BAB II : PROFIL DESA PADANG HALABAN DAN TINJAUAN
2.1.4. Tinjauan Konflik Tanah Di Desa Padang Halaban
2.1.4.4. Masa Orde Baru Hingga Sekarang
Tindakan sewenang-wenang perampasan tanah oleh pemerintah dan perkebunan menjadi pemantik bagi bangkitnya perjuangan rakyat. Usaha perjuangan dimulai sejak tahun 1970 dengan mengajukan desakan kepada pihak perkebunan untuk mengembalikan tanah rakyat. namun desakan tersebut tidak mendapatkan tanggapan dan justru mendapatkan ancaman dari pihak perkebunan. Kembali perjuangan dilakukan pada tahun 1975 dipimpin oleh tiga orang, diantara bapak Simajuntak, bapak Sasi dan Bapak Jono dengan mengajukan dialog, tapi
63
usaha tersebut sia-sia karena pihak perusahaan tidak menanggapi. Ketidak pastian atas hidup rakyat pasca terjadi penggusuran dan perampasan tanah terus berlangsung menyebabkan rakyat kehilangan semangatnya lagi untuk berjuang. Disamping itu seiring derasnya tekanan dari pemerintah reaksioner Soeharto dan juga semakin senjanya usia para pejuang-pejuang yang hebat ini.
Pada tahun 1998 ketika pecah gerakan reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa beserta gerakan buruh diberbagai kota memicu bangkitnya perlawanan di pedesaan. Tumbangnya Soeharto menjadi momentum mengambil kembali hak rakyat yang telah dirampas selama 32 tahun tanpa prikemanusiaan. Kala itu jutaan massa tumpah ruah di jalan-jalan ibu kota dan kota-kota provinsi sampai kabupaten diikuti aktivitas reclaiming tanah di desa-desa. Disinilah kekuatan massa menjadi guru utama dalam menyelesaikan persoalan rakyat dan telah menunjukkan bukti kedahsyatannya.
Ketika reformasi 1998 terjadi, di perkebunan Padang Halaban perjuangan dimulai kembali, kali ini perjuangan dipimpin oleh bapak Samiran, dan bapak Sumardi Syam. Usaha perjuangan dilakukan dengan menyelenggarakan aksi-aksi politik dibantu oleh AGRESU dan GERAG serta pelindung hukum oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumut. Setelah beberapa kali melakukan aksi ke kantor-kantor pemerintahan baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, pada tahun 1999 Gubernur terpilih Sumatera
Utara , bapak Tengku Rizal Nurdin mengeluarkan surat keputusan untuk bagi hasil antara petani dan perkebunan64.
Harapan di pelupuk mata sirna dengan janji yang tak kunjung ditepati. Putusan tersebut tidak memiliki sama sekali kekuatan untuk memberikan hak kaum tani Padang Halaban sekitarnya, justru malah tidak pernah diungkap kembali oleh Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Harapan yang sempat mengemuka di tengah-tengah rakyat telah di ingkari oleh arogansi Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Seiring akan hal itu kepercayaan rakyat semakin sirna kepada pemerintah. Sampai pada akhirnya dengan teguh dan kembali merapatkan barisan rakyat KTPHS kembali berjuang.
Tanah 3000 Ha adalah tanah rakyat, karena sejak awal tanah ini dibuka, dibabat dan dibangun oleh rakyat. Keberadaan perusahaan-perusahaan yang silih berganti sejak masa penjajahan Belanda – Jepang sampai perkebunaan swasta berdiri diatas perampasan dan penghisapan terhadap buruh dan kaum tani. Melalui berbagai kebijakan, dari Agrarische Wet sampai ke UU Penanaman Modal rakyat dibuat seolah-olah tidak punya hak atas tanah yang telah lama ditinggali dan di usahai. Sampai-sampai perusahaan menjadi penentu atas nasib buruh dan kaum tani.
Upaya perjuangan dilakukan kembali dengan menyatukan warga yang sempat tercerai berai. Satu demi satu warga mengikatkan diri dalam persatuan
64
perjuangan, dan secara bertahap membangun kelompok-kelompok kerja tiap desa disekitar perkebunan Padang Halaban. Terbangun kemudian kelompok kerja atau disingkat dengan Pokja di 10 desa, diantaranya Pokja Panigoran, Pokja Sidomulyo, Pokja Karanganyar, Pokja Pulojanten, Pokja Grojokan, Pokja Kampung Selamet, Pokja Purworejo, Pokja Aek Korsik, Pokja Kartosentono, dan Pokja Kampung Lalang. Setelah terkumpul barulah diperoleh jumlah anggota sebanyak 2040 KK atau sekitar 8160 jiwa dengan asumsi tiap KK sebanyak 4 orang anggota keluarga. Selain itu membentuk persatuan Pokja-Pokja menjadi Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) yang kemudian berubah nama menjadi STPHL-AGRA dengan membentuk struktur yang terdiri dari Ketua, Sekerteris Umum, sampai Pokja-Pokja65.
Tindakan demikian memberi bentuk baru perjuangan dengan ikatan keanggotaan yang tersusun dengan rapi. Mulailah perjuangan dilakukan kembali, dengan tahapan pertama melakukan pendudukan lahan HGU PT.Smart di areal seluas 82 Ha. Pada tahun 2008 kurang lebih sebanyak 700 orang terlibat dalam aksi pendudukan. Awal-awal pendudukan sempat terjadi pengusiran oleh aparat keamanan kebun dan pihak kepolisian, namun masyarakat tidak bergeming dan tetap menduduki lahan. Dengan membentuk gubuk-gubuk darurat tempat berteduh sekaligus menjadi pos perjuangan. Kegiatan pendudukan lahan terjadi kurang lebih selama satu bulan dengan pengawalan ketat pihak keamanan. Dampaknya pihak perkebunan bekerjasama dengan pihak keamanan melakukan proses pidana
65
kepada ketua dan Sekretaris umum dengan alasan menyerobot lahan perkebunan tanpa izin sesuai dengan putusan UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 pasal 21 dan 47.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada kaum tani melakukan menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata kepada pihak perkebunan PT.Smart sebagai upaya untuk mempertahankan diri karena ancaman hukuman dari pihak perkebunan dan juga intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan kebun yang di dukung oleh pihak kepolisian. Akhirnya tuntutan pidana kepada ketua umum dan sekretaris ditangguhkan oleh pihak kepolisian.
Apalagi setelah mengikuti beberapa sidang perdata di tingkatan Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Pengadilan Tinggi Medan dikalahkan oleh pihak perusahaan, dan memutuskan pihak perkebunan adalah pemilik sah lahan. Walaupun demikian tetap saja rakyat memasukkan banding ke Mahkamah Agung karena tidak ada pilihan lain. Ibarat sebuah Kapal terbawa arus dan sedikit penumpang yang masih bertahan untuk mengayuh perjuangan agar tidak tenggelam. Seiring proses hukum yang ada rakyat masih saja melakukan pendudukan lahan dan bertahan sampai detik ini.
2.1.5. Profil Serikat Tani Padang Halaban (STPHL) – Aliansi Gerakan