• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Budaya Keselamatan Pasien

1. Pengertian Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 Bab 1 Pasal 1, 2011)

Keselamatan menurut persepsi pasien seperti yang dikemukakan oleh IOM (1999, dalam Kohn et al., 2000, hal 18) adalah “freedom from accidental

injury”. Sedangkan Dep.Kes. R.I. mendefenisikan keselamatan pasien rumah

sakit sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman bagi pasien. (Dep.Kes. R.I, 2011).

Komite keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS) PERSI mendefenisikan KTD/adverse event merupakan suatu kejadian tak diharapkan yang mengakibatkan cidera pasien akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Sedangkan kejadian nyaris cedera/KNC merupakan suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil yang dapat mencederai pasien, tetapi

(2)

cidera serius tidak terjadi, yang disebabkan karena keberuntungan, pencegahan atau peringanan. Contoh dari keberuntungan misalnya: pasien mendapatkan obat yang salah tetapi tidak timbul reaksi obat. Contoh akibat dari pencegahan, misal: pasien menerima obat dengan dosis letal, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan. Sedangkan contoh peringanan, misal: pasien menerima obat dengan dosis letal, tetapi keadaan ini segera diketahui secara dini kemudian diberikan penawarnya (Dep.Kes. R.I., 2008).

2. Tujuan Keselamatan Pasien

Tujuan penanganan keselamatan pasien menurut joint commission internasional dalam standar Akreditasi Rumah Sakit (2011) adalah ketepatan identifikasi pasien, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan dari obat yang perlu diwaspadai, memastikan benar tepat-lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi, mengurangi resiko infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan dan mengurangi resiko pasien jatuh.

Segala upaya dilakukan agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan dan terbebas dari kesalahan sehingga tidak berdampak bagi pasien. Rekomendasi dari institute of medicine (IOM) berupa empat rangkaian pendekatan dalam mencapai keselamatan pasien diantaranya yaitu:

a. Meningkatkan kemampuan leadership, penelitian, protokol untuk meningkatkan pengetahuan dasar tentang safety.

b. Identifikasi dan belajar dari kesalahan yang terjadi dengan mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap kejadian yang ada.

c. Meningkatkan standar kerja dan standar harapan untuk meningkatkan keselamatan melalui pembelajaran dari kesalahan.

(3)

d. Mengimplementasikan sistem keselamatan pada organisasi untuk menjamin praktik yang aman pada setiap tingkat pelayanan.

3. Model Manajemen Keselamatan

Model manajemen keselamatan adalah latar belakang asumsi organisasi tentang cara dimana keamanan harus dikelola dan ditingkatkan. Model manajemen keselamatan secara implisit atau eksplisit meliputi: unit analisis, konsep dan sarana yang dibutuhkan untuk mengembangkan keselamatan, cara dimana manajemen keselamatan terintegrasi dalam pengembangan sistem manajemen keselamatan.

Badan Nasional Keselamatan Pasien mengidentifikasikan tujuh langkah untuk keselamatan pasien (NPSA, 2004)

a. Membangun budaya keselamatan. Melakukan audit untuk menilai budaya keselamatan.

b. Memimpin dan mendukung tim. Memandang pentingnya keselamatan pasien dan menerapkannya dalam usaha nyata.

c. Mengintegrasikan aktivitas manajemen resiko. Secara teratur meninjau arsip pasien.

d. Meningkatkan pelaporan. Berbagi insiden keselamatan pasien.

e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan masyarakat. Mencari tahu pandangan pasien, mendorong umpan balik dengan survey pasien. f. Belajar dan berbagi pelajaran keselamatan. Mengadakan pertemuan rutin

kejadian yang signifikan.

g. Mengimplementasikan solusi untuk mencegah kerusakan. Memastikan bahwa tindakan yang telah disetujui didokumentasikan, diimplementasi-kan dan review, dan disetujui siapa yang harus bertanggung jawab.

(4)

4. Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit

Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit sebagai syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh komite keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS PERSI), dan joint Commission International (JCI).

Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong peningkatan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti area bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menguraikan tentang solusi atas konsensus berbasis bukti dan keahlian terhadap permasalahan ini. Dengan pengakuan bahwa desain/rancangan sistem yang baik itu instrinsik/menyatu dalam pemberian asuhan yang aman dan bermutu tinggi, tujuan sasaran umumnya difokuskan pada solusi secara sistem bila memungkinkan.

Ada Enam Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit: a. Sasaran 1 : ketepatan identifikasi pasien

Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan kejadian

error/kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah pasien yang dalam

keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitasi sensori atau akibat situasi lain.

b. Sasaran 2 : peningkatan komunikasi yang efektif

Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh resipien/penerima akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara

(5)

elektronik, lisan atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.

c. Sasaran 3 : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka penerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obat yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinya kesalahan/error, obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan mirip. Daftar obat-obat yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut dalam isu keamanan obat adalah penerimaan elektrolit konsentrat secara tidak sengaja. Kesalahan ini bisa terjadi bila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasi sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien atau pada kegawatdaruratan. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.

d. Sasaran 4 : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien didalam penandaan

(6)

lokasi dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi. Disamping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor konstribusi yang sering terjadi.

e. Sasaran 5 : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para professional pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi salurah kemih- terkait kateter, infeksi aliran darah dan pneumonia.

f. Sasaran 6 : pengurangan resiko pasien jatuh

Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cidera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya/cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan pasien. Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misal penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang atau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cidera, sirkulasi yang terganggu atau

(7)

integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.

5. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah pola dasar asumsi, nilai dan keyakinan bersama yang dianggap sebagai cara berfikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi masalah dan peluang organisasi (McShane,2003).

Budaya organisasi yang kuat membangun kesuksesan organisasi. (Gett, 2003) budaya organisasi memiliki tiga fungsi (McShane, 2003):

a. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan terkontrol sosial yang mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan berperilaku.

b. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orang-orang dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. Pegawai termotivasi untuk mendalami budaya organisasi yang dominan karena hal tersebut memenuhi kebutuhan identitas sosial mereka.

c. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu pegawai mengerti situasi organisasi. Mereka dapat menyelesaikan tugas mereka ketimbang menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pegawai dapat berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerja sama dengan baik karena mempunyai model mental yang sama (Flemming 2005)

6. Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi, kompetensi, dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan keandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan

(8)

kepercayaan, dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah pencegah.

Untuk mencapai keselamatan pasien, dibutuhkan komunikan terbuka, kerja tim dan dukungan lingkungan yang merupakan karakter dari budaya kelompok. Peningkatan keselamatan pasien juga memerlukan perubahan organisasi, inovasi dan keberanian mengambil resiko yang merupakan elemen dari budaya berkembang. (Singer et al, 2009) sebaliknya meskipun budaya hirarki dan budaya rasional fokus pada hasil yang membantu dalam pemeriksaan kesalahan dan prosedur keselamatan lainnya, ada elemen yang tidak sesuai dengan tujuan positif keselamatan pasien. Disamping itu budaya hirarki menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan. Budaya rasional yang menitikberatkan pada hasil dan pencapaian dapat membawa organisasi untuk fokus kepada produksi dan efisiensi sebagai penghamburan unsur keselamatan. (Singer at al 2009).

7. Model Budaya Keselamatan Pasien

Model DISC (Design for Integrated Safety Culture) menjelaskan unsur-unsur dari suatu organisasi yang memiliki potensi baik untuk keselamatan pasien. Menurut model DISC, organisasi memiliki potensi yang baik untuk keselamatan ketika memenuhi kriteria sebagai berikut dalam kegiatan organisasi:

1. Keselamatan adalah nilai utama dalam organisasi dalam mengambil keputusan dan kegiatan sehari-hari

2. Keselamatan ini dipahami sebagai fenomena yang kompleks dan sistemik.

3. Bahaya dan persyaratan tugas dipahami secara menyeluruh. 4. Organisasi sadar dalam praktik pelayanan kesehatannya. 5. Tanggung jawab akan fungsi yang aman dari seluruh sistem. 6. Kegiatan diselenggarakan secara teratur.

(9)

Model DISC menitikberatkan pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang keselamatan, tugas utama diharapkan dan bahaya yang ada dalam sistem. Tanpa pemahaman yang menyeluruh terhadap keselamatan dan risiko, organisasi bisa fokus pada tantangan yang tidak relevan, membuat keputusan beresiko atau buta terhadap ancaman baru. Model DISC juga menyatakan bahwa fungsi organisasi tertentu diperlukan untuk mengembangkan taraf keselamatan yang tinggi dalam suatu organisasi termasuk manajemen bahaya (seperti penilaian resiko, sistem keselamatan dan alat pelindung diri), praktik manajemen kompetensi (seperti kursus pelatihan teknologi tertentu atau pengobatan yang digunakan, mentoring pendatang baru), pro-aktif mengembangkan keselamatan (seperti melaporkan dan manganalisa insiden, penilaian organisasi berkala) dan praktek kerja manajemen kondisi (seperti menilai kecukupan staf, dan memastikan peralatan yang diperlukan untuk kerja). (Machii et.al, 2011) Budaya keselamatan mempengaruhi keselamatan pasien dengan memotivasi pegawai dalam memilih kebiasaan yang meningkatkan dibanding yang menurunkan keselamatan pasien (Nieva and Sorra 2003). Langkah pertama menuju keselamatan pasien adalah membangun budaya keselamatan pasien. Singer et al (2003). mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen budaya keselamatan pasien sebagai berikut:

a. Komitmen pemimpin akan keselamatan.

b. Sumber daya organisasi akan keselamatan pasien. c. Prioritas keselamatan dibanding produksi.

d. Keefektifan dan keterbukaan komunikasi. e. Keterbukaan terhadap masalah dan kesalahan. f. Studi organisasi.

(10)

Dalam menciptakan budaya keselamatan pasien dan menurunkan angka kesalahan, diperlukan pemimpin yang menanamkan budaya yang jelas, mendukung usaha pegawai dan tidak bersifat menghukum yang disebut dengan kepemimpinan transformasional. Budaya keselamatan pasien yang kuat dengan sendirinya akan menurunkan angka kesalahan medis (Ruchlin et al., 2004).

8. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)

KKP-RS (2008) mengatakan KNC adalah suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commiccion) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi karena keberuntungan (missal pasien menerima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). Pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotnya). KNC lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian tidak diharapkan, frekuensi kejadian ini tujuh sampai seratus kali lebih sering terjadi, model penyebab terjadinya insiden, KNC berperan sebagai awal sebelum terjadinya KTD. Kejadian nyaris cedera menyediakan dua tipe informasi terkait dengan keamanan pasien:

1. Kelemahan dari sistem pelayanan kesehatan (kesalahan dan kegagalan termasuk tidak adekuatnya sistem pertahanan).

2. Kekuatan dari sistem pelayanan kesehatan (tidak ada perencanaan, tindakan pemulihan secara informal).

Penyebab dari insiden ini meliputi kegagalan teknis (technical failure), kegagalan manusia (human operator failure) dan kegagalan organisasi (Organizational failure). Kegagalan pada awal kegiatan, sebagai pencetus

(11)

adalah kesalahan manusia, teknikal, kegagalan organisasi atau kombinasi keduanya. Jika hal ini tidak dapat dicegah, proses berlanjut pada situasi yang berbahaya (peningkatan resiko sementara akibat dari kegagalan awal tetapi tidak menimbulkan akibat actual), jika pertahanan adekuat kondisi kembali normal . jika pertahanan tidak adekuat, kegagalan dalam pertahanan seperti prosedur pengecekan ulang (double check procedures).

9. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit atau (KKP-RS, 2008) mendefenisikan KTD sebagai suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (Commission) atau karena tidak bertindak (omission), dan bukan karena kondisi pasien. KTD ada yang dapat dicegah dan ada yang tidak dapat dicegah. KTD yang dapat dicegah berasal dari kesalahan proses asuhan pasien.

KTD sebagai dampak dari kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan terutama di Negara maju. KTD yang tidak dapat dicegah adalah suatu kesalahan akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah walaupun dengan pengetahuan yang mutakhir (Cahyono, 2008). Setiap organisasi dan institusi yang bergerak di bidang apapun, menerapkan suatu sistem pengamanan untuk mencegah suatu insiden termasuk organisasi rumah sakit. Menurut James Reason pendekatan sistem dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana suatu insiden terjadi.

10. Sembilan Solusi Keselamatan Pasien

Laporan oleh Institute of Medicine (IOM) di tahun 1999 membawa perhatian nasional terhadap kesalahan medis di rumah sakit yang serius (Koh, Corrigan, dan Donaldson, 1999). Laporan Health Grades mengindikasikan bahwa kematian sekitar 195.000 pasien yang dirawat di rumah sakit Amerika

(12)

pada tahun 2000, 2001, dan 2002 diakibatkan oleh kesalahan medis yang dapat dicegah (Health Grades, 2005).

Terdapat tiga jenis kesalahan medis yang hampir 60% kecelakaan keselamatan klien, yaitu infeksi pasca operasi, luka tempat tidur (Dekubitus), dan kegagalan diagnosis dan terapi yang tidak tepat waktu. Kesalahan pengobatan dapat terjadi kapan saja pada proses administrasi pengobatan, baik selama instruksi, peresepan, pengambilan dan pemberian obat. Sebagian besar kesalahan medis terjadi saat instruksi dan pemberian pengobatan (Agency for Health Care Research and Quality atau AHRQ, 2006). World Health Organization (WHO) dan The Joint Commission (TJC) bekerjasama merumuskan Sembilan solusi keselamatan pasien untuk menyelamatkan jiwa pasien yaitu:

a. Memperhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike, and medication names).

b. Memastikan identifikasi pasien

c. Berkomunikasi secara benar saat serah terima atau pengoperan pasien. d. Memastikan tindakan yang benar dan letak anggota tubuh yang benar

saat dilakukan terapi.

e. Mengendalikan cairan elektroklit pekat (concentrated).

f. Memastikan kebenaran pemberian obat pada pengalihan pelayanan. g. Menghindari salah kateter dan salah sambung selang (tube)

h. Menggunakan alat injeksi sekali pakai.

i. Meningkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nasokomial. B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi budaya Keselamatan Pasien

1. Faktor Kepemimpinan a. Definisi

Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit dengan langkah penerapan

(13)

memastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas keselamatan pasien. mengidentifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi penggerak dalam gerakan keselamatan pasien dan memprioritaskan keselamatan pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit serta memasukkan keselamatan pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit dan memastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.

Dalam unit tim, staf juga harus menominasikan penggerak dalam tim sendiri untuk memimpin gerakan keselamatan pasien, menjelaskan kepada tim relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan keselamatan pasien dan menumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.

b. Pendekatan Dalam Teori Kepemimpinan

Ada beberapa pendekatan mengenai teori kepemimpinan. Teori-teori tersebut antara lain berdasarkan sifat, perilaku, situasi dan pembagian grup.

1) Teori sifat (pendekatan karakter)

Teori sifat adalah teori kepemimpinan yang berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik seperti fisik, mental dan kepribadian yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini berdasarkan pada asumsi bahwa beberapa orang mempunyai bakat memimpin dengan tanda-tanda seperti selalu bersemangat, antusias yang mendalam, pandangan masa depan dan kekuatan persuasive yang luar biasa.

(14)

2) Teori perilaku

Teori kepribadian perilaku adalah teori yang berdasarkan bahwa perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan seseorang (Robbins dan judge, 2009). Melalui pendekatan ini, efektivitas kepemimpinan tergantung pada seberapa baik seorang pemimpin mampu menyelesaikan konflik peran, mengatasi tuntutan, mengenali peluang dan mengatasi hambatan (Baizuri, 2009).

3) Teori kepemimpinan situasional

Teori kepemimpinan situasional adalah teori yang menyatakan bahwa pemimpin harus memahami perilaku, sifat-sifat bawahannya dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostic dalam perilaku manusia (Rivai, 2003).

4) Teori Leader-Member Exchange (LMX)

Teori dalam Leader-Member Exchange adalah pemimpin membuat sebuah hubungan khusus dengan suatu grup yang terdiri dari beberapa pengikutnya.

c. Pendekatan Kepemimpinan Inspirasional a. Teori kepemimpinan karismatik

Kepemimpinan karismatik ditandai dengan adanya seorang pemimpin yang mempunyai dampak yang mendalam dan tidak biasa terhadap pengikutnya.

b. Kepemimpinan Transaksional

Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan dengan menjelaskan peran dan tugas yang diharuskan.

(15)

c. Teori kepemimpinan transformasional

Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki karisma. Terdapat beberapa cara pemimpin tersebut mentransformasikan dan memotivasi para pengikut, yaitu membuat pengikutnya lebih sadar mengenai pentingnya hasil pekerjaan dan mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan diri sendiri.

d. Self-Leadership

Self-Leadership adalah sebuah proses yang membuat individu dalam

organisasi dapat mengontrol perilakunya sendiri dimana peran pemimpin adalah untuk membantu pengikutnya dalam memimpin diri mereka sendiri.

d. Kepemimpinan Dalam Keselamatan Kerja

Beberapa tahun terakhir, banyak penulis menyoroti pentingnya kepemimpinan dalam keselamatan kerja. Mereka menemukan bahwa keselamatan yang terkait dengan kejadian hamper selalu mempertimbangkan perilaku keselamatan kerja yang diprediksi oleh iklim keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja diprediksi secara positif oleh kepemimpinan trransformasional.

Di Indonesia terdapat aturan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3) yang diatur dalam Permenker 05/Men/1996. Dalam peraturan ini, salah satunya adalah mengatur syarat uraian jabatan disusun dengan memperhatikan aspek K3 yang menjadi tanggung jawabnya. Disini dicantumkan tanggung jawab pada level manajemen atau supervisior secara umum adalah memastikan K3 dikelila dengan baik dalam area tanggung jawab dan wewenang level manajemen, antara

(16)

lain adalah memastikan pekerja menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan, memberikan pemahaman pada pekerja tentang potensi bahaya yang dapat terjadi di tempat kerja, dan membuat instruksi kerja atau prosedur tentang penggunaan alat pelindung diri, jika hal itu diperlukan.

2. Faktor Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman penelitian tertulis bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan yang ingin dicari oleh penulis adalah pengetahuan perawat tentang sasaran-sasaran keselamatan yang akan diberikan kepada setiap pasien. (Notoatmodjo, 2010). Dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan perilaku yang tidak baik didasari oleh pengetahuan karena didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan adanya pertimbangan dan sikap positif. Tingkatan pengetahuan terdiri atas 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003): 1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat kembali (Recall)

(17)

terhadap suatu yang khusus dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, “Tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah gunanya untuk mengukur bahwa orang tahu yang dipelajari seperti : menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada

(18)

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

3. Faktor Sikap

Sikap adalah pernyataan evaluative. Baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu sumber sikap bisa diperoleh dari orang tua, guru atau rekan kerja. Model sikap dapat meniru sikap orang yang kita kagumi, hormati atau mungkin sikap orang yang kita takuti.

Pendapat yang disampaikan oleh Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (1995) bahwa sikap adalah bentuk evaluasi reaksi perasaan.

Menurut tingkatannya, sikap terdiri atas:

a. Menerima, menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan pengetahuan yang diberikan.

b. Merespon, memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas. Lepas dari pekerjaan itu benar maupun salah, berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai, mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap tingkat 3. d. Bertanggung jawab, bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah

dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dengan cara menanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

(19)

Menurut Robbins (2011) ada tiga komponen struktur sikap yang penting dan saling menunjang yaitu komponen:

a. Kognitif

Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu. Komponen ini berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku dan apa yang benar bagi objek sikap dan hal ini sudah terpolakan dalam pikirannya.

b. Afektif

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Pada umumnya reaksi emosional sebagai komponen affektif banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang benar dan berlaku bagi objek tersebut.

c. Konatif

Adalah aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapi. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

4. Faktor Motivasi

Motivasi diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Kekuatan, dorongan, kebutuhan, tekanan dan mekanisme psikologis yang dimaksudkan diatas merupakan akumulasi faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, sedangkan faktor eksternal bersumber dari luar individu.

(20)

Menurut Anoraga (2005) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu , motivasi kerja dalam psikologi kerja disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya. Motivasi menurut Shortell dan Haluzny adalah perasaan atas pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku.

Kebutuhan manusia tersusun secara hierarki. Bila suatu kebutuhan telah dapat dicapai oleh individu, maka kebutuhan yang lebih tinggi segera menjadi kebutuhan baru yang harus dicapai. Konsekuensinya untuk jangka panjang, individu tidak dapat dimotivasi hanya oleh penghargaan dan perasaan sukses saja, yang lebih penting adalah memberikan kepastian yang penjelasan yang cukup dan jaminan keamanan kerja sebagai pekerja tetap. (Teori Maslow)

Kebutuhan motivasi (motivator) dalam urutan yang lebih tinggi meliputi kemajuan dan perkembangan, tanggung jawab, penghargaan, prestasi dan kenyamanan pekerjaan itu sendiri. Menurut Hezberg, untuk memotivasi seseorang pegawai/perawat sebagai langkah awal, seorang manajer pertama-tama harus memenuhi atau sekurang-kurangnya memelihara kebutuhan dasar. Setelah hal itu terpenuhi, kebutuhan motivasi menjadi prioritas.

Prestasi kerja sebagai salah satu unsur motivator dapat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Kualitas emosional yang tertata dengan baik akan menjadikan karyawan dapat menata dirinya dan dalam hubungan dengan orang lain, sehingga dapat melaksanakan tugas pekerjaan dengan prestasi baik.

(21)

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan.

a. Teori Motivasi

1. Teori Abraham Maslow

Motivasi manusia timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan, yaitu: a). fisiologi, antara lain rasa lapar, haus dan kebutuhan jasmani lainnya ; b). keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional; c). social, meliputi diterima baik, rasa memiliki, kasih sayang; d). penghargaan, meliputi factor penghormatan dari luar seperti status, pengakuan dan perhatian; e) aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seseorang sesuai ambisiusnya meliputi pencapaian potensi dan pemenuhan kebutuhan diri.

2. Teori Herzberg

Menurut Herzberg, tinggi rendahnya motivasi dan tingkat kepuasan kerja seseorang ditentukan oleh faktor atau kondisi tertentu. Faktor-faktor tersebut adalah: a). motivator; yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang kepada sikap positif dan lebih bermotivasi, sehingga menambah kepuasan kerja. b). faktor hhegiene adalah faktor penceggahan kemerosotan semangat kerja dan dapat menghindarkan kekacauan yang menekan produktivitas.

3. Teori Mc. Clelland

Menurut David Mc. Clelland teori motivasi dibagi menjadi tiga macam yaitu: a). motivasi berprestasi, yaitu dorongan untuk mencapai sukses dalam berkompetensi dengan standard sendiri selalu berusaha meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan cita-citanya. b). affiliasi, yaitu dorongan untuk diterima orang lain dan bersatu, pegawai yang

(22)

bermotif untuk affiliasinya diterima, diakui dan dihargai orang lain. c). motif berkuasa, yaitu dorongan yang timbul dari diri seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain.

4. Teori Morgan

Dalam bukunya Introduction to psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi sebagai berikut: a). teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, dan bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan, ini dapat juga terjadi sekaligus.

b. Perangsang Motivasi

Agar seseorang mau dan bersedia melakukan seperti yang diharapkan, kadang kala perlu disediakan perangsang.

Perangsang dibedakan atas dua macam, yaitu: 1) Perangsang positif

Perangsang positif adalah imbalan yang menyenangkan yang disediakan untuk karyawan yang berprestasi.

2) Perangsang negatif

Perangsang negatif ialah imbalan yang tidak menyenangkan berupa hukuman bagi karyawan yang tidak berprestasi dan ataupun yang berbuat tidak seperti yang diharapkan.

5. Faktor Komunikasi

Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. langkah penerapan dirumah sakit dilakukan yaitu pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya,

(23)

pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas bilamana terjadi insiden dan memberikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.

Dalam penerapan komunikasi untuk unit/tim, pastikan tim menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden, prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat. pastikan segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya.

C. Kerangka Konsep

Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien: 1. Kepemimpinan 2. Pengetahuan 3. Sikap 4. Motivasi 5. Komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Gejala lain yang sering muncul dari penyakit busuk/hawar daun pada tanaman talas adalah pengembangan, eksudasi dan adanya tetesan yang mengalir berwarna merah

Pasien telah melakukan pengobatan sesuai dengan informasi yang telah ia dapatkan dari sekitarnya mulai dari keluarganya rumah sakit hingga ke fisioterapi. Namun pasien sulit di

Oleh sebab itu, maka kecantikan wanita selalu mengalami suatu standarisasi, di mana tolok ukur untuk penilaian tersebut seolah-olah berasal dari penilaian laki-laki yang kadang

Upaya penghematan konsumsi energy pada bangunan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa hal diantaranya adalah melakukan pergantian jenis lampu TL ke lampu LED,

Penilaian resiko : proses evaluasi resiko yang ditimbulkan oleh suatu bahaya dengan Penilaian resiko : proses evaluasi resiko yang ditimbulkan oleh suatu bahaya

Dari segi kayu, dengan adanya matriks polimer di dalamnya maka kekuatan dan sifat fisiknya akan meningkat (Febrianto, 1999), sehingga dapat digunakan sebagai komponen struktural

Simpulan dari penelitian adalah tidak ada hubungan karakteristik perawat (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan masa kerja) terhadap kepatuhan SOP

Tentukan apa yang diberikan atau diterima masing-masing proses daripada sistem, sambil memperhatikan konsep keseimbangan (alur data yang masuk atau keluar dari suatu level harus