PENDAHULUAN
Tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seseorang yang kita cintai dan kita sayangi seperti, orang tua, saudara kandung, dan pasangan hidup (Santrock, J.W., 2002). Kematian merupakan simbol dari sebuah perpisahan yang permanen dengan orang yang kita cintai. Kematian ini sendiri membuat individu merasakan sakit baik secara sosial, emosional, maupun psikologis dikarenakan kedekatan dengan orang yang telah meninggal (Chan, C.L.W., & Chow, A.Y.M., 2006), sehingga ketika kehilangan orang yang kita cintai kita mengalami dukacita (Tatelbaum, J., 1980).
Kematian merupakan fakta biologis, tetapi kematian juga memiliki aspek sosial, budaya, agama, hukum, psikologis, perkembangan, medis, dan etika. Meskipun kematian dan kehilangan merupakan pengalaman yang universal, namun kematian memiliki konteks budaya. Sikap-sikap budaya dan agama terhadap peristiwa kematian, mempengaruhi aspek psikologis dan perkembangan dari kematian, misalnya bagaimana orang-orang dari berbagai usia menghadapi kematian mereka sendiri dan kematian orang-orang terdekat mereka. Kematian bisa memiliki arti tersendiri bagi lansia Jepang beragama Buddha, yang dipengaruhi dengan pengajaran untuk menerima yang tidak terhindarkan, dan kematian juga bisa memiliki arti yang berbeda bagi pemuda Jepang Amerika generasi ketiga yang dibesarkan
dengan keyakinan dalam mengarahkan takdirnya sendiri (Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D., 2005).
Salah satu ritual berkabung/pemakaman yang ada di Indonesia adalah ritual berkabung suku Toraja yang disebut Rambu Solo’ yaitu ritual yang berasal dari kepercayaan aluk to dolo yang dulunya merupakan kepercayaan masyarakat Toraja. Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai hubungan hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, artinya apabila seseorang yang baru mati dan belum sempat diupacarakan pemakamannya, orang yang mati tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur. Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur bagaikan manusia yang belum mati dan letak arah kepalanya ke sebelah barat dan arah kakinya membujur ke sebelah timur. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup karena dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan minuman yang mana makanan dan minuman tersebut diletakkan di dalam piring dan cangkir yang telah dikhususkan bagi tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’ akan dilaksanakan, maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya, piring dan
cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu saat Rambu Solo’ dilaksanakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang mati dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan korban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal. Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa). Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh
meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk, kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat, alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu adat Rambu Solo’ adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga jika ada seseorang yang meninggal tanpa upacara korban persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Maka, berdasarkan fenomena yang ada, penelitian ini hendak melihat gambaran mengenai dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’ dan dari hasil deskripsi tersebut kita dapat melihat perasaan, pikiran, dan perilaku yang muncul saat melayani jenazah sebagai tomakula’ sampai Rambu Solo’ selesai dilaksanakan, proses dukacita orang Toraja dan dampak yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap dukacita orang Toraja.
Bagian selanjutnya dalam artikel ini memberikan tinjauan pustaka mengenai dukacita, komponen dukacita, faktor-faktor penyebab dukacita, proses dukacita dan ritual kematian Rambu Solo’. Setelah itu dilanjutkan dengan paparan hasil penelitian terhadap dua partisipan serta analisis mengenai dukacita yang
dirasakan dikaitkan dengan pelaksanaan Rambu Solo’. Bagian terakhir adalah memberikan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dan saran untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA DUKACITA (GRIEF)
Menurut Jeffreys, J. S., (2005), dukacita (grief) adalah sebuah sistem perasaan, pikiran, dan perilaku yang dipicu ketika seseorang diperhadapkan dengan peristiwa kehilangan, yaitu kematian orang yang dikasihi. Reaksi internal (pikiran dan perasaan) dan reaksi eksternal (perilaku) menjadi penekanan dalam dukacita (grief). Menurut Jeffreys, J.S., (2005) setidaknya ada empat komponen dukacita pada kehidupan individu. Pertama, komponen psikologis, yang terbagi menjadi dua yaitu aspek-aspek emosional dukacita, seperti kesedihan, rasa marah, rasa takut, rasa bersalah dan rasa malu, selanjutnya adalah aspek kognitif, yaitu individu yang mengalami dukacita akan menemukan bahwa proses berpikir mereka juga menjadi terpengaruh akibat kematian orang yang dicintai, seperti sulit berkonsentrasi terhadap tugas-tugas yang ada, hilangnya ketertarikan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan misalnya bekerja atau bergabung dengan kelompok sosial. Kedua, komponen fisik, yaitu terkait dengan faktor-fakor kesehatan, bahwa dukacita yang terus berlanjut akan menyebabkan stres dan akibatnya akan berpengaruh pada penurunan sistem imun yang melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme atau infeksi.
Selain itu individu yang berduka cenderung mengeluh mengenai berbagai gangguan fisik, seperti merasa pusing/kepala seperti berputar-putar, tidak bisa tidur, makan terlalu banyak, hilang selera makan, menjadi lebih gemuk atau kekurangan berat badan. Ketiga, komponen sosial, yaitu hubungan dengan keluarga, bahwa dukacita yang dirasakan oleh individu telah mengubah pandangan mereka mengenai dunia mereka seperti peranan sosial, hubungan dengan keluarga, dan identitas diri mereka. Beberapa individu yang berduka takut atau segan untuk melakukan kontak sosial. Namun, melalui peristiwa kehilangan tersebut individu juga didorong untuk mencari dan menemukan tempat yang dapat memberikan kepuasaan dan kegembiraan. Selain itu dalam komponen sosial, cara masyarakat bersikap juga berdampak terhadap dukacita individu. Beberapa masyarakat kemudian mencari orang yang berduka dan menawarkan kepada mereka bantuan berupa nasehat-nasehat dan memberi pengarahan bagi mereka mengenai bagaimana cara memberi semangat bagi diri sendiri setelah peristiwa kehilangan. Keempat, komponen spiritual, pada komponen ini mereka yang berduka dan merasakan penderitaan karena peristiwa kehilangan orang yang dicintai akan berbelok kepada sistem kepercayaan mereka dalam menghadapi peristiwa kematian seperti, melaksanakan ritual-ritual, dukungan dari para pendoa, penghiburan, dan nasehat-nasehat rohani terkait dengan rasa kehilangan (Jeffreys, J.S., 2005).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dukacita pada diri individu. Menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) ada tiga faktor yang menyebabkan individu berduka. Pertama, hubungan individu dengan almarhum, yaitu hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses dukacita yang sangat sulit. Kedua, yaitu kepribadian, usia, jenis kelamin orang yang ditinggalkan. Perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan. Secara umum dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda. Ketiga, proses kematian, yaitu cara dari seseorang yang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi pada orang yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi dukacita.
PROSES DUKACITA
Berdasarkan teori dukacita yang diungkapkan oleh Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005), ada empat fase atau proses yang terjadi ketika individu berpisah dari sosok terdekat dalam kehidupan mereka, seperti orangtua, kekasih, saudara, kerabat maupun binatang peliaraan. Fase pertama, mati rasa (numbing), individu menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fase
kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai, menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan pribadinya. Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa (disorganization and despair), yaitu fase di mana harapan untuk bisa bertemu kembali dengan almarhum memudar dan individu yang berkabung mengakui bahwa orang yang dicintai tidak akan pernah kembali. Rasa putus asa, kelelahan (fatigue), kehilangan motivasi, dan apatis sudah menjadi kebiasaan umum individu yang berduka. Fase keempat, pulih kembali (reorganization), yaitu individu membuat suatu definisni baru mengenai dirinya, membuat pola-pola baru dalam hal pikiran, perasaan, dan perbuatannya.
RITUAL RAMBU SOLO’ PADA ORANG TORAJA
Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih dipegang kuat adalah kebudayaan mengenai ritual pemakaman yang disebut dengan ritual Rambu Solo’. Ritual Rambu Solo’ berasal dari kepercayaan aluk to dolo yang dulunya merupakan kepercayaan masyarakat Toraja.
Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai hubungan hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, yaitu
apabila seseorang yang baru mati dan belum sempat dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur. Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur bagaikan manusia yang belum meninggal dan letak arah kepalanya ke sebelah barat dan arah kakinya membujur ke sebelah timur. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan minuman yang mana makanan dan minuman tersebut diletakkan di dalam piring dan cangkir yang telah dikhususkan bagi tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’ dilaksanakan, maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya, piring dan cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas
rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu untuk diupacarakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang yang telah meninggal dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan kurban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal. Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa). Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk, kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, J.A., 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat, alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu Rambu Solo’ adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga jika ada seseorang yang meninggal tanpa upacara korban
persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Menurut Sarungallo, T., (2010), ada beberapa aspek yang terkandung dalam Rambu Solo’. Aspek pertama, massuru’ merupakan aspek membersihkan diri, penyesalan, agar pelanggaran-pelanggaran yang pernah dilakukan terhapus. Kedua, penyembahan dalam pemujaan, yaitu individu yang mengambil bagian dalam upacara Rambu Solo’ diberi penghormatan, cinta dan pujian dalam berbagai cara. Hal inilah yang membuat penyambutan dan penempatan tamu harus langsung oleh keluarga, tidak diwakilkan pada pihak ketiga. Ketiga, kesejahteraan, yaitu Rambu Solo’ akan melapangkan jalan bagi almarhum dalam perjalanan peralihannya dari dunia ini ke dunia asalnya, supaya ia bersama leluhur yang sudah terlebih dahulu di sana memperoleh kesejahteraan dengan segala bawaannya yang dikorbankan pada ritual Rambu Solo’. Keempat, kekeluargaan, yang mana dalam ritual Rambu Solo’ hubungan kekeluargaan diperbaharui dan dipulihkan. Selain itu nyata bahwa hubungan kekeluargaan tidak putus. Pada Rambu Solo’ ada reuni keluarga supaya ikatan kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan yang dimaksudkan di sini adalah kekeluargaan yang berdasarkan keturunan (geneologis). Kelima, ambakan datu (persekutuan),
yang berarti kegotongroyongan. Ambakan datu adalah kesatuan berpikir (musyawarah), kesatuan tindak, kesatuan berbakti, kesatuan emosional, dan kesatuan kerja, sehingga Rambu Solo’ terbesar pun dapat terselenggara tanpa suatu bentukan organisasi. Keenam, tanggung-jawab dan fungsi kosmis, yaitu saat Rambu Solo’ berlangsung tak ada orang yang menjadi penonton, karena mereka sudah tahu fungsinya masing-masing. Ketujuh, harga diri, artinya keluarga berani mengorbarkan harta benda daripada menghilangkan harga diri dan nilai persekutuan dalam keluarga. Kedelapan, perdamaian, bagi orang Toraja perdamaian dimanifestasikan pada Rambu Solo’. Dalam Rambu Solo’ perdamaian dipulihkan kembali bagi seluruh keluarga dan bagi seluruh masyarakat. Salah satu wujud perdamaian bagi orang Toraja adalah “basse”, yaitu ikrar perjanjian perdamaian. Kesembilan, nilai kepahlawanan, misalnya melaksanakan ma’randing (tari perang), ma’simbuang (mendirikan menhir) yang dilaksanakan bagi sang pahlawan dan membuatkan patung dari kayu nangka sebagai potret dari almarhum (ma’tau-tau nangka). Kesepuluh, nilai jasa, yaitu jasa seseorang dengan pikiran, tenaga, dan kehadirannya pada Rambu Solo’ sangat dihargai. Orang mengatakan hutang korban (kerbau, babi) dapat dibayar tetapi perbuatan baik sukar dibayar. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa tersbut, kerbau dan babi disembelih supaya rakyat mendapat makanan. Hal ini berhubungan dengan fungsi seseorang dalam masyarakat dan struktur masyarakat serta
pengaturan fungsi seseorang bersifat tertutup (berdasarkan keturunan). Kesebelas, harta kekayaan berfungsi sosial, yaitu orang Toraja meyakini bahwa manusia pada dasarnya satu keluarga, semuanya adalah keturunan Datu Lauku. Pemilikan harta benda berdasarkan pemilikian keluarga, pemilikan tongkonan. Dengan bergotongroyong bukan berarti bekerja sia-sia untuk orang lain. Hasilnya akan dinikmati bersama. Orang kaya adalah tumpuan harapan orang miskin. Orang kaya harus menjamu tamu secara besar-besaran melalui upacara Rambu Solo’ yang didalammya seluruh keluarga bersama-sama dapat menjamu dan dijamu. Pada kesempatan tersebut orang kaya dapat memberi makan kepada orang banyak (umpakande tau buda). TARIAN DUKACITA MA’BADONG
Ma’badong adalah kesenian yang paling popular pada ritual Rambu Solo’. Ma’badong ditampilkan pada tingkat aluk yang lebih tinggi yaitu mulai pada tingkat dipatallungbongi (upacara tiga malam) ke atas, kecuali di daerah Banga yang sudah dimulai pada tingkat penyembelihan seekor kerbau (satu malam saja). Isi badong terdiri dari pembukaan yaitu pernyataan dukacita, menguraikan sejarah ringkas (menurut mitos) keturunan almarhum sejak dari langit, riwayat hidupnya sejak dalam kandungan sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara Rambu Solo’nya dilaksanakan, perjalanan ke puya (sorga) sampai akhirnya menjelma menjadi ilah di langit dan memberkati anak cucunya, komoditasnya di dunia ini.
Jenis badong yang unik adalah badong pada waktu pemakaman (badong to meaa). Badong to meaa lebih mengungkapkan kegembiraan karena almarhum sedang menuju ke perkampungan leluhurnya bersama-sama dengan para kekasih pendahulunya dan yang pada akhirnya arwahnya akan menjelma menjadi ilah di langit (Sarira, J.A., 1996). Selain itu melalui tarian ini para keluarga dimaksudkan untuk menari sambil berdoa agar arwah yang meninggal diterima di puya (sorga), atau alam baka. (The Guide Magazine Toraja, 1).
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, atau gambar dan tidak menekankan pada angka statistika, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bogdan & Taylor (dalam Moleong, L.J., 2010) bahwa metode kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yaitu ungkapan atau catatan mengenai orang-orang atau tingkah laku mereka yang terobservasi.
Partisipan penelitian terdiri dari dua orang Toraja asli (RM dan KV), kehilangan anggota keluarga akibat kematian selama satu tahun dan hendak melaksanakan ritual Rambu Solo’. peneliti juga menggunakan triangulasi data sebagai data pembanding terhadap data yang diperoleh (Moleong, L.J., 2010). Triangulasi
data dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari partisipan dengan hasil wawancara dari orang-orang terdekat partisipan. Selanjutnya terhadap data wawancara yang telah terkumpul dilakukan analisis data yang meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini akan dipaparkan mengenai latar belakang dan dukacita pada kedua partisipan yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’. Kedua partisipan penelitian merupakan turunan orang Toraja asli yang hidup di Toraja, sejak lahir, tumbuh besar hingga menikah dan memiliki keluarga, kecuali partisipan kedua yang setela dewasa meninggalkan Toraja kemudian bekerja, menikah dan berkeluarga , dan menetap di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Partisipan pertama (RM) berusia 28 tahun. RM kehilangan nenek yang dicintainya sejak lebih dari setahun. Selama kurun waktu tersebut RM adalah satu-satunya orang yang tiap harinya mengantarkan minuman bagi jenazah neneknya, dikarenakan secara adat status sang nenek masih dikatakan tomakula’ (orang yang sedang sakit). Semasa neneknya masih hidup RM juga turut merawat sang nenek dibantu oleh salah satu anak dari sang nenek yang juga merupakan ibu mertua RM. Selama neneknya masih hidup, RM mengaku memiliki hubungan yang dekat dengan mendiang neneknya. Saat sang nenek meninggal RM merasakan
ada yang hilang dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena sang nenek selalu menolong RM menjaga kedua anaknya yang masih kecil, sehingga RM dapat dengan leluasa memetik sayur untuk diberikan kepada ternak babinya. Kepergian neneknya membuat RM merasa kehilangan secara fungsional, karena menurutnya tidak ada lagi yang akan menjaga anak-anaknya saat ia hendak bekerja memetik sayur bagi ternak babinya. Setelah lebih dari setahun merawat jenazah neneknya layaknya orang yang masih sakit, maka tiba saatnya bagi RM melaksanakan Rambu Solo’ bagi almarhum nenek. Selama Rambu Solo’ berlangsung RM menyambut kedatangan para tamunya dan para tamu membawakan sejumlah hewan bagi keluarga RM. Jumlah keseluruhan hewan yang diperoleh RM bersama sang suami adalah 30 ekor hewan, yaitu 3 ekor kerbau dan sisanya 27 ekor babi.
Partisipan kedua (KV) berusia 66 tahun dan merupakan anak pertama dari almarhum nenek RM. Di hari pertama kematian ibunya, KV tidak berada di Toraja. Informasi mengenai kematian orang yang ia cintai, KV peroleh dari adiknya yang berada di Toraja. Selama puluhan tahun KV merantau di luar kabupaten Toraja dan menetap di Pinrang bersama anak dan isteriya. Selama puluhan tahun berada di perantauan, KV jarang kembali ke kampung halamannya di Toraja dan selama waktu itu juga KV jarang untuk menjenguk ibunya di Toraja. Jika ia tidak sempat mengunjungi ibunya, maka hubungan di antara mereka hanya
sebatas komunikasi lewat surat atau menanyakan kabar ibunya lewat orang-orang terdekatnya. Hal ini terpaksa ia lakukan oleh karena KV kesibukkan pekerjaannya di Pinrang.
Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’.
Kesedihan dan Rasa Marah Di Awal Peristiwa Kematian Kedua partisipan mengalami dukacita oleh karena kehilangan orang yang mereka kasihi. Kesedihan adalah salah satu perasaan emosional dukacita yang dirasakan oleh kedua partisipan. Kesedihan tersebut mereka ekspresikan dengan menangisi kepergian orang yang dikasihi. Namun, meskipun keduanya sama-sama menangisi kepergian orang yang dikasihi ternyata partisipan kedua (KV) tidak menangis seperti perempuan pada umumnya. Partisipan kedua menyebutnya dengan istilah “menangis dalam hati”. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jeffreys, J.S., (2005) bahwa tidak semua individu akan menyatakan kesedihan dengan cara yang sama. Ada orang yang bisa merasakan kesedihan ketika kehilangan orang yang dicintai, namun ada juga individu yang menahan rasa dukanya karena adanya tekanan dari pihak luar atau karena individu tersebut tidak merasa berhak untuk mengungkapkan rasa dukanya. Selain itu jenis kelamin orang yang ditinggalkan menentukan reaksi yang ditimbulkan. Fivush dan Buckner (dalam Cahyasari, I., 2008) menyebutkan bahwa pria cenderung lebih
menyembunyikan perasaannya dibandingkan dengan wanita yang lebih sering mengungkapkan perasaannya.
Tidak hanya mengalami kesedihan karena peristiwa kehilangan, partisipan pertama (RM) ternyata mengalami perasaan emosional dukacita yang tidak dialami oleh partisipan kedua. Partisipan pertama menunjukkan kemarahannya secara langsung kepada jenazah neneknya. Seperti yang diungkapkan oleh Jeffreys, J.S., (2005) marah adalah reaksi yang terjadi secara alami ketika individu kehilangan orang yang dicintainya. Rasa marah ini dapat ditujukan secara langsung kepada orang yang meninggal, situasi, atau kepada Tuhan. Partisipan pertama menunjukkan rasa marahnya (anger) langsung kepada almarhum neneknya melalui ungkapkan “mengapa nenek tinggalkan saya?”. Kemarahan yang terjadi menggambarkan suasana hati partisipan pertama yang tidak rela kehilangan neneknya.
Rasa tidak rela kehilangan neneknya dikarenakan kedekatan emosional yang terjalin di antara keduanya, yang disebabkan selama empat tahun ia beserta suami dan kedua anaknya hidup bersama dengan neneknya dan ia adalah orang yang merawat almarhum selama sakit sampai meninggal. Kedekatan partisipan pertama dan neneknya semakin erat juga dikarenakan sang nenek membantunya menjaga kedua anaknya yang masih balita, sehingga ketika sang nenek telah tiada hal ini juga membuat partisipan pertama mengalami kehilangan nenek secara fungsional.
Oleh karena kedekatan yang terjalin sangat baik di antara partisipan pertama dengan almarhum neneknya, membuatnya sulit atau tidak rela kehilangan neneknya. Proses yang terjadi pada partisipan pertama menunjukkan bahwa ada kesesuaian teori yang diungkapkan oleh Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008), bahwa jika kedekatan suatu hubungan yang terjalin dengan baik akan memungkinkan bagi seseorang yang ditinggalkan sulit untuk melupakan dan melepaskan ikatan tersebut. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak menunjukkan kemarahannya baik terhadap almarhum ibunya, orang-orang terdekatnya maupun Tuhan. Sejak awal peristiwa kehilangan partisipan kedua mengatakan bahwa ia sudah dapat menerima kenyataan ibunya telah tiada. Perbedaan reaksi emosianal di antara keduanya berkaitan dengan perbedaan umur kedua partisipan yang selisih 38 tahun dan menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa secara umum dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda.
Rindu Sengsara sebagai Perasaan Emosional Dukacita karena Ritual Rambu Solo’
Terdapat persamaan perasaan emosional dukacita yang dirasakan oleh kedua partisipan mulai dari awal kehilangan sampai dengan Rambu Solo’ diselenggarakan. Perasaan emosional ini kedua partisipan sebut dengan perasaan “rindu sengsara”. Rindu sengsara merupakan gejolak emosional yang dirasakan dalam waktu yang bersamaan oleh kedua partisipan.
Rasa rindu keduanya, ditujukan kepada jenazah orang yang mereka kasihi dan perasaan sengsara sebagai penderitaan akibat memikirkan pelaksanaan Rambu Solo’ dan bagaimana melunaskan hutang hewan yang diperoleh.
Proses Penantian Ritual Rambu Solo’
Upacara peristiwa kematian yang dialami oleh kedua partisipan tidak dilakukan seperti ritual pemakaman masyarakat pada umumnya. Kedua partisipan membuat ritual pemakaman bagi orang yang dikasihinya dengan menggunakan ritual berkabung adat orang Toraja, yang dikenal dengan nama Rambu Solo’. Sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan keluarga kedua partisipan wajib mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh adat, yaitu bahwa sekalipun orang yang dikasihi telah dinyatakan meninggal secara medis, namun sebelum Rambu Solo’ resmi dilaksanakan, maka jenazah belum dapat dikatakan meninggal secara adat. Jenazah masih dianggap sebagai orang sakit, masih hidup, ditaruh di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga yang masih hidup dan para keluarga inti wajib melayani jenazah seperti saat jenazah masih hidup, yaitu dengan membawa makanan, minuman ataupun sirih dan rokok serta mengajak jenazah berkomunikasi (Sarira, J.A., 1996).
Proses ritual sebelum Rambu Solo’ yang berlangsung dalam kurun waktu lebih dari setahun ternyata memberi dampak terhadap proses dukacita yang dialami oleh kedua partisipan.
Di awal peristiwa kehilangan kedua partisipan sempat beranggapan bahwa orang yang mereka kasihi belum meninggal, tetapi masih hidup. Kedua partisipan menyangkali kebenaran yang sedang terjadi dan menjadi tidak realistis. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) bahwa proses yang dialami oleh keduanya saat peristiwa kehilangan terjadi merupakan proses dukacita yang pertama, yaitu yang disebut dengan fase mati rasa (numbing). Mati rasa (numbing), yaitu fase di mana individu menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini juga diungkapkan oleh Kubler Ross (dalam Santrock, J.W., 2002), bahwa penyangkalan (denial) merupakan hal yang wajar yang dialami oleh seseorang sebagai luapan emosi oleh karena peristiwa kematian. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut selama proses ritual dijalankan, terlebih khusus dialami oleh partisipan pertama. Selama lebih dari satu tahun partisipan pertama merasa bahwa neneknya masih hidup, apalagi di saat ia sering kali memimpikan sang nenek. Pengalaman mimpi ini membuatnya seperti hidup di dua dunia, di satu sisi menganggap neneknya masih hidup, namun di sisi lain menyadari bahwa sebenarnya neneknya telah tiada. Pemikiran ini juga semakin berakar kuat dalam dirinya dikarenakan ia adalah satu-satunya orang yang setiap harinya melayani jenazah, sehingga menurutnya dengan kondisinya yang setiap hari melayani jenazah layaknya orang
masih hidup membuatnya semakin beranggapan bahwa neneknya masih hidup.
Partisipan kedua yang juga menjalankan proses ritual selama satu tahun justru membuatnya berpikir bahwa memang ibunya telah tiada. Baginya ini hanya persoalan menurut apa yang dikatakan oleh adat, sehhingga ia sendiri lebih mempercayai tentang realita yang terjadi. Partisipan kedua juga mengakui bahwa ia jarang melayani jenazah seperti yang dilakukan oleh partisipan pertama, karena setiap kali ia melihat jenazah ibunya akan membuatnya semakin rindu dan juga merasakan sakit serta kasihan terhadap jenazah ibunya.
Kerinduan dan Attachment Behavior Sebelum Rambu Solo’ Rasa rindu yang dialami oleh kedua partisipan membawa mereka pada proses berduka lainnya yaitu mencoba memulihkan keadaan orang yang telah meninggal. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) saat individu melalui proses ini, yaitu mencoba memulihkan keadaan orang yang telah meninggal, hal ini merupakan “attachment behavior”. Pada partisipan pertama, attachment behavior ini ia nyatakan dengan tetap menjaga komunikasi dengan almarhum neneknya. Komunikasi tersebut terjadi setiap ia mengantarkan minuman bagi neneknya, ia selalu menegur jenazah dengan menyuruh jenazah bangun untuk kemudian meminum minuman yang ia bawakan. MY yang merupakan tetangga dekat partisipan pertama juga mengatakan bahwa jika ia dan partisipan pertama makan siang bersama, maka
tanpa ragu-ragu partisipan pertama akan memanggil jenazah dari dapur untuk makan siang bersama-sama. Bentuk komunikasi lainnya adalah partisipan pertama tetap senantiasa membawa almarhum dalam doanya. Selain itu partisipan pertama sering mengenang masa-masa ketika neneknya selama hidup begitu menyayangi dan bersedia merawat anak-anaknya.
Partisipan kedua jarang menegur jenazah ibunya, ia mengakui hanya beberapa kali menegur jenazah ibunya, salah satunya di saat ia datang di awal peristiwa kematian ibunya. Namun, ia tetap mendoakan ibunya agar diterima di sisi Tuhan. Cara lain yang partisipan kedua lakukan adalah dengan bersabar dan mengikhlaskan kepergian orang yang ia kasihi dan mencoba menghadirkan sosok ibunya dalam pikirannya, yaitu dengan mengenang kembali akan pribadi ibunya yang selalu menyayanginya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kerinduan (yearning) terhadap sosok orang yang disayangi dapat muncul ketika sedang teringat mengenai kenangan yang dulunya pernah terjadi (Turner & Helmes, dalam Cahyasari, I., 2008). Meskipun kedua partisipan sama-sama merasakan kerinduan dan mencoba menghadirkan kembali sosok orang yang telah tiada, namun keduanya memiliki harapan yang berbeda. Partisipan pertama mengharapkan agar neneknya masih hidup, sehingga ia dapat kembali melakukan aktivitas seperti saat neneknya masih hidup, terlebih khusus ia mengharapkan agar neneknya dapat kembali
menjaga anak-anaknya dan ini terkait akan rasa kehilangan pribadi nenek secara fungsional.
Partisipan kedua tidak berharap agar ibunya masih hidup, tetapi ia berharap agar kelak dapat bertemu dengan ibunya di sorga. Perbedaan intensitas pertemuaan kedua partisipan terhadap orang yang dikasihi mempengaruhi attachment behavior di antara mereka, sehingga memberi pengaruh terhadap perbedaan harapan kepada sosok pribadi yang telah tiada.
Kerinduan dan kesepian yang terus dirasakan kedua partisipan selama lebih dari satu tahun, diakui oleh keduanya dikarenakan proses ritual yang masih mengizinkan mereka melayani jenazah. Tinggal bersama jenazah dan merawat jenazah dengan status tomakula’ membuat kerinduan mereka semakin besar.
Meskipun proses ritual sebelum Rambu Solo’ membuat rasa rindu kedua partisipan semakin bertambah besar, rasa rindu keduanya dapat teratasi dengan adanya kehadiran anggota keluarga lain dan para tetangga yang menawarkan diri untuk membantu mempersiapkan Rambu Solo’. Adanya keterlibatan orang-orang terdekat mampu menolong partisipan pertama dan partisipan kedua dari dukacita, sehingga pemulihan tidak hanya upaya personal namun juga keterlibatan orang-orang terdekat. Hal ini sejalan dengan pendapat Harper (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa dukungan (support social) yang datang dan diberikan kepada seseorang yang sedang berduka akan membuat
individu tersebut merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi kondisi yang sedang dialami, tanpa adanya dukungan akan membuat individu yang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya merasa sepi dan hampa di dunia ini.
Peran Tarian Dukacita Ma’badong
Rasa rindu juga coba diatasi oleh keduanya dengan cara mengikuti tarian dukacita ma’badong’. Keduanya mengikuti tarian ini sejak sebelum Rambu Solo’ sampai Rambu Solo’ resmi dilaksanakan. Bagi partisipan pertama tarian dukacita yang ia ikuti dapat menghibur dirinya dari rasa kehilangan yang ia hadapi. Tarian dukacita ini lebih dirasakan manfaatnya oleh partisipan pertama saat Rambu Solo’ berlangsung, karena tidak hanya menghiburnya dari rasa kehilangan namun juga menolongnya untuk sejenak tidak memikirkan hutang yang ia peroleh selama Rambu Solo’. Pikiran mengenai hutang tersebut menjadi beban pikiran bagi partisipan pertama sejak di awal peristiwa kematian. Hutang ini dirasakan oleh partisipan pertama sebagai hal yang mengganggu pikiran dan menambah rasa dukacitanya. Di awal kematian partisipan kedua juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh partisipan pertama. Ada keterpaksaan dan penderitaan dalam diri partisipan kedua untuk mempersiapkan Rambu Solo’. Oleh karena itu untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif yang timbul karena pemikiran mengenai hutang yang akan diperoleh, maka partisipan kedua juga memilih terlibat secara aktif dalam tarian ma’badong,
karena tarian dukacita ini ia anggap sebagai hal yang dapat menghibur dirinya setelah kehilangan orang yang ia kasihi, membebaskannya dari rasa susah akibat hutang serta keyakinannya bahwa tarian tersebut dapat menghibur jenazah ibunya.
Dari hal ini dapat diketahui bahwa seni tari memberi dampak yang positif terhadap dukacita yang dialami oleh kedua partisipan. Menurut Sarira, J.A., (1996) kesenian yang ditampilkan pada Rambu Solo’ adalah ungkapan ratapan dan penghormatan kepada almarhum. Kesenian ini tidak hanya pengungkapan penderitaan di dunia sekarang, melainkan juga mengungkapkan masa awal yang indah. Isi tarian ma’badong terdiri dari pembukaan, yaitu pernyataan dukacita, menguraikan sejarah ringkas keturunan almarhum, riwayat hidup sejak lahir sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara Rambu Solo’nya dilaksanakan dan perjalanannya ke sorga (puya). Selain itu dalam tarian ini para penari juga menari sambil berdoa bagi arwah orang yang mati agar diterima di negeri arwah/sorga (puya), atau di alam baka (The Guide Magazine Toraja, 1).
Perubahan Status Jenazah menjadi Tomate
Saat Rambu Solo’ resmi berlangsung, maka saat itupula jenazah resmi berubah status menjadi tomate (orang yang resmi dikatakan meninggal oleh adat). Perubahan status jenazah ini membuat kedua partisipan semakin menyadari bahwa orang yang dikasihi benar-benar akan meninggalkan mereka. Harapan untuk
bertemu kembali seperti masih hidup semakin memudar dalam diri kedua partisipan. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) ini merupakan proses dukacita yang disebut dengan fase kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa. Pada fase ini, individu yang mengalaminya dicirikan dengan harapan yang semakin memudar, mengakui orang yang dicintai tidak akan pernah kembali serta menjadi terbiasa dengan rasa putus asa, kelelahan, kehilangan motivasi, serta apatis. Pada partisipan pertama selama lebih dari satu tahun ia masih berharap agar neneknya masih hidup, saat Rambu Solo’ harapan agar neneknya masih hidup memudar. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua sejak awal kematian tidak lagi mengharapkan agar dapat bertemu dengan ibunya seperti masih hidup. Dengan berlangsungnya Rambu Solo’ partisipan kedua semakin disadarkan bahwa memang ibu yang dicintainya tidak ada lagi di dunia ini dan mulai menerima peristiwa kehilangan ini adalah nyata adanya. Namun, kedua partisipan tetap memiliki harapan dan keyakinan bahwa kelak mereka akan bertemu dengan orang yang dikasihi di sorga.
Kedua partisipan juga masih merasakan perasaan kehilangan terlebih khusus saat jenazah yang mereka kasihi resmi menjadi tomate. Secara jujur keduanya mengakui bahwa masih adanya keinginan mereka untuk memperlakukan jenazah layaknya tomakula’, namun mereka sadar akan ketentuan adat yang berlaku. Akhirnya, baik partisipan pertama maupun partisipan
kedua memasrahkan hal ini kepada kuasa yang lebih besar dari mereka, yaitu kepada kuasa Tuhan. Menurut Jeffreys, J.S., (2005) respons dukacita individu secara khas berhubungan dengan peran spiritual (keagamaan). Banyak orang-orang yang menderita karena peristiwa kehilangan akan berbelok kepada sistem kepercayaan atau sistem iman mereka untuk menolong mereka dalam menghadapi peristiwa kematian, seperti melaksanakan ritual-ritual maupun dukungan dari para pendoa (prayer support). Hal ini terlihat selama Rambu Solo’, yaitu keluarga kedua partisipan tetap melibatkan peran serta iman percaya mereka dengan melaksanakan ibadah malam dalam bentuk liturgi agama Katholik dan di hari pemakaman pun dipimpin oleh seorang Frater.
Selain itu perubahan status jenazah nenek dari tomakula’ menjadi tomate memunculkan konflik batin bagi partisipan pertama yang disebabkan karena ia setiap hari melayani jenazah neneknya. Di satu sisi ia masih ingin mengurus jenazah neneknya layaknya orang masih hidup, namun di sisi lain ia harus merelakan bahwa orang yang ia kasihi telah resmi dikatakan sebagai orang yang telah meninggal baik secara medis maupun adat, namun ia pribadi pada akhirnya lebih memilih neneknya dengan status tomate agar ia tidak lagi menganggap bahwa nenek yang ia kasihi masih hidup. Dari hal ini nampak bahwa partisipan pertama belum sepenuhnya menerima perubahan status yang diberikan terhadap neneknya. Seperti yang juga dikatakan oleh
Turner & Helms (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa tidak mudah bagi seseorang yang telah ditinggalkan untuk menyadari seutuhnya dan menerima kematian orang yang dicintainya.
Kedua partisipan mengalami konflik perasaan lainnya, yaitu berbaurnya rasa sepi, sedih dan bahagia selama Rambu Solo’ berlangsung. Kesepian dan kesedihan yang dirasakan oleh keduanya merupakan manifestasi dari dukacita karena kehilangan orang yang dicintai. Rasa sepi dan sedih tersebut semakin kuat dirasakan keduanya oleh karena hari pemakaman yang semakin dekat. Rasa bahagia yang dirasakan kedua partisipan oleh karena melalui Rambu Solo’ mereka dapat berjumpa dengan keluarga besarnya yang datang dari Toraja, khususnya di luar daerah Toraja. Bagi kedua partisipan Rambu Solo’ merupakan salah satu media yang berhasil mengumpulkan keluarga besar mereka, sehingga menciptakan rasa kekeluargaan yang lebih erat di antara mereka. Kekeluargaan itu sendiri juga merupakan salah satu aspek penting di dalam Rambu Solo. Menurut Sarira, J.A., (1996) dalam upacara Rambu Solo’ hubungan kekeluargaan diperbaharui dan dipulihkan. Dalam ritual Rambu Solo’ nyata bahwa hubungan kekeluargaan tidak putus, ada reuni keluarga supaya ikatan kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan yang dimaksudkan di sini adalah kekeluargaan yang berdasarkan keturunan (geneologis). Peran dan Manfaat Melaksanakan Ritual Rambu Solo’
Selain relasi dengan keluarga yang membuat kedua partisipan merasa bahagia, kehadiran para tetangga juga turut
membantu dimulai sebelum Rambu Solo’ sampai dengan saat Rambu Solo’ berlangsung juga membawa rasa gembira bagi keduanya. Fakta ini kembali membuktikan bahwa tidak hanya aspek kekeluargaan yang dirasakan oleh keduanya, tetapi aspek persekutuan (ambakan datu) turut memberi hal positif bagi keduanya di tengah dukacita yang dialami. Ambakan datu yang berarti kegotong-royongan, adalah suatu pranata sosial, suatu kesatuan regional dalam hubungan dengan kepemimpinan struktur Tongkonan yang merupakan lambang persekutuan dari orang Toraja, karena dengan adanya Tongkonan orang Toraja bisa mengetahui garis keturunan melalui Tongkonan. Ambakan datu adalah kesatuan berpikir (musyawarah), kesatuan tindak, kesatuan berbakti, kesatuan emosional, dan kesatuan kerja, sehingga Rambu Solo’ terbesar pun dapat terselenggara tanpa suatu bentukan organisasi (Sarira, J.A., 1996). Semua hal ini dianggap kedua partisipan sebagai manfaat dari ritual Rambu Solo’. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Doka, J.K., (2003) bahwa ritual memiliki peran, yaitu ritual menetapkan sebuah masyarakat atau komunitas. Ini menawarkan sebuah kesempatan untuk bangkit secara bersama dan mendemonstrasikan persatuan mereka. Peran lainnya bahwa ritual memperlihatkan rasa solidaritas kepada para korban. Oleh karena itu, mereka yang mengalami kematian sahabat atau anggota keluarganya, pemakaman dan ritual upacara akan
memberikan keuntungan baik secara sosial, psikologis dan spiritual (Rando, dalam Doka, J.K., 2003).
Selanjutnya Saroengallo, T., (2010) kembali menambahkan bahwa menurut beberapa pengamat sosial-budaya Toraja; bahwa salah satu ciri khas masyarakat Toraja adalah ikatan kekerabatan yang kental atau rasa persaudaraan dan persahabatan yang kuat dan erat. Kentalnya hubungan kekerabatan dan persahabatan, atau hubungan persaudaraan yang dirasakan dekat dan akrab ini ditopang oleh tiga sistem sosial-budaya yaitu: kesatuan asal-usul (seketurunan), sistem bawaan kerbau/babi pada ritual Rambu Solo’ dan sistem passarak. Dari ketiga sistem di atas, sistem bawaan mempunyai jangkauan dan jaringan yang luas, karena di samping menyangkut keluarga seketurunan, juga mencakup pertemanan atau persahabatan seperti kenalan dekat, teman sekerja, teman seorganisasi dan sebagainya.
Rambu Solo’, Hewan Kerbau dan Babi Sebagai Simbol Strata Sosial
Selain itu ada hal lain yang membuat partisipan kedua secara pribadi merasa bahagia, yaitu ia dapat mengorbankan hewan bagi ibunya sebagai syarat yang ia dan keluarganya harus penuhi untuk melaksanakan Rambu Solo’ bagi ibunya. Bagi partisipan kedua pelaksanaan Rambu Solo’ layak diterima ibunya karena hal ini ia anggap sebagai bentuk balas budi terhadap apa yang telah almarhum ibunya berikan kepadanya, meskipun ia sadar akan adanya konsekuensi yang diterima karena melaksanakan Rambu
Solo’, yaitu hutang. Menurut Saroengallo, T., (2010) tidak ada sanksi adat yang akan diberikan jika keluarga yang berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’ bagi orang yang dikasihi. Akan tetapi, jika keluarga berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’ apalagi jika menyandang status sebagai topuang atau tomakaka dan dihormati oleh kalangan masyarakat, maka dapat menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu tersebut.
Rasa Kelelahan Selama Rambu Solo’
Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) mengatakan bahwa saat individu telah sampai pada proses berduka, yaitu kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa, maka individu akan terbiasa dengan rasa kelelahan (fatigue).
Kedua partisipan mengalami kelelahan fisik maupun psikis dan puncak kelelahan yang keduanya rasakan adalah saat penerimaan tamu yang berlangsung selama tujuh hari. Kesibukkan ini, khususnya membuat partisipan pertama mengalami perubahan jam tidur yang mengakibatkan kelelahannya semakin besar. Meskipun kelelahan dalam melayani para tamu juga dirasakan oleh partisipan kedua, namun kelelahan yang dirasakan tidak lebih besar dari yang dirasakan oleh partisipan pertama. Selama penerimaan tamu partisipan kedua lebih banyak bersenda gurau dengan para tamu maupun sanak keluarga di lantangnya. Ia jarang membawakan makanan dan minuman bagi para tamunya, karena pekerjaan tersebut diambil alih oleh para wanita dan para kaunan (hamba) yang datang ke
lantang miliknya. Partisipan pertama meskipun tugas di dapur telah dikerjakan oleh kaum kaunan, namun hal tersebut tidak membuatnya meninggalkan tugas yang selama ini melekat pada diri perempuan, seperti membawa sirih, makanan dan minuman bagi para tamu. Partisipan pertama tidak hanya bertugas di lantangnya pribadi, namun ia dengan rela mau mengantarkan makanan berupa nasi, lauk, minuman, bahkan rokok dan sirih untuk seluruh tamu yang datang. Kesibukkan lainnya setiap pagi ia tetap mengambil sayur bagi ternak babinya dan tetap menjaga kedua anaknya yang masih balita, sedangkan partisipan kedua hampir semua anaknya telah bekerja dan hanya tiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan selama Rambu Solo’ ketiga anaknya dijaga oleh isterinya, sehingga ia tidak direpotkan oleh pekerjaan mengasuh anak di tengah berlangsungnya ritual Rambu Solo’.
Dampak Hutang Hewan terhadap Keluarga yang ditinggalkan
Pikiran-pikiran yang menganggu dan menjadi beban dirasakan kedua partisipan sebelum Rambu Solo’, yaitu hutang hewan, kembali mengusik pikiran keduanya khususnya di hari penerimaan tamu. Saat penerimaan tamu adalah saat kedua partisipan beserta keluarga besarnya mengetahui berapa jumlah hutang hewan yang diperoleh. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah hutang partisipan pertama jauh lebih besar yaitu berjumlah tiga puluh ekor sudah termasuk kerbau dan babi,
sedangkan partisipan kedua hanya memperoleh tujuh ekor. Hewan-hewan tersebut semuanya dikorbankan oleh kedua partisipan selama Rambu Solo’ berlangsung. Jumlah hutang yang berbeda di antara keduanya tergantung seberapa banyak kerabat yang datang membawakan hewan bagi kedua partisipan. Hutang yang di satu sisi menjadi beban pikiran bagi kedua partisipan, namun di sisi lain keduanya mengakui bahwa dengan adanya hutang memotivasi mereka untuk bekerja dengan lebih giat dan mencari pekerjaan tambahan agar semua hutang hewannya dapat dilunaskan.
Perbedaan jumlah hutang di antara partisipan pertama dan partisipan kedua memunculkan kekhawatiran yang berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa partisipan pertama memiliki rasa khawatir yang lebih besar dibandingkan partisipan kedua. Selain karena jumlah hutang hewan yang partisipan pertama peroleh jauh lebih besar daripada partisipan kedua, faktor lainnya adalah karena partisipan pertama dan suaminya tidak mempunyai pekerjaan yang menetap ditambah lagi anak-anak mereka yang belum bekerja, sehingga tidak dapat membantu partisipan pertama melunasi hutangnya. Oleh karena itu impian agar kelak anak-anaknya sukses menjadi semakin lebih besar. Cara yang partisipan pertama tempuh untuk melunasi hutang-hutangnya, selain mengandalkan pendapatan suami adalah dengan rajin memberi makan ternak babinya, sehingga babi-babi tersebut dapat menjadi alat melunasi hutangnya. Hewan babi bagi orang
Toraja merupakan hewan peliharaan yang sangat penting. Selain dagingnya yang enak dimakan, babi juga menjadi hewan penting karena dapat digunakan sebagai persembahan dalam ritual keagamaan. Selain itu babi dianggap sebagai aset dalam setiap keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anak dan sebagai pelunasan hutang yang diperoleh saat melaksanakan Rambu Solo’ (The Guide Magazine Toraja, 1). Partisipan pertama juga menganggap hutang hewan tersebut sangat mengganggu pikirannya dan membuatnya merasakan kekhawatiran yang besar mengenai biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil di tengah kesusahan memikirkan pelunasan hutang.
Bagi partisipan kedua, setelah mengetahui jumlah hutang yang diperoleh ia kemudian berpendapat bahwa hutang hewan tidak lagi dirasa sangat mengganggu pikirannya seperti saat sebelum Rambu Solo’, namun cukup mengganggu. Hal ini partisipan kedua katakan dengan alasan bahwa baginya ada anak-anaknya yang telah bekerja yang dapat membantunya untuk melunasi hutang-hutangnya. Di sini terlihat bahwa ketika semua anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak) telah memiliki pekerjaan, maka dapat menolong individu mengatasi kecemasan dalam menghadapi proses pelunasan hutang hewan.
Hal lain yang membuat partisipan pertama semakin terbebani dengan hutang adalah proses pembayaran yang tidak langsung dibayar, tetapi menunggu sampai orang yang membawakan
hewan melaksanakan Rambu Solo’. Namun, tidak demikian halnya dengan partisipan kedua, yang tidak merasa terbeban seperti yang dialami partisipan pertama. Bagi partisipan kedua, hutang yang tidak langsung terbayar dengan lunas bukanlah hal yang menjadi masalah besar karena ia sendiri berhutang bukan kepada orang lain, namun kepada orang yang dianggapnya keluarga. Pendapat partisipan kedua sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Saroengallo, T., (2010) bahwa pengembalian hutang hewan hanya dapat dilakukan bila ada lalan (jalan) artinya bila keluarga bersangkutan melaksanakan ritual pemakaman. Hal ini dilakukan karena di lingkungan masyarakat Toraja adalah sangat tidak sopan atau tidak tahu adat bila menagih bawaan hewan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penagihan merupakan pertanda ketidaktulusan ketika memberikan bawaan yaitu hewan. Selain dengan bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk membayar hutang, kedua partisipan menyerahkan segala kekhawatiran tersebut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kesedihan Di Hari Pemakaman
Ketika hari pemakaman tiba kesedihan kembali dirasakan oleh kedua partisipan. Bagi partisipan pertama, hari pemakaman adalah saat kesedihan dirasakan paling besar, karena ia masih terus berharap dapat melayani jenazah neneknya. Di tengah kesedihan yang begitu dalam ia rasakan, ia kembali harus diperhadapkan dengan larangan aluk to dolo yang melarangnya
mengantarkan jenazah neneknya di tempat peristirahatannya yang terakhir. Hal ini dikarenakan saat pemakaman berlangsung masyarakat sekitar tengah menanti musim panen padi. Jadi, jika ada orang yang meninggal dan pihak keluarga ikut turun mengantarkan jenazah ke kubur maka akan berdampak buruk terhadap hasil panen masyarakat. Larangan ini memunculkan rasa bersalah dalam diri partisipan pertama terhadap jenazah neneknya dan rasa marah di dalam hati terhadap larangan tersebut. Rasa bersalah dan marahnya ia atasi dengan bersikap diam dan tetap mengikuti larangan tersebut sambil menahan kerinduannya dan ia menunggu waktu panen tiba untuk dapat mengunjungi jenazah neneknya. Berbeda dengan partisipan kedua yang tetap turun mengantarkan jenazah ibunya sampai di kuburan, sehingga tidak membuatnya merasa bersalah terhadap jenazah ibunya.
Penyesuaian Diri Pasca Rambu Solo’
Ketika hari pemakaman selesai kedua partisipan kembali menyesuaikan diri mereka dengan status baru pasca Rambu Solo’. Keduanya mencoba untuk kembali memotivasi diri mereka dengan tidak lagi menutup diri dari lingkungan sosial mereka. Partisipan pertama kembali menyesuaikan dirinya dengan para tetangga, seperti tidak lagi memakai baju yang berwarna gelap atau hitam seperti sebelum dan saat Rambu Solo’. Selain itu ia juga mulai melibatkan dirinya bersama para tetangga, yaitu dengan mengajak para tetangga makan kapurung di rumahnya. Partisipan kedua pun juga melakukan penyesuaian diri dengan
cara ikut bergabung menyaksikan sabung ayam (adu ayam) di rumah tetangganya sebelum ia meninggalkan Toraja dan kembali ke Pinrang. Hal ini menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) adalah proses/fase yang terakhir dalam dukacita. Tahapan ini disebut dengan fase reorganisasi, yaitu individu yang berduka memulai membangun kembali rasa indentitasnya, arah dan tujuan hidup, rasa mandiri dan percaya diri. Individu kembali menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan terhadap status baru pasca kehilangan.
Meskipun Rambu Solo’ telah selesai dan kedua partisipan telah mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, keduanya masih tetap merasakan rindu sengsara oleh karena belum dapat membayar hutang hewan yang diperoleh selama Rambu Solo’.
Akhirnya, kedua partisipan mengakui bahwa meskipun Rambu Solo’ telah selesai dilaksanakan mereka tetap merasakan dukacita. Dukacita kedua partisipan bukan lagi karena kehilangan orang yang dikasihi, namun disebabkan oleh karena adanya hutang hewan yang mereka tanggung yang dapat menurun kepada anak-anaknya kelak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data yang sudah dilakukan, maka dalam penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama kedua partisipan mengalami perasaan sedih di awal kematian sampai Rambu Solo’ selesai dilaksanakan. Namun, partisipan pertama
tidak hanya mengalami rasa sedih akibat kehilangan orang yang dikasihi, partisipan pertama juga menunjukkan rasa marahnya kepada almarhum di awal peristiwa kehilangan.
Kedua, sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan kedua partisipan merasakan kerinduan kepada almarhum. Perasaan rindu tersebut dirasakan keduanya oleh karena aturan adat yang masih mengharuskan mereka untuk tinggal bersama dengan jenazah dan merawat jenazah layaknya orang yang masih sakit menunggu Rambu Solo’ dilaksanakan.
Ketiga, kedua partisipan juga masih merasakan perasaan kehilangan saat Rambu Solo’ berlangsung, yaitu saat jenazah almarhum resmi dikatakan sebagai tomate. Perubahan status dari tomakula’ menjadi tomate memunculkan konflik batin bagi partisipan pertama dikarenakan ia masih ingin merawat jenazah layaknya tomakula’. Konflik perasaan lainnya adalah kedua partisipan merasakan berbaurnya rasa sepi, sedih, dan bahagia saat Rambu Solo’ berlangsung. Rasa sedih dan kesepian dikarenakan kehilangan orang yang dikasihi dan rasa bahagia karena dapat berjumpa dengan keluarga besar yang datang dari Toraja, khususnya dari luar Toraja.
Keempat, Rindu sengsara adalah perasaan emosional yang turut dirasakan oleh kedua partisipan. Perasaan tersebut bahkan telah muncul sejak awal peristiwa kematian dan akan berakhir ketika semua hutang hewan yang diperoleh saat Rambu Solo’ terlunaskan.
Kelima, sejak awal peristiwa kehilangan sampai Rambu Solo’ berakhir, satu-satunya pikiran yang mengganggu kedua partisipan adalah hutang hewan yang diperoleh saat Rambu Solo’. Hutang ini ternyata menambah beban dukacita pada kedua partisipan karena memunculkan penderitaan dalam diri kedua partisipan. Namun, kedua partisipan merasakan adanya support sosial mulai di awal kematian sampai Rambu Solo’ dilaksanakan yang meringankan beban dukacita mereka dan membuat relasi kedua partisipan terjalin menjadi lebih akrab dengan sanak keluarga maupun para tetangga. Kedua partisipan juga merasakan hal positif ketika mengikuti tarian ma’badong karena menolong mereka untuk sejenak tidak memikirkan mengenai hutang. Hal-hal inilah yang menjadi dampak negatif maupun positif yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap dukacita orang Toraja.
Keenam, kedua partisipan mengalami proses dukacita yaitu mati rasa (numbing), kerinduan dan mencari (yearning and searching), kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa
(disorganization and despair) serta pulih kembali
(reorganization). Proses kerinduan dan mencari (yearning and searching) merupakan proses dukacita yang paling dominan dirasakan kedua partisipan. Hal ini dikarenakan proses sebelum Rambu Solo dilaksanakan, yaitu pada saat jenazah masih dianggap sebagai tomakula’.
Ketujuh, saat jenazah masih dikatakan sebagai tomakula’ ternyata memberikan peluang bagi keduanya untuk tetap dapat
melakukan attachment behavior, seperti membawakan minuman atau sirih setiap harinya, berdoa bagi jenazah dan tetap menegur/menjaga komunikasi dengan jenazah orang yang mereka kasihi. Hal ini juga yang kemudian membuat partisipan pertama selama lebih dari satu tahun tetap menganggap bahwa almarhum neneknya masih hidup. Namun, bagi partisipan kedua proses sebelum Rambu Solo’ membuatnya lebih menyadari bahwa ibunya memang telah tiada.
Saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya adalah memfokuskan penelitian terhadap seberapa besar pengaruh hutang hewan dalam diri individu pasca Rambu Solo’. Selain itu juga dapat melihat perbedaan dukacita yang muncul di antara kaum Bulaan, Tomakaka, dan Kaunan. Selanjutnya adalah menambah jumlah partisipan, sehingga menghasilkan informasi yang lebih banyak mengenai dukacita pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’, serta meluangkan waktu yang lebih lama untuk pengambilan data, khususnya di saat jenazah masih berstatus tomakula’.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyasari, I. (2008). Grief in adolescent son because both parents died. Diakses Maret 26, 2011 dari
http://papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/v iew/318/292
Chan, C.L.W., & Chow, A.Y.M. (2006). Death, dying, and bereavement: A Hong Kong Chinese experience. Hong Kong: Hong Kong University.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1984). Upacara tradisional (upacara kematian) daerah sulawesi selatan. Jakarta.
Doka, J.K. (2003). Living with grief. New York: Brunner-Routledge.
Jeffreys, J. S. (2005). Helping grieving people: When tears aren’t enough. New York: Brunner-Routlegde.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2005). Human development. New York: McGrawHill.
Santrock, J. W. (2002). Life span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: PT. Erlangga.
Sarira, J. A. (1996). Aluk rambu solo’ dan persepsi orang kristen terhadap rambu solo’. Toraja: PUSBANG Gereja Toraja. Saroengallo, T. (2010). Ayah anak beda warna: Anak toraja kota
menggugat. Yogyakarta: Tembi.
Tatelbaum, J. (1980). The courage to grieve. New York: Lippincott & Crowell.