• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Candida albicans

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Candida albicans"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Candida albicans

Menurut Ali (2008), Candida albicans diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Ascomycotina Kelas : Ascomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

Cendawan patogen C. albicans dapat tumbuh setidaknya dengan tiga bentuk yang berbeda yaitu sel khamir, pseudohifa dan hifa (Sudbery et al. 2004). Khamir merupakan mikroorganisme bersel satu, berbentuk bulat, dan berdinding halus. Pseudohifa dan hifa merupakan satu kesatuan yang berbentuk filamen dari suatu cendawan. C. albicans membentuk koloni berwarna putih. Candida albicans merupakan cendawan dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora (sel khamir) dan sebagai hifa yang akan membentuk pseudohifa (Ali 2008). Fase-fase pertumbuhan dimorfik tersebut diperlihatkan pada Gambar 1 di bawah ini.

(2)

Karakter Makroskopik dan Mikroskopik

C. albicans jika dibandingkan dari spesies Candida lainnya dapat dibedakan dengan menggunakan dua tes morfologik sederhana, yaitu pembentukan tabung kecambah (germ tube) dan khlamidospora. Sel-sel khamir C. albicans akan mulai membentuk tabung kecambah (germ tube) setelah dilakukan inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada suhu 37ºC (Magdalena 2009). Sedangkan khlamidospora akan terbentuk saat keadaan lingkungan yang rendah oksigen, cahaya, suhu dan nutrisi. Khlamidospora merupakan spora berbentuk besar, dan berdinding tebal, serta memiliki kadar lemak dan karbohidrat yang tinggi. Khlamidospora ini merupakan spora aseksual yang berperan sebagai tempat sel penyimpanan (storage cell) (Citiulo et al. 2009). Kedua bentuk morfologi ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 di bawah ini.

Gambar 2 Sel C. albicans yang membentuk tabung kecambah ketika dibiakkan di dalam serum (Sudbery 2001)

Gambar 3 Khlamidospora dari C. albicans pada media Corn Meal Agar (CMA) ( Sonneborn 1999)

C. albicans melakukan asimilasi karbohidrat untuk mendapatkan sumber karbon dan energi untuk melakukan pertumbuhan sel. Candida albicans menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa melalui proses asimilasi ini. Selain proses asimilasi, C. albicans juga melakukan proses fermentasi pada glukosa,

(3)

maltosa dan sukrosa (Tjampakasari 2006). Beberapa tahapan khusus untuk pengidentifikasian terhadap C. albicans terpapar di Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Karakter makrobiologi dan mikrobiologi C. albicans Metode identifikasi Karakter makrobiologi

Candida albicans

Karakter mikrobiologi Candida albicans Potato dextros agar Berbentuk bulat, Permukaan

halus, Berwarna putih -

Uji natif - Blastospora, Hifa,

Pseudohifa Uji tabung kecambah - Tabung kecambah Sugar assimilation medium - Glukosa ( + ) - Sukrosa ( + ) - Maltosa ( + ) - Galaktosa ( + ) - Laktosa ( - ) -

Corn meal agar - Khlamidospora

Sumber: CMPT (2006); Marinho et al. (2010)

Habitat

Spesies C. albicans merupakan flora normal di saluran pernapasan bagian atas, saluran pencernaan, saluran kelamin, kulit, kuku, ambing, serta membran mukosa (mulut, vagina atau dubur) (Hanafi et al. 2010). Spesies ini umumnya ditemukan sebagai organisme komensal yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Dalam kondisi normal, bakteri dan cendawan C. albicans akan hidup secara bersama. Akan tetapi, dalam kondisi yang tidak baik, seperti ketika kurangnya nutrisi, spesies ini akan berubah bentuk dari bentuk khamir menjadi filamen (hifa) yang akan membunuh bakteri (Hogan 2002).

Peranan dalam Kesehatan Hewan

Sejumlah khamir dapat menyebabkan berbagai penyakit, baik pada manusia maupun hewan, seperti sariawan, kandidiasis disseminata, kriptokokosis,

(4)

dan mastitis (Asfour et al. 2009). Candida albicans dan spesies Candida lainnya dapat menyebabkan kandidiasis saluran pencernaan pada hewan. Khamir ini paling sering menginfeksi unggas dan menyebabkan lesi pada mukosa mulut, esofagus, dan tembolok. Sedangkan pada babi dan anak kuda infeksi yang terjadi sering menyebabkan luka (ulcer) pada usus (MVM 2005).

Saluran reproduksi pada hewan dapat menjadi sumber dari berbagai khamir, seperti C. albicans dan Filobasidiella (Cryptococcus) neoformans. Infeksi oleh kedua spesies ini pernah dilaporkan terjadi pada sapi perah, kerbau, domba, dan kambing dalam bentuk pyometra, vaginitis, vulvovaginitis, servisitis, dan endometritis (Osman dan Gabal 1977). Dalam bidang kedokteran hewan telah tercatat bahwa C. albicans pernah diisolasi pada kasus aborsi pada sapi, mastitis pada sapi, endometritis pada kuda (Givens dan Marley 2008; Kaszak et al. 2012). Pada tahun 2002, C. albicans pertama kali dilaporkan menyebabkan terjadinya endometritis pada kerbau yang memiliki riwayat aborsi. Kerbau yang terinfeksi menunjukkan adanya tanda-tanda klinis berupa edema, hiperemi pada mukosa serviks dan eksudat purulenta berwarna putih pada alat kelamin (Pal 2002). Garoussi et al. (2007) melaporkan bahwa infeksi khamir dapat terjadi pada rongga servikovaginal dari sapi Frisian Holstein (FH) dengan atau tanpa penyakit reproduksi. Kejadian aborsi mikotik terjadi peningkatan sebanyak 21% dari semua jumlah kasus aborsi pada sapi dan telah tercatat di Veterinary Diagnostic Laboratory Surveys Amerika Serikat (Anderson 2007).

Genus Candida adalah patogen yang menyumbang sekitar 50 sampai 60% dari semua Candida isolat kultur darah yang dapat menyerang dan merusak berbagai macam jaringan inang (Wisplinghoff et al. 2004). Infeksi C. albicans ditandai dengan adanya lesi dan hifa pada organ yang terinfeksi (O'Grady dan Reade 1993). Infeksi Candida pernah terjadi pada kuda melalui servik maupun secara hematogen dan dinyatakan sebagai plasentitis mikotik. Lesi yang ditemukan berupa penebalan pada khorioalantois yang disertai dengan terbentuknya eksudat. Infeksi ini dapat mengakibatkan terjadinya aborsi pada usia kebuntingan 8-11 bulan dengan ditemukannya hifa pada plasenta, hati, paru-paru dan lambung (Givens dan Marley 2008; Critz 2012).

(5)

Infeksi C. albicans pada Ternak Sapi Perah Mastitis Mikotik

Mastitis adalah salah satu masalah paling serius dalam peternakan sapi perah. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh bakteri. Tetapi, belum lama ini telah terjadi peningkatan kasus mastitis mikotik yang umumnya disebabkan oleh C. albicans dan F. neoformans (Elmagd et al. 2011). Kasus mastitis mikotik yang disebabkan oleh C. albicans pada sapi di Tanzania mengalami peningkatan prevalensi dari 1% pada tahun 1971 menjadi 17% pada tahun 2002 (Kivaria dan Noordhuizen 2006). Lebih dari tiga perempat kasus dari mastitis mikotik disebabkan oleh spesies Candida, seperti C. albicans, C. glabrata, C. kefyr, C. tropicalis, C. krusei, dan C. parapsilosis (Lagneau et al. 1996; Tarfarosh dan Purohit 2008). Belum banyak data mengenai kasus mastitis mikotik yang terjadi di Indonesia. Hanya tercatat melalui penelitian yang dilakukan oleh Natalia dan Hastiono (1985) dan Pribadi dan Pramono (1986) bahwa kejadian mastitis mikotik pada sapi perah disebabkan oleh Candida.

Mastitis mikotik yang terjadi pada sapi perah tergantung pada faktor-faktor predisposisi penggunaan antibiotika dan imunosupresan untuk jangka waktu yang lama dan faktor sanitasi yang kurang diperhatikan. Galur khamir yang diisolasi dari sekresi susu sapi yang didiagnosa sebagai mastitis klinis dan subklinis memiliki aktivitas enzim leusin arylamilase dan asam fosfatase yang tinggi. Aktivitas dan karakter kedua enzim ini menjadi faktor virulensi bagi khamir ketika menginfeksi jaringan kelenjar mamae (Wawron et al. 2011).

Aborsi Mikotik

Aborsi mikotik pada sapi pertama kali dilaporkan pada tahun 1920 oleh Theobald Smith. Sejak itu, telah terjadi peningkatan yang stabil dari laporan tentang aborsi yang diakibatkan oleh cendawan Aspergillus fumigatus dengan tingkat prevalensi sebesar 75% dari kasus aborsi mikotik. Sedangkan 25% lainnya disebabkan oleh jenis cendawan dalam kelas Phycomycetes dan oleh spesies dalam genus Candida.

Kasus aborsi pada sapi yang disebabkan oleh Candida spp. saat ini masih bersifat sporadis. Infeksi ini biasanya terjadi selama musim dingin dan musim

(6)

semi. Hal ini dikarenakan ketika musim tersebut sapi sering ditempatkan di dalam kandang yang berisi jerami-jerami yang telah tercemar (Djonne 2007). Penyebab infeksi dapat masuk ke saluran pernafasan atau pencernaan, kemudian masuk ke sirkulasi darah dan akhirnya menyebar ke plasenta. Aborsi umumnya dapat terjadi saat usia kebuntingan antara 6 sampai 8 bulan. Tanda-tanda klinis yang terlihat berupa retensi plasenta dan plasentitis (Givens dan Marley 2008). Penyebaran kejadian ini telah dilaporkan terjadi di Inggris, Polandia, Hungaria, Jerman, Selandia Baru, Israel, India, dan Amerika Serikat. Terisolasinya C. tropicalis dari abomasum fetus menjadi laporan awal dari rangkaian empat kejadian aborsi mikotik pada sapi yang disebabkan oleh C. parapsilosis. Rangkaian kejadian ini telah tercatat pada dokumen New York State College of Veterinary Medicine (NYSCVM) selama periode 5 tahun (Foley dan Schlafer 1987).

Penggunaan Anticendawan

Infeksi cendawan dapat diobati dengan beberapa obat anticendawan, seperti ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, parkonazol, enilkonazol, ekonazol, itrakonazol, flukonazol, griseofulvin, nistatin, ampoterisin B yang dapat diberikan dalam bentuk krim atau tablet dan diberikan secara topikal ataupun sistemik (Little et al. 1999). Obat-obat anticendawan tersebut memiliki cara kerja yang berbeda-beda terhadap sel cendawan seperti yang terpapar di dalam Tabel 2.

Menurut Veen dan Kremer (1992), tidak terdapat bukti yang jelas tentang efektivitas terapi antimikotik terhadap infeksi khamir pada sapi yang menderita mastitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McDonald et al. (1980) yang melakukan pemeriksaan in vitro terhadap sejumlah khamir yang diisolasi dari kelenjar susu sapi, diperoleh bahwa sebanyak 91 isolat dinyatakan paling peka terhadap klotrimazol yang diikuti dengan ketokonazol, nistatin, ampoterisin B, dan mikonazol. Khamir yang paling sensitif adalah C. lusitaniae (85,7%) dan C. rugosa (31,9%).

(7)

Tabel 2 Beberapa kelompok obat anticendawan dan sasaran kerja yang dilakukannya

Kelas Obat* Target

Griseofulvin (o) Menghambat microtubule sliding

Polyenes Ampoterisin B (iv, t, o) Natamicin (t)

Nistatin (t, o)

Fungsi membrane barrier

Azole Imidazol Klotrimazol (t) Ekonazol (t) Enilkonazol (t) Ketokonazol (t, o) Mikonazol (t) Parkonazol (o) Flukonazol (o, iv) Itrakonazole (o, iv)

Biosintesis ergosterol 14α-demethylase

Triazol

Pyrimidin Flusitosin (o, iv) Sintesis DNA dan RNA *o, oral; t, topical; iv, intravenous

Sumber: Bossche et al. (2003)

Sapi yang didiagnosa menderita mastitis yang disebabkan oleh Candida spp. pernah dilakukan pengobatan menggunakan thiabendazol dan mikonazol. Tingkat kesembuhan yang diperoleh mencapai 78-80% (Vandamme 1983). Beberapa kejadian mastitis yang disebabkan oleh Candida, Cryptococcus, Trichosporon, dan Torulopsis dapat diobati menggunakan nistatin dan klotrimazol secara intramamari (Yeo et al. 1989).

Golongan Azol

Anticendawan azol diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu imidazol (mikonazol dan ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol). Kerja anticendawan ini menghambat biosintesis ergosterol dengan menghalangi kerja enzim 14-α-demithilase, suatu enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 dan dibutuhkan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol menyebabkan ketidakstabilan membran sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berkaitan dengan membran dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas serta hambatan pertumbuhan dan perbanyakan sel (Ford 2004).

(8)

Ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil farmakologik yang sama. Sedangkan untuk flukonazol memiliki struktur kimia yang unik karena ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilitasnya yang lebih rendah (Herman 1996). Struktur molekul masing-masing golongan azol tersebut terpapar pada Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4 Struktur molekul golongan azol (Bossche et al. 2003)

- Ketokonazol

Saat ini kejadian infeksi cendawan sistemik telah meningkat seiring dengan meningkatnya individu-individu immunocompromised (Nakayama et al. 2010). Menurut Fraser et al. (1992) dan Ozcan et al. (2006), spesies Candida terlibat dalam kasus kandidiasis superfisial dan sistemik yang menerima pemberian antibiotika spektrum luas, kortikosteroid dan obat imunosupresif. Ketokonazol merupakan obat antimikotik sintetik berspektrum luas. Obat ini membutuhkan lingkungan asam agar terjadi penyerapan yang optimal sehingga H2-blocker atau antasid tidak boleh diberikan secara bersamaan. Biasanya

ketokonazol ini sering dikombinasikan dengan amfoterisin B untuk mengatasi kasus kandidiasis sistemik yang serius (MVM 2005).

- Flukonazol

Flukonazol telah menjadi terapi untuk mengobati infeksi cendawan yang disebabkan oleh spesies Candida, kecuali yang disebabkan oleh Candida krusei (Tollemar et al. 1999). Pemberian flukonazol telah terbukti efektif menurunkan

(9)

infeksi akibat C. albicans, C. tropicalis, dan C. parapsilosis pada pasien yang diikuti dengan jumlah neutrofil yang rendah (Tregan 2011).

- Itrakonazol

Itrakonazol adalah anticendawan triazol yang lebih baru dan memiliki spektrum kerja luas. Tidak seperti flukonazol, obat ini memiliki aktivitas in vitro terhadap berbagai macam spesies Candida, khususnya C. glabrata dan C. krusei (Fidel et al. 1999). Itrakonazol telah menggantikan ketokonazol dalam pengobatan mikosis karena memiliki spektrum yang lebih luas, potensi yang lebih besar, dan efek samping yang lebih sedikit (MVM 2005).

Amfoterisin B

Amfoterisin B merupakan antibiotika kelompok makrolida polien yang memiliki tujuh ikatan rangkap konjugasi pada posisi trans- dan 3-amino-3,6-dideoksimanosa yang berhubungan melalui ikatan glikosida (Herman 1996), sebagaimana terpapar pada Gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5 Struktur molekul amfoterisin B (Bossche et al. 2003)

Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel menjadi rentan dan mengakibatkan rusaknya fungsi pelindung membran, hilangnya unsur-unsur sel yang penting, mengganggu metabolisme dan juga kerusakan oksidatif terhadap sel cendawan (Dumasari 2008). Kandidiasis invasif biasanya memerlukan resep amfoterisin B yang diberikan secara intravena dan obat ini dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan flusitosin melalui oral untuk menambah efek pengobatan. Sedangkan pemakaian secara topikal hanya bermanfaat pada kandidiasis kulit (Herman 1996; Magdalena 2009).

(10)

Nistatin

Nistatin merupakan anticendawan dari golongan polien yang aman terhadap sel mamalia. Nistatin bekerja mengikat sterol (terutama ergosterol) pada membran sel cendawan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ergosterol berkompetisi dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari nistatin sehingga menghasilkan perubahan permeabilitas membran sel cendawan, diikuti dengan kebocoran dari komponen-komponen intraseluler dan mengakibatkan kematian cendawan (Anonim 2009; Ridawati et al. 2011). Struktur molekul nistatin mirip dengan amfoterisin B. Namun nistatin hanya memiliki enam ikatan rangkap konjugasi, hal ini terpapar pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6 Struktur molekul nistatin (Bossche et al. 2003)

Griseofulvin

Griseofulvin merupakan golongan miscellaneous dari suatu anticendawan dan menjadi satu-satunya obat dari jenis golongan ini (Ali 2008). Obat ini mematikan sel cendawan muda yang bermetabolisme aktif dan hanya bersifat menghambat pertumbuhan sel cendawan yang lebih tua. Perubahan morfologik yang menonjol sebagai akibat kerja dari griseofulvin adalah produksi sel-sel inti ganda saat obat menghambat mitosis sel cendawan dengan pemutusan berkas mitotik melalui interaksi mikrotubulus terpolimerasi (Herman 1996).

Griseofulvin memiliki waktu paruh didalam plasma lebih kurang satu hari dan sekitar 50% dari dosis yang diberikan secara oral dapat ditemukan di dalam urin setelah lima hari dalam bentuk metabolitnya, yaitu 6-desmethyl-griseofulvin (Dumasari 2008). Struktur molekul kimia dari griseofulvin ini dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini.

(11)

Gambar 7 Struktur molekul griseofulvin (Bossche et al. 2003)

Resistensi Spesies Candida terhadap Anticendawan

Beberapa tahun terakhir ini telah banyak laporan peningkatan resistensi spesies Candida terhadap obat anticendawan. Secara umum, isolat spesies Candida yang telah dianalisis menunjukkan resistensi terhadap flukonazol dan itrakonazol sebesar 2,5% dan 9%. C. glabrata dan C. krusei pernah dilaporkan tahan terhadap golongan azol secara in vitro dengan menunjukkan nilai MIC sebesar 164 µg/mL. Selain itu, pada beberapa galur C. tropicalis juga menunjukkan resistensi terhadap golongan azol yang diperlihatkan secara in vitro. Sedangkan resistensi C. albicans terhadap flukonazol dan itrakonazol dapat muncul jika telah terjadi pengobatan jangka panjang sebagai profilaksis. Berdasarkan data dari Antifungal Surveillance Study (ARTEMIS ), telah terjadi peningkatan resistensi C. glabrata terhadap flukonazol sebesar 9% pada rentang waktu 1992-2001 menjadi 14% pada rentang waktu 2001-2007 (Perea dan Patterson 2002; Michael dan Pfaller 2012).

Penelitian terbaru mengenai resistensi C. albicans dan C. glabrata terhadap beberapa anticendawan golongan azol menunjukkan setidaknya ada tiga mekanisme resistensi yang dikenal, yaitu perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase, perubahan ∆5-6

-sterol desaturase, dan ketergantungan energy (energy dependent) yang ada pada mekanisme efflux pumps (Pinjon et al. 2003). Perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase terjadi saat adanya mutasi pada gen ERG11 (kode untuk enzim 14-α-demethylase). Pengkodean gen pada enzim ini mencegah terjadinya pengikatan pada bagian enzimatik sehingga menyebabkan penurunan kadar obat pada sel sasaran. Ergosterol merupakan sterol utama membran sel cendawan dan seringkali menjadi sasaran kerja bagi obat-obat anticendawan. Resistensi terjadi karena komposisi sterol ini mengalami perubahan sehingga menyebabkan berkurangnya penyerapan agen anticendawan ke dalam

(12)

sel. Energi yang ada pada mekanisme efflux pumps merupakan karakteristik terjadinya resistensi pada bakteri, khamir, dan sel mamalia. Mekanisme ini memberikan kemampuan untuk memompa azol keluar dari sel target (Kanafani dan Perfect 2008; Pinjon et al. 2003).

Berbagai golongan obat anticendawan memiliki target kerja yang berbeda-beda terhadap sel Candida seperti yang terpapar pada Gambar 8. Mekanisme yang dapat mengembangkan resistensi tergantung pada cara kerja obat anticendawan, termasuk saat berkurangnya penyerapan obat, keluarnya obat melalui efflux pumps, dan berkurangnya afinitas pada target enzim (Shuter 1999).

Gambar 8 Diagram skematik dari sel C. albicans sebagai sasaran obat anticendawan (Ali 2008)

Spesies Candida yang terpapar anticendawan telah menunjukkan penurunan aktivitas fosfolipase secara signifikan. Penurunan aktivitas ini terjadi pada C. albicans dan C. tropicalis terhadap anticendawan nistatin dan amfoterisin B (Anil dan Samaranayake 2003). Cara yang terbaik untuk meningkatkan efek terapi obat anticendawan adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan inang, Contohnya dengan melakukan kombinasi antara granulocyte macrophage colony-stimulating factor (sitokin) dan anticendawan flukonazol (Kothavade et al. 2010).

Resistensi anticendawan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu resistensi klinis dan resitensi in vitro. Resistensi klinis menandakan kurangnya tanggap klinis terhadap pemberian obat anticendawan yang digunakan. Kegagalan klinis terjadi karena rendahnya tingkat obat dalam serum. Sedangkan resistensi in vitro terjadi saat cendawan diuji secara in vitro yang dikelompokan lagi ke dalam

(13)

bentuk resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer dikenal sebagai resistensi intrinsik atau bawaan yang terjadi ketika organisme tersebut secara alami resisten terhadap anticendawan. Bentuk ini diperlihatkan oleh C. krusei yang dikenal resisten terhadap flukonazol. Resistensi sekunder atau dapatan terjadi ketika isolat yang awalnya tidak resisten menjadi resisten terhadap obat anticendawan (Fidel et al. 1999).

Keadaan sistem imun yang kurang baik menjadi salah satu faktor khamir tahan atau relatif tahan terhadap obat anticendawan. Ada banyak laporan kasus yang menggambarkan adanya kolonisasi dan infeksi pada pasien immunocompromised yang menggunakan obat anticendawan jangka panjang, hal ini terjadi pada C. krusei dan C. glabrata yang telah resisten terhadap anticendawan secara in vitro (Wingard 1995). Bahkan baru-baru ini dilaporkan bahwa C. albicans, C. guilliermondi, dan F. neoformans resisten terhadap ampoterisin B (Fidel et al. 1999). Selama ini, dalam beberapa kasus telah dilaporkan resistensi primer secara in vitro terhadap flukonazol terjadi pada C. krusei dan resistensi sekundernya paling umum terjadi pada C. glabrata. Resistensi in vitro terhadap ketokonazol dan itrakonazol pada C. albicans dan C. glabrata masih jarang terjadi, yakni hanya sekitar <15%. Demikian pula halnya resistensi yang diperlihatkan oleh C. albicans terhadap flukonazol (Wingard 1994; Rex et al. 1995).

Gambar

Gambar 1 Pertumbuhan dimorfik Candida albicans (Molero et al. 1998)
Gambar 2 Sel C. albicans yang membentuk tabung kecambah ketika  dibiakkan di dalam serum (Sudbery 2001)
Tabel 1 Karakter makrobiologi dan mikrobiologi C. albicans   Metode identifikasi  Karakter makrobiologi
Tabel 2 Beberapa kelompok obat anticendawan dan sasaran kerja yang  dilakukannya
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengobatan sistemik diperlukan jika pengobatan lokal tidak berhasil atau jika infeksi menyebar pada tenggorokan (esofagitis) atau bagian tubuh yang lain. Beberapa obat

Salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK adalah hipertensi. Perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung

Pengertian tentang infeksi nosokomial adalah infeksi akibat transmisi organism patogen ke pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi, yang berasal dari lingkungan

Dalam hubungannya dengan pencegahan infeksi, sarana dan prasarana kerja adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial,

Kadar HbA1c yang tinggi Insufisiensi vaskular Kemotaksis Fagositosis Imunitas seluler Infeksi jamur Infeksi bakteri dan virus Non infeksi Kandidiasis kutis

Klebsiella pneumoniae adalah spesies yang paling banyak diisolasi dari infeksi pada manusia karena dapat menyebabkan infeksi nosokomial seperti infeksi saluran kemih

Bila wanita hamil dengan sifilis primer dan sekunder serta spirokaetamia yang tidak diobati, besar kemungkinan untuk menularkan infeksi pada bayi yang belum