• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat tradisional merupakan obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat tradisional merupakan obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan,"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Obat tradisional merupakan obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1981). Obat tradisional telah digunakan masyarakat sejak zaman dahulu. Penggunaannya di Indonesia digunakan untuk pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif), dan peningkatan kesehatan (promotif). Keberadaan obat tradisional belum dapat disejajarkan dengan pengobatan modern karena belum seluruhnya teruji keamanan dan khasiatnya (Badan POM RI, 2005). Ekstrak tumbuhan obat merupakan salah satu bentuk bahan penyusun obat tradisional yang sangat menentukan mutu, keamanan dan kemanfaatan obat tradisional. Era globalisasi ini, perkembangan teknologi dan bentuk pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia dalam pelayanan medis telah mengenal dan menggunakan konsep ekstrak. Iptek kefarmasian juga berkembang dalam hal ekstraksi, analisis dan teknologi proses sehingga ekstrak dapat diterima sebagai bentuk bahan yang dapat dipertanggungjawabkan mutu dan keajegan kandungan kimianya. Selain itu, iptek kedokteran (modern) juga menerima konsep ekstrak terstandar sebagai bentuk obat multi-komponen yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi keamanan, farmakologi dan khasiatnya. Oleh

(2)

sebab itu, keajegan kadar senyawa aktif merupakan syarat mutlak ekstrak yang diproduksi sehingga setiap ekstrak harus distandardisasi demi tegaknya trilogi mutu, keamanan dan manfaat (Depkes RI, 2000).

Standardisasi merupakan serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu yang memenuhi syarat standar dan jaminan stabilitas produk. Standardisasi untuk suatu produk sediaan obat (ekstrak) adalah suatu persyaratan dapat diwujudkannya reprodusibilitas (keajegan) terhadap kualitas farmasetik maupun terapetik. Parameter standardisasi meliputi parameter non spesifik, spesifik dan uji kandungan kimia ekstrak. Ekstrak terstandar yang dihasilkan diharapkan mampu menunjukkan kualitas ekstrak tersebut. Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan.

Salah satu tanaman obat yang banyak dibutuhkan dalam industri obat tradisional dan banyak digunakan masyarakat adalah sambiloto. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan sambiloto sebagai salah satu tanaman obat unggulan. Khasiatnya yang begitu banyak disebabkan sambiloto memiliki kandungan yang lengkap (Prapanza & Marianto, 2003; Suryawati, 2007). Kandungan kimia tanaman sambiloto antara lain: andrografolid, neoandrografolid, homoandrografolid, 14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid, 14-deoksi-11-oksoandrografolid, 14-deoksiandrografolid, andrografin, panikulida A, B dan C, panikulin, 5-hidroksi-2’,7,8-trimetoksiflavon, 2’,5-dihidroksi-7,8-dimetoksiflavon, 4’,7-dimetilterapigenin, dan mono-O-metilwigtin (Sudarsono

(3)

dkk., 1996). Andrografolid merupakan senyawa identitas dan senyawa kimia utama tanaman sambiloto.

Sambiloto telah lama dikenal dan penggunaannya telah terbukti efektif dan berkhasiat baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Efek farmakologi sambiloto menurut Niranjan dkk. (2010) antara lain: antiinflamasi, anti HIV, antibakteri, antioksidan, antiparasit, antispasmodik, antidiabetes, antikarsinogenik, antipiretik, hepatoprotektif, nematosida, dan aktivitas lainnya. Selain itu, tanaman sambiloto juga berperan sebagai imunostimulan, antihiperglikemia, kardioprotektif, vasorelaksan, antiplatelet, dan hipotensif (Ojha dkk., 2012).

Tumbuhan mensintesis metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pertahanan dari serangan organisme lain, dan untuk kelangsungan hidup di tempat tumbuhnya yang seringkali mengalami perubahan lingkungan. Faktor lingkungan sangat berperan dalam regulasi biosintesis metabolit tumbuhan (Cseke dkk., 2006). Setiap tanaman menghendaki kondisi lingkungan tumbuh tertentu agar dapat berproduksi dengan baik (Sembiring, 2007). Kadar senyawa andrografolid yang dihasilkan herba sambiloto dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, beberapa di antaranya adalah ketinggian tempat tumbuh, intensitas cahaya, pH tanah, dan kelembaban tanah.

Standardisasi ekstrak dalam penelitian ini dilakukan pada herba sambiloto dari tiga daerah berbeda yaitu Dlingo, Prambanan dan Kalibawang. Pemilihan daerah-daerah ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh perbedaan kondisi lingkungan terhadap kandungan kimia utama sambiloto yaitu andrografolid. Karena itu perlu dilakukan pengukuran faktor-faktor lingkungan

(4)

yang berpengaruh terhadap kadar andrografolid yaitu ketinggian tempat tumbuh, intensitas cahaya, pH dan kelembaban tanah. Dengan penelitian tersebut diharapkan dapat diketahui daerah penanaman sambiloto yang dapat menghasilkan tanaman sambiloto dengan kadar andrografolid tertinggi.

B. Perumusan Masalah

a. Berapa rentang nilai parameter non spesifik, spesifik dan kadar andrografolid ekstrak herba sambiloto dari tiga daerah yang berbeda?

b. Bagaimana pengaruh variasi tempat tumbuh (ketinggian, intensitas cahaya, pH dan kelembaban tanah) terhadap kadar andrografolid?

c. Daerah manakah yang menghasilkan sambiloto dengan kadar andrografolid tertinggi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan nilai parameter standar mutu ekstrak herba sambiloto dari tiga daerah berbeda meliputi parameter non spesifik, spesifik, termasuk kadar andrografolid, mempelajari pengaruh variasi tempat tumbuh (ketinggian tempat tumbuh, intensitas cahaya, pH dan kelembaban tanah) terhadap kadar andrografolid ekstrak herba sambiloto sehingga dapat diketahui daerah optimal penanaman sambiloto yang menghasilkan kadar andrografolid tertinggi dari ketiga daerah.

(5)

D. Tinjauan Pustaka 1. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Nees)

a. Sistematika tanaman

Gambar 1. Tanaman sambiloto

Klasifikasi tanaman sambiloto adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Anak kelas : Sympetalae Bangsa : Solanales

Suku : Acanthaceae

Marga : Andrographis

Jenis : Andrographis paniculata (Burm.f) Nees

(Backer & Van Den Brink, 1965) Sinonim

Justicia paniculata Burm., Justicia latebrosa Russ., Justicia stricta Lamk (Dalimartha, 1999).

(6)

b. Nama daerah

Sumatera : Pepaitan (Melayu);

Jawa : Ki oray, ki peurat, takilo (Sunda), bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa)

(Depkes RI, 1979) Nama asing

Cina : Chuan xin lian, yi jian xi, dan lan he lian; India : Kalmegh, kirayat dan kirata;

Tamil : Nilavembu;

Vietnam : Cong-cong dan xuyen tam lien; Arab : Quasabhuva;

Persia : Nainehavandi;

Inggris : Green chiretta dan king of bitter

(Prapanza & Marianto, 2003). c. Morfologi tanaman

Tanaman sambiloto memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

Habitus : Herba, semusim, tinggi ± 50 cm.

Batang : Berkayu, pangkal bulat, muda berbentuk segi empat, setelah tua menjadi bulat, percabangan monopodial, hijau.

Daun : Tunggal, bulat telur, bersilang berhadapan, pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang ± 5 cm, lebar ± 1,5 cm, pertulangan menyirip, panjang tangkai ± 3 cm, hijau keputih-putihan, hijau.

(7)

Bunga : Majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun dan di ujung batang, kelopak lanset, berbagi lima, pangkal berlekatan, hijau, benang sari dua, bulat panjang, kepala sari bulat, ungu, putik pendek, kepala putik ungu kecoklatan, mahkota lonjong, pangkal berlekatan, ujung pecah menjadi empat, bagian dalam putih bernoda ungu, bagian luar berambut, merah. Buah : Kotak, bulat panjang, ujung runcing, tengah beralur, masih

muda hijau setelah tua coklat.

Biji : Kecil, bulat, masih muda putih kotor setelah tua coklat. Akar : Tunggang, putih kecoklatan.

(Syamsuhidayat & Hutapea, 1991) d. Kandungan

Kandungan kimia dari sambiloto bervariasi, salah satunya tergantung oleh faktor lingkungan, meliputi: ketinggian tempat tumbuh, suhu, kelembaban udara, curah hujan, cahaya matahari, unsur hara, sifat tanah, dan pH. Kandungan kimia tanaman sambiloto antara lain: andrografolid, neoandrografolid, homoandrografolid, 14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid, 14-deoksi-11-oksoandrografolid, 14-deoksiandrografolid, andrografin, panikulida A, B dan C, panikulin, 5-hidroksi-2’,7,8-trimetoksiflavon, 2’,5-dihidroksi-7,8-dimetoksiflavon, 4’,7-dimetilterapigenin, dan mono-O-metilwigtin (Sudarsono dkk., 1996). Andrografolid merupakan senyawa aktif utama tanaman sambiloto. Andrografolid ditemukan pada bagian akar (Kardono dkk., 2003), batang dan daun (Shukri dkk., 2005) serta herba (Kulyal dkk.,

(8)

2010). Herba sambiloto adalah bagian di atas tanah tanaman Andrographis paniculata Nees (Depkes RI, 1979).

e. Kegunaan

Sambiloto telah lama dikenal dan penggunaannya telah terbukti efektif dan berkhasiat baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Secara tradisional daun sambiloto digunakan masyarakat untuk meluruhkan air seni, menurunkan panas, obat penyakit kencing manis, disentri basiler, influenza, radang amandel, radang paru-paru, radang saluran pernafasan, radang ginjal, obat gatal, gigitan ular berbisa, bisul, luka bakar, luka karena infeksi, abses, dan kudis (Sudarsono dkk., 1996).

Efek farmakologi sambiloto menurut (Niranjan dkk., 2010) antara lain: antiinflamasi, anti HIV, antibakteri, antioksidan, antiparasit, antispasmodik, antidiabetes, antikarsinogenik, antipiretik, hepatoprotektif, nematosida, dan aktivitas lainnya. Selain itu, tanaman sambiloto juga berperan sebagai imunostimulan, antihiperglikemia, kardioprotektif, vasorelaksan, antiplatelet, dan hipotensif (Ojha dkk., 2012).

Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat yang dikembangkan oleh Badan POM sebagai bahan industri obat fitofarmaka. Hal ini didasarkan pada kandungan kimia yang cukup potensial dan berbagai khasiat tanaman ini untuk pengobatan telah diteliti dengan baik di dalam maupun di manca negara, antara lain untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi kuman, anti diare, demam, anti fertilitas, gangguan lever, dan anti bakteri (Yusron & Januwati, 2004).

(9)

f. Penyebaran dan habitat

Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Daerah tumbuh dan penyebarannya di dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Sambiloto seringkali tumbuh berkelompok. Tanaman ini tumbuh di daerah panas di wilayah Asia dengan iklim tropik dan sub tropik seperti di India, semenanjung Malaya, dan hampir seluruh pulau di Indonesia (Dalimartha, 1999). Selain itu, tanaman ini juga banyak ditemukan di Filipina, Sri Lanka, Thailand, Cina, Pakistan (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991).

Sambiloto sering ditemukan pula tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas permukaan laut (Muhlisah, 1998). Perbanyakan tanaman bisa dilakukan dengan biji (generatif) atau stek batangnya (vegetatif) (Prapanza & Marianto, 2003).

Syarat tumbuh tanaman sambiloto yaitu pada ketinggian tempat 1-700 m di atas permukaan laut; rata-rata curah hujan tahunan 2.000-3.000 mm/tahun, bulan basah (di atas 100 mm/bulan), bulan kering (di bawah 60 mm/bulan); suhu udara 25-320C; kelembaban sedang; intensitas cahaya sedang; tekstur tanah berpasir; sistem drainase baik; kedalaman air tanah 200-300 cm dari permukaan tanah; kedalaman perakaran lebih dari 25 cm dari permukaan tanah; keasaman (pH) 5,5 - 6,5; kesuburan sedang hingga tinggi (Badan POM RI, 2010).

(10)

Secara alami sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam. Yusron & Januwati (2004) mengemukakan bahwa sambiloto ditemukan pada tanah pasir pantai sampai pada ketinggian 900 m dpl pada tanah andosol yang subur dan tipe iklim B. Beberapa jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhan sambiloto yaitu tanah yang subur dan tidak terlalu kering seperti latosol, andosol dan regosol (Syukur & Hernani, 2002). Untuk mendapatkan hasil yang optimum dengan mutu yang memenuhi standar Materia Medika Indonesia, sambiloto membutuhkan kondisi agroekologi yang sesuai dan optimal. Faktor agroekologi sangat menentukan pertumbuhan, hasil dan mutu simplisia sambiloto (Yusron & Januwati, 2004).

Waktu panen yang tepat untuk simplisia sambiloto adalah saat tanaman berumur 3-4 bulan setelah ditanam, yaitu saat 50% tanaman mulai berbunga. Pemanenan dilakukan dengan cara memangkas bagian tanaman 15-20 cm di atas permukaan tanah (Bermawi, 2010). Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat yang daunnya dipanen pada waktu muda bersama dengan pucuknya.

2. Andrografolid

Andrografolid merupakan senyawa identitas dan senyawa kimia utama tanaman sambiloto. Zat utama yang ditetapkan pada penetapan kadar senyawa aktif sambiloto adalah andrografolid. Senyawa yang merupakan

(11)

suatu diterpen lakton ini, diisolasi dari tanaman sambiloto yang telah lama dikenal untuk pengobatan (Srivastava & Akhila, 2010). Dasar struktur andrografolid adalah diterpen, dengan rantai samping berupa furanolakton. Senyawa ini memiliki rasa sangat pahit, berbentuk kristal yang tidak berwarna dan memiliki rumus molekul C20H30O5 (Yadav & Singh, 2012).

Rasa pahit sambiloto 2,8 kali rasa pahit dari kuinin HCl (Ameh dkk., 2007). Andrografolid ditemukan pada bagian akar (Kardono dkk., 2003), batang dan daun (Shukri dkk., 2005) serta herba (Kulyal dkk., 2010). Andrografolid merupakan kristal tidak berwarna larut dalam metanol, etanol, aseton, piridin, etil asetat, kloroform, dan asam asetat, namun sedikit larut dalam air dan tidak larut dalam dietil eter (Qiang, 2007). Selain itu andrografolid dapat larut dalam eter (Sudarsono dkk., 1996). Kristal andrografolid berbentuk lempeng segi empat (Maryani & Suharmiati, 2003). Kadar andrografolid dalam ekstrak etanol P sambiloto tidak kurang dari 15,0% (Depkes RI, 2008).

Aktivitas farmakologi andrografolid antara lain: hepatoprotektif, antimikroba, antiparasit, menormalkan kardiovaskular, antioksidan, antiinflamasi, antihiperglikemia dan glikemia, berperan pada fertilitas, mengobati disentri, dan HIV (Akbar, 2011).

(12)

Gambar 2. Struktur kimia andrografolid

(Niranjan dkk., 2010)

3. Metode ekstraksi

Dalam Sediaan Galenik (1986), ekstraksi atau penyarian merupakan proses penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Zat aktif yang awalnya berada di dalam sel, ditarik cairan penyari sehingga terjadi pelarutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Umumnya penyarian akan bertambah baik jika permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas.

Dalam memilih cairan penyari, harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria: murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisik dan kimiawi, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif (yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki), dan tidak berpengaruh terhadap zat berkhasiat, dan diizinkan oleh peraturan.

(13)

Terdapat beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam pembuatan ekstrak, di antaranya adalah infundasi dan maserasi.

a. Infundasi

Infus merupakan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900 selama 15 menit. Infundasi merupakan proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Karena itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Keuntungan metode ini yaitu caranya sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional.

b. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia di dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan luar sel, larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel.

Rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (untuk mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan digojog kembali. Durasi maserasi berbeda-beda, setiap farmakope mencantumkan 4 hingga 10 hari. Menurut pengalaman, 5 hari sudah cukup

(14)

untuk melakukan maserasi (Voight, 1984).

Penyarian dengan metode maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga derajat perbedaan konsentrasi tetap terjaga. Hasil penyarian dengan metode maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan (Depkes RI, 1986). Selanjutnya perlu dilakukan remaserasi yang merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi yaitu cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan. Kerugian cara maserasi yaitu waktu pengerjaan lama dan penyarian kurang sempurna.

4. Ekstrak

Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan melakukan penyarian zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Secara sederhana definisi tersebut dapat diartikan bahwa ekstrak adalah produk dari simplisia yang diperoleh dengan menyari (dengan cara penyarian tertentu) simplisia dengan

(15)

pelarut cair dan dilanjutkan dengan dikentalkan atau dikeringkan. Berdasarkan konsistensinya, ekstrak dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu :

a. Cair : Ekstrak cair, tingtur, maserat minyak (Extracta fluida atau Extracta liquida)

b. Semi solid : Ekstrak kental (Extracta spissa) c. Kering : Ekstrak kering (Extracta sicca)

5. Parameter standar ekstrak tumbuhan obat

Parameter standar ekstrak tumbuhan obat terdiri atas parameter non spesifik, spesifik dan uji kandungan kimia ekstrak (Depkes RI, 2000).

a. Parameter non spesifik

Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan saat pembuatan simplisia.

1) Susut pengeringan

Merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 1050C selama 30 menit atau sampai bobot konstan, yang dinyatakan dalam persen. Bertujuan untuk memberikan batas maksimal atau rentang besarnya senyawa (air dan senyawa menguap lain) yang hilang selama proses pengeringan.

2) Kadar air

Merupakan pengukuran kandungan air yang ada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat di antara cara titrasi, destilasi, atau

(16)

gravimetri. Bertujuan untuk memberikan batas maksimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan.

3) Kadar abu

Prinsip penetapan ini yaitu bahan dipanaskan pada temperatur saat senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga hanya senyawa mineral (anorganik) yang tertinggal. Bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan ekstrak.

4) Sisa pelarut

Bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. 5) Residu pestisida

Merupakan kandungan sisa pestisida yang kemungkinan pernah ditambahkan atau mengkontaminasi bahan simplisia pada pembuatan ekstrak. Bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

6) Cemaran logam berat

Parameter ini menentukan kandungan logam berat dengan metode spektroskopi serapan atom atau yang lainnya secara lebih valid. Bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

(17)

7) Cemaran mikroba

Parameter ini menentukan (identifikasi) adanya mikroba patogen dengan cara analisis mikrobiologis. Bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

b. Parameter spesifik

Parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman.

1) Identitas

Parameter ini terdiri atas: deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama Indonesia tumbuhan) dan senyawa identitas. Bertujuan untuk memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.

2) Organoleptik

Merupakan cara mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa dengan menggunakan panca indera. Bertujuan untuk pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin.

3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Merupakan pelarutan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa

(18)

kandungan secara gravimetri. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

c. Uji kandungan kimia ekstrak 1) Pola kromatogram

Dalam parameter ini, ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan cara tertentu, lalu dianalisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram.

2) Kadar total golongan kandungan kimia

Bertujuan untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.

3) Kadar kandungan kimia tertentu

Dalam parameter ini, dengan tersedianya senyawa identitas atau senyawa kimia utama atau kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas linieritas, ketelitian, ketepatan, dan sebagainya. Bertujuan untuk memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi.

(19)

6. Kromatografi Lapis Tipis dan Densitometri

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang sesuai. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita di bagian awal. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Senyawa tak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

KLT digunakan secara luas untuk analisis kualitatif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis kuantitatif, dan isolasi skala preparatif (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Kelebihan metode KLT yaitu merupakan metode kromatografi yang paling sederhana dan alat yang diperlukan lebih murah serta memungkinkan melakukan analisis kromatografi pada beberapa cuplikan sekaligus. Selain itu hanya memerlukan sedikit pelarut dan cuplikan (Gritter dkk., 1985).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf.

Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal

Jarak garis depan dari titik awal

Angka Rf berkisar antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985). Nilai Rf dapat berlainan pada setiap

(20)

percobaan tergantung pada kondisi kejenuhan di dalam bejana kromatografi, aktivitas lapisan adsorben dan komposisi fase gerak (WHO, 1998).

Deteksi senyawa pada pelat KLT dibedakan untuk uji kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan KLT untuk tujuan uji kualitatif dapat menggunakan sinar ultraviolet atau pereaksi kimia atau gabungan keduanya. KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan densitometer sebagai alat pelacak jika cara penotolannya dilakukan secara kuantitatif (Sumarno, 2001).

Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT. Interaksi yang ditentukan adalah absorbsi, transmisi, pantulan pendar fluor dari radiasi semula. Densitometri lebih dititikberatkan untuk menganalisis kuantitatif analit dengan kadar yang kecil sehingga perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja & Suharman, 1995).

Umumnya pengukuran kerapatan bercak pada KLT densitomeri dibandingkan terhadap kerapatan sediaan baku senyawa yang bersangkutan, yang juga dielusi pada lempeng yang sama. Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur intensitas warna bercak dari senyawa standar yang dielusi bersama-sama. Syarat-syarat senyawa standar adalah murni, inert dan stabil.

Sinar yang dipantulkan dengan arah sudah pasti menuju bercak, maka arah pantulannya pun sudah pasti hingga dapat dipantau jumlah sinar yang

(21)

diserap. Sinar ini sangat sensitif dan selektif, maka untuk setiap senyawa dapat dicari panjang gelombang maksimumnya (Sumarno, 2001). Dalam analisis kuantitatif, metodologi yang sesuai, peralatan yang tepat, dan metode validasi merupakan syarat utama (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Validasi metode analisis merupakan suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Beberapa parameter validasi metode penetapan kadar, terdiri atas: a. Penentuan panjang gelombang maksimum

Sebelum dilakukan penetapan kadar senyawa aktif dalam ekstrak, terlebih dahulu dilakukan penetapan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang saat senyawa yang ditetapkan mempunyai serapan maksimum (Fatah & Rumiyati, 2001). Penetapan ini perlu dilakukan karena kepekaan analisis pengukuran lebih besar pada panjang gelombang maksimum sehingga adanya perubahan kadar yang kecil sekalipun akan dapat terlihat jelas pada nilai serapan yang berubah, selain itu pada panjang gelombang maksimum kesalahan pengukuran saat dilakukan pengukuran ulang (replikasi) adalah paling kecil (Mulja & Suharman, 1995).

b. Pengukuran linieritas

Pengukuran linieritas perlu dilakukan sebelum melakukan perhitungan karena perlu ditentukan terlebih dahulu ada tidaknya korelasi linier dan signifikansi antara variabel-variabel yang akan diuji (Mursyidi,

(22)

1985). Linieritas metode dapat ditunjukkan dengan adanya hubungan linier antara kadar zat yang dianalisis dengan luas puncak bercak pada densitometri.

c. Pengukuran akurasi

Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan ketepatan hasil yang diperoleh dari suatu metode analisis dengan kadar sebenarnya. Akurasi merupakan suatu cara untuk menyatakan adanya penyimpangan (deviasi) yang digunakan (Meier, 2000).

d. Pengukuran presisi

Presisi adalah derajat keterulangan (reproducibility) metode analisis. Pengukuran presisi berguna untuk mengetahui sejauh mana tingkat ketelitian dari prosedur yang digunakan. Penetapan presisi sangat diperlukan karena suatu hasil dapat dikatakan cermat jika pada suatu seri pengukuran, perbedaan hasil pengukuran yang satu dengan yang lainnya kecil (Mursyidi, 1985). Ukuran presisi yang paling umum dipakai adalah standar deviasi dan koefisien variasi (ICH Group, 2005).

e. Pengukuran homogenitas

Dalam tahap ini, larutan pembanding yang memiliki kadar sama ditetapkan kadarnya. Hal ini untuk melihat apakah larutan yang dibuat cukup homogen dan apakah metode analisis kadar ini tepat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa aktif.

(23)

f. Pengukuran kadar senyawa aktif

Pengukuran kadar senyawa aktif dapat dijadikan informasi kadar kandungan senyawa aktif sebagai parameter mutu ektrak dalam kaitannya dengan kualitas ekstrak.

7. Faktor lingkungan yang mempengaruhi metabolisme tumbuhan

Tumbuhan mensintesis metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pertahanan dari serangan organisme lain, dan untuk kelangsungan hidup di tempat tumbuhnya yang seringkali mengalami perubahan lingkungan. Faktor lingkungan sangat berperan dalam regulasi biosintesis metabolit tumbuhan (Cseke dkk., 2006). Pengaruh faktor-faktor lingkungan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Setiap spesies memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang berbeda agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal. a. Ketinggian tempat tumbuh

Ketinggian tempat tumbuh merupakan kondisi lingkungan yang di dalamnya dapat mencakup keragaman kondisi yang dapat membatasi ataupun mendukung pertumbuhan tanaman (Duryat, 2008). Ketinggian tempat tumbuh termasuk faktor fisiografis, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur dari permukaan tanah. Elevasi tanah berpengaruh terhadap keadaan lingkungan tempat tumbuh tanaman, terutama suhu, kelembaban, kadar oksigen di udara dan keadaan tanahnya. Ketinggian tempat memiliki korelasi positif dengan

(24)

kelembaban udara. Tingkat ketinggian tempat yang semakin tinggi menyebabkan kelembaban udara juga semakin tinggi (Daryono, 2002). Ketinggian dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kondisi suatu tumbuhan, baik dari segi morfologi maupun fisiologi. Seiring meningkatnya gradien ketinggian tempat tumbuh, terdapat perbedaan ketersediaan nutrisi, kelembaban, suhu, dan intensitas cahaya yang akan mempengaruhi metabolisme tumbuhan.

b. Intensitas cahaya

Cahaya sangat penting dalam siklus hidup tumbuhan karena merupakan faktor kunci utama produksi senyawa yaitu sebagai pasokan energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya fotosintesis (Cseke dkk., 2006). Proses fotosintesis akan menghasilkan metabolit primer yang digunakan untuk metabolisme tanaman sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan. Di samping itu, metabolit primer dipakai untuk menyusun metabolit sekunder yang mendukung proses adaptasi dan proteksi tanaman (Purwanti, 2007). Aktivitas sintesis zat-zat makanan ini juga berbeda-beda tergantung pada banyaknya cahaya matahari yang mengenai tanaman. Hal ini mempengaruhi sifat hasil tanaman obat yang diperoleh. Cahaya juga mempengaruhi kerja hormon-hormon pertumbuhan (auksin) yang berperan pada pembesaran dan pemanjangan sel pada tanaman (Hopkins & Huner, 2009).

Intensitas cahaya matahari termasuk faktor klimatik, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan keadaan

(25)

atmosfer tumbuhan (Rost dkk., 1979). Tumbuhan terdiri atas spesies yang mampu tumbuh terpapar cahaya dan dengan naungan (tempat teduh), tergantung pada kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap pancaran sinar matahari (Hopkins & Huner, 2009). Setiap tanaman memiliki toleransi (kemampuan menerima cahaya) yang berbeda-beda. Beberapa tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat terbuka sedangkan yang lainnya dapat tumbuh dengan baik di tempat teduh (bernaungan) hingga batas tertentu. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Naungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan terhadap radiasi matahari yang diterima tanaman, baik intensitas maupun kualitasnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai aktivitas tanaman (Suryawati dkk., 2007).

Intensitas cahaya matahari yang berbeda akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang berbeda pula pada tanaman. Sebagai contoh, perlakuan tanpa naungan memberikan pengaruh terbaik untuk mempercepat pertumbuhan bibit rosela (Hibiscus sabdariffa L.) (Setyowati, 2011).

Meskipun cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis, terlalu banyak cahaya yang diterima dapat menghambat fotosintesis. Intensitas cahaya yang berlebihan ini disebut sudah mencapai titik jenuh cahaya (Hopkins & Huner, 2009). Tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah saat mencapai titik jenuh cahaya.

(26)

Tingkat intensitas cahaya yang kurang atau berlebih dapat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal. Proses metabolisme yang tidak normal dapat mempengaruhi pembentukan kadar senyawa aktif tumbuhan. Semakin tinggi intensitas cahaya tidak berbanding lurus dengan optimalnya pertumbuhan tanaman. Tingginya intensitas cahaya harus pada kondisi optimum untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil metabolit yang paling optimal. Tumbuhan tumbuh dan menghasilkan metabolit paling optimal pada tingkat cahaya yang sesuai dengan kebutuhan cahaya tumbuhan tersebut (Vickery, 1984).

Pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis yang akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi menyebabkan struktur kloroplas rusak. Di sisi lain, kondisi kekurangan cahaya mengakibatkan metabolisme terganggu, sehingga menyebabkan laju fotosintesis menurun (Sopandie dkk., 2003).

c. pH tanah

Nilai pH tanah merupakan gambaran kepekatan ion hidrogen dalam partikel tanah. Semakin tinggi kadar H+, tanah tersebut dikatakan asam dan jika semakin rendah dikatakan basa. Keasaman tanah merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah. pH tanah termasuk faktor edafik, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan keadaan tanah. Kondisi keasaman

(27)

mempengaruhi bahan fisik tanah, ketersediaan mineral tertentu, serapan unsur hara, adanya unsur-unsur beracun, dan aktivitas biologi di dalam tanah sehingga berpengaruh kuat pada pertumbuhan tanaman. Kebanyakan tanaman tumbuh baik pada tanah yang netral, agak asam, atau sedikit basa. Perubahan kondisi keasaman bisa menyebabkan perubahan dalam proses biokimia dan fisiologi pada semua tanaman (Gerendas & Raticliffe, 2000).

Tanah-tanah asam, seperti tanah di bawah pohon berdaun jarum, berkisar antara pH 3,5-5,0, tanah pertanian pada area lembab berkisar antara pH 5,0-7,0, dan tanah di daerah kering hingga gersang ataupun tanah bergaram dapat mencapai pH setinggi 11,0 tetapi pada umumnya berkisar 8,0-9,0. Keasaman tidak secara langsung berespons terhadap pertumbuhan tanaman. pH tanah mempengaruhi ketersediaan nutrien tumbuhan. Di tanah asam, ion hidrogen (H+) mengganti kation lain (ion positif, seperti K+, Ca2+, dan Mg2+) dengan partikel negatif tanah (Rost dkk., 1979).

Tingkat keasaman tanah berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Nutrisi dari tanah dapat diabsorbsi oleh akar dalam bentuk senyawa yang sesuai. Jika pH tanah terlalu asam atau terlalu basa maka beberapa nutrisi yang dibutuhkan tak tersedia dalam bentuk senyawa yang dapat diabsorbsi. Saat pH terlalu asam umumnya mengalami kekurangan kalsium, magnesium, dan kalium, serta konsentrasi nitrogen dan fosfor yang rendah. Kondisi pH yang terlalu basa karena adanya kalsium tidak menimbulkan efek stres yang berlebih pada

(28)

tumbuhan. Kalsium memberi efek yang menguntungkan karena meningkatkan agregasi partikel tanah sehingga meningkatkan aerasi dan aliran air ke tanah (Vickery, 1984).

Kelarutan nutrien tertentu di tanah dan laju penyerapannya oleh tumbuhan sangat dipengaruhi oleh pH. Beberapa unsur hara fungsional seperti unsur besi, seng, tembaga, dan mangan berkurang ketersediaannya jika pH dinaikkan dari 5,0 menjadi 7,5 atau 8,0 sehingga kurang larut pada tanah basa dibandingkan pada tanah asam karena ion itu mengendap sebagai hidroksida pada pH tinggi. Pada pH < 5,0 besi dan mangan menjadi larut dalam jumlah cukup banyak yang dapat menyebabkan tanaman keracunan. Fosfat, yang kebanyakan terserap dalam bentuk ion H2PO4- valensi satu, lebih segera terserap dari larutan hara dengan nilai pH

5,5 sampai 6,5 ketimbang pada nilai pH lebih rendah atau lebih tinggi. Pada tanah ber-pH tinggi, lebih banyak fosfat yang berada dalam bentuk ion HPO42- valensi dua yang lambat terserap. Selain itu, sebagian besar

fosfat berada dalam bentuk kalsium fosfat yang tak larut. Pada pH yang sangat tinggi, ion bikarbonat akan dijumpai dalam jumlah banyak sehingga dapat mengganggu serapan normal unsur lain dan sangat merugikan pertumbuhan tanaman.

Pada tanah ber-pH rendah, yang mestinya banyak mengandung H2PO4-, konsentrasi ion aluminium yang sering tinggi menyebabkan

mengendap sebagai aluminium fosfat. Konsentrasi aluminium yang cukup tinggi pada tanah asam (yang pHnya di bawah 4,7) dapat menghambat

(29)

pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tapi tampaknya juga karena penghambatan penyerapan besi dan karena efek beracun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan. Curah hujan tinggi mengakibatkan pencucian kalsium dan pembentukan tanah asam sehingga kalsium biasanya terdapat hanya sedikit pada tanah asam dan melimpah pada tanah ber-pH tinggi. Kalsium yang kurang melimpah pada tanah asam mungkin juga menghambat pertumbuhan tanaman hanya karena H+ jauh lebih beracun terhadap akar bila tidak ada kalsium. pH tanah yang ekstrim juga dapat mempengaruhi pertumbuhan secara tidak langsung dengan menekan pertumbuhan bakteri (Rost dkk., 1979; Salisbury dkk., 1995).

d. Kelembaban tanah

Kelembaban tanah termasuk faktor edafik (Rost dkk., 1979). Kelembaban tanah merupakan kondisi lingkungan yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi laju metabolisme dan pertumbuhan tanaman. Kelembaban tanah menunjukkan kadar air di dalam tanah. Kelembaban tanah optimal bagi suatu jenis tanaman obat tidak selalu optimal bagi tanaman obat lainnya. Saat musim kemarau, kelembaban tanah rendah sehingga kandungan zat-zat aktif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman obat pada musim hujan (kelembaban tanah tinggi).

(30)

8. Deskripsi daerah tempat tumbuh a. Dlingo

Dlingo merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis wilayah ini berada di dataran rendah. Sebanyak 81,93% atau sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian 25-100 m dpl, sedangkan 18,07% atau sebagian kecil wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian 100-500 m dpl. Kecamatan Dlingo mempunyai luas wilayah 5.587 Ha. Kecamatan ini beriklim tropis dengan cuaca panas sebagai ciri khasnya. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Dlingo adalah 32ºC dengan suhu terendah 24ºC. Jenis tanah di wilayah ini yaitu latosol dan mediteran (Pemerintah Kabupaten Bantul, 2012; Wikipedia, 2013a).

b. Prambanan

Prambanan merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis sebagian wilayah ini berupa perbukitan. Sebanyak 75,32% atau sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian 100-499 m dpl, sedangkan 10,52% atau sebagian kecil wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian <100 m dpl. Kecamatan Prambanan mempunyai luas wilayah 4.135 Ha. Kecamatan ini beriklim tropis. Jenis tanah di wilayah ini yaitu latosol dan regosol (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2010; Wikipedia, 2013b).

(31)

c. Kalibawang

Kalibawang merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis sebagian wilayah ini berupa perbukitan. Sebanyak 17,04% atau sebagian kecil wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian 101-500 m dpl, sedangkan 82,96% atau sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam ketinggian 26-100 m dpl. Kecamatan Kalibawang mempunyai luas wilayah 5.297 Ha dan beriklim tropis. Jenis tanah di wilayah ini yaitu latosol dan grumosol (Wikipedia, 2013c).

E. Keterangan Empiris

Keterangan empiris yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu ekstrak herba sambiloto memenuhi persyaratan parameter standar mutu ekstrak dan senyawa aktif andrografolid dapat ditetapkan kadarnya dengan metode KLT-densitometri. Ketinggian tempat, intensitas cahaya, pH dan kelembaban tanah berpengaruh terhadap produksi kadar andrografolid herba sambiloto dari daerah Dlingo, Prambanan dan Kalibawang yang memiliki perbedaan kondisi tempat tumbuh, serta untuk dapat mengetahui daerah yang menghasilkan sambiloto dengan kadar andrografolid tertinggi.

Gambar

Gambar 1. Tanaman sambiloto
Gambar 2. Struktur kimia andrografolid

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaannya pada kegiatan pendahuluan dosen menyampai- kan hasil kerja mahasiswa minggu yang lalu menggunakan edmodo ; dan saran-saran penggunaan edmodo untuk kegiatan pada

Data primer diperoleh melalui wawan- cara mendalam oleh peneliti yang dilakukan dengan pasien selama menjalani pelayanan hemodialisis, disertai dengan observasi interaksi

Hasil pengujian terhadap hipotesis 1 yang telah dilakukan pada Bab IV menunjukkan bahwa kualitas layanan sebagai variabel bebas memiliki pengaruh positif yang

Keterangan; S=Signifikan, NS=Non-Signifikan Pada Tabel 1 dapt dilihat bahwa pupuk organik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua parameter pertumbuhan dan

Jenis Kelamin, Pendidikan, Agama, Status Pernikahan, dan Jumlah yang Dimiliki Lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dewanata Cilacap ... 43 Tabel 4.2 Distribusi

5 Kata nafs yang dalam bahasa Arab masih bersifat umum, dan itu bisa mempunyai bermacam-macam arti, yang kemudian ditambahi dengan istilah al- amarah , sehingga menjadi

Dalam berbagai kasus infeksi cacing tersebut dapat ditemukan berbagai keadaan yang beragam mulai dari akut sampai kronik tergantung jumlah telur yang dikeluarkan yang

Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa lahan sawah Kecamatan Stabat memiliki kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) sampai kelas tidak sesuai saat ini (N1)