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dan terakhir
yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi tentang penyelesaian
kasus pertahanan telah melahirkan beberapa pandangan para penggiat aktivis
pertanian, salah satunya adalah dari ormas tani Aliansi Gerakan Reforma Agraria
(AGRA). Melalui sekretarisnya Ali Paganum, AGRA menyatakan pandangan
bahwa.
masih termonopoli oleh para tuan tanah seperti yang dilakukan oleh PT. SMART. Percuma saja jika dilahirkan kebijakan penyelesaian konflik agraria jika pelaksanaan reforma agraria sejati tidak pernah dilaksanakan. UU Pokok Agraria yang menjadi basis hukum bagi kaum tani untuk berdaulat atas tanahnya tidak pernah dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Bahkan hal terbaru ditahun 2016 ini, pemerintahan Jokowi mencoba untuk menstimulus kepercayaan masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan “reforma agraria palsu”. Persoalan kaum tani bukan hanya persoalan tanah sebenarnya, persoalan sarana dan prasarana produksi, harga jual hasil pertanian, subsidi pupuk, dan sistem tengkulak dipedesaan juga menjadi hal yang menghambat kegiatan produksi pertanian kaum tani. Akan tetapi pemerintahan Jokowi tidak berbicara soal ini dan artinya juga tidak ada niatan serius untuk menyelesaiakan persoalan kaum tani74.
Peraturan terakir ini yang dilegitimasi oleh Menteri Agraria dan Tata
Ruang menjadi peraturan yang digunakan penulis dalam menganalisis
pelaksanaan penyelesaian konfik agraria yang hingga kini terjadi di Desa Padang
Halaban Kabupaten Labuhan Batu Utara.
Meskipun pada bab II sebelumnya, ketiga peraturan tersebut telah
dipaparkan secara singkat. Namun pada bab ini, peraturan tersebut akan diuraikan
secara lebih mendalam terkait dengan isi dan ketentuan pokok yang diatur di
dalamnya.
74
3.1.1. Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
Dalam rangka percepatan dan efektivitas penyelenggaraan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebagai bagian dari
pembangunan agraria yang tertuang dalam Nawa Cita Jokowi-JK, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pada tanggal 28 Desember 2015 telah menandatangani
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Terdapat beberapa ketentuan pokok yang diatur di dalam perpres ini yakni
antara lain berkaitan dengan mekanisme penetapan lokasi lahan untuk
kepentingan umum dan proses penyelesaian ganti rugi. Dalam Perpres ini
ditegaskan, Gubernur melaksanakan tahapan kegiatan Persiapan Pengadaan Tanah
setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah dari Instansi yang
memerlukan tanah. Dalam melaksanakan tahapan kegiatan sebagaimana
dimaksud, gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja (sebelumnya 10 hari kerja) sejak dokumen perencanaan Pengadaan
Tanah diterima secara resmi oleh Gubernur75.
Tim Persiapan sebagaimana dimaksud melaksanakan pemberitahuan
rencana pembangunan kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan.
75
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja (sebelumnya 20 hari kerja) sejak
dibentuknya Tim Persiapan. Hal ini tertuang pada Pasal 11 ayat (1 dan 2)76.
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud yang
ditandatangani oleh Ketua Tim Persiapan memuat informasi mengenai: a. maksud
dan tujuan rencana pembangunan; b. letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;
c. tahapan rencana Pengadaan Tanah; d. perkiraan jangka waktu pelaksanaan
Pengadaan Tanah; e. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pembangunan; dan f.
informasi lainnya yang dianggap perlu. Kemudian Surat Pemberitahuan rencana
pembangunan tersebut disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi
pembangunan melalui lurah/kepala desa atau nama lain dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari kerja (sebelumnya 20 hari kerja) sejak ditandatanganinya surat
pemberitahuan. Bukti penyampaian pemberitahuan melalui surat sebagaimana
dimaksud, menurut Perpres Nomor 148 Tahun 2015 ini, dibuat dalam bentuk
tanda terima dari perangkat kelurahan/desa atau nama lain.
Adapun penanganan keberatan oleh gubernur dilakukan paling lama 3
(tiga) hari kerja (sebelumnya 14 hari kerja) sejak diterimanya keberatan.
Sementara penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh gubernur dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja (sebelumya tidak ada batas waktu) sejak
kesepakatan sebagaimana dimaksud, atau sejak ditolaknya keberatan dari Pihak
yang Keberatan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah habis dan
penetapan lokasi belum diterbitkan, maka penetapan lokasi dianggap telah
disetujui.77
Selanjutnya, pada perpres ini terkait dengan pemberitahuan lokasi
pembangunan diatur bahwa, Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan
sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan cara: a. ditempatkan di kantor
kelurahan/desa atau nama lain, kantor kecamatan, dan/atau kantor kabupaten/kota
dan di lokasi pembangunan; dan b. diumumkan melalui media cetak dan/atau
media elektronik. Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja
(sebelumnya 3 hari kerja) sejak dikeluarkan Penetapan Lokasi pembangunan,
bunyi Pasal 46 ayat (2) Perpres ini.
Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud,
menurut Perpres ini, dilakukan selama 7 (tujuh) hari kerja (sebelumnya 14 hari
kerja). Perpres ini juga menegaskan, gubernur dapat mendelegasikan kewenangan
pelaksanaan persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan
Umum kepada bupati/wali kota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas,
kondisi geografis, sumber daya manusia, dan pertimbangan lainnya, dalam waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak
diterimanya dokumen Perencanaaan Pengadaan Tanah. Dalam hal Gubernur
mendelegasikan kewenangan kepada bupati/wali kota sebagaimana dimaksud,
bupati/wali kota membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak diterimanya pendelegasian.
Menurut Perpres ini, Pelaksanaan Pengadaan Tanah diselenggarakan oleh
Menteri, dan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah. Adapun penetapan Pelaksana Pengadaan Tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja (sebelumnya tidak ada batas
waktu) sejak diterimanya pengajuan Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Terakhir, ketentuan pokok yang diatur di dalam perpres ini yaitu
berkenaan dengan Ganti Kerugian dalam bentuk uang dalam pengadaan tanah,
menurut Perpres Nomor 148 Tahun 2015 ini, dilakukan oleh Instansi yang
memerlukan tanah berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
atau pejabat yang ditunjuk. Validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau
pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak berita acara
kesepakatan bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud, bunyi Pasal 76 ayat
(2a) Perpres tersebut.
Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini,
dilakukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja (sebelumnya tidak ada
batas waktu) sejak penetapan bentuk Ganti Kerugian oleh Pelaksana Pengadaan
Tanah. Perpres ini juga menegaskan, pengadaan tanah bagi pembangunan yang
tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak yang berhak dengan
badan usaha swasta78.
Jika kita mengkaji tentang kebijakan jokowi tentang perubahan
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, analisisnya tentu saja
kebijakan ini bertujuan untuk menarik investasi dari pihak swasta ataupun
investor luar negeri. Menurut Asian Peasant Coalation (APC), sebuah aliansi
organisasi buruh tani diwilayah asia melalui Kepala Departement Organisasi,
Harry Sandy AME beranggapan bahwa
Kebijakan tentang Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum adalah skema culas yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK untuk semakin memperluas tanah tuan-tuan tanah internasional. Tentu saja ini akan semakin mempertinggi angka buruh tani di Indonesia. Hasil investigasi APC bahwa satu keluarga kaum tani itu hanya memiliki rata-rata 0,5 Ha. Mengatasnamakan kepentingan umum maka tanah-tanah akan diberikan kepada pihak swasta, keadaan ini akan segaris lurus dengan perampasan tanah kaum tani di pedesaan dan semakin mempertinggi angka buruh tani dan pengangguran di perkotaan. Maka dengan tegas APC perwakilan Indonesia mengecam dengan tegas kebijakan Perpres No 71 Tahun 2012 adalah kebijakan anti terhadap kaum tani79.
3.1.2 Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Perubahan Fungsi dan Kawasan Hutan
Peraturan ini ditanda tangani sejak tanggal 22 Desember 2015 oleh Presiden Jokowi sebagai peraturan pemerintah. Tujuan dari peraturan ini yakni mengatur tentang mekanisme perubahan fungsi dan kawasan hutan. Meskipun
78 Ibid. 79
secara substansial isi dalam peraturan ini berkenaan dengan kawasan hutan, namun dalam implementasinya tentu sangat berhubungan dengan kondisi agraria di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya keberadaan masyarakat adat dan komunal yang tinggal dan hidup bergantung oleh keberadaan hutan di Indonesia secara langsung. Sehingga dengan adanya peraturan ini tentu akan turut mempengaruhi pembangunan agraria di Indonesia terkhusus kepada kelangsungan hidup masyarakat adat dan komunal yang hidup secara tradisional atau bercocok tanam dengan hutan di Indonesia.
Keadaan masyarakat yang masih banyak hidup secara primitif di hutan maupun daerah terpencil tentu akan terkena himbas dari kebijakan ini. Salah satunya adalah keberdaan masyarakat primitif didaerah Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Menurut Rudi Harto Habedaman, Koordinator Front Perjuangan Rakyat yang merupakan aliansi dari organisasi buruh, kaum tani, mahasiswa, lembaga hukum, LSM dan masyarakat adat beranggapan bahwa:
Kebijakan tentang tata kelola perubahan fungsi dan kawasan hutan akan bertentangan dengan reforma agraria sejati. Yang seharusnya negara sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab akan pendistribusian tanah kepada masyarakat, nyatanya negara malah menjadi penguasa tanah paling luas dan paling besar. Mengatasnamakan PERHUTANI, PTPN, Taman Nasional dan INHUTANI negara telah banyak menjadi aktor konflik dengan masyarakat. Selaras dengan kebijakan ini pula, negara akan semakin melegalkan perampasanan tanah dan terus memperluas konflik diberbagai daerah80.
Adapun isi ketentuan pokok dari peraturan ini yaitu perubahan Fungsi Kawasan Hutan dilakukan pada Kawasan Hutan dengan fungsi pokok: a. Hutan
80
Konservasi; b. Hutan Lindung; dan c. Hutan Produksi, yang dilakukan secara
parsial atau untuk wilayah provinsi. Perubahan fungsi Kawasan Hutan menjadi
Hutan Produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada provinsi dengan
luas kawasan Hutan sama atau kurang dari 30% (tiga puluh per seratus)81.
Menurut PP ini, perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial
dilakukan melalui perubahan fungsi: a. antar fungsi pokok Kawasan Hutan; atau
b. dalam fungsi pokok Kawasan Hutan. Perubahan fungsi antar fungsi pokok
Kawasan hutan meliputi perubahan fungsi dari82:
a. Kawasan Hutan Konservasi menjadi kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Produksi;
b. Kawasan Hutan Lindung menjadi kawasan Hutan Konservasi dan/atau
Hutan Produksi;
c. Kawasan Hutan Produksi menjadi kawasan Hutan Koservasi dan/atau
kawasan Hutan Lindung.
Perubahan kawasan Hutan Konservasi menjadi kawasan Hutan Lindung
dan/atau kawasan Hutan Produksi dilakukan dengan ketentuan: a. tidak memenuhi
seluruh kriteria sebagai kawasan Hutan Konservasi; dan b. memenuhi kriteria
sebagai kawasan Hutan Lindung atau kawasan Hutan Produksi. Adapun
perubahan kawasan Hutan Lindung menjadi kawasan Hutan Konservasi dan/atau
Hutan Produksi dilakukan dengan ketentuan: a. tidak memenuhi seluruh kriteria
81
Op.cit Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 Tentang Perubahan Tata Cara Fungsi dan Kawasan Hutan.
sebagai kawasan Hutan Lindung; dan b. memenuhi kriteria sebagai kawasan
Hutan Konservasi atau Hutan Produksi.
Sedangkan perubahan kawasan Hutan Produksi menjadi kawasan Hutan
Konservasi dan/atau kawasan Hutan Lindung wajib memenuhi kriteria sebagai
Hutan Konservasi atau kawasan Hutan Lindung. Perubahan fungsi dalam fungsi
pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dilakukan dalam: a. kawasan
Hutan Konservasi; atau b. kawasan Hutan Produksi. Perubahan fungsi dalam
fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud meliputi perubahan dari83:
a. Kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;
b. Kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;
c. Kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau taman buru;
d. Kawasan taman hutan raya menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau taman buru;
e. Kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman buru; atau
f. Kawasan taman buru menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan rata, atau taman wisata alam.
Peraturan ini menegaskan, perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara
parsial ditetapkan dengan keputusan Menteri, berdasarkan usulan yang diajukan
oleh: a. gubernur, untuk kawasan Hutan Lindung dan kawasan Hutan produksi;
atau b. pengelola kawasan Hutan Konservasi. Adapun perubahan Fungsi Kawasan
Hutan untuk wilayah provinsi dilakukan pada Kawasan Hutan dengan fungsi
pokok: a. Hutan Konservasi; b. Hutan Lindung; dan c. Hutan Produksi.
3.1.3. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
Sebagai kebijakan yang menjadi acuan terhadap implementasi pembangunan agraria di masa pemerintahan Jokowi-JK terhadap konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban. Maka Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan dijadikan oleh penulis sebagai acuan peraturan dalam menganalisis penyelesaian konflik agraria yang terjadi hingga kini di Desa Padang Halaban. Proses penyelesaian konflik tersebut tentu sangat berkenaan dengan program pembangunan agraria. Hal ini disebabkan oleh problema pokok agraria di Indonesia yakni tinggi eskalasi konflik agraria di Indonesia yang melibatkan masyarakat terutama petani.
beserta instansi dibawah koordinasinya. Peraturan ini setidaknya berisikan aturan yang terdiri dari 7 bab 72 pasal. Adapun ketentuan pokok di dalam peraturan menteri ini yang berkaitan dengan penyelesaian konflik agraria di Desa Padang Halaban antara lain sebagai berikut.
Kasus pertanahan sendiri membedakan yang namanya sengketa, konflik, dan perkara pertanahan. Sengketa tanah sendiri merupakan perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sementara konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang, kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Sedangkan, perkara tanah sendiri adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
Sejalan dengan pemaparan tentang kebijakan agraria Jokowi, Ali Paganum Sekjend AGRA memaparkan bahwa:
Sejatinya konflik agraria tidak akan pernah selesai selama sistem monopoli dan perampasan tanah masih terus ada di Indonesia. Kebijakan apapun jika dikeluarkan akan tetapi negara masih terus membiarkan monopoli tanah tetap eksis, selama itu pula konflik akan terus ada. Konflik agararia adalah dampak, sedangkan monopoli adalah penyebab utamanya. Jangan berharap penyelesaian konflik agraria melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 adalah jalan keluar dari penyelesaian konflik selama perusaahan negara, perusahaan swasta maupun perusahaan internasional masih mengeksploitasi tanah di Indonesia84.
Dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan. Pasal 4 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 membedakan jenis laporan berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari
84
kementerian dan pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap dua mekanisme laporan itu dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan diregister. Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan mengetahui apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang85.
Sengketa atau konflik itu antara lain, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan86.
Selanjutnya, kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah, kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti, kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin, penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
85
Op.cit Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi. Jalur mediasi dalam aturan ini ditempuh juga untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau yang bukan menjadi kewenangan kementerian.
Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak. Jika salah satu pihak saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 hari dimana untuk mediatornya berasal dari kementerian, Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan87.
Dalam hal mediasi ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu, perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat. Yang perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali secara patut, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian terkait dengan aturan eksekusi. Keputusan penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Terhadap keputusan itu wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya. Pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan ada tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan. Ketiganya, yakni sertifikat yang akan disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, tanah yang menjadi objek pembatalan menjadi objek hak tanggungan, serta tanah telah dialihkan kepada pihak lain88.
Berkaitan dengan penanganan perkara, dalam konteks ini, penanganan perkara yang dilaksanakan dalam perkara di peradilan perdata atau tata usaha negara (TUN) dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi pihak. Kalau kementerian kalah dalam perkara, Kementerian dapat melakukan upaya hukum meliputi perlawanan (verzet), banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Selain itu, pihak yang berperkara dapat meminta keterangan ahli atau saksi ahli dari Kementerian melalui Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, atau Menteri. Sementara, dalam hal perkara di pengadilan tidak melibatkan Kementerian sebagai pihak namun perkaranya menyangkut kepentingan Kementerian, maka Kementerian dapat melakukan intervensi. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda, diantaranya objek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, terhadap objek putusan sedang
dalam status diblokir atau disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, serta alasan-alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan permohonan pelaksanaan melalui Kantor Pertanahan setempat atau langsung diajukan ke Kementerian, khusus dalam hal permohonan pembatalan penetapan tanah terlantar89.
3.2. Penyelesaian Konflik Agraria di Desa Padang Halaban
Pada sub pembahasan ini, akan diuraikan tentang beberapa upaya dalam proses penyelesaian konflik agraria di Desa Padang Halaban oleh pihak-pihak yang diamanatkan berperan dalam Peraturan Menteri ATR No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Konflik agraria di Desa Padang Halaban yang telah bergulir sejak puluhan tahun lalu, tentu telah mengakibatkan kerugian cukup besar terutama kepada pihak masyarakat yang tinggal di Desa Padang Halaban. Sehingga upaya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di desa ini, menjadi persoalan yang patut dinantikan terlebih di rezim pemerintahan Jokowi-JK yang memiliki janji politik untuk menuntaskan persoalan agraria yang bergulir di Indonesia. Maka berdasarkan peraturan menteri ATR No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian
Kasus Pertanahan sebagai acuan peraturan dalam penyelesaian konflik agraria yang dilegitimasi di bawah pemerintahan Jokowi-JK serta berbagai kegiatan yang berkenaan dengan upaya penyelesaian konflik agraria di Desa Padang Halaban. Penulis merangkup beberapa upaya tersebut dalam beberapa kegiatan, diantaranya yaitu kegiatan penyelidikan atau pengumpulan data fakta, mediasi, dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang berkonflik di Desa Padang Halaban yang dilakukan oleh PT. SMART. Adapun uraian dari kegiatan tersebut sebagai berikut.
3.2.1. Penyelidikan Atau Pengumpulan Data dan Fakta
Kegiatan ini merupakan pekerjaan tahapan awal menurut kepada peraturan menteri ATR No. 11 Tahun 2016. Berdasarkan pasal 10 ayat 1 tentang pengumpulan data dan analisis dalam peraturan tersebut diatur bahwa pejabat yang bertanggung jawab dalam hal ini pejabat instansi pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu Utara melakukan kegiatan pengumpulan data. Selanjutnya pada ayat 2 dijelaskan bahwa data yang dikumpulkan berupa data fisik dan yuridis, putusan peradilan, berita acara dari Kepolisian Negara RI, kejaksaan RI, Komisi Permberantasan Korupsi, data yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pejabat berwenang, data lainnya yang terkait dan mempengaruhi serta memperjelas duduk persoalan sengketa dan konflik, serta keterangan saksi.
Kegiatan ini berdasarkan pengakuan dari Bapak Slamet selaku sekretaris Serikat Tani Padang Halaban (STPHL)-AGRA bahwa.
konflik agraria dengan PT. SMART. Mereka minta dokumen tentang putusan pengadilan, organisasi kami, dan sama bukti kepemilikan tanah yang berkonflik. Mereka datang sekitar bulan Maret 2015. Tapi bukti kepemilikan tanah gak saya kasih, karena ini dokumen penting sama kami90.
Keterangan oleh Bapak Slamet juga turut dibenarkan oleh Bapak Drs. Aminuddin Siregar selaku Kepala BPN Labuhan Batu menerangkan bahwa.
Petugas kami pernah datang ke Desa Padang Halaban pada tahun 2015 menanyakan terkait dokumen putusan pengadilan dan bukti kepemilikan tanah kepada masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan yang bernama PT. Smart. Dan ada beberapa Dokumen yang petugas kami kumpulkan dan Dokumen nanti akan menjadi bahan analisis kami untuk menjadi bahan acuan dalam menangani dan menyelesaikan konflik di desa tersebut. Oleh karena itu saya menyuruh petugas kami untuk langsung turun dan menjumpai masyarakat sekitar untuk mencari bukti data – data tersebut. Selanjutnya kami juga tidak hanya mengumpulkan data yang bersumber dari masyarakat, melainkan kami juga turut melakukan pengumpulan data yang bersumber dari PT. Smart terkait dokumen-dokumen yang berkenaan dengan konflik agraria yang berlangsung di Desa Padang Halaban. Berdasarkan arsip kami dokumen tersebut antara lain SK HGU yang dimiliki perusahaan, kronologis pendirian perusahaan, dan dokumen-dokumen lainnya yang berkenaan dengan pengelolaan aset perusahaan di wilayah Desa Padang Halaban91.
Sementara dilain pihak dari PT. Smart yang diwakilkan oleh Bapak
Syahnal selaku Humas PT. Smart, turut mengungkapkan kedatangan petugas BPN
Labuhan Batu yang berkedudukan di Rantau Prapat kepada dirinya menanyakan
kronologis dan beberapa dokumen tentang konflik area perkebunan PT. Smart di
Desa Padang Halaban.
Pada sekitar tahun 2015, petugas BPN mengunjungi kami dan menanyakan kedudukan perkara konflik tanah yang terjadi antara
90
Wawancara bersama Bapak Slamet selaku sekretaris STPHL di secretariat STPHL tanggal 10 September 2016 pukul 10.15 Wib.
91
perusahaan kami dengan masyarakat petani Desa Padang Halaban di area seluas 3.000 Ha. Pada saat itu saya jelaskan bahwa sejarah awal mulanya konflik pada tahun 1999 sebelum berakhirnya seluruhnya Hak Guna Usaha (HGU) PT. Smart Cooporation, dimana kami dari PT. Smart Cooporation memohon kepada gubernur pada saat itu untuk memperpanjang areal HGU PT. Smart Cooporation Tbk, di Kabupaten Labuhan Batu. Di karenakan adanya permohonan tersebut, gubernur membentuk tim D Plus (ini dikarenakan HGU PT. Smart Cooporation berakhir pada tahun 1997 dan 1998), dimana tugas dari tim D plus ini adalah meneliti, mengidentifikasi, menginvertarisasi, seluruh persoalan pertanahan. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata hasil yang diterima oleh gubernur hanya merekomendasikan tanah untuk perpanjangan HGU seluas ± 3.000 Ha. PT. Smart Cooporation pada saat itu mengganggap kementerian yang berwenang adalah kementerian BUMN pada saat itu (dictum 3 dan 4 berlaku untuk tanah sektar 3.000 Ha). kemudian terbit SK No. 42, 43, 44 / HGU / BPN / 2002 pada sekitar bulan februari 2002 yang menerangkan diktum 3 dan 4 menjadi milik negara yang dan pendistribusiannya, pemanfaatannya dilakukan oleh gubernur Sumatera Utara setelah memperoleh izin dari kementerian yang berwenang. Dari areal-areal tersebut yang tidak diperpanjang, P.T Smart Cooporation mesertifikasi HGU nya, terkhusus areal yang ada di daerah desa Padang Halaban adalah 100 % diberi HGU oleh BPN Sumatera Utara kepada P.T Smart Cooporartion. Luas lahan P.T Smart menjadi 3000 Ha dengan sertifikasi HGU 92/Padang Halaban/2001. Berdasarkan penguasaan ini pihak P.T Smart Cooporation melakukan penanaman kelapa sawit, tetapi kelompok ini tidak terinformasi. Selain itu amat disayangkan tindakan dari petani yang melakukan peracunan terhadap pohon-pohon sawit yang sudah siap 81 panen, dan berdirinya bangunan-bangunan liar di tengah-tengah perkebunan sawit yang notabene masih termasuk lahan P.T Smart Cooporation92.
Namun sebagai perbandingan yang dilakukan oleh penulis terkait data
yang disampaikan oleh pihak PT. Smart, ditanggapi oleh petani Desa Halaban
sebagai berikut.
Sertifikat HGU Padang Halaban No.92/2001 itu sifanya membodoh-bodohi rakyat. Kan gak ada wewenang BPN tingkat II mengeluarkan Hak Guna Usaha. HGU itu harus dikeluarkan BPN Pusat, bukan BPN Tingkat
92
II. Itu semua rekayasa karena perlu diketahui bahwa saat itu ada surat dari KAKANWIL Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tingkat II Sumatera Utara yang isinya menyatakan bahwa instruksi pelarangan pengukuran kepada Kepala Kantor BPN Kabupaten dan Kota, dan ada lagi surat yang terbit menyatakan kalau tidak dibenarkan membuat/mengeluarkan sertifikat HGU di atas tanah seluas 10 Ha keatas, tapi kok malah terbit HGU No. 92/2001 ini, kan ini sudah melanggar isi surat itu. Karena itulah pada waktu itu kami membuat surat permohonan agar HGU No. 92/2001 ini ditindaklanjuti kebenaran dari HGU No. 92/2001 ini. Sertifikat ini memang sah dan asli tapi apa ada hukumnya mengeluarkan surat itu? Sementara KAKANWIL bilang tidak boleh ngukur di atas 10 Ha, tapi dia kok ngukurnya sampai 3000 Ha. Kan sudah jelas itu ada yang tidak benar dalam pengurusan HGU ini. Kepala Kantor BPN Kabupaten Labura seharusnya sudah tahu ini kok malah dikeluarkan HGU ini, Kan dia tidak ada hak nya mengukur tanah itu. Lagi pula saya lihat Sertifikat HGU No. 92/2001 itu, berdasarkan kapan diukur dan saksinya kan tidak ada93.
Pengumpulan data dan fakta yang telah di lakukan oleh pihak Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Labuhan Batu telah menjadi bagian dalam proses
penyelesaian konflik agraria di Desa Padang Halaban, sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Peraturan Menteri ATR No. 11 Tahun 2016. Beberapa
dokumen yang telah terinventarisir oleh pihak BPN selanjutnya menjadi bahan
analisis untuk kemudian menjadi acuan dalam tahapan kegiatan berikutnya.
Namun sebelum dilakukannya proses analisis dan pengkajian terhadap data dan
fakta yang telah dikumpulkan, BPN sendiri bertanggung jawab untuk melakukann
validasi terlebih dahulu untuk menguji kebenaran dan keabsahan
dokumen-dokumen tersebut baik yang bersumber dari pihak masyarakat Desa Padang
Halaban maupun pihak perusahaan PT. Smart. Hal ini juga turut diatur di dalam
Peraturan Menteri ATR No. 11 Tahun 2016 pasal 10 ayat 3 bahwa validasi
93
terhadap data-data yang telah dikumpulkan yang selanjutnya dinyatakan
kebenarannya oleh pejabat intansi pertanahan yang berwenang.
Namun dalam hal validasi terhadap data-data yang berkenaan dengan
konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban baik yang bersumber dari
perusahaan maupun pihak masyarakat, penulis tidak mendapatkan keterangan
yang pasti dari pihak BPN sendiri terkait kebenaran data-data tersebut.
Selanjutnya adapun pengkajian atau analisis konflik dilakukan dengan melakukan pengkajian akar dan riwayat koflik untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya dan potensi dampak dari terjadinya konflik. Pengkajian konflik pertanahan dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis data konflik yang terjadi. Hasil dari penelitian dan analisa data dipergunakan untuk menentukan dan merumuskan pokok permasalahan atas terjadinya konflik. Terhadap pokok permasalahan konflik dilakukan penerapan hukum berdasarkan data yuridis, data fisik dan/atau data pendukung lainnya, yang hasilnya kemudian dilakukan kajian penerapan hukum yang selanjutnya menghasilkan rekomendasi penanganan konflik.
3.2.2. Mediasi
Selanjutnya kegiatan dalam perjalanan konflik agraria di Desa Padang
Halaban antara masyarakat dengan PT. Smart yang dapat digolongkan menjadi
bagian dari proses penyelesaian berdasarkan Permen ATR No. 11 Tahun 2016
Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan yaitu kegiatan mediasi. Kegiatan ini
penyelesaian sengketa atau konflik dapat dilakukan melalui kegiatan mediasi.
Ayat 2 dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam satu pihak menolak untuk melakuukan
mediasi maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan mediasi sendiri dilaksanakan dalam kaitannya proses
penyelesaiaan kasus konflik agraria di Desa Padang Halaban antara masyarakat
petani dengan PT. Smart merupakan rentetan dari beberapa upaya yang telah
dilakukan oleh kedua belah pihak baik pihak masyarakat maupun pihak PT. Smart
sendiri. Dari pihak masyarakat sendiri, hal ini diungkapkan oleh Bapak Suratmin
selaku ketua STPHL bahwa.
Jalan administrasi sudah kami tempuh, surat-menyurat sudah kami lakukan, bahkan kami sudah melakukan aksi turun ke jalan. Kami tidak pernah menyerang PT. SMART, tapi kami yang terus dihantam, dirusak tanaman yang sudah kami tanam, kami dipenjara. Saya rela dipenjara demi memperjuangkan tanah ini. Polisi sudah mencoba untuk melakukan agar duduk sama untuk menyelesaikan masalah ini, tapi toh malah PT. SMART yang tidak hadir. Gimana masalah ini bisa selesai. Tidak ada orang dibalik perjuangan kami ini. Kalau ada orang dibalik ini ngapain saya dan kawan-kawan sampai segitunya berjuang. Lagi pula kalau kita melihat dalam surat keputusan Gubernur saat itu No. 225, kan udah jelas dinyatakan, tapi yah realisasi tanahnya ini yang gak ada, selain itu Alas Hak kami berjuang jelas ada. Kami sudah menempuh jalan terbaik agar suara kami didengar, agar hak kami diberikan sebagaimana seharusnya94.
Sementara, tanggapan dari pihak PT. Smart terhadap upaya-upaya yang
dilakukan oleh perusahaan dalam menyelesaikan kasus konflik agraria yang
terjadi di area perkebunannya yang berada di wilayah Desa Padang Halaban.
94
Bentuk usaha yang dilakukan PT. SMART untuk menangani konflik ini seperti : (a) surat menyurat, (b) peringatan-peringaan, (c) dilakukan konseling di DPRD, (d) konseling di polisi, dan (e) pada ujungnya ke pengadilan untuk membuat laporan-laporan, tetapi apa yang diharapkan oleh PT. SMART tidak tercapai sehingga persoalan tanggal 2 Juni 2012 menjadi puncak dari usaha yang tidak mendapat titik temu. Begitu banyak konflik yang bertikai dengan mengarahkan solusinya kepada hukum, ini dikarenakan pihak PT. SMART sudah ada merasakan tindak hukum yang pada tanggal 2 Juni 2012 lalu. Petani akan tetap miskin tetapi dibalik itu semua mereka ada investor besar dibelakangnya agar mereka bisa bergerak. Oleh karena itu petani akan selalu tetap termarginalkan. Dan siklus ini akan terus begitu terus95.
Dengan ungkapan demikian maka tentu kegiatan mediasi yang
dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2015 di Hotel JW Marriot Medan
merupakan hasil dari rentetan panjang upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
kedua belah pihak.
Proses mediasi sendiri yang dilaksanakan antara pihak masyarakat petani Desa Padang Halaban dengan PT. Smart melalui beberapa prosedur pelaksanaan antara lain :
1. Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini akan ditentukan siapa yang akan menjadi juru penengah atau mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat penyelesaian, waktu, dan pihak-pihak lain yang akan dilibatkan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung mediasi.
95
2. Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini akan diperoleh keterangan-keterangan dari pihak pemohon/penggugat dan pihak termohon/tergugat berkaitan dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksi-saksi yang berasal dari penggugat atau tergugat.
3. Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian, penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa (bila sudah disepakati), saksi dan penutupan musyawarah.
Hal diatas turut dikuatkan oleh Bapak Aminuddin Siregar selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu, bahwa :
Mediasi dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang kami atur bahwa tahapan awal yang harus dipersiapkan sebelum mediasi ialah menentukan siapa yang menjadi penengah atau mediator, tempat, dan waktu. Selanjutnya pada tahapan mediasi berlangsung, maka pihak penengah atau mediator harus mendengarkan kembali pihak-pihak yang berkepentingan terkait pendapat masing-masing pihak dalam memandang kedudukan perkara, kemudian ditahapan akhir akan diajukan kesimpulan sebagai resolusi dari proses mediasi yang berlangsung tersebut96.
Adapun tawaran solusi yang diajukan oleh perusahaan dalam proses mediasi yang berlangsung pada 12 Oktober 2015 yaitu dengan membangun kemitraan antara perusahaan dengan pihak masyarakat petani Desa Padang Halaban dalam bentuk perkebunan plasma di area seluas 83 Ha yang berkonflik. Usaha tersebut dilakukan pihak PT. SMART bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, dan Badan Pertanahan Nasional Labuhan Batu. Terhadap konflik yang
96
terjadi, PT. SMART mensinkronkan kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah bagaimana berjalan dengan seimbang agar tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan. Perusahaan juga berperan aktif bagaimana langkah perusahaaan untuk pendekatan kepada masyarakat, pemerintah kabupaten dan pusat.
3.2.3. Menjalin Kemitraan
Selain menjalankan penyelesaikan konflik agraria melalui jalur hukum sesuai
dengan undang-undang, pihak PT. SMART mencoba menjalankan kerja sama dengan
masyarakat Desa Padang Halaban sesuai dengan hasil keputusan hasil mediasi. Ini
merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan batas lahan yang telah
lama terjadi. Karena hal itu, sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dalam
bermitra, yaitu pihak dari masyarakat Desa Padang Halaban sebagai objek mitra
untuk melakukan kembali penanaman bibit kelapa sawit. Tawaran bermitra tersebut
disampaikan di Medan pada Tanggal 12 Oktober 2015, akan tetapi hal itu ditolak oleh
perwakilan masyarakat.
Tentu saja penolakan yang dilakukan oleh masyarakat bukan tanpa alasan.
Konsistensi yang tunjukan oleh pihak masyarakat berlandaskan kepada keyakinan
bahwa tanah yang mereka duduki selama ini adalah tanah milik mereka. Ajakan dari
pihak PT. SMART untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja dianggap
langkah mundur yang hanya akan merugikan pihak masyarakat. Tuntutan masyarakat
tetap bahwa konsesi PT.SMART yang sudah merusak dan menyerobot lahan
Berikut hasil dari wawancara yan peneliti lakukan kepada Ketua masyarakat
petani “Serikat Tani Padang Halaban Bapak Suratmin yang mengatakan:
Hasil dari mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah sekitar tahun 2015 lalu yaitu disepakati program kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Jadi masyarakat sebgai objek mitra dari PT. SMART dan PT. SMART sebagai guru yang bermitra. Akan tetapi, masyarakat tetap menolak dengan alasan itu karena dirasa hanya membodoh-bodohi dan menipu masyarakat. Karena program dari bermitra yang diusulkan PT. SMART dirasa hanya merugikan masyarakat, yang ujung-ujungnya juga terus menyerobot lahan masyarakat97.
Cara yang ditawarkan oleh PT.SMART bersama Badan Pertanahan Nasional
Labuhan Batu pada tahun 2015 lalu merupakan langkah yang ditawarkan, akan tetapi
ditolak oleh masyarakat dengan alasan mitra yang ditawarkan adalah warga
didampingi oleh PT. SMART untuk melakukan pengelolaan atas lahan mereka. Hal
ini masyarakat jauh memahami soal pengelolaan lahan, usaha yang ditawarkan juga
memberatkan masyarakat. Masyarakat yang di damping oleh STPHL menyatakan ada
beberapa hal peran serta masyarakat sekitar dalam penegeloaan lahan. Mengusulkan
putusan Undang-undang No. 8 Tahun 1954 tentang pemakaian lahan yang oleh
masyarakat dijadikan alas dasar kepemilikan lahan. Peran dalam tahap perencanaan
pengelolaan lahan akan berdiri sampai dengan berproduksi harus mampu melihat
fungsi lahan sebelum beroperasi.
Berikut tanggapan dari pihak PT. SMART terhadap perencaaan pengelolaan
lahan di Desa Padang Halaban, melalui Bapak Syahnal:
Sejak berdirinya PT. Sinar Mas Agro Resourcse and technology dengan Surat Keputusan Kehakiman No. J.A.5/115/3 tanggal 29 Agustus 1963. Sebelum mendapatkan ijin PT. SMART sudah melakukan survey terlebih dahulu ke
97
kabupaten-kabupaten yang berpotensi sebagai penyuplai bahan baku. Sebenarnya PT. SMART tidak melihat adanya konflik pada waktu meminta izin pada kementrian dari hasil rekomendasi dari Bupati Labuhan Batu Utara. Pada prinsipnya semua perizinan dan rekomendasi didukung98.
Rekomendasi dari masyarakat Desa Padang Halaban dalam mempercepat proses penyelesaian konflik meminta supaya pemerintah kabupaten yang berkepentingan memberikan waktu dalam hari kedepan dalam membuat undang-undang perlindungan masyarakat Desa Padang Halaban. Berikut jawaban yang harus dipikirkan bersama-sama untuk masalah batas lahan.
Tinjauan PT. SMART melakukan survey pada tahun 1970an untuk melihat potensi sumber daya alam yang digunakan, pada dasarnya beranggapan tanah di Indonesia khususnya di Sumatera Utara adalah hutan negara atau hutan register. Pada zaman Belanda sudah ada penempatan tanah yang menjadi milik negara dan masyarakat.
Setelah kehadiran PT. SMART di Kabupaten Labuhan Batu Utara banyak bentuk kegiatan yang berujung pada kekerasan dan kriminal yang dilakukan pihak aparat kepada masyarakat Desa Padang Halaban. Perjuangan akan menempuh penyelesaian yang dijalankan lebih banyak menggunakan non-litigasi seperti ajakan bermitra dan pemetaan ulang. Akan tetapi masyarakat dan STPHL melihat perjuangan seperti itu akan menjadikan masyarakat menjadi terpojok. Bukti masyarakat memperjuangkan lahan pertanian mereka dari pembabatan yang
98
dilakukan oleh PT. SMART adalah telah membuat GPS untuk memantau aktifitas kegiatan yang dilakukan perusahaan.
Pihak PT. SMART sebenarnya juga tidak mau melakukan cara-cara pengadilan karena masalah ini seperti halnya akan terjadi karena memandang Sumatera Utara yang luas secara geografis. Cara penyelesaian yang mulai dilakukan dengan melakukan pemetaaan ulang dan bermitra, tetapi dengan
kuatnya masyarakat membuat perusahaan bingung untuk memutuskan dan memenuhi
tuntutan masyarakat. Bersama-sama dengan pemerintah juga telah diwadahi dengan
adanya tim pansus yang harapannya mampu menengahi sebagai mediator dalam
konflik.
Sebagaimana diketahui Undang-undang No.5 Tahun 1960 di dalam pasal 2, mengenai Hak negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah berupa99:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan data yang diketahui peneliti bahwa alternative (non-litigasi)
penyelesaian sengketa di Desa Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten
Labuhan Batu Utara dalam kenyataannya masih eksis dan menjadi kebutuhan yang
99
sangat penting bagi setiap warga masyarakat. Ada berbagai alasan yang mendorong
masyarakat Desa Padang Halaban lebih memilih penyelesaian sengketa tanah ulayat
melalui cara non litigasi/alternaif.
Penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif yang didapat peneliti wawancara
dengan Ketua Kelompok Tani, Bapak Suratmin adalah sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa secara alternative lebih dipilih oleh masyarakat Desa Padang Halaban karena penyelesaian dengan cara ini tidak banyak biayanya. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin mereka menyelesaikan sengketa tanahnya melalui jalur hukum karena biayanya yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan peternak100.
Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara alternatif, karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan mereka dimana setiap terjadi sengketa dalam masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah di antara mereka. Cara seperti ini telah berlangsung secara turun-temurun. Waktu penyelesaian yang relative singkat juga menjadi alasan yang mendorong peneliti ketahui dan terlebih mengetahui alasan masyarakat memilih penyelesaian secara alternatif. Untuk menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya membutuhkan waktu beberapa minggu saja kalau saja ada koordinasi dari PT. SMART pada saat mendirikan lahan konsesi. Berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang menbutuhkan waktu yang relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
100
3.2.4 Situasi Berkembang Kasus Konflik Desa Padang Halaban
Penyelesaian persoalan agraria di Desa Padang Halaban melalui jalur hukum sudah dimulai sejak tahun 2009. Melalui Pengadilan Negeri Rantau Parapat, pihak pengadilan memenangkan PT. SMART atas 3000 Ha tanah sebagai hak guna usaha yang dikuasai oleh PT. SMART. Perjuangan masyarakat Desa Padang Halaban tidak selesai sampai disitu, pihak masyarakat mencoba mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Akan tetapi pihak pengadilan tinggi menolak gugutan dari masyarakat.
Perjuangan masyarakat untuk memenangkan 3000 Ha tanah terus berlanjut, masyarakat Desa Padang Halaban kembali mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Kembali pihak Mahkamah Agung menolak ajuan banding yang dilakukan oleh pihak masyarakat. Melalui putusan di pengadilan, pihak Mahkamah Agung mengeluarkan surat putusan bahwa PT. SMART masih berhak atas tanah 3000 Ha di Desa Padang Halaban.
Satu hal yang menjadi poin terpenting dari putusan ini di Mahkamah Agung, tidak ada putusan eksekusi yang dikeluarkan pihak pengadilan untuk menggusur pihak masyarakat dari tanah yang duduki. Ini yang menjadi pegangan bagi masyarakat untuk tetap bertahan pada tanah yang sudah sejak lama mereka duduki. Tentu saja, bagi PT. SMART ini merupakan hal yang merugikian. Sehingga PT. SMART mencoba mengambil jalur hukum kembali.
atas 83 Ha tanah yang diduduki oleh masyarakat. Perjuangan secara hukum kaum tani Desa Padang Halaban masih terus berlanjut ketika pihak pengadilan negeri memenangkan permohonan pengeluarkan surat keputusan eksekusi. Pihak masyarakat mencoba untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dan sekali lagi gugutan masyaakat di tolak oleh pihak pengadilan dengan mengeluarkan keputusan eksekusi atas 83 Ha tanah yang masih dikuasai oleh pihak masyarakat.
Dengan cost yang terbatas, Masyarakat kembali melakukan perjuanganya dengan kembali mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Pada perkembangan terakhir status persoalan konflik pertanahan di Desa Padang Halaban masih dalam proses di Mahkamah Agung. Pihak Perusahaan mencoba mengajukan mediasi dengan mengajak pihak masyarakat untuk menjadi mitra sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik agaria yang tak kunjung selesai. Sampai hari ini perundingan-perundingan untuk mengambil jalan tengah atas persoalan tanah masih berlanjut. Pihak perusahaan mencoba mengajukan lobi dengan pihak serikat tani di Desa Padang Halaban.
PT. SMART. Karena bagi kaum tani Desa Padang Halaban kedaulatan atas tanah adalah harga mati dan harus terus diperjuangkan.101
3.3. Analisis Teoritis
Persoalan konflik pertanahan di Desa Padang Halaban adalah salah satu dari banyak konflik yang ada di Indonesia secara khusus di Sumatera Utara. Menurut data yang dihimpun dari AGRA Sumatera Utara pada tahun 2016 kaum tani menguasai tanah di Sumatera Utara sebesar 1.132.252,88 Ha sedangkan tanah yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar terdapat 2.126.741,54 Ha tanah. Setidaknya ada 27 konflik agraria di Sumatera Utara yang sampai hari ini masih bergulir.102
Perbedaan jumlah luas lahan antara jutaan kaum tani dan para pemilik perkebunan luas di Sumatera Utara tentu mengakibatkan ketimpangan ekonomi diantaranya berdampak akan terjadinya konflik agaria. Situasi tersebut disebabkan oleh tindasan politik terhadap kaum tani dalam bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai tuan-tuan tanah di Sumatera Utara. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Karl Marx, saat sistem monopoli alat produksi oleh segelintir klas minoritas atas klas mayoritas akan berdampak kepada konflik antara klas bermilik dan klas tidak bermilik. Konflik ini akan terus ada dan sifatnya adalah antagonistik sehingga tidak dapat didamaikan.
101
Didapat dari hasil wawancara dengan Adi Galang selaku Kadep Organisasi terkait situasi terkini. Pada tanggal 16 Oktober 2016.
102
Berkaca dari persoalan konflik Desa Padang Halaban, Pemerintahan Jokowi mencoba untuk memperbaharui dan meregulasi kembali kebijakan sebagai syarat untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi tidak layaknya menghapuskan sistem monopoli tanah yang terus ada di Padang Halaban sebagai akar persoalan konflik agararia. PT. SMART sebagai sebuah perusahaan besar yang menguasi tanah di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah melahirkan konflik-konflik yang berkepanjangan di desa-desa di Indonesia. Bukan hanya di Desa Padang Halaban, salah satunya adalah sebagai perusaahan yang bertanggung jawab atas pembakaran hutan di tahun 2016.
Sehingga implementasi dari program Nawa Cita Jokowi secara khusus di lapangan agraria bukanlah jalan keluar dari penyelesaian konflik antara tuan tanah dengan kaum tani. Ketika tanah sebagai syarat hidup kaum tani Desa Padang Halaban tidak dikuasai oleh kaum tani sendiri tentu saja akan berimbas kepada segala aspek kehidupan lain petani Desa Padang Halaban. Dilain sisi, himpitan ekonomi kehidupan kaum tani Desa Padang Halaban ditengah konflik sebagai akibat dari perampasan tanah yang begitu tinggi juga akan menghambat pembangunan politik dan pembangunan agaria.
memiliki jarak tempuh SD terdekat lebih dari 3 KM. Ditambah akses pendidikan yang masih rendah di Desa Padang Halaban menjadi faktor lain penghambat pembangunan di Desa Padang Halaban.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Implementasi Nawa Cita Jokowi yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan pembangunan agraria adalah kebijakan Permen Agraria dan Tata Ruang No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan ditengah gejolak konflik pertanahan yang terjadi di Desa Padang Halaban antara petani Desa Padang Halaban dengan PT. SMART.
2. Penyelesesaian konflik yang diimplementasikan dalam Permen Agraria dan Tata Ruang No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan di Desa Padang Halaban dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu melalui pengumpulan data dan fakta tentang data hasil putusan peradilan, berita acara dari kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga dilakukakan mediasi antara pihak PT. SMART dengan petani Desa Padang Halaban dan terakhir dilakukan usaha menjalin kemitraan antara PT. SMART dan petani Desa Padang Halaban.
Padang Halaban tidak berhasil menyelesaikan konflik agraria antara PT. SMART dengan petani Desa Padang Halaban.
4. Akar dari tetap eksisnya konflik agraria di Desa Padang Halaban adalah masih tetap dipertahankannya sistem monopoli tanah 3000 Ha oleh PT. SMART. Sehingga jalan keluar dari konflik agraria adalah penghapusan monopoli tanah untuk kepentingan kaum tani.
4.2. Saran
Hasil penelitian yang telah dilakukan memberikan pengetahuan mengenai persoalan kaum tani Desa Padang halaban dalam menyelesaikan persoalan konflik agraria sehingga menurut penulis penting untuk memberikan saran kepada lembaga terkait
2. Untuk pemerintahan (Badan Pertanahan