• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN LITERATUR"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN LITERATUR 2.1 Perpustakaan Khusus

UU No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 1 Ayat 1 memberikan pengertian bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka (pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan). Selanjutnya Pasal 20 UU tersebut mengelompokkan perpustakaan ke dalam 5 jenis yang terdiri dari: Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus.

Menurut Basuki (2004), kelima perpustakaan digolongkan dalam 2 jenis menurut fungsinya, yaitu Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Khusus. Menurut UU No.43 Pasal 1 Ayat 6 dan 7, Perpustakaan Umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama dan status sosial ekonomi. Perpustakaan Khusus adalah perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, atau organisasi lain. Selain memberikan layanan kepada pemustaka di lingkungannya, dalam Pasal 26 disebutkan pula bahwa Perpustakaan Khusus memberikan layanan kepada pemustaka secara terbatas di luar lingkungannya. Dengan demikian Perpustakaan Khusus memiliki fungsi utama untuk membantu dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan pada lembaga induknya.

Pada awalnya jasa layanan yang diberikan Perpustakaan Khusus berorientasi terbatas hanya pada lingkungan institusi lembaga induknya. Karena itu perkembangan Perpustakaan Khusus ditentukan oleh banyak tidaknya perhatian dari lembaga induknya masing-masing. Kini telah banyak Perpustakaan Khusus yang mencoba meningkatkan layanannya dengan menjangkau masyarakat umum walau informasi yang disajikan hanya terbatas, sesuai dengan misi lembaga induknya.

Untuk melengkapi ketersediaan koleksinya, Perpustakaan Khusus juga melakukan reproduksi dengan tujuan efisiensi pengeluaran dana. Mengingat keterbatasan koleksi yang dimiliki, beberapa Perpustakaan Khusus melakukan

(2)

kolaborasi dalam pemanfaatan sumber-sumber informasi. Pada September 2005 sebuah terobosan dilakukan oleh 5 Perpustakaan Khusus yang terdiri dari Pustaka Aksara, Perpustakaan CSIS, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Utan Kayu, dan Perpustakaan Filsafat UI, untuk mendirikan jaringan perpustakaan ilmu sosial dengan nama ”Pustaka Bersama”. Jaringan ini dapat diakses pada alamat http://www.pustakabersama.net/

Sebelum diterapkannya internet, komunikasi dalam kolaborasi antar perpustakaan dilakukan menggunakan surat, fax maupun telepon yang semua membutuhkan banyak waktu dan biaya karena tergantung pada faktor jarak dan keterbatasan ruang. Dengan adanya internet kini komunikasi untuk pemanfaatan bersama antar perpustakaan dapat dilakukan dengan sangat mudah.

2.2 Sumber Informasi

Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang (Davis 1999). Karena manfaatnya yang tak ternilai maka informasi merupakan kebutuhan bagi setiap manusia. Sejak lama manusia telah menyadari pentingnya perpustakaan sebagai pusat penyimpanan informasi pengetahuan dan peradaban manusia. Saat ini peran perpustakaan tidak hanya sekedar menyimpan informasi tetapi juga memiliki fungsi lainnya termasuk seleksi dan akuisisi sumber informasi.

Rowley (2004) mengatakan bahwa informasi sebagai sumber, dapat diperoleh dan digunakan seperti mengelola sumber produksi lain seperti energi, bahan mentah dan buruh. Informasi menjadi berbeda karena:

1 Nilai informasi tidak mudah diukur, tergantung pada content dan penggunaannya. 2 Nilai informasi tidak menjadi berkurang walaupun dijual atau diberikan pada orang

lain, namun dengan pemanfaatannya maka nilai informasi akan semakin tinggi. 3 Informasi dapat menjadi kekuatan yang dinamis bagi perubahan karena dapat

mempengaruhi keputusan dalam suatu organisasi. Keputusan ini akan mempengaruhi informasi yang akan tersedia untuk siklus pembuatan keputusan selanjutnya.

(3)

Gambar 1 Siklus Informasi (Jogiyanto 2005).

Gambar 1 menunjukkan bahwa pengolahan data menjadi informasi merupakan suatu siklus melalui tahapan processing, output yang berguna bagi penerima, pengambilan keputusan, pemberian tindakan untuk menghasilkan data yang akan diinput dan diproses kembali menjadi informasi.

Sumber informasi merupakan faktor utama yang sangat penting bagi eksistensi keberadaan perpustakaan itu sendiri. Pengelolaan sumber informasi perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital memiliki prinsip yang sama. Keduanya memerlukan pengembangan, pengolahan, pemeliharaan dan penggunaan koleksi. Bedanya terletak pada bentuk fisiknya. Bila sumber informasi pada Perpustakaan Konvensional memiliki bentuk fisik hingga disebut sebagai koleksi, maka sumber informasi pada perpustakaan digital adalah berbentuk digital sehingga dapat disebut sebagai objek digital. Oleh karena itu, untuk mengembangkan, mengolah, memelihara, dan menggunakan objek digital memerlukan perangkat elektronik seperti jaringan telekomunikasi, komputer, scanner, dan lain-lain.

Membangun dan mengembangkan objek digital memerlukan perencanaan yang baik agar dapat bermanfaat sesuai dengan visi dan misi institusi. Karena itu perencanaan digitalisasi harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan institusi. Mengingat banyaknya objek yang tersedia secara digital, maka akuisisi objek digital dilakukan dengan memprioritaskan koleksi utama (core collection). Perolehan objek digital dilakukan melalui 2 sumber, yaitu:

1 Sumber Informasi Internal 2 Sumber Informasi Eksternal

(4)

2.2.1 Sumber Informasi Internal

Perolehan koleksi dari dalam institusi dilakukan dengan mengalihmediakan sumber informasi tercetak dan analog menjadi informasi digital, yang disebut dengan digitalisasi. Proses digitalisasi koleksi membutuhkan biaya yang relatif mahal, karena harus menyediakan berbagai perangkat teknologi. Bila proses digitalisasi memerlukan biaya sekitar Rp. 2000 per halaman maka dengan ketebalan koleksi sekitar 100 halaman, dibutuhkan biaya Rp.200.000. Namun dengan proses akuisisi yang dilakukan sejak awal dalam bentuk digital maka biaya proses digitalisasi akan jauh menurun bahkan menjadi Rp.0. Karena itu diperlukan mekanisme yang baku dalam proses akuisisi terhadap objek digital sehingga semua koleksi yang tersedia sejak dini dilakukan dengan format digital. Perbandingan biaya penyimpanan secara depository dan digital dengan gambaran di atas dapat dibandingkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Model Penyimpanan secara Depository vs. Digital (Great 1996). Gambar 2 menjelaskan bahwa penyimpanan koleksi dalam format digital jauh lebih ekonomis. Dengan tuntutan kemudahan akses format digital secara online yang semakin tinggi, maka kecenderungan penyimpanan koleksi digital pasti akan diperlukan. Oleh karena itu proses pengadaan koleksi secara digital sebaiknya dilakukan sejak dini, sehingga koleksi tercetak tidak semakin bertumpuk hingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk melakukan proses digitalisasi.

Untuk efisiensi digitalisasi, tidak semua koleksi tercetak di perpustakaan harus didigitalisasikan. Yang menjadi prioritas untuk proses digitalisasi adalah koleksi lokal (local content) yang tidak mungkin diperoleh di perpustakaan atau tempat lain, seperti, Expertise Directory, Final Project (Disertasi, Tesis dan Skripsi), Grey Literatures,

(5)

Inaugural Speechs, Journal Articles, Proceedings, Local Publications, Research Reports, Working Papers, dan lain-lain.

Proses digitalisasi yang merupakan konversi dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen digital dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik sebagaimana Gambar 3.

Gambar 3 Proses Digitalisasi.

Pada saat ini banyak penerbitan buku, jurnal dan koleksi lainnya yang menerbitkan bacaan tercetak, dan juga menyertakan disket, CD atau DVD yang berisi file-file dokumen yang diterbitkan untuk menyertai koleksi tercetaknya. Pada koleksi yang demikian, proses digitalisasi tidak diperlukan lagi karena dokumennya sudah tersedia dalam format elektronik berformat doc, pdf, xml ataupun yang lainnya, bahkan saat ini tengah dikembangkan pula standar dokumen yang bersifat open source yang dikenal dengan Open Document Format (ODF) di bawah pengawasan Organization for the Advancement of Structured Information Standards (OASIS).

2.2.2 Sumber Informasi Eksternal

Pengadaan koleksi dari luar perpustakaan dilakukan dalam bentuk kerjasama, berlangganan ataupun melalui pembelian. Banyak vendor sebagai penyedia koleksi digital menyebarluaskan koleksi digital baik secara free melalui internet ataupun berbayar dengan cara berlangganan. Berlangganan e-journal misalnya dapat dilakukan pada ProQuest, EBSCO, dan lain-lain, sedangkan koleksi e-book dapat diperoleh melalui penerbit dan vendor penyedia e-book seperti Online Computer Library Center (OCLC).

Untuk perolehan koleksi dari luar institusi diperlukan perencanaan dan perumusan mekanisme kerja. Karena menyangkut penggunaan karya orang lain, maka harus juga memperhatikan aspek copyright.

(6)

Penerapan UU Hak Karya Intelektual masih merupakan kendala dalam pengadaan koleksi perpustakaan digital. Menyiasati mahalnya biaya pembelian dan berlangganan koleksi digital sangat mudah dilakukan dengan copy dan paste tanpa mengurangi kualitas objek aslinya. Namun dengan mekanisme seperti ini tampaknya bukan merupakan solusi untuk penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan penegakan UU Hak Cipta. Untuk mendukung segala peraturan menyangkut hak kekayaan intelektual pengelola perpustakaan digital dapat melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada sumber penyedia objek digital menyangkut hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh perpustakaan digital.

2.3 Metadata

Dalam perpustakaan digital terdapat jutaan data berbentuk maya yang berada di tempat berbeda serta cara penyimpanan yang berbeda pula. Untuk memudahkan pemanfaatan data yang ada secara bersama diperlukan suatu standar mekanisme penelusuran dalam bentuk metadata.

Metadata bukan merupakan konsep baru di dunia perpustakaan. Perpustakaan sudah lama menciptakan metadata dalam bentuk pengkatalogan koleksi. Metadata dapat dikatakan sebagai “data tentang data” atau “informasi tentang informasi”. Namun secara umum dapat didefinisikan bahwa metadata adalah bentuk pengidentifikasian, penjelasan suatu data, atau diartikan sebagai struktur dari sebuah data. Misalnya, metadata dari katalog buku terdiri dari judul, pengarang, penerbit, subyek dan sebagainya.

Menurut Martha Anderson, Senior Digital Conversion Specialist pada National Digital Library Program, Library of Congress, bahwa proses migrasi data dari format cetak ke dalam format digital cukup sulit dan tidak terjadi dengan seketika. Padahal, kumpulan data yang telah diformat sedemikian rupa dan elemen-elemen metadata sangat esensial bagi sebuah perpustakaan untuk menukar item-item digital dan metadata dalam gugusan item-item tersebut (Hermawan 2000).

Metadata adalah kumpulan data terstruktur yang terdiri dari sejumlah cantuman (record). Setiap cantuman terdiri dari sejumlah ruas (field), sedangkan ruas dapat terdiri dari sub-ruas yang mengandung nilai-nilai dari data berupa teks berbentuk abjad (alphabetic), angka (numeric), gabungan alphabetic dan numeric (alphanumeric), maupun pola (pattern). Setiap ruas diberi kode tertentu berupa teks, huruf, ataupun angka. Format metadata sangat diperlukan untuk standarisasi pengisian data sehingga

(7)

memudahkan pertukaran data antar perpustakaan. Karena itu beberapa prinsip diperlukan dalam pembuatan nama metadata perpustakaan antara lain:

1 Nama metadata harus sesuai dengan isi (mnemonic)

2 Nama metadata dibuat sesingkat mungkin menggunakan huruf, namun mudah diingat.

3 Untuk aplikasi tertentu, jumlah karakternya dibatasi.

Ada beberapa format metadata yang dikenal dalam perpustakaan. Standar metadata untuk perpustakaan yang pada awalnya telah dikembangkan adalah IndoMARC. Namun, dalam perkembangannya metadata yang digunakan dalam perpustakaan digital adalah the Dublin Core Metadata. Kesepakatan ini disetujui dalam suatu pertemuan International di Dublin, Ohio USA. Penyusunan standar metadata Dublin Core dipengaruhi oleh rasa ketidakpuasan atas pengguna standar MARC yang terlalu banyak memiliki elemen, beberapa diantaranya hanya difahami oleh Pustakawan sehingga kurang tepat digunakan untuk sumber informasi dalam web. Beberapa kekhususan dari Dublin Core adalah sebagai berikut:

a Memiliki deskripsi yang sangat sederhana.

b Semantik atau arti kata yang mudah dikenali secara umum. c Expandable memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Dublin Core memiliki 15 elemen yang terdiri dari:

1 Title: judul dari sumber informasi. 2 Creator: pencipta sumber informasi.

3 Subject: pokok bahasan sumber informasi, biasanya dinyatakan dalam bentuk kata kunci atau nomor klasifikasi.

4 Description: keterangan suatu isi dari sumber informasi, misalnya berupa abstrak, daftar isi atau uraian.

5 Publisher: orang atau badan yang mempublikasikan sumber informasi. 6 Contributor: orang atau badan yang ikut menciptakan sumber informasi. 7 Date: tanggal penciptaan sumber informasi.

(8)

9 Format: bentuk fisik sumber informasi, format, ukuran, durasi, sumber informasi.

10 Identifier: nomor atau serangkaian angka dan huruf yang mengidentifikasikan sumber informasi. Contoh URL, alamat situs.

11 Source: rujukan ke sumber asal suatu sumber informasi.

12 Language: bahasa yang intelektual yang digunakan sumber informasi.

13 Relation: hubungan antara satu sumber informasi dengan sumber informasi lainnya.

14 Coverage: cakupan isi ditinjau dari segi geografis atau periode waktu. 15 Rights: pemilik hak cipta sumber informasi.

Unsur-unsur di atas masih dapat dikembangkan lebih detail lagi sesuai kebutuhan sehingga informasi yang disajikan dapat benar-benar qualified. Untuk menunjukkan jenis informasi yang tersimpan di dalamnya semua elemen tersebut dikelompokkan dalam 3 bagian yaitu:

1 Elemen yang secara umum berhubungan dengan isi (content) dari sumber informasi.

2 Elemen yang berhubungan dengan sumber hak intelektual. 3 Elemen yang berhubungan dengan kolasi dari sumber informasi. Ketiga jenis elemen tersebut digambarkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis Elemen Dublin Core (Lazinger 2001). Content Intellectual

Property Instantiation

Title Creator Date

Subject Publisher Type

Description Contributor Format

Source Rights Identifier

Language Relation Coverage

(9)

2.4 Perpustakaan Digital

Perpustakaan digital merupakan gabungan dua kata yang memiliki pengertian berbeda dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka (Indonesia 2007). Sedangkan digital merupakan hasil teknologi yang mengubah sinyal listrik on dan off menjadi kombinasi bilangan berurut 0 dan 1 untuk proses informasi yang mudah, cepat dan akurat. Pustakawan dan pemerhati perpustakaan memanfaatkan segala keistimewaan digital untuk tujuan kemudahan proses dan layanan di perpustakaan. Beberapa keistimewaan digital yang bermanfaat bagi perpustakaan antra lain adalah:

1 Sinyal digital mampu mengirimkan informasi dengan kecepatan tinggi.

2 Penggunaan informasi yang berulang-ulang tidak mempengaruhi kualitas dan kuantitasnya.

3 Kemampuan memproses informasi dalam jumlah besar.

Gabungan kata “perpustakaan” dan “digital” menjadi “perpustakaan digital” memiliki pengertian bahwa perpustakaan digital adalah suatu bentuk perpustakaan yang menyimpan dan mengelola data seperti buku, gambar, maupun suara dalam bentuk file elektronik dan dapat didistribusikan melalui jaringan komputer (internet). Karena itu perpustakaan digital memiliki bahan pustaka baik naskah (text) maupun bukan naskah (non text) tersedia dalam format digital di dalam suatu server, sehingga dapat dibaca hanya dengan menggunakan komputer, ataupun ditelusuri melalui internet oleh siapa saja tanpa batas ruang dan waktu.

Namun demikian beberapa perpustakaan mencoba memadukan layanan dokumen tercetak (printed document) dan dokumen digital (digital document) dengan mengalihmediakan sebagian koleksi berupa koleksi lokal (local content) yang dimiliki ke dalam bentuk data digital. Selain menyediakan informasi digital, perpustakaan juga menyediakan dokumen tercetak, sehingga user dapat memilih jenis dan format koleksi yang tersedia. Jenis perpustakaan seperti ini dikenal dengan perpustakaan hibrida.

Perpustakaan digital merupakan perpustakaan modern yang memiliki keunggulan pada setiap aktivitas operasionalnya dibanding perpustakaan tradisional dan perpustakaan hibrida. Salah satu di antaranya terlihat jelas dari sudut penyediaan dan pengelolaan informasi yang sepenuhnya dalam bentuk digital. Alih media printed

(10)

material ke digital material akan menyelamatkan semua isi (contents) informasi yang sangat rentan terhadap berbagai resiko kerusakan karena faktor usia, akibat perang, bencana alam, serangan serangga seperti kutu buku (silver fish), kesalahan pengelolaan dan penyimpanan, kelembaban udara, debu dan lain-lain, sebagaimana yang terjadi pada dokumen tercetak. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, penampilan isi dari sumber informasi yang sangat luas dan kompleks pada perpustakaan digital, dapat didiversifikasi ke bentuk yang lebih menarik dan interaktif.

2.4.1 Konsep dan Pengertian Perpustakaan Digital

Gagasan sebagai dasar konsep perpustakaan digital muncul pertama kali dari Vannevar Bush pada bulan Juli tahun 1945. Bush mengeluhkan penyimpanan informasi secara manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman/dokumentasi, dan komunikasi) secara mekanis. Hingga dekade 1950-an dan 1960-an akses luas terhadap koleksi perpustakaan terus diupayakan oleh peneliti dan Pustakawan, walau teknologi yang ada belum cukup mendukung.

Berkembangnya teknologi Informasi dan Komunikasi dekade 1970-an membuka peluang yang luas untuk pengembangan perpustakaan digital. Pada tahun 1971 Michael Hart, pemuda AS, melontarkan mimpinya melalui Project Gutenberg untuk menyediakan karya-karya Shakespeare bagi umat manusia di dunia yang dapat diakses melalui internet. Karya-karya sastra yang diinput ke dalam komputer, sebagai cara untuk membuat karya-karya itu selalu tersedia sebagai bahan penelitian sastra. Para sukarelawan dalam proyek itu telah memasukkan ribuan teks dengan tujuan untuk memiliki public domain teks dalam bentuk format digital ASCII yang tersedia secara online. Tujuan ini telah tercapai pada Desember 2003 (Lesk 2005).

Banyak ahli dan tokoh perpustakaan yang mengemukakan definisi perpustakaan digital. Namun penting dikemukakan di sini adalah berdasarkan International Conference of Digital Library 2004, bahwa konsep perpustakaan digital adalah sebagai perpustakaan elektronik yang informasinya didapat, disimpan, dan diperoleh kembali melalui format digital.

Perpustakaan digital merupakan kelompok workstations yang saling berkaitan dan terhubung dengan jaringan (networks) berkecepatan tinggi. Pustakawan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memperoleh, menyimpan, memformat, menelusur,

(11)

melakukan temu kembali, dan mereproduksi informasi tidak hanya dalam bentuk teks tapi juga nonteks.

Limb (2004) mengatakan bahwa tidak ada formula/rumus umum yang menjamin suksesnya suatu perpustakaan digital. Masing-masing proyek perpustakaan digital memiliki parameter tersendiri. Dalam menerapkan strategi dan tujuan, perpustakaan memiliki sumber pendanaan yang terbatas tetapi memiliki kemampuan dan pengalaman digital yang substansial dan terus berkembang, sehingga perpustakaan menuntut pentingnya digitalisasi. Selanjutnya Limb berpendapat bahwa perpustakaan memiliki 2 tanggungjawab utama dalam zaman digital:

1 Menjalankan fungsi sehari-harinya untuk memuaskan user dengan menye-diakan informasi yang cepat dan tepat.

2 Mengaplikasikan dan memonitor teknologi yang relevan yang dapat membantu menginformasikan tugas-tugas perpustakaan.

Untuk melakukan hal tersebut di atas, perpustakaan melibatkan diri dalam digitalisasi selain meningkatkan reputasinya melalui berbagai aktivitas seperti kegiatan di bidang pendidikan, penyuluhan, organisasi hingga kemasyarakatan serta kemampuan dalam memahami sumber-sumber informasi untuk perpustakaan. Hal ini penting karena Perpustakaan tidak hanya mengumpulkan informasi tetapi juga menghasilkan informasi dengan bentuk yang baru.

Jan Olsen (Kepala Perpustakaan Albert R. Mann Cornell University) mengatakan bahwa mahasiswa duduk di rumah dan mengakses informasi elektronik melalui suatu gateway yang menyediakan entry point ke sumber digital yang dapat dicari dimana saja di seluruh dunia, tapi disajikan sebagai koleksi kohesif pada desktop. Federasi perpustakaan digital (Digital Library Federation) berpendapat bahwa perpustakaan digital adalah organisasi yang menyediakan sumber termasuk staf spesialis untuk menyeleksi, menyusun, menyediakan akses intelektual untuk menginterpretasi, mendistribusikan, memelihara integritas, dan menjamin kelangsungan koleksi karya digital sehingga selalu siap dan secara ekonomi tersedia untuk digunakan oleh suatu komunitas. Selain itu, Greenstein mengatakan bahwa pelayanan perpustakaan digital bukan hanya akses dan penggunaan informasi tapi juga mendukung serangkaian administratif, bisnis dan fungsi kuratorial yang diperlukan perpustakaan untuk mengelola, menjalankan, memonitor kerjasama dan menjamin penggunaan koleksi secara fair apakah dalam format digital atau non digital (Barnes 2004).

(12)

Sharon and Frank dalam Barnes (2004) menggolongkan perpustakaan digital dalam 3 kategori :

1 Stand Alone Digital Library (SDL), adalah perpustakaan tradisional yang sudah fully computerized, mengelola koleksi dengan memindai atau mengkonversi ke koleksi digital, dimana koleksinya bersifat lokal dan terpusat, contoh Library of Congress. 2 Federatif Digital Library (FDL), federasi beberapa perpustakaan SDL dalam satu

jaringan, yang dikelola dengan kesamaan minat user dimana memiliki metadata yang heterogen misalnya Networked Digital Library of Theses and Dissertation dan The National Engineering Education Delivery System.

3 Harvested Digital Library (HDL) adalah perpustakaan maya yang menyediakan akses ringkas ke sumber informasi yang tersebar di seluruh jaringan. Dengan hanya mengelola metadata dan melakukan klik, HDL dapat mengakses ke seluruh jaringan. Koleksi yang dimiliki oleh berbagai sumber perpustakaan, dikonversi menjadi ringkasan sesuai definisi spesialis informasi (information specialits) sehingga berbentuk ringkasan (summary). HDL digital memiliki sifat seperti perpustakaan biasa, namun memiliki kekayaan jasa dan kontrol yang berkualitas tinggi yang dilakukan informasi spesialis yang juga bertanggung jawab terhadap pembuatan anotasi koleksi. Contohnya The Internet Public Library dan www.virtual.library.

Witten (2003) menggambarkan perpustakaan digital sebagai: A focused collection of digital objects, including texts, video, and audio, along with methods for access and retrieval, and selection, organization, and maintenance of the collection . Pengertian tersebut menggambarkan 3 kriteria perpustakaan digital, yaitu:

Sesuatu yang terfokus pada obyek digital, termasuk teks, video, dan audio.

• Disertai metode untuk akses dan temu kembali.

• Alat untuk pemilihan, organisasi dan perawatan koleksi.

Lesk (2005) mengemukakan pandangannya bahwa perpustakaan digital adalah a collection of information that is both digitized and organized . Bahwa perpustakaan digital berfokus pada koleksi informasi yang terdigitalkan dan terorganisir, memberikan kemampuan luar biasa yang tidak pernah kita dapatkan dengan perpustakaan tradisional.

Sebagai konsekuensi adanya percepatan evolusi pada ICT, maka perpustakaan tradisional memerlukan kreasi baru untuk penyebaran dan akses sumber informasi dalam bentuk digital melalui jaringan komputer. Hal ini merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh Pustakawan dewasa ini, dimana perpustakaan digital harus dikelola

(13)

berdasarkan sistem berbasis jaringan komputer untuk pengadaan, penyimpanan, pengolahan, pencarian kembali, serta penyebarannya dalam format digital kepada pencari informasi.

Perpustakaan digital mengandung pengertian yang sama dengan electronic library dan virtual library. Perpustakaan digital yaitu suatu bentuk perpustakaan yang menyimpan data baik dalam bentuk tulisan (buku), gambar, maupun suara, dalam bentuk file elektronik yang juga didistribusikan secara elektronik melalui jaringan komputer (internet). Karena itu perpustakaan digital dapat didefinisikan sebagai perpustakaan yang semua bahan kepustakaannya, baik naskah (teks), maupun ilustrasi lain disediakan dalam format digital yang tersimpan di dalam suatu server, sehingga dapat dibaca oleh siapa saja tanpa batas-batas ras, golongan, ruang dan waktu melalui internet, menggunakan komputer. Berdasarkan beberapa definisi di atas terdapat ciri perpustakaan digital sebagai berikut:

1 Perpustakaan digital mencakup koleksi-koleksi yang diciptakan ataupun diproduksi, dikelola, dipreservasi, dapat diakses dari lokasi yang tersebar, namun seakan-akan merupakan satu entitas (entity) tunggal.

2 Teknologi informasi dan komunikasi sangat diperlukan untuk menghubungkan sumber-sumber tersebar.

3 Perpustakaan digital transparan bagi semua pemakai (end-user). 4 User perpustakaan digital bersifat universal .

5 Akses informasi dapat dilakukan secara langsung ke sumber digital itu sendiri, bukan hanya melalui wakil dokumen (document surrogates).

Perpustakaan digital tidak semata-mata hanya penggunaan perangkat komputer di perpustakaan, melainkan upaya untuk menjawab kebutuhan terhadap informasi sehingga melibatkan beberapa aspek seperti: manajemen data/dokumen, information retrieval, sistem informasi, penggunaan web, preservasi, interaksi manusia dan komputer serta hal-hal lain yang mengarah pada kemudahan pengelolaan dan penggunaan informasi. Karena sifatnya yang multidisipliner, perpustakaan digital dipahami oleh masing-masing orang dari sudut pandang yang berbeda. Sesungguhnya titik akhir dari semua proses digital adalah bahwa setiap user menginginkan ”a One-stop window search .

(14)

2.4.2 Paradigma Perpustakaan Digital Indonesia

Perpustakaan sebagai salah satu basis yang dapat menyangga peradaban di tanah air masih banyak terlupakan. Hal ini berdampak pada sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang jauh tertinggal dari bangsa lain yang sejak lama memandang bahwa perpustakaan merupakan salah satu aset kultural. Masyarakat berpengetahuan (knowledge society) merupakan salah satu pondasi dasar bagi perkembangan suatu bangsa dan negara. Untuk pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan antar bangsa perpustakaan digital dapat menjadi salah satu instrumen menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge society), dimana perpustakaan digital merupakan komponen penting untuk menyimpan explicit knowledge berupa buku, proseding, paper, bahan presentasi, notulen, catatan harian, dan berbagai jenis informasi lainnnya.

Sebagaimana hambatan pengembangan minat baca pada banyak negara miskin dan berkembang, maka kesenjangan digital (digital divide) karena faktor kemiskinan dan keterbelakangan juga menjadi hambatan pengembangan perpustakaan digital di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia. Karena itu pengembangan perpustakaan digital di Indonesia secara umum masih dalam upaya pembentukan peta dan konsep jaringan perpustakaan digital (digital library networks).

Konsep perpustakaan digital sudah mulai mendapat perhatian pemerintah dengan adanya Keputusan Menristek nomor 44/M/Kp/VII/2000 tentang Penyampaian Literatur Kelabu yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Konsep yang digagas saat kepemimpinan Prof. Dr. Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai Menristek ini, sekaligus untuk mempersiapkan program perpustakaan digital (digital library program) yang merupakan kerjasama antara Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Ss/tri 2000). 2.4.3 Objek Perpustakaan Digital

Koleksi merupakan faktor utama bagi berlangsungnya perpustakaan konvensional. Anglo American Cataloging Rules (AACR) yang menetapkan aturan katalogisasi membagi koleksi perpustakaan dalam kategori bahan buku (book material) dan bahan bukan buku (nonbook material). Bahan buku terdiri dari monograf, terbitan berseri, kartografi dan lain-lain, baik dalam bentuk terjilid maupun lepas, sedangkan bahan bukan buku terdiri dari bahan-bahan tidak tercetak seperti kartografi, manuskrip, rekaman audio, gambar bergerak, video, file komputer, artefak, realia serta bentuk

(15)

mikro. Berbeda dengan perpustakan konvensional, koleksi pada perpustakaan digital lebih umum dikenal dengan objek digital

Objek digital mencakup semua isi dari koleksi perpustakaan konvensional sebagaimana disebutkan di atas, namun tersimpan dalam format digital berupa file teks, image, audio, video, dan lain-lain. Objek digital adalah data yang terstruktur dimana komponen-komponen utamanya merupakan materi digital disertai dengan identitas unik untuk setiap materinya. Semua objek digital tersebut tersimpan dengan format yang dapat dikenali komputer, sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Objek Digital pada Perpustakaan Digital.

NO. JENIS FILE FORMAT FILE

1 Animasi *.ANI; *.FLI; *.SWF 2 Database *.DBF; *.MDB 3

Gambar (Image)

*.BMP; *.CDR; *.DXF; *.EPS; *.GIF; *.HPG; *.JPG; *.JPEG; *.PCX; *.PNG; *.TGA; *.TIF; *.WMF; *.WPG 4 Presentasi *.PPT; *.PPS

5 Program *.COM; *.EXE 6 Suara (Audio)

*.AIF; *.AU; *.MID; *.MP3; *.SND; *.WAV; *.WMA; *.WMV

7

Tabel

(Spreedsheets) *.XLS

8 Teks *.DOC; *.PDF; *.RTF; *.TXT; *.ODF 9 Video *.AVI; *.MOV; *.MPG

10 Web *.HTM; *.HTML

Dari semua jenis objek digital pada Tabel 2, yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini adalah jenis file teks yang merupakan format konversi dari kebanyakan koleksi tercetak berupa buku, jurnal, prosiding, dan lain-lain. Pada koleksi digital, kumpulan koleksi tersebut dapat berupa e-book dan e-journal baik yang diolah sendiri atau yang berasal dari vendor, serta local content. Objek digital tersebut diklasifikasikan menjadi :

a E-book adalah kumpulan buku wajib, buku anjuran, buku penunjang laboratorium, buku yang peminjaman banyak (higher priority) dan e-book yang diperoleh dengan di Internet. E-book, yaitu buku berformat digital yang dapat diperoleh melalui internet baik dengan cara berbayar (for fee) maupun dengan cuma-cuma (for free). Perpustakaan yang ingin memperoleh e-book

(16)

secara cuma-cuma, dapat dilakukan melalui penelusuran di internet dengan mengetikkan kata e-book pada mesin pencari (search engine) seperti google, yahoo dan lain-lain.

b E-journal adalah kumpulan artikel free-journal hasil download ataupun yang diperoleh melalui langganan, misalnya ProQuest, EBSCO, dan lain-lain. Pengadaan koleksi digital dengan berlangganan memerlukan biaya yang tinggi. c Local content, yaitu koleksi lokal sebagai kekhasan dan menjadi koleksi unggulan yang dibangun untuk kebutuhan dan pengembangan yang bersifat lokal yang terdiri dari:

Literatur kelabu (grey literature) yaitu literatur atau dokumen yang diterbitkan dalam jumlah terbatas untuk penggunaan kalangan internal suatu institusi sehingga sangat sulit bahkan tidak dapat ditemukan di pusat-pusat sumber informasi lain, termasuk toko buku. Sebagian kecil dari literatur kelabu dapat diperoleh pembaca umum melalui jurnal. Yang termasuk dalam literatur kelabu antara lain Laporan Penelitian, Orasi Guru Besar, dan lain-lain.

• Informasi berupa peraturan dan kegiatan operasional perpustakaan. d Akses ke sumber eksternal

Mengakses informasi melalui sumber lain dapat dilakukan dengan membuka link ke server yang disediakan oleh institusi lain seperti penerbit atau perpustakaan digital. Mengakses sumber informasi dari perpustakaan digital lain secara ekonomis cenderung lebih murah, tetapi mungkin dapat mengakibatkan ketergantungan kepada penyedia informasi tersebut dan kurangnya produktivitas perpustakaan untuk menghasilkan informasi sendiri. Akses yang mudah untuk memanfaatkan sumber lain dapat dilakukan dengan bergabung dalam suatu jaringan lokal, regional, nasional ataupun internasional 2.5 Free Open Source Software (FOSS)

Free Open Source Software (FOSS) adalah software yang didistribusikan secara bebas dengan menyertakan kode program (source code). Penggunaan Open Source di Indonesia mendapat perhatian dari pemerintah dengan dideklarasikannya penggunaan dan pengembangan Open Source Software (OSS) secara bersama oleh 5 departemen pada 30 Juni 2004. Kelima departemen itu adalah:

(17)

1 Kementerian Riset dan Teknologi.

2 Kementerian Komunikasi dan Informatika.

3 Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 4 Kementerian Hukum dan HAM.

5 Kementerian Pendidikan Nasional.

Pada umumnya FOSS didistribusikan berdasarkan lisensi GNU GPL (General Public License) dengan menerapkan konsep “copyleft” dalam semangat pengembangan software secara bersama, yang dapat digunakan dan dikembangkan kapan dan dimana saja. Setelah dikembangkan, FOSS bahkan dapat didistribusikan kembali dengan syarat bersedia untuk mempertahankan lisensi GPL-nya dan menyertakan seluruh source code-nya.

Menurut Mustafa (2008) kata free dalam FOSS lebih mengacu pada pengertian “kebebasan” dalam penggunaan dan pengembangannya dari pada pengertian “gratis” atau “cuma-cuma”, walau pada kenyataannya bahwa pengembang FOSS secara umum membuka source code-nya untuk dieksploitasi secara bebas dan cuma-cuma (free). Selanjutnya Mustafa mengutip pendapat Richard Stallman dalam Rhyno (2004) yang mengemukakan bahwa dalam aplikasi open source terdapat empat kebebasan (freedom) yaitu:

1 Kebebasan menjalankan program untuk segala tujuan.

2 Kebebasan mempelajari sistem kerja program untuk disuaikan dengan kebutuhan.

3 Kebebasan menyebarkan program asli untuk dipergunakan pengguna lain. 4 Kebebasan menyebarkan program yang telah dikembangkan untuk

kepentingan pengguna yang lebih luas.

Dalam berbagai kemudahan penggunaan FOSS ditemukan pula beberapa kendala dalam pengembangan dan penggunaannya sebagai berikut:

1 Banyaknya orang yang terlibat dalam pembuatan proyek software tidak menjamin handalnya sebuah software, karena adanya perbedaan pandangan yang satu dengan yang lain.

2 Masalah dapat muncul karena orang yang tidak memahami software yang digunakan mengemukakan opini, untuk memperdebatkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan program yang dikembangkan.

(18)

3 Adanya berbagai konflik di antara para pengembang software, sehingga software tidak dapat dikembangkan lebih lanjut.

4 Pengembangan software yang dilakukan hanya karena menarik minat pengembang, dapat membuat software yang terlihat interaktif dan menyenangkan, namun menjadi terhenti bila pengembang kehilangan minat dan tidak ada yang meneruskan.

5 Dengan tersedianya source code untuk setiap aplikasi, maka seseorang dapat memodifikasi sebagian source code asli dan mengeluarkan software yang sama dengan versi baru disertai klaim sebagai hasil karya sendiri.

6 Ketergantungan hanya pada satu orang pengembang open source, dapat menjadi tertunda bahkan terhenti.

Berikut beberapa FOSS beserta alamatnya yang telah digunakan beberapa perpustakaan dan dapat diunduh melalui internet:

1

OpenBiblio: http://obiblio.sourceforge.net/

2

PhpMyLibrary: http://www.phpmylibrary.org/

3

Senayan: http://senayan.diknas.go.id/web/

4

OtomiGen: http://kmrg.itb.ac.id/otomigenx/

5

DSpace: http://www.dspace.org/

6

GreenStone: http://www.greenstone.org/

7

Igloo - ISIS Base: http://www.igloo.org/library/

Penggunaan open source dapat memberi keuntungan bagi perpustakaan karena beberapa faktor, antara lain:

1 Memiliki reliabilitas yang tinggi, karena mendapat review dari masyarakat luas. Hal ini akan menguntungkan bagi pihak perpustakaan karena dapat memperoleh program-program handal.

2 Dengan ketersediaan source code maka segala kesalahan yang terdapat dalam program dapat lebih mudah dianalisa dan segera diperbaiki tanpa perlu menunggu waktu untuk mendatangkan programmer. Kesalahan yang tidak dapat diperbaiki dapat dijelaskan secara detail kepada pihak pengembang software. Dalam hal ini Perpustakaan sebagai pengguna tidak memiliki ketergantungan terhadap suatu vendor (vendor independence).

(19)

3 Pustakawan akan merasa lebih nyaman karena menggunakan software yang juga digunakan oleh perpustakaan lain, sehingga pustakawan dapat berbagi pengalaman dalam penggunaan software yang sama.

4 Biaya operasional menjadi lebih rendah, karena dapat dilakukan sendiri.

5 Mudah dan praktis karena umumnya dapat diakses dari segala tempat dan waktu. 6 Memiliki akses informasi yang lebih cepat dan murah.

7 Biaya rendah atas kebutuhan penyediaan software dan penyebaran informasi.

8 Dapat dikembangkan sendiri oleh user tanpa perlu meminta izin dengan segala proses administrasi dan birokrasi dari pembuat software.

2.6 Ganesha Digital Library (GDL)

Ganesha Digital Library (GDL) adalah software open source berbasis web untuk mengelola dan mendistribusikan sumber informasi digital. GDL dikembangkan sejak tahun 2000 oleh Knowledge Management Research Group (KMRG) ITB dengan dukungan dana dari International Development Research (IDRC) Kanada. Pengembangan terakhir GDL adalah versi 4.2 yang didanai oleh Proyek Indonesian Higher Education Network Dinas Pendidikan Tinggi (INHERENT DIKTI). GDL 4.2 dengan seluruh source code-nya dapat di-download melalui situs web http://kmrg.itb.ac.id, ataupun pada situs lainnya menggunakan search engine dengan mengetikkan download “GDL 4.2”. Semua Source code tersimpan dalam file dan folder sebagaimana daftar Lampiran 1. Contoh GDL 4.2 yang digunakan pada Perpustakaan Pusat ITB terlihat pada Gambar 4.

(20)

Walau terkesan kurang intuitif dibanding versi 4.0 sebelumnya, GDL versi 4.2 ini lebih menonjol, lebih fleksibel, lebih coding style, serta memiliki kelebihan lainnya dibanding dengan versi-versi sebelumnya. Perangkat lunak GDL dapat diinstal pada platform Windows atau Unix/Linux. GDL memerlukan web server apache, server database MySQL dan bahasa script PHP.

GDL 4.2 merupakan program open source dengan lisensi GPL. Dengan lisensi GPL semua pengguna dapat memanfaatkan dan mengembangkan source code program GDL. Oleh karena itu program yang dikembangkan dengan dukungan dana dari program INHERENT DIKTI ini diharapkan dapat dipergunakan oleh masyarakat umum. Pengembangan GDL 4.2 dilakukan dengan penambahan beberapa fitur, dan dilakukan dengan metode pembangunan perangkat lunak yang standar agar memudahkan pengembangan program ini selanjutnya.

Standar metadata pada GDL mengadopsi Dublin Core Metadata. Untuk communication protocol menggunakan OAI (Open Archive Initiative) protocol. Kedua standar tersebut diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan untuk GDL.

GDL memiliki berbagai tipe content. Setiap tipe memiliki jumlah content yang selalu berkembang sesuai dengan aktivitas anggota untuk men-share koleksi terbaru mereka ke dalam hub server. Beberapa type content untuk standar Perguruan Tinggi yang disediakan GDL tidak terdapat di Perpustakaan THC. Tipe content yang meliputi skripsi, tesis, disertasi, bahan e-learning, bahan kuliah dan bahan ujian, ditiadakan dalam tipe content Perpustakaan Digital THC. Tipe content Perpustakan Digital THC disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Type Content Perpustakaan Digital THC

No Tipe No Tipe

1 Katalog Buku 7 Publikasi

2 Literatur Kelabu 8 Internet Directory 3 Laporan Penelitian 9 Kliping

4 Jurnal 10 Expertise Directory

5 Prosiding 11 Software

6 Audio Visual

(21)

mendaftar pada server perpustakaan digital mana saja dan menggunakan account yang sama untuk login pada GDL mana saja yang terkoneksi dengan GDL-Hub.

GDL 4.2 dikembangkan dengan memperhatikan 14 faktor-faktor sebagai berikut (http://www.aulia-ra.org/2007/01/24/ganesha-digital-library-42/):

1 Correctness

Dibangun dengan mengacu pada user requirement, sehingga pengembang dapat yakin bahwa software yang dibangun benar-benar dapat memenuhi kebutuhan user.

2 Reliability

Software lebih dahulu melalui tahap pengujian yang didokumentasikan dengan baik sebelum diluncurkan, sehingga pengembang yakin bahwa software reliable.

3 Efficiency

Pengembang mengoptimalkan kode yang ada menggunakan metode object oriented. Untuk mendukung efisiensi digunakan program open source lain seperti program search engine swish-e yang terbukti efisien sebagai sub-sistem. 4 Integrity

Memiliki fitur manajemen user yang baik sehingga user dapat diklasifikasikan sesuai kebutuhan untuk menghindari akses oleh pihak yang tidak berhak.

5 Usability

Pengembang memperhatikan interaksi pengguna sehingga user baru dapat mempelajari dengan cepat cara penggunaan program ini. User juga dengan mudah dapat menginterpretasi GDL 4.2 karena pengembang menyertakan user guide pada saat instalasi sistem.

6 Maintainability

Tersedianya berbagai fitur seperti pencatatan aktivitas (log), fitur manajemen user, manajemen server dan lain-lain sehingga memudahkan Administrator merawat sistem.

7 Flexibility

Sistem dapat mendukung tiga sistem operasi yang biasa digunakan sebagai server yaitu Windows, Linux, dan FreeBSD. Selain itu modifikasi program mudah dilakukan dengan adanya modularity.

(22)

8 Testability

Sebelum diluncurkan, sistem lebih dahulu melalui tahap pengujian yang dilakukan oleh tim khusus dengan pedoman dokumen pengujian yang dibuat oleh tim analis.

9 Portability

Source Code dibundel dalam satu file installer sehingga mudah dipindahkan dari satu mesin ke mesin yang lain. Sistem juga menyediakan fitur migrasi dari GDL 4.0, sehingga user GDL 4.0 tidak perlu meng-upgrade-nya ke versi 4.2.

10 Reusability

Software yang dikembangkan dapat dengan mudah di re-use menggunakan metode object oriented.

11 Interoperability

GDL 4.2 pada suatu server dapat berkomunikasi dan bertukar data dengan GDL 4.2 pada server lain dengan mudah. Beberapa GDL 4.2 dapat pula membentuk suatu jaringan perpustakaan digital untuk saling bertukar data. User yang terdaftar pada salah satu server GDL juga dapat login pada GDL lain dengan melalukan beberapa setting khusus.

12 Modularity

Modifikasi yang dilakukan pada satu modul tidak akan mempengaruhi seluruh sistem, sehingga hal ini akan memudahkan pengembang selanjutnya untuk melakukan modifikasi program dan hal ini akan sangat berguna dalan reusability.

13 Documentation

Pengembangan software didokumentasikan dengan baik sehingga diharapkan agar pengembang berikutnya mudah dalam melanjutkan pengembangannya 14 Traceability

Dengan dokumentasi yang baik maka user dan pengembang dapat mempelajari program GDL dengan mudah tanpa harus membongkar seluruh program.

Untuk berjalannya GDL dengan baik harus memperhatikan konfigurasi. Konfigurasi GDL terdiri dari konfigurasi server dan konfigurasi sistem yang dapat dilihat melalui Menu Configuration pada tampilan menu awal. Server node dapat mengkonfigurasi Publisher ID melalui Server Configuration dengan mengisi form yang telah disediakan, seperti yang disajikan pada Gambar 5. Konfigurasi sistem berfungsi

(23)

untuk mengatur tampilan GDL 4.2. Konfigurasi dilakukan dengan cara mengubah nilai text box, radio button dan combo box dengan nilai dan parameter yang sesuai.

(24)

2.7 Perpustakaan The Habibie Center (THC)

Perpustakaan THC berfungsi sebagai unit pendukung pada lembaga induknya Yayasan THC untuk melakukan penyediaan dan diseminasi informasi. Informasi Perpustakan THC dapat diakses pada alamat http://perpus.habibiecenter.or.id sebagaimana disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Halaman Depan Web Perpustakaan THC

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, perpustakaan mengupayakan kelengkapan koleksi semaksimal mungkin serta mempublikasikan segala kegiatan Yayasan THC. Pada saat ini perpustakaan menyediakan literatur tercetak dalam bidang demokrasi dan Hak Azasi Manusia (HAM) secara terbatas, serta literatur pendukung lainnya seperti media massa, maritim, informasi beasiswa, dan lain-lain. Beberapa diantara koleksi tersebut merupakan terbitan Yayasan THC yang terdiri dari:

• Buku 31 Judul.

• Jurnal HAM dan Demokrasi, terbit bulanan sejak tahun 2000. • Jurnal Media Watch, terbit bulanan sejak tahun 2000.

• News Letter terbit bulanan sejak tahun 2000.

Laporan Tahunan (Annual Report), terbit tahunan sejak tahun 2000. • Makalah-Makalah Laporan Penelitian.

Audio Visual, dari rangkaian kegiatan THC.

User yang datang ke perpustakaan dapat mengakses semua koleksi secara langsung dengan memanfaatkan layanan terbuka (opened access) dan layanan desk

(25)

information dengan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi yang tersedia, ataupun memanfaatkan fasilitas intranet. Selain melalui web, user juga dapat memperoleh informasi melalui surat elektronik (e-mail) pada admin.perpus.habibiecenter.or.id.

Koleksi sebagaimana diuraikan di atas, dirasakan kurang memenuhi kebutuhan sesuai dengan visi dan misi institusi. Hal ini diketahui dengan banyaknya koleksi pelengkap di luar demokrasi dan HAM seperti Agama, Ekonomi, Maritim, Budaya, Komunikasi dan lain-lain. Oleh karena itu untuk orientasi ke depan, perpustakaan memiliki target jumlah tertentu untuk masing-masing jenis koleksi utama dan koleksi pelengkap. Sebagai perbandingan, keadaan koleksi berdasarkan data pada web perpustakaan yang di-update pada tahun 2007 dan komposisi kebutuhan koleksi digambarkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan Komposisi Koleksi tahun 2008 dan Orientasi ke Depan. PERSENTASE KOLEKSI JENIS KOLEKSI S/D Agustus'08 ORIENTASI Demokrasi 14% 20% HAM 10% 20% Politik 25% 15% Hukum 6% 15%

Media & Pers 7% 15%

Ekonomi 18% 10%

Lain-Lain (Pelengkap) 20% 5%

Jumlah 100% 100%

Selain kondisi di atas, kondisi jaringan dan SDM Perpustakaan THC digambarkan sebagai berikut:

1 Telah tersedia koneksi internet yang dedicated selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, serta jaringan LAN di lokasi operator perpustakaan digital. 2 Belum ada komputer sebagai server yang tersedia untuk perputakaan digital. 3 Banyak koleksi lokal berupa hasil diskusi, koleksi pribadi dan keluarga B.J.

Habibie dan para pakar di THC yang masih tersebar dan belum terkumpul di perpustakaan sehingga belum banyak diketahui oleh masyarakat umum.

Gambar

Gambar 1 Siklus Informasi (Jogiyanto 2005).
Gambar 2 Model Penyimpanan secara Depository vs. Digital (Great 1996).
Gambar 3 Proses Digitalisasi.
Tabel 1 Jenis Elemen Dublin Core (Lazinger 2001).
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa hubungan peran kepemimpinan kepala ruang dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RS PKU Muhammadiyah

Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut al-Ghazali, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap ilmu dan tahap amal. Ilmu yang dimaksud dalam hal ini

Latar Belakang Masalah... DAFTAR

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 36 SKPD dan 108 orang responden yangterdiri dari Kepala Dinas/Kepala Badan/Kepala Kantor sebagai Pimpinan dan Pengguna

[r]

Penciptaan karya batik tugas akhir ini penulis mengangkat tema ikan Koi dengan teknik batik tulis dan teknik pewarnaan Tye Die , penulis tertarik pada bentuk tubuh

Alternatif strategi penciutan adalah suatu alternatif strategi dimana Alternatif strategi penciutan adalah suatu alternatif strategi dimana lebih mungkin dilakukan kalau perusahaan

CAR yang dimiliki oleh PT Bank Muamalat Indonesia pada Triwulan II 2007- Triwulan III 2013 berada antara 9,64% sampai dengan 14,62% artinya dalam batas wajar