• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini berangkat dari kemunculan berbagai kasus krisis yang menimpa perusahaan dan organisasi yang ada. Pada beberapa perusahaan dan organisasi muncul kesan bahwa perusahaan atau organisasi tersebut tidak siap menghadapi krisis atau bahkan tidak mampu menangani dan menyelesaikan krisis yang menimpanya. Ketika sebuah organisasi atau perusahan diterpa krisis yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, maka semua elemen organisasi atau perusahaan akan hilang kendali, bingung, dan gagap dalam menghadapi krisis yang menerpanya. Diperlukan pengetahuan yang cukup dan persiapan strategi sebagai modal untuk menghadapi krisis yang mungkin akan terjadi, sehingga krisis yang terjadi dapat ditangani secara profesional. Hal itu perlu dilakukan guna tetap menjaga citra baik perusahaan, tetapi pada kenyataanya tidak semua perusahaan memiliki kesiapan dan strategi tersebut.

Sebuah krisis tidak dapat diduga waktu kedatangannya. Krisis dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan pada siapapun. Sebuah krisis terjadi tanpa membawa solusi yang instan bersamanya. Perlu kesiapan dan strategi yang direncanakan jauh sebelum krisis terjadi. Menurut Robert P. Powell seperti yang dikutip oleh Nova (2011:68), krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata.

Organisasi atau perusahaan yang tidak siap dalam menghadapi krisis pada umumnya melakukan kesalahan yang terletak pada bidang komunikasi. Praktisi humas akan gagap dalam memberikan informasi kepada media dan khalayak mengenai krisis yang terjadi. Biasanya manajemen akan melakukan pembohongan, spekulasi, dan penolakan untuk memberikan informasi yang benar,

(2)

2 jujur, dan lengkap mengenai krisis yang terjadi. Informasi yang lengkap akan mengurangi ketidakpastian yang dirasakan oleh khalayak. Menurut Sturges dkk seperti yang ditulis oleh Putra (2008:9.24) komunikasi selama krisis berfungsi untuk menetralisir intervensi dari pihak ketiga (media) yang mungkin dapat memperparah krisis serta untuk tetap menyatukan karyawan sehingga dapat menjadi satu tim yang memperkuat posisi organisasi dalam menghadapi krisis.

Hal pertama yang perlu dilakukan ketika terjadi krisis adalah melakukan klarifikasi krisis tersebut kepada publik. Dalam melakukan klarifikasi tersebut, pihak perusahaan akan memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan krisis yang dihadapi. Informasi tersebut juga harus dapat memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda dari berbagai publik. Menurut Putra (2008:9.27) informasi dalam komunikasi krisis dapat berupa (1) instructing information, yakni informasi yang pada dasarnya berisi petunjuk atau pedoman apa yang harus dilakukan oleh publik ketika ada dalam sebuah krisis. Informasi jenis ini penting karena pada saat krisis, publik menginginkan pedoman yang pasti bagi langkah mereka selanjutnya; (2) adjusting information adalah informasi yang memungkinkan publik untuk mengatasi masalah-masalah emosional mereka; (3) internalizing informations adalah informasi yang akan diserap khalayak yang pada akhirnya akan membentuk penilaian publik terhadap sebuah organisasi dalam jangka panjang. Isi komunikasi biasanya menyangkut inti krisis yang sedang dihadapi langkah-langkah apa yang akan dilakukan organisasi dalam menangani krisis.

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang sangat kompleks karena bersifat padat modal, padat tenaga kerja, padat teknologi dan juga padat masalah (Widayat, 2009). Karakter rumah sakit dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Rumah sakit memiliki fungsi sosial sebagai penyedia layanan kesehatan sekaligus fungsi komersial sebagai industri jasa kesehatan. Fungsi dan peran yang demikian, menuntut rumah sakit menjadi sebuah perusahaan yang professional dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang kesehatan. Sebagai perusahaan yang memiliki dua fungsi (komerisal dan sosial), rumah sakit

(3)

3 memiliki kompleksitas permasalahan yang diantaranya adalah keselamatan pasien, kebebasan pers, dan keterbukaan segala macam dan bentuk arus informasi. Kompleksitas permasalahan tersebut yang kemudian membuka lebar peluang terjadinya krisis. Apabila krisis telah terjadi dan tidak segera ditangani serta diliput oleh media, maka krisis tersebut akan mengancam reputasi, citra dan kredibilitas rumah sakit tersebut.

Salah satu contoh yang menunjukkan dimana tidak adanya kesiapan dari pihak RS terhadap potensi kemunculan sebuah krisis, yaitu kasus pada Rumah Sakit Omni Internasional. Pada kasus ini yang dipermasalahkan yakni, respon dari RS Omni yang berlebihan yang menimbulkan citra negatif di mata masyarakat. RS Omni saat itu membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan Prita, pihak RS juga membawa kasus ini ke ranah hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hal itu menimbulkan kesan bahwa RS Omni mencari-cari kambing hitam dalam kasus tersebut. Seandainya dari awal Rumah Sakit Omni dapat memahami dan menyadari bahwa hal tersebut dapat menjadi potensi krisis, serta memiliki kesiapan dalam mengantisipasi krisis, maka krisis tersebut dapat diatasi secara professional.

RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit umum kelas A dan berfungsi untuk mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. RSUP Dr. Sardjito juga membantu memberikan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan pendidikan profesi calon dokter dan dokter spesialis serta menjadi lahan praktek dari institusi kesehatan dan non kesehatan baik di wilayah Provinsi DIY maupun dari luar Provinsi DIY bahkan dari luar negeri. RS Dr. Sardjito merupakan rujukan tertinggi untuk daerah DIY dan Jawa Tengah bagian selatan. Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan medis, rujukan pengetahuan, maupun ketrampilan medis dan non medis. Meski demikian, rumah sakit tetap memiliki fungsi komersial sebagai industri jasa kesehatan. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, sebagai perusahaan yang memiliki dua fungsi (komerisal dan sosial) dan adanya kompleksitas

(4)

4 permasalahan, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk munculnya sebuah krisis.

RSUP Dr. Sardjito tentu pernah mengalami berbagai macam kasus. Beberapa kasus yang diberitakan media yaitu, berita dalam kompasiana.com pada 29 Juli 2011 yang berjudul “Dugaan Malpraktek di Rumah Sakit Sardjito Jogyakarta”. Dalam berita tersebut dituliskan adanya pelayanan yang tidak memuaskan dan menenangkan pihak pasien, terkait meninggalnya pasien yang telah menjalani dua kali operasi namun kondisinya memburuk dan meninggal. Pihak rumah sakit tidak memberikan data rekam medis yang diminta oleh keluarga pasien yang kemudian menimbulkan kesan pihak rumah sakit menutup-nutupi proses medis dari pasien. Contoh lain pemberitaan yang menyudutkan pihak RSUP Dr. Sardjito yaitu dalam jogja.tribunnews.com tanggal 3 Oktober 2012 yang berjudul “Kami Menjadi Korban Kecorobohan Petugas RS” dan dalam kabar17.com tanggal 9 November 2012 berjudul “Diduga Jadi Korban Mal Praktek, Gadis 15 Tahun Terkapar”.

Adanya kompleksitas permasalahan dan banyaknya stakeholder yang terkait dalam sebuah rumah sakit, serta dengan berbagai pertimbangan, maka dapat diteliti tentang kesiapan humas di RSUP Dr. Sardjito dalam menghadapi krisis. Penulis tertarik untuk mengetahui apa dan bagaimana kesiapan dari manajemen rumah sakit khususnya humas dalam menghadapi potensi-potensi munculnya krisis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana kesiapan humas di RSUP Dr. Sardjito dalam menghadapi krisis?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan humas di RSUP Dr. Sardjito dalam menghadapi krisis.

(5)

5 D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagai penelitian sejenis, serta dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi.

b. Meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan strategi serta implementasi komunikasi krisis.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran tentang kesiapan humas di rumah sakit dalam menghadapi krisis.

b. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan yang membangun bagi rumah sakit-rumah sakit, sehingga kedepannya dapat membantu dalam penyusunan dan implementasi strategi krisis.

E. Kerangka Pemikiran 1. Humas

Hubungan masyarakat atau public relations memiliki peran penting terkait dengan pengelolaan publik dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dalam memenuhi tanggung jawab sosial, organisasi atau perusahaan dituntut untuk melayani publiknya yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Untuk mencapai serta menjaga kedudukan yang baik di hadapan publiknya, maka perusahaan harus memberikan keseimbangan distribusi kepentingan dan keuntungan terhadap publiknya.

Cutlip, Center, dan Broom (1994:2) mendefinisikan humas sebagai “public relations is the management function that establishes and mantais mutually beneficial relationship between an organizations and the publics on whom its success or failure depend.”

(6)

6 Public Relations Society of America (PRSA) pada akhir tahun 2011 melakukan modernisasi terhadap definisi PR yang baru, “Public Relations is a strategic communications process that builds mutually beneficial relationships

between organizations and their publics.”

(https://www.prsa.org/aboutprsa/publicrelationsdefined/).

Menurut Wilcox, Ault & Age seperti yang ditulis oleh Putra (2008:1.5) ada sejumlah kata yang dapat dijadikan sebagai kunci pengingat dari beragam definisi PR yang ada. Kata kunci tersebut yaitu: Deliberate (sengaja). Kegiatan PR pada dasarnya adalah kegiatan yang disengaja atau intentional. Publik adalah segala-galanya bagi perusahaan. Tak heran jika perusahaan akan menjamu dan melayani publik dengan sebaik-baiknya. Planned (terencana). Kegiatan PR adalah kegiatan yang terorganisir rapi serta terencana. Kegiatan ini harus sistematis dan dilakukan melalui analisis yang cermat dengan bantuan riset. Performance (kinerja). PR yang efektif harus didasarkan pada kebijakan dan penampilan yang sesungguhnya. Dengan kinerja yang baik dan berkualitas, maka citra serta kredibilitas perusahaan juga akan turut gemilang. Public interest (kepentingan publik). Alasan mendasar dari suatu kegiatan PR adalah untuk memenuhi kepentingan publik, tidak semata-mata untuk membantu organisasi meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya. Idealnya, kegiatan PR harus dapat menyeimbangkan keuntungan antara perusahaan dengan publiknya. Two ways communication (komunikasi dua arah). Kegiatan PR harus dikembalikan kepada makna komunikasi yang sesungguhnya yaitu pertukaran informasi antara pihak-pihak yang berhubungan satu sama lain. Management function (fungsi manajemen). Dalam hal ini, kegiatan yang dilakukan PR meliputi kegiatan konseling dan pemberian saran kepada pihak-pihak lain. PR juga turut berperan serta dalam proses pengambilan keputusan perusahaan dan juga ikut terlibat membantu mengarahkan arah pergerakan perusahaan.

Seorang praktisi public relations perlu melakukan riset, perencanaan, pelaksanaan, dan mengevaluasi sebagai sebuah proses yang berkelanjutan untuk keterbukaan organisasi terhadap input dan output yang baru serta menggali

(7)

7 bagaimana hubungan dengan stakeholders menjadi pengelolaan yang terbaik sesuai dengan praktek public relations. Keberadaan public relations sangat membantu dalam pencapaian visi dan misi organisasi atau perusahaan. Dengan adanya PR, ancaman-ancaman yang datang baik dari luar maupun eksternal mampu dikenali lebih awal sehingga organisasi atau perusahaan dapat memberikan langkah-langkah yang tepat.

Ada empat model PR menurut Grunig & Hunt (1984) seperti yang tertulis dalam tabel berikut:

Karakteristik Model Press Agentry Public Information Two-Way Asymmetric Two-Way Symmetric Tujuan Propaganda Penyebaran

informasi Persuasi ilmiah Saling pengertian Hakekat Komunikasi One-way; kebenaran penuh tak penting One-way; kebenaran penting Two-way; dampak tak berimbang Two-way; dampak berimbang Model Komunikasi Sumber → penerima Sumber → penerima Sumber → penerima Kelompok ←→kelompok Hakekat Penelitian Sedikit Sedikit; keterbacaan, kepembacaan Formatif, evaluatif tentang sikap Formatif, evaluatif tentang pemahaman

Tabel I.1 Model Public Relations Grunig & Hunt (Sumber: I Gusti Ngurah Putra, 2008, hal. 2.4)

Model press agentry menggambarkan program-program humas dengan tujuan tunggal untuk memperoleh publisitas melalui media massa yang menguntungkan organisasi. Dalam model ini kebenaran informasi menjadi tidak penting, dan praktisi model ini dipandang tidak lebih dari sekadar “flack”. Dalam model informasi publik, kegiatan humas bertujuan untuk menyebarkan informasi kepada publik dan praktisi sudah mempertimbangkan pentingnya kebenaran informasi. Praktisi dalam model ini disebut sebagai “journalist in residence” yaitu praktisi

(8)

8 yang menekankan hubungan media dengan membuat press release sesering mungkin.

Model asimetris dua arah, praktisi dalam model ini menggunakan hasil riset untuk menyampaikan pesan-pesan yang diharapkan dapat lebih mudah mengarahkan publik sesuai dengan harapan-harapan organisasi. Model ini lebih mementingkan pembelaan organisasi daripada mencari solusi atas masalah yang muncul. Model simetris dua arah menggambarkan sebuah model humas yang beroperasi berdasarkan penelitian dan menggunakan komunikasi untuk mengelola konflik dan meningkatkan pemahaman dengan publik strategik. Model ini menekankan pentingnya perubahan perilaku organisasi untuk merespon tuntutan publik.

Dozier dan Broom seperti yang ditulis oleh Putra (2008:2.2) berpendapat bahwa keterlibatan praktisi PR dalam proses pengambilan keputusan mungkin lebih penting daripada indikator lain, mengingat posisi PR dalam struktur organisasi berpengaruh terhadap wewenang dan peran yang dijalankan praktisi PR dalam organisasi. Apabila PR ditempatkan pada bagian puncak dalam struktur organisasi, maka ia dapat memberikan sumbangan maksimal pada organisasi. Jika ia ditempatkan di bawah dalam struktur organisasi, ia hanya akan menjalankan kegiatan yang bersifat praktis saja, yakni implementasi program PR. Terlepas dari semua itu, dimanapun seorang praktisi PR ditempatkan, ia harus dapat berlaku profesional.

Public relations memiliki fungsi penting dalam manajemen krisis. Seorang praktisi PR harus mampu untuk menjembatani dan mengelola agar krisis perusahaan dapat terselesaikan dengan baik. PR berperan dalam memberitahukan publik tentang apa yang terjadi, apa yang sedang dan akan dilakukan perusahaan, serta apa yang harus dilakukan serta berperan dalam memperbaiki hubungan dan posisi perusahaan setelah krisis selesai ditangani. Hal ini merupakan pendekatan simbolik yang harus ditempuh organisasi.

Menurut Amahorseya (1998:10) PR memiliki fungsi dalam pemecahan masalah yang berhubungan dengan krisis, yaitu menerapkan praktek pro

(9)

9 aktif/anticipatory dan dapat membantu dalam perencanaan penanggulangan krisis, memainkan peran yang penting dalam sistem penanggulangan krisis secara menyeluruh, serta memberikan masukan tentang evaluasi penanggulangan krisis dan setelah krisis berakhir.

2. Krisis

Krisis secara umum dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak memberikan dampak negatif pada organisasi dibanding dampak positif dan tidak dapat diduga dan direncanakan waktu datangnya.

Thierry C. Pauchant dan Ian I. Mitroff seperti yang ditulis oleh Putra (2008:9.3) mendefinisikan krisis sebagai “a disruption that physically affect a system as a whole and threaten its basic assumption, its subjective sense of self, its existential core.”

Barton (1993:2) menyatakan bahwa “crisis is a major, unpredictable event that has potentially negative results.” Barton menganggap sebuah krisis adalah suatu peristiwa besar yang tidak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap perusahaan maupun stakeholder-nya. Peristiwa ini mungkin secara berarti dapat merusak organisasi, karyawan, produk dan jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan, serta reputasi perusahaan.

Meskipun krisis tidak dapat diduga waktu datangnya, namun ada gejala-gejala yang dapat menunjukkan bahwa krisis akan datang dalam waktu tertentu. Krisis merupakan ancaman yang mengakibatkan kerusakan. Kerusakan tersebut memberikan tanda sebelum terjadi. Berikut ini adalah beberapa gejala-gejala krisis yang dapat membuat sebuah perusahaan dikatakan terkena krisis dan perlu ditangani segera:

a. Adanya kerugian finansial,

b. Adanya stakeholders atau publik yang terluka atau meninggal, baik disebabkan oleh perusahaan atau tidak,

(10)

10 c. Adanya isu negatif yang menimpa perusahaan.

Tiga gejala tersebut di atas akan menimbulkan dampak yang akan menentukan keberlangsungan dari perusahaan terkait. Menurut Pauchant dan Mitroff seperti yang ditulis oleh Putra (2008:9.3) ada tiga dampak krisis, yaitu ancaman terhadap legitimasi organisasi, perlawanan terhadap misi organisasi, dan terganggunya cara orang melihat dan menilai organisasi.

Menurut Otto Lerbinger seperti yang ditulis oleh White & Mazur (1998:32) membuat beberapa kategori krisis yang mungkin menimpa sebuah perusahaan:

a. Krisis teknologi (technology crisis), adalah krisis yang terjadi ketika teknologi perusahaan yang digunakan sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan dan menimbulkan konsekuensi yang fatal. b. Krisis konfrontasi (confrontation crisis), adalah krisis yang terjadi

ketika ada golongan yang mengkritik bahkan menolak aksi-aksi perusahaan dan dapat menimbulkan suatu gerakan oposisi.

c. Krisis tindak kejahatan (crisis of malevolence), adalah krisis yang terjadi ketika segolongan orang atau grup yang terorganisir melakukan tindakan yang sengaja ditujukan untuk mengganggu jalannya suatu perusahaan.

d. Krisis kegagalan manajemen (crisis of management failure), krisis seperti ini disebabkan oleh suatu grup dalam sebuah organisasi yang gagal dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka. e. Krisis yang berhubungan dengan ancaman lain terhadap organisasi

(crisis involving other threats to the organization).

Steve Fink seperti yang ditulis oleh Kasali (1994:227) membagi tahapan yang dilalui oleh sebuah krisis dengan menggunakan terminologi kedokteran yang biasa digunakan untuk melihat stadium penyakit yang menyerang manusia. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

(11)

11 Dalam tahap ini terlihat ciri-ciri potensial dan gejala-gejala krisis. Fase ini dapat dikatakan sebagai peringatan awal saat krisis mulai terjadi. Apabila perusahaan peka dengan gejala-gejala tersebut, maka akan dapat membantu perusahaan dalam menghindari terjadinya krisis lebih lanjut. Krisis dalam tahap ini sering dilupakan karena perusahaan masih bisa bergerak dengan lincah. Tahap prodromal sering disebut warning stage karena ia memberi tanda bahaya yang harus segera diatasi. Apabila manajer gagal mengartikan atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius yaitu tahap akut.

b. Tahap akut

Ini adalah tahap dimana orang mengatakan “telah terjadi krisis”. Krisis yang akut sering disebut sebagai the point of no return. Artinya, sekali sinyal-sinyal yang muncul pada tahap prodromal tidak digubris, ia akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun, berapa besar kerugian lain yang akan muncul sangat tergantung pada aktor yang mengendalikan krisis.

Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis dalam tahap ini adalah tingginya intensitas dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan. Tahap akut adalah tahap antara yang paling pendek waktunya bila dibandingkan dengan tahap-tahap lainnya. Apabila lewat, maka selanjutnya akan masuk pada tahap kronis.

c. Tahap kronis

Tahap ini sering disebut sebagai the clean up phase atau post mortem. Sering pula tahap ini disebut tahap recovery atau self-analysis, karena pada tahap ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama, bahkan bisa lebih lama daripada tahap krisis yang sebenarnya. Tuntutan biaya,

(12)

12 serangan balasan pihak lawan, peliputan media, penyelidikan dan tindakan hukum akan memperpanjang efek krisis ini. Dalam perusahaan tahap ini sering disebut dengan perubahan struktural. Mungkin penggantian manajemen, mungkin penggantian pemilik, mungkin muncul nama-nama baru sebagai pemilik, atau mungkin pula bangkrut dan perusahaan dilikuidasi.

d. Tahap resolusi

Tahap ini adalah tahap penyembuhan dan tahap terakhir dari empat tahap krisis. Meski bencana besar dianggap sudah berlalu, crisis manager tetap harus berhati-hati, karena riset dalam kasus-kasus krisis menunjukkan bahwa krisis tidak akan berhenti begitu saja pada tahap ini. Krisis pada umumnya berbentuk siklus yang akan membawa kembali keadaan semula (tahap prodromal).

Gonzales-Herrero & Pratt seperti yang dikutip oleh Putra (2008:9.14) menjelaskan setelah tahapan-tahapan krisis tersebut terjadi, tidak kemudian krisis selesai dan tidak akan terjadi lagi, tetap diperlukan sikap kewaspadaan dan melakukan beberapa tindakan yang bisa mendukung agar krisis tersebut tidak terjadi lagi, seperti melanjutkan perhatian pada publik, melanjutkan pemantauan masalah, melanjutkan memberi informasi terhadap media, mengevaluasi rencana penanganan krisis dan mengembangkan strategi komunikasi jangka panjang.

Melihat berbagai penjelasan mengenai tahapan-tahapan krisis, langkah awal yang perlu dilakukan dalam penanganan krisis adalah bagaimana mengidentifikasi penyebab krisis untuk mengetahui tipe, jenis, dan tahapan yang sedang terjadi. Tidak semua krisis terjadi di waktu yang sama dan memberi tanda-tanda kemunculannya. Masa berlangsungnya sebuah krisis pun berbeda-beda. Perlu dilakukan penanganan dan antisipasi yang serius dan tepat agar krisis tak menjadi lebih besar. Selesai atau tidaknya sebuah krisis bergantung pada tugas dari manajemen perusahaan khususnya PR. Seorang praktisi PR harus segera menentukan tipe dan jenis krisis yang sedang dialamai untuk menentukan

(13)

13 bagaimana respon yang akan diberikan terhadap krisis tersebut. Indentifikasi krisis yang benar akan menghasilkan strategi antisipasi yang tepat pula.

3. Kesiapan humas menghadapi krisis

Kesiapan menurut Slameto (2003:113) adalah keseluruhan kondisi seseorang atau individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi dan kondisi yang dihadapi. Kesiapan humas menghadapi krisis dapat diartikan sebagai keseluruhan kondisi humas yang siap untuk memberikan respon terhadap kondisi yang akan dan sedang dihadapi. Dalam penelitian ini kondisi yang dimaksud adalah kondisi dalam menghadapi krisis. Kesiapan humas dalam menghadapi krisis dapat dilihat dari langkah-langkah apa yang dilakukan perusahaan baik sebelum, ketika, maupun setelah krisis terjadi.

Perencanaan krisis merupakan salah satu hal yang dapat menentukan kesiapan untuk menghadapi krisis. Perlu disadari akan pentingnya membuat perencanaan krisis, untuk mewujudkan penanganan krisis yang tepat. Perencanaan dilakukan dengan memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang diharapkan dan bagaimana cara untuk menangani situasi krisis. Perencanaan ini akan mengurangi kesalahan dan miskomunikasi saat melakukan penanganan krisis. Logika dan pengalaman untuk mendiskusikan situasi krisis akan menolong perusahaan menyiapkan rencana krisis yang sudah diduga.

Menurut Gonzales-Herrero dan Pratt seperti yang dikutip oleh Putra (2008:9.12) jika pada tahap prodromal (tahap sebelum krisis), gejala atau tanda-tanda krisis mulai muncul. Jika gejala ini cepat dikenali dan diatasi maka terjadi crisis abortion. Pada tahap ini, PR perlu melakukan strategi berikut ini :

a. Melakukan pemantauan terhadap lingkungan untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan yang berkembang yang mungkin mempengaruhi organisasi

(14)

14 b. Mengumpulkan data masalah yang potensial menimbulkan kesulitan

bagi organisasi

c. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi untuk mencegah munculnya krisis. Jika perusahaan dapat cepat bergerak mengatasi ini, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi krisis. Indikator kesiapan humas yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Coombs (2006). Berdasarkan pendapat Coombs (2006), dapat dikatakan bahwa sebuah organisasi dapat mengelola krisis dengan baik jika mereka:

a. Memiliki rencana menajemen krisis yang terus menerus diperbaharui sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, minimalnya diperbaharui setiap setahun sekali.

b. Memiliki tim manajemen krisis.

c. Mengadakan pelatihan terhadap kredibilitas, efektivitas dan kemampuan tim manajemen krisis setidaknya setahun sekali untuk mengetahui seberapa jauh mereka mampu menghadapi dan mengelola krisis.

d. Memiliki atau mempersiapkan draft khusus yang bisa digunakan ketika terjadi krisis.

Perencanaan krisis sangat penting karena jika krisis terjadi, perusahaan sudah mempunyai action plan dan mengerti tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Masalah utama dalam penanganan krisis adalah memastikan bahwa fakta itu benar dan menyebarkannya dengan tepat. Jika organisasi tidak dapat menyebarkan fakta dengan cara yang tepat pada waktunya, media akan berspekulasi dengan caranya sendiri.

Menurut Wisenblit (1989:2) perencanaan krisis dapat dilakukan dengan membentuk tim yang bertanggungjawab dalam mengelola krisis. Masing-masing posisi di dalam tim memiliki tanggung jawab spesifik dan tugas jelas. Saat tidak terjadi krisis, tim ini bertugas untuk melakukan pemantauan dan pengajian terhadap operasional organisasi, yaitu terhadap peraturan organisasi, kinerja,

(15)

15 kondisi internal, opini publik, isi pemberitaan media, dan kondisi lingkungan intern maupun ekstern.

Tim pengendali krisis sebaiknya melibatkan seluruh departemen dalam organisasi. Dalam manajemen krisis dapat dilakukan pembagian tugas. Menurut Barton (1993) sebuah tim manajemen krisis hendaknya terdiri dari:

a. Senior administration, orang yang benar-benar menguasai masalah teknis maupun administratif yang nantinya akan mengeluarkan sebuah kebijakan. Dalam hal ini dibutuhkan sosok orang yang memiliki otoritas, misalnya manajer atau direktur.

b. Technical operations, membantu dalam mengatasi krisis dan menjelaskan krisis dari segi teknis.

c. Public affairs, orang yang mampu menangani masalah komunikasi dan biasanya menjalin hubungan dengan publik eksternal non media, seperti pemerintah dan komunitas.

d. Public relations, pelayanan manajer PR sebagai pusat koordinasi untuk menjalin hubungan secara proaktif dan reaktif dengan media, baik media cetak maupun elektronik. PR yang bertugas untuk menentukan bagaimana berita/informasi dari perusahaan akan disebarluaskan.

e. Customer affairs, banyak perusahaan yang menerima keluhan dari konsumen, termasuk komplain melalui surat dan telepon atau menanyakan informasi dari konsumen. Untuk itulah perusahaan membutuhkan spesialis customer affairs yang dapat dengan cepat dan akurat merespon pertanyaan dari konsumen. Biasanya perusahaan menyediakan telepon layanan konsumen bebas pulsa.

f. Investor relations, bertugas untuk meng-handle para pemegang saham investor, publik swasta guna mengkomunikasikan dan memberi informasi yang benar kepada perusahaan.

(16)

16 g. Advertising, jika perusahaan perlu membangun image dan recovery

setelah krisis maka dibutuhkan iklan.

Anggota organisasi harus mempersiapkan diri mengenai apa yang harus dikatakan kepada media ketika krisis terjadi. Coombs (2006) memberikan perhatian serius terhadap aspek media relation ketika krisis. Maka dari itu, media training harusnya sudah dilakukan sebelum krisis benar - benar terjadi. Beberapa langkah dalam media training yaitu:

a. Menghindari untuk mengucapkan "no comment" karena publik akan merasa bahwa pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh organisasi dan hal ini juga secara tidak langsung memberikan kesan bahwa organisasi ini memang bersalah.

b. Memberikan informasi sejelas-jelasnya dengan cara menghindarkan diri dari istilah-istilah teknis yang bisa mengakibatkan kebingungan dan memberikan kesan bahwa ada upaya untuk mengaburkan sesuatu. c. Berupaya untuk terlihat tenang didepan kamera, dengan cara

menghindarkan diri dari kesan gagap atau gugup yang bisa melahirkan kesan bahwa kita tengah berbohong. Seorang pembicara atau juru bicara harus memiliki kemampuan public speaking yang baik misalnya dengan cara melakukan kontak mata ketika pembicaraan berlangsung.

d. Meringkas semua informasi yang mungkin dibutuhkan publik sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dari pesan utama atau pesan kunci yang akan disampaikan kepada stakeholder.

Seorang praktisi public relations memainkan peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan siapa yang akan ditunjuk sebagai juru bicara yang siap untuk menangani setiap pertanyaan yang diajukan oleh media. Media relation merupakan bagian dari public relations yang sangat bernilai dalam kaitannya dalam upaya penanganan krisis. Seorang PR officer dapat menyediakan atau menggelar pelatihan dan dukungan kepada mereka yang akan ditunjuk sebagai

(17)

17 juru bicara karena dalam beberapa kasus juru bicara yang dimaksud justru bukan berasal dari kalangan public relations officer sendiri.

Seorang manajer krisis bisa membuat atau mendesain draft awal yang berisi pesan yang akan disampaikan ketika terjadi krisis. Lebih baik lagi jika draft ini dibuat menjadi sebuah template dengan beberapa titik yang akan diisi dengan informasi-informasi yang penting, jadi ketika krisis terjadi, mereka tinggal mengisi bagian-bagian yang kosong yang ada dalam template tersebut sehingga hal ini akan sangat menghemat waktu penanganan krisis.

4. Manajemen krisis

Krisis adalah suatu turning point yang dapat membawa permasalahan ke arah yang lebih baik (for better) atau lebih buruk (for worse). Oleh sebab itu, krisis selalu menyandang dua isu yang saling bertolak belakang, yakni peluang dan ancaman. Dalam menghadapinya, pihak perusahaan khususnya bagian kehumasan harus melaksanakan kegiatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan perencanaan saat krisis, paska krisis, hingga tahap evaluasi. Keseluruhan kegiatan tersebut adalah manajemen krisis. Manajemen krisis merupakan area keahlian oleh humas, yang berorientasi kepada masa depan dan mencoba untuk mengantisipasi kejadian yangn dapat mengganggu hubungan penting. Dampak krisis dapat dikurangi jika pihak manajemen perusahaan memahami dan mengerti esensi dari manajemen krisis.

Gonzales-Herrero dan Pratt seperti yang ditulis oleh Prayudi (1998:37) memperkenalkan konsep strategi manajemen yang cukup lengkap dengan tetap mengacu pada tahapan krisis yang sudah ada. Langkah-langkah tersebut meliputi, manajemen isu, perencanaan pencegahan, krisis terjadi, dan pasca krisis. Manajemen isu, pada tahapan ini organisasi mengambil langkah-langkah agar bisa mengadakan rencana pencegahan agar isu-isu tidak menjadi krisis yang real. Langkah-langkah yang dilakukan adalah memonitor lingkungan, mencermati trend/isu baru di masyarakat yang mungkin mempengaruhi organisasi di masa

(18)

18 datang, mengumpulkan data atas isu-isu yang berpotensi menjadi krisis dan mengevaluasinya, mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi pada usaha mencegah terjadinya krisis. Perencanaan pencegahan, merupakan landasan dari manajemen krisis. Ketika isu dipandang telah melewati batas-batas manajemen isu, ketika krisis dianggap mengancam atau ketika isu berubah dengan cepat, organisasi harus menggunakan kumpulan informasi dan sistem peringatannya untuk memonitor krisis dengan hati-hati. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam tahap ini antara lain, menyusun kebijakan proaktif mengenai isu tersebut, menganalisa hubungan organisasi dengan stakeholders, mempersiapkan rencana kontingensi, merancang anggota tim manajemen krisis yang potensial, menunjuk dan melatih wakil organisasi (juru bicara), menentukan pesan, sasaran dan media yang akan digunakan dalam menerapkan rencana komunikasi krisis. Krisis Terjadi, apabila rencana pencegahan yang disusun tidak berhasil dan krisis terjadi, langkah-langkah yang diambil adalah memperbaiki atau mengimplementasikan rencana krisis, mengkomunikasikan tindakan yang diambil untuk mengatasi krisis pada publik organisasi, menangani publik yang kena dampak, mencari dukungan pihak ketiga dari para ahli, menerapkan program komunikasi internal dan menjalankan program sehari-hari dengan normal. Pasca Krisis, organisasi biasanya mengambil langkah-langkah demi perbaikan dalam menghadapi krisis di masa datang, seperti tetap menjalin hubungan dengan publik organisasi, memantau isu atau krisis yang mengancam, menginformasikan melalui media atau tindakan yang diambil, jika dianggap perlu, evaluasi atau rencana krisis yang ada dan kemudian menyertakan feedback atas rencana krisis yang ada, mengembangkan strategi komunikasi jangka panjang untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh krisis.

Menurut Mitroff (2001) ada lima faktor yang harus dikelola dan memengaruhi penanganan sebelum, selama, dan setelah krisis, yaitu:

a. Jenis resiko, meliputi tujuh kategori krisis utama, yaitu ekonomi, informasi, sumber daya manusia, kejadian alam, fisikal, tindakan psikopatis, dan reputasi.

(19)

19 b. Stakeholders, adalah pihak-pihak atau kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan yang memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Stakeholders terbagi menjadi dua kelompok besar yang berdasarkan pada arah dan kepentingan mereka terhadap organisasi, yaitu stakeholders internal dan stakeholders eksternal.

c. Mekanisme, meliputi bagaimana mekanisme kerja tim manajemen krisis dalam mengantisipasi, merespon, belajar dari krisis, dan mendesain prosedur organisasi yang efektif dalam menangani krisis. d. Sistem, terdapat setidaknya lima komponen sistem dalam perusahaan

yang akan menentukan sistem perusahaan, yaitu teknologi yang digunakan, sumber daya manusia, budaya perusahaan, dan psikologi manajemen puncak.

e. Skenario, adalah panduan dalam perencanaan manajemen krisis. Dengan mengetahui faktor-faktor sebelumnya, seperti jenis resiko, mekanisme dan sistem yang dijalankan perusahaan, siapa saja stakeholders perusahaan, maka perusahaan akan dengan mudah untuk menyusun skenario. Skenario menjadi penyatu empat faktor sebelumnya. Skenario yang baik adalah “best case, worse case”, jadi skenario yang dibuat harus berdasarkan bagaimana krisis akan memengaruhi perusahaan.

Setelah kelima faktor tersebut disusun, maka segera dilakukan tindakan. Perencanaan yang disusun dengan baik akan memudahkan perusahaan mengatasi krisisnya dan akan menjadi faktor yang signifikan dalam menentukan pertahanan perusahaan dalam masa krisisnya.

Pengelolaan krisis dalam manajemen krisis dikenal dengan istilah action plan, yang didalamnya juga termasuk dengan strategi penanggulangan krisis. Menurut Kasali (1994:231) ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan terkait pengelolaan krisis, yaitu identifikasi krisis, bagian humas adalah pelaksana

(20)

20 utama dalam proses identifikasi krisis. Meski demikian, pihak perusahaan juga dapat menghubungi pihak lain di luar perusahaan untuk membantu dalam identifikasi krisis. Jika krisis terjadi secara cepat, maka identifikasi harus dilaksanakan secara informal dan kilat. Analisis krisis, mempunyai cakupan yang luas, mulai dari analisis parsial sampai analisis integral. Isolasi krisis, krisis diibaratkan seperti penyakit menular. Oleh sebab itu, krisis harus diisolasi dan dikarantina sebelum tindakan serius dilakukan. Pilihan strategi, sebelum mengambil langkah komunikasi untuk mengendalikan krisis, perusahaan perlu menetapkan strategi yang harus diambil dan digunakan sebagai pedoman agar para eksekutif program-program berkesinambungan dalam usaha menangani krisis memperoleh dukungan terus menerus dari berbagai publik perusahaan.

Setelah diperoleh hasil penelitian tentang krisis yang terjadi, langkah yang dilakukan oleh PR adalah membuat pernyataan masalah dan melakukan analisis situasi. Dalam pernyataan masalah, ada dua syarat yang harus diperhatikan, yaitu kejelasan pernyataan masalah dan pembagian pernyataan ke dalam unsur spesifik yang dapat dicapai atau diukur. Analisis situasi perlu mencermati faktor internal dan eksternal. Keseluruhan informasi diperoleh berdasarkan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunities, Threats).

Langkah selanjutnya adalah menentukan sasaran program dan tujuan kegiatan kehumasan. Penting untuk disadari bahwa tidak selalu sebuah masalah kehumasan akan berhubungan dengan seluruh anggota masyarakat dan mungkin hanya berhubungan dengan segment tertentu dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu, perlu adanya segmentasi publik untuk menentukan kepada siapa fokus perhatian sebuah kegiatan kehumasan ditujukan. Strategi yang akan diambil pasti memiliki tujuan yang spesifik dan dapat diukur, maka untuk menentukan tujuan dapat menggunakan dua tipe, yaitu melalui output yang berkaitan dengan teknik-teknik PR dan pekerjaan yang dihasilkan, kemudian melalui impact yang berkaitan dengan efek-efek yang diinginkan dari pemrograman.

(21)

21 Menurut Kasali (1994:232) ada tiga strategi umum untuk mengatasi krisis yang dapat dirumuskan jauh-jauh sebelum krisis muncul sebagai pedoman para praktisi PR, yaitu:

a. Defensive strategy

Langkah-langkah yang diambil oleh praktisi PR dalam strategi defensif adalah mengulur-ulur waktu, tidak melakukan apa-apa (not in action atau low profile), dan membentengi diri dengan kuat (stone walling).

b. Adaptive strategy

Dalam strategi adaptif langkah-langkah yang diambil mencakup hal yang lebih luas seperti mengubah kebijakan, modifikasi operasional, kompromi, dan meluruskan citra.

c. Dynamic strategy

Strategi ini sudah bersifat agak makro dan dapat mengakibatkan berubahnya karakter perusahaan, pilihannya adalah merger dan akuisisi, investasi baru, menjual saham, meluncurkan produk baru atau menarik peredaran produk lama, menggandeng kekuasaan, dan melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian.

Ada lima strategi pesan menurut Coombs seperti yang dikutip oleh Putra (2008:9.28). Pertama, nonexistence strategies. Biasanya dilakukan oleh organisasi yang memang tidak menghadapi krisis, namun ada rumor bahwa organisasi sedang menghadapi krisis. Bentuk pesan dalam strategi ini bisa berupa: denial, yaitu organisasi menyangkal isu; clarification, yaitu organisasi menolak dengan dibarengi argument dan alasan mengapa tidak terjadi krisis; attack, organisasi menyerang pihak yang menyebarkan isu; dan intimidation, organisasi membuat ancaman terhadap penyebar rumor/isu.

Kedua, distance strategies, yaitu organisasi mengakui adanya krisis dan mencoba untuk memperlemah hubungan antara organisasi dengan krisis yang sedang terjadi. Ada dua hal yang dapat dilakukan organisasi, yaitu excuse dan

(22)

22 justification. Pada excuse, organisasi berusaha untuk mengurangi tanggung jawab dengan cara penolakan maksud, yaitu bahwa organisasi tidak bermaksud melakukan hal-hal negatif dan penyangkalan kemauan, karena organisasi tidak mampu mengontrol situasi. Sedangkan pada justification, organisasi bisa melakukan dengan mengklaim bahwa kerusakan yang terjadi tidak serius, mengungkapkan korban wajar menanggung akibat itu, serta mengemukakan bahwa krisis telah salah interpretasi. Namun demikian, tingkat penolakan terhadap suatu penyebab krisis akan sangat tergantung pada jenis krisis yang dihadapi.

Ketiga, ingratiation strategies, yaitu organisasi berusaha untuk mencari dukungan publik menggunakan cara berikut: (1) bolstering, yaitu organisasi perlu mengingatkan publik akan hal-hal positif yang telah dilakukan organisasi; (2) transedence, yaitu berusaha menempatkan krisis dalam konteks yang lebih besar; (3) praising others, mengatakan hal-hal baik yang telah dilakukan publik.

Keempat, mortification strategies, yaitu organisasi berusaha memohon maaf dan menerima kenyataan bahwa memang terjadi krisis. Ada tiga hal yang dapat dilakukan organisasi berkaitan dengan permintaan maaf, yaitu: (1) remediation, pemberian sejumlah kompensasi kepada korban sebuah krisis; (2) repentance, meminta maaf atau memohon ampun dari publik; dan (3) rectification, mengambil tindakan yang akan mengurangi kemungkinan terjadinya krisis.

Kelima, suffering strategies, yaitu organisasi menunjukkan bahwa ia menderita seperti halnya pihak korban dan berusaha untuk memperoleh simpati dari publik. Contohnya, ketika terjadi gempa yang menghancurkan fasilitas perusahaan, perusahaan dapat menggunakan strategi pesan seperti ini.

Implementasi program untuk menyelesaikan krisis yang dihadapi adalah langkah yang paling penting dalam manajemen krisis. Implementasi program dapat dilakukan melalui kegaiatan komunikasi kepada sasaran yang telah ditetapkan dan bertujuan untuk memperbaiki atau menjaga hubungan organisasi dengan publiknya. Tindakan yang dilakukan dalam tahap ini sesuai dengan apa yang telah direncanakan dalam tahap-tahap sebelumnya.

(23)

23 Setelah program selesai dilaksanakan, maka dilakukan tahap evaluasi untuk menentukan nilai program yang telah dilakukan. Evaluasi ini penting untuk dilakukan karena dengan evaluasi program, manajer humas dapat mempertahankan program-program kehumasan dan keberadaan bagian humas dalam perusahaan. Selain itu, karena adanya tuntutan manajemen perusahaan terhadap setiap bagian dalam perusahaan agar setiap pengeluaran sumber daya perusahaan pada bidang apapun harus dapat dipertanggungjawabkan. PR harus dapat mengevaluasi usaha-usaha untuk mengetahui apakah program-program kehumasan telah dikelola dengan baik, berkesinambungan, dan efektif. Selain itu, dengan evaluasi, dapat diketahui apakah program yang telah dilakukan menimbulkan hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Putra (2008) mengemukakan adanya dua tindakan khas yang menjadi tuntutan dalam menangani krisis, yang pertama adalah tindakan yang bercirikan pada keterlibatan langsung oleh manajemen dalam merespon krisis. Tindakan ini disebut tindakan perilaku, karena lebih kepada action yang ditunjukkan oleh apa yang menjadi tugas manajemen dalam mengelola krisis. Jadi, perencanaan yang sudah dibuat sedemikian rupa harus diwujudkan dalam hal nyata. Kedua, tindakan komunikasi. Tindakan ini meliputi apa yang harus dikomunikasikan oleh perusahaan ketika krisis sedang berlangsung, baik pada publik internal maupun eksternal. Biasanya dan tak dapat dipungkiri saat krisis berlangsung, permintaan informasi terhadap permasalahan yang terjadi menjadi meningkat, apalagi untuk media massa. Dalam menghadapi permintaan informasi ini, PR dituntut untuk memberi informasi dengan segera, jujur, dan tepat disertai dengan penjelasan untuk mengurangi ketidakpastian, kesimpangsiuran, kepanikan, dan kebingungan publik.

Aktivitas PR akan sangat menentukan dalam upaya repositioning perusahaan, mengembalikan citra dan reputasi, maupun untuk membangun kredibilitas yang baru. Semua ini hanya bisa dilakukan jika perusahaan itu mempunyai informasi yang cukup tentang kerusakan apa yang sudah ditimbulkan oleh krisis. Mereka mungkin akan harus bekerja dalam program kerja jangka panjang, ketika dengan

(24)

24 seksama mereka mengamati perkembangan yang terjadi, dan hubungannya dalam pemulihan posisi organisasi.

F. Kerangka Konsep

Kesiapan humas menghadapi krisis dapat diartikan sebagai keseluruhan kondisi humas yang siap untuk memberikan respon terhadap kondisi yang akan dan sedang dihadapi. Dalam penelitian ini kondisi yang dimaksud adalah kondisi dalam menghadapi krisis. Kesiapan humas dalam menghadapi krisis dapat dilihat dari langkah-langkah apa yang dilakukan perusahaan baik sebelum, ketika, maupun setelah krisis terjadi.

Setidaknya ada empat langkah yang dijadikan acuan dalam pengelolaan krisis oleh perusahaan, yaitu identifikasi krisis, analisis krisis, pilihan strategi, dan penanganan krisis. Perlu dilakukan manajemen krisis, yang diartikan sebagai usaha yang ditempuh perusahaan untuk menghadapi hal-hal yang dapat mengancam reputasi dan keberlangsungan perusahaan. Menurut Mitroff (2001) ada lima faktor yang harus dikelola dan memengaruhi penanganan sebelum, selama, dan setelah krisis, yaitu jenis resiko, stakeholders, mekanisme, sistem, dan skenario.

Indikator kesiapan humas dapat dapat dilihat berdasarkan teori dari Gonzales-Herrero dan Pratt seperti yang dikutip oleh Putra (2008:9.12) dan teori dari Coombs (2006). Penulis menggunakan gabungan dari dua teori tersebut untuk melihat aspek-aspek kesiapan humas dalam menghadapi krisis. Kesiapan humas dapat dilihat dengan hal-hal berikut:

a. Melakukan pemantauan terhadap lingkungan untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan yang berkembang yang mungkin mempengaruhi organisasi,

b. Mengumpulkan data masalah yang potensial menimbulkan kesulitan bagi organisasi.

(25)

25 c. Mengembangkan strategi komunikasi dan berkonsentrasi untuk mencegah munculnya krisis. Jika perusahaan dapat cepat bergerak mengatasi ini, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi krisis.

d. Memiliki rencana menajemen krisis yang terus menerus diperbaharui sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, minimalnya diperbaharui setiap setahun sekali.

e. Memiliki tim manajemen krisis.

f. Mengadakan pelatihan terhadap kredibilitas, efektivitas dan kemampuan tim manajemen krisis setidaknya setahun sekali untuk mengetahui seberapa jauh mereka mampu menghadapi dan mengelola krisis.

g. Memiliki atau mempersiapkan draft khusus yang bisa digunakan ketika terjadi krisis.

h. Menerapkan dan memilih strategi yang telah dipersiapkan sebelum krisis terjadi.

i. Mampu mengatasi krisis dengan baik tanpa merugikan kepentingan pihak-pihak yang lain.

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini bertipe deskriptif, yaitu jenis penelitian yang berusaha untuk menjelaskan melalui gambaran-gambaran tentang suatu gejala, fenomena, atau peristiwa yang ada. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menjelaskan fakta-fakta yang ada secara sistematis, faktual, dan cermat. Studi kasus merupakan metode yang cocok dalam menjawab pertanyaan how dan why seperti yang dirumuskan di atas. Metode studi kasus tidak mencari atau menjelaskan hubungan variabel, tidak menguji hipotesis, atau membuat prediksi sendiri. Yin (1996) mendefinisikan studi kasus sebagai suatu inkuiri

(26)

26 empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas antara fenomena dan konteks tidak tampak secara tegas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk melihat program, kegiatan, dan strategi yang dilakukan oleh divisi humas RSUP Dr. Sardjito terkait dengan kesiapan dalam menghadapi krisis.

3. Objek Penelitian

Kegiatan dan strategi yang dilakukan oleh divisi humas RSUP Dr. Sardjito yang berkaitan dengan kesiapan humas RSUP Dr. Sardjito dalam menghadapi kemungkinan terjadinya krisis.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, adapun cara untuk memperoleh data tersebut, yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dari sumber di lapangan. Data ini diperoleh dengan mengadakan wawancara dengan tiga subyek yaitu Direktur Umum dan Operasional, Humas, dan Tim Manajemen Krisis di RSUP Dr. Sardjito. Melalui wawancara, diharapkan dapat mengetahui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh humas dan tim manajemen krisis RSUP Dr. Sardjito, serta melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian berdasarkan pertanyaan yang disusun dalam inteview guide.

Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara terstruktur, sehingga penggunaan interview guide penting digunakan dalam penelitian ini. Peneliti menentukan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan. Penggunaan interview guide juga akan mempermudah pengumpulan data agar tidak terlepas dari konteks

(27)

27 permasalahan (Moleong, 1996:138). Penggunaan wawancara mendalam dapat menggali hal-hal yang tersembunyi jauh dalam subyek yang diteliti, serta dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan masa lalu, masa kini, serta masa datang yang berhubungan dengan penanganan masalah krisis.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan landasan disiplin ilmu yang digunakan untuk memberi arahan yang tepat dan pedoman dalam hubungan pembahasan masalah penelitian, yang fokus pada literatur yang relevan dan dapat menjadi sumber bukti. Sumber yang dimaksud yaitu buku, company profile, berita, dokumen perusahaan, hasil penelitian, serta literatur lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

5. Analisis Data

Analisis data adalah cara mengamati, menata, serta menginterpretasi data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data yang digunakan sehingga didapatkan pemahaman terhadap objek penelitian. Untuk menggali makna dan menarik kesimpulan dari peristiwa yang bersifat interpretatif, maka dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif kualitatif. Data akan diperoleh dengan teori yang relevan dan direfleksikan melalui pertanyaan riset dan tinjauan pustaka. Data tersebut akan diinterpretasikan dan selama proses interpretasi atau penafsiran data, masih tetap dibutuhkan dukungan kepustakaan terutama untuk mengkonfirmasikan teori dan sejumlah indikator penilaian.

Selanjutnya, peneliti melakukan analisis data berdasarkan rumusan data teori unuk menarik kesimpulan dari permasalahan yang ada. Data hasil dari keseluruhan proses ini kemudian disajikan dalam bentuk narasi yang disusun dan digambarkan seperti apa adanya, mengungkap fakta, objektif berdasarkan kerangka yang telah dibuat, dengan kalimat-kalimat yang logis sehingga mudah dipahami. Hasil akhir dari penelitian ini adalah gambaran menyeluruh mengenai

(28)

28 kesiapan humas RSUP Dr. Sardjito dalam menghadapi krisis. Kelebihan dan kekurangan yang ada dalam praktek humas di RSUP Dr. Sardjito akan terlihat melalui analisis data ini.

6. Teknik Keabsahan Data

Metode yang digunakan dalam menguji keabsahan data penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Melihat fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang tinggi. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin perbedaan yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. Menurut Moleong (1996) triangulasi adalah teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan pembanding data tersebut.

Triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi. Triangulasi dalam penelitian ini dicapai dengan membandingkan data dari hasil wawancara dengan Direktur Umum dan Operasional, Humas, serta Tim Manajemen Krisis.

Gambar

Tabel I.1 Model Public Relations Grunig & Hunt  (Sumber: I Gusti Ngurah Putra, 2008, hal

Referensi

Dokumen terkait

QIAamp Mini spin column yang mengandung DNA dimasukkan ke dalam ependorf steril baru, ditambahkan 50 µl elution buffer (buffer AE), didiamkan pada suhu kamar selama 5 menit,

Jika perbandingan banyaknya wajib pa- jak yang mengajukan pengurangan besarnya pajak dengan penghapusan pajak adalah 4 : 1 dan 40% di antara mereka yang mengajukan penghapusan

1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas. 2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan

ayo kita coba bermain ayo kita coba bermain gerakan yang agak sulit gerakan yang agak sulit yaitu berjalan di balok titian yaitu berjalan di balok titian naiklah ke atas balok

Upaya peningkatan kemampuan membaca mahasiswa diawali dengan langkah membaca, serta menguasai teknik membaca cepat dan efektif (Nurhadi .2005). Setelah mahasiswa

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa perbedaan gambaran makroskopis dan mikroskopis organ paru dan usus halus pada tikus Wistar setelah pemberian warfarin dosis

Sedangkan pada Gambar 2 tersaji hasil analisis kandungan radionuklida pemancar a dan B dalam sedimen yang berasal dari 5 iokasi pengambilan cuplikan yang'

Migrasi musim gugur atau outbond migration adalah migrasi yang terjadi dari habitat reproduksi menuju habitat non-reproduksi (habitat musim dingin) ketika burung