II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran Kacang Kedelai Di Provinsi Sumatera Utara
Kedelai (Glycine max (L.) Merril) (Gambar 3) telah dibudidayakan di Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1759. Pada masa lalu daerah sentra tanaman kedelai di
Indonesia terpusat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, NTT dan
Bali. Tanaman kedelai diduga berasal dari China. Sumber genetik tanaman
kedelai tumbuh di daerah pegunungan China bagian tengah dan barat, serta
daratan rendah sekitarnya. Pada masa kejayaan kedelai, tanaman ini dikenal
dengan nama “Cow From China” atau sapi dari negeri Cina karena biji kedelai
manfaatkan sebagai pengganti susu di negara tersebut (Rukmana, 1996).
Gambar 3. Gambar Kedelai, Biji, Buah, Pohon dan Olahan Kedelai
Papilionoideae, Genus Glycine, Spesies Max. Kedelai sangat baik ditanam pada daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia secara umum dan Provinsi Sumatera
Utara secara khusus. Kedelai mempunyai keunggulan dan daya dukung pada
wilayah yang beriklim tropis yang sangat cocok bagi pertumbuhan kedelai yang
membutuhkan udara yang cukup panas. Secara umum, tanaman kedelai
memerlukan kondisi dengan suhu udara yang tinggi dan curah hujan yang rendah.
Sementara, apabila suhu udara rendah dengan curah hujan yang berlebihan akan
menyebabkan penurunan kualitas kedelai yang dihasilkan.
Kedelai memiliki kemampuan untuk memperbaiki sifat/kondisi tanah di
tempat tumbuhnya dan memiliki kandungan unsur gizi yang relatif tinggi dan
lengkap (Tabel 1). Kedelai mengandung protein dan lemak yang berkualitas
tinggi, disamping itu kedelai mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah
yang tinggi. Menurut Purwandari (2010), kebutuhan protein bagi manusia adalah
sebesar 55 gram per hari. Kebutuhan protein ini dapat dipenuhi dengan
mengkonsumsi 157.14 gram kedelai.
Perbandingan kadar protein pada kedelai dan beberapa bahan makanan
sumber protein lainnya disajikan pada Tabel 2. Kedelai menempati urutan kedua
berdasarkan kandungan protein apabila dilihat dari persentase komposisi berat
keringnya. Kedelai mempunyai persentasi protein sebesar 35%. Hal ini
mengandung arti dari setiap 100 gram kedelai kering didapat 35 gram protein.
Bahan makanan yang tertinggi kadar proteinnya adalah susu skim kering sebesar
36% dari bahan keringnya dan bahan makanan yang mempunyai persentase
proten yang paling rendah adalah tepung singkong, dimana kadar proteinnya
Masyarakat Indonesia termasuk merupakan negara yang mengkonsumsi
kedelai dalam banyak bentuk olahan produk dengan citarasa tinggi, seperti tahu,
tempe, kecap, tauco, susu kedelai, serta berbagai produk turunannya (Gambar 4).
Tabel 1. Kandungan Giji Kedelai
Kandungan gizi Kedelai basah Kedelai kering Satuan
Kalori 286.00 331.00 Kalori
Protein 30.20 34.9 Gram
Lemak 15.60 18.10 Gram
Karbohidrat 30.10 34.80 Gram
Kasium 196.00 227.00 Miligram
Fosfor 506.00 585.00 Miligram
Zat besi 6.90 8.00 Miligram
Tabel 2. Perbandingan Kadar Protein pada Kedelai dan Beberapa Bahan Makanan Sumber Protein Lainnya
No Bahan Makanan Protein (%berat) No Bahan Makanan Protein (%berat)
1. Susu skim kering 36 6. Telur ayam 13
Indonesia secara umum dan Provinsi Sumatera Utara secara khususnya
merupakan daerah dengan konsumsi perkapita kedelai tertinggi kedua di dunia
setelah Jepang, disusul oleh Korea Selatan, Korea Utara dan Republik Rakyat
Tiongkok. Tingginya konsumsi kedelai di Provinsi Sumatera Utara disebabkan
riil yang relatif murah, kedelai banyak dimanfaatkan masyarakat Provinsi
Sumatera Utara sebagai pengganti daging sapi. Kedelai banyak dikonsumsi
masyarakat Provinsi Sumatera Utara, terutama masyarakat yang berpenghasilan
rendah, yang kurang mampu membeli daging sapi dan sumber protein daging
lainnya.
Sumber : Departemen Pertanian, 2005
Gambar 4. Pohon Industri Kedelai
2.2 Konsep Permintaan Penawaran dan Mekanisme Pasar
Setiap perdagangan dalam ekonomi pasti berhubungan dengan permintaan
(demand), penawaran (supply), harga riil dan jumlah suatu barang atau jasa yang
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada kondisi yang seimbang,
penawaran dan permintaan akan bertemu dan membentuk titik pertemuan pada
2.2.1 Konsep Permintaan
Menurut Sicat (1991), permintaan didefinisikan sebagai jumlah unit barang
dan jasa yang ingin dibeli oleh konsumen pada periode waktu dan
keadaan-keadaan tertentu. Besarnya permintaan pada suatu barang biasanya dihubungkan
dengan tingkat harga. Hubungan antara harga dan kuantitias suatu komoditas
dapat dijelaskan dengan dua cara yakni dengan cara skedjul permintaan dan kurva
matematik. Cara pertama dengan menggunakan skedul permintaan yaitu tabulasi
angka yang memperlihatkan jumlah yang diminta pada tingkat harga tertentu,
kedua dengan menggunakan kurva permintaan yaitu grafik/fungsi matematik yang
menggambarkan hubungan antara harga dan jumlah komoditi.
Sifat hubungan antara harga dan jumlah yang diminta dinamakan hukum
permintaan. Hukum permintaan menurut Mankiw (2003), menyatakan bahwa bila
harga barang naik/tinggi, maka jumlah barang yang dibeli akan menurun,
sedangkan bila harga rendah/turun maka jumlah barang yang dibeli akan
bertambah. Unit dasar dari teori permintaan adalah konsumen individu atau
rumah tangga. Masing-masing individu dihadapkan pada sebuah pilihan dimana
keinginan individu yang tidak terbatas sdibatasi oleh sumberdaya yang terbatas
sehingga masing-masing individu melakukan pilihan untuk memaksimumkan
kepuasan.
Gorman (2009), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memepengaruhi
permintaan yaitu harga barang itu sendiri, harga barang dan jasa lainnya,
pendapatan, preferensi dan persepsi akan harga di masa depan. Menurut Pratama
berpengaruh terhadap permintaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
pada tingkat harga yang tidak berubah adalah:
1. Adanya perubahan tingkat pendapatan konsumen dimana dengan
meningkatnya pendapatan akan menyebabkan permintaan terhadap suatu
barang bertambah. Sebaliknya dengan menurunnya pendapatan konsumen
maka permintaan untuk barang tersebut berkurang.
2. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan jumlah permintaan
terhadap suatu komoditi akan meningkat.
3. Harga komoditi lain. Dilihat dari keeratan hubungan antar komoditi, komoditi
dapat digolongkan menjadi dua yaitu komoditi subsitusi dan komoditi
komplemen. Suatu kenaikan harga komoditi subsitusi dari suatu komoditi
akan membuat permintaan terhadap komoditi tersebut meningkat, dan
sebaliknya. Suatu penurunan harga komoditi komplemen dari suatu komoditi
akan menyebabkan jumlah permintaan komoditi tersebut meningkat dan
sebaliknya.
4. Selera konsumen terhadap suatu barang dapat mengalami perubahan yang
disebabkan oleh berubahnya pendapatan, umur, lingkungan dan sebagainya.
Perubahan tersebut dapat berupa bertambahnya kegemaran konsumen akan
suatu barang, sehingga permintaan meningkat, dapat pula berupa menurunnya
Menurut Desai (2010) terdapat empat faktor penting yang mempengaruhi
permintaan untuk komoditas pertanian yaitu :
1. Harga komoditas
Permintaan untuk produk pertanian dipengaruhi oleh harga komoditas. Secara
umum senakin tinggi harga, semakin rendah jumlah yang diminta.
2. Pendapatan
Pendapatan untuk komoditas pertanian juga dipengaruhi oleh pendapatan
rumah tangga. Dalam banyak kasus semakin besar pendapatan akan semakin
besar jumlah yang diminta. Namun tidak selalu benar dalam
komoditas-komoditas pertanian. Hal ini disebabkan sebagian besar produk pertanian
merupakan kebutuhan hidup dan permintaan dibatasi oleh perut. Peningkatan
pendapatan dapat saja tidak meningkatkan permintaan komoditas. Disisi lain,
peningkatan pendapatan diatas tingkat tertentu akan memnuat penurunan pada
permintaan produk-produk pertanian.
3. Harga barang-barang terkait
Permintaan juga dipengaruhi oleh perubahan harga pada komoditas yang
terkait. Pada beberapa kasus permintaan untuk suatu komoditas akan
meningkat dikarenakan meningkatnya harga komoditas lain (pada kasus
substitusi yang dekat) pada kasus lain permintaan suatu komoditas dapat
menurun disebabkan harga komoditiy lain meningkat (pada kasus barang
4. Rasa, Kebiasaan dan Trend
Permintaan untuk barang barang pertanian juga dipengeruhi oleh rasa,
kebiasaan dan tren yang berkembang di masyarakat pada suatu waktu yang
bersifat sementara
Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan komoditas permintaan yaitu harga komoditas itu sendiri, jumlah
penduduk dan pendapatan perkapita.
2.2.2 Konsep Penawaran
Penawaran menunjukkan berapa banyak jumlah barang yang ditawarkan
untuk dijual pada setiap satuan tertentu pada berbagai tingkat harga dengan
mengganggap faktor lain tetap. Penawaran suatu barang oleh produsen kepada
konsumen menunjukkan adanya kecenderungan bahwa produsen akan
menawarkan lebih banyak barang bila harganya tinggi dan mengurangi jumlah
yang ditawarkan bila harganya rendah. Hal inilah yang dinamakan dengan hukum
penawaran. Jika penawaran terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu maka
faktor yang mempengaruhi kuantitas penawaran adalah harga.
Penawaran untuk produk pertanian menunjukkan bahwa perubahan dalam
harga produk secara khusus (tetapi tidak selalu), menjelaskan secara relatif sebuah
proporsi yang kecil dari variasi total output yang terjadi pada sebuah periode
waktu. Perubahan output dalam jangka pendek sering dipengaruhi oleh cuaca dan
hama sedangkan perubahan penawaran dalam jangka panjang diakibatkan oleh
berbagai faktor seperti peningkatan teknologi sehingga hasil pertanian meningkat.
Menurut Pratama dan Mandala (2002) penawaran merupakan jumlah barang
Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu barang antara lain: harga
barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, harga faktor produksi, biaya
produksi, tekonologi produksi, jumlah pedagang/penjual, tujuan perusahaan,
kebijakan pemerintah. Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran digambarkan dengan fungsi Harga Komoditas itu
sendiri, harga komoditi tersebut harga komoditi substitusi dan komplementer dan
harga faktor produksi. Tambunan (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran adalah luas areal panen, cuaca dan faktor-faktor lain.
Menurut Desai (2010) faktor yang mempengaruhi penawaran pada produk
pertanian yaitu :
1. Ongkos Produksi
Penawaran produk pertanian tergantung pada harga faktor produksi yang
tersangkut paud dengan komoditas pertanian. Sebagai contoh peningkatan
harga tanah akan memberikan efek yang besar dalam ongkos produksi padi.
Peningkatan harga faktor produksi akan menyebabkan penurunan produksi
dan penurunan harga dari faktor produksi akan meningkatkan penawaran
2. Harga komoditas yang memimpin pasar
Harga suatu komoditi yang lebih menguntungkan (memimpin pasar) akan
meningkatkan penawaran disebabkan oleh insentif yang disebabkan oleh
keuntungan.
3. Harga Komoditas Lain
Peningkatan harga dari komoditas lain akan membuat produksi komoditas
yang harganya relative tidak meningkat tidak menarik bagi petani. Hal ini
4. Teknologi
Teknologi pertanian juga mempengaruhi penawaran. Teknologi membantu
untuk menurunkan ongkos produksi dan meningkatkan penawaran
5. Faktor Lain
Faktor lain adalah curah hujan, peningkatan fasilitas irigasi, pupuk dan metode
produksi yang lebih baik
2.3 Fungsi Penawaran dan Permintaan 2.3.1 Fungsi Permintaan
Kedelai merupakan produk yang diproduki massal, artinya kedelai
diproduksi utuk dipasarkan bukan berdasarkan pesanan. Oleh karena itu, fungsi
permintaan kedelai dapat diturunkan dari kurva permintaan pasar yang terbentuk
dari beberapa kurva permintaan individu. Fungsi permintaan pasar (market demand) untuk kedelai adalah penjumlahan dari seluruh permintaan perorangan terhadap barang tersebut. Kurva permintaan pasar untuk dikembangkan dari
fungsi permintaan tersebut dengan memvariasikan harga (Pt), cateris paribus.
Kurva permintaan pasar merupakan penjumlahan secara horizonal semua kurva
permintaan individu. Kuantitas kedelai di pasar merupakan jumlah keseluruhan
individu untuk setiap tingkat harga seperti yang disajikan pada Gambar 6.
Dalam bentuk formulasi dirumuskan sebagai berikut:
dX1∑𝑛𝑘=0= X1(P1,………Pm,I1……….In)...(1)
dimana,
X = Komoditi Kedelai ;
P = Harga Komoditi X
Sehingga total dari permintaan adalah
X = X1 + X2
= 𝐷𝑋1�𝑃𝑥𝑃𝑦,𝐼1�+ 𝐷𝑋2(𝑃𝑥𝑃𝑦,𝐼2)
Qx= 𝑀𝐷𝑋 �𝑃𝑥𝑃𝑦,𝐼1,𝐼2�...(2)
Dimana,
𝑃𝑥 = Harga kedelai untuk orang pertama;
𝑃𝑦 = Harga kedelai untuk komoditas lain ;
𝐼1 = Pendapatan orang pertama;
𝐼2 = Pendapatan orang kedua
𝑀𝐷𝑋 = Permintaan total kedelai di pasar
Gambar 5. Pembentukan Fungsi Permintaan Suatu Komoditas
2.3.2 Fungsi Penawaran
Menurut Debertin (2012), teori ekonomi produksi pertanian memfokuskan
perhatiannya pada situasi pengambilan keputusan yang dilakukan produsen
komoditi pertanian yaitu menentukan berapa banyak produksi yang harus
P
Q1 Q Qtot
Permintaan Individu 1
Permintaan Individu 2
Permintaan Pasar
dihasilkan untuk memaksimumkan pendapatan usahatani. Produksi dalam suatu
perusahaan dirumuskan sebagai berikut :
Q = f(K,L,C)...(3)
Dimana,
Q = Produksi dari suatu komoditi
K = Modal
L = Tenaga Kerja
C = Biaya Tetap
Jika produsen kedelai diasumsikan rasional, maka fungsi keuntungan
produksi kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut:
Π= P1f(K.L)-vK-wL...(4)
Dimana,
P1 = Harga kedelai,
vK = Harga bahan baku yaitu biaya produksi,
wL = Upah pekerja.
Untuk dapat memaksimumkan keuntungan maka syarat pertama dan kedua
harus terpenuhi, yaitu:
𝜕𝑦
𝜕𝐾=𝑃𝑓𝑘− 𝑣...(5)
𝜕𝑦
𝜕𝐾=𝑃𝑓𝑙− 𝑤...(6)
Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui peubah eksogen dan endogen,
yaitu P, K, L sebagai peubah eksogen dan Q sebagai peubah endogen. Sehingga
fungsi penawaran kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut:
2.4 Sistem Persamaan Simultan
2.4.1 Konsep Sistem Persamaan Simultan
Pada kenyataan berbagai peubah/variabel ekonomi saling berhubungan satu
dan yang lain. Sebagai contoh, kenaikan suatu harga komoditas pada tingkat
tertentu akan menurunkan suatu permintaan. Namun pada waktu yang sama akan
meningkatkan penawaran pada tingkat tertentu. Selain pada permintaan dan
penawaran, persamaan simultan juga diaplikasikan pada pendatan dan konsumsi
dimana pendapatan mempengaruhi konsumsi apabila pendapatan meningkat
diharapkan konsumsi meningkat. Kenaikan konsumsi ini akan diikuti oleh
peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan yang selanjutnya
menyebabkan pendapatan sebagai balas jasa faktor-faktor produksi. Pada
gilirannya peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan bagi
komoditas dan faktor-faktor produksinya.
Hubungan yang terjadi bukan hanya pada satu arah tetapi dapat terjadi dua
arah dan bersama-sama. Hal ini menyebabkan analisis dengan persamaan tunggal
yang hanya menggambarkan pengaruh satu arah saja belum dapat
menggambarkan secara tepat hubungan antara peubah-peubah ekonomi. Sehingga
untuk mengatasi permasalahan tersebut yang terjadi pada beberapa persamaan
ekonomi dapat diselesaikan dengan menggunakan sistem persamaan simultan
(Supranto, 1984).
Model persamaan simultan pertama kali dikemukakan oleh Haavelmo.
Paper klasik Haavelmo menjelaskan dua hal utama. Pertama, suatu sistem
persamaan simultan merupakan suatu model yang cocok untuk banyak aplikasi
merumuskan suatu model stokastik yang cocok digunakan untuk menguji teori
ekonomi serta menduga hubungan ekonomi dengan menggunakan data statistik
(Chow, 1983).
Menurut Menurut Supranto (1984) Sistem Persamaan Simultan
didefenisikan sebagai suatu himpunan persamaan dimana variabel dependen
dalam satu atau lebih persamaan pada saat yang sama juga merupakan variabel
independen dalam beberapa persamaan yang lain. Persamaan simultan dapat
didefenisikan sebagai suatu model yang mempunyai hubungan sebab akibat antara
variabel dependen dan variabel independennya, sehingga suatu variabel dapat
dinyatakan sebagai variabel dependen maupun independen dalam persamaan yang
lain.
Selanjutnya Pindyck dan Rubinfeld (2012) berpendapat, simulasi model
sistem persamaan simultan dapat memberikan suatu gambaran yang lebih baik
tentang dunia nyata daripada gambaran yang diberikan oleh suatu model regresi
persamaan tunggal. Hal ini dimungkinkan karena peubah-peubah dapat
berinteraksi satu sama lain antar persamaan dalam model. Suatu model sistem
persamaan simultan dianggap dapat mengambarkan dan menjelaskan perilaku
dinamik dunia nyata dengan lebih lengkap daripada perilaku yang dapat
digambarkan oleh model persamaan tunggal.
Menurut Intriligator (1995) dan Koutsoyiannis (1977) penggunaan model
sistem persamaan simultan akan menimbulkan permasalahan yang disebabkan
oleh korelasi unsur galat dalam suatu system yang disebabkan peubah endogen
dalam model merupakan peubah eksogen di persamaan lain. Hal ini merupakan
(exogen) tak berkorelasi dengan unsur galat. Apabila asumsi tersebut dilanggar,
pendugaan dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square = OLS)
akan bias dan juga tak konsisten, serta akan tetap berbias secara asimptotik
walaupun contoh diperbesar (Gujarati, 2003).
Pada persamaan simultan permintaan dan penawaran, harga (P) dari
komoditas dan kuantitas (Q) yang terjual ditentukan oleh perpotongan kurva
pendapatan dan penawaran untuk komoditi itu. Apabila diasumsikan bahwa kurva
permintaan dan penawaran adalah linear dan dengan menambahkan unsur
gangguan stokastik µ1dan µ2, fungsi empiris permintaan dan penawaran dapat
ditulis sebagai berikut:
Fungsi permintaan :
Qdt= α0+ α1Pt + faktor permintaan lain+ µ1t α< 0...(8)
Fungsi penawaran :
Qst= α0+ β1Pt + faktor penawaran lain + µ2t β> 0...(9)
Pada tingkat harga yang sama :
Pt permintaan= Pt penawaran ...(10)
Dimana,
Qdt = kuantitas yang diminta ;
Qst = kuantitas yang ditawarkan;
t = waktu ;
α dan β = parameter.
Secara apriori α diharapkan berslope negatif dan β1 diharapkan berslope
karena variabel lain yang mempengaruhi Qdt (seperti pendapatan, jumlah dan
selera) yang akan menyebabkan pergeseran kurva permintaan. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan P dan Qd. Hal ini juga terjadi pada kurva
penawaran dimana perubahan dalam µ2t (karena pemogokan, cuaca, pembatasan
import atau ekspor dan sebagainya) akan menggeser penawaran dan
mempengaruhi P dan Qs.
Akibat keterkaitan antara Q dan P maka akan menyebabkan terdapat
korelasi µ1t dan Pt pada persamaan (8) maupun µ2t dan Pt pada persamaan (9).
Hal ini menyebabkan regresi Q atas P pada persamaan (9) akan melanggar asumsi
penting dari model regresi linear klasik, yaitu dalam model regresi linear tidak
adanya korelasi antara variabel yang menjelaskan (variabel independen) maupun
korelasi antara unsur gangguan (µ).
Menurut Disman (2010), pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi
persamaan struktural pada persamaan simultan yaitu model persaman tunggal
(limited information method) dan metode sistem menyeluruh (full information method). Dalam persaman tunggal (limited information method), estimasi terhadap setiap persamaan struktural dilakukan secara individu dengan
memperhitungkan setiap pembatasan yang ditempatkan, tanpa memperhatikan
pembatasan atas persamaan lainnya. Sebaliknya, dengan metode sistem
menyeluruh (full information method), persamaan struktural diestimasi secara bersamaan dengan memasukkan unsur pembatasan pada tiap persamaan. Dengan
metode sistem menyeluruh (full information method), semua persamaan dalam model digunakan secara bersama-sama dan akan memberikan hasil pendugaan
Penetapan dan pemilihan metode yang digunakan untuk menyelesaikan
sistem persamaan simultan ditentukan oleh proses identifikasi model. Terdapat
tiga kemungkinan hasil dari identifikasi model yaitu unidentified (tidak teridentifikasi), exactly identified (tepat teridentifikasi), dan overidentified
(teridentifikasi berlebihan). Pada keadaan unidentified menandakan sistem persamaan simultan tidak dapat diselesaikan. Pada keadaan exactly identified
maka metode ILS (Indirect Least Square) dapat digunakan. Metode ILS (Indirect Least Square) dilakukan dengan cara menerapkan metode OLS pada pada persamaan reduce form dengan asumsi yang harus dipenuhi adalah variabel residual dari persamaan reduced form-nya harus memenuhi semua asumsi stokastik dari teknik OLS. Jika asumsi ini tidak terpenuhi, maka akan
menyebabkan bias pada penaksiran koefisiennya. Persamaan Reduce Form, diperoleh dengan memasukkan salah satu persamaan pada persamaan lain dengan
cara substitusi dan penurunan aljabar. Menurut Johnston (1997) untuk
menyelesaikan persamaan exactly identified, selain penerapan ILS dengan menggunakan OLS juga dapat menggunakan metode TSLS (Two Stage Least
Square).
Menurut Gujarati (2003), Johnston (1997), Markidarkis (1998), Maddala
(1979), metode yang dapat digunakan untuk persamaan simultan yang
teridentifikasi berlebihan (overidentified ) adalah metode TSLS. Metode TSLS (Two Stage Least Squares) merupakan teknik informasi terbatas dan merupakan prosedur terpenting dan digunakan secara meluas. Metode TSLS yang dapat
digunakan untuk menanggulangi masalah korelasi antar peubah endogen sebagai
sekaligus untuk mengatasi masalah korelasi peubah-peubah antar persamaan
dalam model. Dalam prakteknya, metode TSLS digunakan lebih sering daripada
setiap metode penduga lain untuk menduga persamaan simultan karena dapat
digunakan dengan baik bilamana jumlah sampel kecil.
2.4.2 Langkah Pengerjaan Sistem Persamaan Simultan
Menurut Kotsoyannis (1977), langkah awal untuk menyelesaikan Sistem
Persamaan Simultan adalah melakukan identifikasi model. Persamaan yang
diidentifikasi adalah persamaan yang terdapat koefisien yang harus diestimasi
secara statistik. Identifikasi model tidak dilakukan pada persamaan persamaan
defenisi, identitas atau dalam pernyataan kondisi equilibrium. Hal ini dikarenakan
dalam hubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran. Identifikasi menentukan
apakah persamaan bersifat unidentified (tidak teridentifikasi), exactly identified
(tepat teridentifikasi), atau overidentified (teridentifikasi berlebihan).
Suatu sistem dikatakan underidentified ketika salah satu atau lebih persamaan persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika suatu persamaan atau model underidentified maka pendugaan dari seluruh parameter yang ada tidak memungkinkan dengan metode apapun. Apabila persamaan
teridentifikasi sebagai persamaan bukan underidentified maka persamaan tersebut diistilahkan dengan persamaan identified. Terdapat dua jenis Identfied dalam persamaan yaitu exactly identified atau overidentified.
Penentuan identifikasi ini sangat penting karena menentukan cara
penyelesaian dari persamaaan simultan. Apabila persamaan teridentifikasi exactly identified maka metode yang tepat adalah ILS sedangkan apabila teridentifikasi
2.5 Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kedelai
Dalam upaya meningkatkan kualitas perkedelaian di Indonesia, yaitu untuk
peningkatan produksi, perbaikan tataniaga, perbaikan harga produsen dan yang
pasti mengurangi jumlah impor pemerintah melakukan beberapa langkah
kebijakan. Berikut ini dijelaskan beberapa kebijakan pemerintah mengenai
komoditas kedelai.
2.5.1 Harga Dasar Kedelai
Kebijakan penetapan harga dasar kedelai dilakukan selama lima Pelita dan
dilakukan penyesuaian-penyesuaian, yaitu pada tahun 1969, 1973, 1974, 1978,
1979, 1983, 1984, 1988 dan 1990. Pada tahun 1988 harga dasar kedelai Rp 733/kg
menjadi Rp 889/kg pada tahun 1990. Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun
1979/80 sampai akhir tahun 1991 dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada
tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih
awal. Seperti terlihat pada Tabel 3 harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp
210 per kg dan berakhir pada tingkat Rp 500 per kg selama kurun waktu 12 tahun
tersebut. Kebijakan harga dasar telah dihentikan pemerintah sejak tahun 1991
sampai sekarang.
2.5.2 Bea Masuk Impor
Kebijaksanaan pengenaan bea masuk kedelai impor perlu diterapkan agar
dapat memberikan tingkat proteksi yang diperlukan untuk melindungi produsen
kedelai di dalam negeri. Dengan tingkat bea masuk tertentu akan dapat dibentuk
tingkat harga yang tidak akan menyaingi harga kedelai lokal. Strategi ini sejalan
menggantikan segala bentuk kebijaksanaan pengaturan tata niaga untuk
melindungi produsen dalam negeri. Pemerintah menunjuk Bulog untuk
melaksanakankebijaksanaan tersebut dengan dukungan penuh.
Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan
sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 – 1993 tarif impor kedelai diturunkan
menjadi 10 persen dan kemudian pada tahun 1994 – 1996 tarif diturunkan
menjadi lima persen dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan World
Trade Organization melalui UU No.7/1994. Konsekuensinya adalah Indonesia
dituntut untuk segera melakukan penyesuaian kebijaksanaan pertanian dan
kebijaksanaan perdagangannya.
Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2.5 persen dan
akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 – 2003. Terhitung
29 September 1998 melalui Kepmen Keuangan No. 444/KMK.01/1998, tarif bea
masuk kedelai impor dihilangkan. Kebijakan tersebutjustru memperburuk kondisi
petani kedelai dalam negeri. Berdasarkan teori perdagangan Salvatore, kebijakan
tersebut akan menyebabkan turunnya harga kedelai pada tingkat petani.
Sebaliknya, kebijakan tersebut menguntungkan industri pengolahan kedelai,
karena dapat menikmati murahnya harga kedelai impor dengan kualitas dan
pasokan yang lebihmenjamin kontinuitas produknya.
Berdasar Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.01/2003, pada
tahun 2003 tarif bea masuk impor kedelai menjadi 15 persen dandiperbaharui lagi
menjadi 10 persen pada tahun 2006 serta yang terakhir yaitu tahun 2008 tarif bea
masuk impor kedelai diubah menjadi nol persen kembali, yang untuk kali ini
dikeluarkannya Keppres. Hal tersebut dilakukan karena terjadi sangat tingginya
perubahan harga kedelai di dalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557 tersebut dilakukan untuk
mengantisipasi kekurangan stok kedelai di dalam negeri, peningkatan konsumsi
dansemakin tingginya harga dalam negeri.Tarif impor kedelai ditetapkan menjadi
5% pada tahun 2010. Tarif bea masuk atas kacang kedelai menjadi 0% dan
berlaku mulai tanggal 24 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011. Pada 1
Januari 2012, tarif bea masuk kedelai kembali menjadi 5%. Pada tanggal 3
Oktober 2013 tarif bea masuk impor dibebaskan menjadi 0 %.
2.5.3 Kebijakan Tata Niaga
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tataniaga kedelaiadalah Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
406/MPP/Kep/l 1/1997, yang berlaku mulai 1 Januari 1998. Kebijakan tersebut
menerangkan bahwa impor kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog
diubah menjadi boleh dilakukan oleh importir umum. Kebijakan tersebut
memberikan dampak memacu peningkatan impor kedelai dari Amerika Serikat,
China, Argentina dan Brazil dalam jumlah besar. Sehingga hal tersebut akan
memperngaruhi pasokan kedelai di dalam negeri dan kestabilan harga domestik.
Dampak yang lebih buruk adalah akan mempengaruhi motivasi petani produsen
secara negatif untuk menanam kedelai. Pada akhirnya dampak kebijakan tersebut
menurunkanproduksi kedelai nasional.
Berdasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), dijelaskan bahwasebelum era
perdagangan bebas, Bulog masih memonopoli kedelai impor. Bulog menyalurkan
(Kelompok Pedagang Kacang Kedelai) dan industri pengolah pangan. Kopti
belum dapat memenuhi kebutuhan industri tahudan tempe. Sebelum tahun 1997,
pemerintah masih memberlakukan impor terbatas (kuota), sehingga tidak semua
industri dapat menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan agar produksi
kedelai lokal dapat terlindungi, mengingat harga kedelai lokal lebih mahal
daripada kedelai impor. Dalamhal ini Bulog menjual kedelai impor dengan harga
lebih tertentu kepadaindustri tahu dan tempe sehingga selisih harga kedelai lokal
tidak terlalu besar dengan kedelai impor. Harga impor yang ditetapkan telah
dipertimbangkan dari segi daya beli industri sehingga petani kedelai dapat
berproduksi. KOPTI dan KPKD yang mendapat jatah kedelai dari pemerintah
dapat beroperasi dengan baik karena mampu bersaing harga dengan pedagang
besar.
2.5.4 Kebijakan Harga Pembelian Kedelai Petani
Harga pembelian petani merupakan turunan dari program stabilisasi harga
kedelai berdasarkan keputusan mentri perdagangan no 23/M-DAG/PER/5/2013.
Produk turunan keputusan mentri ini adalah Penetapan Harga Pembelian Kedelai
Petani Dalam Rangka Pengamanan Harga Kedelai Di Tingkat Petani. Peraturan
ini bertujuan untuk menginsentif petani untuk menanam kedelai dan mengurangi
kedelai impor. HBP Kedelai merupakan harga acuan pembelian kedelai di tingkat
petani yang ditetapkan setiap tiga bulan.
2.6 Penelitian Terdahulu Mengenai Permintaan dan Penawaran
Devi Setiabakti (2013) melakukan analisis dampak kebijakan kedelai
dengan metode 2SLS. Kesimpulan yang didapat adalah penawaran kedelai di
Indonesia dipengaruhi oleh harga kedelai, harga sarana produksi upah tenaga
kerja. Dari segi permintaan faktor yang mepengaruhi permintaan adalah
pendapatan perkapita dan jumlah penduduk
Dewi Sahara (2004) melakukan analisis permintaan kedelai di bayumas
Jawa Tengah dengan regresi dan mempelajari hubungan harga, populasi dan harga
jagung. Kesimpulan yang didapat adalah populasi dan harga jagung berpengaruh
nyata terhadap permintaan kedelai namun harga kedelai tidak berpengaruh nyata
terhadap permintaan kedelai.
Dwi Sartika Adetama (2011) melakukan penelitan analisis permintaan
kedelai di indonesia dengan metode simultan dengan estimasi 2sls dengan tujuan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kedelai dan
menganalisis dampak kebijakan bea masuk impor terhadap kedelai. Hasil
kesimpulannya adalah faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap
permintaan adalah harga kedelai dan jumlah penduduk.
Elvina Rohana dan Nella Naomi (2008) melakukan penelitan permintaan
kedelai di samarinda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan kedelai di Kota samarinda dengan metode regresi berganda
berdasarkan hasli penelitiannya didapat bahwa harga kedelai dan pendaptan tidak
berpengaruh nyata pada permintaan kedelai di Samarinda. Permintaan hanya
dipengaruhi oleh jumlah penduduk.
Fakhrina Fahma (2007) melakukan Perancangan Model Supply Demand
Kedelai Sebagai Dasar Pengembangan Industri Berbasis Kedelai Di Kabupaten
disimpulkan bahwa penawaran hanya dipengaruhi oleh luas panen, harga kedelai
tidak mempengaruhi penawaran kedelai. Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan adalah jumlah penduduk dan pendapatan perkapita sedangkan harga
tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan.
Gusti (1995) melakukan penelitian mengenai penawaran kacang kedelai
menurut wilayah produksi di Indonesia. Menggunakan persamaan parsial nerlove
dengan menggunakan metode kardrat terkecil (OLS). Hasil dari pendugaan
parameter respon luas areal dan produktivitas menghasilkan nilai elastisistas harga
di Jawa memiliki nilai yang elastis dibandingkan wilayah Sumatera, Sulawesi,
Balim dan Nusa Tenggara dalam jangka pendek. Dalam Jangka Panjang elastisitas
harga kecang kedelai yang diperoleh nilainya lebih elastis daipada dalam jangka
pendek. Hasil menunjukkan bahwa petani dalam selang waktu yang lama akan
menyesuaikan areal panen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
kompetitif dalam menentukan luas areal panen kedelai dengan komoditi pesaing
yaitu jagung di setiap wilayah produksi.
Hadipurnomo (2000) melakukan penelitian terhadap kebijakan produksi dan
perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kacang kedelai di Indonesia.
Penelitian ini menganalisis repon luas areal, produktivitas, impor, permintaan dan
harga kacang kedelai. Analisis dilakukan ditinjau dari wilayah-wilayah produksi
utama kacang kedelai yaitu D. I Aceh, Provinsi Sumatera Utara, Lampung,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakerta dan Jawa timur. Penelitian ini menggunakan
model persamaan simultan dan semua persamaan struktural yang terdapat dalam
Squares (2SLS). Kesimpulan yang didapat untuk respon luas areal dan
produktivitasnya adalah respon luas areal lebih besar daripada repon produktivitas
terhadap perubahan harga produsen, harga benih, harga pupuk, upah tenaga kerja
dan harga pestisida. Harga produsen dari kedelai dan upah tenaga kerja tidak
berpengaruh signifikan terhadap penawaran.
Priyosembodo (2001) di Irian Jaya berkesimpulan bahwa di Irian Jaya
peningkatan produksi kacang kedelai lebih banyak dipengaruhi oleh perluasan
areal (ekstensifikasi) dibanding peningkatan produktivitas (intensifikasi) baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini menggunakan model
penyesuaian Nerlove dengan melakukan pendekatan tidak langsung terhadap
respon penawarannya. Respon penawaran diperoleh secara tidak langsung melalui
pendugaan terhadap respon areal dan respon produktivitas.
Pratiwi (2008) menganalisis Respon petani terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhin jumlah produksi kedelai di jawa timur tahun bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi kedelai secara
parsial maupun simultan. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan
bahwa secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan dari Luas
Areal Panen, Harga Komoditi Kedelai, Harga Komoditi Jagung, Produktivitas
Kedelai, Curah Hujan terhadap Hasil Produksi Kedelai.
2.7 Kerangka Pemikiran
Sebagai komoditi yang bernilai ekonomis komoditas kedelai mempunyai
permintaan dan penawaran komoditas. Permintaan dan penawaran dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya masing-masing. Faktor faktor yang
kedelai, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita Provinsi Sumatera Utara.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran kedelai Provinsi
Sumatera Utara adalah harga riil kedelai, harga riil jagung, dan luas panen kedelai
Provinsi Sumatera Utara. Harga riil kedelai Provinsi Sumatera Utara merupakan
variabel yang mempengaruhi permintaan sekaligus penawaran kedelai Provinsi
Sumatera Utara. Kerangka permikiran permintaan dan penawaran kedelai Provinsi
Sumatera Utara disajikan pada Gambar 7.
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Permintaan dan Penawaran Kedelai Provinsi Sumatera Utara
2.8 Hipotesis
Harga riill kacang kedelai, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk
Provinsi Sumatera Utara berpengaruh terhadap permintaan kedelai Provinsi
Sumatera Utara. Pendapatan perkapita dan jumlah penduduk Provinsi Sumatera
Utara berpengaruh positif terhadap permintaan kedelai Provinsi Sumatera Utara,
namun harga kedelai Provinsi Sumatera Utara berpengaruh yang negatif terhadap
Harga kacang kedelai, harga komoditas pesaing yakni harga jagung, luas
areal panen kedelai Provinsi Sumatera Utara berpengaruh terhadap penawaran
kedelai Provinsi Sumatera Utara. Harga komoditas yang diteliti (kacang kedelai),
luas areal panen kedelai Provinsi Sumatera Utara berpengaruh positif terhadap
penawaran Provinsi Sumatera Utara sedangkan harga jagung berpengaruh negatif