• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III IBNU RUSYD DAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN. Muwahhidun di Marakusy tahun 1147 M. Ia lahir pada masa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III IBNU RUSYD DAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN. Muwahhidun di Marakusy tahun 1147 M. Ia lahir pada masa"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

46 A. Riwayat Kehidupan Ibnu Rusyd

1. Kondisi Sosial Politik

Ibnu Rusyd hidup dalam dua masa politik yang berbeda, yaitu masa dinasti Murabithun yang kemudian digulingkan oleh golongan Muwahhidun di Marakusy tahun 1147 M. Ia lahir pada masa kekhalifahan Ali ibnu Yusuf (1106-1143 M) dari dinasti Murabithun (orang-orang yang tinggal di benteng), salah satu dinasti Islam di Maroko yang menguasai wilayah Spanyol. Dinasti ini didirikan oleh seorang guru sufi bernama Abdullah ibnu Yasin, pada tahun 1039 M.1

Pada awalnya, masa Ibnu Yasin (1056 M), Murabithun merupakan gerakan murni keagamaan. Mereka kemudian menjadi gerakan politik setelah dipimpin Yusuf ibnu Tashfin di wilayah Maroko sekarang, sebagai markas utamanya (1062 M), membangun masjid, rumah sakit dan gedung-gedung pemerintahan. Tahun 1074 M, Ibnu Tashfin mengangkat dirinya sebagai Amir al-Muslimin (penguasa orang-orang Islam) dan bukan khalifah. Gelar tersebut dipakai agar lebih aman tanpa harus khawatir resiko menghadapi ancaman khalifah Bani Abbas di Baghdad.2 Setelah itu, mulailah Ibnu Rusyd melakukan perluasan wila-yah dan golongan Murabithun mulai berubah dari gerakan keagamaan

1 Thomson dan Ataurrahman, Islam in Andalusia (London: Ta-Ha Publisher, 1996), hlm.

85-86.

(2)

menjadi gerakan politik yang tentu saja bermuara pada kekuasaan. Tahun 1086 M, lewat panglimanya yang terkenal, al-Muktamid, Ibnu Tashfin mengalahkan Raja Alfonso VI (raja Leon Castilla), menaklukkan Granada, Malaga, Badajoz dan Seville. Beberapa waktu kemudian, tahun 1102 M, Valencia dan Saragosa ditaklukkan, selanjutnya Lisabon dan Santarem diduduki tahun 1110 M.3 Ali ibnu Yusuf (1106-1143 M) penguasa pengganti Ibnu Tashfin, tidak kalah perkasa dibanding pendahulunya, bahkan melebihinya. Pada masa-masa pemerintahannya inilah seluruh Andalusia benar-benar di bawah kekuasaan Murabithun, dikendalikan dari Marakusy. Ibnu Rusyd lahir pada masa kekuasaan Ali ini.4

Kemudian Muwahhidun, kelompok keagamaan yang berkuasa menggantikan Murabithun, termasuk golongan yang lahir akibat dari kondisi keagamaan yang terjadi di Andalusia. Secara intelektual, ia lahir karena tidak puas dengan keberadaan madzab Maliki yang kaku, konservatif dan legalistik yang diberlakukan penguasa Murabithun, di samping demi memerangi paham tajsim yang menganggap bahwa Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme). Karena itu, mereka memakai nama Muwahhidun (orang-orang yang mengesakan Tuhan Swt.). Ibnu Tumart (1084-1130 M), pendiri golongan Muwahhidun adalah seorang

3Anwar Chejne, Muslim Spain (London: Macmillan, 1970), hlm. 71-74. 4Ibid., hlm. 75.

(3)

guru sufi asal Maroko yang mencoba memadukan ide-ide ajaran Muktazilah dan Syiah sebagai alternatifnya.5

Pada awalnya, gerakan dakwah Ibnu Tumart adalah murni keagamaan tanpa ada kepentingan politis. Namun, setelah mendapat banyak dukungan sementara dinasti Murabithun sendiri semakin lemah, ia ternyata ingin menjadi penguasa. Untuk tujuan tersebut dan demi menjamin loyalitas pengikutnya, tahun 1121 M, ia memproklamirkan diri sebagai al-Mahdial-Maksum yang mempunyai ikatan darah (keturunan) dengan Rasul Saw.6 Mulailah ia mengajak kabilah-kabilah lain untuk bergabung dan memerangi mereka yang menolak. Pada tahun 1130 M, Ibnu Tumart bersama 40.000 pasukannya mencoba menyerang ibukota dinasti Murabithun, Marakesy. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai perang Buhairah tersebut kelompok Muwahhidun menderita kekalahan besar sedangkan Ibnu Tumart sendiri tewas.7

Abd al-Mukmin (1095-1163 M), pengganti Ibnu Tumart, meng-organisasi kembali para pengikut Muwahhidun dan tahun 1146 M ia telah berhasil menguasai Fez, kota terbesar kedua setelah Marakesy, kemudian Aghmat, Ceuta, Tangier, dan terakhir Marakusy, ibukota Murabithun, tahun 1147 M. Pada tahun 1152 M, ia menduduki Aljazair, Tunisia tahun 1158 M, dan Libya tahun 1160 M.8 Kemudian Abd al-Mukmin digantikan oleh Abu Yakub Yusuf ibnu Abd al-Mukmin (1163-1184 M),

5Ibid., hlm. 79-81. 6Ibid., hlm. 80.

7Thomson dan Ataurrahman, op. cit., hlm. 101. 8Anwar Chejne, op. cit., hlm. 82.

(4)

berhasil menguasai Toledo dan menduduki wilayah Syatarin tahun 1184 M, serta menghancurkan tentara Kristen di Lisabon, ibukota Portugal sekarang.9 Usaha tersebut diteruskan putranya, Abu Yusuf Yakub al-Manshur (1184-1198 M) berhasil memaksa Raja Alfonso VII bertekuk lutut dan menerima konsesi-konsesi terhadap dinasti Muwahhidun. Pada tahun 1194 M, al-Manshur berhasil menghancurkan benteng Ark.10 Ibnu Rusyd juga hidup pada masa kekuasaan Abd al-Mukmin, Abu Yakub Yusuf dan Abu Yusuf al-Manshur ini.

2. Dinamika Intelektual

Menurut Said al-Andalusia (1070 M), pemikiran filsafat telah muncul di Andalusia sejak pertengahan abad ke-9 M, tepatnya pada masa kekuasaan Ibnu Abd al-Rahman (832-886 M) dari keturunan dinasti Bani Umayyah.11 Khalifah ini mempunyai minat yang besar terhadap persoalan-persoalan filsafat dan kedokteran, di samping hukum (fiqih), hadis dan sastra. Namun, menurut Madjid Fakhry pemikiran rasional (filsafat) yang sesungguhnya di Andalusia baru muncul pada paruh kedua abad ke-10 M, tepatnya pada masa kekuasaan al-Hakam II (961-976 M). Sebab, baru pada masa itulah dilakukan pembelian karya-karya ilmiah dan filsafat dalam jumlah besar dari berbagai wilayah Timur, yakni Baghdad dan Mesir, sehingga pada saat itu Kordoba dengan

9Ibid., hlm. 84-85. 10Ibid., hlm. 86-87.

(5)

perpustakaan dan universitas-universitasnya yang besar mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan.12

Namun, kondisi tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Pengganti Hakam, Khalifah Hisyam II (976-1009 M) yang naik tahta sebelum umur 10 tahun sehingga kekuasaannya lebih dipegang oleh menterinya, Manshur ibnu Abi Amir memberikan kebijakan yang berbeda. Ia menerima ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis dan fiqih tetapi menolak filsafat dan astronomi karena menganggap bahwa kedua ilmu yang disebutkan terakhir tidak prestisius dan tidak dihiraukan oleh para penguasa sebelumnya. Lebih dari itu, ia bahkan melarang dan membakar buku-buku tersebut serta menyatakannya bertentangan dengan syariat agama. Siapa yang tertangkap basah belajar filsafat bisa langsung dihukum rajam sampai mati tanpa proses pengadilan, karena dianggap telah menjadi atheis (mulhid).13

Dengan kondisi seperti itu, maka kajian dan pemikiran filsafat menjadi sangat terhambat. Filsafat dan sains baru muncul kembali di Andalusia setelah satu abad berikutnya, yaitu pada abad ke-12 M, ketika sejumlah sarjana berupaya mendalami bidang tersebut. Tokoh terkenal pertama adalah Ibnu Bajjah atau Avempece (1138 M) dengan karyanya Tadbir al-Mutawahhid (Pemerintahan Soliter), di samping sebuah prase tentang fisika Aristoteles, pokok-pokok pikiran al-Farabi tentang logika

12Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy in Islam (London: Longman, 1987), hlm.

258.

13Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi Ra’y Ibn Rusyd (Mesir: Dar al-Ma‟arif, t.t.),

(6)

dan risalah tentang pertalian epistemologi.14 Tokoh berikutnya adalah Ibnu Thufail (1185 M) yang dikenal lewat karyanya Hayy ibn Yaqzhan. Ia mempunyai hubungan yang dekat dengan khalifah Abu Yakub Yusuf (1163-1184 M) maupun Abu Yusuf Yakub al-Manshur (1184-1198 M), dua penguasa dari dinasti Muwahhidun yang bersimpati pada kajian filsafat dan Ibnu Thufail berjasa telah mengenalkan Ibnu Rusyd pada khalifah tersebut.15

Kondisi filsafat tersebut berbeda sama sekali dengan ilmu-ilmu non filsafat atau ilmu-ilmu keagamaan. Berkat dukungan penuh dari penguasa, pada awal abad ke-11 M, ilmu-ilmu keagamaan telah berkembang pesat dan melahirkan tokoh-tokoh besar dibidangnya masing-masing.16

Pada tahun 1090 M, khalifah Yusuf ibnu Tashfin (1061-1106 M) dari dinasti Murabithun menetapkan fiqih madzab Maliki secara eksklusif sebagai hukum resmi negara demi mengokohkan kekuasaannya.17 Meski kebijakan ini menurut al-Jabiri lebih didasarkan atas pertimbangan politis,18 namun hal itu telah mendorong perkembangan fiqih Maliki menjadi semakin pesat dan secara tidak langsung posisi fuqaha juga ikut terangkat dan berkuasa. Namun, posisi itu kemudian mendorong mereka bersikap kaku dan otoriter apalagi sang

14Majid Fakhry, op. cit., hlm. 100. 15

Ibid., hlm. 103-105.

16Imaduddin, op. cit., hlm. 159-160.

17Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 1. 18Al Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, terjemahan Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003),

(7)

khalifah sendiri tidak pernah mencampuri substansi produk hukumnya. Marakusyi, sejarawan abad ke-12 M seperti dikutip Haourani menceritakan bahwa fuqaha madzab Maliki saat itu senantiasa memaksakan pemikiran madzabnya sendiri kepada semua lapisan masyarakat. Menyalahi hukum mereka akan segera dituduh bid’ah dan kufur sehingga harus dihukum mati. Buku-buku karya al-Ghazali (1111 M) dibakar karena dianggap penuh dengan ajaran bid’ah dan tidak sesuai dengan doktrin madzab Maliki.19

Karena itu, dinasti Muwahhidun yang berkuasa setelah dinasti Murabithun berusaha merubah kondisi sosial keagamaan tersebut. Pada tahun 1150 M, masa Abd al-Mukmin (1147-1163 M), madzab Maliki diganti dengan madzab Zhahiri dan pemikiran Asyariah ditetapkan sebagai teologi negara.20 Di samping itu, khalifah juga mendukung perkembangan sains atau ilmu-ilmu non agama. Abu Yakub Yusuf (1163-1184 M), pengganti Abd al-Mukmin, membuka kran kebebasan tersebut secara lebih lebar dengan cara mengambil dan memberi peluang pada perkembangan filsafat. Abu Yakub membuktikan interesnya pada filsafat dengan Ibnu Thufail menugaskan Ibnu Rusyd untuk memberi ulasan-ulasan atas pemikiran filsafat Aristoteles.21

Namun, perubahan tersebut tidak mengurangi pengaruh kaum fuqaha yang sudah dominan di Andalusia. Mereka tetap mempunyai

19George Hourani, Averroes on the Harmony of Religoun and Philosophy (London: Luzac,

1961), hlm. 7.

20Ibid., hlm. 10. 21Ibid., hlm. 11.

(8)

otoritas dalam bidang hukum dan soal-soal agama sehingga pada masa khalifah berikutnya, Abu Yusuf Yakub al-Mansur (1184-1198 M), mereka mampu mendesak sang khalifah untuk memberi hukuman tegas pada Ibnu Rusyd sehingga sang filosof akhirnya diasingkan dan buku-buku filsafatnya dibakar.22

Dengan demikian, dari segi intelektual, ada perang pemikiran yang hebat pada masa Ibnu Rusyd, khususnya antara kaum fuqaha dengan filosof. Mereka berusaha untuk saling mengungguli dengan menggunakan jalur politik, kekuatan masa atau yang lain. Karena itu, gagasan Ibnu Rusyd untuk memadukan agama dan filsafat, misal dalam karyanya Fashl al Maqal, belum tentu murni untuk tujuan tersebut tetapi besar kemungkinan karena faktor lain, yakni untuk menyelamatkan diri dan menyembunyikan pikiran-pikiran filosofisnya. Sebagai catatan Fashl al Maqal ditulis tahun 1179 M, saat Ibnu Rusyd bertugas sebagai hakim agung di Kordoba. Karena itu, kajian-kajian filsafat di Andalusia, misalnya Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd tidak dilakukan secara terbuka dan demonstratif tetapi hanya secara personal. Hal ini didasarkan atas tiga kenyataan:

a. Ibnu Rusyd berusaha menyembunyikan kegiatan filosofisnya, sehingga tidak dikenal sampai ia dibawa Ibnu Thufail kepada khalifah. Padahal, saat itu ia telah menguasai filsafat Aristoteles

(9)

sehingga kemudian diberi tugas untuk memberi ulasan atas pikiran-pikiran filsafat Aristoteles oleh sang khalifah.23

b. Ibnu Thufail pernah mengeluhkan bahwa kebanyakan masyarakat menyukai matematika tetapi tidak ada yang ingin mendalami filsafat. c. Khalifah al-Manshur tidak tahu harus berdiskusi dengan siapa ketika mengalami kesulitan mempelajari filsafat, sampai bertemu Ibnu Rusyd.24

3. Riwayat Hidup

Ibnu Rusyd atau Averroes dalam bahasa Latin, nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd. Lahir di Kordoba, Andalusia (saat ini Spanyol), pada tahun 520 H (1126 M), sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali. Ia tercatat sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang seluruhnya menjadi fuqaha dan hakim. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukkan tingkat intelektualitasnya dikemudian hari.25

Menurut Muhammad „Amarah dalam Fashl al-Maqal fi Ma bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ahmad Ibnu

23

Oliver Leaman, op. cit., hlm. 10.

24Fuad Ahwani, Ibn Rushd, terjemahan M. M. Syarif (New Delhi: Low Prince Publications,

1995), hlm. 541.

25Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah (Jogjakarta: IRCISOD,

(10)

Rusyd.26 Kemudian M. M. Syarif memberikan nama untuk Ibnu Rusyd dengan menyebutkan sebagai Ibnu Rusyd (Averroes), Aven Rois, Abenruth, Liveroes, Benroyst, Membucius, dan lain-lain.27

Ernest Renan, pujangga Perancis yang terkenal menyebutkan dengan lengkap segala macam sebutan dan tulisan itu di dalam bukunya, Averroes, baik mengenai panggilannya yang populer, atas nama aslinya maupun tentang gelarnya:

a. Panggilannya yang biasa Averroes diperoleh sebutan dan tulisannya: Ibnu Rosdin, Filius Rosadis, Ibnu Rusid, Ben Raxid, Ibnu Ruschod, Ben Resched, Aben Rassd, Aben Rust, Anvenrosd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Avenroyth, Averrpysth, Averroysta, dan lain-lain.

b. Nama aslinya Muhammad disebut dan ditulis: Membucius, Manhuntius, Mautius atau Mamutius.

c. Gelarnya Abul Walied, disebut dan ditulis: Abulguail, Aboolit, Alulidus, Ablut, Aboloys, dan sebagainya.

Sebutan nama-nama tersebut membuktikan, bahwa betapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan di Eropa dan betapa terkenal ilmunya. Banyak para sarjana dan ulama yang berkeinginan mempelajari hasil karyanya.

26Abu Walid Ibnu Rusyd, Fashl Maqal fi Ma bain Hikmah wa Syariah min

al-Ittishal, terjemahan Muhammad „Amarah (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1972), hlm. 5.

27M. M. Syarif, Alam Pikiran Islam, terjemahan Fuad Moh. Fahrudin (Bandung: CV

(11)

Panggilan nama Ibnu Rusyd berasal dari nama kakeknya yang pertama kali datang dari Arabia ke Jazirah Andalusia. Keluarganya mempunyai kedudukan yang tinggi dimata masyarakat Andalusia, bahkan umumnya terdiri dari orang-orang besar yang terkenal dalam dunia pengetahuan. Keluarga Ibnu Rusyd adalah keluarga besar yang mempunyai nama terkenal di lapangan ilmu fiqih, jabatan kehakiman dan ilmu politik. Dapat dikemukakan di sini tiga nama keluarga yang berperan dalam sejarah kehidupan di Andalusia:

a. Kakeknya yang bernama Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd. Lahir pada pertengahan abad V H di Kordoba, seorang ahli fiqih dan ilmu hukum yang terkenal, sehingga namanya termasyhur sebagai sarjana hukum tunggal di zamannya. Ia diangkat menjadi imam besar di masjid Jami‟ Kordoba. Dikalangan pemerintah ia diangkat menjadi hakim agung yang dijabatnya sampai ia meninggal dunia pada 520 H. Buku karangannya yang terkenal berjudul al-Muqaddimah.

b. Ayahnya, Ahmad dikenal dengan sebutan Ibnu Rusyd juga. Karena keahliannya dalam ilmu fiqih dan ilmu hukum, maka pemerintah Andalusia memberi kepercayaan padanya untuk menjabat hakim agung, sebagaimana jabatan ayahnya yang telah meninggal. Ia sendiri meninggal pada bulan Ramadhan 563 H, pada waktu putranya yaitu Ibnu Rusyd berusia 43 tahun.

(12)

c. Ibnu Rusyd, lahir di dalam keluarga sarjana besar, hanya sempat melihat kakeknya beberapa bulan saja, asuhan semenjak kecil dan pendidikannya dilakukan oleh ayahnya.

Kakek Ibnu Rusyd, selain sebagai sarjana ilmu fiqih dan kedudukannya sebagai hakim agung ia juga seorang politikus dan diplomat yang berpengaruh. Sang kakek pernah berkunjung ke Maroko di Afrika Utara, untuk mengemukakan saran politiknya, sehubungan dengan adanya kehancuran di negara tersebut. Semua kebesaran dari keluarganya, baik di lapangan kesarjanaan maupun kedudukannya di dalam negara telah diwarisi oleh Ibnu Rusyd bahkan melebihi dari semuanya. Ia merupakan puncak kebesaran di dalam sejarah Andalusia.28

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki Ibnu Rusyd, yang tidak dimiliki para filsuf lainnya. Ia adalah filsuf Islam yang terkenal dan paling besar, yang hidup pada abad pertengahan. Ia pendiri dari paham pikiran merdeka sehingga ia mempunyai nilai yang tinggi dalam pandangan orang Eropa. Keistimewaan lainnya adalah ia berasal dari Andalusia. Kota itu mempunyai tempat yang istimewa di dalam sejarah dunia, yaitu sebagai kekuatan perantara yang membawa cara berpikir Timur di tengah kehidupan Barat. Suatu hal yang menarik dari Ibnu Rusyd adalah bahwa meskipun telah umur dewasa, ketekunannya mencari ilmu pengetahuan sungguh luar biasa. Ketekunan semacam ini diperoleh dari mencontoh khalifah Abdur Rahman Nasir, yang

28Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik Pengaruhnya pada Pemikiran Islam

(13)

memerintah pada 300-350 H, penguasa tertinggi Andalusia, yang meninggal pada 73 tahun.29

Pada 1153 M, Ibnu Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan khalifah Abd al-Mukmin, khalifah pertama dari dinasti Muwahhidin. Khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd membantunya dalam mengelola lembaga tersebut. Khalifah Abu Yakub Ibnu Abd Mukmin sebagai penggantinya, ia sangat terkesan dengan Ibnu Rusyd karena ilmunya yang luas dan mendalam, terutama dalam ilmu filsafat. Oleh karena itu pula khalifah memintanya untuk selalu mengomentari buku-buku filsafat karangan Aristoteles. Kesempatan ini ia pergunakan sebaik-baiknya dengan memanfaatkan waktunya untuk membaca dan menulis. Diriwayatkan bahwa dua malam saja yang dilewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam di mana ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.30

Pada 1169 M, ia diangkat menjadi hakim di Sevilla dan kemudian di Kordoba pada 1171 M. Pada tahun ini, ia banyak menulis buku terutama tentang filsafat. Kemudian pada 1182 M, Ibnu Rusyd kembali dipanggil ke Maroko untuk diangkat sebagai dokter pribadi khalifah Abu Yakub, kemudian ia diminta kembali ke Kordoba untuk memangku jabatan hakim agung.31

29Ibid., hlm. 20-21. 30Ibid., hlm. 21. 31Ibid., hlm. 21-22.

(14)

Setelah Abu Yakub meninggal, anaknya Abu Yakub al-Manshur menggantinya sebagai khalifah. Ia sangat mengagumi dan menghormati Ibnu Rusyd melebihi apa yang dilakukan khalifah sebelumnya. Pengaruh Ibnu Rusyd semakin meluas, sehingga pikiran dan pendapatnya selalu menjadi bahan kajian yang tidak pernah putus. Akan tetapi pada 1195 M, keadaan berubah. Sekelompok para fuqaha dan ulama menuduhnya sebagai seorang zindik dan kafir. Khalifah akhirnya juga terpengaruh keadaan ini dan memecatnya dari jabatan hakim serta membuangnya ke perkampungan Yahudi Elisana yang terletak kira-kira 50 kilometer sebelah tenggara Kordoba dan kemudian ke Maroko.32 Al-Manshur membuat pernyataan bahwa Tuhan akan memasukkan ke dalam neraka kepada mereka yang berpendapat kebenaran bisa dicapai dengan akal semata. Semua buku-bukunya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika.33

Beberapa lama di pembuangan, Ibnu Rusyd dibebaskan dan dikembalikan ke istana, atas jasa baik para pemuka kota Sevilla yang menghadap khalifah dan membujuknya untuk membebaskan Ibnu Rusyd. Akhirnya ia dilepaskan kembali dan pergi ke Maroko, di mana ia kemudian meninggal dalam usia 72 tahun pada 9 Safar 595 H, bertepatan dengan 11 Desember 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya

32Ibid., hlm. 22.

33Bertarand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik

dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terjemahan Sigit Jatmiko, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(15)

dipindahkan ke Kordoba untuk dikebumikan di makam keluarga.34 Mengutip artikel Caroline Stone, Doctor, Philosopher and Renaissance Man, seorang saksi mata menulis tentang pemakaman Averroes: “Saat peti yang berisi tubuhnya diletakkan di atas tiang penyangga, mereka menaruh buku-buku karyanya disisi lain sebagai penyeimbang. Aku berdiri di sana... dan aku berkata pada diriku sendiri, “Disatu sisi adalah orangnya dan disisi lain adalah karya-karyanya.”35

4. Perkembangan Pemikiran Ibnu Rusyd

Perkembangan pemikiran Ibnu Rusyd diawali dari pendidikan yang bercorak tradisional dan terpusat terutama pada studi-studi linguistik, ilmu hukum dan teologi skolastik, baru setelah itu bakat-bakat kedokterannya mulai tampak. Pendidikan filosofisnya tidak selengkapnya terdokumentasikan, sekalipun bukti-bukti dari dalam menunjukkan secara definitif bahwa selain kepada Ibnu Thufail, ia juga berguru kepada Ibnu Bajjah. Sebenarnya berkat jasa Ibnu Thufail itulah Ibnu Rusyd pada akhir 1169 M diperkenalkan kepada filsafat dan ilmu sangat menonjol.36

Prestasi Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat dapat dianggap sebagai klimaks atau sebagai kekuatan penutup dari kejayaan dan gelombang pemikiran filsafat skolastik yang radikal rasionalistik dikalangan umat Islam. Hal ini bisa dibuktikan melalui adanya periodesasi Skolastik Latin. Periode Skolastik awal kurang lebih pada 800-1300 M, periode Skolastik

34Hanna Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma‟arif, 1958), hlm. 387. 35Liz Sonneborn, Seri Tokoh Islam Averroes (Ibnu Rusyd) (Jakarta: PT Gramedia, 2013),

hlm. 100-101.

(16)

tinggi pada 1200-1300 M, dan periode Skolastik akhir terjadi kurang lebih pada 1300-1450 M.37 Periode Skolastik awal berlangsung ketika Aristoteles dan Ibnu Rusyd belum dikenal kecuali oleh orang-orang tertentu, sedangkan periode Skolastik tinggi berlangsung setelah Aristoteles, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dikenal secara luas.38

Filsafat Ibnu Rusyd berada di tengah-tengah antara al-Farabi dan Ibnu Sina, tetapi lebih dekat kepada al-Farabi, seperti dalam masalah nubuwwah. Ketiga filsuf tersebut mengakui bahwa Nabi merupakan manusia luar biasa. Al-Farabi dan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa risalah kenabian itu melalui mujahadah, sedangkan Ibnu Sina berpendapat bahwa risalah kenabian itu dicapai melalui anugerah Tuhan. Kedua filsuf al-Farabi dan Ibnu Sina mempunyai andil cukup besar dalam mencetak Ibnu Rusyd menjadi seorang rasioanlis. Sifat rasionalistik tersebut mengakibatkan longgarnya pola pikir yang dimiliki Ibnu Rusyd, seperti pola pikirnya dalam bidang hukum Islam yang telah disinggung di atas. Dalam karyanya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Ibnu Rusyd membeberkan pada setiap pembahasannya pendapat setiap madzab dengan menampilkan sebab dan argumentasi yang melandasi perbedaan pendapat mereka. Hal itu sering terjadi disebabkan adanya perbedaan takwil atas ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah yang melandasi hukum tertentu. Ibnu Rusyd membiarkan perbedaan tersebut tanpa memberikan komentar tentang madzab yang paling benar. Hal itu

37Hasbullah Bakri, di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1973), hlm. 2. 38Ibid., hlm. 5.

(17)

tentunya sesuai dengan wataknya yang selalu ingin memberikan kebebasan kepada para pembacanya untuk menentukan pilihan madzab yang dianggapnya paling benar atau bahkan menolaknya karena dianggapnya tidak ada yang sesuai dengan pendiriannya. Corak kebebasan bermadzab ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh berbagai madzab fiqih yang pernah berada di Andalusia.

Watak yang dimiliki Ibnu Rusyd cukup kondusif untuk dikembangkan saat ini, untuk menghadapi perubahan dunia yang cukup cepat termasuk dalam bidang hukum Islam. Bukankah hukum Islam juga merupakan produk manusia (human construstion) yang bersifat lentur dan selalu qabilun littagyir selama masih dalam kumparan simpul Al-Qur‟an dan Sunnah.

Pemikiran Ibnu Rusyd tentang masalah akal dan wahyu atau filsafat dan agama serta kemampuannya mengawinkan keduanya, tampak sekali muncul karena adanya tuduhan pengkafiran al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah terhadap para filsuf. Reaksi Ibnu Rusyd cukup jelas, ia tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuaian antara ajaran agama dan pemikiran filsfat. Ia menjawab semua keberatan al-Ghazali dengan mengemukakan argumen-argumen yang tidak kurang kuatnya dari argumen-argumen al-Ghazali sebelumnya.

Menurut Ibnu Rusyd, syariah tidak bertentangan dengan filsafat, karena filsafat itu pada hakikatnya tidak lebih daripada bernalar tentang

(18)

alam empiris sebagai dalil adanya Pencipta. Syariah mewajibkan orang mempergunakan akalnya untuk memikirkan hal tersebut, seperti firman Allah dalam surat al-A‟raf ayat 185 dan al-Hasyr ayat 2, sebagai berikut:

                       

Artinya: Dan apakah mereka tidak memerhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka

akan beriman selain kepada Al-Qur’an itu?39

                                            

Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir diantara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat

mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah, maka Allah

mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang mereka tidak sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka, mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang

mempunyai pandangan.40

Bernalar dan beri‟tibar seperti yang terdapat dalam dua ayat di atas, hanya dimungkinkan dengan menggunakan qiyas akali (silogisme),

39Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahannya (Semarang: PT Karya

Toha Putra, t.t.), hlm. 252.

(19)

karena yang dimaksud dengan i’tibar itu tidak lain dari mengambil sesuatu yang belum diketahui (istinbat al-majhul min al-ma’lum). Upaya ini disebut qiyas, sedangkan bernalar dengan qiyas akali tentang alam nyata ini adalah wajib. Jika qiyas fiqih didasarkan pada istinbat dari kedua ayat di atas, maka lebih utama dan wajar jika qiyas akali diistinbatkan dari ayat-ayat tersebut untuk mengetahui Allah.41

Dalam segala hal, filsafat itu dapat dibedakan dari agama, jalan yang ditempuh oleh filsafat adalah akal, dan jalan yang ditempuh oleh agama adalah wahyu. Menurut Harun Nasution, jika dalam ilmu fiqih dan ilmu tauhid akal banyak dipakai dalam masalah-masalah keagamaan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur‟an, maka dalam filsafat sesuai dengan pengertian filsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid, apalagi ilmu fiqih. Sebagai akibatnya, pendapat keagamaan filsuf lebih liberal daripada pendapat-pendapat keagamaan ulama tauhid atau teolog, sehingga timbul sikap selalu menyalahkan bahkan juga saling mengkafirkan antara kedua golongan itu.42

Secara sekilas, antara al-Farabi dan Ibnu Sina, dua filsuf Timur yang mendahului Ibnu Rusyd, mempunyai persepsi serupa tentang agama dan filsafat. Al-Farabi, seorang filsuf yang datang setelah al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan.

41Ahmad Daudy, Filsafat Islam (Banda Aceh: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama

Islam, IAIN Ar-Raniri, 1984), hlm. 228.

(20)

Menurutnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan filsafat hakikatnya satu, meskipun bentuknya berbeda. Al-Farabi lah filsuf Islam pertama yang mengusahkan keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu ada dua. Pertama, pandangan tentang keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato layak dianggap sebagai adanya kesesuaian dengan dasar-dasar Islam. Kedua, adanya urgensitas tuntutan pemberian tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran Islam.43 Ibnu Sina juga berpendapat bahwa Nabi dan filsuf menerima kebenaran-kebenaran dari sumber yang sama yaitu Jibril, yang juga disebut akal X atau akal aktif. Perbedaannya hanyalah terletak pada hubungan Nabi dengan Jibril melalui akal material, sedangkan filsuf melalui latihan berat, sedangkan Nabi memperoleh akal material yang dayanya jauh lebih kuat dari akal perolehan walupun tingkatnya lebih rendah, sebagai anugerah Tuhan kepada pilihan-Nya. Pengetahuan yang diperoleh Nabi mengambil bentuk wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filsuf, meski antara keduanya tidak ada pertentangan.44

Dalam situasi genting antara filsuf dan teolog/ahli fiqih yang saling mengkafirkan, muncul Ibnu Rusyd yang berusaha menengahi pendapat mereka dengan usaha mengawinkan antara agama dan filsafat duduk berdampingan saling bantu. Karena ia hidup setelah al-Farabi dan Ibnu Sina, maka pengaruh keduanya tampak sekali pada diri Ibnu Rusyd di mana ia mengambil posisi tengah.

43Ibid., hlm. 83. 44Ibid., hlm. 84.

(21)

Kronologi pengaruh al-Farabi dan Ibnu Sina terhadap Ibnu Rusyd secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Ibnu Sina semasa kecil adalah anak ajaib. Pada umur sepuluh tahun ia sudah membaca seluruh sastra tradisional dan menghafal Al-Qur‟an. Ia belajar ilmu kedokteran sampai umur enam belas tahun, ia menjadi seorang tabib, sehingga ia diundang untuk mengobati sultan Bukhara.

Dalam belajar filsafat, ia membaca kitab metafisik Aristoteles sebanyak empat puluh kali. Tetapi selama itu pula tidak memahaminya kecuali setelah membaca tafsir al-Farabi atas buku tersebut. Setelah itu, ia terjun dalam pelajaran filsafat hingga berumur delapan belas tahun, sehingga menguasai seluruh lapangan filsafat, astronomi, fiqih, biologi, mistik, matematika, musik, bahasa, perhitungan tarikh lalu mengarang, mengajar, dan menyusun sistem.45

Karyanya dikritik oleh al-Ghazali pada 1105 M dan bukunya dibakar di Baghdad pada 1150 M. Namun ia tetap berpengaruh dikalangan sarjana muslim sesudahnya. Ibnu Rusyd (1198 M) dan Nasir al-Din al-Tusi (1273 M) membela Ibnu Sina dan melawan kritik negara dari al-Ghazali. Kronologi keilmuan ini tampak cukup jelas menunjukkan, bahwa Ibnu Rusyd terpengaruh Ibnu Sina melalui karya-karyanya, hal yang serupa dilalui juga oleh Ibnu Sina dari karya-karya al-Farabi.

45JWM. Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1978), hlm.

(22)

Menurut al-Ahwani, inilah salah satu sebab mengapa pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd justru lebih dikenal di Eropa tetapi tidak berkembang dikalangan muslim sendiri. Dikalangan muslim, karya-karya filsafat dibakar atau dilarang terbit, sementara di Eropa justru diterjemahkan dan diedarkan. Selain itu, pada masa Renaissance, Eropa lebih mudah menerima pemikiran filsafat dan metode ilmiah seperti yang dianut Ibnu Rusyd, sementara di Timur (Islam), ilmu dan filsafat mulai dikuburkan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan.46

5. Karya-karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang sarjana yang paling rajin belajar dan mengajar, membaca dan mengarang, sehingga tiada hari tanpa menulis dan membaca, kecuali dua malam yang telah disebutkan sebelumnya. Ia mulai menulis sejak umur 34 tahun sampai saat meninggal 72 tahun. Kurang lebih selama empat puluh tahun, ia menghasilkan sepuluh ribu lembar yang terdiri dari berbagai buku, baik yang besar dan berjilid-jilid maupun yang kecil yang berupa risalah.47

Ernest Renan seorang sarjana Perancis berhasil mengidentifikasi karya-karya Ibnu Rusyd melalui berbagai perpustakaan di Eropa. Akhirnya ia mendapati di dalam perpustakaan Escurial di Madrid, Spanyol, suatu daftar dalam bahasa Arab yang memuat nama buku-buku karangan Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Rusyd. Diperolehnya bahwa

46Fuad Ahwani, op. cit., hlm. 201. 47Suparman Syukur, op. cit., hlm. 38-39.

(23)

daftar itu memuat nama karangan-karangan Ibnu Rusyd sebanyak 78 buah buku yang terperinci sebagai berikut: 28 buah dalam filsafat, 20 buah dalam kedokteran, 8 buah dalam hukum fiqih, 5 buah dalam teologi, 4 buah dalam astronomi, 2 buah dalam sastra Arab, dan 11 buah dalam disiplin ilmu lainnya.48

Meskipun dalam daftar tersebut, Ernest Renan mendapatkan 78 buah, namun ia menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Ibnu Rusyd wa ar-Rusydiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh „Aidil Zu‟aitir, bahwa karangan Ibnu Rusyd hanya ditampilkan 68 buah saja, yang terperinci sebagai berikut: karyanya dalam bidang filsafat (ar-Rasail al-Falsafiyah) sebanyak 28 buah, dalam bidang ilmu kalam sebanyak 5 buah, dalam bidang fiqih sebanyak 8 buah, dalam bidang astronomi (al-Falak) sebanyak 4 buah, dalam bidang tata bahasa (an-Nahwu) sebanyak 2 buah, dan dalam bidang kedokteran sebanyak 20 buah.49

Beberapa sarjana berbeda pendapat tentang jumlah karangan Ibnu Rusyd, selain Ernest Renan, Sulaiman Dunya dan Ibnu Abi Usaibiah hanya menyebut 47 buah, Dzahabi menulis 43 buah, Kamil Uwaidah menghimpun 22 buah, dan Imarah mencatat sebanyak 121 buah.50 Perbedaan data tersebut tidak bisa dihindari, menurut Bayumi ada dua hal yang menyebabkan perbedaan tersebut: Pertama, kebanyakan dari karya

48Zainal Abidin Ahmad, op. cit., hlm. 117.

49Ernest Renan, Ibnu Rusyd wa Rusydiyah, terjemahan „Adil Zu‟aitir (Kairo: Dar Ihya

al-Kutub al-Arabiyah Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakahu, 1957), hlm. 79-93.

(24)

Ibnu Rusyd telah dibakar pada tahun 1195 M. Kedua, metode yang dipakai Ibnu Rusyd dalam menulis karyanya, yaitu pertama-tama menulis ringkasan pendek (jami’ berupa maqalah), kemudian ulasan sedang (talkhish) dan terakhir komentar panjang (tafsir). Dari hal itu, para ahli akhirnya berbeda pendapat, sebagian menjadikan satu sedangkan yang lainnya memisahkannya secara sendiri-sendiri.51

Semua karya Ibnu Rusyd ditulis dalam bahasa Arab. Namun, akibat pernah ada pelarangan dan pembakaran, kebanyakan karya yang ditulis hanya dalam bentuk terjemahan bahasa Ibrani dan Latin. Penulis hanya akan menyebutkan karya Ibnu Rusyd yang berkaitan dengan epistemologi (filsafat), sebagai berikut:

a. Tahafut al-tahafut (Destruction of Destruction), dalam karya tersebut Ibnu Ruyd menampilkan pemikiran filsafatnya dan sanggahan terhadap al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.

b. Fashl al-Maqal fi Ma bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, buku ini ditampilkan Ibnu Rusyd dalam usahanya juga menepis tuduhan para tokoh masyarakat di masa itu, bahwa pemikiran-pemikiran filsafat banyak yang bertentangan dengan agama.

c. Syarhu Kitabi as-Sama’ wa al-Ard li Aristo (Komentar terhadap buku Aristoteles tentang langit dan bumi). Ibnu Rusyd berusaha menampilkan pendapatnya tentang alam semesta dan menafsirkan filsafat Aristoteles tentang persoalan langit dan bumi.

51Abd al-Mu‟ti Bayumi, al-Falsafah al-Islamiyah min al-Masyriq ila al-maghrib (Kairo:

(25)

d. Syarhu Kitab Ma Wara’a at-Tabi’ah li Aristo (Comentary on Methaphysic), buku yang sangat laris di abad Tengah, karena berisikan tentang metafisika Aristoteles.

e. Al-Masailu fi al-Falsafah (Berbagai masalah di dalam ilmu filsafat), Ibnu Rusyd mengarungi lapangan yang luas dari ilmu filsafat, dengan memilih soal-soal yang pokok dan penting kemudian mengemukakan pendapatnya pribadi.52

B. Tinjauan Kitab Tahafut al Tahafut Ibnu Rusyd

Kitab Tahafut al Tahafut ditulis saat Ibnu Rusyd mencapai puncak kematangan rasional dan berpikir kira-kira saat berusia 50 tahun ke atas pada 1184 M.53 Pada hakikatnya kitab Tahafut al Tahafut Ibnu Rusyd dibuat dalam bentuk polemik, yaitu kritik dan argumentasi al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat, kemudian kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd terhadap pemikiran al-Ghazali. Lebih jelasnya, Ibnu Rusyd mengomentari buku karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al Falasifah.54

Kitab Tahafut al Tahafut Ibnu Rusyd terbagi atas tiga bab dan pendahuluan. Pada bab pendahuluan membahas mengenai Ibnu Rusyd,

Tahafut al Tahafut, sarkasme mutual antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.55

Kemudian bab pertama terdiri dari dua tema, yaitu tema pertama membahas

52Suparman Syukur, op. cit., hlm. 40-41.

53Chairul Akhmad. “Tahafut Al-tahafut, Kontradiksi Kritik Al-Ghazali atas Filsafat”.

http//m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/02/22/lzsdau-tahafut-attahafut-kontradiksi-kritik-alghazali-atas-filsafat-1. (22 Februari 2012). Diakses, 22 Januari 2014.

54Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terjemahan M. Fahmi Muqoddas (Mesir: Dar al-Ma‟arif,

t.t.), hlm. vii.

(26)

tentang penggugat pernyataan para filosof masalah eternalitas alam (qidam al-‘alam), meliputi dalil pertama dan dalil kedua. Kemudian tema kedua deskripsi mereka yang kedua tentang keniscayaan eternalitas masa, meliputi dalil ketiga dan dalil keempat.56

Pada bab kedua terdiri dari dua tema, yaitu tema pertama membahas tentang sanggahan terhadap para filosof tentang keabadian alam, masa dan gerak. Tema kedua membahas dalil kedua tentang anihilisasi (ketiadaan) alam.57 Sedangkan pada bab ketiga, membahas tentang mengungkap kepalsuan pernyataan mereka bahwa Allah adalah pembuat dan pencipta alam yang merupakan buatan dan ciptaan-Nya dan keterangan bahwa pernyataan tersebut hanya bersifat metaforis, bukan kenyataan. Hal ini meliputi, argumen pertama, argumen kedua dan argumen ketiga.58

Menurut penulis dari ketiga bab dalam buku Tahafut al Tahafut tersebut, jelas terlihat ada keterkaitan dengan epistemologi pendidikan, diantaranya: bab pertama, penggugat pernyataan para filosof masalah eternalitas alam (qidam al-‘alam) dan deskripsi mereka yang kedua tentang keniscayaan eternalitas masa. Bab kedua, sanggahan terhadap para filosof tentang keabadian alam, masa dan gerak serta dalil kedua tentang anihilisasi (ketiadaan alam). Bab ketiga, mengungkap kepalsuan pernyataan mereka bahwa Allah adalah pembuat dan pencipta alam yang merupakan buatan dan ciptaan-Nya, dan keterangan bahwa pernyataan tersebut hanya bersifat metaforis, bukan kenyataan.

56Ibid., hlm. 48-127. 57Ibid., hlm. 143-154. 58Ibid., hlm. 173-199.

(27)

C. Pandangan Ilmuan mengenai Ibnu Rusyd dan Kitab Tahafut al Tahafut Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai beberapa pandangan ilmuan, baik ilmuan Barat maupun ilmuan Muslim mengenai Ibnu Rusyd dan Tahafut al Tahafut.

1. Ernest Renan mengatakan bahwa Ibnu Rusyd adalah tokoh pemikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, serta paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat. Diantara para filsuf Islam, Ibnu Rusyd adalah salah satu yang paling dikenal di dunia Barat dan Timur.59 2. Iqbal M. Ambara dan Teguh Sutanto dalam bukunya yang berjudul

“Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi” mengatakan bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh fisafat yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam.60

3. Michael Angelo memandang bahwa Ibnu Rusyd sebagai filsuf free thinker dan ia meletakkan patung khayalinya tentang Ibnu Rusyd di atas atap gereja Syktien di Vatikan.61

4. Dante Alighieri seorang penyair besar dan sekaligus murid Ibnu Rusyd di Italia memberikan gelar kepada Ibnu Rusyd “Sang Komentator” karena ia dianggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.62

Dari beberapa pendangan ilmuan mengenai Ibnu Rusyd yang dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Ibnu Rusyd merupakan

59Wahyu Murtiningsih, op. cit., hlm. 327-328. 60

Iqbal M. Ambara dan Teguh Sutanto, Tokoh-tokoh Super Inspiratif Pewaris Nabi (Jakarta Selatan: Sabil, 2012), hlm. 151.

61Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat

Modern (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004), hlm. 191.

(28)

tokoh pemikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, serta paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat pada periode perkembangan filsafat Islam yang dikenal di Barat dan Timur sehingga dijuluki sebagai filsuf free thinker dan “Sang Komentator”.

D. Konsep Epistemologi Pendidikan Ibnu Rusyd 1. Konsep tentang Pengetahuan

Ibnu Rusyd mendefinisikan ilmu atau pengetahuan sebagai pengenalan (ma’rifah) tentang suatu objek dengan sebab-sebab yang melingkupinya.63 Definisi ini didasarkan atas pemahaman bahwa objek-objek disekitar bukanlah wujud yang otonom dan mandiri melainkan bentuk-bentuk akibat dari suatu sebab. Karena itu, ilmu yang sesungguhnya tentang suatu objek berarti berkaitan erat dengan sebab-sebab yang melingkupinya yang dalam ajaran Aristoteles terdiri atas empat macam, yaitu sebab-sebab material (al-asbab al-madiyah) berkaitan dengan bendanya, sebab-sebab formal (al-asbab al-shuriyah) berkaitan dengan bentuk, sebab-sebab efisien (al-asbab al-failah) berkaitan dengan daya guna atau proses, dan sebab-sebab final (al-asbab

al-ghaiyah) berkaitan dengan tujuan.64

Berdasarkan bentuknya, Ibnu Rusyd membagi sebab menjadi dua bagian: sebab-sebab empirik (syahid) dan sebab-sebab transenden (ghaib). Sebab-sebab empirik adalah sebab-sebab yang dapat diamati

63Ibnu Rusyd, Manahaj al-Adillah (Beirut: Dar al-Afaq, 1978), hlm. 127. 64Ibnu Rusyd, Tahafut al-tahafut, hlm. 784.

(29)

secara langsung oleh indera, sedangkan sebab-sebab transenden adalah sebab-sebab yang hanya dapat dipahami oleh rasio. Berkaitan dengan pengetahuan, sebab-sebab empirik melahirkan apa yang disebut sebagai ilmu sedangkan sebab-sebab transenden melahirkan hikmah (filsafat).65

Berdasarkan sifat objek, Ibnu Rusyd membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu partikular ilm al-ju’iyyat) dan ilmu universal (al-ilm al-kulliyat). Ilmu partikular adalah (al-ilmu-(al-ilmu yang didasarkan atas wujud-wujud empirik yang bersifat partikular, sedangkan ilmu universal adalah ilmu-ilmu yang didasarkan atas wujud-wujud metafisik yang bersifat universal. Meski demikian, wujud-wujud universal yang bersifat metafisik ini bukan berarti tidak mempunyai wujud tersendiri. Menurut Ibnu Rusyd, wujud-wujud metafisik yang menjadi objek-objek ilmu universal mempunyai wujud tersendiri yang bersifat universal yang ada dan dapat dipahami dalam pikiran (intelligible).66

2. Sumber Pengetahuan

Dalam Dlamimah, Ibnu Rusyd secara tegas menyatakan bahwa “dua bentuk wujud objek (objek inderawi dan objek rasional) itulah sumber pengetahuan manusia”.67

Pernyataan ini sekaligus dimaksudkan untuk membedakan antara ilmu Tuhan dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Tuhan dan manusia sebenarnya sama-sama berkaitan dengan suatu objek. Perbedaan diantara keduanya terletak

65Ibid., hlm. 127. 66Ibid., hlm. 701.

67Ibnu Rusyd, Dlamimahal-Mas’alah, terjemahan M. Imarah (Mesir: Dar al-Ma‟arif, t.t),

(30)

pada posisinya dengan objek. Pengetahuan manusia didasarkan atas pengamatan dan penelitiannya pada wujud objek, material maupun rasional sehingga dianggap temporal, sementara pengetahuan Tuhan justru penyebab dari munculnya wujud-wujud objek sehingga bersifat

qadim.68

Selain berdasarkan atas realitas-realitas wujud, pengetahuan Ibnu Rusyd juga didasarkan atas sumber lain. Sumber yang dimaksud adalah inspirasi dari langit atau wahyu. Dalam Manahaj al-Adillah, Ibnu Rusyd menulis:

“Pengetahuan tentang kebahagiaan dan keselamatan menggiring pada pengetahuan tentang jiwa dan esensinya. Namun, benarkah jiwa akan merasakan kebahagiaan dan keselamatan ukhrawi? Jika benar, apa kriterianya? Selain itu, apa yang digunakan untuk membuktikkan bahwa kebaikan (tindakan baik) akan membawa kepada kebahagiaan? Bagaimana dan kapan kriteria-kriteria tersebut diterapkan? Begitu pula tentang baik dan buruk. Untunglah semua itu dapat kita jumpai ketentuannya dalam syariat, dan semua itu tidak dapat dijelaskan kecuali dengan wahyu. Paling tidak, informasi wahyu lebih unggul... semua ini, secara lebih luas, tidak dapat diketahui lewat ilmu, teknologi atau filsafat.”69

Dengan demikian, sumber pengetahuan dalam perspektif Ibnu Rusyd terdiri atas dua macam: realitas wujud dan wahyu. Dua sumber ini masing-masing melahirkan disiplin ilmu yang berbeda. Realitas wujud melahirkan ilmu dan filsafat sedangkan wahyu memunculkan ilmu-ilmu keagamaan. Meski demikian, menurut Ibnu Rusyd dua macam sumber pengetahuan tersebut tidak bertentangan melainkan selaras dan berkaitan

68Ibid.

(31)

karena keduanya adalah benar dan mengajak kepada kebenaran. Kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain.

3. Cara Mendapatkan Pengetahuan

Ibnu Rusyd mempunyai gagasan tersendiri tentang cara-cara mendapatkan pengetahuan, yaitu dengan cara pembentukkan teori (tashawwur) dan penalaran logis. Namun, sebelum membahas masalah tersebut, lebih dahulu akan didiskusikan pandangannya tentang sarana-sarana yang digunakan untuk pencapaian sebuah pengetahuan.

a. Indera Eksternal (al-Hasasah)

Indera eksternal sendiri terdiri atas lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap.70 Indera ini berkaitan dengan objek-objek inderawi yang oleh Ibnu Rusyd dibagi menjadi dua bagian: objek inderawi dekat dan objek inderawi jauh. Objek inderawi dekat berupa benda-benda material sedang objek inderawi jauh berupa performense. Objek inderawi dekat terbagi menjadi dua: objek indera tunggal dan objek indera bersama. Objek indera tunggal adalah objek-objek yang dapat ditangkap oleh satu indera, seperti warna, bunyi, bau dan seterusnya. Sedang objek indera bersama adalah objek-objek yang tidak dapat ditangkap kecuali oleh lebih dari satu indera, seperti gerak dan diam. Sementara itu, objek indera jauh berkaitan dengan penentuan kondisi

(32)

atau spesifikasi antara suatu objek dibandingkan objek lainnya. Seperti, membedakan antara mati dan hidup, satu dengan lainnya.

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kemampuan indera eksternal ini sangat lemah dan terbatas. Ia hanya mampu mencetak gambaran objek tanpa sedikitpun mampu menangkap gambar itu sendiri. Indera eksternal lebih merupakan pintu masuk bagi objek-objek material ke dalam indera sesungguhnya dari manusia. Karena itu, Ibnu Rusyd seperti Al Ghazali dan Ibnu Arabi menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah diantara indera-indera manusia.71 b. Indera Internal (al-Hawas al-bathinah)

Menurut Ibnu Rusyd, indera internal terdiri atas empat unsur: daya imajinasi, daya nalar, daya memori, dan daya rasa. Daya-daya ini, menurut Ibnu Rusyd merupakan kelengkapan dan kelebihan yang khusus diberikan Tuhan kepada manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk lain. Beberapa spesies selain manusia seperti binatang memang ada yang mempunyai daya tertentu diantara daya-daya di atas, seperti daya imajinasi, tetapi ia tidak sesempurna yang dimiliki manusia.72

c. Intelek (al-Aql al-Kulli)

Menurut Ibnu Rusyd berdasarkan bentuknya, intelek dapat dibagi dalam tiga bagian: intelek material, intelek bawaan, dan intelek aktif. Intelek material adalah daya-daya yang mempunyai

71 A. Khudori Soleh, Epistemologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama dan Filsafat

(Malang: UIN Maliki Press, 2012), hlm. 95-97.

(33)

kekuatan untuk mengabstraksi dan menyerap essensi-essensi wujud. Kemudian intelek bawaan adalah objek-objek rasional yang telah teraktualisasikan oleh penalaran-penalaran manusia, seperti objek pengetahuan yang kemudian ditampilkan. Sedangkan intelek aktif adalah intelek yang berperan untuk menampilkan objek-objek potensial menjadi aktual. 73

Menurut Ibnu Rusyd, semua objek pada awalnya hanya bersifat potensi. Intelek aktuallah yang menggerakkan objek-objek tersebut menjadi aktual. Dalam Risalah al-Nafs, Ibnu Rusyd menulis:

“Ketika objek-objek rasional dibagi dua bagian: potensial dan aktual, dan objek-objek tersebut pada awalnya bersifat potensi, maka ia berarti butuh sesuatu yang merubahnya menjadi aktual. Perubahan ini tidak mungkin terjadi karena dirinya sendiri, karena hal itu tidak sesuai dengan tabiat alam. Perubahan itu juga tidak dapat dari intelek material karena ia sendiri butuh yang lain untuk menjadikannya aktual. Penggerak yang melakukan itu adalah intelek aktif yang lebih mulia dari intelek material dan aktual selamanya baik dipikirkan atau tidak.”74

Menurut Ibnu Rusyd, konsepnya tentang intelek di atas adalah didasarkan atas pemikiran Aristoteles, dan pernyataan ini dibenarkan oleh Ibrahim Madkur. Menurut Madkur, Ibnu Rusyd sangat konsisten mengikuti Aristoteles. Konsepnya tentang intelek

73 A. Khudori Soleh, op. cit., hlm. 103-104. 74 Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 29.

(34)

perolehan tidak menyimpang dari ajaran Aristoteles. Begitu juga soal ajarannya tentang intelek aktif. 75

4. Validitas Pengetahuan

Validitas sebuah pengetahuan (tashih) adalah bagian dari kajian epistemologi yang membahas tentang keabsahan pengetahuan atau sebuah pernyataan.76 Menurut Ibnu Rusyd validitas pengetahuan didasarkan atas aspek penilaian sebagai berikut:

a. Keunggulan Premis

Ibnu Rusyd menggunakan derajat premis untuk menilai validitas sebuah pengetahuan. Ada empat premis yang disebutkan Ibnu Rusyd, yaitu: pertama, premis-premis primer (maqulat al-ula) merupakan prinsip-prinsip pokok yang diakui kebenarannya secara pasti. Pengetahuan jenis ini terdiri atas dua bagian, yaitu prinsip-prinsip primer (al-mabadi al-ula) dan ajaran-ajaran pokok syariat (al-aqawil al-syariyah). Prinsip-prinsip primer adalah prinsip-prinsip pengetahuan yang diterima kebenarannya secara aksiomatik, seperti prinsip-prinsip dasar dalam matematika dan logika. Ajaran-ajaran pokok syariat adalah ajaran-ajaran syariat yang bersifat pasti dan jelas tanpa perlu adanya takwil.77

Kedua, pengetahuan indera (al-mahsusat) adalah

pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan lewat penelitian induktif

75 M. M. Sharif, a History of Musliim Philosophy, (New Delhi: Low Prince Publications,

1995), hlm. 462.

76A. Khudori Soleh, op. cit., hlm. 123.

(35)

di lapangan. Ketiga, opini-opini yang umumnya diterima (al-masyhurat) adalah statemen-statemen yang diakui oleh mayoritas masyarakat, atau oleh semua sarjana (ulama) dan orang-orang yang berakal (uqala), atau mayoritas mereka. Keempat, opini-opini yang diterima (al-maqbulat) adalah pernyataan-pernyataan yang disampaikan dan diakui oleh beberapa orang atau sekelompok orang kecil.78

Menurut Ibnu Rusyd, premis-premis di atas mempunyai derajat kesahehan yang berbeda. Dalam Jawami’, Ibnu Rusyd membagi tiga derajat premis, yaitu meyakinkan, mendekati keyakinan dan dugaan. Premis-premis primer dan pengetahuan indera, menurut Ibnu Rusyd masuk dalam kategori meyakinkan karena dinilai memenuhi persyaratan yang ditentukan, yaitu riil di luar pikiran, terbukti bukan menunjuk pada selainnya dan kebenarannya terbukti dalam dirinya sendiri.

Sementara itu, opini-opini yang umumnya diterima berada pada derajat mendekati keyakinan. Sebab, kebenarannya tidak bersifat aksiomatik melainkan karena intervensi pihak lain, meski oleh mayoritas masyarakat. Adapun opini-opini yang diterima hanya mencapai derajat dugaan, karena kebenarannya bukan atas dirinya sendiri melainkan oleh pihak lain dan itupun hanya oleh sedikit orang. Diantara empat derajat premis tersebut, menurut Ibnu Rusyd

(36)

hanya premis yang mencapai derajat meyakinkan dan mendekati keyakinan yang dapat dijadikan landasan berpikir.79

b. Untuk Mengenal Tuhan

Menurut Ibnu Rusyd, seseorang akan sampai pada Tuhan, mengenal keagungan dan kemahakuasaan-Nya dan pengetahuan tentang Tuhan memang hanya dapat dicapai dengan mengkaji objek-objek riil alam ciptaan. Secara lebih jelas dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menulis:

“Sesungguhnya dalam alam wujud, Sang Pencipta dapat diketahui berdasarkan pengetahuan atas ciptaan-Nya. Ketika pengetahuan tentang alam ciptaan telah sempurna, maka pengetahuan atas Sang Pencipta juga sempurna.... Inilah pintu penalaran yang menyampaikan kepada pengetahuan yang sebenarnya atas-Nya.”80

Berdasarkan kajian terhadap realitas seperti itu juga Ibnu Rusyd sampai pada dalil tentang adanya Tuhan, yang dikenal dengan dalil inayah dan ikhtira’. Dalil ikhtira’ adalah dalil yang menyatakan bahwa semesta yang rapi dan teratur ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tetapi pasti ada yang menciptakan. Dalil inayah adalah dalil yang menyatakan bahwa tata kehidupan semesta ini, pergantian siang dan malam, adanya binatang, tumbuhan dan lainnya, ternyata sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan manusia.81

79A. Khudori Soleh, op. cit., hlm. 127-128. 80Ibnu Rusyd, Fashl al Maqal, hlm. 13 dan 18. 81A. Khudori Soleh, op. cit., hlm. 132.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data hasil angket yang diberikan kepada siswa didapatkan sebagian besar 34 atau (94,4%) siswa menyatakan senang belajar dengan metode pembelajaran yang

Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa genotipe dan dosis pupuk N berpengaruh nyata pada semua karakter yang diamati kecuali jumlah malai pada faktor genotipe dan

Kedua lokasi ini menjadi menarik untuk disatukan pembahasannya karena memiliki karakter yang sama, yaitu bagaimana ruang bermukim yang terbentuk dipengaruhi oleh

Tabel 5. Pembenahan yang dilakukan pada siklus ini ialah guru menyampaikan hasil belajar yang harus dicapai sebelum menugasi siswa melakukan tahap Pilih,

Dari sini dapat disebut bahwa batas dinding merupak an pencegah masuknya orang lain, karenanya pintu-pintu sebagai dinding pemisah agar mencegah orang yang masuk

Gambar 10 di atas menunjukkan bahwa rata-rata berat basah keseluruhan tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yakni rata-rata 27,22 gram sedangkan yang terendah terdapat

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa Alokasi anggaran spesifik gender dengan persentase 4% dengan 26 pos anggaran, dan alokasi anggaran untuk kesetaraan gender