• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH. Disusun oleh: Achmarul Hadi NIM: 103033227806. JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M..

(2) PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH. Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Oleh: Achmarul Hadi NIM: 103033227806. Di Bawah Bimbingan. Dr. Sirajuddin Aly, M.A. NIP. 150 318 684. JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H. / 2009 M..

(3) LEMBAR PERNYATAAN. Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata- 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh tanggung jawab. Jakarta, 27 April 2009. (Achmarul Hadi)..

(4) KATA PENGANTAR  ‫ ا ا

(5) ا‬. Tidak ada yang paling mulia yang harus didahulukan kecuali ucapan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang mengatur seluruh makhluk-Nya. Berkat kekuatan dari-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar sarjana strata satu (S1) pada Jurusan Pemukiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karena berbagai keterbatasan yang ada. Akan Tetapi, dengan adanya arahan, bantuan, bimbingan dan dukungan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : 1. Dr. H. M. Amin Nurdin, M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat serta segaenap dosen yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan. 2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku sekretaris Jurusan, yang tanpa lelah mendedikasikan diri demi eksisnya Jurusan ini. 3. Dr. Sirojudin Aly, M.A., selaku pembimbing penulis , yang dengan penuh kesabaran menbimbing penulis, mengarahkan, memberikan masukan, hingga selesainya skripsi ini. 4. Kepala dan seluruh staf Perpustakan Utama dan Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Imam Jama' Lebak Bulus yang telah memberikan pelayanan dan input data..

(6) 5. Umak dan Ba yang senantiasa sabar membimbing dan mendoakan penulis, begitu juga Kak Zul, Kak Fran, Hendri dan Sukma yang selalu memberikan dukungan. 6. Istriku tercinta Nur Jannah yang senantiasa memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini, serta tidak lupa putriku tercinta Kaysa Qathrunnada yang memacu semangat Abi untuk bisa segera menyelesaikan kuliah. 7. Ustadz Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc., serta seluruh rekan-rekan di Markaz Al Qur'an 8. Ustadz Awwaludin Al Hafizh, serta rekan-rekan di Ma'had Utsman bin Affan. 9. Seluruh rekan-rekan di KOMDAK Ushuluddin yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Jazakumullah Khairul Jazaa…... Jakarta, 27 April 2009. Penulis.

(7) DAFTAR ISI. LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………. i KATA PENGANTAR…………………………………………….................. ii DAFTAR ISI………………………………………………………………….iv TRANSLITERASI ARAB-LATIN………………………………………….vi BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………1 A. Latar Belakang………………………………………………….. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………… 4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 5 D. Metode Penelitian………………………………………………. 5 E. Sistematika Penulisan…………………………………………… 6 BAB II. RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN………………………….. 8 A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Studi……………………...8 B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan Andalusia…………………………………………10 C. Masa Penulisan Karya Ilmiah……………………………………17 D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun………………………… 19 E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun………………………………… 21 BAB III. PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH................................................................... 23 A. Arti Khilafah……………………………………………………..23 B. Fungsi Khalifah………………………………………………….27.

(8) C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah…………..32 D. Gelar Amǐr al-Mu’minǐn Sebagai Ciri Khilafah........................... 36 BAB IV. PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN.... 41 A. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah ke Kerajaan.........................................................................................41 B. Pola Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Kerajaan........ 56 C. Faktor Pengangkatan Yazid Sebagai Putera Mahkota setelah Muawiyah..................................................................................... 58 D. Substansi Kekhalifahan Era Muawiyah........................................ 60 BAB V. PENUTUP...........................................................................................69 A. Kesimpulan.................................................................................. .69 B. Saran..............................................................................................71 Daftar Pustaka.

(9) Tranliterasi Arab-Latin a. ‫ا‬. dz. ‫ذ‬. ‫ظ‬. n. ‫ن‬. b. ‫ب‬. r. ‫ر‬. '. ‫ع‬. h. t. ‫ت‬. z. ‫ز‬. gh. ‫غ‬. w. ‫و‬. ts. ‫ث‬. s. ‫س‬. f. ‫ف‬. '. ‫ء‬. j. ‫ج‬. sy. ‫ش‬. q. ‫ق‬. h. ‫ح‬. sh. ‫ص‬. k. ‫ك‬. kh. ‫خ‬. dh. ‫ض‬. l. ‫ل‬. d. ‫د‬. th. ‫ط‬. m. ‫م‬. a panjang = â i panjang = î u panjang = û. zh.

(10) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani pada tahun 1922 dan digantikan dengan Republik Turki setidaknya menyisakan sejarah panjang perjuangan masyarakat muslim dalam menggapai kedaulatan negara mereka masing-masing. Di antara perjuangan itu ada yang mencetuskan ide kembali kepada kedaulatan Islam yang absolut yakni kembali kepada sistem Khilafah. Hal ini dianggap penting karena dengan berdirinya Khilafah, maka penerapan hukum-hukum Islam bisa dianggap lebih efektif dan mudah diaplikasikan secara menyeluruh. Beberapa gerakan yang muncul untuk mendukung gagasan tersebut di atas dapat ditemukan hingga dewasa ini. Sebagai contoh gerakan Hizb Al-Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani pada tahun 1952 lebih memfokuskan da'wahnya kepada keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah. Begitu juga dengan tokoh Abu al-A'la al-Maududi yang mendirikan Jama'at Islami di Anak Benua India-Pakistan pada tahun 1941. beliau benar-benar memfokuskan aktifitasnya untuk menegakkan syari'at Islam dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Terlepas permasalahan di atas, penulis berpikir bagaimanakah kedudukan kekuasaan-kekuasaan Muslim Umayyah, Abbasiyah,. pasca Khulafâ al-Rasyidûn seperti Dinasti. dan seterusnya. Apakah kekuasaan mereka dapat. dimasukkan dalam kategori pemerintahan khilafah?. Apakah kekuasaan setelah itu dapat dikategorikan ke dalam sistem kerajaan sebagaimana layaknya kekuasaan.

(11) Bani Umayyah yang merupakan pelopor pertama terjadinya pergeseran sistem kekhilafahan menjadi kerajaan?. Dalam hal ini penulis sendiri memahami adanya pergeseran sistem kekhilafahan menjadi kerajaan yang telah dimulai sejak awal pemerintahan Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah. Oleh karena itu pembahasan mengenai pergantian kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah tersebut akan menjadi telaah khusus dalam penulisan skripsi ini. Meskipun kajian ini merupakan Kajian ulang (literatur review) dari berbagai kajian ilmiah yang seringkali diulas baik oleh pengamat terdahulu maupun yang kontemporer. Di antara tulisan tersebut adalah sebagai berikut, AlMawardi mengulasnya dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthâniyah. Al-Mawdudi tampil dengan karyanya Al-Khilafah wa Al-Mulk, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris mengulasnya dalam al-Nizham al-Siyasi fĭ al- Islâm,. dan telah. diterjemahkan dengan judul Sistem Politik Islam, secara khusus ia pun menjelaskan permasalahan tentang kedudukan putera mahkota. (wilayatu al-. ahhdi), dalam tulisannya tersebut beliau mengkritik pandangan Abu Ya’la alFarra dan Ibnu Khaldun yang lebih lunak dalam memandang kebolehan putera mahkota untuk memegang kedaulatan khilafah. Dan terakhir tampil penulis kontemporer yakni Yusuf al-Qardhawi yang mengkritik tentang beragam distorsi penulisan sejarah Islam. pandangan tersebut beliau rangkai dalam tulisannya yang berjudul Tarikhuna al-muftara ‘Alaih dan telah diterjemahkan dengan judul Meluruskan Sejarah Islam,. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis memilih untuk. mengetahui pembahasan tersebut dari sudut pandang seorang tokoh muslim terkemuka yakni Ibnu Khaldun. Hal ini disebabkan kemajuan intelektual beliau.

(12) khususnya dalam kajian sosial politik yang terdokumentasikan dalam magnum opusnya yakni Muqaddimah. Tidaklah berlebihan ketika menyebut Ibnu Khaldun sebagai bapak peletak dasar ilmu sosial politik dan filsafat. ia memetakan masyarakat dengan interaksi sosial, politik, dan geografi yang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap menjadi terobosan yang sangat signifikan.1 Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai bentuk pemerintahan Khilafah. Secara luas beliau pun mendefinisikan akan arti khilafah, syarat-syarat khilafah, fungsi jabatan keagamaan khilafah, dan gelar Amĭr al-Mu'Minĭn sebagai ciri khilafah. Ibnu Khaldun menelaah tentang pergantian khilafah menjadi monarki pada masa Muawiyah tentunya dengan pandangan ilmiah. Di antara pandangannya yang akan penulis analisa adalah, pertama, pandangannya mengenai sebab-sebab perselisihan Ali dan Muawiyah yang menjadi titik tolak pertama terjadinya perubahan sistem khilafah. Kedua, prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan Muawiyah yang menjadi pendorong utama lahirnya sistem monarki. Ketiga, substansi kekhalifahan pada masa Muawiyah dan para pengganti-penggantinya. Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya pergantian kekhilafahan menjadi kerajaan sejak zaman Muawiyah, penulis berharap bisa menilai secara proporsional dan tidak berusaha mendiskreditkan salah satu pihak. Sebagaimana telah diketahui bahwa Muawiyah termasuk salah satu sahabat Nabi Muhammad,. 1. h.119. Republika, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, (Jakarta: Republika, 2002).

(13) di samping juga kapasitasnya sebagai salah seorang pejuang dalam penaklukan Negeri Syam.. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Ibnu Khaldun terkenal lebih moderat dalam menyikapi perselisihan antara Muawiayah dan Ali, namun ia tetap berupaya mengkritisi berbagai permasalahn yang timbul pada saat keduanya berseteru dalam mempermasalahkan siapa yang berhak dalam memegang jabatan khilafah. Dengan tidak mengahakimi salah satu di antara keduanya, pandangan Ibnu Khaldun menjadi daya tarik penulis untuk mengungkap lebih jauh dasar-dasar perpecahan yang timbul pada masa peralihan kekuasan dari khalifah Ali ke tangan Muawiyah. Untuk mengetahui permasalahan di atas penulis berupaya merumuskan berbagai batasan masalah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di sini penulis membatasi permasalahan kepada inti pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian bentuk kekhilafahan dari masa Khulafâ al-Rasyidûn menjadi kerajaan pada masa pemerintahan Muawiyah. Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah tersebut sebagai berikut: a. Bagaimanakah. pandangan. Ibnu. Khaldun. mengenai. pergantian. kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah? b. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, Apakah sebenatrnya landasan utama yang menyebabkan bergesernya kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah?.

(14) C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penulisan tugas akhir ini dibuat untuk mengetahui pandangan Ibnu Khaldun mengenai pemerintahan khilafah pasca Nabi Muhammad, dan sebabsebab terjadinya pergeseran bentuk kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah.. Tujuan Khusus Penulisan tugas akhir (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam upaya memperoleh gelar akademis setingkat strata satu (S 1) untuk jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.. D. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini sepenuhnya dikumpulkan melalui riset kepustakaan (library research). Adapun sumber primernya yakni buku Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku yang bisa melengkapi pembahasan di atas. Mengenai metode penulisan yang digunakan adalah metode deskripsi analisa yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian kekhalifahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah,.

(15) selanjutnya penulis akan menganalisa pandangan-pandangan tersebut dengan kritis dan obyektif. Dari sisi teknis penulisan, skripsi ini mengikuti aturan yang diatur dalam buku Pedoman Penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi, Ceqda Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2003-2004. E. Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya dijelaskan sebagai berikut: BAB I. Pendahuluan yang di dalamnya akan dibahas tentang latar belakang, perumusan, pembatasan masalah, maksud dan tujuan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. BAB II. Riwayat Ibnu Khaldun. Pada bab ini akan dijelaskan sejarah kelahiran Ibnu Khaldun, aktifitas politiknya, masa penulisannya, serta jasa-jasa besarnya terhadap ilmu pengetahuan. BAB. III. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai bentuk pemerintahan. khilafah. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai arti khilafah, syarat-syarat khilafah, fungsi jabatan khilafah, dan gelar Amĭr al- Mu'minĭn sebagai ciri khilafah. BAB IV. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian kekhalifahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah. Fokus kajian dalam bab ini adalah mengenai pandangan Ibnu Khaldun terhadap sebab-sebab perselisihan Ali dan.

(16) Muawiyah. yang. menjadi. latar. belakang. terciptanya. perubahan. sistem. pemerintahan, begitu juga mengenai pola pengangkatan kepala negara yang mengedepankan prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan Muawiyah, faktor pengangkatan Yazid menjadi putera mahkota, dan terakhir yakni pembahasan tentang substansi kekhalifahan era Muawiyah BAB V. Pada bab akhir ini, penulis akan menyimpulkan beberapa kesimpulan dari tema-tema yang telah dibahas sebelumny.

(17) BAB II RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Pendidikan Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan ibn Jabir Ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al-Rahman ibn Khaldun, lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 732 H atau 1332 M. Asal keluarga Ibnu Khaldun yang sesungguhnya dari Hadramaut, Yaman Selatan. Adapun nama Ibnu Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan, Khalid ibn Utsman. Khalid terkenal dengan panggilan Khaldun disebabkan kebiasaan yang berlaku bagi penduduk Andalusia dan Afrika Barat Laut waktu itu, yakni penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi Khaldun.2 Afrika Utara, tanah kelahiran Ibnu Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh kemandegan pemikiran, kemudian kekacauan politik. Kekuasaaan Muslim Arab telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan pusat. saat itu pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam kehidupan politik, dan setiap orang berusaha meraih kekuasaan.3 Meskipun dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekacauan politik, namun Ibnu Khaldun tetap leluasa memperoleh ilmu pengetahuan, hal itu disebabkan Tunisia menjadi pusat hijrah ulama Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan 2. Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1990 ) h. 90. Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989) h. 9 3.

(18) naiknya Abu al-Hasan, pemimpin Bani Marin (1347). Dengan demikian Ibnu Khaldun mendapat kesempatan belajar dari para ulama tersebut.4 Hal ini dapat dilihat dari kecerdasannya dalam menguasai beberapa disiplin ilmu baik pendidikan agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat. Menurut Munawir Sjadzali, guru pertama yang mengajarkan Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar membaca dan menghafal al- Qurân serta fasih dalam qiraah sab’ah. Perhatiannya seimbang dan merata dalam mata pelajaran Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Gramatika bahasa Arab yang dipelajarinya dari guru yang terkenal di Tunisia. 5 Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penyerangan dan pendudukan Banu Marin terhadap Tunisia tahun 1347 telah mengakibatkan berpindahnya sejumlah besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai pengikut-pengikut raja Abu al-Hasan. Ibnu Khaldun waktu itu sudah meningkat dewasa, dan dari para ulama-ulama tersebutlah Ibnu Khaldun mengalami pertumbuhan intellegensia yang sangat pesat. Akan tetapi, studinya tiba-tiba berhenti akibat berjangkitnya wabah penyakit yang berkecamuk di Tunis pada 749 H/1348 M. Ada yang menyebutnya penyakit Pes atau Kolera, dan penyakit inilah yang banyak merenggut ribuan nyawa termasuk para guru besarnya Ibnu Khaldun dan kedua orangtuanya. Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Maghribi Jauh (Maroko) pada 750 H/1349 M. Maka tinggalah ia dewasa itu di bawah pimpinan abangnya yang bernama Muhaammad yang kini bertindak sebagai kepala keluarga Ibnu Khaldun.6. 4. Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81 Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 90 6 Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 19. 5.

(19) Akibat seringnya terjadi pertukaran-pertukaran kekuasaan di Afrika Utara serta menurunnya kehidupan intelektualisme, maka pada tahun 1354 M Ibnu Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunisia dan pergi ke Fez. Dan di Fezlah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya melalui para ulama yang dewasa itu berada di sana, yaitu: 1.. Syekh Muhammad ibn Al-Shaffar. 2.. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari. 3.. Syekh Muhammad ibn Ahmad al ‘Alwi. 4.. Syekh Muhammad ibn Abd al Salam. 5.. Syekh Muhammad ibn Abd al Razaq. 6.. Syekh Muhammad ibn al Khaththib. 7.. Syekh Ibrahim ibn Zarrar, dan. 8.. Syekh Abu al Barakat Muhammad al Ballafiqi7. B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan Andalusia Dua peristiwa penting yang mengantarkan Ibnu Khaldun berhenti menuntut ilmu. Pertama, berkecamuknya wabah kolera di banyak bagian dunia tahun 749 H, yang telah banyak merenggut jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibnu Khaldun dan sebagian besar guru-gurunya. Kedua, akibat dari musibah tersebut, banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 750 H berbondong-bondong meninggalkan Tunisia pindah ke Afrika Barat Laut. Dengan. 7. Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, h. 20.

(20) terjadinya dua peristiwa tersebut akhirnya Ibnu Khaldun terpaksa berhenti belajar dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam pemerintahan dan peran dalam percaturan politik.8 Dalam suasana penuh pertikaian dan perseteruan antara Imperium Arab dewasa itu, Ibnu Khadun telah banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa besar tentang sejarah kemunduran imperium muslim. Politik yang disaksikannya adalah politik adu kekuatan, dan tidak memperdulikan bingkai moral yang terus diinjakinjak. dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda membusuknya Imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Pengalaman terusirnya umat Islam dari Spanyol yang sebelumnya mereka kuasai selama tujuh abad sudah tidak lagi dapat mengajar mereka untuk berhenti berkelahi.9 Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia memang banyak diguncang peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan abad ke-5 H telah mendekati kehancurannya. Dari dinasti besar ini muncul banyak dinasti dengan negara dan wilayah kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di antaranya adalah Dinasti Hafs di Maghribi Dekat (Tunisia). Dan dalam usia 21 tahun bertepatan tahun 751 H/1350 M, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris sultan Dinasti Hafs, al Fadl . tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran pada tahun 753 H/1352 M.10 Ibnu Khaldun melarikan diri, dan bertemu dengan Sultan Abu Inan di Tilmizan berasal dari keturunan Bani Marin. Jabatan pemerintahan pertama yang cukup berarti baginya adalah keanggotaannya dalam majelis ilmu pengetahuan Sultan. 8. Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 91 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h.13. 10 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81 9.

(21) Abu Inan di ibu kota negara itu, Fez. Kemudian ia diangkat sebagai salah satu sekretaris Sultan dengan tugas mencatat semua keputusan Sultan terkait dengan permohonan-permohonan rakyat, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Ibnu Khaldun mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati sebab dia menganggap sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya yang melakukan pekerjaan serendah itu.11 Dengan dorongan untuk menjadi orang besar dan disegani, Ibnu Khaldun diketahui pernah melakukan kerja sama serta membantu Amir Abu Abdullah Muhammad untuk menggulingkan Sultan Abu Inan, dengan syarat kalau usaha itu berhasil dia diangkat sebagai perdana menteri. Usaha tersebut ternyata diketahui oleh sultan, maka Ibnu Khaldun akhirnya terpaksa mendekam di penjara selama 21 bulan, dan baru dibebaskan setelah sultan wafat dan kekuasaan negara dipegang Perdana Menteri Hasan bin Umar, dan ia dikembalikan kepada jabatannya yang lama. Ibnu Khaldun mengabdikan dirinya kepada pemerintahan Bani Marin di Fez selama delapan tahun, melayani tiga sultan dan dua perdana menteri, yakni Sultan Abu Inan, Perdana Menteri Hasan bin Umar, Sultan Mansur bin Sulaiman, Sultan Abu Salim dan Perdana Menteri Umar bin Abdullah. Pada masa Abu Salim kedudukan Ibnu Khaldun direhabilitasi pada berbagai posisi penting kerajaan. Semula dia diangkat sebagai sekretaris negara, kemudian sebagai peradilan mazhalim, yang khusus menangani pengaduan terhadap negara atau pejabat negara dan tindak pidana yang tidak tercakup dalam hukum. 11. Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.10.

(22) Islam.12Namun keadaan seperti itu tidak bertahan lama. Iklim politik yang penuh intrik telah menyebabkan terbunuhnya Sultan Abu Salim pada 1361 M dalam suatu pemberontakan sipil dan militer. Dalam suasana politik yang tidak menentu itulah akhirnya Ibnu Khaldun berangkat ke Spanyol (Andalusia) dan sampai di Granada pada 26 desember 1362 M.13 Granada adalah satu-satunya negara muslim yang pada waktu itu masih tersisa di semenanjung Iberia di bawah pemerintahan Sultan Muhammad V dibantu oleh perdana menterinya, Ibnu khatib. sementara yang lain sudah jatuh ke tangan penguasa Kristen. Ibnu Khaldun telah menjalin persahabatan yang cukup lama dengan penguasa Granada. Mengingat betapa besar bantuan Ibnu Khaldun kepada Sultan Muhammad dan perdana menterinya ketika mereka berada di Fez sebagai buronan. Sultan Muhammad V memberikan pelayanan sangat baik kepada Ibnu Khaldun.14 Demikian tingginya penghargaan raja kepada Ibnu Khaldun dibuktikan dengan pengutusannya pada tahun 1364 sebagai duta ke istana Raja Pedro El Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Tujuan dari pengutusan tersebut adalah untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Seville. Adapun Raja Pedro El Cruel merasa terkesan dengan kinerja diplomatik Ibnu Khaldun hingga ia pun dibujuk untuk berpihak kepadanya dengan janji akan menyerahkan kembali kepadanya harta nenek moyangnya yang ada di Seville. Adapun Seville mempunyai makna tersendiri bagi Ibnu Khaldun, sebab di kota inilah nenek moyangnya tinggal selama berabad-abad. Namun Ibnu Khaldun. 12. Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 92 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat h.14 13 Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 80 14 Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.10. 13.

(23) menolak bujukan itu, sekalipun ia sempat menyaksikan monumen-monumen kebesaran peninggalan nenek moyangnya.15 Meskipun di Andalusia Ibnu Khaldun pernah mendapat kepercayaan khusus dari Sultan Muhammad. Namun hal itu tidak berlangsung lama disebabkan timbulnya ketegangan antara dia dan Ibnu Khatib yang merasa khawatir atas kedekatan Ibnu Khaldun dengan sang penguasa. Belum cukup dua setengah tahun berada di Granada, Ibnu Khaldun menerima undangan dari Pangeran Abu Abdillah Muhammad penguasa Bani Hafs, yang dahulu pernah dipenjarakan bersama di Fez. Kemudian ia menjadikannya sebagai perdana menteri dan pada waktu yang sama juga sebagai khatîb dan guru. namun, setahun kemudian Sultan Abu Abbas Ahmad, saudara sepupu atau anak paman Pangeran Abu Abdillah, penguasa di Konstantin berambisi untuk menaklukkan dan menguasai seluruh Tunisia, termasuk keamiran Abu Abdillah. Pangeran Abu Abdillah pun akhirnya terbunuh ketika pasukan Abu Abbas menyerbu ke Buqi, dan keamiran itu jatuh ke tangan Abu Abbas. Untuk beberapa lama, Ibnu Khaldun menduduki jabatan yang sama pada masa kekuasan Abu Abbas yaitu sebagai perdana menteri. Tetapi kemudian Abu Abbas menyangsikan loyalitas Ibnu Khaldun. Sadar akan situasi yang kurang menyenangkan dia mohon izin untuk pindah ke luar Buqi, tetapi Abu Abbas bahkan memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Dia beruntung berhasil melarikan diri ke keamiran Baskarah (Biskra), dan Abu Abbas hanya. 15. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat.h.14-15..

(24) berhasil menangkap adiknya Yahya, dan membuangnya ke pengasingan di salah satu kota pantai di Aljazair.16 Dari Baskarah Ibnu Khaldun berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan Tilmisan (Tlemcen) dari Bani Abdil Wad. Dia adalah menantu Pangeran Abu Abdillah dari Buqi yang terbunuh.untuk sekian kalinya Ibnu Khaldun ditawari kedudukan sebagai perdana menteri. Namun, tawaran tersebut ditolaknya dengan alasan bahwa ia ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tetapi ia bersedia memberikan dukungan terhadap sultan dengan mengajak suku-suku di wilayah itu untuk mendukung rencanya merebut Buqi. Ia juga berusaha membentuk persekutuan antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, saudara Abu Abbas yang sangat jelek hubungannya dengan dia. Tetapi serangan tentara Abu Hammu dapat dipatahkan. Sementara itu Sultan Abdul Aziz dari dinasti Bani Marin, yang berpusat di Fez, berambisi merebut wilayah Bani Abdul wad. Akhirnya Abu Hammu melarikan diri. 17 Tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz, Ibnu Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Namun dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun menyelamatkan diri ke Fez pada 774 H/1372 M.18 Setelah sampai di Fez, ternyata suasana di kota itu tidak sebagaimana yang diharapkannya. Situasi politik sangat tidak menentu, dan para penguasa tampaknya telah kehilangan kepercayaan kepada Ibnu Khaldun. Sadar bahwa ia kurang disukai, maka ia pun akhirnya keluar dari Fez dan menetap di Granada,. 16. Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 94 Ibid. 18 Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 81 17.

(25) Andalusia. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun Untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke wilayah Afrika Barat Laut. Setelah meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika, akhirnya ia “terdampar” di pelabuhan Hanin. Adiknya Yahya yang pernah diasingkan pada masa Abu Abbas, telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu. Meskipun awalnya Abu Hammu belum bisa menerima kedatangan Ibnu Khaldun, namun berkat bantuan dan jaminan seorang sahabat lama, muhammad bin Arif, tokoh dari Bani Arif, akhirnya Ibnu Khaldun mendapat pengampunan dari Abu Hammu dan diizinkan datang ke Tilmisan. Atas permintaan pemuka-pemuka Bani arif terhadap Abu Hammu agar memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama mereka, maka Ibnu Khaldun telah meninggalkan keramaian dan petualangan politik hampir empat tahun lamanya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak terjun lagi dalam dunia politik. Akhirnya ia menyepi di Qal’at Ibnu Salamah dan menetap sampai. 780 H/1378 M, dan disanalah untuk pertama kalinya ia. melakukan penelitian dan kajian ilmiah serta berhasil menulis karya monumentalnya Muqoddimah, yang merupakan jilid pertama dari buku al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa alBarbar. Terbitan Cairo 1284 H.19 Disebabkan kurangnya rujukan yang tersedia di tempat pengasingannya, maka Ibnu Khaldun terpaksa kemabali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan lengkap. Pada saat itu Tunisia masih di bawah pemerintahan Abu Abbas. Untuk meluluhkan hati Abu Abbas ia pun menulis surat yang cukup mengharukan. Ibnu 19. Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 81.

(26) Khaldun menjelaskan alasan-alasannya mendukung pihak oposan terhadap pemerintahannya dan memohon maaf serta meminta izin agar dapat kembali ke Tunisia untuk mengadakan beberapa penelitian. Sultan mengizinkannya. Di samping itu, sultan pernah menyuruhnya untuk menyertainya dalam suatu ekspedisi militer dalam rangka menumpas beberapa pemberontakan. Ibnu Khaldun tidak menyukai tugas yang berbahaya ini, dan memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji. 20 Setelah berangkatnya Ibnu Khaldun meninggalkan Tunisia dan berlayar menuju Alexandria, Mesir, pada tahun 784 H/ 1382 M , maka berakhir pulalah karier politiknya di Afrika Barat Laut yang penuh petualangan dan tantangan. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke kawasan tersebut.. C. Masa Penulisan Karya Ilmiah Sebagai dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Fez jatuh ke tangan Sultan Abu Abbas Ahmad (776 H / 1374 M), Ibnu Khaldun pergi ke Granada untuk kedua kalinya. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara. Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu, meskipun ia pernah mengkhianatinya setelah beralih dukungan kepada Sultan Abdul Aziz dari Bani Marin. Ibnu Khaldun akhirnya benar-benar meninggalkan panggung politik. Atas dukungan Banu Arif yang memberikan perlindungan terhadapnya ia pun menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah selama empat tahun. 20. Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.12.

(27) dan menghasilkan karya monumental Muqoddimah. Akan tetapi karena kurangnya bahan rujukan untuk menyelesaikan penelitian tersebut, dia terpaksa kembali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan yang lengkap. Naskah bersih Muqoddimah ditulis untuk pertama kalinya di Tunisia, dan satu di antara naskah tersebut, bersama dengan jilid-jilid lain dari Al-Ibar. dipersembahkan kepada Sultan. Tunisia, Abu Abbas. Setelah berada di Kairo buku itu ditambah dan disempurnakan. Kemudian disiapkan dua naskah, satu dipersembahkan kepada Sultan Mesir, Dzahir Barquq, dan satu lagi kepada Sultan Abdul Aziz di Fez. Karya tulisnya yang lain adalah Al-Ta’rif yang semula merupakan lampiran dari Al-Ibar .21 pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) dengan maksud menghindari kekacauan dunia politik di Maghribi. Setelah sebulan di Iskandariyah, ia pergi ke Kairo. Tidak berapa lama di Kairo, dengan kecerdasan yang ia miliki, maka tidak heran kemudian masyarakat Mesir menerimanya dengan suka cita. Pada tahun 784 H / 1384 M raja menunjuknya menjadi dosen dalam ilmu Fiqih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai ketua pengadilan kerajaan. Tetapi setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang membawa istri, anak-anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat ke Iskandariyah.. Ia. mengundurkan diri,. namun raja. kemudian kembali. mengangkatnya sebagai dosen di beberapa madrasah. Pada tahun 749 H/1387 M ia pergi menunaikan haji. Pada 801H/1399 M ia kembali diangkat sebagai ketua pengadilan dan pergi ke Baitulmaqdia (Yerusalem). Tiga bulan setelah itu. 21. Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 98.

(28) ia,mengundurkan diri.dan pada 803 H/1401 M ia ikut menemani sultan ke Damascus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa Mughal.setelah kembali ke kairo, ia kembali ditunjuk menduduki jabatan ketua pengadilan kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya. 22 Ibnu Khaldun dianggap sebagai penganut teori siklus sejarah disebabkan pandangannya bahwa masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati untuk diganti dengan yang lain. Adapun formasi masyarakat yang dia maksud salahsatunya adalah adanya hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah yang diarahkan oleh para pemimpinnya.23. D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun Dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dan politik Islam. Bahkan lebih dari itu beliau juga dikenal sebagai sejarahwan, sastrawan, ahli hukum, dan ahli filsafat. Adapun kedudukannya sebagai filsuf dalam arti profesional hampir hilang disebabkan kemasyhurannya sebagai seorang sosiolog dan teoritikus sejarah. Kendati demikian, Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir yang teguh beriman kepada ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai karyanya seperti buku Muqaddimah, dapat ditemukan bahwa pada setiap pasal ia senantiasa memuji Allah serta menukilkan beberapa ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan pokok pembahasan, dan pada setiap penutup pasal selalu disudahi dengan do'a atau ayat-ayat Al-Qur'an, kadang pendek dan 22 23. h.121.. Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82 Republika, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, (Jakarta: Republika, 2002).

(29) adakalnya panjang. Begitupun ia senantiasa mengulas beberapa hadits Nabi Muhammad, hal ini tentunya menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun memiliki pemahaman agama yang mendalam. Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran, bahkan Ali Audah menyebutnya sebagai seorang filsuf sosiologi dan sejarah, Dia seorang intelek, pemikir dan ulama yang telah memberikan saham besar dalam sejarah intelektualism dan kemanusiaan.24 Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antara politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, dan masyarakat dibedakan antara masyarakat desa (badawah) dan kota (hadarah). Studi Islam menurutnya, terdiri dari ulūm tabi’iyyah dan ulūm naqliyyah. Ulūm tabi’iyyah meliputi ilmu filsafat, aritmatika, dan hisab, handasah (geometri), alhaia (astronomi), tib (kedokteran) dan al-falặhah (pertanian); sedangkan ‘ulǔm naqliyyah meliputi agama/wahyu dan syariat, AlQur’an, fiqih, kalam. (teologi), dan tasawuf.25. Dalam memahami sejarah, Ibnu Khaldun setidaknya memberikan beberapa syarat untuk diperhatikan. Pertama, peristiwa-peristiwa sejarah itu harus rasional, tidak dicampur dengan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti halnya campur tangan dari yang ghaib; Kedua, analisis peristiwa sejarah dengan menghubungkannya dengan sebab akibat. Dengan persyaratan di atas berarti Ibnu Khaldun telah merintis sebuah pemikiran sejarah yang kritis. Sebelum Ibnu 24 25. Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h.87 Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82.

(30) Khaldun penulisan sejarah umumnya hanya merupakan penyalinan saja dari yang sudah ada dan tidak mengenal analisa. Bahkan isi sejarah dicampur dengan kecenderungan pribadi dan emosinya, dengan cerita-cerita takhayul yang sudah berjalan sejak Herodotus, sampai pada mereka yang datang sebelum Ibnu Khaldun, di Barat ataupun di timur. 26 E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun Menarik untuk dicermati mengenai corak pemikiran Ibnu Khaldun terlebih mengenai permasalahan pandangannya antara agama dan filsafat. Meskipun dikenal dengan seorang ilmuwan yang senantiasa berpikir rasional dan banyak berpegang teguh pada logika, namun Ibnu Khaldun tetaplah seorang agamawan yang berpegang teguh dalam menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya. Dalam mengemukakan pendapat, Ibnu Khaldun senantiasa berpijak pada alasan-alasan yang obyektif dan deskriptif. Ia mencari bukan untuk memuji atau mencela, tetapi untuk mengetahui dan memahami inti masalah yang menyangkut perkembangan sesuatu lembaga dan tingkah laku manusia. Dan dengan cara demikianlah ia berkasil mengemukan teorinya tentang filsafat sejarah dan sosiologi.27 Lebih lanjut Ali Audah menjelaskan, bahwa Ibnu Khaldun tidak dapat melepaskan peristiwa-peristiwa sejarah itu dengan perkembangan manusia sebagai unsur pertama, baik pribadi maupun masyarakat dan pada gilirannya masyarakat pun tak dapat dilepaskan pula dari lingkungannya: tanahnya, hasil bumi, iklim, udara, geografi, luas daerah pertanian, jumlah penduduk, ras, 26 27. Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h.93 Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h. 91.

(31) pertukangan atau industri, perekonomian dan sifat pemerintahan yang menjadi obyek penulisan sejarah itu. Pada gilirannya pula hal di atas akan menentukan bentuk-bentuk kesenian, kepercayaan, adat istiadat, serta cara berpikir masyarakat itu, bahkan bentuk tubuh, tingkah laku, kemampuan otak serta warna kulit. Dari sini lahir golongan yang kemudian diperkuat oleh unsur asabiyah, yang sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat, baik karena pengaruh ekonomi, politik, kekuasaan dan sebagainya akan membawa akibat berubahnya segenap struktur kekuasaan, dan ini dapat melahirkan asabiyah tingkat makro dalam masyarakat, yang akan membawa akibat berubahnya bentuk-bentuk kekuasaan dalam masyarakat serta lahirnya negara-negara baru dalam sejarah, melalui revolusi.28 Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir dan ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran. Suatu kehidupan yang berimbang dalam dirinya dalam menghayati agama dan ilmu. Dia seorang fisuf sosiologi dan sejarah, dia seorang intelek, pemikir yang berdisiplin, dan ulama yang taat, dan telah memberikan saham yang besar dalam sejarah intelektualisme dan kemanusiaan.. 28. Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, 91-92.

(32) BAB III PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH. A.. Arti Khilafah Di dalam nash-nash Islam diawali dari hadits-hadits nabi, lafazh “imam”. digunakan untuk menjuluki kepala negara. Gelar al-Imam atau al-Aimmah umumnya diartikan sebagai orang yang mengurusi negara.29 Kemudian muncullah lafazh khilafah yang merupakan pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya beliau. Menurut Ibnu Khaldun letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang akan menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Undang-undang adalah ruh bagi setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensinya.30 Sebagai contoh suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki tabiat natural yakni insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi arogan dan despotis. Dan semua itu menurut Ibnu Khaldun, haruslah dibenci. Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat menghasilkan suatu kondisi chaos, perpecahan,. instabilitas dan kehancuran. negara. 29. Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) h. 68 30 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.87.

(33) Menurut Ibnu Khaldun, "jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan, penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti tidaklah terpuji."31 Mengenai keimamahan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang demikian itu merupakan pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang, yaitu prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Qur'an, al-Sunnah. Selain itu, hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang dengan berpegang kepada empat sumber hukum: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan demikian, menurut Dhiauddin Ra'is, di dalam undang-undang Islam tersebut, terhimpun hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan Ilahi.32 Ibnu Khaldun membedakan antara kedudukan raja dan Khalifah. Kedudukan raja timbul dari keharusan hidup bergaul manusia, dan didasarkan kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengkritik tentang asal kedaulatan. sebuah. kerajaan. yang. cenderung. bersifat. memaksa. dan. mengedepankan sifat-sifat kebinatangan serta menyampingkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebagian besar para raja menerapkan peraturan tidak 31 32. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.88 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.90.

(34) berpihak kepada kepentingan rakyat bahkan seringkali membebani mereka dengan bermacam-macam kewajiban yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka demi tercapainya keinginan-keinginan dan tujuan sang raja. Bermacam-macam peraturan bisa saja diciptakan oleh raja. Namun, pergantian raja bisa mempengaruhi perubahan kebijakan sehingga beragam peraturan pun akan dibuat silih berganti sesuai dengan tujuan raja yang berganti pula. Dalam hal ini sukarlah bagi rakyat untuk mematuhi suatu perintah dan lebih jauh akan menimbulkan pemberontakan-pemberontakan. sehingga. akan. membawa. kekacauan. dan. hilangnya nyawa. Untuk menciptakan suatu negara yang bisa tegak dan kuat, maka dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti rakyat. Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana dan cerdik pandai melainkan ditentukan oleh Allah dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan yang demikian disebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama yang demikian itu berguna sekali, baik untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Dalam hal ini Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religius memandang pentingnya sebuah pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan akhirat. Menurutnya manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan dan yang akhirnya hanyalah mati dan kesirnaan belaka. Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami menjadikan kamu dengan sia-sia.”33. 33. Al-Qur’ân surat 23 ayat 115..

(35) Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal, ibadah mereka, tata cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara. Oleh karena itu sudah seharusnya negara berdasarkan agama supaya segala sesuatu yang berhubungan dengan negara itu berada di bawah naungan pengawasan Tuhan pemberi hukum itu.. Maka tidaklah dibenarkan suatu negara yang didasarkan kepada penaklukan dan paksaan serta pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan kebijaksanaan politik.34 Dengan sederhana Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa suatu negara yang ditetapkan atas hukum-hukum Allah sangat berguna sekali dibandingkan dengan suatu negara yang berdasarkan akal semata. Hal ini disebabkan, Tuhan lebih mengetahui kepentingan manusia dalam soal yang berhubungan dengan hidup akhirat, yang ada di luar pengetahuan mereka. Dengan demikian tujuan Tuhan membuat undang-undang adalah demi keselamatan manusia dalam hidup di akhirat kelak. Oleh karena itu, adalah menjadi keharusan supaya manusia menyesuaikan diri dengan hukum-hukum agama dalam segala hal. Dan kekuasaan. 34. Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) h. 232-233.

(36) ini adalah kepunyaan Pembuat Undang-undang, ialah para Nabi dan orang-orang yang menggantikan mereka, yaitu khalifah-khalifah, dan inilah arti khilafah.35. B. Fungsi Khalifah Mengenai fungsi Khalifah tampaknya pendapat Ibnu Khaldun. tidak. berbeda jauh dengan Al-Mawardi yakni jabatan ini merupakan pengganti Nabi Muhammad, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan di dunia.. 36. Khalifah dianggap sebagai penegak. agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama. Tugas agama yang dimaksud adalah kemampuan seorang khalifah untuk menyampaikan kewajiban syar’iyyah kepada manusia, serta memobilisasi mereka supaya melakukannya. Dan tujuan pemimpin duniawi yakni dengan kemampuannya sebagai seorang yang berusaha mengurusi kepentingan umum peradaban umat manusia. Kepemimpinan raja, menurut Ibnu Khaldun, “apabila bersifat islami, termasuk ke dalam barisan khilafah dan menjadi salah satu ikutannya. Kedaulatan negara non-muslim tegak sendiri’. Dalam hal ini berarti Ibnu Khaldun tidak mengkritik sistem kerajaan yang tetap menjalankan syari'at Islam. Akan tetapi menurut penulis pandangan demikian tentunya bertentangan dengan pendapat Ibnu Khaldun sendiri yang mengkritisi bahwa sistem kerajaan umumnya bersifat despotis, invidualis, serta lebih cenderung otoriter. Hal ini cukup beralasan karena biar bagaimanapun pemerintahan raja terkadang tidak sepenuhnya didukung oleh 35 36. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mustofa Muhammad) h. 190-191 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthâniyah, (Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, 2000) h. 13.

(37) sebagian masyarakat, terlebih sistem warisan kekuasaan yang turun temurun dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat yang merasa tidak puas dengan pemerintah, dan akhirnya dapat menciptakan instabilitas negara. Perlu diketahui bahwa fungsi religius syari’at agama, menurut Ibnu Khaldun, seperti shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, jihad, dan pengawasan pasar, termasuk ke dalam imamah besar yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Kekuatannya menyeluruh dalam melaksanakan hukum agama maupun dunia.37 Berikut akan dijelaskan beberapa fumgsi religius yang khusus untuk khilafah, dan fungsi pemerintahan raja: a) Imamah Shalat. Telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah yang paling tinggi di antara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi masalah-masalah duniawi. b) Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para ulama dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang yang teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti merupakan salah satu. 37. Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 264-267.

(38) kepentingan. keagamaan. kaum. muslimin.. Khalifah. harus. memperhatikannya . c) Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang untuk menjalankan fungsi ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu Darda' untuk menjadi hakim di Madinah, memilih Syuraih untuk tugas hakim di Bashrah dan Abu Musa al-Asy'ari di Kufah. d) Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan hukumman-hukuman yang ditetapkan oleh syari'at agama merupakan tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya sedikit lebih luas dibanding jabatan hakim. Ia memutuskan hukuman pencegahan sebelum tindak kriminal dilakukan. Ia melaksanakan hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari'at agama dengan semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang merasa dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku. e) Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasyarat tugas ini ialah, bahwa orang yang melaksanakannya harus bersifat adil, sesuai dengan ketentuan agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki pengetahuan tentang jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan itu. Hal ini disebabkan ia harus dapat mengisi catatan-catatan di dalam pengadilan, mengerti perjanjian dalam bentuknya yang benar, urutannya yang tepat dan dengan sebaik-baiknya, serta melihat kondisi.

(39) dan syarat yang melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum agama. f) Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban amar ma'ruf nahi munkar. Akan tetapi dia tidak punya kekuasan untuk mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penipuan dan perlakuan curang dalam masalah timbang-menimbang ukur-mengukur. Ia juga berusaha membuat orang menunda hutang supaya membayarkan dengan apa yang dimilikinya.. Konsekuensi dari jabatan ini ialah ia berada di. bawah jabatan hakim. g) Pencetakan Uang Logam.. Pengawasan terhadap pencetakan uang. merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khilafah. Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.38 Demikian akhir pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Khilafah itu seakan-akan pohon besar dan dasar. yang menyeluruh. Semua fungsi. mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Selain panggilan Khalifah terkadang jabatan tersebut disebut “imamah kubro” selanjutnya, jabatan ini dianggap suatu kewajiban menurut hukum syari’at agama disebabkan ijma para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in. Hal ini 38. Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 265-275..

(40) dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat membai’at Abu Bakar dan mempercayakan pengawasan persoalan dan urusan mereka kepadanya. Demikian pula di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tidak pernah diserahkan kepada anarki. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa kewajiban imamah ditentukan akal, dan bahwa ijma yang kebetulan itu hanya menguatkan ketetapan akal saja. Mereka berpendapat: bahwa yang membuat jabatan imam itu wajib menurut akal ialah. perlunya. manusia. pada. suatu. organisasi. kemasyarakatan. dan. ketidakmungkinan mereka hidup sendiri-sendiri. Sebagian kelompok tetap kokoh mengatakan bahwa jabatan imam sama sekali tidak penting, baik berdasarkan akal maupun syari’at. Pandangan ini diwakili oleh golongan Mu’tazilah salah satunya al-Ashamm. Ada juga dari golongan khawarij. Menurut mereka yang penting hanyalah menjalankan syari’at. Mereka berpendapat demikian karena berusaha melepaskan diri dari kedaulatan (mulk) dan wataknya yang suka menguasai, senantiasa mendominasi, dan bersifat duniawi. Menurut Ibnu Khaldun keharusan imamah haruslah diindikasikan oleh syari’at, yaitu dengan konsensus (ijma). Adapun mereka yang menolak imamah dengan alasan bahwa syari’at sangat mengecam dan menyalahkan adanya suatu kedaulatan yang mana kedaulatan itu sendiri memiliki watak suka menguasai dan mendominasi, maka Ibnu Khaldun menegaskan bahwa syari’at agama tidak mengecam kedaulatan dan tidak pula melarang pelaksanaannya. Akan tetapi syari’at hanya mencela akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti tirani,.

(41) kezaliman, dan enak-enakan. Sebaliknya syari’at agama memuji keadilan, kejujuran, melaksanakan tugas-tugas agama, dan membelanya.. Syari’at juga. mencela nafsu syahwat, dan marah pada orang-orang mukallaf, sebab eksistensinya masih dirasa perlu. Tapi yang dimaksud ialah bagaimana mempergunakannya dengan sebenar-benarnya. Selanjutnya, mereka yang berusaha lari kedaulatan imamah dengan berasumsi bahwa lembaga tersebut tidak penting sama sekali tidak dapat membantu, sebab mereka menyetujui diharuskannya pelaksanaan syari’at, dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali melalui asabiyah dan kekuasaan, sedangkan asabiyah sesuai wataknya memerlukan kedaulatan.39 Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa hal tersebut tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun, yang jelas bahwa Allah telah menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam mengurusi persoalan-persoalan hidup hamba-Nya dengan tujuan dapat memenuhi kepentingan dan melepaskan kesukaran yang mereka miliki.. C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma, maka keperluan untuk diadakannya lembaga tersebut merupakan fardl al-kifayah, dan mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli. Kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib. 39. Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 234-237.

(42) taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.40 Tidak diperbolehkan menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada waktu yang sama. Adapun mengenai prasyarat untuk mendirikan lembaga imamah itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan setidaknya ada empat yaitu: al-‘ilmu, al- ‘adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’dô, adapun syarat yang kelima ada banyak perbedaan pendapat yakni al-nasb al-Quraisy.41 1). Syarat pertama al-‘ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam. harus menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksanakan hukum-hukum Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang merupakan kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan pengetahuannya tersebut ia dapat memberikan keputusan yang memuaskan masyarakat, negara, dan agama. 2). Keadilan. (al- ‘adalah) dianggap perlu disebabkan imamah. merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan juga menjadi prasyarat. Tak ada perbedaan mengenai kenyataan bahwa keadilan akan lenyap oleh sikap yang membiarkan berlakunya Akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai apakah keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang memasukkan inovasi-inovasi baru ke dalam i’tiqad umat. 3). Kesanggupan (al-kifayah) berarti, bahwa seorang imam bersedia. melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup bertanggungjawab untuk mengerahkan umat menuju peperangan. dia juga harus tahu tentang 40 41. Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 193.

(43) ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat melaksanakan tugas politik. Semua hal tersebut harus dia miliki supaya mampu melakukan fungsinya melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum. 4). Bebasnya pancaindera dan anggota badan dari cacat atau. kelemahan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan anggota badan, kaki atau testikel, semua itu dijadikan prasyarat karena kekurangan demikian berpengaruh pada kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua. Satu diantaranya disebabkan keadaan terpaksa, misalnya tidak mampu bertindak karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu syarat yang sama pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat badan. Mengenai syarat yang kelima ada perbedaan pendapat, yaitu keturunan Quraisy. Prasyarat ini dianggap penting karena didasarkan pada fakta sejarah mengenai ijma para sahabat pada hari saqifah. Pada hari itu kaum anshar bermaksud membai’at Sa’ad ibn Ubadah, namun ditolak oleh pihak Quraisy yang menjelaskan beberapa dalil dari Nabi Muhammad tentang imamah harus dijaga oleh kaum Quraisy. Hasilnya argumentasi tersebut diterima kaum anshar. Namun, lambat laun kekuasaan kaum Quraisy melemah, solidaritas mereka lenyap sebagai akibat hidup mewah dan berlebih. Bangsa-bangsa non-Arab pun menaklukan mereka, dan merebut kekuasaan eksekutif. Seperti al-Mawardi, sepertinya Ibnu Khaldun tidak berbeda pendapat mengenai pentingnya syarat keturunan Quraisy. Akan tetapi a memberikan alasan yang bisa dianggap lebih logis. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan; “menurut hemat saya, semua hukum syari’at, tidak boleh tidak, memiliki maksud.

(44) dan hikmah tertentu. ...namun, apabila persoalan itu kita teliti dan analisa, kita akan mendapatkan bahwa maslahah umum yang dimaksud tidak lain diungkapkan dalam solidaritas sosial (ashabiyah) yang dimiliki para imam keturunan arab. Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan imam dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu akan dapat menerima dia beserta keluarganya, dan ia pun dapat mengadakan hubungan yang akrab dengan mereka. Kaum Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, cikal bakal dan paling perkasa dibanding suku-suku Mudhar lainnya. Jumlah mereka banyak, solidaritas serta kebangsawanan mereka berwibawa di kalangan suku Mudhar lainnya. Sukusuku arab yang lain sama mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya pemerintahan diserahkan kepada pihak lain di luar mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya. Apabila orang-orang Quraisy yang berkuasa, maka dengan kekuatan yang ada, mereka sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka. Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan menyisihkan siapa saja yang menentang mereka. Dengan demikian sangat jelas bahwa salah satu syarat dijadikannya imamah dari keturunan Quraisy dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan bantuan ashabiyah dan superioritas. Oleh karena itu syarat keturunan Quraisy. dimasukkan ke dalam kategori prasyarat kesanggupan, dan apabila. digeneralisasikan, maka maksud yang dikandung di dalamnya adalah pentingnya.

(45) solidaritas sosial bagi seorang khalifah. Tak seorangpun dapat memerintah suatu bangsa atau generasi, kecuali orang yang dapat menguasai mereka . D. Gelar Amǐr al-Mu’minǐn Sebagai Ciri Khilafah Gelar itu merupakan kreasi periode para khalifah al-rasyidûn, ketika Abu Bakar dibai’at, para sahabat dan seluruh kaum muslimin menyebutnya khalifah Rasulillah, lalu bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan mereka pun memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya. Demikian pula gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan bertambahnya pergantian khalifah. Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “amǐr.” Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “amǐr Mekah” dan “amǐr Hijaz.”ketika memimpin pasukan muslim dalam perang Qadisiyah Sa’ad ibn Abi Waqqas pun di panggil dengan gelar “amǐr al-mu’minǐn.” Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai “amǐr al-mu’minǐn.” Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar tersebut. Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar demikian adalah Abdullah ibn Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada waktu pembebasan kota mekah, seorang utusan datang ke Madinah dan menanyakan Umar: “dimanakah Amǐr al-Mu’minǐn? Para sahabat mendengar dan menyetujuinya. “anda benar, demi Allah dia benar-benar Amǐr alMu’minǐn. Para khalifah yang datang sesudah Umar juga mewarisi gelar ini.

(46) sebagai suatu ciri, yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah menggunakannya. Pergeseran nama atau gelar khalifah terjadi ketika golongan Syi’ah membuat nama khusus untuk Ali ibn Abi Thalib, yaitu Imam. Kata Imamah juga berarti Khilafah. Hal ini mereka lakukan sebagai propaganda mazhabnya yang mengatakan bahwa Ali lebih berhak menduduki imamah shalat daripada Abu Bakar. Gelar tersebut mereka gunakan khusus hanya untuk Ali, dan untuk orangorang yang menduduki khilafah sesudahnya.42 Akan tetapi gelar amǐr al-mu’minǐn tetap dipertahankan para pemimpinpemimpin dinasti muslim sesudahnya. Sebagaimana ia menjadi ciri raja Hijaz, Syiria, dan Iraq. Pada masa puncak kekuasaan Bani Abbas gelar demikian ditambah sesuai dengan nama-nama keluarga seperti al-Saffah, al-Mansur, alMahdi, al-Hadi, al-Rasyid, dan seterusnya. Penambahan gelar tersebut dimaksudkan untuk berhati-hati terhadap nama diri mereka, menghindarkannya dari kesalahan pengucapan oleh orang-orang awam, dan untuk menjaganya supaya tidak tercemar. Berbeda dengan Bani Abbasiyah,. Bani Umayyah. tidak pernah. menggunakan gelar demikian, bahkan terkesan menjauhinya. Terlebih ketika Bani Abbasiyyah telah mengambil kontrol kekuasaan dengan cara mengadakan pemecatan, penggantian, bahkan pembunuhan terhadap sebagian besar pemimpin Bani Umayyah. Kecuali pada masa khalifah terakhir Abdurrahman – yaitu alNashir ibn Amir Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman. Ia menyebut dirinya. 42. Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 276.

(47) amǐr al-mu’minǐn, dan memberi gelar dirinya dengan al-Nashir li dǐn Allah. Hal ini. ia. lakukan,. meskipun. nenek. moyangnya. terdahulu. tidak. pernah. mempraktekkannya. Ketika lembaga khilafah mulai melemah, dan ashabiyah bangsa Arab telah hancur, maka khilafah telah hilang identitasnya. Terlebih ketika pemimpinpemimpin non-Arab berhasil mengambil alih kekuasaan Bani Abbas, para pengikut mereka sendiri berkuasa atas Bani Ubaid di kairo, Shinhajah mengusai kerajaan Ifriqiyah, Zanatah berkuasa atas Maghribi, dan reyes de taifas (raja-raja kecil) di Andalusia berkuasa atas Bani Umayyah. Masing-masing golongan ini berkuasa atas bagian dari khilafah. Kekaisaran muslim terpecah-pecah. Raja-raja di Timur dan di Barat telah mengambil berbagai gelar, setelah tadinya mereka disebut dengan nama “sulthân.” Sebagai sikap tunduk terhadap raja-raja non-Arab di Timur, para pemimpin Arab sebelumnya menyebut mereka dengan nama-nama misalnya Syafar al-daulah, Adlad al-daulah, Rukn al-daulah, Muiz al-daulah, nashir aldaulah, Nizham al-mulk, baha al-daulah, dakhir al-daulah, dan lain sebagainya. 43 Setelah bangsa non-Arab di Timur berhasil memperkokoh kekuasaan dan kedaulatannya serta berhasil memperbesar peranannya di dalam negara dan kesultanan, mereka menambahkan gelar pada nama mereka sebelumnya dengan tambahan kata “din” saja. Sehingga mereka dikatakan dengan nama Shalauddin, Asaduddin, Nuruddin, dan sebagainya.. 43. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 277-278.

(48) Sedangkan raja-raja kecil di Andalusia, yang telah berkuasa penuh atas Bani Umayyah, mereka telah masuk ke dalam ashabiyah kesukuannya, membagibagi dan menyebar gelar kekhalifahan untuk diri mereka sendiri. Di antara gelar mereka adalah al-nashir, al-Mansur, al-Mu’tamid, al-Mudzfir, dan lain sebagainya. Bagi Daulah Shanhajah mereka lebih mengekang diri dari pamer gelar dari pemberian Bani Ubaid (Fatimiyyun). Seperti Nashir al-daulah, dan Muiz aldaulah. Jarak antara mereka dengan khilafah tambah jauh. Mereka tidak ingat lagi gelar-gelar sebelumnya, dan sudah merasa cukup dengan menggunakan nama sultan. Ketika nama khilafah telah punah, raja Almoravid (Murabithun) Yusuf ibn Tasyfin menampilkan diri di tengah suku Barbar di Maghribi. Raja ini dianggap oleh Ibnu Khaldun sebagai raja yang baik dan konserfatif, hal ini disebabkan keinginannya untuk menegakkan formalitas agamanya secara sempurna, dan mau tunduk pada kekuasaan khalifah.. Dengan mengirim kedua dutanya, yaitu. Abdallah ibn al-Arabi dan puteranya Kadi Abu Bakar kepada al-Mustadzir alAbbasi, dan mengharap beliau memilih dan menobatkan Ibn Tasyifin sebagai raja Maghribi, dan dengan membawa izin untuk menggunakan gaya pakaian dan bendera khalifah. Di dalam dokumen itu. Mustadzir menyebut Ibn Tasyifin. dengan panggilan “Amǐr al-Mu’minǐnín” hal ini dilakukan untuk menghormatinya karena kedudukannya, begitu juga dengan sukunya Bani Murabith menganut agama Islam serta mengikuti sunnah..

(49) Setelah kekuasaan pemerintahan di maghribi hancur dan digantikan oleh Zanatah, maka raja-raja mereka pun melanjutkan pemakaian gelar amǐr almu’minǐn ketika sebelumnya mereka tunduk kepada Bani Abdul mukmin, selanjutnya Bani abi Hafs, dan akhirnya mereka pun menggunakannya pada saat mereka berkuasa untuk menyempurnakan cita-cita raja jalan dan ciri kekuasaan. Demikianlah. gelar khilafah senantiasa berganti dari masa ke masa. disebabkan terjadinya pergantian kekuasaan dari daulah ke daulah. Meskipun gelar amĭr. saat ini kurang populer, namun sebagian besar kaum muslimin. meyakini bahwa gelar tersebut memang telah dipatenkan untuk menamai seorang penguasa muslim. Hal ini sebagai mana telah disebutkan dalam beberapa ayat di dalam al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu.”44. 44. Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59.

(50) BAB IV PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN. A.. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah Al-. Rasyidĭn ke Kerajaan Disebabkan oleh pentingnya peranan Nabi Muhammad bagi kebangkitan awal agama Islam, maka berita kemangkatannya telah menimbulkan kegoncangan serius bagi umat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh banyak pakar sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad tidak memberikan wasiat apapun terkait dengan pengganti beliau. Nampaknya masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada umat. Oleh karena itu, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh dari Muhajirĭn dan Anshâr berkumpul di balai Sa'idah, Madinah. Mereka bermusyawarah mengenai siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Meskipun awalnya berjalan sangat alot, karena masingmasing pihak merasa berhak menjadi pemimpin. Namun dengan semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih.45 Terpilihnya Abu Bakar disebabkan karena ia memiliki kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan sahabat yang lain, dan hal itu diakui oleh semua umat Islam, dan ia juga termasuk kelompok pertama yang masuk Islam, telah berjasa besar dalam membela Islam, bersahabat sejak lama dengan Nabi Muhammad, imannya sangat teguh, dan sifat akal dan akhlaknya yang jarang sehingga dirinya menjadi pribadi teladan yang sempurna. Demikianlah landasan utama terpilihnya. 45. . Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) h.35.

(51) Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dan bukan didasarkan oleh praktek pemilihan. sebagaimana yang dilakukan sebagian adat. istiadat bangsa arab.. Karena jikalau didasarkan dengan metode tersebut, niscaya mereka akan memilih Ibnu Ubadah, pemimpin keluarga Khazraj. Atau Abu Sufyan, pemimpin tertua Banu Umayyah, atau juga Abbas, petinggi keluarga Banu Hasyim.46 Masa kepemimpinan Abu Bakar hanya berjalan dua tahun. Dalam masa yang singkat itu Abu Bakar telah sukses mengkonsolidasikan kekuasaan muslim atas seluruh semenanjung Arabia setelah melakukan usaha keras melawan konspirasi para pemberontak yang berasal dari suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah dan khususnya pemberontakan oleh Musailamah. Dan dengan demikian, menurut John L. Esposito, beliau telah menjaga persatuan dan solidaritas umat-negara Islam.47 Pengganti Abu Bakar yaitu Umar ibn Khathâb, setelah ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima oleh umat yang segera beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulilah. Ia juga memperkenalkan. istilah. Amîr. al-Mu'minîn.48. Adapun. menjelang. akhir. kekuasaannya (634-644 M), keseluruhan Arabia, bagian dari Imperium Sassaniyah, dan Suriah serta provinsi Mesir di bawah Imperium Bizantium telah. 46. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h.16 John L. Esposito, Islam Warna Warni, (Jakarta: Paramadina, 2004) h.48 48 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h.37 47.

(52) ditaklukkan. Segera setelah itu tanah-tanah Sassaniyah pun ditaklukkan.49 ia juga memperkenalkan metode. baru. dalam. pemilihan. penggantinya.. Sebelum. kematiannya, Umar menunjuk sebuah "komite pemilihan" (Syurâ) untuk memilih khalifah berikutnya. Komite tersebut terdiri dari Abdurrahman Ibn Auf, Sa'ad Ibn Abi Waqqas, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Zubair Ibn awwam, dan Thalhah Ibn Ubaidillah.50 Setelah melalui musyawarah, komite tersebut akhirnya memilih Utsman Ibn Affan dari klan Umayyah. Pada masa awal-awal pemerintahannya Utsman tetap mengikuti langkahlangkah pendahulunya yakni dengan memperkuat daerah-daerah yang ditaklukkan dan terus memperluasnya. Pada masanya, kesejahteraan tersebar luas ke seluruh penjuru dan kekayaan terus bertambah, situasi umum pun masih berlangsung teratur. Akan tetapi, pada akhir-akhir pemerintahannya, faksionalisme suku dan ancaman pemberontakan kembali terjadi. Beragam tuduhan diarahkan kepada Khalifah Utsman. Maka pada tahun 656 M, sebuah gerakan agitasi di Madinah, disokong oleh para prajurit dari Mesir berhasil melakukan pembunuhan terhadap khalifah.51 Peristiwa ini terjadi sebelum dia menunjuk penggantinya. Pada saat itulah, konflik pun dimulai menjurus pada perbedaan besar dan perpecahan berkenaan dengan masalah kekhalifahan. Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa ketiga khalifah pertama pola pemilihan khalifah dicirikan dengan adanya musyawarah dan baiat oleh umat Islam. Dhiauddin Rais menjelaskan bahwa pembaiatan tersebut. 49. Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Bandung: Mizan, 2004) h.74 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.135 51 Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, h.78 50.

(53) berlangsung secara aklamasi sehingga kekhalifahan mereka terjadi secara sah dan sesuai dengan syara.52 Adapun pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, sesungguhnya ia dihadapkan dengan oposisi ganda. Pertama, oleh koalisi yang dipimpin oleh Aisyah. Kedua, oleh kekuatan-kekuatan Muawiyah, gubernur Syiria dan kerabat Utsman. Meskipun Khalifah Ali telah dibaiat oleh penduduk Madinah, kecuali sekelompok kalangan yang menolak, begitupun dengan masyarakat Hijaz dan Irak memberikan dukungan kepada beliau, akan tetapi masyarakat Syam di bawah pimpinan Muawiyah menolak untuk membaiat. Setelah mayoritas Muhajirin dan Anshar sepakat membaiat khalifah Ali bin Abi Thalib, Ali segera mengutus Jurair bin Abullah al-Bajli kepada Muawiyah di Syam guna mengajaknya untuk berbaiat. Akan tetapi, Muawiyah berpendapat bahwa baiat itu belum dinyatakan sah kecuali kehadiran mereka semua. Karena itu, Muawiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali sampai para pembunuh Utsman diqishas kemudian kaum muslimin memilih sendiri imam mereka. Sementara itu, Ali berkeyakinan penuh bahwa baiat telah sah dilakukan dengan kesepakatan penduduk Madinah. Dengan demikian, setiap orang yang terlambat berbaiat karena berada di luar kota Madinah berkewajiban untuk segera bergabung dalam baiat tersebut. Dengan demikian perbedaan ijtihad di antara kaum muslimin pun tak terelakkan. Hal ini terjadi ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah, beliau berpendapat bahwa sebelum dilaksanakannya qishas perlu diadakannya. 52. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h. 136.

(54) penertiban dan penataan ulang terlebih dahulu, adapun pihak yang menentangnya seperti Aisyah, Thalhah, Zubair, dan para pendukungnya mengiginkan pelaksanaan qishas terhadap pembunuh Utsman merupakan amalan pertama yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meskipun awalnya sempat terjadi peperangan di antara kedua pihak,. akan tetapi akhirnya pendapat Ali dapat. diterima oleh pihak lain dan menjadi landasan bagi tercapainya ishlah antar semua pihak.53 Berbeda dengan Muawiyah bin Abi Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya yang tidak sependapat dengan Ali, mereka tetap angkat bicara dan memotivasi kaum muslimin untuk menuntut darah Utsman dari orang-orang yang telah membunuhnya. Para sahabat yang turut serta dalam tuntutan ini adalah Ubadah bin Shamit, Abu Darda, Abu Umamah, Amru bin Abasah, dan para sahabat lainnya.54 Dan akhirnya tuntutan tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa perang Shiffin antara pasukan Muawiyah dan pasukan Ali , akan tetapi perang berakhir dengan peristiwa tahkim. Mengenai penolakan Muawiyah untuk berbaiat kepada Ali disebabkan karena Ali Ibn Abi Thalib berniat memberhentikan beberapa pejabat yang pernah menjabat beberapa posisi penting pada masa Khalifah Utman Ibn Affan, dan termasuk di antaranya adalah Muawiyah.. Khalifah Ali mengirim beberapa. pejabat baru ke berbagai daerah, diantaranya Utsman bin Huneif ke Bashrah,. 53. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah terj, (Jakarta: Robbani Press, 2007) h.568 54 Ibnu Katsir, Al- Bidayah wa Al- Nihayah terj, (Jakarta: Dârul Haq, 2004) h.453.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 2 menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga dengan tindakan penderita TB Paru melakukan kontrol ulang secara rutin diperoleh hasil bahwa sebanyak 22

Oleh karena itu, penulis percaya bahwa keadaan saat ini merupakan hal yang tidak dapat kita hindari dan sebagai seorang pendidik momentum ini dapat

Hasil penelitian Damayani (2015) yang menganalisis faktor pengetahuan dan sikap ibu terhadap ketepatan pemberian MP-ASI di Kelurahan Tiga Balata Kabupten

Hipotesis nomor II (karakter 的 ( de ) dilafalkan dengan bunyi [ti] di dalam lagu Mandarin diduga karena pengaruh posisi artikulasi vokal bahasa Mandarin dan tempo lagu

PROGRAM- PROGRAM INI DITUJUKAN UNTUK MENGHASILKAN MASYARAKAT YANG MANDIRI DALAM MENINGKATKAN STANDAR KEHIDUPAN MEREKA DENGAN MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI YANG ADA...

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya, dalam usaha memenuhi

[r]

Dengan ini diberitahukan kepada sudara, apabila dikuasakan harus disertai dengan surat kuasa atau surat tugas dari direktur kepada penerima kuasa atau penerima tugas dan