• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Fleibitis 2.1.1 Pengertian

Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena, Flebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, kemerahan, bengkak, indurasi dan terba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 2014 ).

Flebitis adalah daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada kulit sekitar tempat kateter intravaskular dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari tempat tusukan, ini digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Tietjen, dkk, 2014). Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir diikuti bekuan darah, atau thrombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, flebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan, eritema, dan hangat. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan/atau thrombosis (Darmawan, 2016)

Flebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi thromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas dan kemudian diangkut kealiran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. Hal ini menjadiakan flebitis sebagai salah satu pemasalahan

(2)

yang penting untuk dibahas di samping flebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan ( Mulyani, 2014 ).

2.1.2 Penyebab

Menurut Francombe (1998) dalam Tietjen (2014) mengatakan, flebitis (peradangan vena), merupakan penyulit tersering yang berkaitan dengan terapi intravaskular, biasanya terjadi akibat iritasi kimiawi atau mekanis.

Faktor predisposisi utama adalah infus larutan hipertonik dan adanya benda berbentuk partikel yang berasal dari obat yang belum larut sempurna, potongan karet atau kaca dari vial, dan plastik dari kanula.

Terbentuk eritema di bagian proksimal dari empat pungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh bakteri, tetapi septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang mengalami flebitis.

Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara lain:

2.1.2.1 Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan

2.1.2.2 Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi

2.1.2.3 Agen infeksius

Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni: diabetes mellitus, infeksi, luka bakar). Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter (Darmawan, 2016).

Flebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas:

2.1.2.1 Flebitis Kimia

a. pH dan osmolaritas cairan infus yang tinggi selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3- 5, dimana keasaman diperlukan untuk mencegah

(3)

karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, chepalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas >900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.

b. Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi, kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 µm.

c. Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L. hindarkan vena pada punggung tangan bila anda memberikan: Asam amino+glukosa; Glukosa+elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampurkan dengan obat suntik atau Meylon dan lain-lain.

d. Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding politetrafluoroetilen (Teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastic dan lentur. Risiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.

e. Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi daripada pemberian cepat.

2.1.2.2 Flebitis Mekanis

Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan

(4)

flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

2.1.2.3 Flebitis Bakterial

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:

a. Teknik pencucian tangan yang buruk

b. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri

c. Teknik aseptik tidak baik

d. Teknik pemasangan kanula yang buruk e. Kanula dipasang terlalu lama

f. Tempat suntik jarang diinspeksi visual (Darmawan, 2016).

2.1.3 Tingkatan Flebitis

Berikut merupakan skor visual flebitis untuk menentukan derajat keparahan flebitis:

Tabel 2.1 Derajat Fleibitis secara Visual (Visual Infusion Flebitis Score)

No Kondisi Derajat Interpretasi

1 Tempat suntikan tampak sehat 0 Tak ada tanda fleibitis : observasi kanula

2 Salah satu dari berikut jelas : a. Nyeri pada tempat suntikan b. Eritema pada tempat suntikan

1 Mungkin tanda dini flebitis : Observasi kanula

3 Dua dari berikut jelas : a. Nyeri

b. Eritema c. Pembengkakan

2 Stadium dini flebitis : Ganti tempat kanula

4 Semua dari berikut jelas : a. Nyeri sepanjang kanula b. Eritema

c. Indurasi

3 Stadium moderat flebitis : a. Ganti Kanula b. Pikirkan terapi 5 Semua dari berikut jelas :

a. Nyeri sepanjang kanula b. Eritema

c. Indurasi

d. Venous cord teraba

4 Stadium lanjut atau awal dari thromboflebitis : a. Ganti kanula b. Pikirkan terapi 6 Semua dari berikut jelas :

a. Nyeri sepnajang kanula b. Eritema

c. Indurasi

d. Venous cord teraba e. Demam

5 Stadium lanjut

Thromboflebitis : a. Lakukan terapi b. Ganti kanula

(5)

2.1.4 Mencegah dan mengatasi flebitis 2.1.4.1 Mencegah flebitis bakterial

Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan. kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP pemasangan infus tidak terjadi flebitis. Hal ini terjadi karena yang berkontribusi dengan kejadian flebitis salah satunya adalah teknik aseptik (cuci tangan dan memakai sarung tangan) dan ini telah diatur dalam SOP pemasangan infus. Dengan perawat patuh pada SOP pemasangan infus (melakukan teknik aseptik) maka transmisi mikroorganisme pada daerah penusukan infus tidak terjadi sehingga tidak terjadi flebitis pada pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh perawat (Masella, 2015)

2.1.4.2 Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh.

Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.

2.1.4.3 Rotasi kanula

May, dkk (2005) dalam Darmawan (2016) melaporkan hasil 4 teknik pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi oleh Webster dkk (1996) dalam Darmawan (2016) disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96

(6)

jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.

2.1.4.4 Aseptik dressing

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam

2.1.4.5 Laju pemberian

Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

2.1.4.6 Titrable acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.

Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.

(7)

2.1.4.7 Heparin dan hidrocortison

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium

2.1.4.8 In –line filter

In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus (Darmawan, 2016).

2.1.5 Penangan Flebitis

Penanganan awal yang dilakukan jika ada timbul tanda-tanda flebitis adalah: (a) Lepaskan alat intravena, (b) Tinggikan ekstremitas, (c) Beritahu dokter, (d) Berikan kompres panas pada ekstremitas, (e) Kaji nadi distal terhadap area yang flebitis, (f) Hindari pemasangan intravena berikutnya di bagian distal vena yang meradang (Weinstein, 2011) dalam Darmawan (2016).

2.1.6 Pola pengobatan

Flebitis superfisialis sering menghilang dengan sendirinya. Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya Aspirin, ibuprofen). Untuk mempercepat penyembuhan, bisa disuntikkan anastesi (obat bius) lokal, dilakukan pengangkatan trombus dan

(8)

kemudian pemakaian perban kompresi selama beberapa hari. Jika terjadi di daerah selangkangan, trombus bisa masuk ke dalam vena dalam dan terlepas. Untuk mencegah hal ini dianjurkan untuk melakukan pembedahan darurat guna mengikat vena permukaan. Untuk rekomendasi lebih spesifik, lihat kondisi tertentu. Secara umum, pengobatan dapat mencakup sebagai berikut: Obat analgesik (obat nyeri), antikoagulan atau pengencer darah untuk mencegah pembentukan gumpalan baru, trombolitik untuk melarutkan bekuan yang sudah ada, non-steroid obat anti inflamasi (OAINS), seperti ibuprofen untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan, antibiotik (jika ada infeksi) (Sambas S.A, 2011) dalam Darmawan (2016).

2.2 Hand Hygiene 2.2.1 Pengertian

Mencuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi (Nursalam dan Ninuk, 2016). Mencuci tangan adalah proses yang secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air (Depkes RI, 2009). Menurut Susiati (2014), tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu untuk mengangkat mikroorganisasi yang ada ditangan, membuat kondisi tangan steril sehingga infeksi silang bisa dicegah.

2.2.2 Indikator Cuci tangan

Menurut Himpunan Perawat Pengendali Infeksi Indonesia (HPPI) tahun 2010 waktu melakukan cuci tangan, adalah bila tangan kotor, saat tiba dan sebelum meningggalkan rumah sakit, sebelum dan sesudah melakukan tindakan, kontak dengan pasien, lingkungan pasien, sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, serta sesudah kekamar mandi.

(9)

Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan (Depkes, 2008) dalam Tietjen (2014) yaitu:

2.2.2.1 Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus.

2.2.2.2 Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.

WHO telah mengembangkan Moments untuk Kebersihan Tangan yaitu Five Moments for Hand Hygiene, yang telah diidentifikasi sebagai waktu kritis ketika kebersihan tangan harus dilakukan yaitu sebelum kontak dengan pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah terpapar cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan pasien (WHO, 2009).

Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum kontak.

Indikasi "sebelum" momen ditujukan untuk mencegah risiko penularan mikroba untuk pasien. Tiga lainya terjadi setelah kontak, hal ini ditujukan untuk mencegah risiko transmisi mikroba ke petugas kesehatan perawatan dan lingkungan pasien.

(10)

Skema 2.1 Momen cuci tangan 2.2.3 Macam-macam cuci tangan

2.2.3.1 Cuci tangan medis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: a. Cuci tangan sosial/mencuci tangan biasa : untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme transien dari tangan dengan sabun atau detergen paling tidak selama 10 sampai 15 detik.

2.2.3.2 Cuci tangan prosedural/cuci tangan aseptik : untuk menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien, disebut juga antisepsi tangan, dilakukan dengan sabun antiseptik atau alkohol paling tidak selama 10 sampai 15 detik.

2.2.3.3 Cuci tangan bedah/cuci tangan steril : proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak 120 detik.

2.2.4 Teknik mencuci tangan biasa

Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai risiko penularan penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan

(11)

biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci tangan sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau kantung pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion tangan, serta di bawah plastik berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi), alat pengering seperti tisu, lap tangan (hand towel), sarung tangan (gloves), sabun cair atau cairan wastefel terdapat alas kaki dari bahan handuk. Prosedur kerja cara mencuci tangan biasa adalah sebagai berikut :

2.2.4.1 Melepaskan semua benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan.

2.2.4.2 Mengatur posisi berdiri terhadap kran air agar memperoleh posisi yang nyaman.

2.2.4.3 Membuka kran air dengan mengatur temperatur airnya.

2.2.4.4 Menuangkan sabun cair ke telapak tangan.

2.2.4.5 Melakukan gerakan tangan, dimulai dari meratakan sabun dengan kedua telapak tangan, kemudian kedua punggung telapak tangan saling menumpuk, bergantian, untuk membersihkan sela-sela jari.

2.2.4.6 Membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak tangan.

2.2.4.7 Membersihkan kuku dan daerah sekitarnya dengan ibu jari secara bergantian, kemudian membersihkan ibu jari dan lengan secara bergantian.

2.2.4.8 Membersihkan (membilas) tangan dengan air yang mengalir sampai bersih, sehingga tidak ada cairan sabun dengan ujung tangan menghadap ke bawah.

2.2.4.9 Menutup kran air menggunakan siku, bukan dengan jari karena jari yang telah selesai kita cuci pada prinsipnya bersih.

Hal yang perlu diingat setelah melakukan cuci tangan yaitu mengeringkan tangan dengan hand towel.

(12)

2.2.5 Enam langkah cuci tangan

2.2.5.1 Ratakan sabun dengan kedua telapak tangan.

2.2.5.2 Gosokan punggung dan sela-sela jari tangan dengan tangan kanan dan sebaliknya.

2.2.5.3 Gosokan kedua telapak tangan dan sela-sela jari.

2.2.5.4 Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.

2.2.5.5 Kemudian gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya.

2.2.5.6 Gosok dengan memutar ujung jari ditelapak tangan kiri dan sebaliknya.

Skema 2.2 Teknik mencuci tangan 6 langkah

2.3 Kepatuhan

2.3.1 Pengertian kepatuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2011), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah

(13)

perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Sedangkan menurut Ali (2010) dalam Slamet (2012), kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Kepatuhan petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun pihak rumah sakit (Niven, 2012).

2.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut (Niven, 2012) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah :

2.3.2.1 Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Tingginya pendidikan seorang perawat dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2.3.2.2 Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit, kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman- teman sejawat. Lingkungan berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan yang telah ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif pula pada kinerja perawat, kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.

Perubahan Model Prosedur Program pelaksanan prosedur

(14)

asuhan keperawatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan prosedur tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan sesuai standar prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat menerapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.

2.3.2.3 Meningkatkan interaksi profesional kesehatan

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama perawat (khususnya antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana) adalah suatu hal enting untuk memberikan umpan balik pada perawat. Suatu penjelasan tetang prosedur tetap dan bagaimana cara menerapkannya dapat meningkatkan kepatuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka semakin mempercepat proses penyembuhan penyakit klien.

2.3.2.4 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan usia (Mubarak, 2011).

Menurut Notoadmojo (2010) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi 6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima Setelah tahu, kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

(15)

benar. Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan, dengan menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan diaplikasikan (Application).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain. Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen- komponen, tetapi dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain (Analysis).

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan mengelompokkan. Materi atau obejk yang telah dianalisis, digabungkan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis). Kemudian dinilai berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).

2.3.2.5 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut Notoadmodjo (2010), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah perasaan setuju (favorable) ataupun perasaan tidak setuju (non favorable) terhadap rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam Notoadmodjo, 2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang merupakan ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan

(16)

emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan pentingSeperti halnya dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2010) menyebutkan bahwa sikap terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving).

Kemudian merespon (memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya, subjek akan menunjukan sikap menghargai (valuating) yaitu dengan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko (responsible)

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu: faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik diantaranya intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang termasuk didalam ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan individu itu sendiri. Maka sikap seseorang terhadap rangsangan sangat tergantung pada berbagai situasi dan kondisi lingkungan dimana orang itu berada. Dan sikap juga terukir melalui pengalaman seseorang, dengan motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan (Notoadmodjo, 2010).

(17)

2.3.2.6 Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2010).

2.3.2.7 Pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial, melindungi sumber daya manusia kesehatan dan masyarakat dari penyakit infeksi yang berbahaya dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya adalah dengan pelaksanaan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI). Salah satu ruang lingkup program PPI yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan dan pelatihan. (Depkes, 2011)

Pelatihan dapat diartikan sebagai proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan standar kompetensi perawat yang ditetapkan oleh PPNI. Pelatihan lebih merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan dengan segera.

Mangkunegara (2014) mengemukakan suatu organisasi perlu melibatkan sumber daya manusia pada aktivitas pelatihan.

Pelatihan diharapkan dapat mencapai hasil yang lebih baik dari

(18)

sebelumnya terutama dalam meningkatkan perilaku yang lebih baik dari pegawai. Pelatihan tidak saja diperuntukkan bagi pegawai baru namun perlu juga diberikan pada pegawai lama untuk dapat terus meningkatkan keterampilan yang dimilikinya. Pelatihan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi individu. Individu yang kompeten memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan pekerjaannya. Pelatihan pencegahan infeksi nosokomial sebagai investasi rumah sakit bagi sumber daya manusia perawat untuk terus dapat meningkatkan kemampuannya dalam pencegahan infeksi nosokomial.

Maryati (2011) dalam penelitiannya tentang keefektifan peningkatan kemampuan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial menjelaskan bahwa pelatihan pencegahan infeksi nosokomial efektif dapat meningkatkan kemampuan praktik perawat dalam melakukan pencegahan infeksi nosokomial.

Ghadamgahi (2011) menyatakan bahwa mempertimbangkan peran penting perawat dalam pengendalian infeksi noskomial, maka pelatihan menjadi kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat serta kemampuan lainnya.

2.3.2.8 Dukungan manajemen rumah sakit

Peran manajemen rumah sakit sangat penting dalam menunjang program pengendalian infeksi. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap komite pengendalian infeksi dalam mengidentifikasi sumber daya program pencegahan infeksi, memberikan pendidikan dan pelatihan staf tentang program pengendalian infeksi seperti tehnik sterilisasi, mewajibkan staf (perawat, laboratorium, petugas kebersihan) untuk tetap menjaga kebersihan rumah sakit, melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas dan tindakan

(19)

pengendalian infeksi, memfasilitasi dan mendukung tindakan pengendalian infeksi, serta turut berpartisipasi dalam penelusuran terjadinya infeksi (WHO, 2002 dalam Darmadi, 2013).

Penerapan pencegahan infeksi nosokomial merupakan bagian pengendalian infeksi yang tidak terlepas dari peran masing- masing pihak yang terlibat didalamnya yaitu pimpinan rumah sakit beserta staf administrasi, staf medis dan nonmedis, serta para pengguna jasa rumah sakit, misalnya pasien dan pengunjung pasien. Pimpinan rumah sakit berkewajiban menyusun kebijakan mengenai pencegahan infeksi nosokomial dengan membuat standar operasional prosedur pada setiap tindakan, memantau dan mengontrol pengendalian infeksi nosokomial melalui pembentukan tim pengendalian infeksi rumah sakit dan lain-lain. Pimpinan juga bertanggung jawab atas perencanaan anggaran dan ketersediaan sarana untuk menunjang kelancaran pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial (Nursalam, 2014).

Dukungan jajaran manajemen sampai staf merupakan hal yang penting mengingat infeksi nosokomial ini merupakan masalah utama yang harus dicegah karena angka nosokomial yang tinggi menunjukkan indikator mutu rumah sakit yang buruk.

Dalam hubungannya dengan pencegahan infeksi, sarana dan prasarana kerja adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, seperti sarana dan peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan, melaksanakan dekontaminasi alat-alat kesehatan, dan untuk mengelola limbah padat yang ada di ruang rawat inap.

(20)

Menurut Depkes (2011) dalam Tietjen (2014) agar perawat pelaksana dapat bekerja secara maksimal pimpinan harus bertanggungjawab atas penyediaan dan pemeliharaan sarana klinis dan non klinis yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial, misalnya menyediakan sarana untuk cuci tangan. Yassi (2007) dalam Tietjen (2014) mengemukakan bahwa kepatuhan terhadap prosedur pengendalian infeksi terkait dengan faktor lingkungan dan karakteristik organisasi. Meningkatkan ketersediaan peralatan dan mempromosikan budaya keselamatan adalah kunci utama.

Pelatihan harus diberikan kepada petugas kesehatan beresiko tinggi, yang menunjukkan komitmen organisasi untuk keselamatan mereka.

Menurut Darmadi (2013) sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di ruangan/bangsal perawatan, keberadaan fasilitas sanitasi penting sekali, antara lain : kamar mandi dan WC penderita, kamar mandi dan WC untuk petugas/keluarga penderita (penunggu), tempat cuci tangan/wastafel, gudang tempat menyimpan alat-alat sanitasi, wadah/kontainer sampah dan limbah, air bersih.

Hasil penelitian oleh Mulyani (2014) mengungkapkan bahwa variabel ketersediaan fasilitas merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial pada tindakan medik/ keperawatan. Hasil penelitian oleh Duerink (2006) dalam Darmadi (2013) di salah satu rumah sakit pendidikan di Indonesia menemukan bahwa mencuci tangan yang sesuai dengan prosedur meningkat secara signifikan dengan proyek intervensi yang berfokus pada pendidikan dan perbaikan fasilitas rumah sakit

(21)

2.3.2.9 Budaya keselamatan kerja merupakan persepsi dari pekerja mengenai keselamatan dan lingkungan kerja mereka dan menjadi landasan mereka untuk mengerjakan tugas sehari-hari (Tietjen, 2014). Kondisi ini merupakan gabungan dari berbagai faktor seperti pengambilan keputusan oleh manajemen, adanya norma keselamatan ditempat kerja dan praktik keselamatan kerja, serta kebijakan dan prosedur yang menghasilkan komitmen organisasi dalam hal keselamatan.

Budaya keselamatan merupakan faktor penguat dalam lingkungan kerja dengan meningkatkan kepatuhan terhadap perlindungan pribadi, khususnya alat pelindung diri (Purwaningsih, 2015). Perawat yang merasa budaya keselamatan ditempat kerjanya sudah baik memiliki kecenderungan 2,9 kali lebih patuh terhadap penerapan pencegahan infeksi nosokomial (Mc. Govern, 2000 dalam Darmadi, 2013).

2.3.2.10 Ketersediaan sarana

Ketersediaan APD merupakan faktor pendukung yang sangat penting kepatuhan perawat dalam menerapkan pencegahan infeksi nosokomial. Sarana APD yang lengkap dapat mendukung pembentukan perilaku yang baik dalam menjalankan prosedur pencegahan infeksi nosokomial (Tietjen, 2014). Menurut Efstathio (2011) bahwa sejumlah perawat di Cyprus tidak menerapkan pencegahan infeksi nosokomial standar karena tidak tersedianya alat pelindung diri.

2.3.3 Proses perubahan sikap dan tindakan (perilaku)

Menurut Teori Kelman, perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan

(22)

seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap kesediaan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Niven, 2012).

Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri (Niven, 2012). Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh (pimpinan) yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas (pimpinan) tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi.

Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya

(23)

itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

Niven (2012) menyebutkan proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau pimpinan tersebut merupakan seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru (Teori The Health Belief Model).

2.3.4 Faktor penentu derajat ketidakpatuhan

Niven (2012) mengungkapkan derajat ketidak patuhan ditentukan oleh kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas kesehatan.

2.3.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan

Menurut Smet (1994) dalam Niven (2012), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, diantaranya adalah:

2.3.5.1 Dukungan profesional kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya tehnik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena

(24)

komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan, isalnya antara kepala perawatan dengan bawahannya.

2.3.5.2 Dukungan sosial dukungan sosial yang dimaksud adalah pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga yang percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh perawat dapat menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat dapat bekerja dengan percaya diri dan ketidak patuhan dapat dikurangi.

2.3.5.3 Perilaku sehat modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien ataupun melakukan tindakan asuhan keperawatan.

2.3.5.4 Pemberian informasi

Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan keperawatan berdasarkan prosedur yang ada membantu meningkatkan kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit ataupun instansi kesehatan lain.

2.3.6 Kriteria Kepatuhan

Menurut Depkes RI (2004) dalam Sumaningrum (2015) kriteria kepatuhan dibagi menjadi tiga yaitu:

2.3.6.1 Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan semuanya benar.

2.3.6.2 Kurang patuh adalah suatu tindakan yang melaksanakan perintah dan aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan, dan dengan sepenuhnya namun tidak sempurna.

2.3.6.3 Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah atau aturan sama sekali.

(25)

Untuk mendapatkan nilai kepatuhan yang lebih akurat atau terukur maka perlu ditentukan angka atau nilai dari tingkat kepatuhan tersebut, sehingga bisa dibuatkan rangking tingkat kepatuhan seseorang. Menurut Spiritia (2006) dalam Sumaningrum (2015) tingkat kepatuhan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu :

2.3.6.4 Patuh : 75% – 100%

2.3.6.5 Cukup patuh : 50% - < 75%

2.3.6.6 Kurang patuh : < 50 %

2.4 Hubungan kepatuhan perawat tentang Hand Hygiene dengan kejadian fleibitis

Pasien yang dirawat 90% mendapat terapi intravena atau infus dan 50% dari pasien tersebut beresiko mengalami kejadian infeksi komplikasi lokal terapi intravena salah satunya adalah flebitis. Metode yang sudah terbukti dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial adalah dengan meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam menjalankan metode Universal Precaution salah satunya adalah dengan melakukan cuci tangan pada setiap penanganan pasien di rumah sakit.

Kepatuhan perawat dalam menerapkan perilaku cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan merupakan hal yang penting karena dengan perawat patuh, maka penularan penyakit dapat dicegah sehingga dapat membantu proses penyembuhan pasien. Akan tetapi bila perawat tidak patuh maka resiko penularan dapat terjadi dan tidak menutup kemungkinan proses kesembuhan pasien akan lama. Patuh merupakan suatu sifat yang dapat mendorong seseorang taat terhadap suatu ketentuan atau aturan. Perilaku cuci tangan terbukti sangat efektif dalam mengurangi jumlah koloni bakteri di tanagn asalkan dengan teknik cuci tangan yang benar.

(26)

2.5 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas (Hidayat, 2014),

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak diteliti

Skema 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan kepatuhan perawat tentang Hand Hygiene Management dengan kejadian flebitis di RS Islam Banjarmasin.

Variabel Dependen Variabel Independen

• Kepatuhan Hand Hygiene

Kejadian Flebitis

• Kegagalan memeriksan peralatan

• Teknik aseptik tidak baik

• Teknik pemsangan kanula yang buruk

• Kanula dipasang terlalu lama

• Tempat suntik jarang diinspeksi visual

Gambar

Tabel  2.1  Derajat  Fleibitis  secara  Visual  (Visual  Infusion  Flebitis  Score)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat mengetahui hasil belajar passing atas permainan bola voli siswa melalui modifikasi media bola karet maka digunakan Panduan Acuan Norma (PAN)

Teknik data mining dengan metode algoritma C4.5 digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan klasifikasi sehingga menghasilkan pohon keputusan serta aturan-aturan

Sebagai upaya pengembangan kompetensi karyawan PT. Hadji Kalla mengadakan pendidikan dan pelatihan, Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi merupakan prinsip

Activity diagram menggambarkan berbagai alir aktifitas dalam sebuah sistem yang sedang dirancang, bagaimana masing-masing alir berawal, decision yang mungkin terjadi

Berkaitan dengan pesan tentang kerukunan umat beragama perspektif Islam dalam film sang martir ini, tergambar dalam beberapa scene, diantaranya :.. Dalam scene ini

Analisis Inelastik Dinamik Riwayat Waktu adalah suatu cara analisis untuk menentukan riwayat waktu respon dinamik struktur bangunan gedung yang berperilaku nonlinier

Pada sisi lain, informasi yang berhubungan dengan kondisi ekologis yakni parameter lingkungan perairan yang sesuai dengan keberadaan pokea, kepadatan dan

LEMBAR PENGE2A4AN LAPORAN KERJA PROYEK . TEKNIK KOMPUTER