• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia

Kondisi penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan komponen utamanya yaitu produksi, konsumsi, stok beras, jumlah penduduk, dan impor beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

2.1.1. Produksi

Menurut Putong (2003), produksi adalah menambah nilai guna suatu barang, proses produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat dan sarana untuk melakukan proses produksi. Dalam pertanian, proses produksi sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Produksi padi nasional ditentukan oleh luas areal panen dan tingkat produktivitasnya. Adapun perkembangan luas areal panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Areal Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Luas Areal Produktivitas Produksi Laju Pertumbuhan Panen (Ha) (Ton/Ha) (Ton) Produksi (%) 2006 11,786,430 4.62 54,454,937 0.56 2007 12,147,637 4.71 57,157,435 4.96 2008 12,327,425 4.89 60,325,925 5.54 2009 12,883,576 5.00 64,398,890 6.75 2010 13,244,184 5.01 66,411,469 3.13

Rata-Rata Laju Pertumbuhan Produksi (%) 4.19

Sumber : Kementrian Pertanian (diolah) 2010

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas areal panen padi dan produksi padi dari tahun 2006 sampai dengan 2010 cenderung meningkat. Tingkat pertumbuhan produksi padi rata-rata sekitar 4.19 persen per tahun. Luas areal panen

(2)

9 padi dan produksi padi yang cenderung meningkat dari tahun 2006 sampai dengan 2010, mengakibatkan produktivitas padi meningkat.

2.1.2. Konsumsi

Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi 90 persen penduduk Indonesia (Firdaus et al., 2008), hal ini menyebabkan beras menjadi bahan makanan yang superior daripada bahan makanan lainnya. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi Beberapa Macam Bahan Makanan di Indonesia Tahun

2007-2010 (Kg/Kap/Tahun) Jenis Makanan 2007 2008 2009 2010 Beras 90.73 93.70 91.51 90.36 Jagung 3.13 2.29 1.83 1.56 Ketela Pohon 6.99 7.67 5.53 5.06 Ketela Rambat 2.40 2.66 2.24 2.29

Ikan dan Udang 13.56 13.71 12.98 14.13

Daging Sapi 0.42 0.37 0.31 0.37 Daging Ayam 4.12 3.81 3.60 4.17 Telur Ayam 6.36 6.00 6.05 10.43 Tahu 8.50 7.14 7.04 6.99 Tempe 7.93 7.25 7.04 6.94 Kacang Kedelai 0.10 0.05 0.05 0.05 Sumber : BPS, 2010

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui konsumsi bahan makanan di Indonesia yang paling banyak adalah beras daripada bahan makanan yang lain. Data tahun 2007-2010, menunjukan bahwa pada tahun 2007 konsumsi beras perkapita di Indonesia sebesar 90.73 kg, kemudian pada tahun 2008 konsumsi beras meningkat menjadi 93.70 kg. Tingginya konsumsi beras daripada bahan makanan lain dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya rasa beras yang lebih enak, mudah diolah, kandungan gizi beras, rendahnya pengembangan teknologi pengolahan, sosialisasi pangan non beras masih rendah, dan pendapatan masyarakat yang masih rendah.

(3)

10 2.1.3. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras

Pengelolaan stok, pengadaan, dan penyaluran beras yang dilakukan oleh lembaga pemerintah melalui lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG), bertujuan menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan. Kemampuan pengadaan beras yang dilakukan BULOG ditentukan oleh dua variabel penting yaitu selisih harga dasar dan market clearing. Semakin tinggi selisih harga dasar dengan market clearing maka akan memberikan insentif bagi petani untuk menjual gabah atau berasnya ke pemerintah (BULOG).

Tugas BULOG berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag) No.22/M-DAG/PER/10/2005 tentang penggunaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk pengendalian gejolak harga. (1) CBP adalah sejumlah tertentu beras milik pemerintah pusat yang pengadaannya didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai cadangan stok beras nasional dan dikelola oleh BULOG dengan arah penggunaan untuk penanggulangan keadaan darurat, kerawanan pangan pasca bencana, pengendalian gejolak harga beras, dan untuk memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat. (2) gejolak harga beras adalah kenaikan harga beras ditingkat konsumen mencapai lebih dari 25 persen dari harga normal dan berlangsung selama seminggu. (3) harga normal adalah harga rata-rata beras kualitas medium di tingkat konsumen yang telah berlangsung selama tiga bulan sebelum terjadinya gejolak harga beras. (4) beras kualitas medium adalah dengan kualitas yang setara dengan CBP.

Pengadaan beras nasional yang dibeli pemerintah dari petani disimpan dan disalurkan pada gudang-gudang BULOG. Apabila pengadaan dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri, dilakukan pengadaan dari luar negeri

(4)

11 (impor). Saat musim paceklik, BULOG melaksanakan operasi pasar murni (penjualan beras ke pasar) untuk mengurangi laju kenaikan harga sehingga tidak melampaui batas tertinggi dan mengatasi fluktuasi antar musim. Hal ini bertujuan untuk menjamin pasokan pangan yang cukup pada tingkat harga yang wajar sebagai unsur penting dalam pengamanan pangan nasional. Pengadaan pangan dalam negeri diharapkan dapat meningkatkan produksi beras melalui jaminan harga yang memadai bagi petani (Amang, 1999).

Tabel 6. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras di Indonesia Tahun 2005-2009 (Ton)

Tahun Stok Beras Pengadaan Beras Penyaluran Beras

2005 1,470,502 1,529,718 2,233,216

2006 1,093,370 1,434,127 1,842,680

2007 1,274,048 1,765,987 2,934,449

2008 1,443,936 2,931,776 3,757,111

2009 1,912,413 3,611,695 3,613,321

Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 9.32 26.52 16.49 Sumber : BULOG, 2010

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan stok beras 9.32 persen, pengadaan beras 26.52 persen dan penyaluran beras 16.49 persen.

2.1.4. Jumlah Penduduk

Pada sisi penawaran, pertambahan populasi dapat diartikan sebagai penambahan tenaga kerja untuk memproduksi komoditas ekspor, sedangkan penambahan populasi pada sisi permintaan akan meningkatkan konsumsi domestik yang berarti meningkatkan jumlah permintaan domestik akan suatu komoditas (Salvatore, 1997).

Adapun perkembangan jumlah penduduk di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah penduduk Indonesia yang cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1.54 persen. Jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan konsumsi akan beras menjadi meningkat.

(5)

12 Tabel 7. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2005 - 2010

Tahun Penduduk Laju Pertumbuhan

(juta jiwa) Penduduk (%)

2005 219.85 1.40 2006 222.74 1.32 2007 225.64 1.30 2008 228.52 1.28 2009 231.37 1.25 2010 237.64 2.71

Rata - Rata Laju Pertumbuhan Penduduk 1.54

Sumber : BPS (diolah) 2010

2.1.5. Impor Beras

Impor beras dilakukan di setiap negara untuk memenuhi permintaan beras di dalam negeri. Produksi beras domestik yang belum dapat mencukupi kebutuhannya, menyebabkan pemerintah perlu mengimpor beras. Adapun perkembangan impor beras di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Beras di Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Volume (Ton) Nilai 000 (US$)

2006 439,782 133,905

2007 482,103 157,772

2008 289,274 123,783

2009 250,276 107,955

2010 687,582 360,790

Sumber : Kementrian Pertanian, 2010

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah Impor beras nasional terkecil terdapat pada tahun 2009 sebesar 250,276 ton, sedangkan jumlah impor beras nasional terbesar pada tahun 2010 sebesar 687,582 ton. Jumlah impor beras dari tahun 2007 sampai 2009 cenderung menurun tetapi pada tahun 2010 jumlah impor beras meningkat menjadi 687,582 ton.

(6)

13 2.2. Peran Beras

Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Menurut Suryana dan Mardianto (2001) beras mempunyai peran yang strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas politik nasional. Masyarakat masih tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu terdistribusi secara merata dan dengan harga terjangkau. Kondisi ini menunjukan bahwa beras masih menjadi komoditas strategis secara politis.

Menurtut Suryana dan Mardianto (2001) Beras memiliki karakteristik menarik antara lain: (1) 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia (2) pasar beras dunia sangat rendah, yaitu hanya empat sampai dengan lima persen dari total produksi, berbeda dengan komoditas tanaman pangan lainnya seperti gandum, jagung dan kedelai yang masing-masing mencapai 20 persen, 15 persen, dan 30 persen dari total produksi : (3) harga beras sangat tidak stabil dibanding dengan produk lainnya (4) 80 persen perdagangan beras dikuasai oleh enam negara, yaitu Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar (5) struktur pasar oligopolistik (6) Indonesia merupakan negara net importir sejak tahun 1998 dan (7) sebagian besar negara di Asia umumnya beras diperlakukan sebagai wage goods dan political goods. 2.3. Kebijakan Beras Nasional

Menurut Firdaus et al. (2008) kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan yang berguna untuk mempengaruhi suatu keadaan. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral pada masyarakat, begitu pula termasuk di dalamnya kebijakan pada sektor pertanian. Berdasarkan Inpres

(7)

14 No.2/2005 kebijakan perberasan di Indonesia terbagi menjadi kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan distribusi, dan kebijakan impor.

2.3.1. Kebijakan Produksi

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa program kebijakan produksi padi nasional diawali dengan dikeluarkannya program padi sentra tahun 1959.

Tabel 9. Perkembangan Kebijakan Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Tahun 1959-2007

Program Tahun Hard Soft

Technology Technology

Padi Sentra 1959 Varietas Si, Gadis, Jelita Komando operasi

Dara gerakan makmur

BIMAS 1965 Varietas Si, Gadis, Jelita Perbaikan kelembagaan

Dara dan kredit

Inmas 1968 Varietas PB5 Perbaikan kelembagaan

dan PB 8(IRRI) BIMAS

1969 Penggunaan varietas PB5 Penguatan kelembagaan

Gotong Royong dan PB 8 modal swasta

Insus 1979 Panca Usahatani Pembentukan

kelompok tani Supra Insus 1987 Sapta Usahatani

Penguatan kelompok tani

SUTPA 1995 Varietas Cibodas Diversfikasi Pertanian dan Membramo

INBIS 1997 Varietas Cibodas Pendampingan Pertanian dan Membramo

Gama Palagung 1998 Sapta Usahatani Kredit Usaha Tani Corparate

2000 Varietas Cibodas Konsolidasi petani

Farming dan Membramo sehamparan dan dana

PTT 2001 Perpaduan Sumberdaya Kelompok agrbisnis dan penguatan modal

P2BN 2007

Bantuan benih, perbaikan Pengendalian OPT, irigasi dan pupuk

bersubsidi Manajamen pascapanen

Sumber : Firdaus et al. (2008)

Program ini dilakukan dengan dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard techonology) dan pendekatan sosial individu (soft technology) akan tetapi program ini kurang berhasil sehingga pemerintah terus melakukan perubahan

(8)

15 kebijakan dalam upaya meningkatkan produksi padi. Kemudian pemerintahan orde baru mengeluarkan berbagai paket teknologi seperti Bimbingam Massal (BIMAS) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979, dan Supra insus pada tahun 1987. Indonesia dapat mencapai swasembada beras pada tahun 1984 melalui teknologi pasca usahatani. Kebijakan produksi UU No.7 Tahun. 1996 tentang pangan untuk mendorong peningkatan produksi beras nasional. Kebijakan tersebut memiliki dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman. Ekstensifikasi kebijakan produksi pangan melalui Inpres No.9 Tahun 2002 tentang dukungan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Kebijakan produksi yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) yang dimulai sejak awal tahun 2007.

2.3.2. Kebijakan Harga

Kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan tujuan untuk melindungi petani dan konsumen beras melalui mekanisme stabilisasi harga. Guna melindungi petani, sejak tahun 1970 pemerintah mengeluarkan harga dasar (floor price) gabah dan beras. Tujuannya untuk memberikan jaminan kepada petani bahwa hasil produksinya akan dibeli sesuai harga yang ditetapkan pemerintah agar dapat merangsang peningkatkan produksi. Guna melindungi konsumen, pemerintah menerapkan harga konsumen (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan pedagang kepada konsumen. Ceilling price digunakan untuk menjamin harga pasar masih dalam jangkauan daya beli konsumen sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses beras.

(9)

16 Melalui Inpres No.9 Tahun 2002, pemerintah merubah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDGP) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP hanya menjamin harga gabah pada tingkat tertentu di lokasi yang telah ditetapkan, tetapi tidak menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. HPP juga berlaku di gudang BULOG, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG.

Bentuk kebijakan harga yang lain pada beras yang masih berlaku hingga saat ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat adanya excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10 sampai 15 persen di bawah harga pasar. OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan. Sejak tahun 2002, OPK diubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen.

2.3.3. Kebijakan Distribusi

Tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sejak tahun 1967 pemerintah menunujuk BULOG untuk mengatur penyediaan beras dalam negeri dan menstabilkan harga. Proses distribusi beras di Indonesia dilakukan dengan dua cara yaitu melalui BULOG dan mekanisme pasar. BULOG hanya menguasai sekitar 10 persen dari pangsa pasar nasional, sedangkan sisanya 90 persen melalui mekanisme pasar. BULOG mendistribusikan berasnya pada

(10)

17 gudang-gudang (divre dan subdivre) di seluruh provinsi Indonesia, untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan.

2.3.4. Kebijakan Impor

Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor beras Indonesia. Kebijakan impor diimplementasikan melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan kuota tarif. Tahun 2000, pemerintah mengeluarkan kebijakan protektif dengan menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430 per kg (setara dengan ad valorem 30 persen). Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp 450 per kg yang berlaku pada awal tahun 2005.

Tahun 2004 pemerintah mengeluarkan ketentuan impor beras dalam SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004. SK ini menyangkut beberapa ketentuan penting adalah (1) bahwa impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP) dan importir yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras) (2) pelarangan impor selama 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya, dan dua bulan setelah panen raya (sekitar bulan Januari-Juni) (3) pelaksanaan importisasi beras oleh IT beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan yang tujuan sesuai dengan persetujuan impor yang diberikan oleh direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan (4) beras yang diimpor oleh IP beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku untuk proses industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan.

(11)

18 2.4. Perdagangan Internasional

Indonesia termasuk negara berkembang yang berani dalam mengarahkan kebijakan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang telah disepakati dalam perundingan General Agreement on Tariffs and trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO). Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan pengaruh terhadap sistem dan pranata hukum nasional di sektor perdagangan.

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing WTO. Indonesia wajib mematuhi semua perjanjian yang ada di dalamnya termasuk perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AOA). Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan liberalisasi perdagangan dunia termasuk produk pertanian. Perjanjian ini terdapat tiga pilar utama yaitu: (1) akses pasar (Market Access) (2) subsidi domestik (Domestic Support) (3) subsidi export (export Subsidies). Keikutsertaannya membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional baik pada global (GATT-WTO) maupun regional (Asean Free Trade Area, Asia Pacific Economic Cooperation, dan China-Asean Free Trade Area) diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

(12)

19 2.5. ASEAN Free Trade Area (AFTA)

Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk nol sampai dengan lima persen) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN.

AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Awalnya ada enam negara yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan Laos dan Myanmar pada tahun 1997 kemudian Kamboja pada tahun 1999.

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan beroperasi penuh pada tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.

Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema “Common Effective Preferential Tariff”(CEPT) yang bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 persen kandungan lokal akan dikenai tarif hanya nol sampai dengan lima persen. Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga kategori :

1. Pengecualian sementara 2. Produk pertanian yang sensitif

(13)

20 3. Pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN, 2004)

Pada kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada akhirnya diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni nol sampai dengan lima persen. Adapun untuk produk pertanian sensitif akan diundur sampai 2010. Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif di antara negara ASEAN diharapkan mencapai titik nol persen.

AFTA dicanangkan dengan instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada Januari 1993. ASEAN pada 2002, mengemukakan bahwa komitmen utama di bawah CEPT-AFTA hingga saat ini meliputi empat program, yaitu :

1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara negara ASEAN hingga mencapai nol sampai dengan lima persen.

2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions) dan hambatan-hambatan non-tarif (non-tariff barriers).

3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan terutama di bidang bea masuk serta standar dan kualitas.

4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40 persen. 2.5.1. Common Effective Preferential Tarif (CEPT)

Common Effective Preferential Tarif (CEPT) dalam kerangka kesepakatan AFTA adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya operasional mampu ditekan sehingga akan menguntungkan. Ada empat klasifikasi produk yang termasuk dalam kesepakatan CEPT-AFTA, yakni :

(14)

21 1. Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria

sebagai berikut : a. Jadwal penurunan tarif

b. Tidak ada pembatasan kuantitatif

c. Hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu lima tahun.

2. General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

3. Temporary Exclusions List (TEL). yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan ke dalam IL paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions. 4. Sensitive List, yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan

(Unprocessed Agricultural Products = UAP).

a. Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1 sampai 24 dari Harmonized System Code (HS) dan bahan baku pertanian yang sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS.

(15)

22 b. Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk

asalnya.

Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk masing-masing negara sebagai berikut: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun 2015; Kamboja tahun 2017. Negara anggota juga menyetujui untuk membagi produk kategori sensitif menjadi (1) sensitif, dan (2) sangat sensitif. Indonesia memasukkan beras dan gula pasir sebagai produk yang sangat sensitif (highly sensitive). CEPT-AFTA untuk komoditas beras secara ringkas diuraikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Common Effective Preferential Tarif for Asean Free Trade Area (CEPT- AFTA) untuk Komoditas Beras

CC AHTN 2007 DESCRIPTION OF GOODS Status MFN Tariff Indicative CEPT Rates 2008 2009 2010 10.06 Rice.

ID 1006.10.00.00 Rice in the husk

(paddy or rough) HSL

Rp

450/kg 30 30 30 1006.20 Husked (brown)

rice :

ID 1006.20.10.00 Thai Hom Mali

rice HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.20.90.00 Other HSL Rp 450/kg 30 30 30 1006.30 Fragrant rice

ID 1006.30.15.00 Thai Hom Mali

rice HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.30.19.00 Other HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.30.20.00 Parboiled rice HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.30.30.00 Glutinous rice (pulot) HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.30.90.00 Other HSL Rp 450/kg 30 30 30 ID 1006.40.00.00 Broken Rice HSL Rp 450/kg 30 30 30

(16)

23 2.6. Penelitian Terdahulu

Menurut Widya (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, yaitu (1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan bertas sebelumnya; (2) penawaran beras dipengaruhi oleh produksi beras, jumlah impor beras, stok beras, dan stok beras tahun sebelumnya; (3) harga riil gabah tingkat petani secara nyata dipengaruhi oleh harga riil pemebelian pemerintah, produksi padi, dan harga riil gabah tingkat petani tahun sebelumnya, dan (4) harga riil beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh harga riil pembelian pemerintah. Beberapa alternatif kebijakan pemerintah dalam penelitian, pemerintah sebaiknya tetap menerapkan kebijakan subsidi pupuk, meningkatkan harga pembelian terhadap harga gabah dan beras, mendorong peningkatkan produksi beras melalui program intensifikasi.

Andriana (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa jumlah penawaran impor beras dunia terhadap Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produksi beras dunia. Peningkatan tersebut dikarenakan dukungan pemerintah negara eksportir pada petani melalui pemberian insentif untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Selain itu harga beras impor relatif lebih murah dibanding dengan harga beras domestik. Jumlah impor beras Indonesia cenderung menurun karena adanya peningkatan produksi dalam negeri dan menurunnya konsumsi beras per kapita.

Beberapa kebijakan pemerintah sudah dilakukan untuk melindungi petani maupun konsumen beras. Namun, kebijakan pemerintah untuk melindungi petani maupun konsumen belum berjalan dengan efektif, karena Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Operasi Pasar dan Raskin belum efektif dalam menstabilkan harga.

(17)

24 Situmorang (2005) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia menunjukan jumlah penggunaan urea dan lag produktivitas berpengaruh nyata terhadap produktivitas. Jumlah impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar rupiah terhadap dollar dan lag impor beras Indonesia. Variabel harga beras yang berpengaruh nyata terhadap jumlah impor beras Indonesia. Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor. Semua variabel berpengaruh nyata terhadap harga beras impor Indonesia kecuali variabel tarif impor.

Sitepu (2002) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia menunjukan bahwa respon produksi terhadap harga inelastis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini menunjukan bahwa harga bukanlah faktor utama dalam peningkatan produksi, karena luas areal panen dan produktivitas padi sudah mendekati batas maksimum. Permintaan beras untuk konsumsi dipengaruhi nyata oleh perubahan harga beras eceran dan harga jagung, namun respon inelastis artinya perubahan harga beras dan harga jagung hanya berdampak kecil pada permintaan beras. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan beras adalah besarnya jumlah penduduk Indonesia, responnya inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang.

2.4. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki kesamaan dan juga kebaruan dibandingkan penelitian Widya (2011), Adriana (2007), Situmorang (2005), dan Sitepu (2002). Persamaan penelitian ini dengan penelitian Widya (2011) yaitu dalam penggunaan

(18)

25 metode analisis datanya dengan menggunakan persamaan simultan, lokasi penelitian di Indonesia, dan sama-sama mengunakan software analisis data aplikasi SAS, sedangkan perbedaannya terletak pada jumlah persamaan simultannya dimana dalam penelitian ini persamaan dan variabel yang digunakan lebih banyak. Selain itu perbedaan terletak pada tahun penelitian, jumlah persamaan model, dan simulasi. Tahun penelitian ini periode 1980 sampai 2009, sedangkan tahun penelitian Widya (2011) periode 1971 sampai 2008. Model yang digunakan dalam penelitian ini lebih banyak yaitu 11 persamaan, sedangkan Widya (2011) memiliki 10 persamaan. Simulasi model yang digunakan dalam penelitian ini tentang dampak AFTA, sedangkan penelitian Widya (2011) simulasi model tentang kebijakan pemerintah.

Penelitian ini juga memiliki kesamaan dengan penelitian Adriana (2007) yaitu sama-sama membahas permintaan dan penawaran beras Indonesia dan lokasi penelitian di Indonesia. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Adriana (2007) adalah dalam hal metode analisis. Penelitian Adriana (2007) hanya menggunakan metode analisis data secara kualitatif, sedangkan dalam penilitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Situmorang (2005) dalam komoditas beras dan lokasi penelitian di Indonesia, sedangkan perbedaannya ditunjukkan oleh tahun penelitian dan software yang digunakan untuk mengolah datanya. Tahun penelitian ini periode 1980-2009, sedangkan tahun penelitian Situmorang (2005) periode 1980-2003. Selain itu perbedaannya terletak pada penggunaan software, pada penelitian ini menggunakan software SAS 9.2 sedangkan penelitian Situmorang (2005) menggunakan SPSS.

(19)

26 Penelitian ini memiliki persamaan dengan Sitepu (2002) dalam penggunaan metode analisis datanya dengan menggunakan persamaan simultan, sama-sama membahas perdagangan beras dan lokasi penelitian di Indonesia. Perbedaannya penelitian ini dengan Sitepu (2002) adalah jumlah persamaan simultan yang digunakan Sitepu (2002) lebih banyak daripada penelitian ini. Selain itu perbedaannya terletak pada simulasinya.

Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini. Tabel 11 berikut menunjukkan persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Tabel 11. Persamaan dan Perbedaan Penelitian “Analisis Dampak Skema CEPT-AFTA’’ terhadap Kesejahteraan Produsen Padi di Indonesia Penelitian Sebelumnya Persamaan Perbedaan

Widya (2011) 1.Metode Analisis 1.Jumlah Persamaan Simultan 2.Software Analisis Data 2.Tahun Penelitian

3.Lokasi Penelitian 3.Simulasi Model Adriana (2007) 1.Komoditas Beras 1.Tahun Penelitian

2.Lokasi Penelitian 2.Metode Analisis Data Situmorang (2005) 1.Lokasi Penelitian 1.Tahun Penelitian

2.Komoditas Beras 2.Software Analisis Data Sitepu (2002) 1.Metode Analisis Data 1.Jumlah Persamaan Simultan

2.Perdagangan Beras 2.Tahun Penelitian

Gambar

Tabel 5. Konsumsi Beberapa Macam Bahan Makanan di Indonesia Tahun 2007- 2007-2010  (Kg/Kap/Tahun)  Jenis Makanan  2007  2008  2009  2010  Beras  90.73  93.70  91.51  90.36  Jagung  3.13  2.29  1.83  1.56  Ketela Pohon  6.99  7.67  5.53  5.06  Ketela Rambat
Tabel 6. Stok, Pengadaan, dan Penyaluran Beras di Indonesia Tahun 2005-2009  (Ton)
Tabel  8.  Perkembangan  Volume  dan  Nilai  Impor  Beras  di  Indonesia  Tahun  2006-2010
Tabel  9.  Perkembangan  Kebijakan  Peningkatan  Produksi  Padi  dan  Paket  Teknologi Tahun 1959-2007
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penawaran dan permintaan beras di Propinsi Lampung, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas dan

Variabel independen yaitu harga beras, pendapatan perkapita, dan jumlah penduduk secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen yaitu permintaan beras di

Faktor- faktor yang mempengaruhi permintaan rumah tangga terhadap beras siger KWT Tunas Baru adalah harga beras padi, harga ikan, dan jumlah anggota keluarga,

Jenis data yang dikumpulkan antara lain penawaran beras netto yang didekati dengan persedian beras akhir tahun, harga dasar gabah sebagai pendekatan harga beras

Kajian ini dilakukan untuk menganalisis stabilitas keseimbangan sistem penawaran dan permintaan beras di Indonesia dengan menggunakan model keseimbangan Cobweb dari penawaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan permintaan beras dan estimasi permintaan beras, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan beras,

Hal ini berarti kenaikan harga riil beras impor Indonesia sebesar satu persen akan meningkatkan harga riil gabah tingkat petani sebesar 0.27 persen untuk jangka

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang dampak kebijakan HDPP terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa