• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : ANALISIS IMPLEMENTASI PENYELESAIAN KONFLIK

3.3. Analisis Teori

Persoalan konflik pertanahan di Desa Padang Halaban adalah salah satu dari banyak konflik yang ada di Indonesia secara khusus di Sumatera Utara. Menurut data yang dihimpun dari AGRA Sumatera Utara pada tahun 2016 kaum tani menguasai tanah di Sumatera Utara sebesar 1.132.252,88 Ha sedangkan tanah yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar terdapat 2.126.741,54 Ha tanah. Setidaknya ada 27 konflik agraria di Sumatera Utara yang sampai hari ini masih bergulir.102

Perbedaan jumlah luas lahan antara jutaan kaum tani dan para pemilik perkebunan luas di Sumatera Utara tentu mengakibatkan ketimpangan ekonomi diantaranya berdampak akan terjadinya konflik agaria. Situasi tersebut disebabkan oleh tindasan politik terhadap kaum tani dalam bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai tuan-tuan tanah di Sumatera Utara. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Karl Marx, saat sistem monopoli alat produksi oleh segelintir klas minoritas atas klas mayoritas akan berdampak kepada konflik antara klas bermilik dan klas tidak bermilik. Konflik ini akan terus ada dan sifatnya adalah antagonistik sehingga tidak dapat didamaikan.

101

Didapat dari hasil wawancara dengan Adi Galang selaku Kadep Organisasi terkait situasi terkini. Pada tanggal 16 Oktober 2016.

102

Berkaca dari persoalan konflik Desa Padang Halaban, Pemerintahan Jokowi mencoba untuk memperbaharui dan meregulasi kembali kebijakan sebagai syarat untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi tidak layaknya menghapuskan sistem monopoli tanah yang terus ada di Padang Halaban sebagai akar persoalan konflik agararia. PT. SMART sebagai sebuah perusahaan besar yang menguasi tanah di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah melahirkan konflik-konflik yang berkepanjangan di desa-desa di Indonesia. Bukan hanya di Desa Padang Halaban, salah satunya adalah sebagai perusaahan yang bertanggung jawab atas pembakaran hutan di tahun 2016.

Sehingga implementasi dari program Nawa Cita Jokowi secara khusus di lapangan agraria bukanlah jalan keluar dari penyelesaian konflik antara tuan tanah dengan kaum tani. Ketika tanah sebagai syarat hidup kaum tani Desa Padang Halaban tidak dikuasai oleh kaum tani sendiri tentu saja akan berimbas kepada segala aspek kehidupan lain petani Desa Padang Halaban. Dilain sisi, himpitan ekonomi kehidupan kaum tani Desa Padang Halaban ditengah konflik sebagai akibat dari perampasan tanah yang begitu tinggi juga akan menghambat pembangunan politik dan pembangunan agaria.

Pembangunan politik yang seharusnya dibarengi dengan pembangunan agraria sudah selesai pasca proklamasi kemerdekaan, kini masih menjadi persoalan di Desa Padang Halaban. Keadaan konflik telah memperparah rendahnya infratruktur pendidikan dan kebudayaan masyarakat di Desa Padang Halaban yang mayoritas merupakan kaum tani. Keberadaan sekolah yang

memiliki jarak tempuh SD terdekat lebih dari 3 KM. Ditambah akses pendidikan yang masih rendah di Desa Padang Halaban menjadi faktor lain penghambat pembangunan di Desa Padang Halaban.

Disisi lain, persoalan penyelesaian konflik melalui jalur hukum yang dilakukan oleh kaum tani di Desa Padang Halaban telah memakan banyak biaya dan merugikan kaum tani. Tetapi tidak ada hasil yang memuaskan bagi kaum tani. Persoalan yang diawali dengan perjuangan kaum tani Desa Padang Halaban untuk mengambil alih 3000 Ha tanah yang dikuasai oleh PT. SMART sampai pada perjuangan menguasai 83 Ha tanah, tidak memberikan hasil yang menguntungkan kaum tani. Sehingga kesimpulannya bahwa kebijakan Nawa Cita Jokowi tentang penyelesain konflik tidak berhasil menyelesaikan konflik di Desa Padang Halaban. Hingga saat ini kaum tani Desa Padang Halaban masih berjuang untuk merebut tanah dari PT. SMART.

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Implementasi Nawa Cita Jokowi yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan pembangunan agraria adalah kebijakan Permen Agraria dan Tata Ruang No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan ditengah gejolak konflik pertanahan yang terjadi di Desa Padang Halaban antara petani Desa Padang Halaban dengan PT. SMART.

2. Penyelesesaian konflik yang diimplementasikan dalam Permen Agraria dan Tata Ruang No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan di Desa Padang Halaban dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu melalui pengumpulan data dan fakta tentang data hasil putusan peradilan, berita acara dari kepolisian dan kejaksaan, selain itu juga dilakukakan mediasi antara pihak PT. SMART dengan petani Desa Padang Halaban dan terakhir dilakukan usaha menjalin kemitraan antara PT. SMART dan petani Desa Padang Halaban.

3. Kebijakan Permen Agraria dan Tata Ruang No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, dalam penyelesain konflik agaria di Desa

Padang Halaban tidak berhasil menyelesaikan konflik agraria antara PT. SMART dengan petani Desa Padang Halaban.

4. Akar dari tetap eksisnya konflik agraria di Desa Padang Halaban adalah masih tetap dipertahankannya sistem monopoli tanah 3000 Ha oleh PT. SMART. Sehingga jalan keluar dari konflik agraria adalah penghapusan monopoli tanah untuk kepentingan kaum tani.

4.2. Saran

Hasil penelitian yang telah dilakukan memberikan pengetahuan mengenai persoalan kaum tani Desa Padang halaban dalam menyelesaikan persoalan konflik agraria sehingga menurut penulis penting untuk memberikan saran kepada lembaga terkait

1. Untuk kaum tani Desa Padang Halaban: Persatuan kaum tani merupakan satu-satunya cara paling utama ketika ingin meraih kemenangan mendapatkan kedaulatan atas tanah. Gerakan kaum tani di Desa Padang Halaban harus terus diperkuat. Sebab perjuangan utama dari persoalan perampasan tanah di Desa Padang Halaban adalah perkuat basis persatuan antara kaum tani dan golongan masyarakat lainnya. Tempah persatuan kaum tani Desa Padang Halaban dengan pemperkuat edukasi, konsolidasi, sistem kaderisasi untuk meningkatkan pemahaman revolusioner dan semangat persatuan menuju kemenangan.

2. Untuk pemerintahan (Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Pemerintahan Daerah, dan Lembaga terkait): Persoalan agraria di Desa Padang Halaban adalah persoalan yang didasari oleh sistem monopoli tanah yang dilakukan oleh perusahaan swasta, negara, dan asing. Penyelesaian konflik yang diupayakan melalui jalur hukum bukanlah jalan satu-satunya selama kaum tani masih dihadapkan kepada sistem perampasan tanah culas yang dilakukan oleh pemerintahan. Tidak akan penyelesaian konflik tanpa adanya reforma agraria sejati.

3. Untuk PT. SMART: Perusahaan perkebunan PT. SMART adalah perusahaan yang diberikan Hak Guna Usaha (HGU) oleh negara yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kehidupan kaum tani di Desa Padang Halaban. Persoalan konflik antara PT. SMART dengan petani Desa Padang Halaban adalah bentuk buruknya kualitas hidup masyarakat Desa Padang Halaban akibat tidak berdaulatnya kaum tani atas tanah di Desa Padang Halaban. PT. SMART diharapkan untuk menjalin komunikasi dengan kaum tani untuk tujuan pendistribusian tanah yang memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di Desa Padang Halaban.

BAB II

PROFIL DESA PADANG HALABAN DAN TINJAUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBANGUNAN AGRARIA

Dalam bab ini, peneliti akan menyajikan beberapa data dan informasi yang berkenaan dengan keadaan desa serta kebijakan pemerintah dalam hal pembangunan agraria. Adapun sumber data dan informasi yang diakses peneliti ialah bersumber dari arsip kantor Desa Padang Halaban, Sekretariat Serikat Tani Padang Halaban (STPHL), serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data dan informasi tersebut, selanjutnya akan disajikan secara bertahap dalam sub pembahasan yang terbagi secara umum dari 4 sub pembahasan yaitu antara lain profil Desa Padang Halaban, profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL), tinjauan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria, serta tinjauan konflik tanah di Desa Padang Halaban.

Terkait uraian profil Desa Padang Halaban sendiri, dalam bab ini akan diuraikan berkaitan dengan kondisi geografis desa, sejarah desa, keadaan ekonomi, serta keadaan sosial masyarakat desa. Sementara untuk tinjauan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan agraria mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Terakhir uraian tentang tinjauan konflik tanah di Desa Padang Halaban, akan disajikan secara deskriptif historis dari perjalanan konflik tanah terjadi antara masyarakat dibawah naungan Serikat Tani Padang Halaban dengan PT. SMART di Desa Padang Halaban.

2.1. Profil Desa Padang Halaban 2.1.1. Keadaan Geografis Desa

Desa Padang Halaban berada di kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Secara geografis, Kabupaten Labuhan Batu Utara terletak diantara 99.25.000- 100.05.000 Bujur Timur dan 01058’ – 02050’ Lintang Utara dengan ketinggian 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 354.580 Ha dengan batas-batas sebagai berikut44 :

ƒ Sebelah Utara dengan Kabupaten Asahan dan Selat Malaka.

ƒ Sebelah Selatan dengan Kabupaten Labuhan batu dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

ƒ Sebelah Barat dengan Kabupaten Tapanuli Utara; dan Kabupaten Toba Samosir.

ƒ Sebelah Timur dengan Kabupaten Labuhan batu.

Adapun peta kecamatan Aek Kuo, dimana desa Padang Halaban terletak didalamnya, dapat dilihat dibawah ini :

44

Diakses dari http://mantumbahgoogle.blogspot.co.id/2013/10/peta-kabupaten-labuhanbatu- utara.html. pada tanggal 25 agustus 2016. Pukul. 19.30.WIB

Gambar 2.1 Peta Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhan Batu Utara

Sumber : Peta Online Pemkab Labuhan Batu Utara

Kabupaten Labuhan batu Utara adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhan batu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008 pada 24 Juni 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhan batu Utara, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ibu kota kabupaten ini terletak di Aek Kanopan. Kabupaten Labuhan batu Utara terbagi ke dalam 8 wilayah kecamatan dan 90 desa/kelurahan. Delapan kecamatan tersebut antara lain :

1. Kecamatan NA IX-X 2. Kecamatan Merbau 3. Kecamatan Aek Kuo 4. Kecamatan Aek Natas 5. Kecamatan Kualuh Selatan 6. Kecamatan Kualuh Hulu 7. Kecamatan Kualuh Hilir 8. Kecamatan Kualuh Leidong

2.1.2. Kecamatan Aek Kuo

Khusus untuk kecamatan Aek Kuo mempunyai luas 25.020 ha, dengan ibu kota kecamatan Aek Korsik. Desa Padang Halaban menjadi lokasi penelitian merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Aek Kuo. Jarak dari ibu kota kecamatan ke lokasi penelitian sekitar 1.50 km. Jarak dari desa ke ibu kota kabupaten sekitar 20 km, serta jarak ke Medan sebagai ibu kota provinsi adalah 187 km dan jarak ini bisa ditempuh dengan angkutan umum roda empat sekitar 7- 8 jam perjalanan. Untuk mencapai kecamatan Aek Kuo dari ibu kota kabupaten bisa ditempuh sekitar 1-2 jam. Dari Aek Kanopan dengan menggunakan angkutan kota dan angkutan antar kota antar provinsi dengan ongkos Rp. 15.000,-. Sementara dari ibu kota provinsi medan, ditempuh dengan angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP) melalui jalur jalan lintas timur sumatera menuju kampung pajak, simpang panigoran dengan ongkos Rp.50.000,-. selain itu, untuk menuju lokasi ini, dapat juga ditempuh dengan kereta api tujuan Medan - Rantau Parapat dengan ongkos Rp. 100.000,- dan turun di Stasiun Kereta Api Padang Halaban. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Desa Padang Halaban. Perjalanan ke lokasi penelitian menggunakan kendaraan dua atau roda empat. Sebagian besar masyarakat menggunakan roda dua, dikarenakan tidak adanya angkutan umum menuju lokasi ini. Secara administrative, Desa Padang Halaban, mempunyai batas batas wilayah sebagai berikut45 :

45

Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015. Rencana Kegiatan Pembangunan Desa Padang Halaban Tahun Anggaran 2015-2019. Hal 11

ƒ Sebelah utara berbatasan dengan dusun Perlabean-Desa Aek Korsik, Desa Bandar Selamet dan Desa Purworejo Kecamatan Aek Kuo

ƒ Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Padang Maninjau Kecamatan Aek Kuo dan Desa Pulo Jantan Kecamatan Na IX-X

ƒ Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simpang Empat, Desa Lobu Rampah Kecamatan Marbau

ƒ Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun Parit Minyak Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuo, Desa Aek Hitetoras dan Desa Bulungihit Kecamatan Marbau.

Desa Padang Halaban termasuk dataran rendah dengan sedikit bukit-bukit kecil serta rawa-rawa. Daerah yang berada di antara dataran tinggi sebelah barat dan dataran rendah di sebelah Timur provinsi Sumatera Utara. Berada di antara kabupaten Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Induk, namun lokasinya lebih dekat jika ke Labuhan Batu Induk atau ke Kota Rantau Prapat. Sekitar 7 Km ke sebelah barat dari perkebunan Padang Halaban terdapat jalan besar lintas timur Sumatera. Sementara itu ditengah-tengah perkebunan terdapat stasiun kereta api padang halaban yang akan menuju ke Medan atau Rantau Prapat.

2.1.2. Sejarah Desa

2.1.2.1. Periode Pasca Kedudukan Kolonial Belanda

Tahun 1911, pohon kelapa sawit diperkenalkan di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Tanah Itam Hulu dan Pulau Raja adalah lokasi pertama kali perkebunan kelapa sawit dibuka oleh perusahaan Oliepalmen Cultuur

dan Huileries de Sumatera. Perkebunan kelapa sawit semakin diperluas oleh perusahaan perkebunan sawit lainnya : Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Mapoli Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Medang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huileries de Deli46.

Hingga tahun 1915 luas perkebunan sawit sudah mencapai 2.715 Ha; ditandai sebagai babak baru perkebunan sekala luas. Salah satu perusahaan perkebunan yang berdiri pada waktu itu adalah Perkebunan Padang Halaban Plantagen AG Zurich. Dalam berproduksi perkebunan memperkerjakan buruh- buruh yang di datangkan dari pulau jawa dengan menggunakan program transmigrasi Kolonial Belanda, sebagaimana di jelaskan dalam keputusan politik Etis Belanda. Orang orang Jawa yang didatangkan berasal dari beberapa daerah dari Jawa Tengah, diantaranya : Kebumen, Banyumas, Banjarnegara, dan Klaten.

Kedatangan orang orang Jawa ke tanah Deli akibat propaganda Belanda tentang kehidupan lebih baik di pulau emas. Dengan menggunakan kapal laut melalui laut Jawa menuju selat Malaka, masyarakat diturunkan di beberapa pelabuhan di Sumatera Timur ketika itu. Dari pelabuhan, para pendatang baru jawa ini di distribusikan ke beberapa perkebunan dengan alat transportasi berupa trem dan mobil yang disediakan oleh kolonial Belanda. Di perkebunan- perkebunan tersebut orang-orang Jawa ditampung dalam satu kamp penampungan

46

yang segera setelah itu dikomandoi oleh mandor kebun untuk bekerja di setiap afdeling47.

2.1.2.2. Periode Tahun 1942-1945

Pendudukan Indonesia oleh Jepang, kondisi rakyat pada waktu itu kekurangan kebutuhan pangan, demikian juga yang terjadi dengan buruh-buruh perkebunan. Sekitar 1.000 Ha tanah dikelola oleh Jepang untuk menanam tanaman pangan. Masyarakat yang mendiami Desa Padang Halaban dimobilisasi untuk menjadi buruh perkebunan tanaman pangan ini. Masyarakat tunduk pada aturan main tentara jepang yang kejam dan tidak manusiawi, seperti memperkerjakan masyarakat tanpa jaminan kehidupan yang layak48.

Pada pemerintahan Jepang masyarakat dikonsentrasikan dalam satu barak penampungan yang dihuni oleh puluhan bahkan ratusan kepala keluarga. Masyarakat harus menjalankan kerja wajib untuk melakukan replanting tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan dengan waktu dan beban kerja yang tidak menentu. Diantara para pemuda diwajibkan untuk terlibat dalam tentara bentukan Jepang, seperti PETA (Pembela Tanah air) dan HEIHO. Sedangkan perempuan dipaksa untuk menjadi budak seks orang-orang Jepang di perkebunan, yang dikenal dengan Jugun Ian Fu49.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat tentara Jepang keluar dari perkebunan. Bekas tanah peninggalan Jepang kemudian diduduki oleh rakyat

47 Ibid. Hal 4. 48 Ibid. Hal 6 49 Ibid.

untuk kebutuhan pangan dan membantu laskar-laskar rakyat. Sementara tanaman komoditas seperti karet dan sawit yang ditinggalkan dikelola dan dipanen oleh sebagian masyarakat desa Rembu Rempah. Seperti di wilayah Afdeling karet PT Plantagen AG Zurich di kelola oleh masyarakat dan dipanen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2.1.2.3. Periode Tahun 1945-1954

Tanah yang diduduki oleh masyarakat sebanyak 20% saja yang dimanfaatkan untuk perkampungan dan ladang pangan, sisanya menjadi semak belukar. Diatas tanah tersebut dibangun beberapa desa, diantaranya desa : Sidodadi, Karang Anyar, Purworejo, Sidomulyo, Kertosentono, dan Blungit. Terdapat beberapa perkampungan di areal perkebunan, diantaranya : Pondok Roni, Pondok Lawas, dan Sidomukti. Beberapa tahun menduduki tanah, dikeluarkan Kartu Tanda Pendaftaran Pemakaian Tanah (KTTPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) Wilayah Sumatera Timur berdasarkan UU Darurat No 08 Tahun 1954 jo UU Darurat No 01 Tahun 1956 mengenai penyelesaian pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat50.

Menurut data yang dihimpun oleh perkebunan ketika itu di tahun 1967- 1968 masyarakat yang mendapatkan KRPT sebanyak 403 orang yang terdiri dari : desa Sidodadi (92 orang), desa Karang Anyar (80 orang), desa Sidomulyo (139 orang), desa Kertosentono (12 orang), dan desa Blungit (6 orang). Terjadi

50

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark. Beberapa tahun setelah perundingan tersebut, pengusaha Belanda yang meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945, kembali masuk ke areal perkebunan. Kedatangan mereka bermaksud untuk merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan usaha dari pemilik perusahaan menanyakan kepada penduduk di Panigoran, Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat51.

2.1.2.4. Periode Tahun 1954-1965

Di areal Perkebunan Padang Halaban tidak hanya berdiri PT. Plantagen AG, tapi juga beroprasi NV. Sumcama dan PT. Sarikat Putra. Perusahaan perusahaan perkebunan ini beroprasi dengan memperkerjakan buruh yang berasal dari penduduk sekitar. Kondisi ekonomi, hidup masyarakat di perkebunan Padang Halaban sangat bergantung dengan kegiatan produksi mengelolah tanah. Setelah pengusiran Jepang dari tanah Indonesia dan ditandainya kemerdekaan Indonesia, masyarakat mulai bisa mengusahai tanah bekas perkebunan asing secara bebas. Tanah-tanah negara bebas mulai dikerjakan oleh masyarakat secara berkelompok untuk membuka lahan-lahan baru dan dibagi secara merata melalui kegiatan pemancengan. Rata-rata kesanggupan masyarakat ketika itu untuk mengerjakan

51

lahan seluas 2 Ha. Masyarakat bergantung pada kegiatan bertani, mengolah tanah untuk kebutuhan tanaman pangan berkelanjutan. Untuk mengolah tanah masyarakat bergantung pada perubahan cuaca dalam perkembangan bulan. Jika musim penghujan, tanah di kelola untuk tanaman padi. Ketika musim kemarau tanah digunakan untuk menanam jagung. Dari dua tanaman ini masyarakat di kawasan perkebunan padang halaban memenuhi kebutuhan pangan harian52.

Masyarakat di kawasan Padang Halaban tidak asing dengan nama-nama organisasi massa maupun partai yang ada. Karena bagi mereka organisasi maupun partai tersebut wadah untuk bersosialisasi dan membangun persaudaraan diantara sesama. Sebelum 1965, setiap orang yang tinggal di areal perkebunan memiliki organisasinya sendiri-sendiri. Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa Jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logitik laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”.

52

Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Desa Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 196053.

53

Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Desa Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.

2.1.3 Keadaan Demografi 2.1.3.1 Jumlah Penduduk Desa

Penduduk Desa Padang Halaban berjumlah ± 1800 jiwa, terdiri dari 890 laki-laki dan 910 perempuan. Jumlah kepala keluarga di Padang Halaban adalah

Dokumen terkait