• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyelenggaraan Program Transmigrasi di Indonesia dan Permasalahannya

Wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu besar, penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang antara daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kerawanan sosial ataupun kerusakan lingkungan. Adanya penyebaran penduduk yang belum serasi dan belum seimbang tersebut menyebabkan pembangunan wilayah yang tidak merata, sehingga ada kecenderungan wilayah yang telah berkembang menjadi makin berkembang dan sebaliknya wilayah yang tertinggal menjadi semakin tertingal. Daerah atau wilayah yang tertinggal dengan penduduk terpencar-pencar dalam kelompok kecil sulit berkembang. Untuk itu perlu diatur melalui penyelenggaraan transmigrasi (Undang-Undang No. 15, 1997).

Program Transmigrasi telah dilaksanakan sejak zaman kolonial Belanda dengan apa yang disebut sebagai kolonisasi dari penduduk yang dipindahkan dari Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung pada tahun 1905 (Ramadhan et al., 1993). Dipilihnya Gedong Tataan, antara lain karena letaknya dekat dengan jalan raya dan tidak jauh dari pelabuhan, tanahnya datar, mempunyai banyak sumber air, cukup baik untuk pembukaan sawah-sawah baru. Istilah kolonisasi ini pada era setelah kemerdekaan diganti menjadi transmigrasi (Utomo, 2005). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1997, transmigrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk secara sukarela dan berencana untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi.

Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan transmigrasi adalah kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai wilayah untuk pengembangan permukiman transmigrasi (WPT). Permukiman transmigrasi adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran.

(2)

Yang dimaksud dengan WPT seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 15 tahun 1997 adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Lokasi Permukiman Transmigrasi adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Seperti halnya kawasan pedesaaan, kawasan transmigrasi mempunyai kegiatan utama pertanian. Yulia (2005) menyatakan bahwa kawasan transmigrasi adalah kawasan budidaya intensif untuk menampung perpindahan penduduk secara menetap dalam jumlah besar dengan susunan fungsi-fungsi sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi.

Penduduk yang dapat menjadi atau mendapat kesempatan ikut serta dalam program transmigrasi, adalah:

a. Penduduk bermasalah, yang memiliki tekad dan semangat untuk melakukan peningkatan kesejahteraannya, tetapi mengalami keterbatasan dalam mendapatkan peluang kerja dan usaha.

b. Penduduk yang relatif berpotensi dan telah mendapatkan kesempatan kerja dan usaha, tetapi lebih ingin meningkatkan kesejahteraannya.

c. Penduduk yang telah mampu mengembangkan diri, tetapi ingin lebih meningkatkan mutu kehidupannya lebih baik lagi.

Sebagai salah satu program pembangunan, program transmigrasi sampai dengan tahun 2005 telah membangun 2.744 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT). Sebagian dari UPT-UPT tersebut telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan, berupa 235 kecamatan dan 66 kabupaten yang terus tumbuh dan berkembang dengan berbagai infrastruktur dan dinamikanya masing-masing (Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian, 2004). Namun demikian, tidak semua desa-desa eks UPT tersebut berkembang sesuai dengan yang diharapkan dan sebagian diantaranya tidak tumbuh dan berkembang dengan baik bahkan banyak yang telah menurun.

(3)

Penurunan kondisi ini disebabkan antara lain karena ketidaksiapan Pemerintah Daerah untuk memelihara dan melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada akhirnya desa-desa eks UPT yang demikian belum memberikan kontribusi yang nyata dalam peningkatan pembangunan di daerah. Karena itu saat ini diperlukan adanya revitalisasi pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kawasan transmigrasi agar kawasan transmigrasi berkembang dan selanjutnya terbentuk pusat pertumbuhan (Deputi Bidang Kawasan Transmigrasi, 2000).

Kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi diharapkan terus meningkat sehingga mampu menumbuh-kembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara mandiri dan terpadu dengan rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menjadi Kota Terpadu Mandiri (Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, 2006). Kota Terpadu Mandiri dirancang dengan pendekatan WPT/LPT pada kawasan yang sudah terdapat pembangunan transmigrasi atau kawasan potensial yang belum ada pembangunan transmigrasi.

Kota Terpadu Mandiri (KTM) adalah kawasan transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2006). Tujuan pembangunan KTM adalah :

a. Menciptakan sentra-sentra agribisnis dan agroindustri yang mampu menarik investasi swasta untuk menumbuh-kembangkan kegiatan ekonomi transmigran dan penduduk sekitar, serta membuka peluang usaha dan kesempatan kerja.

b. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran dan penduduk sekitar.

c. Meningkatkan kemudahan transmigran dan penduduk sekitar untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

Sasaran pembangunan KTM adalah (a) peningkatan investasi budidaya dan industri pertanian, jasa dan perdagangan, (b) peningkatan produktivitas transmigran dan penduduk sekitarnya, (c) peningkatan pendapatan asli daerah,

(4)

(d) peningkatan efektivitas pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan. (e) perluasan kesempatan kerja, dan (f) peningkatan jaringan infrastruktur.

Untuk mewujudkan KTM ini perlu dukungan kegiatan usaha transmigran yang berada di belakangnya. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan KTM perlu melakukan pembangunan WPT yang dapat mendorong tumbuhnya suatu kota. Konsep pengembangan WPT menyebutkan bahwa WPT akan terdiri atas sejumlah Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan setiap SKP akan terdiri dari beberapa UPT atau desa di mana masing-masing hirarki permukiman memiliki pusat, Desa Utama untuk setiap SKP dan Pusat Desa untuk setiap UPT atau desa. Dengan demikian KTM akan membawahi Desa-Desa Utama dan Desa Utama akan membawahi Pusat-Pusat Desa di mana antar Pusat Desa dengan Desa Utama dan antar Desa Utama dengan KTM akan terhubungkan dengan jaringan transportasi baik darat ataupun air/sungai.

2.2. Pola Usaha Pokok Dalam Pembangunan Transmigrasi

Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian dan mewujudkan integrasi permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (Undang-Undang No. 15, 1997). Untuk memenuhi hal tersebut maka dikembangkan tiga jenis transmigrasi, yaitu:

a. Transmigrasi umum, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah.

b. Transmigrasi swakarsa berbantuan, yaitu jenis transmigrasi yang dirancang oleh pemerintah bekerjasama dengan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran.

c. Transmigrasi swakarsa mandiri, yaitu jenis transmigrasi yang sepenuhnya merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan baik melalui kerjasama dengan badan usaha maupun sepenuhnya dikembangkan transmigran atas arahan pemerintah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi No. 124 tahun 1990 ditetapkan pola permukiman dan pengembangan usaha pokok transmigrasi yang meliputi: (a) Pola Tanaman Pangan, (b) Pola Tanaman Perkebunan, (c) Pola

(5)

Perikanan, (d) Pola Budidaya Hutan/Hutan Tanaman Industri, dan (e) Pola Jasa/Industri. Dalam pelaksanaannya, pola permukiman dan pengembangan usaha transmigrasi ini diarahkan dengan mekanisme transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Pangan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usahatani tanaman pangan dengan tipe lahan berupa lahan kering dan lahan basah. Tanaman pangan yang dikembangkan meliputi tanaman padi-padian, palawija dan hortikultura.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Tanaman Perkebunan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari usaha tanaman perkebunan. Dalam pelaksanaannya dikenal adanya Perusahaan Inti dan dan Plasma (transmigran).

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Perikanan dalam pelaksanaannya terbagi atas pola usaha tani nelayan dan tambak. Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok tani nelayan adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari menangkap dan atau mengumpulkan ikan. Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok tani tambak adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha dan memperoleh pendapatan dari budidaya tambak.

Permukiman transmigrasi dengan usaha pokok Budidaya Hutan/Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah permukiman transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar pendapatan transmigrannya bersumber dari budidaya hutan tanaman. Pengelolaannya berdasarkan atas asas kelestarian, asas manfaat, dan asas perusahaan.

Permukiman transmigrasi pola Jasa adalah penyelenggaraan transmigrasi yang sejak awal dirancang untuk sebagian besar transmigrannya berusaha pada dan memperoleh pendapatan dari usaha jasa yang diberikan. Sedangkan pola permukiman transmigrasi di daerah industri adalah permukiman transmigrasi yang

(6)

sejak awal dirancang untuk transmigran guna melakukan usaha industri dan atau usaha pokok tertentu secara berkesinambungan di zona industri.

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional (Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang). Klasifikasi konsep wilayah seperti dinyatakan oleh Rustiadi et al. (2005) terdiri dari wilayah homogen, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah fungsional diklasifikasikan demikian karena menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan.

Dalam konsep wilayah fungsional dikenal adanya wilayah nodal yang didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/ permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.

Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan untuk membuka isolasi wilayah, menambah tenaga kerja (petani), mendukung ketahanan pangan, pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang Undang no 15 tahun 1997 wilayah pengembangan transmigrasi adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

(7)

Menurut Dewi (2003) adanya pergeseran orientasi pembangunan transmigrasi ke arah pengembangan wilayah menyebabkan permukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuhkembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan transmigrasi harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian.

Kebijakan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah (a) mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi pertumbuhan UPT/desa setempat sebagai bagian dari kawasan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi pengembangan manajemen di tingkat kawasan, pengembangan prasarana, sarana dan berbagai fasilitas di kawasan untuk pengembangan berbagai kegiatan usaha dari hulu sampai hilir, (b) keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya (Yulia, 2005).

Sebagai wilayah baru yang baru dibuka aktifitas ekonomi penduduknya terutama berkaitan dengan pertanian baik itu tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Perencanaan penggunaan lahan mencakup dua dimensi, yaitu dimensi konservasi ekologi dan ekonomi yang sering saling berkontradiksi (Lier, 1998). Berkaitan dengan adanya konflik antara dua dimensi tersebut maka para perencana memberikan arahan bahwa tindakan konservasi ekologi dalam keberlanjutan pembangunan harus terintegrasi dalam bentuk kebijakan, program aksi, pembiayaan beserta segala aktifitas yang menyertainya baik untuk perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.

Menurut Murdoch (2000) dalam pembangunan masyarakat desa selain mempunyai keterkaitan vertikal juga mempunyai keterkaitan horisontal, yaitu dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat secara ekonomi pedesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam ekonomi nasional maupun internasional melalui peningkatan infrastruktur dan penurunan tarif sehingga aktifitas ekonomi di daerah pedesaan menjadi lebih dinamis. Dalam hal ini format pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor non pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.

(8)

Inovasi dan proses pembelajaran di daerah pedesaan dapat dinyatakan sebagai berikut:

a. Adanya kandungan lokal/alami yang tinggi dalam frekuensi keterkaitan di pedesaan, misalnya petani yang menghasilkan suatu komoditas kemudian di proses di daerah pedesaan itu juga menjadi berbagai komoditas. Hal ini dilakukan juga dalam bentuk pewilayahan komoditas, misalnya daging unggas di distrik A dan daging sapi di distrik B.

b. Keterkaitan pedesaan yang ada kepada keterkaitan pertanian yang lebih mapan dengan adanya organisasi serupa koperasi dengan kepercayaan/trust diantara para anggota kelompok.

c. Keterkaitan di pedesaan karena adanya kepadatan penduduk yang rendah menyebabkan memelihara hubungan diantara mereka agar tetap utuh.

Strategi lain dalam pengembangan wilayah baru adalah melalui demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Dalam demand side strategy tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang dipindahkan ke wilayah baru. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah.

Program transmigrasi merupakan kasus yang sangat menarik dari demand side strategy (Rustiadi et al., 2005). Pada tahap pertama penduduk masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Tahap kedua dengan adanya penyuluhan, masuk dalam stadia subsisten biasanya lahan pekarangan dan lahan usaha sudah diusahakan. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan akan masuk ke dalam stadia marketable surplus.

Hal ini mengisyaratkan perlunya industri pengolahan, karena itu diharapkan telah masuk ke dalam stadia industri pertanian dalam skala kecil. Dengan adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk menjual hasil pertanian. Karena itu income akan meningkat dan untuk meningkatkan konsumsi non pertanian.

(9)

Selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil. Hal tersebut akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan permintaan barang mewah. Terakhir masuk dalam kelas stadia industri umum. Oleh karena itu daerah transmigrasi tidak hanya tergantung sektor pertanian saja.

Kerugian dalam sistem ini adalah membutuhkan waktu yang lama karena setiap stadia berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara berpikir. Sedangkan keuntungannya adalah bahwa pada umumnya strategi ini sangat stabil, tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.

Menurut Anwar (2005) menyatakan bahwa strategi pengembangan wilayah ini juga harus didasarkan atas prinsip keterkaitan antar wilayah-wilayah yang dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi) yang disertai pengembangan institusional yaitu disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah.

Priyono (2004) menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi merupakan usaha menumbuh-kembangkan wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program transmigrasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah transmigrasi ini hanyalah model pengelolaan atau pengembangan usaha ekonomi atas komoditi unggulan suatu kawasan/wilayah tertentu sebagaimana istilah kawasan agropolitan, kawasan andalan, kawasan pariwisata dan lainnya. Untuk mengembangkan komoditas sesuai dengan pola usahanya, kepada peserta transmigrasi dibagikan lahan usaha. Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi no. 124 tahun 1990 untuk transmigrasi pola usaha tanaman pangan lahan kering dibagikan berupa lahan seluas 2,00 ha yang terdiri dari LP (0,25 ha), LU I (0,75 ha) dan LU II (1,0 ha) .

(10)

Menurut Sitorus et al. (2000b) pengusahaan lahan di lokasi transmigrasi dapat dinyatakan sudah optimal bila seluruh lahan yang dibagikan yaitu LP (0,5 ha), LU I (0,5 ha) dan LU II (1 ha) sudah diusahakan oleh transmigran untuk budidaya pertanian yang hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja produktif dengan pekerjaan sebelumnya sebagai petani atau PNS/Pensiunan serta dengan memperbanyak sarana-sarana penunjang pertanian diantaranya hand sprayer.

Sebagian besar transmigran umum dengan pola usaha pokok tanaman pangan lahan kering belum mampu membuka LU II secara swadaya sampai tahun ke 4 atau ke 5. Berdasarkan data UPT tahun 1998/1999 luas LU II yang diusahakan per kepala keluarga (KK) UPT rata-rata provinsi adalah sebesar 0,31 ha/KK (Sitorus et al., 2000b).

Menurut Sitorus dan Susetio (2000) selain ketersediaan tenaga kerja yang kurang, belum diusahakannya LU II disebabkan karena keterbatasan modal dan sulitnya lahan untuk diolah. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut diperlukan pengadaan peralatan pengolahan tanah seperti traktor tangan dan mesin. Selain itu bantuan ternak seperti kerbau dan sapi dapat membantu kekurangan tenaga kerja sekaligus dapat menyuburkan tanah dan meningkatkan pendapatan transmigran.

Menurut Sitorus dan Pribadi (2000) luas lahan tidur sangat beragam di tiap UPT, ini menunjukkan bahwa selain ketidakmampuan transmigran untuk membuka lahan secara swadaya, juga terdapat faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adanya lahan tidur misalnya tersedianya sumber mata pencaharian lain di luar usahatani yang lebih menguntungkan seperti menjadi buruh, mengumpulkan hasil hutan, tambang, industri, jasa dan sebagainya. Hal ini menyebabkan transmigran kurang tertarik untuk menggarap lahannya atau curahan waktu yang disediakan transmigran untuk menggarap lahan usahanya belum maksimal.

Menurut Delam et al. (2000) walaupun UPT-UPT sudah diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak ditemui banyak lahan terutama LU II yang belum diusahakan. Belum dibukanya LU II, karena masih berupa hutan maka untuk memanfaatkan lahan dengan kondisi demikian sebagai usaha

(11)

pengembangan tanaman perkebunan membutuhkan biaya besar yang sulit diatasi oleh transmigran secara perorangan. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan tenaga kerja dan modal. Salah satu upaya mengatasi kesulitan ini adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta/investor. Dalam rangka usaha pengembangan tanaman perkebunan perlu peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan khususnya yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman perkebunan.

Meskipun di daerah transmigrasi dibangun pola tanaman pangan, komoditas padi dan tanaman pangan lainnya ternyata bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan transmigran (Najiyati, 2003). Tampaknya transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif di LU II. Sedangkan padi dan tanaman pangan lainnya dinilainya sebagai komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di UPT Pagar Banyu, transmigran enggan menanam tanaman pangan karena lahan yang kurang subur, topografi bergelombang-berbukit dan adanya serangan hama babi. Dengan kondisi LU II seperti itu serta memperhatikan peluang pasar yang terbatas di lokasi, transmigran memilih karet atau kelapa sawit sebagai komoditas unggulan untuk dikelola secara kooperatif. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan dalam pengusahaan LU II berupa keterbatasan modal, tenaga kerja dan ketersediaan bibit yang berkualitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyono et al. (2002) luasan lahan yang diusahakan transmigran di Mesuji SP 6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP 7 menunjukkan bahwa lahan usaha terutama LP dan LU I telah diusahakan dengan baik, sedangkan LU II pada umumnya belum diusahakan karena tenaga kerja yang belum mencukupi dan modal yang terbatas. Selain itu transmigran menunggu adanya investor yang berkeinginan menanam modalnya maupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan (kelapa sawit, karet dan lainnya).

Modal merupakan unsur utama dalam usahatani yang berorientasi bisnis. Terbatasnya modal menjadi kendala di hampir seluruh daerah transmigrasi pola tanaman pangan dalam mengembangkan usahataninya pada LU II (Najiyati et al., 2001). Sumber modal yang bisa diharapkan untuk mengembangkan LU II di

(12)

kawasan transmigrasi antara lain dari petani sendiri dan dari dunia usaha termasuk bank dan perusahaan yang bersedia bermitra usaha. Minat investor mengembangkan usaha pertanian melalui sistem kemitraan cukup besar.

Adanya kerjasama kemitraan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola dalam investasi agribisnis diharapkan dapat memberikan posisi lebih baik bagi transmigran sehingga menjadi lebih leluasa dalam mengusahakan lahannya, menambah kemampuan teknologi dan memperoleh nilai tambah lebih besar terutama apabila petani dapat menjadi bagian dari pelaku dalam semua kegiatan agribisnis dari hulu sampai hilir (Dewi, 2003).

Menurut Najiyati et al. (2001) adanya kerjasama kemitraan ini diduga sebagai upaya untuk berbagi resiko dengan petani. Melalui sistem kemitraan, diharapkan kegagalan usaha yang diakibatkan oleh penjarahan dan sengketa lahan dapat dihindari karena petani merasa turut memiliki unit usaha dari keseluruhan subsistem yang dikelola. Jenis komoditas yang banyak diminati investor adalah komoditas perkebunan terutama kelapa sawit.

2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi Pada awalnya kaidah pembangunan di dunia menyatakan bahwa kebahagiaan dan rasa sejahtera manusia datang dengan sendirinya dari kegigihan mengusahakan pertumbuhan ekonomi akibat pertumbuhan industri yang cepat yang dipusatkan di beberapa kota dan dari sini manfaatnya akan menyebar ke pelosok wilayah nasional (Friedmann dan Douglass, 1976). Adanya kaidah ini menyebabkan terjadinya hyperurbanization, pusat penduduk dan kegiatan modern, pengangguran, perbedaan pendapatan dan kemiskinan serta kekurangan makanan yang terus menerus. Akibat kegagalan dari kaidah pusat pertumbuhan ini maka kemudian dikembangkan siasat pembangunan pedesaan yang dipercepat dengan tujuan diantaranya mengubah daerah pedesaan dengan cara memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota yang telah disesuaikan pada lingkungan pedesaan dan memperluas hubungan sosial di pedesaan sampai keluar batas-batas desanya sehingga terbentuk suatu sosio ekonomi dan politik yang lebih luas atau agropolitan district.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota

(13)

sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian mengalami produktivitas yang nilai tukarnya terus menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal dan penyakit) dan lingkungan seperti pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman.

Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar. Tacoli (1998) menyatakan bahwa program pembangunan pedesaan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian tanpa diikuti dengan kegiatan non pertanian seperti pemrosesan dari bahan mentah/produksi pertanian dan pabrik keperluan pertanian seperti alat-alat pertanian dan input-input pertanian lainnya akan menyebabkan marginalisasi daerah pedesaan. Menurut Elistianto (2005) pengembangan agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan termasuk di dalamnya kegiatan pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan infrastruktur komersial seperti pasar.

Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan pedesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan pedesaan ini adalah :

a. Meningkatkan produktivitas ekonomi pedesaan seperti dengan inovasi teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahan-perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah,

(14)

organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi), perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.

b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih merata.

c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.

d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.

Pengembangan agropolitan di beberapa daerah ternyata juga terjadi di kawasan transmigrasi, tentunya kawasan transmigrasi tersebut hanya merupakan bagian dari kawasan agropolitan tersebut. Menurut Sitorus dan Nurwono (1998), penerapan konsep agropolitan dan pertumbuhan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dalam bentuk kota-kota tani merupakan pilihan strategi pengembangan wilayah yang tepat dikembangkan dalam pembangunan transmigrasi skala besar secara terencana dan konsisten. Konsep ini sejalan dengan Harun (2006) yang menyatakan bahwa penerapan konsep agropolitan akan sangat penting artinya bagi pengembangan pembukaan wilayah frontier seperti pembangunan permukiman transmigrasi, karena dapat dimulai dalam awal pertumbuhan wilayah.

Menurut Sitorus dan Nurwono (1998) apabila konsep agropolitan akan digunakan dalam program pembangunan transmigrasi dan masyarakat sekitar permukiman transmigrasi maka gagasan agropolitan dapat diusulkan dibangun pada: (1) lokasi yang baru sama sekali (WPT) atau (2) pada lokasi yang sedang tumbuh. Pada lokasi yang sedang tumbuh, di sini sifatnya memanfaatkan lokasi-lokasi lama yang dinilai mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang baik.

Penerapan konsep agropolitan pada kawasan transmigrasi dicirikan oleh hinterland (daerah belakang yang meliputi minimum 500.000 penduduk atau 100.000 kepala keluarga transmigran atau rumah tangga petani) yang dirintis pembukaannya oleh Wilayah-Wilayah Pengembangan Partial Transmigrasi (sekitar 10 WPP, daya tampung 1 WPP ± 10.000 KK) dengan jenis-jenis perwilayahan komoditas pertaniannya yang jelas, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan adalah kota-kota tani (dengan penduduk 5.000-10.000 KK) yang

(15)

dilengkapi dengan berbagai jenis sarana dan prasarana yang menunjang untuk kegiatan pertanian secara berjenjang (jelas hirarki kotanya). Kota tani sebagai kutub pertumbuhan wilayah dalam wilayah agropolitan selain dianggap sebagai pusat-pusat pertumbuhan wilayah pertanian, juga sebagai pusat administrasi penetapan kebijakan-kebijakan pembangunan wilayah agropolitan dan mempunyai hirarki/orde yang jelas.

Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan pada setiap jenjang kota tani didasarkan pada pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru berupa orde-orde pembangunan sebagai berikut:

a. Orde I yang berfungsi sebagai kota perdagangan yang berorientasi ekspor yang dilengkapi dengan berbagai kegiatan tertier (jasa, perdagangan ekspor impor, serta pendidikan dan perbankan) yang disesuaikan dengan kebutuhan rantai tata niaga pertanian (processing, marketing dan exporting) sampai dengan pelabuhan tempat mengekspor hasil-hasil pertaniannya.

b. Orde II yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi industri sekunder berupa industri pengolahan dan manufacturing produk pertanian (pembuatan produk-produk pasar) yang dilengkapi dengan kegiatan tertier (jasa, perdagangan, perbankan, pelatihan, pendidikan serta penyiapan tenaga terampil, siap pakai dan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang memadai).

c. Orde III yang mempunyai fungsi sebagai pusat koleksi dari berbagai jenis komoditas pertanian yang dikembangkan serta ditunjang dan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang terutama pasar, pergudangan, sarana perhubungan yang mempunyai akses terhadap kawasan-kawasan produksi dan daerah belakang lainnya.

Pembentukan kota tani orde III di wilayah permukiman transmigrasi diperkirakan baru akan terwujud setelah sekitar 10-15 tahun, tergantung dari potensi daerah dan jenis komoditi yang dikembangkan (Sitorus dan Nurwono, 1998).

Menurut Utomo (2005) di wilayah-wilayah transmigrasi lama perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustri/industri pedesaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja muda di pedesaan dan akan memacu pertumbuhan wilayah. Untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harus membangun

(16)

infrastruktur dan akses pasar, sehingga akan terjadi harmonisasi pembangunan wilayah.

Berkembangnya lokasi permukiman transmigrasi sangat dipengaruhi kondisi prasarana jalan dan jarak ke pusat-pusat perekonomian baik ibukota kecamatan, kabupaten maupun provinsi (Priyono et al., 2002). Prasarana jalan dibutuhkan transmigran untuk transportasi jual dan beli barang kebutuhan hidup sehari-hari dan produksi hasil pertanian. Kondisi jalan yang kurang baik akan sangat menghambat arus perekonomian dari dan keluar lokasi yang dapat mengakibatkan tidak terjualnya hasil produksi.

Penelitian yang dilakukan Sukasmianto et al. (1999) terjadi adanya peningkatan produktivitas lahan tanaman pangan di Kabupaten Bogor pada hirarki I dari tahun 1989-1996 yang diduga sebagai akibat adanya penggunaan teknologi intensifikasi pertanian, penambahan input produksi, tersedianya sarana produksi pertanian dan fasilitas kredit usahatani kepada petani. Sebaliknya terjadi penurunan rataan produktivitas lahan pada hirarki II dan III yang diduga disebabkan akibat dari petani yang masih mengandalkan ekstensifikasi pertanian karena masih tersedianya lahan yang relatif lebih luas dan tanpa penambahan input produksi sehingga keadaan ini justru menurunkan produktivitas rata-rata lahan tanaman pangan di wilayah tersebut. Peningkatan hirarki wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor disebabkan karena letaknya berada pada jalan poros Jakarta – Bogor, seperti Kecamatan Cibinong dan Cimanggis serta adanya zonasi wilayah pengaruh yang berada dekat wilayah pertumbuhan seperti Kecamatan Parung Panjang dan Gunung Sindur yang dekat dengan Kabupaten Tangerang sehingga memiliki jarak ekonomi yang dekat ke pusat pertumbuhan suatu wilayah.

Menurut Priyono (2003) untuk pengembangan kawasan-kawasan yang telah teridentifikasi, prasarana jalan sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah karena dapat menjadi daya tarik investor. Apabila kondisi jalan baik akan menambah tingginya jalur transportasi masuk dan keluar lokasi. Hal ini sangat membantu dalam pemasaran hasil-hasil atau produksi lokasi transmigrasi dan menekan tingginya harga kebutuhan masyarakat, sehingga kawasan akan lebih cepat berkembang. Secara umum jarak kawasan ke pusat pertumbuhan dan

(17)

ekonomi rata-rata cukup jauh yaitu 105.5 km ke ibukota provinsi. Sedangkan kondisi prasarana jalan dari ibukota kecamatan ke lokasi masih belum beraspal walaupun jaraknya dekat, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelancaran kegiatan ekonomi kawasan transmigrasi.

Sumberdaya ekonomi yang dikuasai oleh rakyat adalah sumberdaya agribisnis yang berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan (Syahrani, 2001). Karena itu cara mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui pengembangan agribisnis bukan hanya pengembangan pertanian primer atau subsistem on farm agribusiness, tetapi juga mencakup subsistem agribisnis hulu yaitu industri-industri yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer, seperti industri pembibitan, industri agro-otomotif, industri agro-kimia, dan subsistem agribisnis hilir yaitu industri-industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan desa serta kegiatan perdagangannya.

Menurut Pranoto (2005) bahwa program prioritas yang dibutuhkan dalam pengembangan agropolitan adalah peningkatan sumberdaya manusia pertanian yang berkualitas, peningkatan produktivitas usahatani, pasar dan pemasaran, kemitraan usaha, pembangunan agroindustri dan peningkatan kinerja lembaga penunjang sistem usahatani. Dalam peningkatan produktivitas ekonomi pedesaan terutama dibidang pertanian diperlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat.

Penguatan kelembagaan dalam memberdayakan kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan kawasan agropolitan, pengembangan permodalan pedesaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi petani pedesaan (Suwandi, 2006). Kelembagaan petani merupakan pelaku utama dalam pengembangan kelembagaan kawasan agropolitan. Kelembagaan petani baik berupa kelompok tani, koperasi, maupun asosiasi yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru harus berfungsi sebagai kelembagaan yang dominan di kawasan agropolitan. Kelembagaan petani harus didukung dengan kelembagaan input agribisnis, yang terkait dengan permodalan dari lembaga keuangan, sarana pertanian dari kios-kios pertanian, pengolahan hasil oleh industri kecil dan

(18)

menengah, pemasaran melalui pasar, dan penyuluhan, dengan sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran usaha agribisnis.

Kelompok sosial dan ekonomi di kawasan transmigrasi yang berkembang merupakan kelompok yang telah dibentuk oleh pemerintah, namun perkembangannya lamban bahkan berhenti terutama kelompok-kelompok usaha dibidang ekonomi (Priyono et al., 2002). Hal ini disebabkan karena pembentukan pengurusnya tidak sepenuhnya berdasarkan aspirasi masyarakat tetapi lebih besar campur tangan pemerintah. Ke depan sebaiknya kelompok-kelompok di bidang ekonomi yang dikembangkan adalah yang sudah ada di masyarakat dan pemerintah sebagai fasilitator.

Berdasarkan penelitian Najiyati (2003) di lokasi Pagar Banyu dan Mesuji budaya gotong royong di dalam mengolah tanah seperti yang ditunjukkan pada awal penempatan memang sudah tidak berlangsung lagi semenjak beberapa tahun setelah penempatan kecuali di lokasi Belimbing Baru. Pengelolaan lahan oleh penduduk setempat umumnya juga dilakukan secara individu. Namun ternyata budaya gotong royong dalam mengolah lahan masih dapat dilakukan karena transmigran masih memiliki wahana untuk bergotong royong yakni di LP dan LU I yang selama ini dikerjakan sendiri. Karena itu pengelolaan LU II secara kooperatif tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat.

Pengembangan agribisnis di setiap daerah harus juga disertai dengan pengembangan organisasi ekonomi, khususnya rakyat petani, agar manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat dan daerah. Di masa lalu, rakyat petani (bahkan daerah sentra-sentra agribisnis) hanya menikmati nilai tambah dari subsistem on farm agribusiness yang umumnya relatif kecil. Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang (Syahrani, 2001).

Menurut Najiyati (2003) untuk mendukung pengembangan usaha pertanian, sebaiknya koperasi disusun dalam bentuk koperasi komoditas dengan kegiatannya yaitu mengembangkan komoditas. Lembaga ekonomi non formal yang terdapat di lokasi adalah kelompok usaha bersama atau kelompok tani yang

(19)

melakukan kegiatan usaha bersama. Kelompok ini memiliki peranan yang cukup berarti di beberapa UPT karena memperoleh perhatian yang besar dari anggotanya. Simpan pinjam atau gaduhan ternak merupakan aktifitas yang umum dikembangkan. Sebagai contoh di UPT Pagar Banyu SP 1 terdapat 7 kelompok usaha bersama yang aktif sedangkan di UPT Belimbing terdapat 3 kelompok. Lembaga non formal seperti ini dapat dijadikan sebagai basis pemberdayaan masyarakat agar pengembangan usaha pertanian secara kooperatif dapat berjalan lancar.

Menurut Suwandi (2006) dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting, yang tentu sesuai dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing. Pemerintah berperan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang berupa jalan, irigasi, pasar dan air bersih, serta memegang posisi penting dalam riset dan pengembangan pertanian secara umum. Sementara dunia usaha memegang peranan penting dalam penyediaan input pertanian dan dalam pengolahan hasil pertanian. Masyarakat pertanian turut memberikan kontribusi dalam pemanfaatan input bagi usaha pertanian mereka, pengolahan hasil pertanian, dan dalam sarana informasi.

Paradigma baru pembangunan yang lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat lokal diharapkan akan mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi di tingkat lokal. Setiap lokasi permukiman akan memiliki potensi alam, ekonomi, sosial budaya yang berbeda-beda (local context), penyeragaman adalah sesuatu yang harus dihindari (Ibrahim, 2004). Pendekatan dari bawah yang bertumpu pada komunitas (community based development) menjadi pilihan strategis dalam pembangunan. Kunci keberhasilan dari pendekatan pengembangan komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup adalah partisipasi aktif dari semua pihak khususnya warga komunitas setempat.

Menurut Wahyudin (2004) dibandingkan dengan masyarakat biasa, partisipasi pemimpin desa cenderung lebih tinggi yag disebabkan karena pemimpin desa adalah orang yang pertama kali dilibatkan dalam merencanakan suatu program atau kegiatan untuk daerahnya dan mereka merupakan jembatan penghubung ketika terjadi transfer inovasi kepada masyarakat. Lebih dari itu, masyarakat pemimpin desa selalu diundang dalam setiap kegiatan program

(20)

pengembangan masyarakat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun dalam mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan.

Menurut Anharudin (2005) Terdapat dua paradigma rekayasa pengembangan kawasan transmigrasi, yaitu (1) faktor budaya (manusia) merupakan faktor penting dan penentu suatu kemajuan. Kemajuan sebuah kolektivitas hanya bisa dibangun melalui peningkatan kompetensi dan kepedulian akan pentingnya kerja keras, etos kerja yang tinggi, semangat untuk maju, kreatifitas dan jiwa kepeloporan. Paradigma ini memberikan implikasi pada penekanan kebijakan pembangunan yang menekankan pentingnya bentuk-bentuk pelatihan, keterampilan usaha, manajeman dan lainnya. Sedangkan paradigma (2) menyatakan faktor-faktor determinan penopang kemajuan terletak pada sumberdaya alam, lingkungan geografis, akses modal, iklim usaha yang sehat dan peluang pasar. Paradigma ini memberikan implikasi kebijakan pembangunan yang lebih menekankan pentingnya pemberian input ekonomi seperti bantuan modal, pembentukan kelembagaan ekonomi, pembukaan akses pasar, dan lainnya.

Agar transmigran yang telah ditempatkan tidak salah dalam menentukan komoditas dan teknologi spesifik lokasi yang sesuai, maka transmigran harus dibimbing dan diarahkan dengan menjaring keinginannya antara lain melalui metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan selama satu tahun penempatan (Widaryanto, 2005). Dalam menentukan teknologi spesifik lokasi di kawasan transmigrasi diperlukan kerjasama dengan penghasil teknologi yang terdapat di tiap provinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi.

Komoditas unggulan yang diusahakan merupakan komoditas yang menjadi pilihan petani sesuai dengan agroklimat setempat dan memiliki prospek pasar yang baik serta mempunyai nilai ekonomi tinggi (Dewi, 2003). Komoditas unggulan harus dipilih atas dasar beberapa persyaratan yaitu sesuai dengan kondisi agroekologi, mempunyai peluang pasar dan menguntungkan sehingga menjadi pilihan masyarakat. Daerah transmigrasi dengan variasi kondisi fisik dan lingkungan yang cukup besar mempunyai komoditas unggulan yang berbeda-beda (Najiyati, 2003). Walaupun dengan wawasan yang terbatas, transmigran sudah

(21)

mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan kondisi agroekologi, peluang pasar, dan keuntungan yang didasarkan atas pengalaman yang digali sendiri maupun setelah melihat hasil kerja yang dilakukan oleh orang lain.

Keberhasilan usahatani di lahan kering secara langsung atau tidak langsung akan menentukan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum melalui peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dan nasional secara umum (Nugroho, 2002). Melalui pemilihan komoditas yang tepat (komersial), semakin tinggi produktivitas usahatani maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh petani. Dengan demikian, petani mempunyai modal yang cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan investasi yang berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas lahan.

Menurut Sitorus et al. (2000a) ketidakoptimalan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan rendahnya produktivitas komoditas kemungkinan disebabkan karena lahan yang sesuai untuk suatu komoditas cenderung tidak digunakan untuk komoditas yang bersangkutan. Satuan peta kesesuaian lahan yang relatif seragam dalam sifat-sifat tanah dapat dijadikan sebagai unit penggunaan dan pengelolaan lahan, dimana respon pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian diharapkan relatif seragam terhadap perlakuan yang diberikan (Sitorus, 2000).

Untuk mengatasi hal tersebut, ada dua alternatif yang dapat dilakukan : (1) mengubah penggunaan lahan saat ini disesuaikan dengan rekomendasi kesesuaian lahan, (2) mempertahankan penggunaan lahan saat ini dengan memberikan input yang dibutuhkan. Berkaitan dengan sosial budaya apabila input yang dibutuhkan tidak terlalu besar maka alternatif kedua yang dipilih, tetapi apabila input yang dibutuhkan sangat besar maka alternatif satu yang dipilih. Untuk itu diperlukan penyuluhan dalam penggunaan lahan dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi pertanian sesuai dengan potensi wilayahnya (Sitorus et al., 2000a).

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi kerugian dalam institusi maupun aset keuangan, mencegah

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Juru Bor Seismik dapat

 Mulai dengan dosis rendah untuk penyesuaian efek samping namun dosis ini umumnya lebih tinggi dari dosis sebagai anti-depresi, Clomipramine mulai dengan 25-50

Karambut dan Noormijati (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh yang signifikan negatif terhadap stres kerja, karena semakin

Faktor lain penyebab lebih rendahnya keuntungan yang diperoleh pada pola usaha pembibitan secara ekstensif adalah rataan bobot badan sapi akhir penelitian rendah yang disebabkan

2 Sebaran subjek berdasarkan total uang saku per bulan 9 3 Sebaran subjek menurut penggunaan suplemen dan jenis kelamin 9 4 Sebaran subjek menurut konsumsi suplemen dan

KEMAHIRAN Kemahiran Asas Permainan Kategori Jaring Aspek 1 : Kemahiran Pergerakan (Domain Psikomotor) Standard Kandungan 1.7 Berkebolehan melakukan kemahiran

45 Tahun 1990 yang berkaitan dengan pasal 4 ayat 2 tentang tidak diizinkannya wanita ASN menjadi istri kedua, ketiga atau keempat adalah point keenam karena berkaitan