BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidup Hama S. asigna2.1.1. Telur
Telur bewarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat berukuran tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar pada permukaan daun bagian bawah (Gambar 2.1), biasanya pada pelepah daun ke- 6 dan ke- 17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir telur dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300- 400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakkan (Susanto, 2012).
Gambar 2.1 Telur S. asigna Sumber : Tugasti, 2019
2.1.2. Larva
Larva yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 larva memakan daun mulai dari ujung kearah pangkal daun, selama perkembangannya larva berganti kulit sebanyak 7-8 kali. Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh dibagian punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih (Gambar 2.2). Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instarnya, semakin tua umurnya menjadi semakin gelap. Larva instar
terakhir ( instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia larva berlangsung selama 49-50,3 hari (Sulistyo, 2010).
Gambar 2.2 Larva S. asigna Sumber : Tugasti, 2019
2.1.3.Pupa
Larva berpupa pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Pupa diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur larva, berbentuk telur dan berwarna coklat gelap (Gambar 2.3). Kokon jantan dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia kepompong berlangsung selama ± 39,7 hari (Sulistyo, 2010).
Gambar 2.3 Pupa S. asigna Sumber : Tugasti, 2019 2.1.4. Imago
Stadium hama S. asigna mulai dari telur hingga menjadi ngengat berkisar antara 92,7 - 98 hari. Stadium telur berlangsung selama 4 - 8 hari. Stadium
larva berkisar antara 45 - 50 hari. Stadium pupa berlangsung 39,7 hari. Lebar rentang sayap serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing 41 mm – 51 mm. Sayap depannya berwarna coklat kemerahan dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda (Gambar 2.4) (Sulistyo, 2010).
Gambar 2.4Imago S. asigna Sumber : Susanto, 2012 2.2 Gejala Serangan Hama (S. asigna)
Gejala serangan dari berbagai macam hama UPDKS hampir sama yaitu melidinya daun kelapa sawit apabila serangan berat. Serangan S. asigna dilapangan umumnya mengakibatkan daun kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi. Tanaman kelapa sawit tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat berat (Susanto , 2012).
Apabila kerusakan daun terjadi pada kelapa sawit yang lebih muda, maka kehilangan hasil yang ditimbulkannya menjadi lebih kecil. Kehilangan daun sebesar 50% pada tanaman kelapa sawit yang berumur 2 tahun dan 1 tahun, masing-masing akan mengakibatkan penurunan produksi 12%-24% dan <4% pada dua tahun pasca serangan (Sulistyo, 2010).
Gambar 2.5 Daun Kelapa Sawit Yang Terserang Larva S. asigna Sumber : Tugasti, 2019
2.3 Monitoring Populasi
Hama UPDKS tidak mungkin tiba-tiba terjadi ledakan hama dalam waktu singkat dan dalam luasan yang sangat luas. Serangan hama ini selalu dimulai dari satu atau dua pohon kelapa sawit saja. Apabila keadaan termonitor dengan baik maka tindakan akan lebih mudah dan murah serta akibat selanjutnya tidak menyebar. Apabilla sudah terlanjur meledak (outbreak) dalam luasan sangat besar, pengendalian akan menjadi lebih sulit apabila stadia sudah tumpang tindih (overlapping) (Susanto, 2014).
Dalam keadaan aman, monitoring UPDKS dilakukan dengan mengamati 1 pohon contoh/ha kelapa sawit setiap satu bulan sekali. Pada setiap pohon contoh diamati 2 pelepah daun yang terletak pada bagian tengah dan bawah tajuk kelapa sawit. Apabila terjadi serangan UPDKS maka jumlah pohon contoh ditambah menjadi 5 pohon/ha dan diamati setiap dua minggu sekali. Cukup diamati 1 pelepah daun/pohon contoh, yakni pada pelepah daun yang diduga paling banyak dijumpai UPDKS. Ambang batas ekonomi populasi kritis serangan hama S. asigna adalah sekitar 5-10 larva/pelepah daun kelapa sawit (Sulistyo, 2010).
2.3.1 Peledakan Populasi Hama
Peledakan populasi hama selalu terjadi diperkebunan kelapa sawit. Penyebab peledakan tersebut adalah akibat a) Kurang/tidak ada musuh alami (Parasit dan Predator) hama, b) Pengendalian hama yang berlebihan, c) Penggunaan insektisida yang kurang tepat d). Tidak dilakukannya monitor populasi hama (Saleh, 2019).
2.3.2 Sensus Secara Menyeluruh (Global telling)
Dibuat titik sampel tetap pada tiap blok kelapa sawit dengan jumlah pohon sample sebanyak 1 pohon/ha dan ditentukan secara sistematis dimulai dari pinggir blok, serta ditandai dengan cat. Pada tanaman dewasa yang sudah tinggi untuk menghindari pemotongan pelepah terlalu banyak maka ditetapkan 12 sampel tanaman sekelilingnya pohon sampel atau bergeser menyamping. Untuk tanaman muda atau kurang dari 5 tahun cukup diambil sampel 6 pohon sampel karena pengamatan masih dapat dilakukan dengan cara dikait dengan kayu (Susanto, 2012).
2.3.3 Sensus Secara Efektif (Effective telling)
Sensus efektif dilakukan segera apabila hasil dari sensus global sudah melampaui padat populasi kritis hama UPDKS. Sensus ini hanya dilakukan pada blok-blok yang melebihi padat populasi kritis. Banyak pohon yang diamati adalah 5 pohon/ha disekitar pohon yang terserang melebihi padat populasi kritis. Cara sensus efektif sama dengan cara sensus global. Apabila hasil dari sensus global diketahui bahwa padat populasi sudah melebihi ambang dan sudah menyebar maka sensus efektif tidak perlu dilakukan dan langsung dilakukan tindakan pengendalian (Susanto, 2012).
2.4 Metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) S. asigna
Dalam sistem PHT, pengenalan terhadap jenis dan biologi hama sasaran diperlukan sebagai dasar penyusunan taktik pengendalian. Tindakan pengendalian hama dilaksanakan sesuai dengan hasil monitoring populasi , dan hanya dilakukan apabila populasi hama tersebut melebihi batas populasi
kritis yang ditentukan, serta mengutamakan pelestarian dan pemanfaatan musuh alami yang ada dalam ekosistem kelapa sawit (Sudharto, 2005).
Ada banyak musuh alami hama Lepidoptera, beberapa dari musuh alami dapat menginfeksi telur, larva dan pupa S. asigna. Keberhasilan dalam pengendalian biologi oleh musuh alami tergantung pada keberadaan populasi mush alami yang ada di daerah kelapa sawit. Dampak mereka menekan populasi hama. Di sisi lain tanaman berbunga sebagai sumber makanan mereka benar-benar bervariasi di perkebunan kelapa sawit. Jika keseimbangan ekosistem terganggu, maka akan memudahkan terjadinya peningkatan populasi hama, sehinggaakibatnya terjadi ledakan hama. Menggunakan bahan kimia yang tidak benar akan merusak ekosistem sehingga akan muncul hama sekunder dan hama menjadi resisten. Manajemen hama terpadu menjaga keanekaragaman kelimpahan musuh alami di areal kelapa sawit, Antigonon leptopus dan Turnera subulata, tanaman berbunga adalah sumber makanan alternatif yang sesuai untuk musuh alami karena tanaman ini memberikan manfaat dari serbuk sari dan nektar untuk makanan cadangan bagi parasitoid dewasa dan beberapa predator (Saleh dan Siregar, 2017).
Pengendalian hama pada tanaman hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Oleh karena itu, konsep pengendaliannya dimulaidari pengenalan dan pemahaman terhadap siklus hidup hama itu sendiri. Pemilihan jenis, metode (biologi, mekanik, kimia, dan terpadu), serta waktu pengendalian yang dianggap paling cocok akan dilatarbelakangi oleh pemahaman atas siklus hidup hama tersebut (Pahan, 2012).
Pada beberapa perkebunan kelapa sawit di Sumatera telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator hama larva pemakan daun. Parasitoid dan predator tersebut berperan penting sebagai faktor pengendali populasi hama secara alami di perkebunan kelapa sawit sehingga perlu dijaga kelestariannya dan perlu diperhitungkan serta dimanfaatkan di dalam pengendalian UPDKS.
Pengunaan insektisida kimia sintetik diupayakan sebagai rindakan terakhir, dan sebisa mungkin dipilih jenis insektisida serta tekhnik aplikasi yang paling aman bagi lingkungan, khususnya untuk kelangsungan hidup parasitoid dan predator UPDKS (Sulistyo, 2010).
2.4.1 Pengendalian Secara Mekanik
Secara mekanik dengan pengutipan semua stadia hama seperti, larva, pupa maupun ngengat. Cara mekanik lain adalah melakukan pemerangkapan stadia imago dengan perangkap cahaya lampu kuning (light trap), menggunakan lampu listrik dan ember air yang di isi deterjen (Sudharto dkk, 2005).
2.4.2 Pengendalian Secara Hayati
Pengendalian hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama (Untung, 2013).
Ada 5 famili musuh alami S. asigna yang ditemukan pada tanaman berbunga
Antigonon leptopus, Turnera subulata dan Ageratum conyzoides yaitu Pentatomidae, Mantidae, Eulophidae, Icheneumonidae, Tachinidae.
Kelimpahan musuh alami di perkebunan kelapa sawit harus dibantuoleh tanaman berbunga yang menyediakan sumber makanan dari musuh alami. Nektar, serbuk sari dan air adalah makanan utama parasitoid alami dan predator. Makanan ini diproduksi oleh tanaman berbunga (Saleh dan Siregar, 2017).
Pada saat ini telah banyak tersedia di pasaran bioinsektisida berbahan aktif B.
thuringiensi, Jamur C. militaris efektif memparasit pupa S asigna dan S. nitens. Jamur ini dapat di aplikasikan dalam formulasi khusus atau
menggunakan hasil gerusan pupa yang terinfeksi. Selain itu agens hayati lain virus NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) digunakan untuk mengendalikan larva S. asigna. Virus NPV ini bersifat sangat spesifik. Virus NPV Setothosa
nitens hanya cocok untuk S. nitens. Walaupun pengaruhnya tidak secepat
pestisida, akan tetapi kesesuaiannya sebagai metode pengendalian yang berkesinambungan sangat tepat (Sudharto, 1991 dalam Susanto, 2012).
2.4.3 Pengendalian Kimiawi
Pada kondisi peledakan (APH tidak mampu menekan perkembangan populasi UPDKS) maka aplikasi insektisida kimia terpaksa dilakukan untuk menurunkan populasi UPDKS secara cepat, sehingga tidak terjadi kerugian/kerusakan yang lebih besar. Pada kondisi ini, untuk ulat api biasanya dipilih insektisida golongan Piretroid sintetis. Aplikasi dengan Piretroid
sintetis dengan dosis 200-300 cc/ha dilakukan secara selektif pada areal yang
perlu dikendalikan sesuai dengan sensus pengendalian. Insektisida lain yang ramah lingkungan dapat diaplikasi pada stadia larva dini seperti Chitine
inhibitor/Insect Growth Regulator (IGR) dengan dosis 200-300 cc/ha
(Sudharto, 2005).
2.4.4 Insektisida Biologi a. Jamur
Lebih dari 36 genus jamur mengandung spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada serangga. Jamur-jamur yang berasosiasi pada serangga disebut
entomogenous fungi (jamur serangga). Jamur dari genus Entomopthora, Cordyceps, dan Coelomycidium menunjukkan spesifikasi yang cukup tinggi
dan banyak menyerang hama-hama serangga. Gejala umum infeksi pada serangga adalah adanya pertumbuhan miselium jamur pada kutikel serangga (dewasa atau larva). Kemudian lama kelamaan pertumbuhan miselium ini membungkus seluruh permukaan tubuh dan miselium-miseliumnya menembusi bagian internal seluruh tubuh serangga serta mengolonisasi haemokul (Sembel, 2010).
b. Virus
Penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun 1980-an.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa NPV efektif mengendalikan larva grayak Spodoptera litura dan S. exigua yang merupakan hama utama tanaman tembakau dan kapas di Indonesia. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk pengendalian hama penting tanaman perkebunan di Indonesia lainnya masih pada tahap laboratorium. Seperti virus ulat jengkal pada tanaman teh Hyposidra talaca NPV (HtNPV) dan virus ulat bulu pada tanaman Ylang-ylang Maenas maculifascia NPV (MmNPV) (Samsudin, 2016).
Gejala umum adanya infeksi virus pada serangga (larva) ialah terjadinya perubahan warna larva menjadi agak transparan, larva berhenti makan, dan sebelum mati larva yang terinfeksi virus biasanya tergantung pada bagian ujung ranting atau daun tanaman (Sembel, 2010).
c. Bakteri
Bakteri dapat menyebabkan penyakit pada seranga (larva), seperti disentri, septisemia, dan keracunan. Dalam kondisi tertentu infeksi penyakit pada serangga dapat menyebabkan adanya epizootik dimana sebagian populasi terserang oleh bakteri. Pada musim hujan sering ditemukan larva-larva Lepidoptera yang terserang bakteri telah membusuk berwarna hitam. Larva-larva yang telah membusuk ini kemudian mengering dan menempel pada permukaan daun ( Sambel, 2010).
2.5 Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt)
Bacillus thuringiensis adalah bakteri nonobligat. Bakteri ini dapat hidup
dalam inangnya, bersifat nonfastidious, yaitu tidak membutuhkan nutrisi yang kompleks dan dapat dengan mudah dibiakkan dalam media buatan. Jenis ini adalah bakteri yang bersifat sangat patogenik terhadap banyak jenis larva Lepidoptera. Jika bakteri ini mengadakan sporulasi, mereka membentuk kristal yang disebut delta endotoksin yang sangat beracun jika termakan oleh larva Lepidoptera (Sembel, 2010).
Bakteri yang menyerang serangga umumnya termasuk famili Bacillaceae,
Lactobacilaceae, Brevibaceriaceae dan Pseudomonaceae. Bakteri pembentuk
spora ini membentuk endosporayang tahan secara dorman dilapangan atau diluar tubuh inang. Endospora ini bila tertelan oleh serangga inang yang rentan, maka spora tersebut akan tumbuh berkecambah dalam saluran pencernaan ( Gazhali, 2017 ).
2.5.1 Morfologi &Klasifikasi Bakteri Bacillus thuringiensis Kedudukan taksonomi Bacillus thuringiensis adalah sebagai berikut: Kerajaan : Prokariota Filum : Bakteria Kelas : Bacilli Bangsa : Bacillales Suku : Bacillaceae Marga : Bacillus
Jenis : Bacillus thuringiensis Linn
Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram-positif berbentuk batang, yang
tersebar luas di berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup didaun tanaman konifer maupun pada tanah (Wikipedia, 2018).
Gambar 2.6 : Sporangium Bacillus thuringiensis yang menunjukan Kristal (panah)dan spora(perbesaran dengan mikroskop elektron)
Studi tentang Bacillus thutingiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan beerkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang berbeda sifatnya. Saat ini dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan varietas atau strain Bt yang masih terus berlanjut. Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (endotoksin) gen-gen protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Karna sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk memformulasikannya (Untung, 2013).
Untuk dosis yang dianjurkan untuk pengendalian larva S. asigna di perkebunan kelapa sawit adalah 350-500 ml/ha, dilapangan dosis 250 ml/ha sudah efektif untuk mengendalikan larva S. asigna (2019, Saleh, 2017). 2.5.2 Cara Kerja Kristal Protein Bacillus thuringiensis (Bt)
Cara kerja Bt dapat diuraikan sebagai berikut, racun Bt harus dimakan oleh hama serangga yang peka agar Bt dapat efektif bekerja. ICP (Insectisidal
Crystal Proteins) atau spora ICP yang mengandung racun cry (crystal toxins)
terikat pada bagian permukaan sel perut tengah membentuk lubang-lubang yang menghancurkan kemampuan sel untuk mengendalikan pertukaran molekul (Siegel, 2000, dalam Sembel, 2010)
Menurut Bahagiawati (2002), ada 8 kelompok kelas utama kristal endotoksin Bt, yaitu cry1A sampai cryX berdasarkan homologi sekuen asam amino di N-terminalnya, delapan kelas tersebut adalah:
1. Cry1 yang menyerang serangga Lpidoptera 2. CryII yang menyerang Lepidoptera dan Diptera 3. CryIII yang menyerang Koleoptera
4. CryIV yang menyerang Diptera
5. CryV yang menyerang Lepidoptera dan Koleoptera 6. CryVI yang menyerang Nematoda
8. CryX yang menyerang Lepidoptera
Pengetahuan tentang mekanisme daya kerja dari endotoksin ini penting untuk menentukan proses kunci (key process) yang bertanggung jawab terhadap kespesifikan dari sebuah kristal protein.
Pada proses infeksi, serangga–serangga rentan dapat mati karena racun kristal tadi atau menjadi sangat lemah sehingga bakteri mampu masuk ke dalam hemocoel (rongga tubuh yang berfungsi sebagai alat peredaran darah yang mengangkut sari-sari makanan) dan menimbulkan septicemia (kehadiran banyak bakteri dalam darah) yang mematikan. Selain kristal tersebut, bakteri pembentuk kristal ini setidak–tidaknya menghasilkan tiga macam substansi lain yang bersifat sebagai racun terhadap serangga (Gazali, 2017).
Reaksi pertama yang terlihat bila larva muda atau larva tua terkena Bt adalah kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu beberapa jam sampai 4-5 hari setelah infeksi pertama tergantng pada setrotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga inang (Untung, 2013).
Protoxin mengikat receptor membrane glycoprotein (lapisan glycoprotein yang berfungsi sebagai desinfektan dibagian luar tubuh serangga)yang terdapat pada sel perut tengah mengakibatkan terjadinya pori. Kerusakan pada epitelium perut tengah berhubungan dengan berhentinya makan dan terjadinya paralisis pada serangga. Pelukaan pada perut tengah juga mengakibatkan terjadinya septosemia yang pada akhirnya mengakibatkan kematian serangga. Jenis bakteri ini yang terpenting dan yang paling terkenal sebagai patogen serangga yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama serangga (Sembel, 2010).
Umumnya strain Bt diseleksi berdasarkan potensinya untuk menghambat pertumnuhan serangga. Karena salah satu kelemahan yang sering dijumpai
dalam pengaplikasian Bt dilapangan adalah sensitivitasnya terhadap sinar ultra violet (UV) maka seleksi juga harus berdasarkan tingkat ketahannya tehadap sinar UV. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka gen Bt dapat diisolasi. Bahkan dengan teknik rekombinan DNA telah membuka kemungkinan untuk memanipulasi gen Bt sehingga train Bt menjadi lebih baik (Bahagiawati, 2002).